MODUL 4 SKENARIO 1
KELOMPOK 3
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam PBL modul satu ini yaitu mengenai luka pada alat kelamin. Kelompok kami
mengharapkan agar pembaca dapat memahami dan mengaplikasikan ilmu yang didapat yaitu
mengenai luka pada alat kelamin.
3
1.4.Kegiatan yang Dilakukan dan Keluarannya
Pada saat melakukan PBL, kelompok kami berdiskusi untuk mempelajari kasus-kasus
yang ada di skenario. Kami melakukan pembelajaran dengan mengikuti tujuh langkah (seven
jumps) utuk dapat menyelesaikan masalah yang kami dapatkan.
Kelompok kami telah melakukan diskusi pada pertemuan pertama dan kami telah
menyelesaikan 5 langkah dari 7 langkah yang ada. Berikut laporan dari hasil yang telah kami
dapatkan :
Seorang laki-laki, 21 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan luka pada kepala
kemaluannya. Lesi tersebut mulai kira-kira 10 atau 15 hari lalu dengan papul yang kemudian
pelan-pelan berubah menjadi borok. Pada pemeriksaan fisik ditemukan: temperatur 37 oc, nadi
80x/menit, pernafasan 16x/menit.
Kalimat sulit
Borok :
Ulkus, luka terbuka pada kulit/sel lendir dan kematian jaringan yang luas dan disertai infasif
kuman saprofit.
Papul :
Lesi :
Diskontinuitas jaringan patologis atau traumatis atau hilangnya fungsi suatu bagian.
Laki-laki 21 tahun
Luka pada kepala kemaluan
Lesi dimulai sejak 10-15 hari yang lalu, awalnya papul kemudian menjadi borok
Pemfis
4
Suhu : 37ᵒC
Nadi : 80x/menit
RR : 16x/menit
5
LANGKAH 4 (Mind Mapping)
LANGKAH 7 ( Pembahasan )
Kelompok kami telah melakukan diskusi kembali pada pertemuan kedua dan kami
telah menyelesaikan langkah yang belum tercapai pada pertemuan sebelumnya. Semua
anggota kelompok kami memaparkan semua hasil yang telah didapatkan pada saat belajar
mandiri. Pemaparan dari langkah teakhir ini akan kami bahas pada Bab II.
6
BAB II
PEMBAHASAN
1. Jelaskan anatomi dan histologi terkait dengan keluhan yang diderita pasien!
2. Apa saja faktor risiko terkait keluhan yang diderita pasien?
3. Jelaskan patomekanisme pada skenario!
7
4. Apa hubungan usia, jenis kelamin dengan keluhan pada skenario?
Sifilis
Dari sini bisa dilihat bahwa berdasarkan usia, sifilis biasanya sering terjadi pada orang
dengan usia dewasa tua sampai dewasa muda. Ini dipengaruhi karena ada nya gaya hidup
khususnya perilaku seks pada usia tersebut.
Ulkus Mole
Herpes genitalis
Pada tahun 2012, jumlah perempuan yang terinfeksi lebih banyak dibanding laki-laki.
8
5. Bagaiaman alur diagnosis pada skenario?
6. Apa saja Diagnosis Banding pada keluhan diskenario?
9
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yag dibutuhkan pada kasus di skenario?
1. Tes sifilis
Pemeriksaan T . Pallidum Mikroskop lapangan gelap (dark field) yaitu dengan
menggnakan sampel dari lesi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
identifikasi 1.
Untuk identifikasi selanjutnya yaitu dengan pemeriksaan serologi, pemeriksaan
serologi ini menggunakan sampel serum darah. Untuk pemeriksaan serologi dibagi
menjadi pemeriksaan spesifik dan non spesifik.
Pemeriksaan non spesifik yang biasanya digunakan untuk tes sifilis adan tes vdrl
(veneral diseases research laboratory). Pada pemeriksaaan vdrl, antigen yang
digunakan adalah kardiolipin yaitu ekstra dari hati sapi. Pada pemeriksaan ini
dapat digunakan untuk skrining.
Pemeriksaan yang spesifik dapat dilakukan dengan TPHA (Treponema Pallidum
Hemoaglutination Assay). Pemeriksaan ini menggunakan antigen dari Treponema.
Hemaglutinasi positif ditandai dengan adanya bulatan berwarna merah
dipermukaan sumur, hasil negatif terlihat seperti titik berwarna merah di tengah
dasar sumur.
10
Tingkatan aglutinasi:
+2 : bulatan merah yang terbentuk tidak besar dan tampak seperti cincin
2. Ulkus Mole
Sampel diambil dari dinding ulkus yg menggaung, Dibuat dengan sediaan hapus
pada gelas objek, pewarnaan Gram.
3. Herpes genital
Sampel diambil dari kerokan jaringan yang diambil dari dasar vesikel yang
diwarnai dengan pewarnaan giemsa ditemuakan sel raksasa multinukleus yang
mengindikasi terdapat herpes virus.
Farmakologi
Sifilis
Konseling
Periksa dan obati pasangan pasien
Abstinensia hingga sembuh
Ulkus mole/Chancroid
Lakukan KIE & Konseling
Sediakan & Anjurkan Kondom
Tawarkan konseling & Tes HIV
Obati pasangan pasien
Herpes Genital
Lakukan KIE & Konseling
Sediakan & Anjurkan Kondom
Tawarkan konseling & Tes HIV, Serta serologi sifilis bila ada fasilitas
11
9. Bagaiamana pencegahan pada kasus di skenario?
Segala jenis aktivitas seksual merupakan faktor risiko penularan sifilis. Walaupun kontak
langsung merupakan faktor risiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat sehingga semua
penderita sifilis dianggap mempunyai potensi menularan sifilis dan harus menggunakan
hubungan seksual yang aman. Penderita asimptomatik yang memerlukan kontrasepsi harus
diberikan pengertian mngenai efikasi barrier untuk mencegah transmisi infesi menular
seksual dan juga HIV. Pasien ini juga memberi pengetahuan tentang perlunya abstinensia
seksual. Pengurangan jumlah partner seksual, dan hubungan seksual yang aman.
Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal; abstensia seksual
pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga terapi pada keduanya selesai dan
respons sirologis yang memuaskan dicapai setelah pengobatan.
Partner notification, yang bertujuan menemukan kontak seksual penderita sifilis dan
memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh petugas terlatih. Pengobatan dini pada
semua kontak seksual sifilis dini dengan 2,4 juta unit benzathine penisilin dapat dilakukan
walaupun kontak seksual tidak mempunyai kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena
sifilis dapat terjadi pada 30% konta seksual yang tes serologisnya negatif. Pengobatan konta
dianjurkan dilakukan pada semua kasus yang kontak seksual dengan penderita sifilis dini
dalam 90 hari terakhir.
12
dan anak-anak akibat paparan saliva dan dengan HSV-2 akibat paparan genito-
digital.
- Herpes gladiatorum: lesi kulit HSV-1 yang tersebar telah ditemukan pada
pegulat yang tertular akibat paparan saliva terinfeksi selama pertandingan.
6. Infeksi viseral
Terjadi akibat viremia dan umumnya dengan keterlibatan multiorgan. Komplikasi
ini bisa terjadi pada infeksi primer asimptomatik ataupun pada pasien
imunokompeten. Pada sebagian besar kasus herpes diseminata, lesi terbatas pada
kulit, namun penyebaran viseral yang fatal dapat terjadi dengan atau tanpa lesi
vesikuler pada kulit. Gambaran klinis yang menonjol adalah hepatitis fulminan,
disertai leukopenia, trombositopenia, dan koagulasi intravaskular diseminata.
Infeksi HSV-1 dan HSV-2 diseminata juga dapat menyebabkan esofagitis,
nekrosis adrenal, pneumonitis interstitial, sistitis, artritis, meningitis, dan
ensefalitis.
7. Infeksi sistem saraf pusat, dapat berupa:
- Meningitis aseptik: berupa meningitis limfositik benigna akut, lebih sering
terjadi pada infeksi HSV-2. Gejala meningeal biasanya mulai timbul 3-12 hari
setelah munculnya lesi genital, mencapai puncaknya 2-4 hari kemudian dan
mereda dalam 2-4 hari sesudahnya. Gambaran sesuai meningitis aseptik dapat
ditemukan pada pemeriksaan cairan serebrospinal. Tanda dan gejala ensefalitis
umumnya tidak dijumpai, dan jarang terjadi gejala sisa neurologis. HSV-2 juga
dapat ditemukan dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) cairan
serebrospinal pasien meningitis limfositik benigna rekuren (Mollaret
meningitis), mengindikasikan kemungkinan HSV sebagai penyebabnya,
sehingga disebut juga sebagai sindrom idiopatik.
- Ganglionitis dan meilitis: infeksi HSV genital dan anorektal dapat disertai
komplikasi, retensi urin, neuralgia, serta anestesia sakral akibat ganglionitis
dan radikulitis. Gejala biasanya mereda dalam 1-2 minggu. Mielitis transversa
jarang terjadi.
- Ensefalitis: berupa suatu acute necrotizing viral encephalitis. Umumnya terjadi
sesudah periode neonatal, biasanya disebabkan oleh HSV-1. Ensefalitis terjadi
sebagai infeksi primer pada 50% kasus dan bisa juga disebabkan oleh infeksi
rekuren atau reinfeksi oleh strain HSV-1 yang berbeda. Gambaran klinisnya,
berupa nyeri kepala, tanda rangsang meningeal, gangguan status mental, dan
kejang umum. Bila terjadi nekrosis fokal pada korteks orbitofrontal, temporal
serta sistem limbik, dapat terjadi anosmia, kehilangan memori, halusinasi
olfaktorius, dan gustatorius serta kejang fokal. Hemiparesis yang memburuk
dengan cepat serta penurunan kesadaran hingga koma bisa terjadi. Pada
beberapa orang, gambaran klinisnya mirip psikosis akut atau delirium tremens.
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal didapatkan pleiositosis sedang dengan
campuran antara sel mononuklear dan polimorfonuklear, jumlah eritrosit
sedang, serta peningkatan kadar protein ringan dengan kadar glukosa normal.
MRI (magnetic resonance imaging) merupakan pemeriksaan pencitraan paling
sensitif, umumnya menunjukkan lesi fokal di area temporal berupa edema dan
penyengatan kontras. Metode non-invasif paling sensitif untuk mendiagnosis
adalah pemeriksaan DNA HSV dengan PCR. Angka kematian cukup tinggi
13
(70%) pada pasien yang tidak diobati, sedangkan pada mereka yang diobati,
insidens gejala sisa neurologisnya cukup tinggi.
8. Herpes genitalis dan kehamilan
Herpes genitalis rekuren: baik pada wanita hamil maupun tidak hamil gambaran
klinisnya sama, meskipun bisa terjadi peningkatan jumlah rekurensi akibat
kehamilan. Herpes genitalis rekuren dijumpai pada 1-2% dari kasus herpes
neonatal. Akan tetapi, adanya lesi genital aktif bukan indikator akurat terjadinya
shedding HSV. Persalinan sesaria direkomendasikan untuk ibu hamil dengan lesi
genital. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
merekomendasikan terapi supresi antiviral untuk semua wanita hamil dengan
riwayat HSV genital rekuren pada 4 minggu akhir kehamilannya. Infeksi genital
primer selama kehamilan: infeksi episode pertama mempunyai konsekuensi lebih
berat untuk ibu dan janinnya, sehingga penting untuk mengidentifikasi wanita yang
berisiko infeksi primer (HSV-2 seronegatif). Wanita hamil dapat mengalami
infeksi diseminata luas dengan mortalitas tinggi (50%). Infeksi pada trimester
ketiga kehamilan dihubungkan dengan infeksi HSV neonatal, hambatan
pertumbuhan intrauterin, dan prematuritas.
9. Penyakit HSV neonatal
Infeksi HSV neonatal disebabkan oleh kontak dengan sekret genital terinfeksi.
Sekitar 90% infeksi didapat saat perinatal, 5-8% didapat kongenital, dan beberapa
diperoleh saat postnatal. Pada 70% ibu, infeksi yang terjadi tidak menimbulkan
gejala. Besarnya risiko penularan dari ibu dengan infeksi primer adalah sekitar
50%. Pada neonatus dan bayi (usia kurang dari 6 minggu), frekuensi infeksi viseral
dan susunan saraf pusat sangat tinggi. Bila tidak diterapi, mortalitasnya sekitar
65% dan bisa timbul gejala sisa neurologis berat. Penyakit dapat mengenai kulit,
mata, atau mulut. Bisa juga muncul sebagai ensefalitis atau penyakit viseral
diseminata yang mengenai paru, hati, jantung, adrenal, dan kulit.
10. Koinfeksi dengan HIV: Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya antibodi
terhadap HSV-2 akan meningkatkan risiko terinfeksi HIV, tidak tergantung pada
ada atau tidaknya ulkus genital. Penelitian awal di Afrika telah memperlihatkan
penurunan jumlah virus HIV pada pasien yang mendapat terapi untuk infeksi HSV
yang menyertainya; penjelasannya belum ada. Pengetahuan hubungan antara HIV
dan HSV-2 dapat mengubah pendekatan epidemiologis terhadap penyakit menular
seksual di seluruh dunia. Selain itu, herpes genital dikaitkan dengan peningkatan
risiko penularan HIV sebesar 2-3 kali lipat, penularan HIV per tindakan seksual
hingga 5 kali lipat, dan bertanggung jawab terhadap 40-60% infeksi HIV baru pada
populasi dengan prevalensi HSV-2 tinggi. HSV-2 dan HIV telah terbukti saling
mempengaruhi. Infeksi HSV2 meningkatkan risiko penularan HIV baru sekitar 3
kali lipat. Selain itu, pasien dengan koinfeksi HIV dan HSV-2 lebih mungkin
menularkan HIV kepada orang lain. HSV2 merupakan infeksi yang paling sering
terjadi pada pasien HIV, terjadi pada 60- 90% pasien. Gejala klinik infeksi HSV-
2 pada pasien HIV (dan imunokompromais) seringkali lebih berat serta lebih sering
mengalami rekuren. Pada penyakit HIV lanjut, HSV-2 dapat menyebabkan
komplikasi lebih serius, meskipun jarang, seperti meningoensefalitis, esofagitis,
hepatitis, pneumonitis, nekrosis retina, atau infeksi diseminata.
14
Prognosis Herpers Genital :
1. Dubia ad bonam jika diterapi dengan tepat.
2. Dubia ad malam jika terdapat kondisi imunokompromais.
a. Sifilis
Komplikasi yang dapat terjadi :
1. Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan invasi
sawar darah otak oleh Treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien
sifiis koinfeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV). Neurosifilis
umumnya terjadi pada sifilis tersier, tetapi dapat pula terjadi pada stadium lainnya,
termasuk stadium sekunder. Diagnosis neurosifilis asimtomatik ditegakkan apabila
didapatkan serum venereal disease research laboratory (VDRL) yang positif tanpa
tanda dan gejala neurologis disertai satu dari karakteristik berikut pada
pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS): (1) jumlah leukosit > 10/mm3; (2)
protein total > 50 mg/dL; (3) hasil VDRL reaktif.
2. Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang berlanjut
ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau
aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut,
akan sangat mudah dikenal.
3. Menyebabkan peningkatan kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi
mudah berdarah sehingga memudahkan penularan virus HIV saat akan melakukan
hubungan seksual.
4. Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan meningkatkan
risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah melahirkan.
Prognosis Sifilis :
1. Dubia ad bonam pada pengobatan sifilis primer dan sifilis sekunder.
2. Dubia ad malam pada penderita HIV.
3. Tabes dorsalis progretivitas penyakit berkurang dengan pengobatan.
4. Pada Sifilis Kardiovaskuler memberikan respon yang baik walaupun infark
iskemik masih dapat ditemukan.
b. Ulkus Mole
Komplikasi yang dapat terjadi :
1. Fimosis
2. Parafimosis
3. Fistel Uretra
4. Fistel rektovagina
Prognosis :
1. Dubia ad bonam jka penyakit diterapi dengan tepat.
2. Dubia ad malam jika ditemukan kondisi imunokompremais.
3. Lesi kulit biasanya sembuh dalam waktu 2 minggu dengan pengobatan antibiotik.
4. Chancroid bisa sembuh dan membaik dengan sendirinya.
5. Tidak meluas secara sistemik.
6. Jika nodul kering, nyeri bisa terjadi selama beberapa minggu.
7. Pemaparan kembali dapat menyebabkan kekambuhan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, maka kelompok kami menyimpulkan bahwa
skenario “Luka pada Alat Kelamin” pada pria usia 21 tahun di skenario diduga
menderita sifilis dengan diagnosis banding Chancroid tetapi masih diperlukannya
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis.
16
DAFTAR PUSTAKA
Setiati, Siti dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.