DI SUSUN
O
L
E
H
KELOMPOK V – NERS B
Andika Mohammad Salim
Atikah Rezkia Arsyad
Ciciyanto Tumbali
Chika Eka Putri Mokait
Febriyanto Ibrahim
1
DAFTAR ISI
CAVER 1
DAFTAR IS 2
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………………..........3
BAB 2 PEMBAHASAN………………………………………………………………………5
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
rumah sakit yang meliputi: ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang
efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat-lokasi, tepat-
prosedur, tepat-pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan,
dan pengurangan risiko pasien jatuh.
1.2 rumusan Masalah
Implementasi sistem keselamatan pasien di rumah sakit, salah satunya budaya keselamatan pasien
merupakan hal yang wajib dilakukan untuk menjaga mutu pelayanan di rumah sakit. Sumber daya
manusia (SDM) adalah salah satu aspek yang berperan penting dalam pelaksanaan sistem
keselamatan pasien rumah sakit.
Kejadian Nyaris Cedera adalah suatu kejadian yang dapat berpotensi mengakibatkan cedera yang
seharusnya tidak terjadi. Ditemukan angka pelaporan insiden KNC pada tahun 2014 yang jumlahnya
cukup tinggi yaitu 2469 insiden, namun belum dilaksanakan analisis mendalam dengan menjabarkan
berdasarkan Tipe Insiden, Sub Tipe Insiden, Pelapor, Potensi Korban, Divisi Kejadian, Penyebab
(petugas), Faktor Pemicu,dan juga sebagai bahan perbaikan kedepan untuk mencegah potensi KNC
terkait faktor-faktor tersebut
1.3 Tujuan
untuk mengetahui gambaran pengetahuan, motivasi dan supervisi oleh atasan langsung dalam
penerapan budaya keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan
1.4 Manfaat
a. Menambah ilmu di bidang ilmu kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang manajemen
rumah sakit dan manajemen SDM dalam implementasi sistem keselamatan pasien.
b. Sebagai dasar selanjutnya untuk meneliti tentang budaya keselamatan pasien di rumah sakit
lain.
c. Sebagai evaluasi dan masukan terhadap kegiatan program keselamatan pasien yang selama ini
sudah diterapkan oleh RSUD
d. Menambah masukan serta informasi mengenai perkembangan budaya keselamatan pasien
kepada staf di rumah sakit, khususnya di RSUD
e. Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan komitmen tenaga kesehatan secara pribadi dalam
keberhasilan program keselamatan pasien.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
membuat petugas medis hanya dapat pasrah meskipun telah melakukan tindakan maksimal.
Keadaan ini dapat terjadi meskipun pengobatan yang diberikan kepada pasien telah sangat
maksimal, scanggih, dan sangat profesional. Dalm asuhan medis, hal tersebut bisa di karenakan
keselamatan medis atau bisa saja bukn karena kesalahan medis.
Pasien mendapatkan kerugian baru yang seblumnya tidak dimilikinya, misalnya dalam kasus
penyakit yang memerlukan terapi atau pemeriksaan labolatorium. Pasien dapat sja mengalami
kerugian secara fisik, finansial, maupun sosial. Asuhan klinis yang dapat memberikan kerugian
pada pasien inilah yangdisebut dengan istilah medical eror (Amerika) atau adverse event
(Inggris). Sementara di Indonesia, kerap disebut dengan kejadian yang tidak diharapkan atau
KTD.
Meskipun berkaitan, menurut (Cahyano, 2008), ada perbedaan yang signifikan antara
medical eror dan adverce event. Medical eror lebih menekankan pada kesalahan dalam proses
(kesalahan dalam pemberian obat, kesalahan dalam identifikasi pasien dan sebagainya).
Sementara itu, adverce event lebih menekankan akibat suatu kesalahan (pasien mengalami
cedera fisik, spikologis atau kerugian finansial). Secara khusus, adverce event dapat diartikan
sebagai cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya
kecatatan, kematian, atau perawatan yang lebih lama, disebabkan oleh manajemen medis dan
bukan karena penyakit yang diderita.
6
2.2 Jenis-Jenis Insiden di RS
Menurut Departemen Kesehatan RI, 2008 menyatakan Insiden keselamatan pasien/ patient
safety incident merupakan kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang tidak seharusnya terjadi (dapat dicegah). Adapun beberapa jenis
insiden adalah sebagai berikut :
1. Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverse event yaitu insiden yang mengakibatkan
cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis.
2. Kejadian nyaris cedera (KNC)/ near miss merupakan suatu insiden yang tidak
menyebabkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu 11 tindakan (commission)
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dapat terjadi karena:
3. “keberuntungan” (misalnya pasien yang menerima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak
timbul reaksi obat).
4. “pencegahan” (misalnya secara tidak sengaja pasien akan diberikan suatu obat dengan
dosis lethal, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan).
5. “peringanan” (misalnya pasien secara tidak sengaja telah diberikan suatu obat dengan
dosis lethal, segera diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya, sehingga tidak
menimbulkan cidera yang berarti).
Kejadian Nyaris Cedera mengacu pada salah satu definisi dalam literatur safety management
sebagai suatu kejadian yang berhubungan dengan keamanan pasien yang berpotensi atau
mengakibatkan efek diakhir pelayanan, yang dapat dicegah sebelum konsekuensi aktual terjadi
atau berkembang (Aspden, 2004). KNC juga diungkapkan sebagai kejadian yang berpotensi
menimbulkan cedera atau kesalahan, yang dapat dicegah karena tindakan segera atau karena
kebetulanm dimana hasil akhir pasien tidak cedera.
KNC lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian tidak diharapkan, frekuensi kejadian
ini tujuh sampai seratus kali lebih sering terjadi. Data KNC harus dianalisis agar pencegahan
dana pembentukan sistem dapat dibuat sehingga cedera aktual tidak terjadi. Sebagian besar kasus
KNC memberi dampak pada pada penyebab insiden atau proses hingga kejadian nyaris cedera
itu terjadi (Mustikawati, 2011). Terciptanya keselamatan pasien sangat didukung oleh sistem
pelaporan yang baik setiap kali inisiden terjadi. Faktor penyebab kejadian nyaris cedera sulit
7
didapatkan jika tidak didukung oleh dokumentasi yang baik (sistem pelaporan). Hal ini dapat
mengakibatkan langkah pencegahan dan implementasi untuk perbaikan sulit dilakukan
(Cahyono. 2008)
Standar Keselamatan Pasien di rumah sakit Standar Keselamatan pasien berdasarkan “Buku
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang diterbitkan pada tahun 2006.
Menguraikan tentang Standar Keselamatan Pasien, yang dimana standar tersebut terdiri dari
tujuh standar, yaitu :
a. Hak pasien,
b. Mendidik pasien dan keluarga,
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan,
d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien,
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien,
f. Mendidik staf 13 tentang keselamatan pasien, dan
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
8
2.3 Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
Salah satu startegi dalam merancang sistem keselamatan pasien adalah bagaimana
mengenali kesalahan sehingga dapat dilihat dan segera diambil tindakan guna memperaiki efek
yang terjadi. Upaya untuk mengenali dan melaporkan kesalahan ini dilakukan melalui sistem
pelaporan. Kegagalan aktif (petugas yang melakukan kesalahan) atau yang berkombinasi dengan
konsisi laten akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan berupa kejadian nyaris cedera
(KNC), KTD, atau bahkan kejadian yang menyebabkan kematian atau cedera serius (sentinel).
Berhenti sampai tahap melaporkan saja tentu tidak akan meningkatkan mutu dan keselamatan
pasien, yang lebih penting adalah bagaimana melakukan suatu 20 pembelajaran dari keselahan
tersebut sehingga dapat diambil solusi agar kejadian yang sama tidak terulang kembali (Iskandar,
2014). Pelaporan insiden keselamatan pasien adalah jantung dari mutu layanan, yang merupakan
bagian penting dalam proses belajar dan pembenahan ke dalam revisi dari kebijakan, termasuk
standar prosedur operasional (SPO) dan panduan yang ada.
Rumah sakit wajib untuk melakukan pencatatan dan pelaporan insiden yang meliputi
kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan kejadian sentinel. Pelaporan
insiden dilakukan secara internal dan eksternal. Pelaporan internal dilakukan dengan mekanisme/
alur pelaporan keselamatan pasien rumah sakit di lingkungan internal rumah sakit. Pelaporan
eksternal dilakukan dengan pelaporan dari rumah sakit ke KKP-RS nasional. Dalam lingkup
rumah sakit, unit kerja keselamatan pasien rumah sakit melakukan pencatatan kegiatan yang
telah dilakukan dan membuat laporan kegiatan kepada Direktur rumah sakit. (Departemen
Kesehatan, 2008).
Sistem pencatatan dan pelaporan adalah salah satu elemen penting yang dibutuhkan dalam
manajemen patient safety. The National Patient Safety Agency (NPSA) bahkan menempatkan
pencatatan dan pelaporan sebagai salah satu dari tujuh langkah menuju keselamatan pasien.
Pencatatan dan pelaporan disni diartikan sebagai sebuah tindakan berupa komunikasi secara jujur
untuk mengakui dan meminta maaf atas kesalahan atau cedera medis yang dialami pasien.
Tindakan pelaporan untuk tidak menghindari dan menyembunyikan jika terdapat kesalahan
medis yang dialami pasien.tindalkan pelaporan untuk tidak menghindari dan menyembunyikan
jika terdapat kesalahan medis yang terjadi adalah bagian dari kebijakan medical error
disclosure.
9
Sudah semestinya, rumah sakit maupun penyedia layanan kesehatan lainnya mengubah
sudut pandang dalam menghadapi adanya cedera medis ataupun KTD. Hal ini bergantung dari
setiap individu memandang dilakukannya error, persepsi penyebab KTD dan sistem pelaporan
dan pembahasan KTD. Jika rumah sakit atau lembaga penyedia layanan kesehatan tersebut
menerapkan blaming culture (budaya menyalahkan), maka dapat dipastikan tidak ada petugas
medis yang “berani” melaporkan cedera/KTD. Tampa adanya laporan, selain permasalahan dan
sebab-sebab terjadinya tidak diketahui dan tidak akan bisa diatasi, hak-hak pasien dan
keluarganya pun tereduksi. Maka semestinya, cedera dan KTD dapat semakin diminimalisir serta
dapat membuat petugas medis semakin belajar dari kesalahan yang pernal dilakukan. Maka
peneraapan sistem safety culture, (bukan blaming culture) semestinya menjadi tujuan dari rumah
sakit/penyedia layanan kesehatan sebagai salah satu faktor untuk meningkatkan keselamatan
pasien.
Sebelum memasuki kesadaran petugas medis untuk melakukan tindakan pencatatan dan
pelaporan medis adalah menciptakan perubahan berupa penghapusan blaming culture di setiap
institusi penyedia layanan kesehatan. Kurt Levin dalam Cahyono (2008) menyebutkan sejumlah
laangkah dapat ditempuh untuk menciptakan budaya baru yang mengutamakan keselamatan
pasien dibandingkan dengan tindakan saling menyalahkan saat terjadi KTD/cedera medis.
Dalam UU Keselamatan Pasien dalam UU No.44 th 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 43
telah disebutkan bahwa institusi penyedia layanan kesehatan memiliki sejumlah kewajiban
berkenaan dengan keselamatan pasien, khususnya pelaporan insiden. Hal itu diantaranya :
1. Rs wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
2. Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa dan
menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian tidak
diharapkan (KTD).
3. Rs melaporkan kegiatan ayat 2 kepada komite yang membidangi keselamatan pasien
yang ditetapkan menteri.
4. Pelapor insiden keselamata pasien (IKT) pada ayat 2 dibuat secara anonim dan
ditunjukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan pasien ayat 1 dan ayat 2 di atur dengan
peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
6. Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/11 tentang keselamatan pasien rumah sakit, pasal 6.
10
7. Setiap rumah sakit wajib membentuk tim keselamatan pasien rumah sakit (TKPRS)
yang di tetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan
pasien.
8. TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertanggung jawab kepada kepala rumah
sakit.
9. Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari manajemen
rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
KPRS melaksanakan sejumlah tugas. Diantara tugas KPRS adalah mengembangkan
program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan rumah sakit
tersebut.
2.4 Jenis dan Metode Pelaporan
Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan insiden yang meliputi kejadian
tidak diharpakan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan kejadian sentinel, berdasarkan
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2008). Pelaporan insiden dapat dilakukan
dengan dua cara ,seperti secara internal dan eksternal. Pelaporan internal dilakukan dengan
mekanisme/ alur pelaporan keselamatan pasien rumah sakit di lingkungan internal rumah sakit.
Pelaporan eksternal dilakukan dengan pelaporan dari rumah sakit ke KKP-RS nasional. Dalam
lingkup rumah sakit, unit kerjakeselamatan pasien rumah sakit melakukan pencatatan 21
kegiatan yang telah dilakukan dan membuat laporan kegiatan kepada Direktur rumah sakit.
Banyak metode yang digunakan mengidentifikasi resiko, salah satu caranya adalah dengan
mengembangkan sistem pelaporan dan sistem analisis insiden keselamatan pasien. Sehingga,
dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan mengajak semua orang dalam organisasi untuk
peduli akan bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi kepada pasien. Adapun ketentuan terkait
pelaporan insiden sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2008)
akan di jabarkan sebagai berikut:
1. Insiden sangat penting dilaporkan karena akan menjadi awal proses pembelajaran untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
2. Memulai pelaporan insiden dilakukan dengan membuat suatu sistem pelaporan insiden di
rumah sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur
pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan.
11
3. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun
yang nyaris terjadi.
4. Pelapor adalah siapa saja atau semua staf rumah sakit yang pertama menemukan kejadian
atau yang terlibat dalam kejadian.
5. Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari maksud,
tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi 22 formulir laporan
insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian yang digunakan dalam sistem
pelaporan dan cara menganalisa laporan.
Penelitian dari Rat Dewa pada tahun 2014 mengemukakan laporan KNC di RSUP Sanglah
Denpasar pada masing-masing ruang rawat inap tidak seragam. Perbedaan jumlah rata-rata ini
memiliki faktor yang spesifik sehingga menyebabkan adanya perbedaan jumlah pelaporan
tersebut. Sesuai dengan teori dari Mark (2001), bahwa Budaya keselamatan pasien terkait dengan
motivasi pelaporan kejadian keselamatan pasien yang dilaksanakan dengan penuh kejujuran dan
tanpa budaya menyalahkan (blame free culture), sehingga untuk mempromosikan budaya belajar
dari kesalahan, manajemen rumah sakit harus dapat mengidentifikasi budaya keselamatan pasien
yang komprehensif.
12
2.5 Pengertian Teknologi Keselamatan Pasien
Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari
sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994) berkaitan
erat dengansains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi
mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu samalainnya.
Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri
dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya.
Definisi mengenai sains menurut Sardar (1987) adalah sarana pemecahan masalah mendasar
dari setiap peradaban. Tanpa sains, lanjut Sardar (1987) suatu peradaban tidak dapat
mempertahankan struktur-struktur politik dan sosialnya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar rakyat dan budayanya. Sebagai perwujudan eksternal suatu epistemologi, sainsmembentuk
lingkungan fisik, intelektual dan budaya serta memajukan cara produksi ekonomis yang dipilih
oleh suatu peradaban. Pendeknya, sains, jelas Sardar (1987) adalah sarana yang pada akhirnya
mencetak suatu peradaban,dia merupakan ungkapan fisik dari pandangan dunianya.
Sedangkan rekayasa, menurut Djoyohadikusumo (1994) menyangkut hal pengetahuan
objektif (tentang ruang, materi, energi) yang diterapkandibidang perancangan (termasuk
mengenai peralatan teknisnya). Dengan katalain, teknologi mencakup teknik dan peralatan untuk
menyelenggarakan rancangan yang didasarkan atas hasil sains. Seringkali diadakan pemisahan,
bahkan pertentangan antara sains dan penelitian ilmiah yang bersifat mendasar (basic science and
fundamental) di satu pihak dan di pihak lain sains terapan dan penelitian terapan (applied science
and applied research). Namun, satu sama lain sebenarnya harus dilihat sebagai dua jalur yang
bersifat komplementer yang saling melengkapi, bahkan sebagai bejana berhubungan; dapat
dibedakan, akan tetapi tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya.
Teknologi informasi sebagai seperangkat alat yang membantu untuk bekerja dengan
informasi dan melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pemrosesan informasi. Dalam
hal ini, TI dianggap alat yang digunakan untuk pekerjaan yang berkaitan dengan informasi.
Pengolahan informasi yang dihasilkan diproses menggunakan alat-alat tersebut. Alat-alat ini
adalah komputer beserta software-software pendukungnya. Teknologi Informasi yang tidak
hanya terbatas pada teknologi komputer yang digunakan untuk memproses dan menyimpan
informasi melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasiIT tidak
hanya sebagai teknologi komputernya saja yang dipergunakan untuk pemrosessan dan
13
penyimpanan data. Pengertiannya lebih luas lagi, karena teknologi komunikasi digunaka nuntuk
melakukan pengiriman informasi. Teknologi Informasi merujuk pada seluruh bentuk teknologi
yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, mengubah, dan untuk menggunakan informasi
tersebut dalam segala bentuknya (Sulisnadewi. 2010).
14
d. Laporan observasional dan prosedur standar
e. Uji kendali acak (randomize control trial)
f. Pengaduan oleh professional
g. Teknologi mengalami kehilangan kepercayaannya dan erosi.
2. Difusi
Teknologi adalah suatu proses dimana teknologi memasuki dan menjadi bagian dari
sistem pelayanan kesehatan. Fase ini mengikuti tahap riset dan pengembangan dan
mungkin juga tidakm engikuti uji klinik yang teliti untuk menunjukkan efikasi dan
keselamatan pasien. Pada awal fase difusi biasanya berjalan lambat, hal ini menunjukkan
kehati-hatian dari sebagian pengguna walaupun boleh jadi juga menunjukkan masalah
komunikasi informasi tentang inovasi yangsudah dikembangkan. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa difusi ini dipengaruhi oleh pembuat keputusan
dan kendala-kendala yang dihadapi oleh perorangan terhadap keputusan untuk
penggunaan teknologi tersebut. Untuk rumah sakit biasanya terkendala dengan
keterbatasan anggaran atau kendala dalam penggunaannya
3. Evaluasi
Evaluasi teknologi kesehatan menyangkut beberapa faktor, diantaranya potensi terapi,
kemampuan diagnosis dan skrining, efektivitas di masyarakat, kepatuhan pasien dan
cakupannya.
a. Potensi untuk terapi
Evaluasi teknologi kesehatan hendaknya dikaitkan dengan kemampuan teknologi
baru itu untuk meningkatkan derajat kesehatan secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam hal ini yang perlu dipertanyakan adalah apakah teknologi terapi
yang baru itu lebih bermanfaat dibandingkan dengan kerugian terhadap pasien yang
diagnosanya tepat, diobati dengantepat dan taat pada rekomendasi pengobatan
tersebut.
b. Kemampuan untuk Diagnosis dan Skrining
Teknologi untuk diagnosis dan skrining kemungkinan merupakan area yang tumbuh
paling cepat dalam teknologi kesehatan, misalnya pengembangan dalam CT Scan
dan MRI. Biasanya teknologi untuk diagnosis dan skrining dikaitkan dengan
kemanfaatan terapi dan untuk meningkatkan perbaikan hasil akhir (outcome).
15
c. Efektivitas di Masyarakat
Untuk menentukan efektivitas teknologi di masyarakat perlu dilibatkan penilaian
terhadap besarnya peningkatan derajat kesehatan yang dapat diharapkan sebagai
akibat aplikasi dari teknologi spesifik di dalam masyarakat atau populasi yang
terjangkau. Kepatuhan profesional kesehatan merupakan salah satu komponen
efektivitas penggunaan teknologi di masyarakat di sini diperlukan informasi sejauh
mana profesional kesehatan tersebut mematuhi aplikasi teknologi yang diperlukan
untuk aplikasi diagnosa yang tepat dan teknologi manajemen
(pencegahan,penyembuhan paliatif dan rehabilitasi).
d. Evaluasi kepatuhan pasien
Seberapa jauh kepatuhan pasien terhadap penyedia pelayanan kesehatan dalam hal
rekomendasi dan terapi dapat dinilai tergantung dari jenis teknologi yang secara
substansial mempengaruhi besarnya manfaat yang diperoleh darinya.
e. Evaluasi cakupan (Evaluation Coverage)
Cakupan disini diartikan sebagai seberapa jauh teknologi yang bermanfaat
diterapkan secara tepat terhadap semua pasien atau masyarakat yang memperoleh
manfaat darinya. Cakupan apakah pasien secara individual memerlukan atau tidak
teknologi tersebut.
16
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono SB. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktik Kedokteran.
Yogyakarta: Percetakan Kanisius
DepKes-RI. 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient safety).
Iskandar, H, Maksum, & Maksiah. 2014. Faktor penyebab penurunan pelaporan insiden
keselamatan pasien rumah sakit. Program studi magister manajemen rumah sakit.
Universitas Brawijaya, Malang
Jakarta.. Aspden, et al., 2004,Patient Safety Achieving a New Standard for Care. The National
Academies Press, Washington
Sulisnadewi, N.K.L. 2010. Dampak Teknologi Informasi dalam Meningkatkan Patient Safety
dan Kulaitas Pelayanan Keperawatan. Jurnal Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
17