kepentingan yang berbeda, yaitu umat muslim dan orang Jawa yang masih
memegang teguh ajaran nenek moyangnya terkait dengan primbon ramalan
jodoh berdasarkan neptu dan weton.
Di daerah Jawa sendiri, banyak umat muslim yang masih percaya primbon
ramalan jodoh, meski tidak semuanya. Beberapa yang yakin pada hitungan
jodoh Jawa sampai tidak jadi menikah, meski saling mencintai, lantaran
hitungan menurut primbon ramalan Jawa buruk yang dikhawatirkan
keburukan terjadi pada masa yang akan datang.
Hal ini membuktikan bahwa perhitungan jodoh dalam Islam tidak ditemukan.
Bahkan, Al Qur'an surat An Nur ayat 26 secara eksplisit menjelaskan bahwa
wanita keji cocoknya untuk pria keji pula dan sebaliknya. Sementara itu,
perempuan baik jodohnya juga akan mendapatkan laki-laki baik.
Menurut Jawa, apabila hitungan jodoh yang didasarkan pada neptu dan weton
itu baik, maka para mempelai akan menjumpai kebahagiaan luar biasa pada
masa yang akan datang hingga menjadi nenek-nenek.
Namun, jika neptu dan weton yang dihitung dengan pemjumlahan masing-
masing ternyata hasilnya jelek, maka rumah tangga ke depan selalu kisruh,
berantakan, bahkan dampak yang lebih mengerikan, ia akan menemui ajalnya
mendahului takdir kematian yang ditetapkan Allah.
"Sudah banyak buktinya, Mas. Tetangga saya tidak percaya pada hitungan
Jawa pada pernikahannya. Padahal, dia dan suaminya jumlahnya 24 di mana
artinya angka kematian. Setelah punya anak dua, dia tertabrak. Sebelumnya,
ia mimpi dikejar-kejar bola api, sebelum meninggal," ujar Jeng Tatik, pakar
hitungan Jawa asal kota seribu paranormal Pati, Jawa Tengah.
"Bahkan, ada juga yang sudah punya anak dua besar-besar bercerai demi
kebaikan mereka. Pasalnya, mereka saling mencintai dan tidak percaya pada
hitungan Jawa. Setelah berpuluh tahun tidak ada masalah, akhirnya salah satu
di antara mereka selalu bermimpi dikejar Batara Kala atau malaikat kematian.
Menyadari kesalahan itu, tanpa konsultasi dengan ahli hitung Jawa, mereka
memutuskan untuk bercerai. Sampai saat ini, mereka baik-baik saja setelah
bercerai," imbuh Jeng Tatik.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hitungan_jawa)
Baik-buruknya nama, menurut perhitungan Jawa (neptu), didasarkan
pada susunan aksara Jawa (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa,
dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga). Setiap aksara diasumsikan
memiliki nilai berbeda. Ha, da, pa, ma, masing-masing dinilai 1. Na,
ta, dha, ga, nilainya 2. Ca, sa, ja, ba = 3. Ra, wa, ya, tha = 4. Ka, la,
nya, nga = 5.
Angka-angka itu kemudian dipakai untuk menghitung nilai total dari
nama seseorang yang dijumlahkan dari nilai setiap penggalan suku
kata. Contoh, nilai keseluruhan nama Susanto adalah Su (sa=3) +
san (sa=3) + to (ta=2) = 8
Nilai total dari nama itu selanjutnya diproyeksikan pada lima unsur
yang menunjukkan "cocok tidaknya nama", yang meliputi lima
unsur, "Sri", "Lungguh", "Gedhong", "Loro", "Pati".
Menghitungnya dimulai dari satu (Sri), dua (Lungguh), tiga (Gedhong),
empat (Loro), dan lima (Pati). Setiap habis kelipatan lima, hitungan
kembali dimulai dari angka satu (Sri) sampai lima (Pati), begitu
seterusnya. Misal, nilai nama Susanto = 8, dihitung mulai dari satu
(Sri), dua (Lungguh), tiga (Gedhong), empat (Loro), lima (Pati), enam
(Sri), tujuh (Lungguh), delapan (Gedhong).
Jadi, nama Susanto (dengan angka total 8), jatuh pada unsur
"Gedhong". "Artinya, insya Allah, kelak si pemilik nama itu akan
bergelimangan harta dalam hidupnya," jelas Iin SP.
Menurut tradisi Jawa, unsur "Sri", "Lungguh", dan "Gedhong"
dianggap mewakili unsur kecocokan nama. Sebaliknya kalau jatuh
pada unsur "Loro" dan "Pati", nama itu dianggap tidak cocok bagi
yang bersangkutan.
Kelima unsur itu masing-masing memiliki arti konotasi yang berbeda.
"Sri" memiliki arti yang positif (bahagia, kemakmuran, keberuntungan,
mulia, dan sukses segalanya). Juga "Lungguh" dan "Gedhong"
mengandung arti yang positif, yakni baik dalam kedudukan (jabatan)
dan ekonomi (harta), tapi biasanya masih ada kekurangan di sisi lain,
seperti sakit, rumah tangga diselilingi cekcok atau kurang harmonis.
Sebaliknya unsur "Loro" dan "Pati" punya konotasi negatif. Unsur
"Loro" menggambarkan hidup tersendat-sendat, sakit-sakitan, kurang
mujur, banyak sial, banyak menderita. Unsur "Pati" menyimpan makna
umur yang pendek.
Dalam perhitungan nama ala Jawa, huruf hidup (A, I, U, E, O) yang
berdiri sendiri tidak ikut dihitung atau diabaikan (nilainya = nol).
Misalnya, cara perhitungan nama Hariyanto berbeda dengan Ariyanto.
Muslih
(https://shirotholmustaqim.wordpress.com/2010/05/26/pernikahan-dalam-adat-jawa/)
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak
ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada ilah
(sesembahan yang berhak diibadahi) kecuali Engkau.” (Lihat
Fathul Majid, hal. 287)