Anda di halaman 1dari 21

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TANGERANG SELATAN

MAKALAH

BELANJA BARANG DAN BELANJA MODAL

Diajukan oleh :
ALMUHAIMIN R. RAMADAN YULIS (4301160031)
FERDIAN SAVENDRA (4301160029)
HARYO NARENDRA PUTRA (4301160028)
HESTY NUR ANJAYANI (4301160017)
IRENE CHRISTINA SIANTURI (4301160051)
NADHELIA SESAR TASYA SELADU (4301160023)

Mahasiswa Program Studi Diploma III Kebendaharaan Negara


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Pelaksanaan Belanja Negara
Tahun 2018
BELANJA BARANG DAN BELANJA MODAL

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP


1. Belanja Barang
Belanja Barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang
dan/atau jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang
dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat di luar kriteria
belanja bantuan sosial serta belanja perjalanan. Belanja barang dipergunakan
untuk:
a. Belanja Barang Operasional merupakan pembelian barang dan/atau jasa
yang habis pakai yang dipergunakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
dasar suatu satuan kerja dan umumnya pelayanan yang bersifat internal.
Jenis pengeluaran terdiri dari antara lain:
 Belanja keperluan perkantoran;
 Belanja pengadaan bahan makanan;
 Belanja penambah daya tahan tubuh;
 Belanja bahan;
 Belanja pengiriman surat dinas;
 Honor yang terkait dengan operasional Satker;
 Belanja langganan daya dan jasa (ditafsirkan sebagai Listrik, Telepon,
dan Air) termasuk atas rumah dinas yang tidak berpenghuni;
 Belanja biaya pemeliharaan gedung dan bangunan (ditafsirkan sebagai
gedung operasional sehari-hari berikut halaman gedung operasional);
 Belanja biaya pemeliharaan peralatan dan mesin (ditafsirkan sebagai
pemeliharaan aset yang terkait dengan pelaksanaan operasional Satker
sehari-hari) tidak termasuk biaya pemeliharaan yang dikapitalisasi;
 Belanja sewa gedung operasional sehari-hari satuan kerja; dan
 Belanja barang operasional lainnya yang diperlukan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
b. Belanja Barang Non Operasional merupakan pembelian barang dan/atau
jasa yang habis pakai dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja
suatu satuan kerja dan umumnya pelayanan yang bersifat eksternal. Jenis
pengeluaran terdiri antara lain:
 Honor yang terkait dengan output kegiatan;
 Belanja operasional terkait dengan penyelenggaraan administrasi
kegiatan di luar kantor, antara lain biaya paket rapat/pertemuan, ATK,
uang saku, uang transportasi lokal, biaya sewa peralatan yang
mendukung penyelenggaraan kegiatan berkenaan;
 Belanja jasa konsultan;
 Belanja sewa yang dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja;
 Belanja jasa profesi;
 Belanja biaya pemeliharaan non kapitalisasi yang dikaitkan dengan
target kinerja;
 Belanja jasa;
 Belanja perjalanan;
 Belanja barang penunjang kegiatan dekonsentrasi;
 Belanja barang penunjang kegiatan tugas pembantuan;
 Belanja barang fisik lain tugas pembantuan; dan
 Belanja barang non operasional lainnya terkait dengan penetapan target
kinerja tahun yang direncanakan.
c. Belanja barang Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pengeluaran
anggaran belanja operasional BLU termasuk pembayaran gaji dan
tunjangan pegawai BLU.
d. Belanja barang untuk masyarakat atau entitas lain merupakan
pengeluaran anggaran belanja negara untuk pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan kepada masyarakat atau entitas lain yang
tujuan kegiatannya tidak termasuk dalam kriteria kegiatan bantuan sosial.

2. Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset dan/atau
menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu
periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi aset tetap/aset
lainnya yang ditetapkan pemerintah. Dalam pembukuan nilai perolehan aset
dihitung semua pendanaan yang dibutuhkan hingga aset tersebut tersedia dan
siap untuk digunakan. Termasuk biaya operasional panitia pengadaan
barang/jasa yang terkait dengan pengadaan aset berkenaan. Belanja modal
dipergunakan untuk antara lain:
a. Belanja modal tanah adalah seluruh pengeluaran untuk pengadaan /
pembelian / pembebasan / penyelesaian, balik nama, pengosongan,
penimbunan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan
sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat
administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah
pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap
digunakan/dipakai.
b. Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran untuk pengadaan
peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan antara
lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya
langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan
dan mesin tersebut siap digunakan. Belanja modal peralatan dan mesin
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan
kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
c. Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran untuk
memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai dengan
gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya
konstruksi, termasuk biaya pengurusan IMB, notaris, dan pajak
(kontraktual). Dalam belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan
pengawasan yang terkait dengan perolehan gedung dan bangunan.
d. Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan adalah pengeluaran untuk
memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai siap pakai
meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang
dikeluarkan sampai jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap
pakai. Dalam belanja ini termasuk biaya untuk penambahan dan
penggantian yang meningkatkan masa manfaat, menambah nilai aset, dan
di atas batas minimal nilai kapitalisasi jalan dan jembatan, irigasi dan
jaringan. Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/
penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan, dan
termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi
dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
e. Belanja modal lainnya adalah pengeluaran yang diperlukan dalam
kegiatan pembentukan modal untuk pengadaan/pembangunan belanja
modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria
belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan,
Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal ini:
kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang
kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk
museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah sepanjang tidak
dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat. Termasuk
dalam belanja modal ini adalah belanja modal non fisik yang besaran
jumlah kuantitasnya dapat teridentifikasi dan terukur.
f. Belanja modal Badan Layanan Umum (BLU) adalah Pengeluaran untuk
pengadaan / perolehan / pembelian aset yang dipergunakan dalam rangka
penyelenggaraan operasional BLU.

B. PERHITUNGAN KAPITALISASI BELANJA BARANG DAN BELANJA


MODAL
Suatu pengeluaran dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya aset
dan/atau bertambahnya masa manfaat/umur ekonomis aset berkenaan. Terkait
dengan kriteria pertama di atas, perlu diketahui tentang pengertian berikut ini:
 Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang
diharapkan dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula
diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada tahun ke-7
pemerintah melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih
dapat digunakan 8 tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur
gedung berubah dari 10 tahun menjadi 15 tahun.
 Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset
tetap yang sudah ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai
output 200 KW dilakukan renovasi sehingga kapasitasnya meningkat
menjadi 300 KW.
 Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap yang
sudah ada. Misalnya, jalan yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh
pemerintah menjadi jalan aspal.
 Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan ukuran
aset yang sudah ada, misalnya penambahan luas bangunan suatu gedung
dari 400 m2 menjadi 500 m2.
2. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya kapasitas,
peningkatan standar kinerja, atau volume aset.
3. Umur pemakaian (manfaat ekonomis) barang yang dibeli lebih dari 12 (dua
belas) bulan;
4. Barang yang dibeli merupakan objek pemeliharaan atau barang tersebut
memerlukan biaya/ongkos untuk dipelihara
5. Perolehan barang tersebut tidak dimaksudkan untuk dijual/dihibahkan/
disumbangkan/ diserahkan kepada masyarakat atau entitas lain di luar
pemerintah.
6. Nilai rupiah pembelian barang material atau pengeluaran untuk pembelian
barang tersebut memenuhi nilai minimum kapitalisasi dengan rincian sebagai
berikut:
Jumlah Harga
No. Uraian Lusin/Set/Satuan
(Rp)

1 Tanah 1
2 Peralatan dan Mesin, terdiri atas:
2. Alat-alat Berat 10.000.000
1
2.2 Alat-alat Angkutan 1.750.000
2.3 Alat-alat Bengkel dan Alat Ukur 750.000
2.4 Alat-alat Pertanian/Peternakan 1.000.000
2.5 Alat-alat Kantor dan Rumah Tangga
Alat-alat Kantor 750.000
Alat-alat Rumah Tangga 500.000
2.6 Alat Studio dan Alat Komunikasi 1.000.000
2.7 Alat-alat Kedokteran 5.000.000
2.8 Alat-alat Laboratorium 2.500.000
2.9 Alat Keamanan 1.000.000
3 Gedung dan Bangunan, yang terdiri atas:
3.1 Bangunan Gedung 15.000.000
3.1
3.2 Bangunan Monumen Bangunan Gedung
15.000.000
4 Jalan, Irigasi dan Jaringan, yang terdiri atas:
3.1
4.1 Jalan, Irigasi dan Jaringan, yg terdiri atas:
Jalan/Jembatan Bangunan Gedung
50.000.000
4.2 Bangunan Air/Irigasi 50.000.000
4.3 Instalasi 50.000.000
4.4 Jaringan 50.000.000
5 Aset Tetap Lainnya, yang terdiri atas:
5.1 Buku dan Perpustakaan *) 100.000
5.
5.2 Barang bercorak kesenian/Kebudayaan/Olahraga 250.000
5.3 Hewan/Ternak dan Tanaman
a. Hewan 300.000
b. Ternak 300.000
c. Tumbuhan Pohon 300.000
d. Tumbuhan Tanaman Hias Ekstra komtabel
6 Konstruksi Dalam Pengerjaan 1

 Contoh Kasus 1:
Pemerintah menetapkan batasan nilai minimal kapitalisasi aset tetap untuk
Peralatan dan Mesin dan Aset Tetap Lainnya adalah sebesar Rp300.000 per
unit. Sementara untuk Gedung dan Bangunan; dan Jalan, Irigasi dan Jaringan
adalah sebesar Rp10.000.000. Pada tahun anggaran 2018, pemerintah
merencanakan membeli 20 unit kalkulator dengan harga Rp250.000/unit. Total
rencana anggaran untuk pembelian 20 unit kalkulator adalah Rp5.000.000.
Dilihat dari jenis barangnya, kalkulator merupakan aset berwujud dan
mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan. Namun, karena kalkulator
tersebut harganya tidak material (nilai kalkulator per unit di bawah batasan
minimal kapitalisasi yang telah ditetapkan yaitu Rp 300.000 per unit untuk
peralatan dan mesin), maka kalkulator tersebut tidak disajikan sebagai Aset
Tetap di neraca. Oleh karena itu, meskipun secara total nilai perolehan 20 unit
kalkulator adalah sebesar Rp5.000.000, anggaran pengeluaran untuk pembelian
kalkulator di APBN tidak diklasifikasikan sebagai Belanja Modal tetapi sebagai
Belanja Barang. Konsekuensinya, realisasi pembelian kalkulator dicatat dan
disajikan pada LRA sebagai Belanja Barang.

 Contoh Kasus 2:
Dalam tahun anggaran 2018, pemerintah merencanakan membeli 3 unit mobil
ambulans yang akan dihibahkan/diserahkan kepada Palang Merah Indonesia
(PMI). Harga satuan mobil adalah sebesar Rp150.000.000, sehingga total
pembelian adalah sebesar Rp450.000.000.
Pengeluaran untuk pembelian 3 mobil ambulans tersebut meskipun tidak
dimaksudkan untuk dijual, tetapi aset tersebut tidak akan menambah aset
pemerintah karena diniatkan untuk diserahkan langsung kepada PMI. Oleh
karena itu, anggaran pengeluaran untuk perolehan 3 mobil ambulans tidak
dicantumkan sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin dalam APBN, tetapi
sebagai Belanja Hibah (Belanja Operasional). Demikian juga realisasi
pengeluarannya dicatat dan disajikan di LRA sebagai Belanja Hibah.

 Contoh Kasus 3:
Kementerian Kesehatan merencanakan membeli peralatan kedokteran. Adapun
komponen biaya untuk perolehan peralatan medis tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Harga beli alat medis Rp 150.000.000
2. Perjalanan dinas Rp 2.000.000
3. Ongkos/transportasi alat medis Rp 5.000.000
4. Biaya uji coba Rp 4.000.000
Total biaya perolehan Rp 179.000.000
Harga perolehan peralatan medis tersebut adalah sebesar Rp179.000.000 yang
berasal dari harga beli peralatan medis ditambah dengan semua biaya yang
dikeluarkan sampai peralatan medis tersebut siap untuk digunakan.
Rencana pengeluaran untuk perolehan peralatan medis (termasuk harga beli alat
medis, perjalanan dinas, ongkos/transportasi alat medis dan biaya uji coba)
dicantumkan dalam APBN sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin sebesar
Rp179.000.000. Demikian juga realisasi untuk perolehan alat medis dicatat dan
disajikan di LRA sebagai Belanja Modal-Peralatan dan Mesin sebesar
Rp179.000.000.

 Contoh Kasus 4:
Pemerintah merencanakan untuk menganggarkan di APBN pengeluaran untuk
perbaikan kantor dengan memperbaiki atapnya yang sering bocor. Rencananya,
atap kantor yang terbuat dari seng akan diganti dengan atap yang lebih baik,
yaitu menggunakan genteng keramik dengan menelan biaya Rp20.000.000.
Sebelum dialokasikan anggaran untuk pengeluaran penggantian atap kantor
perlu dilakukan analisis apakah pengeluaran tersebut dimasukkan sebagai
Belanja Modal atau Belanja Operasional.
Rencana pengeluaran untuk mengganti atap lama dengan atap baru dapat
menambah kualitas atau manfaat dari bangunan. Berarti kriteria pertama
terpenuhi yaitu pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa
manfaat, kapasitas, kualitas dan volume aset yang dimiliki. Demikian juga
kriteria kedua, pengeluaran tersebut memenuhi nilai minimal kapitalisasi untuk
gedung dan bangunan yang ditetapkan sebesar Rp10.000.000
Karena memenuhi kriteria kapitalisasi aset tetap, pengeluaran tersebut harus
dianggarkan di APBN sebagai Belanja Modal-Gedung dan Bangunan sebesar
Rp20.000.000. Konsekuensinya, realisasi pengeluaran belanja tersebut dicatat
dan disajikan pada LRA sebagai Belanja Modal-Gedung dan Bangunan.

C. PUNGUTAN PAJAK DAN POTONGAN LAINNYA TERHADAP


BELANJA BARANG DAN BARANG MODAL (STUDI KASUS)
1. Belanja Barang
Contoh Kasus:
Taufik Hidayat adalah bendahara Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Jakarta yang
beralamat di Jl. Letnan Jenderal S. Parman Kabupaten Purbalingga dengan
NPWP 00.321.675.3-529.000 melakukan transaksi-transaksi sebagai berikut:
a. Pada tanggal 1 Oktober 2015, membeli secara tunai makanan siap saji dari
sebuah restoran untuk keperluan rapat dari sebuah restoran seharga
Rp800.000,00.
b. Pada tanggal 4 Oktober 2015, membeli secara tunai 10 alat-alat tulis kantor
Rp1.100.000,00 dan 10 buku pelajaran umum Rp1.500.000,00 dari toko
buku PERWIRA yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 90
Purbalingga milik Tuan Joko yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
06.325.456.3-529.000 dan telah mempunyai Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak. Tuan Joko menerbitkan Faktur Pajak dengan kode
nomor seri 020.000-15.00000101 pada tanggal 4 Oktober 2015 dengan
nilai PPN Rp110.000,00.
c. Pada tanggal 16 Oktober 2015, membeli bensin dari SPBU Pertamina
untuk keperluan kendaraan dinas seharga Rp500.000,00, membayar
tagihan rekening listrik sebesar Rp1.000.000,00 kepada PLN, serta
membeli benda-benda pos sebesar Rp500.000,00 di sebuah kantor pos.
d. Pada tanggal 18 Oktober 2015, membeli secara tunai 10 buku pelajaran
umum seharga Rp2.500.000,00, 10 pakaian seragam jadi seharga
Rp3.000.000,00 serta pengadaan formulir dan 10 rim kertas untuk ujian
sekolah sebesar Rp2.000.000,00 dari sebuah toko pedagang eceran atas
nama Tuan Bagus yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
06.456.321-2-529.000 dan telah mempunyai Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak. Pembelian tersebut dananya bersumber dari
Bantuan Operasional Sekolah. Tuan Bagus menerbitkan Faktur Pajak
dengan kode nomor seri 020.000-15.00000501 pada tanggal 18 Oktober
2015 dengan nilai PPN sebesar Rp500.000,00.
Atas pembelian-pembelian tersebut, bagaimana kewajiban perpajakannya?
Jawaban:
a. Pembelian makanan siap saji di restoran pada dasarnya harus dipungut PPh
Pasal 22, tetapi karena nilai pembeliannya tdak melebihi Rp2.000.000,00
maka atas pembelian tersebut tdak dipungut PPh Pasal 22. Makanan dan
minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya merupakan jenis barang yang tdak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai sehingga atas pembelian tersebut tidak dipungut PPN.
b. Pembelian 10 alat-alat tulis kantor Rp1.100.000,00 dan 10 buku pelajaran
umum Rp1.500.000,00 dari toko PERWIRA dipungut PPh Pasal 22 karena
total pembelian tersebut telah melebihi nilai Rp2.000.000,00. - PPh Pasal
22 (1,5% x Rp2.600.000,00 ) = Rp39.000,00. Dalam hal Tuan Joko
merupakan Wajib Pajak dengan peredaran bruto tdak melebihi Rp4,8
miliar dalam 1 tahun pajak yang dikenai PPh final dengan tarif sebesar 1%
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013,
dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 sepanjang Tuan Joko dapat
menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh Pasal 22 atas nama Tuan Joko yang telah dilegalisasi oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Buku pelajaran umum merupakan salah satu jenis barang kena pajak yang
dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga bendahara hanya memungut
PPN atas pembelian 10 alat-alat tulis kantor sebesar: PPN (10% x
Rp1.100.000,00) = Rp110.000,00
c. Atas pembelian bahan bakar minyak, listrik, dan benda-benda pos tidak
dipungut PPh Pasal 22. Terkait dengan PPN, dalam hal bahan bakar minyak
dibeli dari Pertamina maka tdak dilakukan pemungutan PPN. Selain itu,
listrik ditetapkan sebagai barang kena pajak tertentu yang dibebaskan dari
pemungutan PPN sehingga atas pembayaran tagihan listrik tdak perlu
dipungut PPN. Sedangkan atas pembelian benda-benda pos karena nilai
pembelian di bawah Rp1.000.000,00 maka tidak dipungut PPN oleh
Bendaharawan, tetapi dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku umum.
d. Atas pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22. Buku
pelajaran umum merupakan salah satu barang kena pajak yang dibebaskan
dari pengenaan PPN sehingga atas pembelian barang tersebut tdak perlu
dipungut PPN. Sedangkan atas pembelian 10 pakaian seragam dan
pengadaan formulir dan 10 rim kertas dipungut PPN sebagai berikut:
- 10 Pakaian seragam (10% x Rp3.000.000,00) = Rp300.000,00
- Formulir & 10 rim kertas ujian (10% x Rp2.000.000) = Rp200.000,00
Jumlah = Rp500.000,00
e. Dalam setap pembuatan dokumen kontrak dan bukti pembayaran,
bendahara sebagai pihak penerima kuitansi terutang bea meterai sebesar:
 Rp3.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp250.000,00 s.d. Rp1.000.000,00;
 Rp6.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp1.000.000,00.

2. Belanja Modal
Contoh Kasus 1:
Pada tanggal 21 Oktober 2015 bendahara satker Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) Purbalingga melakukan pembelian 4 (empat) buah printer seharga
Rp20.000.000,00 dari CV Susanto (NPWP/NPPKP 01.222.355.5-529.000).
SP2D diterbitkan KPPN pada tanggal 23 Oktober 2015. CV Susanto
menerbitkan Faktur Pajak dengan kode nomor seri 020.000-15.00000700
tanggal 21 Oktober 2015 dengan nilai PPN sebesar Rp2.000.000,00.
Bagaimana pengenaan pajaknya?
Jawab:
a. Atas pembayaran printer kepada CV Susanto sebesar Rp20.000.000,00
dipungut PPh Pasal 22 sebagai berikut:
Pembelian printer:
- Harga pembelian Rp 20.000.000,00
- PPh Pasal 22 (1.5% x Rp 20.000.000,00) = Rp 300.000,00
Dalam hal CV Susanto merupakan Wajib Pajak dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak yang dikenai PPh final
dengan tarif sebesar 1% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 46 tahun 2013, dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22
sepanjang CV Susanto dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan
Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Pasal 22 atas nama CV
Susanto yang telah dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar.
b. Atas pembayaran printer kepada CV Susanto sebesar Rp20.000.000,00
dipungut PPN sebagai berikut: PPN (10% x Rp20.000.000,00) Rp
2.000.000,00
c. Dalam setap pembuatan dokumen kontrak dan bukti pembayaran,
bendahara sebagai pihak penerima kuitansi terutang bea meterai sebesar:
 Rp3.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp250.000,00 s.d. Rp1.000.000,00;
 Rp6.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp1.000.000,00.
Contoh Kasus 2:
Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 2015, Taufk Hidayat yang merupakan
bendahara satker Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Purbalingga melakukan
pembelian komputer kepada CV Wijaya dengan harga pembelian
Rp11.000.000,00, (sudah termasuk PPN). CV Wijaya (NPWP/NPPKP
01.562.358.3-529.000) menerbitkan Faktur Pajak dengan kode nomor seri
020.000-15.00000800 pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 21 Oktober 2015.
Berdasarkan tagihan tersebut diterbitkan SPM oleh satker MAN yang diajukan
kepada KPPN untuk membayar tagihan tersebut. SP2D diterbitkan oleh KPPN
pada tanggal 23 Oktober 2015. Bagaimana kewajiban perpajakan yang harus
dilakukan oleh Bendahara mulai dari memungut pajak sampai dengan
melaporkan pajak yang dipungut tersebut?
Jawaban:
a. Atas pembayaran komputer tersebut dipungut PPh Pasal 22 dengan
perincian sebagai berikut:
- Nilai pembelian sudah termasuk PPN.Rp11.000.000,00
- PPh Pasal 22 [1,5%x(100/110xRp11.000.000,00)] = Rp150.000,00
Dalam hal CV Wijaya merupakan Wajib Pajak dengan peredaran bruto tdak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak yang dikenai PPh fnal dengan
tarif sebesar 1% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46
tahun 2013, dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 sepanjang CV
Wijaya dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan
dan/ atau Pemungutan PPh Pasal 22 atas nama CV Wijaya yang telah
dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar.
b. Pemungutan PPN:
- Nilai pembelian sudah termasuk PPN Rp 11.000.000,00
- PPN ( 10/110 x Rp 11.000.000,00 ) Rp 1.000.000,00
c. Bea Meterai
Dalam setap pembuatan dokumen kontrak dan bukti pembayaran,
bendahara sebagai pihak penerima kuitansi terutang bea meterai sebesar:
 Rp3.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp250.000,00 s.d. Rp1.000.000,00;
 Rp6.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp1.000.000,00.

Contoh Kasus 3:
Inspektorat Provinsi Jambi akan melakukan pembangunan gedung kantor
Inspektorat Provinsi. Adapun yang menjadi pemenang tender adalah PT Jaya
Karya sebagai pelaksana konstruksi dan Tuan Zaky, seorang PKP, sebagai
perencana konstruksi. PT Jaya Karya adalah perusahaan konstruksi yang
memiliki kualifkasi usaha menengah (dibuktikan dengan sertifikasi pelaksana
konstruksi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi), sedangkan Tuan
Zaky adalah konsultan sipil yang memiliki sertifikasi untuk perencanaan
konstruksi dengan kualifkasi usaha kecil. Nilai proyek berdasarkan kontrak
adalah sebesar Rp5.000.000.000,00 (tidak termasuk PPN). Pembayaran
dilakukan sesuai dengan progress pembangunan yang dilaporkan. Di tahun
2016, dilakukan pembayaran atas pelaksanaan konstruksi kepada PT Jaya
Karya pada tanggal 22 Juli 2016 sebesar Rp1.500.000.000,00 atas tagihan
tanggal 15 Juli 2016 dengan kode nomor Faktur Pajak 020.000- 16.00000650.
sedangkan pembayaran atas kontrak perencanaan konstruksi kepada Tuan Zaky
dilakukan pada tanggal 5 Juli 2016 sebesar Rp50.000.000,00 atas tagihan
tanggal 4 Juli 2016 dengan kode nomor seri Faktur Pajak 020.000-
16.00000950. Bagaimanakah kewajiban perpajakan yang harus dilakukan?
Jawab:
a. Penghitungan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi
tersebut, yaitu:
Bendahara Inspektorat Provinsi memotong PPh Final atas jasa konstruksi
sebagai berikut:
 Pelaksanaan Konstruksi oleh PT Jaya Karya dibayar pada tanggal 22
Juli 2016: Rp1.500.000.000,00 x 3% = Rp45.000.000,00
 Perencanaan Konstruksi oleh Tuan Zaky dibayar pada tanggal 5 Juli
2016: Rp50.000.000,00 x 4% = Rp2.000.000,00
PPh Final tersebut dipotong dari pembayaran kepada PT Jaya Karya dan
Tuan Zaky.
b. Bendahara Inspektorat Provinsi memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
sebesar 10% dari transaksi jasa konstruksi tersebut.
 Pelaksanaan konstruksi oleh PT Jaya Karya dibayar pada tanggal 22 Juli
2016: Rp1.500.000.000,00 x 10% = Rp150.000.000,00]
 Perencanaan konstruksi oleh Tuan Zaky dibayar pada tanggal 5 Juli
2016: Rp50.000.000,00 x 10% = Rp5.000.000,00
c. Dalam setiap pembuatan bukt pembayaran, bendahara sebagai pihak
penerima kuitansi terutang bea meterai sebesar:
 Rp3.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp250.000,00 s.d. Rp1.000.000,00;
 Rp6.000,00 di setiap bukti pembayaran yang nilai transaksinya di atas
Rp1.000.000,00.

Contoh Kasus 4:
Bendahara Dinas Perhubungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (500.695.74.0-
721.000) akan membangun gedung kantor baru. Untuk keperluan gedung
tersebut, kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah akan
melakukan pembebasan tanah seluas 2.000 m2 yang dimiliki oleh Bapak Nasrun
(14.495.723.0-721.000) seluas 800m2 (NOP 63.07.040.005.451.0010.0) dan
Ibu Mega (08.614.284.0-721.000) seluas 1200m2 (NOP
63.07.040.005.451.0054.0). Nilai pengalihan tanah yang diputuskan oleh
pejabat yang berwenang adalah Rp400.000,00/m2 untuk tanah Bapak Nasrun
dan Ibu Mega. Atas pembebasan lahan tersebut Dinas Perhubungan Kabupaten
Hulu Sungai Tengah menetapkan gant rugi sebesar Rp400.000,00/m2.
Bendahara Dinas Perhubungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Wahyono,
mengajukan SPM kepada KPPN untuk membayar gant rugi pembebasan lahan
kepada Bapak Nasrun dan Ibu Mega. SP2D diterbitkan KPPN pada tanggal 23
September 2016. Bagaimanakah kewajiban perpajakan yang harus dilakukan?
Jawaban:
Atas pembayaran pembebasan tanah untuk pembangunan Kantor Dinas
Perhubungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah tersebut dikenai PPh Final Pasal
4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebesar 0% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau
bangunan.
PPN tidak dipungut oleh bendahara pemerintah dalam hal pembayaran untuk
pembebasan tanah, kecuali atas pengadaan tanah dari real estate atau industrial
estate.

D. MEKANISME PENCAIRAN (LS/UP) DAN KELENGKAPAN DOKUMEN


PENGAJUAN PENCAIRAN BELANJA BARANG DAN BELANJA MODAL
1. Mekanisme Pencairan Uang Persediaan (UP)
Uang persediaan pada hakekatnya adalah uang muka kerja dan pada saat
PPK/Bendahara mengajukan UP belum ada kegiatan transaksi yang membebani
APBN pada satuan kerjanya. Dokumen yang harus dipenuhi ketika Bendahara
mengajukan UP adalah surat Pernyataan dari KPA yg menyatakan bahwa UP
yg dimaksud tidak untuk pengeluaran yg menurut ketentuan harus dengan LS.
UP dapat diberikan dalam batas-batas untuk pengeluaran-pengeluaran belanja
barang (52), belanja modal (53) dan belanja lain-lain (58). Mekanisme
pencairan belanja barang dan belanja modal melalui UP dapat digambarkan
dalam bagan berikut ini.
Tambahan:
 Lampiran SPBy:
1. Kuitansi yang telah disahkan oleh PPK beserta bukti penerimaan
negara (BPN); dan
2. Nota/bukti peneriman barang/jasa atau dokumen pendukung lainnya
yang telah disahkan oleh PPK
 Apabila pembayaran yang dilakukan Bendahara Pengeluaran merupakan
uang muka kerja, maka SPBy dilampiri:
1. Rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran;
2. Rincian kebutuhan dana; dan
3. Batas waktu pertanggungjawaban penggunaan uang muka kerja, dari
penerima uang muka kerja.
 Norma waktu penyelesaian tagihan:
1. Lima hari kerja setelah serah terima pekerjaan, penyedia barang/jasa
menyampaikan tagihan kepada PPK
2. PPK menerbitkan SPP-LS dalam waktu 5 hari kerja
a. SPP-UP/TUP diselesaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja;
b. SPP-GUP diselesaikan paling lambat 4 (empat) hari kerja
c. SPP-PTUP diselesaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja; dan;
d. SPP-LS diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja.
3. PPSPM menyampaikan SPM kepada KPPN paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah SPM diterbitkan.

2. Mekanisme Pencairan Langsung (LS)


Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS artinya pelaksanaan
pembayaran melalui transfer dari rekening kas Negara ke rekening bank
penerima (rekening rekanan yang berhak menerima pembayaran) setelah
memenuhi persyaratan yg ditetapkan. Pembayaran dengan menggunakan
mekanisme LS dilakukan untuk pembayaran selain yang dilakukan melalui
mekanisme UP. Pada prinsipnya semua pembayaran atas beban APBN dapat
dilakukan dengan mekanisme LS namun harus tetap memenuhi persyaratan
kelengkapan dokumen sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mekanisme
pencairan belanja barang dan belanja modal melalui LS dapat digambarkan
dalam bagan berikut ini.
Tambahan:
 Lampiran Tagihan Dari Pihak Ketiga:
a. Kontrak/Surat Perintah Kerja/ Surat Tugas/ Surat Perjanjian / Surat
Keputusan; dan/atau
b. Berita Acara Kemajuan Pekerjaan; dan/atau
c. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan; dan/atau
d. Berita Acara Serah Terima barang/pekerjaan; dan/atau
e. Bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan
 Lampiran SPP-LS:
a. Surat Pernyataan KPA mengenai penetapan rekanan;
b. Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan;
c. Berita Acara Serah Terima Pekerjaan;
d. Berita Acara Pembayaran;
e. Kuitansi yang disetujui oleh KPA/Pejabat yang ditunjuk;
f. Faktur Pajak berikut SSP;
g. Jaminan Bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh bank atau
lembaga keuangan non bank;
h. Ringkasan Kontrak;
i. SPTB.
 Lampiran SPM-LS:
a. ADK,
b. Ringkasan/Resume Kontrak/SPK/SPKS,
c. SPTB,
d. Faktur Pajak dan SSP
 Norma waktu penyelesaian tagihan:
1. Lima hari kerja setelah serah terima pekerjaan, penyedia barang/jasa
menyampaikan tagihan kepada PPK
2. PPK menerbitkan SPP-LS dalam waktu 5 hari kerja
a. SPP-UP/TUP diselesaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja;
b. SPP-GUP diselesaikan paling lambat 4 (empat) hari kerja
c. SPP-PTUP diselesaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja; dan;
d. SPP-LS diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja.
 PPSPM menyampaikan SPM kepada KPPN paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah SPM diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai