Anda di halaman 1dari 44

KARAKTERISTIK KIMIA DAN MINERALOGI PADA LAPUKAN BATUAN

ULTRABASA SEKITAR DANAU TOWUTI KABUPATEN LUWU TIMUR


PROVINSI SULAWESI SELATAN

CHEMICAL AND MINERALOGICAL CHARACTERISTIC ON RESIDUAL


SOIL OF ULTRAMAFIC ROCKS IN TOWUTI LAKE AROUND EAST LUWU
REGENCY SOUTH SULAWESI PROVINCE

VILLA EVA DELVIA GINAL SAMBARI

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KARAKTERISTIK KIMIA DAN MINERALOGI PADA LAPUKAN BATUAN
ULTRABASA SEKITAR DANAU TOWUTI KABUPATEN LUWU TIMUR
PROVINSI SULAWESI SELATAN

CHEMICAL AND MINERALOGICAL CHARACTERISTIC ON RESIDUAL


SOIL OF ULTRAMAFIC ROCKS IN TOWUTI LAKE AROUND EAST LUWU
REGENCY SOUTH SULAWESI PROVINCE

Laporan Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Teknik Geologi

Disusun dan diajukan oleh

VILLA EVA DELVIA GINAL SAMBARI

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
PERNYATAAN KEASLIAN LAPORAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Villa eva delvia ginal sambari

Nomor Mahasiswa : P3000215004

Program Studi : Teknik Geologi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa laporan tesis yang saya tulis

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan laporan

tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, Mei 2017

Yang menyatakan

Villa Eva Delvia Ginal Sambari


TESIS

KARAKTERISTIK KIMIA DAN MINERALOGI PADA LAPUKAN BATUAN


ULTRABASA SEKITAR DANAU TOWUTI KABUPATEN LUWU TIMUR
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Disusun dan diajukan oleh

VILLA EVA DELVIA GINAL SAMBARI

Nomor Pokok P3000215004

Pada tanggal 26 Mei 2017

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

Dr. Ir. Hj. Ratna Husain L, M.T Dr. Ir. Busthan Azikin, M.T
Ketua Anggota

Ketua Program Studi S2 Dekan Fakultas Teknik


Teknik Geologi, Universitas Hasanuddin

Dr. Ir. Adi Tonggiroh. ST. MT Dr. -Ing. Ir. Wahyu H. Piarah, MSME
PRAKATA

Assalamu Alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala

limpahan rahmat yang telah tercurah dalam segenap aktivitas. Salam dan

salawat terhaturkan kepada Nabiullah Muhammad SAW, begitu juga dengan

segenap keluarga dan sahabat-sahabatnya. sehingga penyusunan Tesis

dengan judul ”KARAKTERISTIK KIMIA DAN MINERALOGI PADA

LAPUKAN BATUAN ULTRABASA SEKITAR DANAU TOWUTI

KABUPATEN LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN” ini dapat

terselesaikan dengan baik.

Berbagai kendala dan hambatan penulis hadapi dalam rangka

menyelesaikan tesis ini, namun dapat teratasi dan terlewatkan berkat

bantuan terutama bimbingan dan arahan serta pengorbanan waktu dan

pikiran dari Pembimbing, sehingga pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Ratna

Husain L, MT selaku pembimbing pertama dan bapak Dr. Ir. Busthan Azikin,

MT yang telah memberikan bimbingan, arahan dan semangat serta motivasi

dengan penuh kesabaran. Tim penguji Prof. Dr.rer.nat. Ir. A. M. Imran., dan

ibu Dr. Eng. Meutia Farida,. ST.MT serta Bapak Dr. Ir. M. Fauzi Arifin. MSi.

atas saran, masukan serta koreksi yang bersifat konstruktif, yang telah

diberikan saat seminar proposal.


Ucapan terima kasih juga kepada Ketua Program Pasca Sarjana Teknik

Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Bapak Dr. Adi Tonggiroh,

ST., MT. serta seluruh staf dosen pengajar dan pegawai Departemen Teknik

Geologi Universitas Hasanuddin yang telah membimbing dan memberikan

arahan kepada penulis selama menjalani kuliah hingga menyelesaikan tesis

ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada kedua orang tua penulis yang selalu mendoakan. Ayah H.

Abd. Ginal Sambari S.Sos. MSi dan Ibu Hj. Martini Lakawe S.Sos. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Program Pasca

Sarjana Teknik Geologi Universitas Hasanuddin angkatan 2015 atas

partisipasi dan kerjasama serta dorongannya yang bersifat positif selama ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, sehingga segala saran dan kritik yang sifatnya membangun

sangat diperlukan dalam penyempurnaan tesis ini. Semoga Tesis ini

bermanfaat dan memberikan kontribusi ilmu pengetahuan kepada pembaca,

Terima Kasih.

Makassar, Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA v

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penelitian 3

D. Manfaat Penelitian 3

E. Ruang Lingkup 4

F. Definisi Dan Istilah 4

G. Peneliti Terdahulu 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

A. Geologi Regional 6

1. Geomorfologi 6

Halaman

2. Stratigrafi 8

B. Landasan Teori 15
1. Batuan Ultrabasa 15

2. Soil 16

3. Pelapukan 20

a. Proses Pelapukan Kimia 21

b. Hasil Proses Pelapukan 25

c. Indeks Pelapukan Kimia 29

d. Pelapukan Fisika 31

BAB III METODE PENELITIAN 32

A. Tahap Pendahuluan 32

1. Studi Literatur 32

B. Sampel Lapangan 33

1. Pengambilan Sampel Batuan Ultrabasa (Bedrock) 33

2. Pengambilan Sampel Soil 33

C. Analisis Laboratorium 33

1. Analisis Petrografi 33

2. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) 34

3. Analisis XRF ( X-Ray Fluorescence) 35

D. Penyusunan Tesis 35

E. Lokasi Penelitian 36

F. Alat Dan Bahan 38

Halaman

G. Diagram Alir Tahapan Penelitian 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 40


A. Stratigrafi Lokal 40

B. Soil 48

C. Karakteristik Soil 49

D. Hasil Uji Analisis XRF 52

E. Hasil Uji Analisis XRD 60

F. Indeks Pelapukan Kimia 65

BAB V PENUTUP 66

A. Kesimpulan 68

B. Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil Uji Analisis XRF 52

Tabel 2. Nilai CIW (Chamical Indeks Of Weathering) 66


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta Geologi Lembar Malili 14

Gambar 2. Jalur pembentukan batuan terserpentinkan (A) 20

dan tidak terserpentinkan (B)

Gambar 3. Urutan ketahanan mineral terhadap pelapukan 23

Gambar 4. Sketsa perubahan dari batuan asal menjadi laterit 23

Gambar 5. mikroskop polarisasi 34

Gambar 6. Peta Lokasi daerah Sampling 37

Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian 39


Gambar 8. Sampel batuan Peridotit dengan kode sampel 41
(Tow Bed 4 / ST Tow 01)
Gambar 9. Petrografi batuan Peridotit 41
Gambar 10. Sampel batuan Peridotit dengan kode sampel 43
(Tow Bed 12 / ST Tow 02)
Gambar 11. Petrografi batuan Peridotit 43
Gambar 12. Sampel batuan serpentinite dengan kode sampel 44
(Tow Bed 7/ ST Tow 03)
Gambar 13. Petrografi batuan Serpentinite 45
Gambar 14. Sampel batuan Serpentinite kode sampel 46
(Tow Bed 15/ ST Tow 04)
Gambar 15. Petrografi batuan Serpentinite 46

Halaman
Gambar 16. Sampel batuan Grainstone Cristalline kode sampel 47
(Tow Bed 15/ ST Tow 05)
Gambar 17. Petrografi batuan Grainstone Cristalline 48
Gambar 18. Pengambilan sampel soil pada daerah penelitian 49
Gambar 19. Kenampakan soil kedalaman a. 70 cm, b. 140 cm, 51
c. 220 cm, d.300 cm, e. 350 cm
Gambar 20. Grafik senyawa SiO2 53
Gambar 21. Grafik senyawa Al2O3 54
Gambar 22. Grafik senyawa Fe2O3 54
Gambar 23. Grafik senyawa CaO 55
Gambar 24. Grafik senyawa Na2O 56
Gambar 25. Grafik senyawa K2O 57

Gambar 26. Hubungan antara senyawa pada soil 58

Gambar 27. Hasil analisis XRD (X- ray Diffraction) 64

Gambar 28. Grafik hasil CIW (Chamical Indeks Of Weathering) 66


ABSTRAK

VILLA EVA DELVIA.GS. Karakteristik Kimia Dan Mineralogi Pada Lapukan


batuan Ultrabasa Sekitar Danau Towuti Kabupaten Luwu Timur Provinsi
Sulawesi Selatan. ( dibimbing oleh Ratna Husain dan Busthan Azikin)
Penelitian ini bertujuan 1. mengetahui secara geokimia tipe dan jenis
mineral yang terkandung pada tanah dari batuan dasar, 2. menentukan
batuan dasar yang terlapukkan, 3. mengatahui indeks pelapukan pada tanah
yang berada pada lokasi penelitian berdasarkan komposisi kimia.
Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel (soil) dan
pengambilan sampel batuan ultrabasa (badrock). Analisis Petrografi
dilakukan untuk menentukan ciri fisik batuan dan komposisi mineral, Analisis
XRD (X- Ray Diffraction) untuk menentukan mineral hasil pelapukan batuan
dan analisis XRF (X- Ray Fluorescence) menghasilkan konsentrasi elemen
kimia pada soil dimana metode ini dapat menentukan tingkat pelapukan
dengan mengunakan rumus CIW (Chemical Indekx Weathering).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah penelitian indeks
pelapukan kimia (CIW) telah menunjukkan adanya pelapukan yang semakin
besar dengan nilai tingkat pelapukan yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh
kehadiran mineral yang mudah melapuk, seperti piroksin dan plagioklas.
Batuan ultrabasa yang terserpentinkan lebih lama terlapukkan, dibandingkan
batuan ultrabasa yang tidak terserpentinkan. Pelapukan pada batuan ini
menyebabkan unsur-unsur yang bersifat mobile terdeplesi sedangkan unsur-
unsur dengan mobilitas rendah sampai immobile yang mengalami
pengkayaan secara residual dan sekunder.

Kata Kunci : Batuan ultrabasa, tanah, pelapukan kimia, Indeks pelapukan.


ABSTRACT

VILLA EVA DELVIA.GS. Chemical And Mineralogical Characteristics Based


On Residual Soil Ultramafic Rocks In Towuti Lake Around East Luwu
Regency South Sulawesi Province. (Supervised by Ratna Husain and
Busthan Azikin)
The aims of the research were 1. To analyze geo chemical types
and kinds of mineral consist in the residual soil from bedrock, 2. To
determine the bedrock of the weathering, 3. To analyze wheathering indexes
of residual soil in survey area on chemical composition.
Sampling method was laterite soil sampling (soil) and sampling of
ultramafic rocks (badrock). Petrograpic analysis was used to determine the
physical characteristics of rock and mineral composition, XRD (X-Ray
Diffraction) for the product of weathering, and XRF (X-Ray Fluorescence) to
produce a concentration of chemical elements in the soil. Degree of
weathering can be determined by CIW (Chemichal Index Weathering
Formula
The results of the research indicated the CIW on the area of the
research with high level. It was influenced by the presence of easily decay
minerals like piroksin and plagioclase. More serpentinisation of long
ultramafic rocks weathering compared to ultramafic rocks without
serpentinisation. Weathering on the rocks caused all elements that are
mobile there depleted where as elements with low mobility to immobile
enrichment residual and secondary enrichment.

Keywords: Utramafic rocks, soil, chemical weathering, weathering index.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan daerah beriklim tropis yang terletak pada lokasi

geografis khatulistiwa, menyebabkan sebagian wilayah di Indonesia ditutupi

oleh sisa tanah dari pelapukan batuan yang berlangsung intensif. Tanah

sebagai hasil pelapukan batuan di daerah perbukitan dapat menimbulkan

permasalahan yang dapat menyebabkan bencana geologi. (Wesley, 2012)

Identifikasi karakterstik kimia dan mineralogi sangat menarik untuk

dianalisis, karena hasil dari analisis tersebut khususnya pada daerah

penelitian yakni pada sekitar danau towuti, kita dapat mengetahui batuan

yang mudah melapuk baik pelapukan kimia, maupun pelapukan fisika.

Sehingga kita dapat mengetahui tipe dan jenis mineral yang terkandung

pada soil dari batuan dasar dan jenis batuan dasar yang terlapukkan serta

penentuan indeks pelapukan pada soil.

Kondisi geologi bawah permukaan merupakan hal yang penting

untuk diketahui. Di mana untuk mengetahui keadaan geologi bawah

permukaan dapat mengunakan metode deskripsi, metode statistik pada

pengambilan sampel dengan metode parit uji dan sumur uji. Penerapan

metode tersebut untuk mengetahui, komposisi kimia, struktur batuan, struktur


geologi dan ciri fisik tanah laterit. Hasil deskripsi tersebut akan dipadukan

dengan hasil analisis laboratorium yang digunakan untuk mengetahui

karakteristik kimia dan mineral pada batuan ultrabasa yang diakibatkan oleh

proses pelapukan.

Metode penelitian ini mengunakan analisis petrografis (sayatan tipis)

untuk mengetahui ciri fisik batuan dalam hal ini mendeskripsikan sampel

batuan ultrabasa (bedrock) sehingga kita dapat mengetahui komposisi

mineral pada batuan yang akan diteliti. Analisis XRD untuk mengetahui

mineral hasil pelapukan dan analisis XRF untuk penentuan senyawa yang

terkandung pada soil. Penelitian ini menarik untuk diteliti karena

menghubungkan antara karakteristik kimia dan karakteristik mineral batuan

yang diakibatkan oleh proses pelapukan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik mineral penyusun batuan dasar (bedrock) dengan

menggunakan metode petrografis.

2. Bagaimana identifikasi jenis batuan dasar yang tersingkap pada daerah

penelitian.

3. Bagaimana karakteristik kimia tanah (soil) dengan menggunakan analisis

kimia X-ray Diffraction dan X-ray Fluoresence yang ditinjau dari indeks

pelapukan.
C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

1. Bagaimana karakteristik geokimia tipe dan jenis mineral yang terkandung

pada soil dari batuan dasar.

2. Bagaimana menentukan batuan dasar yang terlapukkan pada daerah

penelitian.

3. Menentukan indeks pelapukan pada tanah (soil) yang berada pada lokasi

penelitian berdasarkan komposisi kimia.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan mineral-mineral yang terdapat pada batuan ultrabasa yang

bernilai ekonomis.

2. Sebagai informasi untuk mengetahui karakteristik kimia dan mineral akibat

proses pelapukan khususnya pada batuan ultrabasa daerah sekitar Danau

Towuti kecamatan Towuti Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi

Selatan.

3. Sebagai bahan rujukan untuk penelitian yang sama pada kondisi geologi

yang berbeda.
E. Ruang lingkup

Ruang lingkup penelitian meliputi pengamatan data lapangan dan analisis

data lapangan, untuk mengetahui mineral pada batuan dasar dengan kadar

mineral pada soil di daerah penelitian. Penelitian ini menggunakan metode

measuring section pada pengambilan sampel soil dan pengambilan sampel

secara random pada sampel bedrock. Identifikasi kandungan mineral batuan

dengan analisis petrografi, dan penentuan jenis mineral berdasarkan

analisis XRD (X-ray Diffraction) serta penentuan tingkat pelapukan batuan

didasarkan pada unsur terlapuk dengan analisis XRF (X-Ray Fluoressence).

F. Definisi Dan Istilah

1. Pelapukan merupakan proses alamiah akibat bekerjanya gaya-gaya

eksogen baik secara fisik maupun kimiawi yang mengakibatkan

pemecahan dan transformasi batuan serta mineral-mineral penyusun

menjadi material lepas (regolith) di permukaan bumi.

2. soil sebagai lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang

telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga

membentuk regolit yaitu lapisan partikel halus.

3. Batuan beku ultrabasa batuan beku yang secara kimia mengandung

kurang dari 45% SiO2 dari komposisinya. Kandungan mineralnya

didominasi oleh mineral-mineral berat dengan kandungan unsur-unsur


seperti Fe (besi/iron) dan Mg(magnesium) yang disebut juga mineral

ultramafik

G. Peneliti Terdahulu

Penelitian yang telah dilakukan di daerah danau Towuti yakni :

 Simandjuntak, Rusmana, Surono dan Supandjono, 1979/ 1980, meneliti

tentang geologi regional yaitu Mendala Geologi Sulawesi Timur dan

Mandala Geologi Sulawesi Barat secara regional Lembar Malili.

 Golightly, J.P., Atmadja, R.S., and Wahyu, B.N., 1979 , Mafic and

Ultramafik Rock Association in The East Acr of Sulawesi, Proceedings ITB

Vol. 8, No. 2, Bandung.

 Ahmad, Waheed., 2006, Penampang Laterit Sorowako East Block dan

West Block, Laterit Sorowako.

 Ahmad, Waheed., 2006, Laterite: mine geologi at PT. International Nickel

Indonesia. Sorowako, South Sulawesi.

 Ahmad, Waheed., 2006. Laterite : Fundamental Of Chemistry, Mineralogy,

Weathering prosses and laterite information. PT. International Nickel

Indonesia : Sorowako, South Sulawesi.

 Adi Tonggiroh., 2009, Presisi lapisan Endapan Nikel Laterit Berdasarkan

Model Geokomia batuan Ultramafik Daerah Sorowako Sulawesi Selatan.,

Jurnal Penelitian Engineering vol 12 no 2.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional

Beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai proses tektonik dan

geologi daerah Sorowako, antara lain adalah Sukamto (1975), yang

membagi Pulau Sulawesi dan sekitarnya terdiri dari 3 Mandala Geologi yaitu

:1. Mandala Geologi Sulawesi Barat, dicirikan oleh adanya jalur gunung api

Paleogen, 2. Intrusi Neogen dan sedimen Mesozoikum. Mandala Geologi

Sulawesi Timur, dicirikan oleh batuan ofiolit yang berupa batuan ultramafik

peridotite, harzburgit, dunit, piroksenit dan serpentinit yang diperkirakan

berumur kapur. 3. Mandala Geologi Banggai Sula, dicirikan oleh batuan

dasar berupa batuan metamorf Permo-Karbon, batuan batuan plutonik yang

bersifat granitis berumur Trias dan batuan sedimen Mesozoikum. Geologi

regional daerah penelitian terbagi atas geomorfologi, struktur geologi, dan

secara stratigrafi tersusun atas batuan ultramafik, endapan danau dan

alluvium. Dapat dilihat pada gambar 1 peta geologi regional Lembar Malili

(Simanjuntak dkk 1982).

1. Geomorfologi

Morfologi daerah ini dapat dibagi atas empat satuan : Daerah

Pegunungan, Daerah Perbukitan, Daerah Karst dan Daerah Pedataran.

Daerah Pegunungan menempati bagian barat dan tenggara lembar peta. Di


bagian barat terdapat 2 rangkaian pegunungan: Pegunungan Tineba dan

Pegunungan Koro-Ue yang memanjang dan barat laut - tenggara, dengan

ketinggian antara 700-3016 m di atas permukaan laut dan dibentuk oleh

batuan granit dan malihan. Sedangkan di bagian tenggara lembar peta terda

pat Pegunungan Verbeek dengan ketinggian antara 800 - 1346 m di atas

permukaan laut, dibentuk oleh batuan ultramafik dan batugamping. Puncak-

puncaknya antara lain G. Baliase (3016 m), G. Tambake (1838 m), Bulu

Nowinokel (1700 m), G. Kaungabu (1760 m), Buhi Taipa (1346 m), Bulu

Ladu (1274 m), Bulu Burangga (1032 m) dan Bulu Lingke (1209 m). Sungai-

sungai yang mengalir di daerah ini yaitu S. Kataena, S. Pincara, S.

Rongkong. S. Larona dan S. Malili merupakan sungai utama. Pola aliran

sungai umumnya dendritik.

Daerah Pebukitan menempati bagian tengah dan timur laut lembar peta

dengan ketinggian antara 200 - 700 m di atas permukaan laut dan

merupakan pebukitan yang agak landai yang terletak di antara daerah

pegunungan dan daerah pedataran. Pebukitan ini dibentuk oleh batuan

vulkanik, ultramafik dan batupasir. Puncak-puncak bukit yang terdapat di

daerah ini di antaranya Bulu Tiruan ((630 m), Bulu Tambunana (477 m) dan

Bulu Bukila (645 m). Sungai-sungai yang bersumber di daerah pegunungan

mengalir melewati daerah ini terus ke daerah pedataran dan bermuara di

Teluk Bone. Pola alirannya dendrit. Daerah Kars menempati bagian timurlaut

lembar peta dengan ketinggian antara 800 - 1700 m dari permukaan laut

dan dibentuk oleh batugamping. Daerah ini dicirikan oleh adanya dolina,
“Sinkhole” dan sungai bawah permukaan. Puncak yang tinggi di daerah m di

antaranya Butu Wasopute (1768 m) dan Pegunungan Toruke Empenai (1185

m). Daerah Pedataran menempati daerah selatan lembar peta, mulai dan

utara Palopo, Sabbang, Masamba sampai Bone-Bone. Daerah ini

mempunyai ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut dan

dibentuk oleh endapan aluvium. Pada umumnya merupakan daerah

pemukiman dan pertanian yang baik. Sungai yang mengaliri di daerah ini

diantaranya S. Pompengan, S. Rongkong dan S. Kebu, menunjukkan proses

berkelok. Terdapat morfologi pola aliran sungai subdendritik dengan air

terjun di beberapa tempat, terutama di daerah pegunungan, aliran sungai

yang deras, serta dengan memperhatikan dataran yang agak luas di bagian

selatan peta dan adanya sungai utama, semuanya menunjukkan morfologi

dewasa. (Simanjuntak, dkk 1982).

2. Stratigrafi

Daerah penelitian terdiri atas kompleks ultrabasa, Endapan Danau dan

Aluvium, termasuk dalam Geologi Lembar Malili, Menurut Simandjuntak, dkk

(1982), bahwa stratigrafi daerah sekitar Danau Towuti tersusun oleh batuan

yang dijelaskan berdasarkan urutan umur dari yang tertua hingga termuda

sebagai berikut :

Melange Wasuponda (MTmw): Terdiri dari bongkahan asing, sekis, batuan

mafik, amfiboilt, diabas, malihan, batuan ultrabasa, batugamping terdaunkan


dan eklogit; berukuran dari beberpa sentimeter sampai puluhan meter,

bahkan ratusan meter; terutama dalam masa dasar lempung merah bersisik

yang sering menunjukan perdaunan, (Simandjuntak, 1980), Berdasarkan

ketiadaan bongkah asing yang berumur Tersier, diperkirakan satuan ini

terbentuk datam jalur penunjaman Zaman Kapur. Ketebalan sulit ditentukan;

hubungannya dengan batuan ultrabasa dan Formasi Matano berupa

hubungan tektonik. Singkapan baik terdapat di daerah Wasuponda di barat

daya Danau Matano.

Kompleks Ultrabasa (MTosu): Terdiri dari harzburgit, lherzolit, wehrlit,

websterit, serpentinit dan dunit. Harzburgit, berwarna hijau sampai

kehitaman; holokristalin, Mineralnya halus sampai kasar, terdiri atas olivin

(60%) dan piroksen (40%). Di beberapa tempat menunjukkan struktur

perdaunan. Hasil penghabluran ulang pada mineral piroksen dan olivin

mencirikan batas masing-masing kristal bergerigi. (Simandjuntak, dkk, 1982),

Lherzolit, berwarna hijau kehitaman; holokristalin. Mineral penyusunnya

ialah olivin (45%), piroksen (25%), dan sisanya epidot, klorit dan bijih dengan

mineral berukuran halus sampai kasar. Wehrlit, bersifat padu dan pejal;

kehitaman; bertekstur afanitik. Batuan ini tersusun oleh mineral olivin,

serpentin, piroksen. Serpentin berupa mineral hasil ubahan olivin.

Websterit, berwarna hijau kehitaman; holokristalin. Batuan ini terutama

tersusun oleh mineral olivin yang berukuran halus sampai sedang. Juga

ditemukan mineral serpentin, klorit, serisit dan mineral kedap cahaya.


Batuan ini telah mengalami penggerusan, hingga di beberapa tempat

terdapat pemilonitan dalam ukuran sangat halus yang memperlihatkan

struktur kataklas.

Serpentinit berwarna kelabu tua sampai kehitaman; Batuannya bertekstur

afanitik dengan susunan mineral antigorit, lempung dan magnetit. Umumnya

memperlihatkan struktur kekar dan cermin sesar yang berukuran

megaskopis. Dunit, kehitaman; padu dan pejal, berteksur afanitik. Mineral

penyusunnya ialah olivin, piroksen. plagioklas, sedikit serpentin dan

magnetit; berbutir halus sampai sedang. Mineral utama Olivin berjumlah

sekitar 90%: Tampak adanya penyimpangan dan pelengkungan kembaran

yang dijumpai pada piroksen. mencirikan adanya gejala deformasi yang

dialami oleh batuan ini. Di beberapa tempat dunit terserpentinkan kuat yang

ditunjukkan dari struktur sisa seperti jaring pada mineral olivin dan piroksen.

Formasi Matano (Kml): Formasi Matano bagian bawah ditempati oleh

batugamping berlapis dengan lensa rijang, sedang bagian atas merupakan

perselingan antara batugamping pejal dan terhablur ulang, napal dan serpih

dengan lensa batusabak dan rijang. (Simandjuntak, dkk, 1982),

Batugamping, berwarna putih sampai kelabu; berupa endapan

kalsilutit yang telah menghablur ulang dan berbutir halus, perlapisán sangat

baik dengan ketebalan lapisan antara 10 - 15 cm; di beberapa tempat

dolomitan; di tempat lain mengandung lensa rijang setempat perdaunan.


Napal, berwarna kelabu sampai kecoklatan; berlapis baik dengan

tebal lapisan sampai 15 cm. Di beberapa tempat terdapat lensa rijang dan

sisipan batusabak.

Serpih, berwarna kelabu; pejal dan padat berlapis baik dengan

ketebaan lapisan sampai 5 cm.

Rijang berwarna kelabu sampai kebiruan dan coklat kemerahan; pejal

dan padat. berupa lensa atau sisipan dalam batugamping dan napal;

ketebatan sampai 10 cm.

Batusabak, berwarna coklat kemerahan; padat dan berupa sisipan

dalam serpih dan napal, ketebalan sampai 10 cm. Berdasarkan kandungan

fosil batugamping, yaitu Globotruncana sp dan Heterohelix sp, serta

radiolaria dalam rijang, Formasi Matano diduga berumur Kapur Atas.

Satuan ini diendapkan dalam lingkungan laut dalam. Sebaran formasi

antara daerah Ulu Uwoi dan Balu Wasopute, memanjang pada arah

baratdaya-timurlaut dan S. Bantai Hulu sampai Pegunungan Tometindo.

Ketebalan seluruh lapisan mencapai 550 m. Hubungan dengan Komplek

Ultramafik berupa sesar naik; biasanya berupa suatu lajur termilonitkan atau

terserpentinkan yang bisa mencapai puluhan meter tebalnya. Koolhoven

(1930)

Formasi Larona (Tpls): Terdiri dari Konglomerat, batupasir, batulempung

dengan sisipan tufa. Konglomerat, kelabu sampai kelabu hitam; komponen

berupa batuan ultramafik, batugamping terdaunkan, kuarsit, rijang berukuran


10-30 cm, membulat tanggung sampai membulat, terekat padat oleh

batupasir kasar kecoklatan.

Batupasir berwarna kelabu sampai coklat, berbutir kasar, cukup

aperlapisan baik, di beberapa tempat menunjukkan perlapisan bersusun;

tebal tiap lapisan sampai 20 cm.

Lempung berwarna kelabu, berlapis baik, berupa sisipan dalam

konglomerat atau batupasir; padat, gampingan dan mengandung fosil

Gastropoda, tebal tiap lapisan sampai 10 cm. Tufa berwarna kelabu, berbutir

halus dan kompak, berupa sisipan dalam batupasir, ketebalan mencapai 10

cm.

Formasi Larona berumur Miosen Akhir-Pliosen. Satuan batuan ini

diendapkan dalarn lingkungan laut dangkal sampai laut dalam. Formasi

Laorana tertindih secara tidak selaras oleh endapan danau dan aluvium

(Simanjumtak, 1980).

Endapan Danau (Ql) : Terdiri dari lempung, pasir dan kerikil. Lempung

menunjukkan penlapisan karena perbedaan warna dan agak mengeras,

tebal lapisan antara beberapa sampai 100 mm. Pasir dan kerikil, kelabu

hingga hitam, kurang padat, mengandung banyak sisa tumbuhan. Perlapisan

cukup baik, dengan tebal lapisan antara beberapa hingga 20 cm. Sebaran

satuan meliputi daerah di selatan Danau Poso, sekitar Danau Matano,

Danau Mahalona dan Danau Towuti. Tebal satuan diperkirakan puluhan

meter. (Simandjuntak, dkk, 1982).


32

B. Landasan Teori

Jejak pergerakan lempeng yang membentuk geologi Sulawesi

tercetak jelas di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Kota kecil di sisi timur Sulawesi Inilah singkapan batuan ultrabasa atau

ultramafik yang menyusun kompleks East Sulawesi Ophiolite,

menunjukkan hamparan batuan berwarna hitam kehijauan di perbukitan

sekitar Danau Matano. East Sulawesi Ophiolite terbentang dari Luwu

Timur, bagian tengah Poso-Morowali, Sorowako, hingga Sulawesi

Tenggara. East Sulawesi Ophiolite, merupakan salah satu jalur ofiolit

terbesar di dunia setelah Oman dan Papua Nugini. (Simandjuntak,

dkk. 1980).

1. Batuan Ultrabasa

Batuan penyusun daerah penelitian salah satunya adalah batuan

Ultrabasa dimana batuan beku ultrabasa adalah batuan beku yang secara

kimia mengandung kurang dari 45% SiO2 dari komposisinya. Kandungan

mineralnya didominasi oleh mineral-mineral berat dengan kandungan unsur-

unsur seperti Fe (besi/iron) dan Mg (magnesium) yang disebut juga mineral

ultramafik. Batuan ultrabasa series ofiolit yang sebagian terserpentinkan dan

tersingkap ke permukaan kemudian terlapukan secara kimiawi, dipengaruhi

oleh faktor kekar, air permukaan, stabilitas mineral, mobilitas unsur dan pH,

menyebabkan terurainya ikatan ion, termobilisasi unsur dan pembentukan

mineral baru yang lebih stabil, Batuan beku ultrabasa hanya dapat terbentuk
33

secara plutonik, dikarenakan materi magma asalnya yang merupakan

magma induk (parent magma) yang berasal dari asthenosfer. Kehadiran

mineralnya seperti olivin, piroksin, hornblende, biotit dan sedikit plagioklas.

Pada batuan beku ultrabasa hampir tidak ditemukan mineral kuarsa.

(Carpenter et al.,1978).

Batuan ultrabasa di jalur ofiolit ini berasal dari kerak samudra yang

terangkat karena proses tumbukan lempeng jutaan tahun lalu. Karena

terangkat lalu tersingkap, perlahan batuan mengalami pelapukan. Dari

lapukan batuan ultrabasa ini, ada banyak mineral yang bisa diambil, di

antaranya nikel, kobalt, mangan, bijih besi, dan kromit, Karena kita berada di

daerah tropis yang mendapat banyak hujan dan panas matahari, pelapukan

batuan ultrabasa pun sangat tinggi.

keberadaan batuan ultrabasa di East Sulawesi Ophiolite sudah menjelaskan

bahwa tumbukan lempeng di masa lalu yang sedemikian dahsyat adalah

penyebab terjadinya pengangkatan kerak samudra sehingga membawa

batuan ultrabasa bercampur dengan batu gamping. East Sulawesi Ophiolite

adalah bukti nyata kebenaran teori pergerakan lempeng Bumi (Tutuko,

2012).

2. Soil

soil merupakan hasil proses pelapukan yang terjadi karena perubahan

dan pemecahan batuan dan materi pada atau dekat permukaan bumi oleh

dekomposisi kimia dan disintegrasi fisik, yang dapat disebabkan oleh proses

fisika, kimia dan/atau biologi. Pelapukan ini akan menghasilkan batuan


34

sedimen atau tanah residual (residual soil) dari proses pelarutan atau

penghancuran batuan (source rocks) dari batuan sedimen, batuan beku atau

batuan metamorf. Proses pelapukan akan menghancurkan batuan atau

bahkan melarutkan sebagian dari mineral untuk kemudian menjadi soil atau

diangkut dan diendapkan sebagai batuan sedimen klastik. Sebagian dari

mineral mungkin larut secara menyeluruh dan membentuk mineral baru.

Inilah sebabnya dalam studi soil atau batuan klastika mempunyai komposisi

yang dapat sangat berbeda dengan batuan nya. Komposisi soil tidak hanya

tergantung batuan induk (nya), tetapi juga dipengaruhi oleh alam, intensitas

dan waktu lama pelapukan dan proses jenis pembentukan soil itu sendiri

(Boggs, 1995). Tanah yang terbentuk karena adanya proses pelapukan

batuan dimana tanah leterit merupakan jenis tanah yang telah mengalami

proses pencucian oleh air hujan sehingga warnanya kemerah-merahan atau

kekuning-kuningan. Kadar bahan organiknya juga rendah akibat proses erosi

dan pencucian yang berlangsung dalam waktu yang lama (Mohr et al., 1972).

Ahli geologi mendefinisikan soil sebagai lapisan permukaan bumi yang

berasal dari bebatuan yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh

gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit yaitu lapisan partikel halus.

Sifat-sifat soil bergantung pada dua faktor utama, yaitu komposisi serta

struktur. Komposisi meliputi sifat-sifat butir sendiri, yaitu ukuran, bentuk,

serta jenis mineral dan struktur meliputi keadaan asli soil setempat meliputi

kepadatan, gaya tarik menarik yang kuat antara butir (Wesley, 2012).
35

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sifat soil dan cara lain untuk

menilai dan mengklasifikasikan soil, antara lain :

Besar butir : batuan yang mengalami pelapukan digunakan sebagai

klasifikasi soil, pada soil berbutir halus ternyata tidak ada lagi hubungan

secara langsung antara perilaku soil dengan ukuran butir. Pada soil berbutir

halus akan memperlihatkan sifat kohesi, plastis dengan ukuran butir 0.002

mm, sehingga cara pengujian yang mengukur sifat ini merupakan petunjuk

yang berguna tentang perilaku tanah tersebut (Wesley, 2012).

Klasifikasi Tanah : menggunakan metode USCS (Unified Soil Classification

System) butiran dibedakan 3 fraksi ;

- pasir (sand) berukuran 4,75-0,074 mm

- Lanau (silt) berukuran 0,074-0,01 mm

- Lempung (clay) berukuran ˂0,01 mm.

Ukuran butir tanah sangat bervariasi sebagai campuran berbagai butiran,

sehingga tanah dapat disebut tanah bergradasi baik, tanah bergradasi

seragam dan penggolongan butirnya, tergantung dari butir yang lolos pada

ayakan no.200 lebih dari 50 % dimasukkan sebagai tanah berbutir halus,

dansebaliknya jika 50% butirannya tertahan pada ayakan no.200

digolongkan berbutir kasar.

Karakteristik soil dapat diketahui dari beberapa sifat dinamika sebagai berikut

Kondisi fisis dari suatu tanah berbutir halus pada kadar air tertentu,

yakni batas keadaan plastis tanah, dimana tahapan plastis, lempung


36

dapat mengalami perubahan bentuk tanpa terjadi retak atau pecah.

Batas paling penting adalah batas cair = batas cair pada ketukan 25

(Liquid Limit), batas plastis (Plastic Limit), dan parameter ketiga yang

ditentukan dari batas plastis dan batas cair, yaitu panjang daerah

interval kadar air tanah pada kondisi plastis disebut Indeks Plastisitas

(Plastisity Index ; PI).

PI = (LL – PL) ; dimana : PI = Plastis Indeks ( % );

LL = Liquid Limit ( % )

PL = Plastis Limit ( % )

Soil merupakan produk residual pelapukan kimia pada batuan ultrabasa,

proses ini berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultrabasa

tersingkap di permukaan bumi. Pelapukan pada peridotit menyebabkan

unsur-unsur dengan mobilitas rendah sampai immobile seperti Ni, Fe dan Co

mengalami pengayaan secara residual dan sekunder (Golightly, 1981).

Menurut Golithly (1981) endapan laterit yang berkembang di daerah

Sorowako dapat dibedakan menjadi dua kategori (gambar 2) yaitu:

1. Endapan laterit yang berkembang pada batuan dasar (bedrock) yang

tidak mengalami proses serpentinisasi (unserserpentinized) yang dikenal

dengan West type.

2. Endapan laterit yang berkembang pada batuan dasar yang menggalami

serpentin 20% sampai 80% pada mineral olivin East type.


37

Gambar 2. Jalur pembentukan batuan terserpentinkan (A) dan tidak


terserpentinkan (B)

3. Pelapukan

Pelapukan tanah dan mineral yang melalui kontak dengan atmosfer bumi,

biota dan air, terjadi pada tempat sama, tanpa melalui pergerakan atau

belum mengalami transportasi. Dua klasifikasi penting yakni pelapukan

fisik(mechanical weathering) dan pelapukan kimia (chemical weathering),

masing-masing biasanya melibatkan komponen biologis. Proses kimia, fisika

dan biologi merupakan proses pelapukan yang sulit di bedakan dilapangan,

oleh karena ketiganya dapat bekerja bersama-sama pada suatu batuan

(Boggs, 1995).

Pelapukan merupakan proses alamiah akibat bekerjanya gaya-gaya

eksogen baik secara fisik maupun kimiawi yang mengakibatkan pemecahan

dan transformasi batuan serta mineral-mineral penyusun menjadi material

lepas (regolith) di permukaan bumi (Hakim, dkk 1986)


38

a. Proses Pelapukan Kimia

Pelapukan kimia (chemical weathering) : merupakan proses

pelapukan yang dapat mengubah komposisi kimia batuan dan mineralogi

suatu batuan (dekomposisi), sehingga sebagian atau seluruh komposisi

dalam batuan menjadi rusak atau larut oleh air, kemudian bereaksi dengan

udara (O2 atau CO2), menyebabkan unsur mineral yang lain dapat

bergabung dengan unsur setempat membentuk kristal mineral baru. (Boggs,

1995).

Pada pelapukan kimia, air dan gas terlarut memegang peran yang

sangat penting, sedangkan pelapukan kimia sendiri mempunyai peran dalam

semua jenis pelapukan. Hal ini disebabkan karena air ada pada hampir

semua batuan walaupun di daerah kering sekalipun, akan tetapi pada suhu

udara < 300C, pelapukan kimia berjalan lebih lambat. Komposisi mineral

basa pada umumnya akan lebih cepat lapuk dari pada mineral asam.

Sedangkan pada batuan sedimen, kecepatan pelapukan tergantung

komposisi mineral dan bahan semennya. Salah satu mineral yang mudah

lapuk dapat terjadi pada reaksi mineral feldspar menghasilkan lapukan

berupa mineral lempung:

2KAlSi3O8+ 2H+ +H2O --->> Al2Si2O5(OH)4+ 2K+ + 4SiO2

(feldspar) (lempung) (Silika)

sedangkan pada batuan sedimen, kecepatan pelapukan (Gambar 3)

tergantung dari komposisi mineral dan bahan semennya. Mineral penyusun


39

batuan akan mengalami perubahan karena persentuhannya dengan air,

oksigen dan karbon dioksida yang terdapat dalam atmosfer.

Gambar 3. Urutan ketahanan mineral terhadap pelapukan


berdasarkan Reaction Bowen’s Series (1930).

Proses mineralisasi soil karena pelapukan kimia biasanya terjadi karena

adanya ketidakseimbangan air yang dekat permukaan, temperature dan

aktivitas biologi. Pelapukan kimia dapat berupa proses hydrolysis, oxidation,

hydration dan solution, yang akan menghasilkan mineral baru yang berbeda

dari mineral asalnya. (Ahmad 2006) Perubahan mineral-mineral asal dan

pembentukan mineral baru dapat digambarkan pada Gambar 4.


40

Gambar 4. Sketsa perubahan dari batuan asal menjadi laterit (Ahmad, 2006)

Perubahan yang terjadi pada batuan ultrabasa menjadi laterit dengan

tahapan sebagai berikut :

Tahap 1 : Batuan ultrabasa, dominan olivin (forsterit), piroksen (enstantit)

dan serpentin (lizardit), terkekarkan dan terlapukkan daerah sekitar kekar

terlebih dahulu. Mineral serpentin berupa hydrothermal mafic mineral

(Ahmad, 2006) seperti lizardit dan mineral talk. Talk dapat terbentuk karena

ubahan dari serpentin pada temperature 500-625°C, karena proses

hydration, dengan reaksi kimia dibawah ini, melepaskan air dan ion Mg

terlarutkan. 3MgO.2SiO2.2H2O 3MgO.4SiO2.H2O + 3H2O + 3MgO

Serpentin talc + air + ion Mg (Ahmad, 2006)

Tahap 2 : Pelapukan tahap pertama ini akan melepaskan unsur Mg2+ dan

Si2+, Fe, Ni, Al menjadi ion-ion yang bersifat lepas. Mineral olivin akan

terlarutkan lebih dahulu, dilanjutkan oleh piroksen dan serpentin menurut

Golightly (1979, dalam Ahmad, 2006). Olivin yang lapuk, akan membentuk

mineral smektit atau bisa langsung menjadi goethit, sedangkan pelapukan

piroksen dapat menghasilkan talk atau serpentin. 8(MgFe) 2SiO4 + 16H+ + O


41

2Mg 3Si4O10(OH)2 – 2FeO(OH) + 8Mg2+ + 5H2O Olivin Saponit (Taylor &

Eggleton, 2001).

(Fe,Mg)2SiO4 + 5H 2FeOOH + H4SiO4 + Mg2+ .

Olivin + ion hydrogen Goethit + molekul silicic acid + ion Mg (Golightly,

1979)

(Mg, Fe)SiO3 + 2 H+ + H2O + Mg2+ + Fe2+ + H4SiO4

Piroksen + ion hidrogen + air Ion Mg, Fe + molekul silicic acid (Golightly,

1979)

Jika pada proses pelapukan terdapat mineral yang bersifat tidak stabil seperti

olivin (cepat larut) dan mineral yang lebih stabil (tidak mudah larut), maka

cenderung akan terbentuk mineral sekunder, karena adanya ketidakstabilan

yang bersifat ekstrim (Golightly, 1979).

Tahap 3 : Pada tahap ini terjadi proses oksidasi, berupa penambahan O 2-, di

bagian atas laterit dekat permukaan. Pengaruh air permukaan menyebabkan

pH lingkungan bagian atas menjadi lebih asam. Fe akan bersenyawa dengan

oksida dan mengendap sebagai ferri hidroksida (Fe3+), membentuk mineral

goethite FeOOH dan hematit Fe2O3. Cobalt hadir dalam jumlah kecil, Al

yang membentuk mineral bauksit menunjukkan pH pembentukan antara 4 –

8 pada bagian atas laterit. Mineral-mineral yang tidak stabil pada lingkungan

asam menjadi tidak stabil dan terlarutkan. Menurut Golightly (1979) di dalam

Ahmad (2006) dan dikorelasikan dengan pH pembentukan gibbsit, maka

beberapa mineral seperti olivin, piroksen, serpentin, talk dan silica amorf

menjadi mudah larut.


42

Tahap 4 : Pada tahap ini, unsur-unsur yang bersifat mobile sudah melarut

dalam air, dan tinggal beberapa unsur yang bersifat semi mobile seperti Ni

dan Co, menyababkan pH menjadi lebih bersifat asam.

Tahap 5 : Ni pada goethite di zona limonit pada pH rendah menjadikannya

bersifat mobilitas rendah dan cenderung turun ke zona transisi dan zona

saprolit yang mempunyai pH lebih alkalin terhadap kedalaman sehingga

menjadi zona pengayaan. Selain itu Ni, yang menggantikan unsur Mg pada

mineral serpentin, membentuk mineral Ni serpentine atau nickeliferous

serpentine.

H4Mg3Si2O9+3Ni2+ H4Ni3Si2O9 + 3 Mg2+ (Ahmad, 2006)

Serpentine + Ni Ni serpentine + Mg

b. Hasil Proses Pelapukan

Fragmen batuan. Soil yang immature, hasil pelapukan batuan beku,

mengandung fragmen batuan, dan mineral yang tidak stabil seperti biotit,

piroksin, hornblende, dan ca-plagioklas. Sedang soil yang dewasa (mature),

akan mengandung mineral-mineral yang sangat stabil seperti kuarsa,

muskovit dan kemungkinan ortoklas. Stabilitas mineral terhadap proses

pelapukan kimia merupakan kebalikan dari Bowen’s Reaction Series. Mineral

sekunder yang terbentuk oleh proses pelapukan adalah mineral lempung,

oksida atau hidroksida besi, dan aluminium hidroksida. Mineral lempung

yang terbentuk pada proses pelapukan kimia tingkat sedang adalah illit dan

smektit. Sedang pada pelapukan kimia yang intensif akan terbentuk

aluminium hidroksida seperti gibsit. Mineral ini sering sebagai mineral bijih
43

aluminium (aluminium ores). Mineral sekunder yang mengandung besi pada

umumnya adalah mineral gutit, hematit, dan limonit. (Boogs, 1995)

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pelapukan kimiawi yaitu sebagai

berikut. (Ahmad, 2006)

a) Komposisi Batuan

Ada mineral yang mudah bereaksi dengan air, oksigen dan gas asam

arang, ada juga yang sulit. Bagi mineral yang mudah bereaksi dengan air,

oksigen dan gas asam arang akan lebih cepat lapuk daripada mineral yang

sulit bereaksi dengan air, oksigen dan gas.

b) Iklim

Daerah yang iklim basah dan panas, misalnya hujan tropis akan

mempercepat proses reaksi kimia, sehingga batuan menjadi cepat lapuk.

c) Ukuran Batuan

Makin kecil ukuran batuan, makin intensif reaksi kimia pada batuan

tersebut, berarti makin cepat pelapukannya.

d) Vegetasi dan Binatang

Vegetasi dan binatang menghasilkan asam-asam tertentu, misalnya

oksigen dan gas asam arang, sehingga mudah bereaksi dengan batuan dan

mempercepat pelapukan pada batuan.

Jenis-jenis pelapukan kimiawi dapat dibedakan sebagai berikut (Ahmad,

2006):

1) Pelarutan atau penghancuran (Solution/dissolution) yaitu pelapukan

kimia yang disebabkan oleh mineral yang mengalami dekomposisi karena


44

pelarutan oleh air. Contohnya: kuarsa mengalami pelarutan (SiO 2 + 2H2O

Si(OH)4)

2) Hidrolisa yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh air bereaksi

langsung dengan mineral penyusun batuan, terjadi penggantian kation metal

seperti K+, Na+, Ca+, Mg+, oleh ion H+. Dekomposisi mineral yang disebabkan

oleh ion hidrogen diperlihatkan pada contoh mineral Kalium feldspar. Ion

H+ masuk ke dalam Kalium feldspar KAlSi3O8 dan mengganti ion kalium yang

keluar dari kristal dan terlarut. Air yang bercampur dengan sisa molekul

alumunium silikat membentuk mineral lempung Kaolinit {Al4Si4O10(OH)8}.

Hidrolisa K Feldspar: KAlSi3O8 + 4H+ + 2H2O-----> 4K+ + Al4Si4O10(OH)8 +

8SiO2 Kaolinit adalah mineral lempung yang tidak terdapat pada batuan asal

(original rock) dan terbentuk oleh reaksi kimia, dan termasuk regolith. Reaksi

kimia dimana ion dalam mineral digantikan oleh ion-ion H+ dan OH- dalam air,

dinamakan proses hidrolisa, yang umum terjadi pada pelapukan kimia

batuan.

3). Karbonasi yaitu pelapukan yang disebabkan oleh CO2 dan air membentuk

senyawa ion bikarbonat (HCO3) yang aktif bereaksi dengan mineral-mineral

yang mengandung kation-kation Fe, Ca, Mg, Na dan K. Pada proses ini

terjadi dekomposisi pada batuan atau perubahan fisik. Contohnya

dekomposisi batuan gamping, dekomposisi batuan granit, dekomposisi

batuan gabro.

4) . Oksidasi yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh reaksi oksigen

terhadap mineral besi pada batuan, terutama jika batuan dalam keadaan
45

basah. Unsur besi (fe), umum dijumpai dalam mineral pembentuk batuan,

termasuk biotit, augit dan hornblende. Apabila mineral ini mengalami

pelapukan kimia, besi terlepas dan segera teroksidasi dari Fe2+ menjadi

Fe3+ jika ada oksigen. Berlangsungnya oksidasi bersamaan dengan hidrasi

menghasilkan goethit, mineral berwarna kekuning-kuningan. 4FeO + 2H2O +

O2 ------> 4FeO.OH Goethit jika mengalami proses dehidrasi, kehilangan H2O,

menjadi hematit. Hematit (Fe2O3) berwarna merah bata. Reaksi yang

berlangsung adalah: 2FeO.OH ------> Fe2O3 + H2O Intensitas warna-warna

ini pada batuan yang lapuk dan tanah, dapat dipergunakan untuk

mengetahui sudah berapa lama pelapukan berlangsung.

5). Hidrasi yaitu pelapukan kimia yang disebabkan oleh penyerapan air oleh

mineral ke dalam struktur kristal batuan. Contohnya adalah penambahan

molekul air pada hematit yang membentuk gutit, atau pada anhidrit yang

membentuk gipsum.

6). Desiliksi yaitu pelapukan kimia yang di sebabkan oleh hilangnya silikat

pada batuan, terutama basaltit.

7). Pencucian (leaching) Proses lain yang umum dijumpai pada pelapukan

kimiawi adalah leaching, merupakan kelanjutan pengambilan material yang

dapat larut dalam batuan atau regolith oleh air. Oleh karena itu, sering juga

proses ini disebut sebagai proses pelarutan atau dissolution. Contohnya

silika yang terlepas dari batuan oleh pelapukan kimia, sebagian tertinggal

dalam regolith yang kaya akan lempung dan sebagian perlahan-lahan

terlarut di dalam air yang mengalir di dalam tanah. Ion kalium yang terpisah
46

dari batuan, juga terlepas sebagai larutan dalam air. Air dikenal sebagai

pelarut yang efektif dan universal, susunan molekulnya polar. Oleh sebab itu,

mampu melepaskan ikatan ion dalam mineral pada permukaan kontaknya.

Beberapa jenis batuan ada yang dapat larut seutuhnya dan terbawa hanyut.

Contohnya batu garam yang dapat larut seutuhnya. Gypsum dan batu

gamping yang mineral utamanya CaCo3 juga dapat larut, terutama bila airnya

kaya akan asam karbondioksida.

C. Indeks Pelapukan Kimia (Chemical Index Weathering)

umumnya digunakan untuk menentukan profil pelapukan berdasarkan

analisis geokimia terutama menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence).

Secara luas analisis ini digunakan untuk menentukan

komposisi unsur suatu material. Metode ini dipilih untuk mengetahui

kelimpahan unsur kimia, diantaranya unsur oksida pada setiap lapisan soil

tergantung batuan dasarnya (bedrock), kedalaman dan mineraloginya (Jason

et,all, 2003 dalam Haskins, 2006). Beberapa indeks pelapukan kimia yakni :

 Chemical Index of Weathering (CIW) : berdasarkan pada unsur

aluminium yang berasosiasi dengan K-feldspar, kehadiran unsur tersebut

dapat digunakan untuk menentukan tingkat pelapukan yang terjadi

dengan mengkonversi kandungan feldspars yang terubah menjadi clay :

Al2O3
CIW = x 100
Al2O3 + CaO + Na2O + k2O

Peran indeks pelapukan kimia pada dasarnya adalah untuk mengukur

tingkat selama proses pelapukan ( Harnois , 1988 ) . indeks ini kemudian


47

dapat diterapkan dengan standar pelapukan nilai material yang didirikan oleh

sistem klasifikasi pelapukan tertentu yang pada dasarnya dapat berkorelasi

dengan nilai pelapukan tersebut. Untuk keberhasilan penerapan indeks

pelapukan kimia empat faktor penting harus diperhatikan:

 Hanya unsur-unsur yang memiliki perilaku geokimia konsisten selama

pelapukan harus digunakan. beberapa perbedaan dalam literatur

sehubungan dengan konsistensi unsur-unsur tertentu , terutama Al

dan Ti, tetapi umumnya Ca , Na , Mg , K , Si dan Fe dianggap

berguna dalam menilai pelapukan.

 Indeks harus berasal dari tingkat oksidasi dari bahan lapuk

 Hanya unsur-unsur kimia sering dilaporkan dalam analisis harus

dimanfaatkan . Ini berarti bahwa seperti indeks dapat dihitung dan

rutin diterapkan dari analisis standar

 indeks kimia harus relatif mudah digunakan dan sederhana untuk

diterapkan.

d. Pelapukan fisika (mechanical weathering)

pelapukan mekanik adalah proses yang menyebabkan desintegrasi batuan

atau mineral tanpa perubahan kimiawi.

- Pengelupasan ; proses dimana pelapukan melengkung atau membundar

pada bagian luar batuan yang kemudian terlepaskan dari massa batuan

yang lebih besar.

- Jenis lain ; Cracking batuan oleh akar tanaman dan hewan menggali, dapat

berupa penembusan akar tumbuhan kecelah-celah batuan.


48

Faktor efektif yang mempengaruhi pembentukan tanah yakni : Iklim

berpengaruh oleh karena perubahan temperatur, fluktuasi muka air tanah

musiman, gaya gravitasi dan relaksasi tegangan sejajar permukaan

ditambah dengan proses oksidasi dan dekomposisi. Pelapukan akan berjalan

cepat pada daerah yang lembab (humid) atau panas dari pada di daerah

kering atau sangat dingin. Namun secara umum, kecepatan pelapukan kimia

akan meningkat dua kali dengan meningkatnya temperatur setiap 10 0C

(Boogs 1995).

Menurut (Boogs 1995) Batuan dasar (bedrock) adalah bahan dari

mana tanah tersebut mungkin berasal. Keragaman produk pelapukan diwakili

oleh mineral berbeda ditentukan oleh komposisi mineral dalam batuannya.

Pengaruh topografi daerah perbukitan dan pegunungan mempengaruhi cara

pelapukan oleh karena air tanah dapat mengalir ke bawah dengan lancar,

sehingga proses pelapukan yang akan menghasilkan mineral lempung akan

berbeda pada daerah datar.

Anda mungkin juga menyukai