Anda di halaman 1dari 9

SURAT PERNYATAAN

TIDAK MENJADI ANGGOTA/PENGURUS ORGANISASI TERLARANG


DAN BUKAN PENGURUS PARPOL

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Lengkap : YUSNI, S.PdI


Tempat/tgl. Lahir : Sulit Air, 13 Januari 1989
Ijazah Terakhir : SI
Alamat : Ganting Pandan Jorong Linawan Sulit Air
Hp. : 085375926800

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya tidak menjadi anggota Organisasi terlarang dan
bukan pengurus partai politik. Apabila pernyataan ini dikemudian hari tidak benar, maka
saya bersedia menerima sanksi. Demikian saya sampaikan.

Sulit Air, 2 April 2018


Yang membuat pernyataan

YUSNI, S.PdI
Hal: Surat

Yang Terhormat,
Kepala Bapak Bupati Solok
Cq. Bagian Kesra Setda Kab. Solok

Dengan hormat,
Sesuai dengan surat pengumuman rekrutmen calon pelaku keagamaan honorer Pemda
Kabupaten Solok tahun 2018, informasi adanya penerimaan pendaftaran calon pelaku
keagamaan, oleh karena itu saya bermaksud untuk mendaftar sebagai calon pelaku
keagamaan kab. Solok dengan data sebagai berikut :

Nama : Y: YUSNI, S.PdI


Tempat / tgl. Lahir : Sulit Air, 13 Januari 1989
Pendidikan Terakhir : SI
Alamat : Ganting Pndan Jorong LinawanSulit Air
: 08527
Telepon (HP)

Sebagai bahan pertimbangan, saya juga lampirkan:

Daftar Riwayat Hidup


1. Foto copy Ijazah S1
2. Foto copy KTP
3. Surat Rekomendasi darikantor wali nagari Sulit Air
4. Pas photo 3 X 4 = 2 Lembar
5. Surat keterangan tidak mengikuti organisasi terlarang atau PARPOL
6. Surat keterangan berpengalaman dibidang keagamaan dari kantor KUA

Demikian surat permohonan ini saya buat, saya ucapkan terima kasih banyak .

Hormat saya

YUSNI, S.PdI

ASAL MULA SULIT AIR

Berdasarkan Kejadian Alami

Disuatu lembah atau lurah yang bernama “Talak Ayie” di Jorong Koto Tuo, dulu ditemukan
air yang keluar dari celah-celah batu yang mengalir ke anak sungai didekat situ. Karena celah
– celah batu tempat keluarnya air itu sempit sekali , maka air itu keluar seperti sama dengan
berdesak-desakan , sehingga air itu tampaknya begitu susah atau sulit sekali untuk keluar dari
celah batu tersebut. Kenyataan dari kejadian alami itulah timbulnya kata “sulitnya air” itu
muncul , sebab anak nagari yang mula-mula menyebutkan susahnya atau sulitnya air , baik
kenyataan pada muncul ditemukannya air tersebut maupun pada kenyataannya di Jorong
Koto Tuo (koto mula-mula ada di Sulit Air) itu sampai kini memang air sulit diperoleh
karena jauh dari aliran sungai. Dan juga pada tempat-tempat tertentu dijorong-jorong lain
yang berada pada ketinggian tertentu yang jauh dari sumber atau aliran air.

Berdasarkan Perubahan Logat Bahasa.

Menurut versi cerita lain , kata “Sulit Air” berdasarkan dari aslinya akar kata “Solek Ayie”
atau lengkapnya “Ayie Nan Tasolek Dibatu” ; yang maksudnya adalah air yang keluar dari
celah-celah batu tampat begitu sulitnya. Pada hal air yang mengalir dari tempat yang tinggi
ketempat yang rendah , jika melalui celah-celah batu menurut hukum alam memang
demikianlah keadaannya. Lama-lama perkembangan kata solek ayie dalam percakapan
lambat laun berubah menjadi “Sulik Ayie” yang dalam bahasa Indonesia sama dengan “Sulit
Air”.

Sumber lain mengatakan bahwa kata “Sulik Ayie” berasal dari kata “Silek Ayie” yakni Sulit
Air itu berasal dari kata “Silat Air” atau “Pendekar Air”. Filosofi alamnya adalah bahwa air
ini mulai mengalir dari sumbernya “mata air” yakni dari gunung atau bukit ataupun tempat-
tempat yang tinggi melalui anak-anak sungai dilembah-lembah sekitarnya menuju laut lepas.
Dia mengalir siang dan malam tanpa henti-hentinya. Walaupun dicemari oleh berbagai
unsure yang menyebabkan air tadi berubah rasa, bau dan warna : namun yang namanya air itu
tetap bersih dan jernih dari hulu sampai kehilir bahkan sampai kelaut lepas, sang air ini pada
dasarnya tetap “bersih dan jernih”

Berdasarkan Kharakter Penduduknya.

Diakui atau tidak dalam pergaulan sehari-hari , bila kita bicara dengan seseorang Anak
Nagari Sulir Air , baik yang berdomisili dikampung halaman , maupun yang berada
diperantauan , apakah itu dalam acara “maota pangka titi” , rapat-rapat, berdiskusi membahas
sesuatu dan lebih-lebih lagi dalam musyawarah yang telah melibatkan segala unsure dan
status ; sejak dulu telah timbul kesan seolah-olah “sulit” atau “susah” dalam perhitungannya.
Orangnya yang sulit atau susah berurusan , mungkin akibat pengaruh alam atas wilayah atau
daerah itu.

Kita ambil contoh berikut ini :

1. Dalam Masalah Tanah. Misal sudah ditetapkan batas tanahnya si Angku


Nengka dengan Tuan Empun bahwa batas tanah mereka adalah sebatang
pohon kelapa dengan batang pohon enau dengan mengambil garis lurusnya.
Batas alam adalah bukit dan sungai didekatnya. Setelah berlalu beberapa
generasi , dimana saksi telah berkurang karena merantau atau meninggal dunia
dan kalaupun masih ada telah lupa pula tak mau jadi saksi. Keturunan si
Nengka menyebutkan batas tanah ulayatnya adalah dari batu alam yang
dulunya masuk wilayah si Empun ke Pohon Kelapa yang katanya dia pula
yang punya. Tentu saja cucu si Empun bersikeras batas yang benar adalah
garis lurus seperti tersebut diatas dan pohon kelapa adalah milik bersama.
Maka timbullah “permasalahan pada tanah ini” dan menjadi sengketa
berkepanjangan sampai mereka tua pula dan mereka sulit untuk didamaikan.
Banyak kejadian dan versi sulitnya menyelesaikan masalah tanah di Sulit Air
dewasa ini, bahkan ada diantaranya mereka adalah “satu keturunan nan
saparuik”
2. “Indak Ado Lihie Nan Indak Bisa Dicakiek , Indak Ado Pula Pandeka Nan
Indak Buluih Di Sulik Ayie”. Artinya adalah “tidak ada leher yang tidak bisa
dicekik , tidak ada pula pendekar yang tidak tumbang di Sulit Air. Dengan
adanya perkiraan asal kata Sulit Air yang tadi berasal dari kata “Silat Air” atau
“Pendekar Air” , maka bila mereka berkata-kata hampir semua seolah-olah
sudah merasa lebih dari yang lain.Pernah terja- di seseorang mengaku dan
berbuat seperti jagoan di Sulit Air , maka yang tak senang dengan sikap dan
perbuatannya dicarikanlah lawannya. Yah begitulah, dia dikalahkan dan
ditumbangkan dihajar lawannya. Sejak itulah dia bersikap “manakuo sajo lai”

Lubuak Nunang & Titi Bagonjong (Foto Dokumentasi H Dozri Armis BSc)

1. Begitu juga kalau “terlalu merasa pintar berbicara” menghadapi orang. Tak
mau dan tak perduli terhadap aturan kebiasaan umum yang ada , baik adat
istiadat maupun tata aturan yang dikeluarkan oleh yang berwenang dalam
suatu forum, maka dia yang diakui “pandai bersilat kata” (awak maucapkan) ,
tapi belum tentu diakui sebagai “pendekar dalam karajonyo” (awak
mangarajokan) , akibatnya tangguang suranglah bagaimana jadinya (awak
manyandang tangguang jawabnyo) ; maka apapun status dan kedudukannya di
nagari , orang tak memperdulikannya lagi.
2. “Belum dan Tidak Berjiwa Keizen Ala Jepang’. Jika ada suatu perkembangan
ilmu dari bangsa lain yang telah terbukti baik membawa kemajuan bagi diri
maupun lingkungan masyarakat, belum tentu di Sulit Air bisa diterapkan
begitu saja, kecuali yang telah berada diperantauan yang membawa kemajuan
dan keberhasilan dalam usaha bisnis dan karir pekerjaannya. Jiwa keizen
adalah dapat menerima dan meniru pola kerja baru yang diterapkan dan
dilakukan terus menerus tiada henti dengan mengadakan perubahan atau
perbaikan untuk ,mendapatkan hasil yang lebih baik dari yang semula.Jiwa
keizen semula dimiliki bangsa Jepang yang telah ditiru dan diterapkan oleh
individu maupun kelompok masyarakat hampir diseluruh dunia tanpa tekanan
ataupun paksaan dalam bentuk apapun.Itulah jiwa keizen ala Jepang. Tapi hal
ini sulit diterapkan di Sulit Air. Kita ambil contih ;

Sudah banyak proyek-proyek yang telah dirintis dan disumbang oleh “perantau yang
berhasil” untuk membangun dan mengembangkan kehidupan yang layak di Sulit Air. Lihat
Sumbangan dan Pengembangan Sapi Perah yang telah pernah ada , tapi tak jalan dan hilang
begitu saja. Peresmian dan pengembangan perkebunan buah-buahan oleh Bupati Solok dulu
(insinyur pertanian) pada suatu lahan di Jorong Sarikieh , kenapa lenyap begitu saja ? Padahal
air cukup tersedia di Jorong ini untuk penyiramannya agar tak kekurangan air. Perkebunan
tersebut tak berkembang dan lahannya kini telah menjadi semak-semak dan kembali menjadi
hutan lagi

Hutan Pinus yang ditanam tahun 1970-an telah banyak tumbuh besar di Sulit Air,

Karena mengakibatkan berkurangnya resapan air, disarankan untuk ditebang habis saja.

Pada umumnya asal-usul Nenek Moyang Orang-orang di Minangkabau , termasuk Nenek


Moyang Anak Nagari Sulit Air diterima berdasarkan cerita dan keterangan lisan dari orang-
orang tua , baik yang masih hidup maupun yang telah tiada : yang dulunya bercerita pada
anak cucunya. Dan amat tergantung pada kesegaran ingatan dan bahan-bahan yang
diterimanya pula secara lisan dan diteruskan pula secara turun temurun dengan jalan bercerita
pula. Sekedar berpegang dengan hal-hal diatas. Dapat disimpulkan bahwa nenek moyang
orang Sulit Air yang mungkin pula nenek moyang wilayah sepuluh koto diatas, sepuluh koto
Singkarak bahkan mungkin juga nenek moyangnya seluruh kabupaten Solok. Diceritakan
bahwa nenek moyang orang Sulit Air itu adalah sebagai berikut ;

1. Nenek Moyang yang berasal dari Pariangan-Padang Panjang , melalui bukit-bukit


dan lurah menuju kenagarian antara lain Bukit Kandung dan Pasilihan sekarang dan
akhirnya menemui suatu tempat bernama Ompang dan Tompok yang kini menjadi
wilayah Jorong Talago Laweh. Setelah beberapa lama mereka bermukim disitu,
kemudian ada yang pindah dan bermukim pula disuatu tempat bernama nagari asalnya
yakni Padang Panjang , lalu menyebar kearah Koto Tuo sekarang. Inilah koto yang
tertua sekali yang didirikan di Sulit Air , setelah banyak berdirinya taratak-taratak
dan kampung-kampung disekitarnya. Ini diperkirakan terjadi dimasa masih beragama
Hindu sekitar abad ke 10 dan sesudahnya

1. Nenek Moyang yang datang dari Batu Sangkar , yang mula pertamanya juga berasal
dari Pariangan-Padang Panjang , yang melalui Nagari Pasilihan sekarang dan
daerah menetapnya yang pertama bernama Taratak Bungkuk.

1. Nenek Moyang yang datang dari arah Kacang Rosam , dimana mula pertama daerah
yang didiaminya adalah Guguak Cerek dan sekitarnya.

Dari ketiga asal tersebut diatas, barulah setahap demi setahap mereka berpindah lagi kedaerah
lain dalam wilayah Sulit Air sekarang. Keterangan ini dikemukakan berdasarkan kesamaan-
kesamaan dalam ; dialog/logat bahasa , hubungan darah dan sangkut paut pada harta
pusaka dalam adat.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh H.R. Rangkayo Sutan dan Drs.H.S. Dt.Polongkayo ,
ditulis mengenai sejarah datangnya nenek moyang anak nagari Sulit Air secara cukup
lengkap. Dalam buku itu banyak sekali cerita-cerita mengenai asal usul nama-nama tempat
dalam nagari Sulit Air dan sekitarnya. Nama-nama tempat tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :

1. ………. Batang Ombilin sedang meluap airnya . Beberapa lupak sawah yang baru
ditanami yang berdekatan dengan sungai itu tertutup dan tertimbun kosiek (pasir) dan
batu-batu kerikil. Untuk mengingat-ingat tempat itu Dt.Mulo Nan Kawi memberikan
nama Sawah Kosiek.

Pesantren dan Akademi Manajemen EL HAKIM di Piek Ontang – Sulit Air

(Foto Syukri Tamin 2005)

1. ……….. Puti Anggo Ati amat senang dan berteriak :”pasie bailin”. Karena beberapa
anggota rombongan berminat untuk menetap ditempat itu dan Dt.Mulo Nan Kawi
dapat merestuinya dan memberinya nama tempat itu “pasie bailin” yang lambat laun
berubah jadi Pasilihan……

1. …………….Disuatu tempat mereka berkemah dan bermalam. Karena perjalanan jauh


meletihkan , lama sekali mereka “takolok” atau terlelap. Setelah tinggi benar
matahari baru mereka terbangun. Untuk mengabadikan kenangan itu, maka tempat
tersebut mereka beri nama “Takolok”, yang lama-lama berubah disebut “Kolok”
saja.

1. ……….Rombongan itu berhenti sebentar didangau-dangau (pondok kecil), punya si


Bungkuk itu dan tempat itu kemudian dipopulerkan Puti Anggo Ati dengan nama
“Taratak Bungkuak”…………………….

1. ……………..sebagai rasa terima kasih kepada batang limau purut yang dianggap
telah memberikan pertolongan itu, maka Dt.Mulo Nan Kawi memberi nama tempai
itu dengan “limau puruik”

1. ………..Datuk Mulo Nan Kawi senyum-senyum dan mengangguk-angguk kecil,


hingga dari mulutnya sering kedengaran berkata : “aa-lai , ado juo lai…” ,
…………. Dan tempat itu diberi nama “Alai”.
2. ………..Pada suatu tempat (di koto tuo ?) mereka menemukan air yang keluar dari
celah-celah batu yang mengalir ke anak batang air disitu. Karena celah-celah tempat
keluarnya air tersebut sempit sekali , maka air itu keluar seperti berdesak-desakan
yang kelihatannya lucu dan indah serta berbunyi seperti rintihan-rintihan kecil yang
tidak berkeputusan…………….., berkata Puti Anggo Ati : “Tuan ! , Lieklah sulikno
ayie kalua li ! , …..”Iyo sulik ayie disiko !, …
3. ……….. maka melekatlah nama “Sibumbung Jantan” , yang lain “Sibumbung Betina”
, lama – lama berubah menjadi “Sibumbun Jantan“ dan “Sibumbun Betina” hingga
kini …..
4. ……………….kita namakan saja “ Sundak Langik” ……
5. ……. Marilah masing-masing kita beri nama “Gunung Merah” dan “Gunung
Putih”……….. Dalam perkembangan lebih lanjut karena kening gunung yang
berukir wana merah itu “licin bak kaca , datar bak papan”, pendudukpun
mempopulerkan pula dengan nama “ Gunung Papan “.
6. ….. namakan saja “Guguok Ujuong Nan Tenggi” …. Pendekkan sajalah menjadi
“Guok Jonggi”.
7. … jaraknya demikian dekat dengan kita , bagaikan “dimuko muncuong kito sajo “,
namakan saja “Guguok Muncuong ! ”………

Masjid Raya – Sulit Air (Foto Dokumentasi H Dozri Armis BSc)

.Sebagaimana diketahui, tahap pertama Perang Paderi (1802-1821) adalah pertikaian dan
pertempuran antara PASUKAN PADERI yang dipimpin oleh Harimau Nan Salapan melawan
Kaum Adat yang berkuasa saat itu diperbagai nagari. Dilihat dari pergerakan geografis,
Pasukan Paderi saat itu , mulai dari Bukik Batabuah sampai ke Sungai Puar , hingga meluas
dan memencar keseluruh penjuru arah mata angin di Minangkabau, hingga termasuk Sulit
Air.

…….Sulit Air terletak ditengah-tengah ranah Minangkabau. Pada waktu itu dibutuhkan titik
singgah yang memungkinkan pergerakan pasukan Paderi menjangkau berbagai wilayah. Sulit
Air merupakan salah satu lokasi yang paling memungkinkan , mengingat posisi “geografis
yang sangat strategis” Di Sulit Air , yakni dari puncak “Gunung Papan” (Gunung Merah)
dan Bukit-bukit lainnya dapat terlihat bentangan alam Luhak Limopuluh Koto , Tanah
Datar hingga Sawah Lunto. Disamping itu disekitar Sulit Air terdapat beberapa titik pantau
yang bagus , yaitu Batu Api di Tanjung Alai , Bukit Kacang dan Simawang , untuk melihat
pergerakan-pergerakan disepanjang tepi Danau Singkarak.

Tahun 1804 Luhak Tanah Agam telah jatuh ke tangan Paderi, berikutnya adalah Luhak
Limopuluh Koto , serta Danah Datar tahun 1808. Sebuah benteng pertahanan Paderi
dibangun di sbelah Timur Alahan Panjang dikaki Bukit Tajadi. Kaum Paderi kemudian
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Pada tahun 1812 Datuk Sati dari Alahan Panjang
memimpin penyerbuan ke benteng Bonjol. Bila ini diambil sebagai patokan , tentu gerakan
Pasukan Paderi adalah dari Timur ke Utara, lalu ke Selatan , dan periode antara 1808-1812
adalah periode konsolidasi. Dari garis perjalanannya , tentulah melewati wilayah Sulit Air
dan menjadikannya tempat persinggahan. Atau tentu telah merupakan “Dormitory Town
(asrama militer) Pasukan Paderi” , yang lambat laun menjadi salah

Satu nagari untuk dijadikan permukiman tetap (setelah usai Perang Paderi)

……..Kembali secara geografis, Sulit Air sudah berbentuk benteng secara alami, hingga tidak
memerlukan konstruksi khusus. Ketika dimulainya lagi peperangan pada tahun 1821 , yakni
dimulainya periode kedua Perang Paderi, Belanda melancarkan serangan-serangan kerusuk-
rusuk pertahanan Pasukan Paderi. Beberapa pertempuran pada tahun 1821 itu, menyebabkan
Sulit Air jatuh ketangan Belanda.

Ketika dimulai lagi Perang Paderi periode ketiga (1832-1837) , Sulit Air kembali menjadi
dormitory town dan kubu pertahanan. Pada pertempuran besar tahun 1837 pasukan Paderi
bercerai berai , sehingga Tuanku Imam Bonjol memerintahkan Pasukan Paderi untuk pulang
ke kampung halamannya masing-masing dan hidup sebagai rakyat biasa. Seusai Perang
Paderi (1837) Nagari Sulit Air adalah tempat pilihan untuk memulai kehidupan baru bagi
sebagian besar mantan Pasukan Paderi. Dengan demikian ada pendapat yang mengatakan
bahwa Sulit Air mulai dibangun sebagai Nagari sejak tahun 1837 itu ( kemudian berbaur
dengan yang telah datang dan bermukim terlebih dahulu yang datang pada masa agama
Hindu , dimana mereka memeluk agama Islam setelah datangnya mantan Pasukan Paderi ini
).

Karena membawa dua paham adat yang saling berbeda , maka mereka mufakat untuk
memakai atau menjalankan adat mana yang terbaik dari kedua adat tersebut, “ Bodi
Chaniago inyo indak, Koto Piliang inyo antah”

Pemain Puput atau Pupuik Batang Padi Yang Dibalut Daun Muda Kelapa.

Peniup Pupuik ini tak ditemukan lagi di Kab.Solok umumnya, Sulit Air

Khususnya, tersingkir oleh Hiburan Modern (Televisi atau Organ Tunggal)

(Photo Repro ARSIP NASIONAL R.I.)

Sulit Air bagi penjajahan Belanda dan juga Inggeris , merupakan sebuah Nagari yang tak
pernah mereka lupakan dalam era penjajahannya dahulu. Dalam Peta dunia yang dibuat
Belanda dahulu, pada peta Indonesia khususnya pulau Sumatera, nama Nagari Sulit Air
ditemui dan dicantumkan ; tetapi pada peta yang dibuat oleh kita sendiri Indonesia tidak
ditemui atau belum dicantumkan. Barulah pada Pemerintahan Orde Baru , nama Nagari Sulit
Air telah tertulis dan dapat kita baca sampai sekarang.
Dalam cerita lain, bahwa sebelum Belanda menguasai Sumatera Barat, wilayah pantai Barat
Sumatera ini adsalah wilayah Negeri Merdeka dibawah naungan Kerajaan Pagaruyung.
Pertama kali bangsa Asing yang ingin menguasainya adalah Inggeris, kemudian Belanda.
Inggeris yang telah menguasai Bengkulu permulaan abad ke 19 itu mencoba menaklukkan
kerajaan Pagaruyung ini. Terjadilah perlawanan dimana-mana , antara lain ; Pemberontakan
Pariaman (1818) , Gerakan Harimau Nan Salapan (1808-1820) dan Perjuangan Sulit Air
(1820). Mengenai perlawanan Anak Nagari Sulit Air , dalam buku Republik Indonesia,
Propinsi Sumatera Tengah (terbitan1960) , didalam halaman 28 ditulis tentang kedatangan
Inggeris sebagai berikut :

……………….akhirnya Rafles datang dengan tentaranya (dari Bengkulu) untuk


menghancurkan kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung, maka Rafles mendirikan sebuah
kubu (benteng) dipinggir danau Singkarak, di nagari Simawang. Tapi, karena serangan ini
tertahan disebabkan perlawanan yang dilakukan rakyat dari Sulit Air, maka rencana
penggempuran Rafles itu menjadi gagal dan Pagaruyung tidak jadi dapat dikalahkannya
…………………..

Buku ini mengakui bahwa perlawanan Anak Nagari Sulit Air telah menyelamatkan pusat
pemerintahan Minangkabau dimasa itu yaitu Pagaruyung yang masih pusat kaum adat.
Berdasarkan “Tractat Sumatera”, Inggeris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda, sebagai
gantinya Belanda menyerahkan pulau-pulau diujung Semenanjung Melayu (sekarang Negara
Singapura).

Tuanku Imam Bonjol berhasil bersatu dengan Kaum Adat dan mendirikan pusat kekuatan di
Bonjol. Belanda datang kembali dan mendirikan Loji di Padang dan juga mendirikan Benteng
“For De Kock” di Bukit Tinggi. Karena penghianatan salah seorang pemuka kaum adat
(Tuanku Saruaso) , Belanda banyak memperoleh petunjuk, baik jalan menuju Bonjol
(terdekat melalui Simawang – Sulit Air) maupun pusat-pusat kegiatan dan kekuatan kaum
Paderi. Maka pecahlah kembali Perang Paderi (1821-1837). Karena Sulit Air merupakan
pintu gerbang menuju Bonjol, perlawanan pertama adalah rakyat Anak Nagari Sulit Air
sebagai mana cerita sejarah berikut ini :

“Belanda datang kembali dengan bala tentaranya dan tiba di Simawang. Mendengar ini
rakyat Sulit Air dibawah pimpinan Datuk Malakewi , Datuk Bagindo Nan Panjang dan
Datuk Bandaro Kunieng menghimpun dan mempersiapkan perlawanan. Pertempuran
pecah di Bukik Kanduang, kemudian di Talago Laweh dan yang terhebat atau paling
sengit di Mambaru-Gando. Ketiga nama tempat diatas (kecuali Bukik Kanduang)
termasuk dalam wilayah kenagarian Sulit Air. Serbuan pertama Belanda ini untuk
menuju Bonjol dapat digagalkan berkat perlawanan Rakyat Sulit Air.

Anda mungkin juga menyukai