1. Reaktor Gas-Cair
Reaksi gas-cair umumnya disertai dengan perpindahan panas dan/atau perubahan suhu
sehingga menyebabkan terjadinya perubahan terhadap sifat-sifat sistem. Pada reaksi gas-cair
akan terjadi perbedaan suhu antara fasa bulk (Tb) masing-masing fasa dan interface (Ti) (daerah
yang menjadi pembatas antara kedua fasa). Kesulitan dalam perancangan reaktor ini adalah
mengidentifikasi fenomena fisika dan kimia yang terjadi sepanjang reaksi berlangsung.
Terdapat 3 alasan yang mendasari penguunaan reaksi heterogen antarfluida:
a. Reaksi dapat menghasilkan suatu produk/materi yang diharapkan.
b. Untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari fluida tertentu.
c. Menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap distribusi produk pada suatu reaksi
jamak homogen dibandingkan dengan pada reaksi fasa tunggal.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan metode desain reaktor gas-cair:
a. Persamaan laju reaksi
Proses perpindahan massa dan laju reaksi kimiawi akan menentukan persamaan laju reaksi
yang menggambarkan reaksi tersebut secara menyeluruh.
b. Kesetimbangan kelarutan
c. Skema kontak
1
−𝑟𝐴𝑛 = 𝜌
1 1 𝐻𝐴 𝑎 𝐴
+ +
𝑘𝐴𝑔 𝑘𝐴𝑙 𝐸 𝑘𝐶𝐵 𝑓𝑙
Keterangan:
-rnA : laju pengurangan reaktan A per satuan luas interface
kAg : koefisien perpindahan massa komponen A pada fasa gas
kAl : koefisien perpindahan massa komponen A pada fasa cair
HA : konstanta Henry untuk sistem gas-cair
𝑆 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒
A :𝑉 =
𝑟 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟
𝑉𝑙 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑓𝑎𝑠𝑎 𝑐𝑎𝑖𝑟
fi : 𝑉 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟
𝑟
E pada persamaan diatas meruapakan faktor peningkatan film fasa cair, yaitu rasio
antara laju absorpsi A dari fasa gas ketika reaksi berlangsung di film cair dengan laju
pengambilan spesi A pada perpindahan massa langsung. Nilai E ≥ 1. Besaran E ditentukan
oleh 2 variabel yaitu nilai faktor peingkatan pada kondisi reaksi sangat cepat (Ei) dan
modulus Hatta yang merupakan akar dari konversi maksimum pada film dibandingkan
dengan perpindahan maksimum melewati film (MH).
Gambar 1. Perilaku interface untuk reaksi fasa cair
Gambar 2. Faktor peningkatan film fasa cair (E) untuk reaksi fluida-fluida sebagai fungsi
dari MH dan Ei (Levenspiel, 1999)
Kasus A dan B
Elemen dari fasa cair dapat mengandung antara komponen A atau komponen B, tapi
tidak keduanya. Karena reaktan harus berdifusi terlebih dahulu ke suatu bidang reaksi, maka
laju difusi A dan B akan menentukan laju reaksi, sehingga perubahan pada pA atau CB akan
menggeser bidang reaksi ke suatu arah tertentu. Berikut adalah persamaan laju reaksi
pengurangan A dan B.
−r′′ B 𝑥0 𝑥0
−r ′′ A = = k Ag (pA − pAi ) = k Al (CAi − 0) = k Bl (CB − 0) (2)
𝑏 𝑥 𝑥0 −𝑥
1 𝑑𝑁𝐴
−r ′′ A = − 𝑆 = k Ag pA (4)
𝑑𝑡
Kasus C dan D
Untuk kasus C, bidang reaksi sekarang menyebar membentuk zona reaksi dimana spesi
A dan B dapat terkandung bersama-sama. Raksi berlangsung cepat, zona reaksi berada
semuanya di film cair. Hanya tahanan pada film gas dan film cair yang memengaruhi dan
persamaan laju akan mempunyai orde 2:
1
−r ′′ A = 1H pA (5)
+ A
kAg kAl E
1
−r ′′ A = 1 HA pA (6)
+
kAg √𝐷𝐴 𝑘CB
Gambar 2. Skema reaksi gas-cair yang berorde dua dan berlangsung cepat di film cair,
untuk kasus C (CB rendah) dan kasus D (CB tinggi)
Kasus E dan F
Kasus E dan F mempunyai laju reaksi yang menengah dikarenakan limitasi
perpindahan massa. Reaksi berlangsung cukup lambat sehingga ada sebagian A yang
berhasil berdifusi melewati film fasa cair sehingga mencapai ruah fasa cair. Hal ini
menyebabkan reaksi tidak hanya terjadi di film, melainkan juga di ruah fasa cair. Maka,
harus menggunakan reaksi dengan ketiga tahanan.
1
−r ′′ A = 1 H H α pA (7)
+ A+ A
kAg kAl E kCB fi
Gambar 3. Skema Reaksi gas-cair yang berlangsung di film dan ruah fasa cair dengan
laju menengah, untuk kasus E (CB rendah) dan kasus F (CB tinggi).
Gambar 4. Skema untuk kasus G, di mana masih terdapat seikit tahanan film, dan
kasus H, di mana tidak ada tahanan film
Kasus G
Reaksi berlangsung di ruah fasa cair, tetapi film fasa cair masih memberikan tahanan
terhadap perpindahan spesi A menuju ruah fasa cair. Dalam hal ini, baik film fasa gas, fasa
cair dan ruah fasa cair memberikan hambatan yang ketiganya bertindak seperti hambatan
seri.
1
−r ′′ A = 1 H H α pA (8)
+ A+ A
kAg kAl kCB fi
Kasus H
Pada kasus ini, tahanan perpindahan massa sangat kecil dan dapat diabaikan, sehingga
komposisi A dan B cenderung seragam ketika berada di fasa cair. Dalam hal ini, laju reaksi
hanya di control oleh kinetika reaksi saja, sehingga persamaannya dapat di tulis seperti
berikut ini :
𝑘𝑓1 𝑘𝑓1
−𝑟𝐴′′ = 𝐻 𝑝𝐴 𝐶𝐵 = 𝐶𝐴 𝐶𝐵 (9)
𝐴𝑎 𝑎
[𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑓𝑎𝑠𝑎 𝑔𝑎𝑠] = [𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑓𝑎𝑠𝑎 𝑐𝑎𝑖𝑟] = −𝑟𝐴′′ 𝑑𝑆
atau
𝐹𝑔 𝜋𝑑𝑝𝐴 𝐹𝑔′ 𝑝𝐴 𝐹𝑙′ 𝐶𝐴
𝐹𝑔 𝑑𝑌𝐴 = 𝐹𝑙 𝑑𝑋𝐴 = (𝜋−𝑝 2
= 𝑑( ) = 𝑑( )
𝐴) 𝜋 𝐶𝑇
𝐹𝑔 𝑑𝑝𝐴 𝐹𝑙 𝑑𝐶𝐴
= = (17.13)
𝜋−𝑝𝐴 𝐶𝑇 −𝐶𝐴
Gambar 17.8 skema operasi perpindahan massa secara langsung pada dua titik tertentu untuk operasi
counter current
Untuk system terlarut CA <<CT dan pA << μ, sehingga 𝐹1 ≈ 𝐹1′ dan 𝐹𝑔 ≈ 𝐹𝑔′ . Dalam hal
ini, persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :
𝐹𝑔 𝐹
𝑑𝜌𝐴 = 𝐶1 𝐷𝑐𝐴 = −𝑟𝐴′′ 𝑑𝑆 (17.14)
𝜋 𝑇
Pada semua titik di tower, laju pengurangan A per satuan luas permukaan kontak dapat
dinyatakan sebagai berikut :
1 𝑑𝑁𝐴
−𝑟𝐴′′ = − = 𝐾𝐴𝐺 (𝜌𝐴 − 𝜌 ∗𝐴 ) = 𝐾𝑁 (𝐶𝐴𝑖 − 𝐶 ∗𝐴 ) (17.15)
𝑆 𝑑𝑡
Gambar 17.9 skema operasi reaksi gas-cair anatara spesi A (gas) dengan spesi B (cair) pada sebuah tower
dengan operasi counter current
1
[𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑓𝑎𝑠𝑎 𝑔𝑎𝑠] = [𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑓𝑎𝑠𝑎 𝑐𝑎𝑖𝑟]
𝑏
= [𝐴 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠𝑖]
atau
𝐹1 𝑑𝑋𝐵 𝑝 𝐹1 𝐶
𝐹𝑔 𝑑𝑌𝐴 = − = 𝐹𝑔 𝑑 ( 𝐴 ) = − 𝑑 ( 𝐵)
𝑏 𝑝𝑢 𝑏 𝐶𝑈
𝐹′𝑔 𝑝𝐴 1 𝐹′𝑙 𝐶
= 𝑑 ( 𝜋 ) = − 𝑏 𝑑 ( 𝐶 𝐵) (17.20)
𝑟
Untuk mendapatkan nilai S, dapat digunakan metode integrasi secara grafis dengan
langkah berikut:
Mengambil beberapa nilai 𝑝𝐴 (biasanya bagian awal, akhir dan pertengahan reactor), dan
untuk setiap nilai 𝑝𝐴 ditentukan nilai 𝐶𝐵 menggunakan neraca massa
Mengevaluasi nilai laju reaksi pada setiap titik dengan persamaan:
1
−𝑟"𝐴 = 𝑝
1 𝐻𝐴 𝐻 𝑎 𝐴
+ + 𝐴
𝑘𝐴𝑔 𝑘𝐴𝑙 𝐸 𝑘𝐶𝐵 𝑓𝑙
Melakukan integrasi secar grafis untuk (1⁄−𝑟" ) vs 𝑝𝐴 , dimana luas area di bawah kurva
𝐴
merupakan besaran (𝑆𝜋⁄𝐹𝑔 )
Berikut merupakan contoh soal untuk menghitung tinggi kolom pada absorpsi langsung
(straight absorption):
Konsentrasi pengotor A dalam udara (π=1 bar=105 Pa) akan dikurangi dari 0,1% (100 Pa) menjadi
0,02% (20 Pa) dengan metode absorpsi dalam air murni. Tentukan ketinggian tower untuk
menjalankan operasi tersebut!
Jawaban:
Untuk packing yang digunakan, besar koefisien perpindahan massa adalah:
𝑘𝐴𝑔 𝑎 = 32.000 𝑚𝑜𝑙 ⁄ℎ𝑟. 𝑚3 . 𝑎𝑡𝑚
𝑘𝐴𝑙 𝑎 = 0,1/ℎ𝑟
Kelarutan A dalam air murni dinyatakan dalam koefisien Henry berikut:
𝐻𝐴 = 12,5 𝑃𝑎. 𝑚3 ⁄𝑚𝑜𝑙
Laju alir fasa cair dan gas per satuan luas penampang tower:
𝐹𝑙 𝐹′𝑙
≈ = 7 × 105 𝑚𝑜𝑙 ⁄ℎ𝑟. 𝑚2
𝐴𝑝 𝐴𝑝
𝐹𝑔 𝐹 ′𝑔
≈ = 105 𝑚𝑜𝑙 ⁄ℎ𝑟. 𝑚2
𝐴𝑝 𝐴𝑝
Densitas molar liquid pada semua kondisi adalah:
𝐶𝑇 = 56.000 𝑚𝑜𝑙 ⁄𝑚3
Neraca massa dinyatakan oleh persamaan berikut:
(𝐹𝑙 ⁄𝐴𝑝 ) 𝜋
𝑝𝐴 − 𝑝𝐴𝑙 = (𝐶 − 𝐶𝐴𝑙 )
(𝐹𝑔 ⁄𝐴𝑝 ) 𝐶𝑇 𝐴
Memasukkan beberapa nilai variabel yang diketahui menjadi:
7 × 105 105
𝑝𝐴 − 20 = (𝐶 − 0)
105 56.000 𝐴
0,08 𝑝𝐴 − 1,6 = 𝐶𝐴
Konsentrasi A di fasa cair saat meninggalkan kolom:
𝐶𝐴2 = 0,08(100) − 1,6 = 6,4 𝑚𝑜𝑙 ⁄𝑚3
Tekanan pastial A pada kesetimbangan, 𝑃*A dan overall driving force (Δp) untuk absorpsi
fisik dapat dilihat pada tabel C.17.1.1 pada halaman 468. Dari tabel diketahui nilai Δp
konstan sepanjang tower, yaitu 20 Pa.
Koefisien perpidahan massa keseluruhan untuk spesi A pada fasa gas:
1 1 𝐻𝐴
= +
𝐾𝐴𝑔 𝑎 𝐾𝐴𝑔 𝑎 𝑘𝐴𝑙 𝑎
1 1 12,5
= + = 128,125
𝐾𝐴𝑔 𝑎 0,32 0,1
1
𝐾𝐴𝑔 𝑎 = = 0,0078 𝑚𝑜𝑙 ⁄ℎ𝑟. 𝑚3 . 𝑃𝑎
128,125
Mengukur tinggi tower (h):
𝑆 (𝐹𝑔 ⁄𝐴𝑃 ) 𝑝𝐴2 𝑑𝑝𝐴
ℎ= = ∫
𝑎𝐴𝑃 𝜋𝐾𝐴𝑔 𝑎 𝑝𝐴1 𝑝𝐴 − 𝑝∗𝐴
100
105 𝑑𝑝𝐴
= ∫ ≈ 513 𝑚
105 × 0,0078 20 20
2. Reaktor Gas-Solid
Reaktor gas-solid merupakan reactor tempat terjadinya reaksi yang melibatkan 2 fasa, yaitu
gas dan solid. Reaksi yang terjadi pada reaktor gas-solid terbagi menjadi dua, yaitu reaksi katalitik
dan reaksi nonkatalitik. Pada reaksi katalitik fasa solid hanya berlaku sebagai katalis yang
memfasilitasi jalannya reaksi yang melibatkan fasa gas, sebaliknya pada reaksi non katalitik fasa
solid bereaksi bersama dengan fasa gas untuk menghasilkan suatu produk, seperti reaksi berikut:
A (gas) + B (solid) Produk (solid, atau gas, atau solid dan gas)
Beberapa contoh reaksi gas-solid nonkatalitik yang digunakan dalam bidang industri yaitu:
pembakaran atau oksidasi batuan sulfide untuk menghasilkan logam oksida, produksi logam yang
dilakukan dengan mereduksi oksida dari logam tersebut, reaksi nitrogenasi kalsium karbida (CaC2)
untuk memproduksi cyanamida (CaCN2), dan manufaktur karbon disulfide dengan merekasikan
karbon dan sulfur. Pada bidang teknik kimia, reaksi katalitik cenderung lebih sering dijumpai
dibandingkan dengan reaksi nonkatalitik untuk reactor gas-solid.
Jenis reactor yang digunakan untuk menjalankan reaksi gas-solid yaitu: reactor dengan
katalis diam (fixed bed, moving bed), reactor dengan katalis tersuspensi dalam fluida dan bergerak
secara terus-menerus (fluidized bed). Reaktor tersebut digunakan untuk memfasilitasi pertemuan
antara katalis solid dan reaktan gas. Reaktor moving bed adalah reactor intermediet yang
menggabungkan kelebihan dan kekurangan reactor fixed bed dan fluidized bed.
1. Dari pembentukan aliran plug dan dengan beberapa fenoma bypassing yang signifikan,
fenomena ini tentunya cukup menyulitkan ditinjau dari aspek skema kontak yang efektif,
sehingga katalis yang dibutuhkan cenderung sangat banyak untuk mencapai konversi gas
yang tinggi. Selain itu, jumlah intermediet yang terbentuk sepanjang reaksi seri cenderung
rendah. Dalam hal ini, untuk suatu reaksi katalis tertentu yang membutuhkan skema kontak
yang efisien, adalah lebih tepat untuk menggunakan reactor fixed bed.
2. Salah satu kelemahan utama reactor fixed bed adalah lemahnya kontrol terhadap perubahan
suhu, secara khusus pada skala besar, karena redahnya konduktivitas panas untuk system
tersebut. Hal ini menyebabkan terbentuknya titik-titik panas atau bidang panas yang
bergerak, secara khusus untuk reaksi yang sangat eksotermis, di mana keduanya dapat
merusak katalis. Sebaliknya, pencampuran solid yang sangat cepat pada reaksi fluidized
bed memungkinkan kontrol yang stabil terhadap suhu, sehingga mudah untuk
menghasilkan operasi isothermal pada reaksi katalisis. Kesimpulannya, untuk operasi di
mana suhu diharapkan tidak terlalu berubah, karena keberadaan spesi (yang terlibat dalam
reaksi) yang bersifat eksplosif atau berdasarkan pertimbangan distribusi produk, reaktor
fluidized bed dapat menjadi pilihan.
3. Reaktor fixed bed tidak dapat menggunkan ukuran katalis yang sangat kecil, karena
fenomena plugging dan pressure drop yang tinggi, sedangkan reaktor fluidized bed
cenderung fleksibel dalam hal ini. Oleh karena itu, untuk reaksi yang sangat cepat di mana
difusi pada pori katalis dan lapisan film dapat memengaruhi laju reaksi, reaktor fluidized
bed dengan reaktor kontas gas-solid yang tak beraturan dan katalis yang berukuran kecil
akan memungkinkan penggunaan katalis yang lebih efektif.
4. Apabila katalis harus dapat diregenerasukan secara berkala oleh karena fenomena
deaktivasi yang berlangsung cepat, maka solid terfluidasi (yang seolah-olah membentuk
fasa liquid) akan cenderung lebih mudah untuk dipindahkan keluar reaktor. Hal ini
merupakan kelebihan yang sangat mendasar dari reaktor fluidized bed dibandingkan
dengan reaktor fixed bed, untuk jenis katalis seperti diatas.
3. ReaktorFixed Bed
Dalam bentuknya yang paling dasar, reaktor fixed bed terdiri dari sebuah selongsong silinder
berisi sejumlah pelet katalis. Nama lain dari reaktor ini adalah reaktor packed bed. Pada reaktor
ini, reaktan gas dialirkan melewati kolom katalis dan kemudian bereaksi dan berubah menjadi
spesi produk tertentu. Reaktor fixed bed merupakan reaktor yang sangat digunakan dalam berbagai
proses industri, seperti pada produk asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Katalis yang
digunakan pada sebuah fixed bed secara umum akan diatur sedemikian rupa menurut salah satu
dari konfigurasi berikut:
1. Sebuah kolom besar (Gambar 17.11 (a)).
2. Sejumlah kolom horizontal yang dipisahkan dengan sejumlah tray vertical untuk
memisahkan kolom-kolom tersebut (Gambar 17.11 (b)).
3. Sejumlah kolom katalis yang dipasang terpisah pada sebuah reaktor besar (Gambar 17.11
(c).
4. Sejumlah kolom terpisah dengan reaktor masing-masing.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan sejumlah kolom katalis biasanya dilakukan
untuk memfasilitasi sebuah kontol terhadap suhu yang baik. Salah satu alasan lain penggunaan
sejumlah kolom untuk satu kasus reaktor katalisis berhubungan dengan fenomena pressure drop
dan untuk memfasilitasi distribusi fluida yang cukup melewati kolom katalis.
Salah satu kelemahan terbesar dari operasi reaktor fixed bed adalah sulitnya proses regenerasi
atau pergantian katalis. Apabila lau deaktivasi katalis cenderung sangat cepat, biaya yang
diperlukan untuk proses regenerasi atau pergantian akan menjadi sangat besar dan tentu sangat
tidak diharapkan dari sudut pandang komersial. Metode regenerasi in-situ menjadi salah satu
pilihan untuk menanganti permasalahn tersebut. Namun demikian, apabila pada suatu proses
industri diperlukan suatu operasi kontinu terjaga dengan baik, maka penggunaan metode ini hanya
bias dilakukan apabila terdapat dua atau tiga reaktor lainnya yang dapat berfungsi secara pararel,
yang tentunya akan memakan biaya. Dalam hal ini, sebuah reaktor fixed bed lebih cocok untuk
proses reaksi katalisis yang menggunakan katalis dengan periode penggunaan yang relatif Panjang.
Salah satu tekik yang dapat digunakan untuk memperpanjang waktu penggunaan katalis adalah
dengan menggunakan kolom katalis yang lebih panjang dari yang dibutuhkan untuk mencapai
konversi tertentu. Pada awalnya, reaksi akan berlangsung pada bagian awal katalis hingga
mencapai tingkat konversi yang diinginkan. Setelah aktivitas katalis menurun, bagian kolom
katalis yang diperlukan untuk mencapai hasil yang sama akan terus bertambah, hingga katalis
hamper semuanya terdeaktivasi sehingga tidak cukup untuk mencapai tingkat konversi yang
diharapkan. Namun demikian, metode seperti ini hanya dapat digunakan untuk beberapa reaksi
tertentu seperti reaksi sintesis ammonia.
Untuk mendesain reaktor fixed bed, diperlukan informasi mengenai mpersamaan kinetika
reaksi untuk menentukan komposisi dari setiap aliran yang terlibat dalam proses reaksi dengan
parameter tertentu. Dalam hal ini, desain reaktor dapat ditinjau menggunakan berbagai model
matematika modern. Pada kasus industri yang sebenarnya, akan menjadi sangat sulit untuk
mendapatkan sebuah bentuk akhir yang cukup sederhana untuk berbagai kondisi operasi, kecuali
untuk kondisi operasi isothermal. Akan tetapi, berbagai teknik numerik dapat digunakan untuk
memprediksi komposisi aliran pada reaktor dengan menggunakan berbagai model. Berikut akan
dibahas terlebih dahulu persamaan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap reaktor fixed bed dibawah
berbagai batasan perpindahan energi, dan kemudian akan didiskusikan mengenai model-model
yang paling sederhana dari karakter reaktor terkait. Hal di atas hanya akan terbatasi pada kondisi
operasi pseudo steady state (contohnya adalah aktivitas katalis yang diasumsikan konstan selama
proses reaksi berlangsung atau selama reaktan gas masih berada dalam reaktor).
Secar umu, terdapat berbagai model reaktor fixed bed. Yang pertama didasarkan pada berbagai
koordinat special reaktor yang ikut dilibatkan pada persamaan desain reaktor. Dalam hal ini, untuk
metode satu dimensi, variasi komposisi dan suhu sepanjang reaktor terjadi sepanjang selongsong
reaktor, sedangkan untuk model dua dimensi variasi dari hal-hal diatas dapat ditemukan pada arah
radial. Model yang kedua dikembangkan dengan memvisualisasikan reaksi yang terdistribusi
sepanjang kolom katalis. Dalam hal ini, model ini dapat bersifat antara pseudo homogeneus atau
pseudo heterogenous. Untuk model pseudo homogeneous, reaksi dianggap berlangsung sepanjang
volume reaktor, bukan terlokalisasi pada permukaan katalis. Dalam hal ini, persamaan laju untuk
model tersebut didapatkan dengan membagi laju pembentukkan produk dari reaksi keseluruhan
per satuan massa katalis dengan densitas bulk dari katalis. Berkaitan dengan desain reaktor fasa
homogen, (biasanya per satuan volume reaktor). Dengan demikian, persamaan desai yang
sebelumnya telag dikembangkan untuk reaktor homogen dapat juga dikembangkan untuk
memperkirakan kinerja reaktor fixed bed. Model pseudo homogeneous dua dimensi dapat juga
dikembangkan apabila terdapat dispersi radial massa dan energi dari reaktor.
Model heterogen dari raktor fixed bed mempertimbangkan keberadaan katalis solid dengan
menggunakan persamaan neraca massa dan energi untuk kedua fasa (gas dan solid). Beberapa tipe
model heterogen dapat dikembangkan tergantung pada tingkat komplikasi yang diharapkan.
Model yang paling dasar hanya mempertimbangkan aliran dalam bentuk plug, tetapi membedakan
fenomena yang terjadi pada fasa bulk dari gas dan dengan yang terjadi pada permukaan luar katalis.
Model tersebut juga dapat dikembangkan dengan meninjau gradien intraparticle dan variasi pada
arah radial dari karakter system. Namun demikian, penggunaan model heterogen dapat dielakkan
dengan mempertimbangkan model pseude homogeneous yang cenderung lebih simple.
Model ini mengasumsikan bahwa fasa gas pada volume terntentu yang berinteraksi dengan
sebuah atau sejumlah pelet katalis dapat dikarakterisasi dengan besaran suhu bulk, tekanan dan
komposisi spesi yang mana hal-hal tersebut cenderung berubah-ubah sepanjang reaktor. Secara
umum, model pseudo homogeneous ini membutuhkan persamaan laju reaksi total yang turut
memperhitungkan limitasi oleh perpindahan massa dan energi (kedua hal ini dapat diabaikan
dengan menggunakan prinsip daerah kinetika pada Bab 10). Persamaan tersebut bersamaan dengan
beberapa kondisi batas dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai persamaan diferensial
untuk neraca, massa dan energi, sehingga menghasilkan suatu persamaan yang menghubungkan
antar kondisi aliran masuk dan keluar reaktor (komposisi dan suhu) dengan volume reaktor yang
dibutuhkan. Biasanya, persamaan-persamaan diferensial tersebut perlu diubah menjadi bentuk
tertentu yang dapat diselesaikan menggunakan metode numeris. Model satu atau dua dimensi dapat
digunakan tergantung pada derajat kecanggihan yang diharapkan, tingkat pendekatan yang
dibutuhkan, dan batasan waktu serta biaya yang tersedia.
Model satu dimensi lebih banyak digunakan untuk tahapan perhitungan desain awal, karena
hasilnya dapat mendekati dengan standar yang diinginkan dan dapat menetukan efek yang
dihasilkan dengan perubahan terhadap parameter desain dan kondisi operasi. Tetapi model dua
dimensi yang memiliki model yang lebih kompleks sehingga dapat menggambarkan infomasi
profil suhu radial di sepanjang kolom katalis. Informasi ini penting untuk diketahui untuk
mengevaluasi potensi terjadinya perubahan terhadap kondisi reaktor yang tidak terprediksi,
masalah deaktivasi katalis, dan pengaruh selektivitas yang signifikan.
Persamaan neraca massa umum untuk spesi A pada model pseudo homogeneous adalah
sebagai berikut.
𝜕 2 𝐶𝐴 𝜕 2 𝐶𝐴 1 𝜕𝐶𝐴 𝜕(𝐶𝐴 𝑢𝑧 ) 𝜕𝐶𝐴
𝐷𝐿 2
+ 𝐷 𝑧 ( 2
+ ) − + 𝑟𝐴 = (17.26)
𝜕𝑧 𝜕𝑅 𝑅 𝜕𝑅 𝜕𝑧 𝜕𝑡
dengan: DL: parameter dispersi material pada arah aksial
DR: parameter dispersi material pada arah radial
uz: kecepatan superfisial pada arah aksial
Pada keadaan steady, tidak terjadi perubahan konsentrasi spesi A sepanjang waktu proses, maka
persamaannya menjadi
𝜕 2 𝐶𝐴 𝜕 2 𝐶𝐴 1 𝜕𝐶𝐴 𝜕(𝐶𝐴 𝑢𝑧 )
𝐷𝐿 2
+ 𝐷𝑧 ( 2
+ )− + 𝑟𝐴 = 0 (17.27)
𝜕𝑧 𝜕𝑅 𝑅 𝜕𝑅 𝜕𝑧
Untuk keadaan nonistermal, diperlukan persamaan neraca energi sebagai berikut
𝜕 2𝑇 𝜕 2 𝑇 1 𝜕𝑇 𝜕(𝜌𝑢𝑧 𝐶𝑝 𝑇) 𝑟𝐴
𝜅𝐿 2 + 𝜅𝑅 ( 2 + )− − (∆𝐻) = 0 (17.28)
𝜕𝑧 𝜕𝑅 𝑅 𝜕𝑅 𝜕𝑧 𝜈𝐴
dengan: 𝜅𝐿 : kondutivitas termal pada arah aksial
𝜅𝑅 : kondutivitas termal pada arah radial
𝜈𝐴 : koefisien stoikiometris untuk spesi A
Model Satu Dimensi (1D)
Asumsi:
Konsentrasi spesi-spesi yang terlibat dalam reaksi hanya berubah sepanjang arah aksial
Suhu fluida hanya berubah sepanjang arah aksial
Kelebihan dari model 1D adalah kemudahan untuk mendapatkan estimasi ukuran reaktor
yang dibutuhkan untuk mencapai konversi yang diinginkan dan memiliki kemampuan untuk
menguji pengaruh dari berbagai variabel desain pada perilaku reaktor. Sedangkan kekurangannya
adalah tidak mampu untuk menjelaskan mengenai kemungkinan terjadinya suhu yang sangat tinggi
pada bagian tengah selongsong reaktor. Suhu yang terlalutinggi tersebut tidak diharapkan untuk
terjadi, dimana hal ini terkait dengan stabilitas reakto, selektivitas proses, dan deaktivasi katalis.
Untuk keadaan steady, persamaan umum neraca material dapat diturunkan dari persamaan
(17.27) dan menghilangkan suku yang melibatkan besaran terhadap arah radial, sehigga terbentuk
persamaan
𝜕 2 𝐶𝐴 𝜕(𝐶𝐴 𝑢𝑧 )
𝐷𝐿 − + 𝑟𝐴 = 0 (17.29)
𝜕𝑧 2 𝜕𝑧
Penyederhanaan dapat dilakukan kembali apabila dispersi material pada arah aksial dapat
diabaikan, sehingga
𝜕(𝐶𝐴 𝑢𝑧 )
− 𝑟𝐴 = 0 (17.30)
𝜕𝑧
Mengingat bahwa
𝜋𝐷𝑇 2
𝐹𝐴 = 𝐶𝐴 𝑢𝑧 (17.31)
4
dan
𝜋𝐷𝑇 2
𝑉𝑅 = 𝑧 (17.32)
4
dengan DT: Diameter selongsong reaktor
VR: Volume reaktor
z: panjang reaktor secara keseluruhan
Persamaan (17.30) dapat dimodifikasi menjadi
𝑑𝐹𝐴
− 𝑟𝐴 = 0 (17.33)
𝑑𝑉𝑅
Karena dFA = -FA0dXA, maka persamaan diatas menjadi
𝑋𝐴
𝑉𝑅 𝑋𝐴
=∫ (17.34)
𝐹𝐴0 0 −𝑟𝐴
Persamaan di atas adalah persamaan umum untuk menentukan volume reaktor yang
dibutuhkan untuk mencapai konversi tertentu. Untuk persamaan yang lebih lanjut, dengan
mengalihkan kedua ruas dengan densitas bulk dari katalis (𝜌𝐵 ), sehingga didapatkan persamaan
𝑋𝐴 𝑋𝐴
𝜌𝐵 𝑉𝑅 𝑊 𝜌𝐵 𝑋𝐴 𝑋𝐴
= =∫ =∫ (17.35)
𝐹𝐴0 𝐹𝐴0 0 −𝑟𝐴 0 −𝑟′𝐴
dengan: W = berat katalis di dalam reaktor
-r’A = laju pengurangan A per massa katalis (mol A/g-kat.s)
Berbeda dengan neraca massa, neraca energi keseluruhan untuk model 11 dimensi dari
reaktor packed bed tidak dapat diperlakukan dengan cara yang serupa. Hal ini dikarenakan, suku
yang merepresentikan perpindahan energi pada arah radial juga melibatkan perpindahan panas
melewati dinding reaktor yang perlu diperhitungkan. Neraca energi untuk sepanjang raktor
diferensial (∆r), besarnya perpindahan panas direpresentasikan sebagai
ℎ𝑤 𝜋𝐷𝑇 (𝑇 − 𝑇𝑤 )Δ𝑧 (17.36)
dengan: hw: koefisien transfer panas (biasanya didapatkan melalui persamaan empiris)
Tw: suhu lokal dinding reaktor
Dalam hal ini, persamaan (17.28), dapat dikembangkan menjadi:
𝜕 2 𝑇 𝜕(𝜌𝑢𝑧 𝐶𝑝 𝑇) 4 𝑟𝐴
𝜅𝐿 2 − − ℎ𝑤 (𝑇 − 𝑇𝑤 )(∆𝐻) = 0 (17.37)
𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝐷𝑇 𝜈𝐴
Lebih lanjut, persamaan diatas dapat ditulis ulang menggunakan variabel kecepatan massa
superfisial, G yang relatif konstan sepanjang reaktor:
𝜕 2𝑇 𝜕(𝐶𝑝 𝑇) 4 𝑟𝐴
𝜅𝐿 2 − 𝐺 − ℎ𝑤 (𝑇 − 𝑇𝑤 ) − (∆𝐻) = 0 (17.38)
𝜕𝑧 𝜕𝑧 𝐷𝑇 𝜈𝐴
Dalam hal ini, besarnya perpindahan panas secara konduksi pada arah aksial relatif lebih kecil
dibandingkan dengan perpindahna entalpi secara konvektif, sehingga persamaan (17.38) menjadi
𝜕(𝐶𝑝 𝑇) 4 𝑟𝐴
𝐺 − ℎ𝑤 (𝑇 − 𝑇𝑤 ) = (−∆𝐻) (17.39)
𝜕𝑧 𝐷𝑇 𝜈𝐴
Persamaan (17.29) dan (17.39) merupakan persamaan yang paling sederhana untuk model
matematis satu dimensi dan reator selongong fixed bed. Persamaan-persamaan tersebut
mengabaikan dispersi longitudinal baik materi maupun energi. Secara esensial, kedua persamaan
tersebut ekivalen dengan mosel aliran plug untuk reaktor homogen. Lebih lanjut, persamaan-
persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi
𝜕(𝐶𝑝 𝑇) 𝑟𝐴
𝐺 = (−∆𝐻) (17.40)
𝜕𝑧 𝜈𝐴
Berikut adalah kondisi-kondisi batas yang harus dipenuhi dalam penyelesaian matematis dari
model 1D adalah
𝐶𝐴 = 𝐶𝐴0 pada z = 0 untuk semua R
𝑇 = 𝑇0 pada z = 0 untuk semua R
𝜕𝐶𝐴
= 0 pada R = 0 untuk semua z
𝜕𝑅
Kedua besaran di atas dapat digunakan untuk menghitung besaran kecepatan fluidisasi
minimum dan terminal. Kecepatan fluidisasi minimum (𝑢𝑚𝑓 ) adalah kecepatan fasa gas ketika
fasa solid baru mulai terangkat. Persamaan empiris dari Ergun (1952) digunakan untuk
menghitung kecepatan fluidisasi minimum (dalam bentuk tak berdimensi) adalah sebagai berikut:
2 2
150(1 − 𝜀𝑚𝑓 )𝑢∗ 𝑚𝑓 + 1,75(𝑢∗ 𝑚𝑓 ) 𝑑 ∗ 𝑝 = 𝜀𝑚𝑓 3 (𝑑 ∗ 𝑝 ) (17.43)
dengan: 𝜀𝑚𝑓 = fraksi volume void dalam kolom katalis pada saat pertama kali terjadi fluidisasi
Kecepatan terminal (𝑢𝑡 ) adalah kecepatan fasa gas ketika partikel-partikel katalis mulai
terlempar ke luar reaktor. Persamaan empiris oleh Haider dan Levenspiel (1989) untuk partikel
berbentuk bulat untuk kecepatan terminal adalah sebagai berikut:
−1
∗ 18 0,591
𝑢 𝑡 =[ 2 + 1/2 ] (17.44)
(𝑑 ∗ 𝑝 ) (𝑑∗ 𝑝 )
dan untuk partikel dengan bentuk yang tidak teratur dengan tingkat sphericity, Φ𝑠
−1
∗ 18 2,335−1,774Φ𝑠
𝑢 𝑡 =[ 2 + 1/2 ] (17.45)
(𝑑 ∗ 𝑝 ) (𝑑∗ 𝑝 )
Besaran Φ𝑠 , dihitung menggunakan persamaan berikut:
luas permukaan bola
Φ𝑠 = (luas permukaan partikel) (17.46)
untuk volume yang sama
Salah satu model yang umum digunakan untuk menjelaskan reaktor fluidisasi pada kondisi
yang paling sederhana adalah model K-L, dengan beberapa asumsi sebagai berikut:
Semua gelembung berbentuk bulat sempurna, dengan ukuran yang sama yaitu db. Setiap
gelembung dikelilingi oleh awan (cloud) sebagai pembatas antargelembung dan emulsi dari
fasa padat. Laju fasa gas melewati bagian awan dapat diabaikan karena volume awan yang
relatif kecil dibandingkan dengan volume gelembung. Selain itu, kecepatan gas melewati
gelembung jauh lebih besar dibandingkan dengan kecepatan gelembung melewati emulsi
katalis (𝑢𝑏 ≫ 𝑢𝑒 ).
Proses reaksi bertahan pada kondisi minimum untuk terjadinya fluidisasi.
Setiap gelembung akan menyeret katalis yang dibawahnya untuk ikut naik (wake) dan
menyebabkan sirkulasi fasa solid di dalam katalis (katalis yang berada di bawah gelembung
akan naik, sedangkan di bagian lain akan turun). Jika aliran fasa padat yang turun sangat cepat,
maka ada kemungkinan bahwa aliran gas yang naik akan terhambat dan bahkan berhenti, atau
berbalik.
Laju alir fasa gas naik atau turun di dalam emulsi katalis dapat diabaikan.
Skema dari model ini ditunjukkan pada gambar 17.13. Beberapa notasi yang terkait: 𝐾 =
konstanta perpindahan antarbagian, 𝑏 = gelembung (bubble), 𝑐 = awan (cloud), 𝑤 = katalis
terangkat (wake), 𝑒 = emulsi katalis.
Dalam beberapa kasus mungkin asumsi—asumsi di atas menjadi tidak relevan, karena fasa
gas yang melewati emulsi katalis dianggap stagnan dan tidak bergerak. Secara khusus, untuk kasus
dimana gelembuung dikelilingi oleh awan yang tebal (untuk gelembung yang besar dan tidak
bergerak cepat) atau ketika laju alir fasa gas melewati emulsi cukup besar, maka tentu diperlukan
model yang lebih umum. Namun demikian, untuk kasus dimana gelembung bergerak cukup cepat
melewati kolom katalis, asumsi-asumsi di atas cukup dapat dipertanggungjawabkan.
Gambar 17.13 Skema model K-L untuk reaktor fluidized bed
Selanjutnya, akan dibahas bagaimana mengevaluasi performa reaktor fluidized bed untuk reaksi
katalitik orde satu. Untuk reaksi katalitik orde satu (A → P), berlaku persamaan berikut:
1 𝑑𝑁𝐴
−𝑟𝐴′′′ = = 𝑘 ′′′ 𝐶𝐴 (17.47)
𝑉𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 𝑑𝑡
Dengan:
−𝑟𝐴′′′ = laju pengurangan spesi A per volume fasa solid (molA/m3 solid.s)
𝑘 ′′′ = konstanta lau reaksi (m3/m3 solid.s)
Produk di Produk di
Produk di awan
gelembung emulsi
𝐶𝐴 1 𝐻𝑓
𝑙𝑛 = 𝑓𝑘 𝑘 ′′′ +
𝐶𝐴0 1 1 𝑢0
+ 1
𝛿𝑘𝑏𝑐
𝑓𝑘 𝑘 ′′′ + 1 1
+
[ 𝛿𝑘𝑐𝑒 𝑓𝑘 𝑘 ′′′ ]
dengan: 𝐻𝑓 = Ketinggian reaktor fluidized bed yang dapat dihitung menurut persamaan:
𝑊
𝐻𝑓 = (17.49)
𝜌𝐴(1 − 𝜀𝑓 )
6. Reaktor Gas-Cair-Solid
Kinetika Reaksi dan Persamaan Laju Reaksi
Jenis reaktor terakhir yang akan dibahas adalah reaktor dimana dapat ditemukan 3 fasa material
yang berbeda, yairu gas, cair dan solid. Umumnya fasa soliid berperan sebagai katalis bagi reaksi
yang terjadi antarfasa gas dan fasa cair. Persamaan reaksi umum ntuk reaksi ini adalah
Katalis solid
A (g → l) + bB (l) Produk
Untuk reaksi di atas, berlaku persamaan laju reaksi berikut:
−𝑟𝐴′′′ = 𝑘𝐴′′′ 𝐶𝐴 𝐶𝐵 −𝑟𝐴′′′ = −𝑟𝐵′′′ /𝑏
} 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 (17.50)
−𝑟𝐵′′′ = 𝑘𝐵′′′ 𝐶𝐴 𝐶𝐵 −𝑘𝐴′′′ = 𝑘𝐵′′′ /𝑏
Secara umum, reaktan gas harus melarut terlebih dahulu ke dalam reaktan fasa cair, untuk
kemudian keduanya berdifusi menuju permukaan katalis agar reaksi dapat berlangsung. Dalam hal
ini, tahanan perpindahan sepanjangan interface dari fasa gas dan cair, dan untuk menuju
permukaan katalis akan diikutsertakan dalam persamaan laju reaksi umum. Di lain
pihak, selama berada di ruah fasa gas dan fasa caur, reaktan berpindah tanpa mengalamu (17.51)
tahanan papa pun. Kemudian, kedua reaktan akan brdifusi masuk ked alma internal pori-
pori katalis. Mempertimbangkkan fenomena-fenomena yang terjadi di atas, persamaan laju reaksi
umum (per satuan bolume katalis) untuk reaksi ini dapat ditulis sebagai berikut:
1
−𝑟𝐴′′′ = 𝑝𝐴𝑔
1 𝐻 𝐻 𝐻
+ 𝐴 + 𝐴 + ′′′ 𝐴
𝑘𝐴𝑔 𝑎𝑖 𝑘𝐴𝑙 𝑎𝑖 𝑘𝐴𝑐 𝑎𝑐 (𝑘 𝐶𝐵 )𝐸𝐴 𝑓𝑠
𝐴
(17.52)
dengan:
𝑎𝑖 = luas permukaan interface fasa gas dan cair per bolume reaktor
𝑎𝑐 = luas permukaan luar fasa soli/katalis per volume kontraktor (untuk katalis yang berbentuk
bola, berlaku ac=6fs/dp)
𝑓𝑠 = muatan fasa solid, yaitu volume partikel solid per volume reaktor
𝐶𝐴 = konsentrasi rata-rata dari spesi A (pada arah radial) di dalam katalis
𝐶𝐵 = konsentrasi rata-rata dari spesi B (pada arah radial) di dalam katalis
𝐸𝐴 = factor efektivitas untuk reaksi orde 1 bagi spesi A dengan konstanta laju reaksi (𝑘𝐴′′′ 𝐶𝐵 )
𝐸𝐵 = factor efektivitas untuk reaksi orde 1 bagi spesi B dengan konstanta laju reaksi (𝑘𝐵′′′ 𝐶𝐴 )
Salah satu dari kedua persamaan di atas dapat digunakan untuk mendefinisikan laju reaksi yang
terjadi. Namun demikian, meskipun semua parameter sistem reaksi (k, a, f, H, dll) diketahi,
persamaan tersebut belum dapat digunakan tanpa melakukan trial and error, karena nilai 𝐶𝐴 dan
𝐶𝐵 tidak diketahui. Akan tetapi, sering kali kasus yang ditemui adalah kasus simolifikasi yang
cukup ekstrem, seperti ppada kasus-kasus berikut:
Kasus 1 : 𝐶𝐵𝑙 ≫ 𝐶𝐴𝑙 Dalam kasus ini, yaitu kasus dimana terdapat reaktan cair B murni dengan
sedikit reaktan gas A yang terlarut, dapat diterapkan bahwa konsentrasi B dimanapun hamoir sama
dengan konsentrasi B pada ruah fasa cair:
𝐶𝐵𝑠 = 𝐶𝐵 ,𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑎𝑙𝑒𝑡 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠 = 𝐶𝐵𝑙 (17.53)
Dengan besaran 𝐶𝐵 , reaksi mempunyai orde satu terhadap spesi A, dan persamaan laju
reaksi dapat disimplifikasi menjadi:
1
−𝑟𝐴′′′ = 𝑝𝐴𝑔
1 𝐻𝐴 𝐻𝐴 𝐻𝐴 (17.54)
+ + +
𝑘𝐴𝑔 𝑎𝑖 𝑘𝐴𝑙 𝑎𝑖 𝑘𝐴𝑐 𝑎𝑐 (𝑘 ′′′ 𝐶𝐴 )𝐸𝐵 𝑓𝑠
𝐴
Dengan variable 𝑘𝐴′′′ 𝐶𝐵𝑙 Bernilai konstan
Kasus 2 : 𝐶𝐵𝑙 ≪ 𝐶𝐴𝑙 Dalam kasus ini, yaitu kasus dimana terdapat reaktan cair B yang sangat
encer dengan reaktan gas A yang sangat terlarut dengan tekanan yang tinggi, daoat diterapkan
bahwa konsentrasi A di sepanjang reaktor adalah sama, yaitu:
𝑃𝐴𝑔
𝐶𝐴 = (17.55)
𝐻𝐴
Dalam hal ini, laju reaksi akan mempunyai orde satu terhadap spesi B:
1
−𝑟𝐵′′′ = 𝐶𝐵𝑙 (17.56)
1 1
+ 𝑃𝐴𝑔
𝑘𝐵𝑐 𝑎𝑐
(𝑘𝐵′′′ 𝐻 )𝐸𝐵 𝑓𝑠
𝐴
𝑃𝐴𝑔
dengan variable 𝑘𝐵′′′ bernilai konstan.
𝐻𝐴
Persamaan-persamaan yang telah disederhanakan seperti di atas dapat diterapkan pada
kasus-kasus dimana nilai konsentrasi spesi yang satu bernilai 3 kali atau lebih dari konsentrasi
spesi reaktan lainnya. Salah satu cara untuk menguji apakah kasus-kasus ekstrem seperti di atas
dapat diterapkan adalah dengan mmembandingkan nilai dari laju reaksi pada persamaan (17.54)
dan (17.56). Apabila −𝑟𝐵′′′ ≪ −𝑟𝐴′′′ , maka konsentrasi B sangatlah besar sehingga kasus 1 berlaku.
Sebaliknya jika −𝑟𝐵′′′ ≫ −𝑟𝐴′′′ , maka kasus 2 berlaku. Persamaan-persamaan diatas selanjutnya
dikembangkan unruk mendapatkan dimensi dari reaktor yang dibutuhkan untuk mencapai konversi
reaksi yang diharapkan.