Rusli Lutan
ABSTRAK
Pedagogi Olahraga (Sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang
berpotensi untuk mengintegrasikan subdsiiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk melandasi
semua praktik dalam bidang keolahragaan Yang mengandung maksud dan tujuan untuk
mendidik.
Pendahuluan
Kajian ruang lingkup sport pedagogy istilah lazim dan disepakati di tingkat internasional
memang tidak lepas dari pemahaman kita terhadap eksistensi ilmu keolahragaan (sport
science). Dari perspektif sejarah, di Indonesia, status dari pengakuan terhadap ilmu
keolahragaan tergolong sangat muda baik ditinjau dari tradisi dan paradigma penelitian
maupun produk riset Yang dapat diandalkan untuk melandasi tataran praksis. Akademi
Pendidikan Jasmani yang didirikan di Bandung pada tahun 1950, di bawah naungan
Universitas Indonesia. merupakan cikal bakal dari lembaga yang mengemban misi, terutama
untuk penyiapan tenaga guru yang berkualitas pendidikan tinggi di bidang pendidikan
jasmani.
Meskipun paparan dalam tulisan ini di sana sini menyinggung uraian tentang pedagogi
olahraga dari aspek perkembangannya, tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan
batang tubuh pedagogi olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian,
sekaligus pengembangan; ilmu yang melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang
bersifat mendidik, Itulah sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang pengembangan dan
penerapan, tidak hanya dalam lingkup penyelenggaraan pendidikan jasmani dan olahraga di
sekolah atau lembaga formal, tetapi juga di luar persekolahan seperti di perkumpulan
olahraga, terutama di klub‑klub pembinaan olahraga usia dini.
Sangat banyak “sisi gelap” atau ekses negatif kegiatan beolahraga, dan bahkan terbuka
kesempatan luas bagi guru pendidikan jasmani atau pelatih untuk menimbulkan kerusakan
secara sistematis dan bersifat akumulatif pada peserta didik sebagai akibat semua
tindakannya dan perlakuannya tidak memiliki landasan ilmiah. Landasan keilmuan di bidang
olahraga ini dibutuhkan selain bermanfaat untuk mencegah tindakan mala‑praktik yang
membahayakan masa depan peserta didik, tentu yang tak kalah pentingnya ialah agar
keseluruhan upaya pembinaan itu dapat dipertanggung jawabkan secara etika profesional.
Kukuhnya landasan ilmiah bagi segenap upaya kependidikan dalam olahraga menuntun ke
arah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan yang diharapkan. Hanya dengan
landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin prinsip akuntabilitas dalam pendidikan
jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula para pendidik di bidang olahraga dapat
mempertangggung jawabkan upaya pembinaannya secara terbuka ke masyarakat.
Perspektif Sejarah
Kerangka ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamlang, mulai dikenal melalui
kontak dengan para ahli dari Jerman Barat pada tahun 1975, tatkala diselenggarakan
lokakarya internasional tentang Sport Science. Hasil lokakarya berdampak kuat pada
pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Olahraga meskipun masih amat sesak muatannya
dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa sub‑disiplin ilmu
keolahragaan (misalnya, biomekanika olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga) dalam
nuansa sendiri‑sendiri (multidiscipline) mulai dikembangkan yang di dukung oleh
ilmu‑ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan (misalnya, psikologi pertumbuhan
dan perkembangan) dan ilmu sosial lainnya (misalnya, sosiologi dan anthroplogi) yang dip
perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih, dan pembina olahraga di bidang rekreasi.
Medan layanan jasa mulai diidentifikasi meskipun masih amat bersifat umum, belum terinci,
yang berlaku sampai sekarang, seperti tercantum dalam Undang‑Undang Sistem
Keolahragaan Nasional, meliputi olahraga pendidikan (pendidikan jasmani), olahraga
rekreasi, dan olahraga kompetitif, sehingga penyiapan ketenagaan ditampung pada tip jurusan
yang sampai sekarang masih berlaku di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yakni Jurusan Pendidikan Olahraga,
Jurusan Kepelatihan Olahraga, dan Jurusan Pendidikan Rekreasi dan Kesehatan.
Setelah terjadi perluasan mandat yang disusul dengan konversi Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) menjadi universitas, FPOK di IKIP lainnya di beberapa kota di Indonesia
berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Keolahragaan, sementara, FPOK di Bandung tetap
tidak berubah nama, yang didorong oleh motif untuk mempertahankan misi kependidikan
melalui olahraga di Indonesia yang dirasakan sangat penting untuk dikembangkan. Hanya
sedikit perubahan di FPOK UPI Bandung, yaitu dibukanya proÂgram Ilmu Keolahragaan
(IKOR) dengan isi kurikulum yang sarat dengan subdisiplin ilmu keolahragaan. Beberapa
tahun sebelumnya, terutama setelah saya pulang dari State University of New York di Albany
(SUNY), AS, mata kuliah pedagogi olahraga (sport pedagogy) mulai dikembangkan,
termasuk pula mata kuliah teori belajar motorik dengan pendekatan motor control yang
sebelumnya lebih menekankan pendekatan psikologi, terutama teori‑teori belajar umum
yang dikenal dalam bidang pendidikan.
Sejak terjadi konversi IKIP menjadi universitas pada tahun 1999 hingga sekarang, hanya
sedikit kemajuan yang dicapai, jika tidak disebut mengalami kemandegan dari sisi
pengembangan substansi keilmuannya sebagai akibat rendahnya kegiatan penelitian yang
terkait dengan kelangkaan infrastruktur dan biaya pengembangan, di samping kurangnya
tenaga dosen penekun sub‑sub disiplin ilmu keolahragaan. Filsafat olahraga (sport
philosophy)dan sejarah olahraga (sport history) misalnya, yang dianggap penting sebagai
landasan pemahaman tentang olahraga dan pengembangan kebijakan pembangunan olahraga,
justru paling terlalaikan. Keadaan ini boleh jadi sebagai akibat khalayak masyarakat
akademis di bidang keolahragaan larut dalam kegiatan pragmatis, meskipun tidak banyak
tindakan yang dianggap cepat tanggap untuk menjawab tantangan berskala nasional di bidang
keolahragaan.
Kondisi tersebut di atas menempatkan ilmu keolahragaan di Indonesia masih pada posisi
“feri‑feri”, sebagai “pengikut”, sementara pusat‑pusat pengembangan ilmu keolahragaan
di Eropa, terutama Pula di Amerika Utara tetap memainkan peranan sebagai “pusat”, yang
pada gilirannya sungguh jelas memapankan teori ketergantungan dalam bidang olahraga.
Publikasi para pakar olahraga Indonesia’ di tingkat internasional masih amat jarang muncul,
seperti juga halnya pada tingkat nasional sekalipun, yang menyebabkan kita masih sebagai
konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Keadaan ini berdampak pada pemanfaatan
buku‑buku rujukan yang hampir sepenuhnya bergantung pada terbitan luar negeri, terutama
yang berbahasa Inggris dari Amerika Utara, melalui penerbit‑penerbit kelas dunia
(misalnya, penerbit Human Kinetics), sementara sumbersumber bacaan yang berbahasa
lainnya, seperti yang berbahasa Jerman dan Rusia, yang umumnya juga tinggi mutunya,
sangat jarang dijumpai atau dipakai dalam perkuliahan, yang disebabkan karena langka dalam
hall kepemilikan termasuk penguasaan bahasanya. Persoalan hambatan ekses informasi
dalam ilmu keolahragaan, sebenarnya sudah dapat diatasi melalui begitu banyak
portal‑portal dalam internet yang memuat banyak tulisan lepas, dan bahkan jurnal‑jurnal
dengan berlangganan.
Bung Karno, pada waktu itu, memahami tujuan berolahraga di Indonesia sedemikian khas,
berbeda dengan paham Barat, karena sedemikian tajam penekanannya pada pencapaian
tujuan nasional, tujuan revolusi, bukan untuk kepentingan pribadi olahragawan, sehingga
generasi tahun 1960‑an tetap ingat hingga sekarang tentang pentingnya pengabdian hidup
bagi: negara dedication of life melalui olahraga.
Istilah olahraga, sebuah istilah yang bersifat generik, dipandang sangat mengena dalam
pengertian, karena kata “olah”, selain sudah sangat biasa digunakan dalam kehidupan
sehari‑hari, seperti “mengolah lahan,” atau “mengolah makanan,” dalam konteks “raga”
sebagai subyek, maka dipahami istilah olahraga itu tidak bermakna semata “mengolah” fisik,
tetapi “man as whole”, atau manusia seutuhnya, sehingga dalam konteks ini istilah olahraga
mengandung makna membina potensi, sekaligus pembentukan (forming). Prof. Riysdorp,
selaku ketua ICHPER‑SD, dalam sambutannya ketika membuka konferensi internasional
International Council on Health, Physical Education and Recreation Sport and Dance
(ICHPER‑SD) tahun 1973 di Denpasar, Indonesia, secara ringkas memaknai istilah
olahraga itu sangat mengena, dan beliau menegaskan, hal itu menunjukkan kepedulian
bangsa Indonesia yang begitu mendalam terhadap olahraga dalam kontesks pendidikan.
Cukup banyak konvensi atau konferensi internasional yang berbobot yang menghasilkan
deklarasi tentang pendidikan jasmani dan olahraga, misalnya, deklarasi UNESCO di Paris
tahun 1978, tentang “Piagam Internasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga” yang dalam
salah satu pasal menegaskan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi.
Kongres dunia tentang pendidikan jasmani di Berlin, Jerman tahun 1999, bertema “krisis
global pendidikan jasmani” sesungguhnya menyuarakan keprihatinan dunia akan status dan
keterlaksanaan program pendidikan jasmani di sekolah‑sekolah yang kian mengalami
kemunduran berdasarkan beberapa indikator seperti dana yang sangat terbatas, status profesi
dan keilmuan yang rendah, selain alokasi waktu untuk pendidikan jasmani dalam kurikulum
kian berkurang jumlahnya. Kelangkaan infrastruktur untuk memberikan kesempatan
berolahraga secara nyaman dan aman, terutama di negara berkembang merupakan sebuah
krisis yang amat mendalam.
Kesemua upaya itu memerlukan landasan ilmiah. Dalam kaitan ini, pada tahun 1983,
International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) mengadopsi statuta
yang berisi pernyataan tentang kepedulian terhadap ilmu keolahragaan. Di antaranya, dalam
ayat I disebutkan peranan ICSSPE sebagai organisasi untuk mempromosi dan
menyebarluaskan hasil dan temuan dalam ilmu keolaragaan dan penerapannya dalam konteks
budaya dan pendidikan. Analisis yang dilakukan oleh Kirsch (1990) tentang pelaksanaan dan
substansi kongres ilmiah di Olimpiade sejak 1909 di Paris hingga 1992 di Malaga (Spanyol)
dapat dipakai sebagai parameter dari dimensi sejarah tentang perkembangan tema‑tema
ilmu keolahragaan.
Seperti pertanyaan yang juga sering muncul di Indonesia, di Amerika Serikat, Henry (1970,
1980) pernah menulis: manakala disiplin akademik pendidikan jasmani belum eksis, disiplin
akademik tersebut perlu ditemukan. Namun pertanyaan yang berkepanjangan, apakah
pendidikan jasmani atau olahraga dapat. dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu? Apa
objek formal penelitiannya, dan apa metode yang tepat untuk digunakan. Abernathy dari
Waltz (1964) melihat fungsi sentral pendidikan jasmani sebagai sebuah disiplin akademik
dalarn mengkaji gerak insani di bawah kategori keterbatasan gerak, pengalaman gerak,
struktur kepribadian, persepsi, dan lingkungan sosio‑kultural.
Medan Penelitian
Dari perspektif sosiologis, olahraga dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu
masyarakatlah yang membentuknya sebagai bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya. dari
waktu ke waktu definisi olahraga berubah sesuai dengan persepsi kelompok masyarakat.
Misalnya, definisi olahraga yang disepakati pada era tahun 1960‑an lebih diwarnai oleh
nuansa ‑upaya perjuangan melawan unsur alam atau diri sendiri”. Seiring dengan gerakan
olahraga yang bersifat inklusif, “Sport for All” sejak tahun 1972 di Eropa, Europe Council
sepakat untuk mengartikan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan pada
waktu luang.”
Dengan kata lain, olahraga mencakup pengertian yang luas bukan hanya olahraga kompetitif
yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang
optimal, tetapi juga kegiatan jasmani pada waktu senggang sebagai pelepas telah, misalnya
untuk tujuan pembinaan kebugaran jasmani. Definisi semacam ini terangkum dalam paparan
Herbert Haag (1986) yang menyatakan bahwa olahraga tidak diartikan dalam lingkup sempit,
olahraga kompetifif, tetapi maknanya adalah mencakup kegiatan jasmani, baik formal
maupun informal sifatnya, dari bahkan juga dalam bentuk kegiatan ‑fundamental seperti
pembinaan kebugaran jasmani.
Menghadapi kenyataan bahwa olahraga itu sangat kompleks, pakar Olahraga di Indonesia
telah mencoba untuk menggolongkannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai ’sehingga
dikenal olahraga pendidikan (pendidikan jasmani) yang menekankan aspek kependidikan,
olahraga rekreasi untuk tujuan yang bersifat rekreatif, olahraga kompetitif untuk tujuan
mencapai prestasi. Jenis dan bentuk olahraga berkembang sesuai dengan motif kelompok
masyarakat pelakunya.
Meskipun amat beragam bentuk dan jenisnya, tetapi masih dapat diidentifikasi persamaan
umum yang menunjukkan ciri khas, atau “inner horizon” olahraga. Sisi bagian dalam
olahraga, memimjam istilah Husserl (1972), merupakan medan penelaahan dari objek formal
pengembangan ilmu keolahragaan. Namun kemudian, intinya yang paling hakiki ialah
fenomena gerak yang ditampilkan dalam suasana bermain (play), sehingga kriteria penilaian
tertuju pada adanya faktor kebebasan dan kesengajaan secara sadar untuk melaksanakannya.
Dengan kata lain fenomena gerak itu didasarkan pada kesadaran manusia untuk
menggerakkan dirinya. Dalam kaitan itu maka esensi lainnya dari olahraga ialah tindakan
yang mengandung unsur kesukariaan (joy) dan kebabagiaan. Keseluruhan ciri yang
disebutkan tadi menempatkan hakikat olahraga sebagai subsistem bermain.
Persoalannya tidak berbenti sampai di situ. Dunia olahraga tentu berbeda banyak dengan
dunia bermain atau berbeda pula dengan kegiatan permainan yang mengandung unsur
kebetulan (misalnya, permainan domino) atau permainan yang lebih banyak mengandalkan
kemampuan intelektual (misalnya, catur). Gambaran yang lebih spesifik pada olahraga
menekankan aspek gerak insani (human movement) sebagai unsur utama sebagai kegiatan
yang nyata dan berkecenderungan untuk menampilkan performa.
Orientasi fisikal, seperti yang tampak pada kegiatan olahraga merupakkan ciri yang utama,
sehingga di dalamnya terlibat unsur gerak yang melibatkan daya tahan, kecepatan, kekuatan,
power, dan keterampilan (skill) itu sendiri. Kegiatan olahraga. selalu menampakkan diri
dalam ujud nyata kehadiran fisik, peragaan diri secara sadar bertujuan disertai dengan
penggunaan alat‑alat konkret seperti bola, raket dan bentuk lainnya.
Perwujudan gerak itu terkait dengan aspek dorongan pada manusia yang terkait dengan faktor
sosial dan budaya, pengaruh suasana kejiwaan, emosi dan motif. Pelaksanaan olahraga selalu
melibatkan keterampilan yang dipelajari yang dapat dilakukan hanya melalui proses ajar,
yang dalam pelaksanaannya melibatkan suasana van yang menjalin hubungan sosial. Karena
itu di dalam proses itu ada unsur pendidik dan peserta didik bahkan juga ada unsur
persaingan untuk menunjukkan ketangkasan atau kelebihan pribadi.
Perilaku olahraga itu juga sering digambarkan sebagai sesuatu yang riil, bukan bersifat
artifisial yang dirancang dalam lakon‑lakon bertema (misalnya, dalam gulat professional
“Smackdown” yang sering disebut olahraga sirkus), Kegiatan yang dilaksanakan oleh
seorang olahragawan atau atlet tidak samata‑mata terpaku pada pokok peranan yang telah
ditetapkan dalam pelaksanaan tugas gerak berupa teknik‑teknik dasar. Yang terjadi ialah
seseorang, bersama yang lain, memainkan sebuah permainan yang benar‑benar nyata, tidak
berpura‑pura dalam semangat kesungguhan yang menyerap seluruh perhatian. Karena itu
di dalamnya ada kesungguhan, bukan kepura‑puraan, dan bahkan ada unsur kejutan,
sehingga praktik “main sabun” dalam sepakbola misalnya, yang skornya sudah ditentukan
sungguh dianggap sebagai tindakan sadar menghancurkan ciri permainan yang amat
bertentangan dengan ciri olahraga.
Pada kebanyakan kegiatan olahraga maka prinsip performa dan prestasi begitu menonjol. Di
dalamnya ada ketegangan karena melibatkan pengerahan tenaga yang melibatkan nuansa
kejutan dan bahkan keberuntungan, sehingga hasil yang dicapai sukar diprediksi. Dalam
kaitan ini maka prestasi yang meskipun diperagakan melalui faktor jasmaniah, tetapi pada
dasarnya melibatkan diri manusia secara utuh. Kegiatan olahraga dilaksanakan secara suka
rela, dan tertuju pada pengembangan diri.
Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup
mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak tahun 1979, sangat membantu
kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy. sebagai Salah Satu di antaranya, sebagai isi
dari ilmu keolahragaan.
Ketujuh bidang teori yang dimaksud meliputi sport medicine, sport biomechanic, sport
psychology, sport sociology, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy.
Masing‑masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh
bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport
medicine dan sport biomechanic olahraga masuk ke dalam kelompok ilmu pengetahuan alam,
sementara spot‑[ psychology, sport sociology dari sport pedagogy tergolong ke dalam
rumpun ilmu pengetahuan sosial dari behavioral. Sport history dan Sport philosophy
termasuk ke dalam kelompok hermeneutical‑normative science. Paparan tersebut juga
Menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pengembangan ilmu
keolahragaan ialah medicine, biologi/fisika, psikologi, sosiologi, pedagogi, sejarah dari
filsafat.
Model pengelompokkannya tergambar dalam sebuah kontinuum, dari IPA ke humaniora, atau
secara metodologis, dari analitis‑empiris ke hermenetik‑teoretis, atau dari yang konkret
ke abstrak.
Sejak tahun 1980, sesuai dengan tuntutan yang relevan di masyarakat, berkembang lima
bidang teori baru dalam ilmu keolahragaan. Kelima bidang teori yang menunjukkan
kemajuan pesat itu meliputi sport information, sport politics, sport law, sport engineering, dan
sport economy. Masing‑masing terkait dan bahkan meminjam konsep, ilmu yang sudah
mapan yakni information science, political science, law, engineering dan economic.
Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang menjadi jati
diri ilmu keolahragaan, bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor gerak
(movement), bermain (play), pelatihan (training), dan pengajaran dalam olahraga (sport
instruction). Dari ke lima wilayah spesifik ini lahirlah lima dimensi dari perspektif ilmu dan
teori yakni movement science dan movement theory; play science dan play theory; training
science dan training theory; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.
Dengan demikian semakin jelas gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang
dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori. kecenderungan ini menunjukkan perkembangan
ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan fragmentasi.
Pandangan dualisme Descartes yang memahami dikhotomi jiwa dari badan berpengaruh
terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang samata‑mata sebagai
sebuah objek, yang diungkap dalam perumpamaan yang lazim dikenal yakni “the body
instrument”, “the body‑machine”, atau sekarang “the body‑computer”. Sebagai
akibatnya maka sedemikian, menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga
fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru
pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah subjek yang penting
bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.
Berangkat dari konsep Ponty, Gordijn (Belanda) mengembangkan pandangan tentang gerak
insani yakni gerak itu dipandang sebagai sebuah “dialog” antara seseorang yang bergerak dan
lingkungan sekitar yang “mengundangnya” untuk bergerak. Pandangan ini menegaskan
bahwa hubungan yang erat antara seseorang dan dunia sekitarnya merupakan sebuah
persoalan yang mendasar Karena itu gerak manusia itu merupakan sebuah cara yang
bermakna untuk berkiprah di lingkungan sekitar. Gerak manusia adalah perilaku
bermakna dalam penciptaan relasi dengan sekitar sehingga kesemua perilaku itu bukanlah
produk dari reaksi mekanis terhadap stimulus, tetapi karena didorong maksud yang jelas,
sesuai dengan “undangan” lingkungan sekitar. Secara sadar orang bermaksud untuk
melempar, melompat, berenang atau tujuan lain, yang kemudian diwujudkan dalam perilaku
gerak. Karena ada rintangan yang menghalangi perjalanan seseorang, maka ia dapat
mengambil keputusan seperti melompati rintangan tersebut atau rintangan itu cukup
dilangkahi, sesuai dengan bentuk rintangan atau ketinggiannya.
Konsep dasar  itulah yang melandasi pemahaman para pemangku profesi pendidikan
jasmani dan olahraga bahwa pengalaman yang disediakan melalui kedua kegiatan yang tak
terpisahkan itu sangat potensial untuk mendidik seseorang. Bahkan akhir‑akhir ini, pihak
PBB memposisi olahraga sebagai alat bagi pembangunan dan perdamaian; pendidikan
jasmani dan olahraga merupakan “school of life” yang efektif.
Pandangan Gordijn tentang hakikat gerak manusia yang dikembangkan sekitar lebih dari 40
tahun yang lalu itu bersumber dari observasi dan interpretasi fenomenologis. Namun
kemudian, konsep “ecological psychology” yang dikembangkan oleh J.J Gibson (pendiri
psikologi ekologis) memperkuat pandangan Gordijn. Menurut teori yang dikembangkan
Gibson, gerak manusia dijelaskan sebagai perubahan bermakna dalam relasi antara seseorang
dan lingkungan sekitarnya.
Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogy) beragam  pada
berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar
metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu
pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan
pedagogi olahraga dipandang sebagai sebuah subdisipIin iImu dalam kerangka iImu
keolahragaan.
Elemen‑elemen sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi
olahraga, secara umum ditekankan pada:
semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dari di luar
sekolah;
dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani;
kebijakan pendidikan suatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani;
perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler;
perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dari tujuan
pendidikan jasmani dan olahraga;
Tujuan program studi dan lingkup mala kuliah lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut;
sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi;
metode pengajaran, evaluasi dan pengukuran tradisional dari sebagian sudah
terlupakan;
bentuk‑bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan, dan lain‑lain.
Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pieron, Cheffers, dan Barette (1994; dalam Naul,
1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu
keolahragaan. Paradigma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi
olahraga di FIK/ FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai
“induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep/teori terkait dari relevan dari beberapa
subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan
paradigma interdisiplin (Matveyev, dalam Rush Lutan, 1988) Pandangan ini tak berbeda
dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral
dalam struktur ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973). Dalam model yang dikembangkan di
Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai “pusat” yang
berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan,
sementara para ahli meletakkan sport, medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety)
dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rush Lutan, 1998; dalam laporan
hasil The Second Asia‑Pacific Congress of Sport and Physical, Education University
President).
Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu “fenomena olahraga dari
fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga. Bagi Grupe &
Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup dua hal utama: (1) tindakan pendidikan praktis
dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoretis bagi kegiatan olahraga yang
mengandung maksud mendidik tersebut; dan (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan
praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya militer
dan drill di beberapa negara, khsusnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoretis
pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, dan disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik,
ability, dan keterampilan di bawah pengendalianjiwa dan kemauan.
Lingkup kajian dan layanan pedagogi olahraga tidak terbatas di sekolah tetapi juga di luar
sekolah, sehingga bukan hanya peduli terhadap anak‑anak tetapi juga kepada semua lapisan
khalayak sasaran, termasuk kelompok khusus dari orang cacat atau lainnya yang
berpartisipasi untuk meningkatkan kondisi fisiologis, mental, atau psikososial. Dalam konteks
keterpaduan antar subdisiplin, Wasmund (1972) menjelaskan kaitan antara pedagogi olahraga
dan teori pelatihan yaitu pedagogi olahraga untuk menjawab “why” dan teori pelatihan
(training theory) untuk menjawab “how”, sehingga interface antara keduanya adalah pada
didaktik dan metodik.
Memang kita jumpai masalah dalam memahami keterkaitan pedagogi olahraga dengan
subdisiplin ilmu lainnya, terutama masalah metodologis yang menempatkan pedagogi
olahraga sebagai induk bagi subdisiplin lainnya dalam ilmu ke‑olahragaan, yang
sesungguhnya berakar pada sejarah. Di beberapa negara seperti di Perancis (Andrieu, 1990;
Zoro, 199 1); McIntosh, 1968), Swedia (Lindorth, 1993), Belanda (Kramer & Lommen,
1987), dan Amerika Serikat (Bennet, 1972; Spears & Swanson, 1988), dijumpai keragaman
aspek sejarah pendidikan jasmani yang muncul dalam penelitian sosiologis dan sejarah. Di
negara ini, seperti di negara lainnya, pedagogi olahraga sebagai sebuah bidang kajian
akademik tidak berkembang dalam konsep nasional ilmu keolahragaan mereka. Hal ini
karena di Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan negara‑negara Eropa lainnya, konsep
“physical education” atau “education physique,” masih dominan penggunaannya, ketimbang
pengembangan pedagogi olahraga (Pieron keragaman Cheffers, 1988; dalam Naul, 1994).
Melalui pendekatan struktural, proses pencarian itu sampai pada tahap kesepakatan tentang
sosok, tubuh ilmu keolahragaan, yang antara lain didorong oleh proses percepatan konversi
IK113 menjadi universitas. Melalui seminar lokakarya tentang konsep ilmu keolahragaan
yang di eclat di IKIP Surabaya (sebelum menjadi Universitas Negeri Surabaya) pada tahun
1998 yang lalu, berhasil diidentifikasi taksonomi ilmu keolahragaan. Hasil seminar nasional
itulah yang kemudian melahirkan kurikulum program ilmu keolahragaan yang berorientasi
pada kesehatan olahraga dengan bobot muatan sekitar 60% yang IPA. yang mulai dibuka
pada tahun 1999, dan lebih signifikan lagi, setelah itu Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan
diakui eksistensinya, termasuk ke dalam Komisi Disiplin Ilmu berdasarkan surat keputusan
Dirjen Dikti yang diterbitkan pada tahun yang sama pula.
Sejak tahun 1980‑an perubahan memang banyak terjadi di tingkat internasional, terutama
di Amerika Utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan “sport
pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah
sistem pendidikan jasmani (]ini kurikulum pendidikan jasmani mereka sendiri (Siedentop,
1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang
menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan jasmani yang amat rendah di pasar
kerja (sekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum
layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.
Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi
olahraga itu tidak sepenuhnya benar berasal dari Jerman yang muncul pada tahun 1960‑an,
karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan
Olimpiade sejak tahun 1898 hingga Perang Dunia 1. seperti juga buah fikiran yang tertuang
dalam beberapa naskah dari artikel yang ditulis de Coubertin (Perancis) Gebbardt dan Diem
(Jerman), dan Kemeny serta Guth‑Jarkowsky (Austria‑Hungaria), sempat diabaikan oleh
para pedagogi olahraga. Tulisan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan
pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat Olimpiade, dan pokok
fikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pedagogi olahraga. Para tokoh
peletak dasar pedagogi olahraga ini berfikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang
hakikat dan gerakan pengembangan “body and mind” di Amerika Serikat dan Jerman.
Sejarah pedagogi olahraga mencakup bukan hanya model Inggris yang menekankan etik
Kristiani atau model semangat korps dalam olahraga pertandingan dan permainan yang ‑
berpengaruh banyak terhadap reorganisasi pendidikan jasmani di sekolah Perancis, Denmark,
Jerman, Swedia dan negara Eropa lainnya setelah tahun 1880‑an. Seperti juga pernah kita
kenal di Indonesia, tiga tokoh besar yang tulisannya, sistem pendidikan jasmaninya, dan
metode pengajarannya memperoleh pengakuan internasional di Eropa dan Amerika Utara
pada abad ke 19 ialah:
Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya
tahun 1920‑an. Perkembangan ini didukung kuat oleh dokter olahraga yang dikenal di
tingkat internasional yaitu Sargent (1906) di Amerika Serikat, dan Schmidt (1912) di Jerman.
Kedua tokoh itu menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya
pada pembentukan (forming) fisik. Metoda alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia
yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923). Usaha mereka
mendorong terjadinya reorganisasi pendidikan jasmani di negara‑negara Eropa. Di
Perancis, metode alamiah (la methode naturelle) dikembangkan oleh Demeny dan Herbert,
dan di Amerika Serikat, di kenal Thomas D. Wood dengan pembaharuan dalam senam, dan
di Jerman, Erich Harte menjadi pendukung kuat aliran Austria “Gaulhofer dan Streicher”
(1922) yang keduanya dipengarubi oleh senam Denmark dan Swedia. Tulisan dan hasil
kuliah Gaulhofer dan Streicher membantu pelaksanaan reformasi pendidikan jasmani di
Jerman, Belanda, Inggris, dan negara Eropa lainnya pada tahun 1920‑an dan 1930‑an
(Grossing. 1991; Kramer membantu Lommen, 1987; McIntosh, 1968; dalam Naul. 1994).
Pada masa itu didirikan lembaga pendidikan tenaga guru bertaraf universitas dan
diperkenalkan ke dalam dunia akademik yang tumbuh di beberapa negara di Eropa. Namun
sekarang, di beberapa negara Eropa itu, masih terdapat perbedaan status akademik
pendidikan jasmani dan pendidikan tenaga guru.
Pada tahun 1960‑an terjadi perubahan di beberapa negara. Kebugaran jasmani dianggap
sebagai bagian penting dari tujuan pendidikan jasmani baik di Barat maupun di Timur,
semacam kebangkitan kembali aliran Swedia yang menekankan kebugaran jasmani sebagai
tujuan utama, manusia sebagai “mesin” yang harus dibina agar berfungsi dengan baik,
sementara landasan ilmiahnya adalah biologi (lihat, Crum, 1994). Aspek performa menjadi
bagian yang lebih penting karena berbagai alasan. Pada tahun 1970‑an, kebijakan
pendidikan jasmani banyak diperbaharui oleh kebijakan negara bagian seperti di Negara
negara Eropa.
Tahun 1970‑an merupakan puncak perkembangan pendidik ail jasmani dengan
peningkatan yang amat dramatis, ditandai dengan perbaikan dalam fasilitas, peningkatan
kualifikasi tenaga guru, dan pengalokasian jam pelajaran 3 jam per minggu, di samping
pendidikan jasmani harian di SD, sementara di pendidikan tinggi diperkenalkan dari
diorganisasi program pemeliharaan kesehatan.
Namun sejak tahun 1980‑an terjadi kemunduran pendidikan jasmani pada tingkat global
karena pengaruh ekonomi, politik, dan perubahan pada pendidikan itu sendiri. Krisis
pendidikan jasmani, seperti yang dimunculkan dalam kongres dunia di Berlin tahun 1999 1
terjadi tidak hanya pada tingkat nasional suatu negara seperti di AS, Australia, Inggris dan
Jerman, namun menjadi persoalan akut di bekas negara blok sosialis (Foldesi, 1993; dalam
Naul, 1994). Bahkan dalam paparan Ken Hardman pada konferensi internasional di Bangkok
diungkapkan yakni tidak banyak perubahan atau kemajuan yang dicapai sebagai
implementasi dari Deklarasi Berlin. Konferensi internasional bertema Sport and Education di
Bangkok (2005) kembali mengetengahkan isu keterlaksanaan pendidikan jasmani, seperti
dipaparkan oleh Ken Hardman, sampai pada kesimpulan yakni tidak banyak perubahan yang
dicapai pada tataran praksis. Lahirnya Bangkok Agenda, sebagai “gong” dari konferensi
bertujuan untuk mengakselerasi perubahan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan
jasmani, yang juga untuk tujuan yaitu peningkatan mutu pendidikan.
Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Eropa lebih merujuk
kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan yang bersifat mendidik,
meskipun ada kecenderungan ke arah penyempitan makna semata mata menelaah proses
pengajaran belaka, seperti misalnya dikatakan “sport pedagogy deal teaching rind learning
of all age group … target group are individual with low level of performance,” atau ” sport
pedagogy is constituted in the actors and actions of teaching and learning purposeful human
movement. Dalam ungkapan yang Iebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga
adalah ” the science … which is concerned with the relationship between sport and education
(misalnya dalam tulisan Grupe dari Kurz).
Definisi ini sangat membantu untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak
berurusan dengan segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam
rangka proses pembudayaan, khususnya transformasi, nilai‑nilai inti yang memang, jika
disimak secara cermat, bahwa olahraga itu sangat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam
pembekalan kecakapan hidup. Tidak berlebihan, seperti telah disinggung pada awal naskah
ini, bila mantan Sekjen PBB Kofi Anan sendiri menyebut olahraga itu sebagai “school of
life” karena di dalamnya serba ada, sebuah gubahan kehidupan kemasyarakatan pada tingkat
mikro. Misalnya, betapa kegiatan olahraga itu melibatkan dan sekaligus menggerakkan emosi
dalam lakon hubungan antar orang, yang karenanya menjadi sebuah realita yakni manakala
olahraga yang dibina dengan baik kegiatan itu akan menjadi sebuah adegan pergaulan yang
efektif untuk membina pengendalian emosi atau memupuk kecerdasan emosional, bila kita
meminjam konsep emotional intelligence yang dipopulerkan oleh Goleman akhir‑akhir ini.
Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan dalam konteks
olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja sistem persarafan dalam sebuah koordinasi
yang luar biasa cepat dan rapih, mekanisme persepsi dan aksi yang sinkron yang dibuahkan
dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan masalah yang jitu selain
kreativitas, seperti tampak dalarn peragaan para atlet tingkat tinggi (misalnya tampak dalam
peragaan pemain profesional bola basket dan sepakbola). Unsur estetika melekat kuat di
dalamnya dalam ujud irama dan tampilan yang anggun dan selaras untuk berekspresi (lihat
misalnya dalam tampilan atlet figure skating). Pengembangan potensi sekaligus pembentukan
jelas‑jelas terjadi melalui semua adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula
mengklaim bahwa pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan
pendidikan yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.
Bahwa proses ajar merupakan bagian dari keterjadian pendidikan jasmani dan olahraga, harus
diakui, dan perubahan ]aku yang dimaksud memang terjadi melalui proses itu. Itulah
sebabnya pada tataran praktis disyaratkan harus selalu terjadi proses transaksi antara guru dan
peserta didik, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni apa sesungguhnya substansi yang
disampaikan oleh guru kepada peserta didik, dan karena itu, pengetahuan apa yang
terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan, Kritik keras masyarakat, terutama orang tua terhadap profesi pendidikan jasmani
dan olahraga ialah bahwa hanya sedikit terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekaligus tidak
berlangsung proses ajar. Telah terjadi proses pengerdilan tujuan pendidikan itu sendiri yang
lebih bernuansa fisik‑keterampilan, dan itupun hanya tercapai sedikit sekali.
Komplikasi yang terjadi benar‑benar pada tataran praktis, bukan teoretis yang berakibat
fatal bagi turunnya wibawa para pemangku profesi itu. Sungguh tidak terelakkan bahwa
kesenjangan antara harapan dan kenyataan memang telah terjadi dalam pencapaian tujuan
pendidikan jasmani dan olahraga yang terkait dengan kelemahan dalam hal kejelasan
landasan keilmuannya dan keterhubungan antara aspek teoretis dan praktis.
Untuk mengenal lingkup pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga Pokok pikiran Lee
Shulman (1987) tentang tujuh kategori pengetahuan, sangat membantu untuk menjawab
persoalan, apa landasan keilmuan utama pendidikan jasmani dan olahraga. Di Amerika
sendiri, seperti laporan Christensen, bahwa dalam proses belajar mengajar pendidikan
jasmani dari olahraga ( 1996), ketujuh kategori ini digunakan sebagai sumber yang paling
sering dipakai NCATE (National Council on Accreditation for Teacher Education) dalam
melaksanakan akreditasi guru pendidikan jasmani. Kupasan singkat tentang wilayah kajian
pedagogi olahraga ini juga pernah dipaparkan dalam ceramah Schempp (1993) yang berjudul
The Nature of Knowledge in Sport Pedagogy.
1. Content knowledge
2. General pedagogical knowledge
3. Pedagogical content knowledge
4. Curriculum knowledge
5. Knowledge of educational context
6. Knowledge of learners and their characteristics
7. Knowledge of educational goals
Ketujuh kategori pengetahuan yang melandasi sekaligus mendukung proses belajar mengajar
pendidikan jasmani dari olahraga itu pada dasarnya dapat dipakai sebagai rujukan bagi
pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga. Ketujuh pengetahuan yang bersifat umum
itu menunjukkan potensi pedagogi olahraga untuk mengintegrasikan pengetahuan dari
subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya yang menjadi landasan teoretis penyelenggaraan
pendidikan dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga pada umumnya. Menjadi lebih
unik pengetahuan yang dimaksud karena ada tiga kategori pengetahuan yang mesti dikuasi
oleh guru pendidikan jasmani. Kategori pertama, pengetahuan teoretis konseptual, kategori
kedua pengetahuan tentang prosedur penerapan, dan kategori ketiga, penerapan pengetahuan
yang bersifat situasional.
Content knowledge
Meskipun pendidikan jasmani itu merupakan proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani,
tetapi dalam setiap tugas ajar itu terkandung pengetahuan yang mesti dikuasai oleh peserta
didik. Pengetahuan itu berkisar di seputar penguasaan konsep gerak, dan karenanya, apapun
jenis substansinya permainan dan olahraga selalu diarahkan pada kemampuan Untuk
memahami alasan‑alasan di balik setiap tampilan. Karena substansi tugas ajar dalam
kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia umumnya berisi kecakapan dan/atau
keterampilan berolahraga, tidak dapat dielakkan, begitu kuat dan sarat bobot pengetahuan
berkenaan dengan cabang‑cabang olahraga yang dianggap esensial, seperti atletik, senam,
renang dan beberapa cabang olahraga permainan yang popular (misalnya, sepakbola, bola
voli, bola basket, bulutangkis, dan lain‑lain).
Para siswa atau atlet yang terampil biasanya menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi
dalam pemecahan masalah ketimbang para pemula. Hal ini berimplikasi pada pentingnya
pengemasan substansi untuk lebih mudah dipahami, dan karena itu peranan Media seperti
rekaman video sangat membantu para siswa untuk menguasai konsep gerak. Itulah sebabnya
konsep perhatian (attention) banyak dibahas dalam teori belajar gerak, seperti halnya teori
memori dan visualisasi. Betapa pentingnya penyampaian informasi konsep gerak, termasuk
“kunci” pelaksanaannya sehingga pengetahuan itu menjadi lebih terstruktur yang
menyebabkan persoalan yang menentukan bukan banyak sedikitnya informasi yang
disampaikan, tetapi bagaimana membuatnya menjadi jelas Menurut persepsi para siswa atau
peserta didik.
Saya menduga dalam  hal  itulah sebuah titik lemah dalam proses pengajaran,
lebih‑lebih proses pelatihan atau coaching olahraga prestasi tingkat tinggi, yang
kebanyakan lebih tertuju pada peragaan keterampilan, tanpa pengarahan agar para siswa atau
atlet, memahami alasan‑alasan di balik semua tampilannya.
Tampaknya masih jarang dibahas, seperti di Indonesia berkenaan dengan sekuen atau tata
urut substansi pengetahuan. Bagaimana menciptakan hubungan antara pengetahuan masa lalu
dan pengetahuan baru menjadi sebuah isu bukan saja pada tataran akademik, tetapi lebih
penting pada tataran praksis. Topik ini berkenaan dengan bagaimana guru atau pelatih
mendorong siswa atau atletnya untuk berpikir pengalaman masa lalu dan pengetahuan baru
yang berkaitan dengan tema‑tema pembelajaran dalam pendidikan jasmani. Hal ini tentu
ada pula kaitannya, penyesuaiannya dengan karakteristik peserta didik.
Ringkasnya, pengetahuan tentang saja isi ini saja berkenaan dengan subjek yang diajarkan,
persepsi dan tanpa itu maka tidak ada pengajaran sehingga pengetahuan dan sekaligus
kecakapan dalam konteks pendidikan jasmani yang mengandung isi pendidikan melalui
aktivitas jasmani, perlu dikuasai oleh guru yang bersangkutan. Esensi dari substansinya ialah
pengetahuan tentang gerak insani dalam konteks pendidikan yang terkait dengan semua aspek
pengetahuan untuk memahami peserta didik secara utuh.
Pengetahuan ini mencoba untuk menyingkap kaitan antara perilaku guru dan hasil belajar
pada siswa. Cakupannya, meliputi:
Penelitian dalam kategori ini berkisar pada tema jurnlah waktu aktif belajar (Active Learning
Time), pembuatan keputusan, efektivitas pengajaran dan manajemen kelas.
Pengetahuan ini berkenaan dengan bagaimana mengajar sebuah subjek atau topic bagi
sekelompok peserta didik dalam konteks yang spesifik. Pengetahuan ini juga terkait dengan:
Curriculum knowledge
Pada skala makro. pengetahuan ini berkaitan dengan tipe kurikulum dalam pendidikan
Pengetahuan ini berkenaan dengan isi dari program yang berorientasi pada prinsip
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik jasmani, suatu bidang yang paling terbengkalai
pengembangannya di Indonesia baik secara teoretis maupun praktis.
Diskusi dari pengembangan model kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia masih sangat
banyak memerlukan dukungan fakta empirik di lapangan. Karena itu perbincangan tentang
kurikulum, yang kedudukannya amat strategis untuk pencapaian tujuan pendidikan
membutuhkan banyak penelitian. Hanya sedikit pikiran kritis misalnya untuk mengkaji ulang
implementasi model kurikulum pendidikan jasmani yang berorientasi pada “pelestarian kultur
olahraga” dalam nuansa “sporting based approach” yang banyak dipengaruhi oleh para
pendukung pengembangan olahraga elit‑kompetitif.
Dalam bentuk serpihan program tidak terstruktur program yang berbasis pada upaya
peningkatan kebugaran jasmani di sana sini tampak diterapkan dengan munculnya aneka
Senam Kebugaran Jasmani (SKJ) yang dalam banyak hal menyulitkan para guru dan siswa
akibat struktur gerak atau tugas geraknya, sedemikian formal, tanpa dukungan riset untuk
kemudian diadakan perubahan. Model kurikulum berbasis pengetahuan biologis ini yang
dikenal dalam istilah ‘gerak badan” atau “taiso” semasa pendudukan Jepang, pernah
diterapkan di Indonesia. Model pendidikan gerak yang sering dijumpai pada program SD,
seperti saya lihat di Australia, masih jarang dikembangkan di Indonesia.
Semua program pendidikan jasmani berlangsung dalam konteks yang beragam. yakni yang
dapat mempermulus atau iebalikiiya menghambat pelaksanaan pengajaran. Yang dimaksud
dengan konteks atau tata latar adalah keseluruhan faktor yang mempengaruhi apa dan
bagaimana isi diadakan dan dipelajari dalam sebuah program. Dalam lingkup yang lebih luas
kita dapat mengamati betapa besar variasi dari perbedaan lingkungan lembaga pendidikan
antara sekolah di perkotaan, pedesaan, atau yang terdapat di pesisir dan di daerah belantara,
daerah‑daerah terpencil. Kebanyakan lingkungan semacam itu relatif stabil, tetap, dan
arena itu hanya sedikit kemampuan guru untuk mengubahnya. Hal terbaik yang dapat
dilakukannya ialah ia mesti dapat membiasakan diri menghadapi lingkungannya dan  an
mampu memanfaatkan secara maksimal semua  potensi untuk mendukung pengajaran. Ini
berarti bahwa faktor lingkungan ini tidak dengan sendirinya menjadi penghambat, dan
bahkan program pendidikan jasmani itu berlangsung dalam konteks yang memungkinkan
para guru untuk memperoleh pilihan yang banyak bagi pengajarannya.
Penjelasan ini mengingatkan guru pendidikan jasmani saya pada tahun 1962, yang
memanfaatkan sebatang pohon karet di halaman sekolah, ketika kami menempuh pendidikan
di SGA Kuala Kapuas. Salah satu tugas ajar yang tidak dapat saya lupakan ialah “memanjat
pohon karet itu,” sebuah tugas yang memerlukan ketangkasan, kekuatan. dan bahkan
keberanian.
Pengetahuan ini berkenaan dengan dampak lingkungan terhadap pengajaran, yang meliputi
faktor lingkungan fisikal dan sosial di dalam dan di sekitar kelas, termasuk pengetahuan
tentang kegiatan kerja dalam kelompok atau kelas, pembiayaan pendidikan, karakteristik
masyarakat dan budaya. Dalam paparannya sebagai pemakalah kunci pada konferensi
internasional AISEP di Lisbon baru‑baru ini, Richard Tinning dari Queensland University
mengangkat proposisinya tentang kelangsungan pendidikan jasmani dan olahraga yang
berorientasi pada keragaman budaya dan ia mengeritik pandangan yang memahami
pendidikan jasmani dan olahraga sebagai fenomena universal. Lebih rinci lagi, seperti dalam
tulisan Metzler (2000), faktor konteks ini dipaparkan dalam lima faktor utama: (1) lokasi
sekolah, (2) demografis siswa, (3) administrasi. (4) staf pelaksana pendidikan jasmani, dan
(5) sumber‑sumber belajar.
Faktor lokasi meliputi lingkungan perkotaan, pedesaan, dan pinggiran kota. Yang berpotensi
untuk mempengaruhi pengajaran seperti luas sempitnya pekarangan atau lapangan yang
tersedia, keterjangkauan sekolah yang terkait dengan transportasi, dan faktor keamanan.
Termasuk faktor yang lebih pelik ialah keadaan iklim, seperti sekolah-sekolah di bagian
Indonesia Timur yang banyak diterpa oleh sinar terik matahari sehingga keadaan ini sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan pengajaran di daerah terbuka. Itulah sebabnya, seperti
sekolah‑sekolah di kota Brisbane, negara bagian Queensland, Australia, para siswanya
diharuskan memakai topi ketika mengikuti pendidikan jasmani untuk mengurangi sengatan
sinar matahari selain mesti membawa minuman untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh.
Pengetahuan ini berkenaan dengan proses ajar manusia dan penerapannya dalam pengajaran
pendidikan jasmani dan olahraga. Terliput di dalamnya pemahaman tentang karakteristik
siswa yang amat beragam dari aspek kognitif. emosi, sosial, dan faktor sejarah dan budaya.
Pemahaman tentang peserta didik berkenaan dengan pengetahuan tentang pertumbuhan dan
perkembangan, learning capacity, perbedaan bahasa, dan kondisi psikososial yang
mempengaruhi sikap dan aspirasi siswa dalam belajar.
Banyak uraian kita jumpai tentang prinsip Developmentally Appropriate Practice (DAP)
dalam pengertian penyesuaian substansi, sekaligus metode dan strategi dengan karakteristik
siswa atau peserta didik. Prinsip ini mongukuhkan asas pengajaran yang berpusat Pada Siswa,
dan pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangannya amat menentukan dalam
penyusunan perencanaan, dan menjadi titik awal dalam hill pemahaman mengenai kebutuhan
dan kemampuan siswa.
Sudah lazim kita pahami tentang konsep perkembangan Kognitif, dan betapa penting bagi
guru Untuk memahami proses kognitif karena mempengaruhi belajar Tahap‑tahap
perkembangan kognitif yang diteorikan oleh Piaget, yakni (1) sensorimotor, (2)
pre‑operational, (3) concret operationals, dan (4) formal operations, banyak mempengaruhi
kurikulum pendidikan jasmani dewasa ini.
Adegan‑adegan dalam permainan atau pelaksanaan tugas ajar dalam konteks pengajaran
pendidikan jasmani, sungguh menyediakan banyak kesempatan bagi pengembangan domain
afektif ini. Kejujuran dan tanggung jawab misaInya banyak sekali dijumpai dalam peristiwa
permainan dan peragaan ketangkasan, dan peluang ini sia‑sia belaka jika tidak
dimanfaatkan sebaik mungkin.
Teori pemrosesan informasi dan penyimpanannya misalnya telah mencoba untuk mengkaji
persoalan ini dalam konteks penguasaan keterampilan gerak. Upaya ini sangat bermanfaat
untuk memahami proses kognitif yang melandasi kemampuan seseorang untuk belajar dan
memecahkan masalah. Pengetahuan ini disebut “metacognition ” (pengetahuan tentang proses
kognitif yang dimiliki seseorang).
Seperti sudah disinggung di muka perbincangan tentang pentingnya faktor perhatian dan
fenomena arousal atau bangkit yang Mempengaruhi kinerja seseorang Tema ini tak kalah
menariknya dengan tema penyimpanan informasi jangka pendek dan jangka panjang,
penyimpanan perbendaharaan gerak dalam pusat memori Yang kemudian siap untuk
dipanggil kembali.
Teori motivasi, termasuk jenisnya (intrinsik dan ekstrinsik) tidak kalah menariknya, sama
halnya dengan persoalan “transfer of learning”, bagaimana suatu kecakapan dam
mempengaruhi penguasaan kecakapan baru lainnya dalam bentuk nilai alihan positif
manakala kecakapan lama mendukung atau memperkuat perolehan kecakapan baru, atau
bersifat negatif, bila efeknya sebaliknya.
Berkaitan dengan persoalan ini dalam konteks pendidikan jasmani, lebih‑ebih dalam
olahraga kompetitif tingkat tinggi sangat dibutuhkan fleksibilitas kognitif, yakni kecakapan
untuk mengevaluasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang, dan kemudian melihat
beberapa kemungkinan interpretasinya.
Pengungkapan pemahaman tentang peserta didik ini, seperti halnya di Indonesia memerlukan
upaya yang lebih banyak melalui penelitian. Beberapa contoh penelitian diluar negeri
berkenaan dengan karakteristik siswa:
Pengetahuan ini berkenaan dengan tujuan, maksud dan struktur sistem pendidikan nasional.
Apa yang diharapkan guru pada siswa untuk dipelajari di kelas, sehaluan dengan cita‑cita
pembangunan nasional. Pembelajaran berlangsung untuk mencapai tujuan dalam keadaan
peserta didik memiliki kebebasan untuk semua terlibat, bertanggung jawab dan menikmati
iklim kemerdekaan untuk menyelidik, menemukan, mengembangkan dan memahami
keterampilan, menghayati nilai‑nilai yang dibutuhkan bagi pengembangan sebuah
masyarakat madani (civil society) yang adil. Penelitiannya terkait dengan riset dalam
kurikulum studi tentang orientasi nilai (misalnya, Ennis, 1992), hidden curriculum (misalnya,
Bain (1989); tujuan & nilai pendidikan (misalnya, Hellison, 1993)
Paradigma Penelitian
Paradigma positivistik
Seperti lazimnya disiplin ilmu keolahragaan yang masih muda usianya, maka penelitian
dalam pedagogi olahraga mengadopsi paradigma penelitian yang sudah mapan yakni
paradigma positivistik dan pasca positivistik‑ Pendekatan positivistik menempatkan proses
belajar dan mengajar sebagai “objek” riset yang “diobjektifkan” sehingga sangat kentara.
penerapan prosedur analitis yang mengandalkan data empirik dalam ujud data kuantitatif
yang mengandalkan instrumen untuk memperoleh data yang dianggap sahih, reliable dan
objektif pula. Pengembangan aneka bentuk tes pada tahun 197O‑an yang masuk ke
Indonesia dalam pendidikan jasmani merupakan buku bahwa paradigma positivistik ini
sangat dominan dengan berbagai masalah pedagogik yang muncul, yang mempengaruhi iklim
belajar yakni proses dipengaruhi oleh prosedur pengetesan, seperti yang dialami oleh STO
Bandung pada tahun‑tahun tersebut, bahkan masih melekat hingga sekarang ini, terutama
untuk mengukur hasiI belajar.
Penerapan paradigma analisis empiris dalam pedagogi olahraga juga selalu berangkat dari
panduan teori untuk menuntun hipotesis yang selanjutnya memberi arah pada pengungkapan
data yang relevan untuk menguji hipotesis.
Dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga, sangat disadari bahwa fenomena gerak
insani itu dipahami tidak lepas dari makna sosial budaya yang menjadi lanskap
pengembangannya, dan bahkan kepercayaan suatu masyarakat, seperti tampak Pada
permainan atau olahraga tradisional, sama sekali tak dapat diabaikan. Itulah sebab% a dari
waktu ke waktu kita dapat menyimak perubahan definisi olahraga (sport) itu sendiri yang
bergeser sesuai dengan persepsi masyarakat, dan di lain pihak, lingkungan beserta nilai di
sekitarnya, ikut membentuk isi kegiatan olahraga itu sendiri.
Dalam kaitan itu maka tak dapat dielak bahwa konteks sosial dan asumsi yang melandasi
yang melandasi proses belajar mengajar tidak dapat diabaikan yang selanjutnya melandasi
pengetahuan dan tindakan guru dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar. Karena itu
proses transaksi dalam mengajar‑belajar tak dapat dipahami semata‑mata sebagai
hubungan timbal balik antara stimulus‑respon secara mekanistik karena ada unsur penyela
yang bersumber dari berbagai faktor baik pada guru ini sendiri Maupun pada peserta didik.
Selain itu, Pengungkapan fakta dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga sangat
dipahami, baru sampai pada “penghampiran” belaka, seperti misalnya, betapa besar
“kekuatan otot” seseorang dalam konsep strength misalnya, meskipun kini banyak instrument
yang dianggap akurat dan canggih.
Dengan demikian paradigma pasca positivistik makin banyak dan mulai sering diterapkan
dalam pengembangan pedagogi olahraga terutama untuk mengkaji proses pembelajaran.
Kesimpulan
Pedagogi olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahraga yang masih
muda usianya dengan kedudukan sangat berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin iImu
keolahragaan lainnya untuk mendukung pemahaman bagi kelangsungan proses pembelajaran
atau tindakan yang bersifat mendidik. Proses pembelajaran itu melibatkan keterjadian
transaksi antara guru dan peserta didik, dan dalam proses itu penguasaan 7 kategori
pengetahuan menjadi amat penting yang dipandang sebagai batang tubuh pengetahuan
pedagogi olahraga. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan jasmani,
pengembangan model‑model pengajaran berlandaskan pada batang tubuh pengetahuan
tersebut.
Untuk penyelenggaraan pengajaran yang berhasil dalam pendidikan jasmani dan olahraga,
ketujuh kategori pengetahuan itu tidak saja dapat diungkapkan kembali oleh guru yang
bersangkutan, tetapi pengetahuan itu harus sampai pada tataran penerapan Pada waktu
sebelum, selama dan setelah pengajaran berlangsung. Lebih rumit lagi karena pengetahuan
itu harus dapat diselaraskan dengan kondisi pengajaran yang berubah‑ubah yang amat
spesifik pada setiap saat.
DAFTAR PUSTAKA
Pedagogi Olahraga ( Sport Pedagogy ) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang
berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya
untuk melandasi semua praktek dalam bidang keolahragaan yang mengandung
maksud dan tujuan untuk mendidik. Dapat diambil pendapat lain bahwa yang
dimaksud, Pedagogi Olahraga ( Ilmu Pendidikan Olahraga ), dapat didefinisikan sebagai
bidang teoritikal dari ilmu olahraga ya n g berhubungan dengan
k e m u n g k i n a n d a n b a t a s a n p e n d i d i k a n olahraga. Kajian ruang lingkup sport
pedagogi istilah lazimnya dan disepakati di tingkat internasional memang tidak lepas dari
pemahaman kita terhadap eksistensi Ilmu Keolahragaan ( Sport Science ). Inti dari
pemahaman itu sendiri terdiri dari dua cabang: cabang disipliner dimana olah raga dianggap
sebagai sebuah kategori umum dari aktivitas manusia dan di pahami dengan mengacu pada
pola dasar kajian (seperti biologi, psikologi, sosiologi dsb) dan cabang psikomotor.
Pedagogi olah raga sebagai bagian dari ilmu pengetahuan keolahragaan mengkaji dari
dua aspek yaitu:
1. Cabang Disipliner
adalah cabang yang membahas tentang urutan pemahaman yang paling dasar dari olah raga,
artinya ilmu keolahragaan mengkaji fenomena keolahragaan dan yang berolahraga adalah
manusia, karena itu ilmu keolahraagaan memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks
sejalan dengan kompleknya keberadaan manusia. Ilmu keolahragaan berkembang dari ilmu
terdahulu yang mengkaji tentang manusia dalam berbagai dimensinya, melalui pemfokusan
kajian dalam manusia yang melakukan aktifitas olahraga.
Ada 5 bidang teori yang mendukung yakni,
1. Biologi : Biologi secara umum dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan tentang fisik
(struktur mekanik) dan karakteristik kimia (fungsional) tanaman dan hewan. Dengan
demikian dimensi biologi pertimbangan efek aktivitas olahraga divariable biologis dari urutan
fungsional (seperti denyut jantung, volume stroke, tekanan darah, konsumsi oksigen, tingkat
metabolisme, kimia darah dan sejenisnya), serta pengaruh dari karakteristik psikologis dalam
pencapaian dalam olahraga yaitu (kekuatan, kecepatan, daya tahan, fleksibilitas, kelincahan
dan keseimbangan) di bawah kondisi lingkungan yang beragam.
2. Psikologi : Psikologi olahraga meneliti variable psikologis motivasi, kepribadian,
kecerdasan, dan emosi karena efek atau dipengaruhi oleh kegiatan olahraga.
3. Sosiologi : Meneliti variable sosiologis yang meliputi status sosial, mobilitas sosial,
proses sosialisasi,jenis kelamin dan kelompok umur, penyimpangan sosial, perubahan sosial
dan konflik sosial.
4. Sejarah : Bahwa olahraga telah dinikmati melalui pengalaman historis budaya
manusia.
5. Filosofi : Membahas isu-isu khas olahraga, menilai status olahraga sehubungan dengan
realitas, pengetahuan dan nilai pada umumnya.
2. Psikomotor
Mengkaji bagian olahraga yang memberikan keterlibatan dalam subtansi yang sebenarnya
dari olahraga serta data sederhana untuk dikaji secara disipliner olahraga pada umumnya,
untuk mendapatkan pemahaman olahraga yang sistemik dan komprehensif. Contoh: olahraga
individu meliputi bersepeda, anggar, angkat besi, menembak. Olahraga tim meliputi baseball,
sepak bola, bola voli. Olahraga klasik musim dingin meliputi ski jumping, speed skating dll.
C. Kesimpulan
Pedagogi sebagai ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang menyelidiki, merenungkan
tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogi olahraga sebagai bagian dari ilmu
pengetahuan keolahragaan, salah satunya mengkaji cabang disipliner dan cabang psikomotor.
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
(1987), adalah beberapa karya yang bernuansa filsafat ilmu keolahragaan, namun
pembahasan yang diambil lebihmerupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk
membangun dasar-dasar ilmu keolahragaan, sedangkan hakikat dimensi ontologi,
epistemonogi danaksiologi belum sepenuhnya digarap mendalam dan mengakar.Aspek
pertama,
ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi ilmukeolahragaan yang unik dan tidak
dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal,UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap
aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang
lain,ataupun diri sendiri”. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai“aktivitas
spontan, bebas dan dilaksanakan dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal
bakal panji olahraga di dunia “
Sport for All”
dan diIndonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakanmasyarakat”
(Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).“Aktivitas”, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga,
menunjukkansuatu gerak, dalam hal ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan
dirinyasecara sadar dan bertujuan. Oleh karena itu, menurut KDI keolahragaan,
obyek material ilmu keolahragaan adalah gerak insani dan obyek formalnya adalahgerak
manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dalam hal ini,raga/tubuh adalah sasaran
yang terpenting dan paling mendasar.Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan
menyentuh sisi tubuhmanuisiawi sebagai kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi
denganfenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan masyarakat luas
terhadap bentuk tubuh ideal.Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan:
“oran dum es ut sit ‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara
bebas
dapat ditafsirkan bahwamenyehatkan jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu
jalan untuk mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa
orangkepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik (Noerbai, 2000: 35).Ilmu keolahragaan
sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan berarti pengetahuan yang sistematik
dan terorganisir tentang fenomenakeolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian
ilmiah yang diperoleh darimedan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).Aspek
kedua
sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yangmempertanyakan bagaimana
pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu.Ilmu keolahragaan dalam
pengembangannya didekati melalui pendekatanmultidisipliner, lintasdisipliner dan
interdisipliner. Pendekatan multidisipliner ditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan
penggabungan beberapadisiplin ilmu. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih
disiplin ilmu berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau ide. Sedangkan
pendekatanlintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena melumatnya batas-batas
ilmuyang sudah mapan.Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan
membentuik batang tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan
itu.
144Inti kajian ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, IlmuGerak, Teori
Bermain dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmuKedokteran Olahraga,
Ergofisiologi, Biomekanika, Sosiologi Olahraga, PedagogiOlahraga, Psikologi Olahraga,
Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri
dari Humaniora – terwujud dalamantropokinetika; Ilmu Pengetahuan Alam – terwujud dalam
Somatokinetika; danIlmu Pengetahuan Sosial – terwujud dalam Sosiokinetika (KDI
Keolahragaan,2000: 33-34).Aksiologi - aspek ketiga - berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa
manfaatsuatu kajian. Secara aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi,
politik,ekonomi, sosial, budaya dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional
(KDIKeolahragaan, 2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak,
dibandingkan sisi dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya.Kecenderungan-
kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secaraakademis menempati sisi yang tak bisa
diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk dieksplorasi. Ini termasuk dari
sisi estetisnya, di manaRandolph Feezell mengulasnya secara fenomenologis, selain dimensi
naratifnya(Feezell, 1989: 204-220). Kemungkinan nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79-92)
membahasnya secara ekstensif dan komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110-118) membahas
kaitan olahraga dengan arah spiritualitasnya. Nancy Shinabargar (1989: 44-53) secara
sosiologis membahas dimensi feminis dalam olahraga. Yangtersebut di atas adalah beberapa
contoh cakupan dimensi ilmu keolahragaandalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan
intensifikasi masih luasmenantang.Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang
berangkat dari dimensiontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa apa yang
Paul Weisstulis dalam bukunya
Sport: A Philosophy Inquiry
(1969: 12) bahwa semakin banyak renungan filosofis yang mengarahkan keingintahuan
mendalam danketerpesonaan terhadap olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan
benar adanya. Ini perlu dimaknai secara operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21
ini,fenomena signifikansi dan kejelasan transkultural dari olahraga menempati salahsatu
koridor akademis ilmiah yang membutuhkan lebih banyak penggagas dankreator ide (Hyland,
1990: 33).Kecenderungan minat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif inimembawa
implikasi logis bagi filsafat untuk mengasah mata pisau “keibuannya”,mengingat dari
sejarahnya, filsafat dianggap
mater scientarum
: “ibunya ilmu”,dalam memberi tempat bagi pertanyaan dan jawaban mendasar atau inti isi
ilmukeolahragaan sekaligus mengasuh cabang-cabang ranting ilmu keolahragaan ini.
Kesimpulan
Ilmu Olahraga merupakan pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang fenomena
keolahragaan yang memiliki obyek, metode, sistematika ilmiahdan sifat universal yang
dibangun melalui sebuah sistem penelitian ilmiah yangdiperoleh dari macam-macam
penyelidikan, yang produk nyatanya tampak dalam
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan pada pencapaian tujuan
pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi
untuk mengembangkan potensi siswa melalu aktivitas jasmani.
Persepsi yang sempit dan keliru terhadap pendidikan jasmani akan mengakibatkan nilai-nilai
luhur dan tujuan pendidikan yang terkandung di dalamnya tidak akan pernah tercapai.
Orientasi pembelajaran harus disesuaikan, dengan perkembangan anak, isi dan urusan materi
serta cara penyampaian harus disesuaikan sehingga menarik dan menyenangkan, sasaran
pembelajaran ditujukan bukan hanya mengembangkan keterampilan olahraga, tetapi
perkembangan pribadi anak seutuhnya. Konsep dasar pendidikan jasmani dan model
pengajaran pendidikan jasmani yang efektif perlu dipahami bagi orang yang hendak mengajar
pendidikan jasmani.
Pengertian pendidikan jasmani sering dikaburkan dengan konsep lain, dimana pendididkan
jasmani disamakan dengan setiap usaha atau kegiatan yang mengarah pada pengembangan
organ-organ tubuh manusia (body building), kesegaran jasmani (physical fitness), kegiatan
fisik (pysical activities), dan pengembangan keterampilan (skill development). Pengertian itu
memberikan pandangan yang sempit dan menyesatkan arti pendidikan jasmani yang
sebenarnya. walaupun memang benar aktivitas fisik itu mempunyai tujuan tertentu, namun
karena tidak dikaitkan dengan tujuan pendidikan, maka kegiatan itu tidak mengandung unsur-
unsur pedagogi.
Pendidikan jasmani bukan hanya merupakan aktivitas pengembangan fisik secara terisolasi,
akan tetapi harus berada dalam konteks pendidikan secara umum (general education).
Tentunya proses tersebut dilakukan dengan sadar dan melibatkan interaksi sistematik
antarpelakunya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Apabila dicermati lebih jauh, makna pendidikan jasmani maka beraneka ragam tetapi
keragaman tersebut pada umumnya sama seperti pandangan terhadap pendidikan pada
umumnya.
1. Pandangan Tradisional
Menganggap bahwa Pendidikan jasmani hanya semata-mata mendidik jasmani atau sebagai
pelengkap, penyeimbang, atau penyelaras pendidikan rohani manusia. Dengan kata lain
pendidikan jasmani hanya sebagai pelengkap
Di Amerika Serikat, pandangan dikotomi ini muncul pada akhir abad 19 (1885-1900), yang
dipengaruhi oleh sistem Eropa, seperti sistem Jerman dan system Swedia; yang menekankan
pada perkembangan aspek fisik, kehalusan gerak, dan karakter peserta didik, dengan
gymnastik sebagai
Penjas lebih berperan sebagai “medicine” (obat) dari pada pendidikan. Oleh karena itu para
pengajar Pendidikan jasmani berlatarbelakang akademis kedokteran dasar, sehingga dalam
merumuskan tujuan, program pelaks, dan penilaian menjadi salah kaprah. Yaitu cenderung
kepada upaya memperkuat badan, memperhebat ketr fisik yg mengabaikan kepentingan
jasmani itu sendiri.
2. Pandangan Modern
Pandangan modern atau sering disebut juga pandangan holistik, menganggap bahwa manusia
bukan sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yg terpilah-pilah. Manusia adl kesatuan dari
berbagai bagian yang terpadu. Oleh karena itu pendidikan jasmani tidak hanya berorientasi
pada jasmani (satu komponen saja)
Di Amerika Serikat dipelopori oleh Wood dilanjutkan Hetherington tahun 1910. Pendidikan
jasmani dipengaruhi “progressive education” bahwa semua pendidikan harus memberi
kontribusi terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan penjas mempunyai peranan
yang sangat penting terhadap perkembangan tersebut.
3. Pandangan di Indonesia
Pandangan holistik oleh Jawatan Pendidikan Jasmani tahun 1960: “Pendidikan jasmani
adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktivitas manusia berupa sikap,
tindak, dan karya yg diberi bentuk isi, dan arah menuju kebulatan pribadi sesuai dengan cita-
cita kemanusiaan”
Definisi yang relatif sama, oleh Pangrazi dan Dauer (1992) Pendidikan jasmani merupakan
bagian dari program pendidikan umum yang memberi kontribusi, terutama melalui
pengalaman gerak, terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.
Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan dan melalui gerak dan harus
dilaksanakan dengan cara-cara yg tepat agar memiliki makna bagi anak. Pendidikan jasmani
merupakan program pembelajaran yang memberikan perhatian yang proporsional dan
memadai pada domain-domain pembelajaran, yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif.
Bucher, (1979) mengemukakan pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari suatu
proses pendidikan secara keseluruhan melalui kegiatan fisik yang dipilih untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan organik, neuromuskuler, interperatif, sosial,
dan emosional.
Hal senada juga dikemukakan oleh Abdul Kadir Ateng (1993) bahwa; pendidikan jasmani
merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan melalui berbagai kegiatan
jasmani yang bertujuan mengembangkan secara organik, neuromuskuler, intelektual dan
emosional.
Wall dan Murray (1994) mengemukakan lebih spesifik, “masa kanak-kanak adalah masa
yang sangat kompleks, dimana pikiran, perasaan, dan tindakannya selalu berubah-ubah. Oleh
karena sifat anak-anak yang selalu dinamis pada saat mereka tumbuh dan berkembang, maka
perubahan satu element sering kali mempengaruhi perubahan pada element lainnya. Oleh
karena itulah, adalah anak secara keseluruhan yang harus dididik, tidak hanya mendidik
jasmani atau tubuhnya saja”.
Pendidikan jasmani dalam KTSP adalah suatu proses pendidikan melalui aktivitas jasmani
yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan
motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi.
Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotorik, kognitif, dan afektif setiap siswa.
Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan
antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan
lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan
membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan
jasmani secara lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan
bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak
harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani,
meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif.
Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang
terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan
tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga
melibatkan aktivitas
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita
mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar
tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan,
misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut,
dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali
atas kesepakatan semua pihak yang
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat
mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga
berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat
menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain;
karena aspek kompetitif teramat penting dalam
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari
olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di
antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah
aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat
fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku
bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya
dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan
kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan
pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya,
olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi
kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat
eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan,
atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara
eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
Antara pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah bila diperbandingkan dapat dilihat
berdasarkan tabel dibawah ini:
Mata pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
2. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan di SD/MI, adalah meliputi
tujuh aspek antara lain:
1. Menjadikan fungsi sistem tubuh menjadi lebih baik sehingga individu dapat
memenuhi tuntutan lingkungannya secara memadai serta memiliki landasan-landasan
untuk pengembangan keterampilan.
2. Meningkatkan kekuatan otot, yaitu jumlah tenaga maksimum yang dikeluarkan oleh
otot atau kelompok otot
3. Meningkatkan daya tahan otot, yaitu kemampuan otot atau kelompok otot untuk
menahan kerja dalam waktu yang lama.
4. Meningkatkan daya tahan kardiovaskuler, kapasitas individu untuk melakukan secara
terus menerus dalam aktivitas yang berat dalam waktu relatif lama; hal ini tergantung
pada efisiensi yang terdiri dari aliran darah, jantung dan paru-paru.
5. Meningkatkan fleksibilitas, yaitu rentang gerak dalam persendian yang diperlukan
untuk menghasilkan gerakan yang efisien dan mengurangi cidera.
1. Menjadikan keharmonisan antara fungsi sistem saraf dan otot untuk menghasilkan
gerakan yang diinginkan.
2. Mengembangkan keterampilan lokomotor, seperti: berjalan, melompat, meloncat,
meluncur, melangkah, mendorong, berlari, menderap/mencongklang, bergulir,
menarik
3. Mengembangkan keterampilan non-lokomotor, seperti mengayun, melenggok,
meliuk, bergoyang, meregang, menekuk, mengantung, membungkuk.
4. Mengembangkan keterampilan dasar jenis permainan, seperti memukul, menendang,
menangkap, berhenti, melempar, memulai, mengubah arah, memantul, bergulir,
memvoli.
5. Mengembangkan faktor-faktor gerak, seperti ketepatan, irama, rasa gerak, power,
waktu reaksi, kelincahan
6. Mengembangkan keterampilan olahraga dan dansa, seperti sepakbola, softball, bola
voli, gulat, atletik, baseball, bola basket, panahan, hoki, anggar, tenis, bowling, golf,
dansa.
7. Mengembangkan keterampilan rekreasi, seperti hiking, tenis meja, berenang, berlayar.
1. Penyesuaian baik dirinya dan orang lain dengan menggabungkan dirinya ke dalam
masyarakat dan lingkungannya.
2. Mengembangkan kemampuan membuat pertimbangan dan keputusan dalam situasi
kelompok
3. Belajar berkomunikasi dengan orang lain
4. Mengembangkan kemampuan bertukar dan mengevaluasi ide dalam kelompok
5. Mengembangkan kepribadian, sikap, dan nilai agar dapat berfungsi sebagai anggota
masyarakat
6. Mengembangkan rasa memiliki dan rasa diterima di masyarakat.
7. Mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang positif
8. Belajar menggunakan waktu luang yang konstruktif
9. Mengembangkan sikap yang mencerminkan karakter moral yang baik.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Annarino, Anthony A., Cowell, Charles C., dan Hazelton, Helen W. (1980). Curriculum
Theory and Design in Physical Education. (London: C.V. Mosby Company).
Bucher, Charles A. (1979). Foundations of Physical Education. (London: The C.V. Mosby
Company).
Gabbard, Carl., LeBlanc, Elizabeth, and Lowy, Susan (1987). Physical Education For
Children. (New Jersey: Prentice-Hall, Inc).
Made Pramono1
ABSTRACT
At the acknowledged risk of oversimplification, the term ontology is used here to indicate the
investigation of the nature of Sport Science. “Sport Science” is the name for the scientific work and its result
related to a very complex social subsystem called sport. This phenomenon is very diversified, has many faces,
and has to be seen in a multidimensional way. Sport Science, therefore, must be described and justified as a
scientific discipline. This is done by dealing with theoretical foundations. This research is intended to reflect
and analyse the ontological aspect – object, scope, aim, and objective - which is one of the important aspect of
this theoretical foundations, which in turn are a contribution to a Philosophy of Sport Science.
Ilmu Keolahragaan memiliki sejarah yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan ilmu-ilmu disipliner
lain seperti filsafat, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Bidang ilmu dibawahnyapun masih tergolong baru. Oleh
karena itu, sangat penting bagi Ilmu Keolahragaan untuk membangun dasar-dasar teoritis sebagai sebuah
disiplin ilmiah.
“Dasar-dasar teoritis” menunjukkan konsep dasar, persoalan pokok, dan pembenaran umum Ilmu
Keolahragaan dengan bantuan prosedur teoritis. “Teori” atau “teoritis” berarti refleksi mendalam yang
dikembangkan secara baik dalam standar-standar ilmiah. “Ilmu Keolahragaan” adalah nama bagi wissenschaft
yang hasilnya dihubungkan pada sub-sistem sosial yang sangat kompleks yang disebut “olahraga”. Fenomena
olahraga sangat beragam, banyak memiliki wajah, dan dilihat dalam multidimensi, oleh karena itulah maka ilmu
yang menguraikan masalah ini, yakni Ilmu Keolahragaan, juga memperlihatkan karakter yang amat kompleks.
“Disiplin ilmiah” menunjukkan satu cabang dalam bidang luas dunia ilmu. Pengembangan historis ilmu secara
umum dapat dikarakteristikkan sebagai proses diferensiasi dan spesifikasi konstan. Jadi, banyak disiplin ilmiah
yang eksis sekarang ini yang kelak akan lebih banyak lagi, karena proses diferensiasi menjadi suatu proses yang
kontinu (Haag, 1994: 13).
Sesuatu yang sangat penting dan vital bagi Ilmu Keolahragaan - seperti halnya ilmu-ilmu lain seperti
ilmu politik, kedokteran, sastra dan lain-lain - adalah bahwa Ilmu keolahragaan menyajikan sistem penelitian
ilmiah, pengajaran, latihan, dan integrasi konstruktif ilmu-ilmu lain di dalamnya. Tentu saja, dasar-dasar
teoritis-filsafati harus sudah kokoh terbangun sebagai syarat untuk dapat disebut sebagai ilmu mandiri.
Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian
ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju Ilmu Keolahragaan dalam tiga dimensi ilmiahnya
(ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain. Relevansi filsafati ini pada
gilirannya mensyaratkan pula komunikasi lintas, inter, dan multidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya
menjawab persoalan dan tantangan yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan kata lain, proses timbal
balik yang sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah praksis muncul, dan menjadi tanggung jawab filsafat
untuk mengkritisi, memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat Ilmu Keolahragaan, dengan titik tekan
utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi – mengeksplorasi Ilmu Keolahragaan
ini secara mengakar.
Ilmu Keolahragaan adalah ilmu yang relatif baru dan memiliki sejarah lebih pendek daripada bidang-
bidang ilmu lain seperti filsafat, hukum, fisika, biologi dan lain-lain. Oleh karena itu, pendasaran teoritis-
filsafati masih terus diupayakan, salah satunya melalui integrasi cabang-cabang Ilmu Keolahragaan (seperti
psikologi olahraga, biomekanika olahraga) dan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi tema kajian seperti
nutrisi, sex, meditasi dan sebagainya.
Analisis pada penelitian ini berupaya memberikan sumbangan ke arah pemahaman yang lebih
komprehensif dan intensif dalam membangun dasar-dasar teoritis Ilmu Keolahragaan sebagai suatu disiplin
ilmiah. Pembahasan aspek ontologis Ilmu Keolahragaan merupakan satu dari tiga pilar utama selain aspek
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar ini secara integratif harus dipahami oleh akademisi Ilmu Keolahragaan
dalam rangka pengakuan yang lebih luas dan mendalam terhadap Ilmu Keolahragaan dari masyarakat ilmiah,
dan juga sebagai landasan strategis pengembangan dan interaksi lintas, inter, dan multidisipliner Ilmu
Keolahragaan.
Pembahasan dari aspek ontologi berusaha menjawab persoalan apa objek studi Ilmu Keolahragaan yang
dianggap unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu lainnya. Selain itu, perlu juga memetakan medan kajian Ilmu
Keolahragaan sebagai suatu rincian objek formalnya, serta pembahasan tentang maksud dan sasaran Ilmu
Keolahragaan yang merupakan persoalan atau fokus penting dalam membangun dasar-dasar teoritis Ilmu
Keolahragaan dari aspek ontologi ini (KDI Keolahragaan, 2000: 6, 9; Haag, 1994: 9).
Karakteristik dari objek studi Ilmu Keolahragaan adalah fenomena gerak manusia. Fenomena gerak ini
dalam konteks keolahragaan menjadi amat kompleks karena mengandung muatan biologis, psikologis, dan
antropologis. Olahraga adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik. Arah dan tujuan orang berolahraga
termasuk waktu dan lokasi kegiatan dilaksanakan sedemikian beragam. Ini menunjukkan bahwa olahraga
merupakan fenomena yang relevan dengan kehidupan sosial dan ekspresi budaya, termasuk dalam hal ini
kecenderungan khas ideologi, profesi, organisasi, pendidikan dan sains. Sedangkan sifat universalitas
menunjukkan keanekaragaman olahraga yang dipengaruhi oleh keragaman sosial budaya dan kondisi geografis
yang spesifik (Haag, 1994: 13) Fenomena olahraga hadir di masyarakat dan terkontrol di bawah restu nilai dan
norma, di samping terikat langsung oleh kapasitas kemampuan biologik (Rusli dan Sumardianto, 2000: 2).
Arah kajian Ilmu Keolahragaan secara khusus adalah ilmu tentang manusia berkenaan dengan perilaku
gerak insani yang diperagakan dalam adegan bermain, berolahraga dan berlatih (KDI Keolahragaan, 2000: 7).
Karena itu, esensi dari fokus studi Ilmu Keolahragaan adalah studi dan pendidikan manusia dalam gerak.
Tegasnya, arah kajian Ilmu Keolahragaan adalah gerak manusia (human movement), sehingga objek formalnya
adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan (forming) dan pendidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 7).
Perilaku gerak berlangsung dalam hubungan koordinasi yang amat kompleks namun teratur, cepat, dan
halus dari fungsi-fungsi neuro-fisiologis-anatomis yang menyatu dengan fungsi psikologis, sesuai ciri-ciri
biologis manusia yang mampu memperbarui energi dan melaksanakan daur ulang, mengatur diri sendiri,
beradaptasi, serta kemampuan mempertahankan keseimbangan atau homeostatis sebagai kata kunci untuk
bertahan hidup. Ternyata gerak yang tampak dalam perilaku merupakan hasil keseluruhan sistem yang sinkron
dan menyatu antara jiwa dan badan yang membentuk satuan individu sebagai pribadi. Unsur fisik-biologis,
biokimia, impuls syaraf elektronik menyatu dengan unsur mental dan rohaniah. Manusia menggerakkan dirinya
secara sadar melalui pengalaman badaniah sebagai medium mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks
pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, gerak manusia inilah yang menjadi medan pergaulan yang bersifat
mendidik antara peserta didik sebagai aktor, dan pendidik sebagai auctor, pengarah sekaligus fasilitator (Rusli
dan Sumardianto, 2000: 1-2).
Hal tersebut selaras dengan pengertian olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai proses pembinaan
sekaligus pembentukan melalui perantaraan raga, aktivitas jasmani, atau pengalaman jasmaniah (body
experience) dalam rangka menumbuhkembangkan potensi manusia secara menyeluruh menuju kesempurnaan.
Jadi Ilmu Keolahragaan adalah pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan
yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan penyelidikan, di mana produk
nyatanya tampak dalam batang tubuh pengetahuan Ilmu Keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
Fungsi Ilmu Keolahragaan adalah mengkaji persoalan berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi dan
mengungkapkan pengetahuan sebagai jawabannya secara ilmiah. Berkaitan dengan objek formalnya, maka
medan pengkajian Ilmu Keolahragaan mencakup spektrum aktivitas pendidikan jasmani yang cukup luas, yang
meliputi: (1) bermain (play), (2) berolahraga (dalam arti sport) (3) pendidikan jasmani dan kesehatan (physical
and health education), (4) rekreasi (recreation and leisure), dan (5) tari (dance). Hal ini tampak jelas dari sisi
praktis atau layanan profesional yang pada gilirannya menjadi lahan subur bagi pengembangan batang tubuh
Ilmu Keolahragaan itu sendiri (KDI Keolahragaan, 2000: 9).
a. Bermain
Johan Huizinga melihat permainan sebagai sumber dari bentuk-bentuk kultural paling penting, yang
merentang sejak dari hal-hal yang menyenangkan, seperti seni, sampai ke hal-hal yang kurang menyenangkan
dan kontroversial, seperti perang. Dalam karyanya Homo Ludens (manusia sebagai makhluk bermain – yang
menjadi tesis antropologis-filsafatinya), Huizinga (1950: 18-21) memaparkan karakteristik bermain sebagai
dorongan naluri, aktivitas bebas, dan pada anak merupakan keniscayaan sosiologis dan biologis. Ciri lain yang
amat mendasar yakni kegiatan itu dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan, dalam waktu luang. Huizinga
menyebutkan juga ciri khusus permainan: ini bukanlah kehidupan “nyata” dan kebebasan mewarnai aktivitas
tersebut. Namun patut diingat bahwa sebenarnya Huizinga menegaskan permainan sebagai keberadaan yang
“tak serius”, tetapi di saat yang sama menyeret pemainnya untuk bermain intens atau habis-habisan (Huizinga,
1950: 21).
Huizinga melihat bahwa bermain dan berolahraga merupakan kegiatan yang senantiasa ada dalam inti
kebudayaan masyarakat, sejak primitif sampai modern (Huizinga, dalam Hyland, 1990: 23). Meskipun “tak
serius”, di dalam permainan terdapat nilai pendidikan, sehingga perlu dimanfaatkan sebagai upaya menuju
pendewasaan melalui pemberian rangsangan yang bersifat menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental sosial, dan
moral yang berguna pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan secara normal dan wajar. Tujuan yang
ingin dicapai tersirat di dalam kegiatan itu, suatu ciri yang membedakannya dengan aktivitas ‘bekerja’ (KDI
Keolahragaan, 2000: 9-10).
b. Olahraga (Sport)
Istilah olahraga yang digunakan disini merupakan istilah generik, sehingga pengetahuannya tidak terbatas
pada pengertian sempit olahraga prestasi-kompetitif-elit untuk sementara olahragawan yang pelaksanaannya
dikelola secara formal seperti lazim dijumpai pada cabang-cabang olahraga resmi, tetapi juga jenis-jenis
aktivitas jasmani lainnya yang bersifat informal.
Olahraga sebagai kata majemuk berasal dari kata olah dan raga. Olah artinya upaya untuk mengubah atau
mematangkan, atau upaya untuk menyempurnakan. Bisa juga olah diinterpretasikan sebagai perubahan bunyi
istilah ulah, yang berarti perbuatan atau tindakan. Sedangkan raga berarti badan/fisik. Dengan demikian, secara
etimologis singkat, olahraga berarti penyempurnaan atau aktivitas fisik. Abdulkadir Ateng (dalam Harsuki dan
Soewatini (ed.), 2003: 45) menganggap rancu jika kata olahraga ini dipadankan dengan kata asing sport.
Menurutnya, sport hanya sebagian dari isi pengertian olahraga. Ia berasal dari bahasa Inggris Kuno disportare,
yang berarti bersenang-senang [bandingkan dengan Rusli dan Sumardianto (2000: 1) yang berpendapat bahwa
istilah sport berasal dari kata disport, dan pertama kali muncul dalam kepustakaan pada tahun 1303 yang berarti
“sport, past time, recreation, and pleasure”]. Padanan sport yang lebih mendekati aslinya adalah seperti istilah
sukan di Malaysia (Indonesia: bersuka-sukaan) (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45).
Makna istilah olahraga memang selalu berubah sepanjang waktu, namun esensi pengertiannya
mengandung tiga unsur pokok: bermain, latihan fisik, dan kompetisi (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2). Dalam
“Declaration of Sport”, UNESCO mendefinisikan olahraga berikut ini, yang menyiratkan betapa luas
kemungkinan cakupan makna olahraga:
Olahraga adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur
alam, orang lain, ataupun diri sendiri (dalam Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Definisi lain yang dirumuskan oleh Dewan Eropa pada tahun 1980 yang berbunyi “Olahraga sebagai
aktivitas spontan, bebas, dan dilaksanakan selama waktu luang” merupakan interpretasi yang bersifat umum
yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi sport for all – olahraga masal - yang dimulai di Eropa tahun 1966,
dan 27 tahun kemudian Indonesia mencanangkan panji olahraga “memasyarakatkan olahraga dan
mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
Berbagai definisi yang sudah ada tentang olahraga, bagaimanapun harus dilandasi suatu argumentasi
yang konsisten. Istilah olahraga yang dipakai sebagai rujukan pengembangan Ilmu Keolahragaan adalah definisi
yang bersifat umum, rumusan pedagog asal Jerman, Herbert Haag yang memperoleh pengakuan internasional:
The world sport is not used in the narrow sense of athletics of competitive sport, rather it means the sum
of physical activities of formal and informal nature realize mostly in sport discipliness but also in
fundamental forms like calisthenics, fitness training, or aerobics (Rusli dan Sumardianto, 2000: 7).
Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral dan natural, namun masyarakatlah yang kemudian
membentuk dan memberi arti terhadapnya. Sesuai dengan fungsi dan tujuannya, olahraga dapat dirinci sebagai
berikut.
1. Olahraga pendidikan adalah proses pembinaan menekankan penguasaan keterampilan dan ketangkasan
berolahraga termasuk juga pembinaan nilai-nilai kependidikan melalui pembekalan pengalaman yang
lengkap sehingga yang terjadi adalah proses sosialisasi melalui dan ke dalam olahraga.
2. Olahraga kesehatan adalah jenis kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan
kesehatan dan fitnes yang tercakup dalam konsep well-being melalui kegiatan olahraga.
3. Olahraga rekreatif adalah jenis kegiatan olahraga yang menekankan pencapaian tujuan yang bersifat rekreatif
atau manfaat dari aspek jasmaniah dan sosial-psikologis.
4. Olahraga rehabilitatif adalah jenis kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan yang
bersifat terapi atau aspek psikis dari perilaku.
5. Olahraga kompetitif adalah jenis kegiatan olahraga yang menitikberatkan peragaan performa dan pencapaian
prestasi maksimal yang biasanya dikelola oleh organisasi olahraga formal, baik nasional maupun
internasional (KDI Keolahragaan, 2000: 10-11).
1. olahraga merupakan subsistem dari bermain: pelaksanaan secara sukareka tanpa paksaan;
2. olahraga berorientasi pada dimensi fisikal: kegiatan itu merupakan peragaan keterampilan fisik;
4. olahraga, terutama olahraga kompetitif, menekankan aspek performa dan prestasi sehingga di dalamnya
terlibat unsur perjuangan, kesungguhan, dan faktor surprise sebagai lawan dari faktor untung-untungan
sehingga performa itu dicapai melalui usaha pribadi;
5. olahraga berlangsung dalam suasana hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan, bukan membangkitkan naluri
rendah, bahkan justru membangun solidaritas;
6. olahraga harus bermuara pada upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan total (wellness) (KDI
Keolahragaan, 2000: 11-12).
Secara khusus dan ontologis, Richard Schacht (1998: 126-127) mengemukakan konsepsinya tentang
olahraga yang telah dimodifikasi dari pandangan-pandangan sang filsuf martir, Nietzsche, yang pada bagian ini
dapat dijadikan acuan tambahan pengembangan Ilmu Keolahragaan.
1. Olahraga menjadi aktivitas psikosomatik yang lepas dan terbuka di mana pikiran, tubuh, dan perasaan
seseorang terlibat secara serempak dalam berolahraga.
2. Olahraga memuat sifat kognitif dan utilitarian meskipun tidak dalam kodrat dasariahnya.
3) Olahraga merupakan satu spesies permainan yang khas dalam hal struktur dan intensitasnya.
4) Olahraga meliputi pengolahan dan pengembangan kecakapan, keahlian, dan sensitivitas mental dan motorik,
yang dapat diajarkan dan dipelajari, tetapi tak dapat direduksi pada formula-formula dan aturan-aturan
mekanis.
5) Olahraga merupakan bagian fenomena sejarah dan budaya, dan bersifat sosial dan interpersonal.
6) Olahraga berpusat pada suatu jenis kompetisi, yang diilhami semangat “will to power”.
7) Olahraga memiliki kelenturan format perwujudan, namun sekaligus ketertiban tingkat keseriusan.
Hasil investigasi filsafati Scacht ini mengisyaratkan suatu keterbukaan ontologis olahraga, dipandang dari
filsafat ilmu. Artinya, ekstensifikasi dan intensifikasi ilmiah dapat terjadi sampai pada interaksi yang bahkan
revolutif di tingkat ontologis, misalnya pergeseran objek studi. Apabila di penelitian ini objek studi Ilmu
Keolahragaan dibatasi pada fenomena gerak manusia, maka seiring perkembangan teknologi olahraga dalam
techno-sport, bisa jadi pengabsahan-pengabsahan permainan yang sangat baru dengan instrumen teknologis
sebagai fokusnya, menghasilkan kesepakatan global tentang objek studi Ilmu Keolahragaan yang baru. Objek
studi Ilmu Keolahragaan kemudian tidak hanya menyangkut gerak insani, namun juga prestasi piranti teknologi
ciptaan “atlet”, seperti yang dapat diamati pada perlombaan “Tamiya” di Indonesia akhir-akhir ini. (Bukankah
secara awam dan harfiah, pemaknaan gerak insani tidak tepat bila digunakan pada olahraga catur dan bridge?).
Pendidikan jasmani adalah proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, bermain dan/atau olahraga yang
bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada
aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada
aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang
bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI
Keolahragaan, 2000: 12).
Perlu ditegaskan bahwa pendidikan jasmani pengertiannya bukan pendidikan terhadap jasmani, tetapi
pendidikan melalui jasmani. Secara definitif, Sukintaka menterjemahkannya sebagai berikut.
…proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani yang dikelola secara
sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya (Sukintaka, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.),
2003: 5).
Sedangkan dalam kaitannya dengan pendidikan secara nasional, berdasarkan SK Mendikbud 413/U/1987, maka
definisi pendidikan jasmani adalah:
…merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara
organik, neuromuskuler, intelektual, dan emosional melalui aktivitas fisik (Abdulkadir, dalam Harsuki
dan Soewatini (ed.), 2003: 5).
Pendidikan kesehatan adalah proses pembinaan pola atau gaya hidup sehat sebagai keterpaduan
pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku nyata. Tujuan yang ingin dicapai adalah kesehatan total, bukan dalam
pengertian bebas dari cacat, tetapi sehat fisik, mental, dan sosial, seperti tercakup dalam konsep wellness. Antara
sakit dan sehat bukan sebagai sebuah dikotomi, tetapi sehat bergerak dalam gerak kontinuum, sehingga fungsi
dari pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan seseorang (KDI
Keolahragaan, 2000: 12-13).
d. Rekreasi
Rekreasi adalah satu bentuk kegiatan suka rela dalam waktu luang, bukan aktivitas survival, yang
diarahkan terutama dalam bentuk rekreasi aktif berupa aktivitas jasmani atau kegiatan berolahraga.
Pelaksanaannya harus sesuai dengan norma dan etika masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai mencakup aspek
pemulihan kelelahan, relaksasi, atau penanganan stress untuk menggairahkan hidup agar lebih produktif melalui
relativitas energi dalam suasana kehidupan yang riang, tanpa tekanan dan merasa bahagia, di samping
memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitar melalui jalinan hubungan sosial (KDI Keolahragaan, 2000: 13).
e. Tari
Tari menunjukkan fenomena peragaan keterampilan ketangkasan, sehingga dari pengungkapan
keterampilan gerak ia masuk ke tapal batas kegiatan olahraga. Namun aktivitas jasmani tersebut lebih bernuansa
persyaratan seni atau faktor estetika, meskipun tidak bisa dibantah bahwa dalam berolahraga banyak sekali
dijumpai unsur-unsur seni dan keindahan (KDI Keolahragaan, 2000: 13-14).
Pertanyaan apa yang dikaji oleh suatu disiplin ilmu, merupakan pertanyaan mendasar yang dalam
wilayah akademis filsafat ilmu tercakup dalam ontologi ilmu (Jujun, 2002: 35). Permasalahan maksud dan
sasaran dari apa yang dikaji ilmu tertentu, merupakan permasalahan ontologis juga yang merupakan cerminan
pertanyaan-pertanyaan final “untuk apa?”, atau “mengapa?”. Demikian juga dengan disiplin ilmu baru seperti
Ilmu Keolahragaan. Empat dimensi berikut ini menghasilkan sudut pandang berbeda serta wilayah yang luas
dari aspek-aspek yang menyusun keseluruhan jawaban dari pertanyaan ontologis “apa fungsi Ilmu Keolahragaan
itu?”. Meskipun Ilmu Keolahragaan keberadaannya masih baru, sejarah Ilmu Keolahragaan atau ilmu aktivitas
jasmani dapat dilacak ke awal-awal abad 20, tanpa mempertimbangkan interpretasi yang diberikan oleh para
filsuf dan sarjana medis sebelum tahun 1900 (Haag, 1994: 23). Pembahasan empat dimensi dalam pertimbangan
ontologis “maksud dan sasaran” Ilmu Keolahragaan berikut ini merupakan pendasaran yang sederhana dan
dipersingkat.
a. Dimensi Historis
Pertimbangan historis menyajikan kerangka kerja luas dalam mencari jawaban atau dapat menyumbang
persepsi masa kini Ilmu Keolahragaan secara lebih baik. Bagaimanapun, kesalinghubungan masa lalu, masa
kini, dan masa depan merupakan paradigma dasar berpikir yang tak dapat diabaikan: mengetahui masa lalu,
mengalami masa kini, membentuk masa depan.
Gerakan, permainan dan olahraga sebagai bagian budaya manusia memiliki sejarah yang menarik. Cara
yang relatif objektif dalam mendapatkan data dalam perspektif historis adalah menyampaikan perhatian
terhadap topik yang diberikan pada dokumen-dokumen kunci. Dengan menganalisa hasil ini secara kronologis,
kecenderungan dan perkembangan dapat diikuti sampai situasi terkini (Haag, 1994: 25-27).
b. Dimensi Komparatif
Perspektif horizontal termasuk dalam dimensi komparatif; Ini berhubungan dengan perbandingan persoalan
dan memberi jawab dalam sedikitnya dua perbedaan latar belakang sosial-kultural atau negara-negara. Dengan
menyimpulkan informasi dari sudut pandang banyak negara, bermacam-macam gagasan dan solusi dapat sangat
meningkat. Keuntungan penggunaan pendekatan komparatif berlipat tiga:
1. lebih banyak informasi dan sistem yang diperoleh tentang negara yang berbeda;
Gerakan, permainan, dan olahraga adalah hal yang menarik, karena merupakan pengalaman-pengalaman
tindakan manusia yang terikat secara kultural dan tersedia dalam informasi yang bervariasi. Pendekatan lintas
kultural dan internasional secara kontinu mencapai nilai pentingnya, khususnya karena gerakan, permainan dan
olahraga sebagai ekspresi non-verbal manusia pada dasarnya bersifat internasional. Oleh karena itu, studi-studi
komparatif mungkin membantu mencapai jawaban yang solid dan benar terhadap pertanyaan yang diberikan:
“apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?”. Jawaban-jawaban ini tak terbatas pada sisi pandang satu negara. Karena
gerakan, permainan dan olahraga merupakan fenomena internasional yang khas, tampaknya sangat berguna dan
perlu untuk mengikuti internasionalitas ini dalam perspektif komparatif (Haag, 1994: 29).
Dimensi situasional berarti, situasi sekarang dianalisa sangat hati-hati dalam rangka solusi ilmiah
persoalan yang ada. Ini terutama terdiri dari analisis pustaka yang relevan dengan Ilmu Keolahragaan dalam
dekade terakhir. Bahkan jika proses perkembangan Ilmu Keolahragaan ke arah kemantapan penuh dan diakui
disiplin akademis berada pada tingkat memuaskan, opini yang ada cukup tersedia mengenai persoalan yang
dihadapi. Bidang ilmiah yang baru dan sedang berkembang harus selalu didiskusikan dan ditinjau kembali meta-
teorinya sendiri agar mencapai perkembangan besar dalam ranah ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, dimensi
situasional mengenai pertanyaan “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?” menjadi penting untuk dapat
dipertimbangkan. Dua parameter digunakan dalam dimensi situasional: terminologi mengenai lembaga-lembaga
Ilmu Keolahragaan dan perkembangan jurnal dan organisasi-organisasi Ilmu Keolahragaan pada level nasional
dan internasional. Tidak diragukan bahwa dimensi situasional harus dipertimbangkan sebagai dasar tindakan
masa depan. Satu kesalahan, jika sesuatu di masa lalu yang tetap konstan atau selalu berhubungan dengan apa
yang disebut impian masa depan yang lebih baik, kehilangan perspektif kekinian, situasi aktual dan kondisi-
kondisi konkret (Haag, 1994: 23 dan 31).
Kesulitan yang langsung tampak pada eksplorasi pendasaran ontologis Ilmu keolahragaan dalam dimensi
ini adalah sifatnya yang cenderung berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga pola universalitasnya harus
terlebih dahulu melewati kompromi-kompromi keilmuan global. Sejauh mana olahraga keindonesiaan tercatat
dalam kamus dimensi situasional, ditentukan oleh sosialisasi global informasi keolahragaan Indonesia.
Dimensi ini lebih merupakan sifat dasar hipotetis dan bukan bukti secara ilmiah. Bagaimanapun, ini
merupakan tugas perguruan tinggi dan sarjana yang termasuk dalam kerja universitas untuk berpikir ke depan,
untuk mengembangkan perspektif dan untuk berkarya pada konsep masa depan, didasarkan pada susunan
pengetahuan sejarah dan pemahaman kekinian yang seimbang.
Meskipun demikian, adalah logis/sah untuk melihat masa depan dengan mana perspektif dimensi
futuristik ini dikembangkan berkenaan dengan lima persoalan relevansi dasar perkembangan ke depan Ilmu
Keolahragaan: fenomena olahraga, internasionalitas, etika ilmu, metode penelitian, dan teori keilmuan. Lebih
jauh, proyeksi-proyeksi dibuat untuk tiga tingkat dasar penelitian Ilmu Keolahragaan, yakni fase penemuan,
realisasi dan aplikasi, dengan mana proses penelitian mengikuti muatan logis ini. Oleh karena itu, dimensi
futuristik dapat menyumbang, apa yang disebut Willimczik, “Ilmu Keolahragaan interdisipliner – ilmu dalam
pencarian identitasnya” (Haag, 1994: 24 dan 42).
Teori ilmiah Ilmu Keolahragaan dalam kaitannya dengan pemahaman ilmiah Ilmu Keolahragaan
sebagai aspek filsafat Ilmu Keolahragaan harus seimbang dan berkepastian. Hal ini terkait dengan konstruksi
wacana meta-teoritis yang perlu bagi bidang keilmuan baru sebagaimana Ilmu Keolahragaan ini. Ilmu
Keolahragaan juga segera menjadi tantangan baru masyarakat post-industrial (Watson, dalam Haag, 1994: 21).
Menurut Baur (dalam Haag, 1994: 21), konsepsi-konsepsi pengembangan-teoritis baru (aspek interaksi,
transaksional, dan dialektika) penting untuk perkembangan Ilmu Keolahragaan ke depan.
Keterbukaan wacana pengembangan keilmuan menuntut suasana ilmiah yang kondusif dan kompetitif.
Di Indonesia, kelahiran Ilmu Keolahragaan sebagai ilmu yang mandiri di tahun 1998 merupakan anugerah
sekaligus peringatan dan tantangan bagi akademisi keolahragaan. Paradigma olahraga dengan “raga” sebagai
titik tekan praktek akademik di lapangan olahraga, harus diseimbangkan dengan karya-karya penelitian yang
mencerminkan kualitas keilmuan modern. Suasana ilmiah yang kondusif dan kompetitif, sekali lagi, menjadi
mercu suar dalam perjalanan masyarakat akademik Ilmu Keolahragaan menuju penerimaan yang qualified di
masyarakat ilmiah internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Ateng. 2003. Olahraga di Sekolah. dalam Harsuki dan Soewatini (ed.). Perkembangan Olahraga
Terkini: Kajian Para Pakar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Huizinga, Johan. 1950. Homo Ludens. London: Routledge & Kegan Paul.
Jujun S. Suriasumantri. 2002. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan. 2000. Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta:
DEPDIKNAS.
Schacht, Richard. 1998. Nietzsche and Sport. dalam International Studies and Philosophy. vol. 30. No. 6. hal.
123-130.
Sukintaka. 2003. Filsafat Pendidikan Jasmani: Keberhasilan Dikjas Mendukung Keberhasilan Olahraga.
dalam Harsuki dan Soewatini (ed.). Perkembangan Olahraga Terkini: Kajian Para Pakar, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Pendidikan Jasmani dan Olahraga (Penjas-Or) merupakan bagian dari kurikulum standar
Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah. Dengan pengelolaan yang tepat, maka
pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan Jasmani, Rohani dan Sosial Peserta didik
tidak pernah diragukan.
Pendidikan Jasmani adalah kegiatan jasmani yang diselenggarakan untuk menjadi media bagi
kegiatan pendidikan. Pendidikan adalah kegiatan yang merupakan proses untuk
mengembangkan kemampuan dan sikap rohaniah yang meliputi aspek mental, intelektual dan
bahkan spiritual. Sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, maka pendidikan jasmani
merupakan bentuk pendekatan ke aspek sejahtera Rohani (melalui kegiatan jasmani), yang
dalam lingkup sehat WHO berarti sehat rohani.
Olahraga adalah kegiatan pelatihan jasmani, yaitu kegiatan jasmani untuk memperkaya dan
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan gerak dasar maupun gerak ketrampilan
(kecabangan olahraga).
Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas
fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam fisik,
mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan
utuh, makhluk total, dari pada hanya menganggapnya sebagai seorang yang terpisah kualitas
fisik dan mentalnya.
Pendidikan jasmani ini harus menyebabkan perbaikan dalam pikiran dan tubuh yang
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistic tubuh jiwa ini
termaksud pula penekanan pada ketiga domain kependidikan, psikomotor, kognitif, dan
afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses
menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa”. Artinya, dalam tubuh yang
baik “diharapkan” pula jiwa yang sehat, seperti dengan pepatah “men sana in corporesano”
Akan tetapi, apakah kita percaya terhadap konsep holistik tentang pendidikan asmani, tetapi,
apakah konsep tersebut saat ini bersifat dominant dalam masyarakat kita atau diantara
pengembang tugas penjas sendiri. Masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari menyadari
terhadap peranan dan fungsi pendidikan jasmani disekolah-sekolah, sehingga proses
pembelajaran penjas disekolahnya masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat
sebelah pada aspek fisik semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan yang berat
itu masih dipandang lebih baik, karena ironisnya, justru program pendidikan jasmani dikita
masih tidak ditekankan kemana-mana. Itu karena pandangan yang sudah lebih parah, yang
memandang bahwa program penjas dipandang tidak penting sama sekali.
Contoh dimana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan menunjukan
pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan jasmani dilapangan seperti
yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa
yang kita praktikkan (gap antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang
pendidikan jasmani kita.
Hubungan Pendidikan Jasmani dengan Bermain Olahraga
Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita juga harus mempertimbangkan hubungan
antar bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu popular dan lebih
sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu
para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara
lebih konseptual. Bermain pada intinya adalah aktifitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita
mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun
bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan
jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan didalam keduanya.
Olahraga dipihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif.
Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang
teorganisasi, yang menepatkanya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi,
pengujian yang lebih cermat menunjukan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan
aktivitas kompetitif. Diatas semua pengertian itu, olahraga adalah aktifitas kompetitif. Kita
tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kopetisi, sehingga tanpa kompetisi itu,
olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu
saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain,
karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya
dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan
kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan prestasi.
Ada 4 aspek yang membedakan antara Pendidikan Jasmani dengan Olahraga antara lain:
1. Tujuan Pendidikan Jasmani disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang menyangkut
pengembangan seluruh pribadi anak didik, sedangkan tujuan Olahraga adalah mengacu pada
prestasi unjuk laku motorik setinggi-tingginya untuk dapat memenangkan dalam
pertandingan.
2. Isi Pembelajaran dalam pendidikan jasmani disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak
didik, sedangkan pada olahraga isi pembelajaran atau isi latihan merupakan target yang harus
dipenuhi.
3. Orientasi Pembelajaran pada pendidikan jasmani berpusat pada anak didik. Artinya anak
didik yang belum mampu mencapai tujuan pada waktunya diberi kesempatan lagi, sedangkan
pada olahraga atlet yang tidak dapat mencapai tujuan sesuai dengan target waktu dianggap
tidak berbakat dan harus diganti dengan atlet lain.
4. Sifat kegiatan pendidikan jasmani pada pemanduan bakat yang dipakai untuk mengetahui
entry behavior, sedangkan pada olahraga bertujuan untuk memilih atlet berbakat.
Pengertian / definisi Pendidikan Jasmani (penjas), Olahraga,
Pengertian / definisi Pendidikan Jasmani (penjas), Olahraga, dan Bermain menurut teori para
ahli
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan pada pencapaian tujuan
pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi
untuk mengembangkan potensi siswa melalui aktivitas jasmani.
Persepsi yang sempit dan keliru terhadap pendidikan jasmani akan mengakibatkan nilai-nilai
luhur dan tujuan pendidikan yang terkandung di dalamnya tidak akan pernah tercapai.
Orientasi pembelajaran harus disesuaikan, dengan perkembangan anak, isi dan urusan materi
serta cara penyampaian harus disesuaikan sehingga menarik dan menyenangkan, sasaran
pembelajaran ditujukan bukan hanya mengembangkan keterampilan olahraga, tetapi
perkembangan pribadi anak seutuhnya. Konsep dasar pendidikan jasmani dan model
pengajaran pendidikan jasmani yang efektif perlu dipahami bagi orang yang hendak mengajar
pendidikan jasmani.
Pengertian pendidikan jasmani sering dikaburkan dengan konsep lain, dimana pendididkan
jasmani disamakan dengan setiap usaha atau kegiatan yang mengarah pada pengembangan
organ-organ tubuh manusia (body building), kesegaran jasmani (physical fitness), kegiatan
fisik (pysical activities), dan pengembangan keterampilan (skill development). Pengertian itu
memberikan pandangan yang sempit dan menyesatkan arti pendidikan jasmani yang
sebenarnya. walaupun memang benar aktivitas fisik itu mempunyai tujuan tertentu, namun
karena tidak dikaitkan dengan tujuan pendidikan, maka kegiatan itu tidak mengandung unsur-
unsur pedagogi.
Pendidikan jasmani bukan hanya merupakan aktivitas pengembangan fisik secara terisolasi,
akan tetapi harus berada dalam konteks pendidikan secara umum (general education).
Tentunya proses tersebut dilakukan dengan sadar dan melibatkan interaksi sistematik
antarpelakunya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Bucher, (1979). Mengemukakan pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari suatu
proses pendidikan secara keseluruhan, adalah proses pendidikan melalui kegiatan fisik yang
dipilih untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan organik, neuromuskuler,
interperatif, sosial, dan emosional
2. Pengertian Olahraga
Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang dilakukan oleh
satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan. Sedangkan dalam Webster’s
New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan
kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic
games di Amerika Serikat)
UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang
berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan
Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan
dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia
“Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan
mengolahragaka masyarakat” (Rusli dan Sumardianto,2000: 6).
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau
usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan
rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan,
perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari
konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai karakteristik antara
lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d. Menggunakan peraturan yang
tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil
ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport;
permainan yang dilembagakan.
Ada yang berpendapat bahwa dua istilah yaitu pendidikan jasmani dan olahraga mempunyai
satu pengertian yang sama, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.
Sebelum mengetahui perbedaan antara pendidikan jasmani dan olahraga. Sebaiknya kita
mengetahui definisi istilah masing-masing.
James A.Baley dan David A.Field (2001; dalam Freeman, 2001). Pendidikan fisikal adalah
aktivitas jasmani yang membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh. Lebih lanjut kedua ahli ini
menyebutkan bahwa: ‘Pendidikan jasmani adalah suatu proses terjadinya adaptasi dan
pembelajaran secara organik, neuromuscular, intelektual, sosial, kultural, emosional, dan estetika
yang dihasilkan dari proses pemilihan berbagai aktivitas jasmani.’
Bucher, (1979). Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari suatu proses pendidikan
secara keseluruhan, adalah proses pendidikan melalui kegiatan fisik yang dipilih untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan organik, neuromuskuler, interperatif, sosial, dan
emosional
Freeman (2001:5). Pendidikan jasmani memusatkan diri pada semua bentuk kegiatan aktivitas
jasmani yang mengaktifkan otot-otot besar (gross motorik), memusatkan diri pada gerak fisikal
dalam permainan, olahraga, dan fungsi dasar tubuh manusia.
Barrow (2001; dalam Freeman, 2001). Pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai
pendidikan tentang dan melalui gerak insani, ketika tujuan kependidikan dicapai melalui media
aktivitas otot-otot, termasuk: olahraga (sport), permainan, senam, dan latihan jasmani (exercise).
Hasil yang ingin dicapai adalah individu yang terdidik secara fisik. Nilai ini menjadi salah satu
bagian nilai individu yang terdidik, dan bermakna hanya ketika berhubungan dengan sisi
kehidupan individu.
UNESCO lewat ICSPE. Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik
melalui berbagai kegiatan jasmani, dalam rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan
keterampilan jasmani pertumbuhan kecerdasan dan pembentukan watak
Edward (1973). Olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup
bermain mempunyai karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak
produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai
karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan.
Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang dilembagakan.
Webster’s New Collegiate Dictonary (1980). Olahraga adalah ikut serta dalam aktivitas fisik
untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga
pertandingan (athletic games di Amerika Serikat).
Cholik Mutohir olahraga. Olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau
usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan
rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan,
perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Pendidikan Jasmani (physical education) digunakan untuk kalangan pendidikan sebagai alat
untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan Olahraga (Sport) untuk kegiatan di luar
pendidikan yang berorientasi pada peningkatan prestasi melalui pertandingan dan perlombaan
DAFTAR PUSTAKA
1. Ateng Abdulkadir (1993), Azas dan Landasan Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Jakarta,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
2. Drs. Aip Syarifudin, M.Pd. dkk (2000), Azas dan Falsafah Penjaskes, Jakarta, Universitas
Terbuka
3. Dr. Hj. Tisnowati Tamat, Drs. Moekarto Mirman, M, Ed (1998). Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
4. Di akses : Senin, 13 Mei 2013: Pukul. 22:56 WIB: http://penjaskes-
pendidikanjasmanikesehatan.blogspot.com/2010/11/pengertian-definisi-pendidikan-
jasmani.html.
5. Di akses : Senin, 13 Mei 2013. Pukul. 23:02 WIB:
http://berkasmakalah.blogspot.com/2012/11/makalah-definisi-olahraga-menurut-
para.html
LATIHAN
Posted by mithayani on Oktober 27, 2011
Latihan mengandung beberapa makna seperti : practice, exercise dan training, yang
mempunyai arti sama yaitu latihan dan setelah diaplikasikan di lapangan memang nampak
sama kegiatannya yaitu aktivitas fisik”. Practice adalah aktivitas untuk meningkatkan
ketrampilan ( kemahiran ) berolahraga dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan cabang olahraganya, sedangkan pengertian exercise adalah
perangkat utama dalam proses latihan harian untuk meningkatkan kualitas fungsi sistem
organ tubuh manusia, sehingga mempermudah olahragawan dalam penyempurnaan geraknya.
Training adalah suatu proses penyempurnaan kemampuan berolahraga dengan pendekatan
ilmiah, memakai prinsip pendidikan yang terencana dan teratur, sehingga dapat
meningkatkan kesiapan dan kemampuan olahragawan.
Latihan yang baik adalah dengan adanya beban latihan, yang diperlukan selama proses
berlatih melatih agar hasil latihan dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas fisik,
psikis, sikap dan sosial olahragawan, sehingga puncak prestasi dapat dicapai dalam waktu
yang singkat dan dapat bertahan relatif lebih lama.
Prinsip latihan adalah landasan konseptual yang merupakan suatu acuan. Prinsip latihan
merupakan landasan konseptual sebagai acuan untuk merancang, melaksanakan dan
mengendalikan suatu proses berlatih – melatih. beberapa prinsip latihan yang diterapkan
selama proses berlatih melatih secara simultan adalah sebagai berikut :
1) Prinsip Individual
Individual yang dimaksud adalah setiap orang memiliki kemampuan yang tidak sama antara
yang satu dan yang lainnya. Artinya bahwa setiap olahragawan memiliki potensi dan
kemampuan yang berbeda – beda. Selain potensi dan kemampuannya berbeda, faktor
kematangan, lingkungan, latar belakang kehidupan, makan dan istirahat juga ikut
berpengaruh terhadap kemampuan dan cara olahragawan dalam mensikapi kegiatan latihan.
Oleh karena itu, dalam menentukan beban latihan harus disesuaikan dengan kemampuan
setiap individu. Dengan demikian untuk setiap olahragawan beban latihannya harus tepat
sesuai dengan kemampuan dan tidak dapat disamaratakan dengan yang lainnya
2) Prinsip Adaptasi
Organ tubuh manusia cenderung selalu mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Keadaan ini menguntungkan dalam proses berlatih – melatih, sehingga kemampuan manusia
dapat dipengaruhi dan diubah melalui latihan. Latihan menyebabkan timbulnya proses
adaptasi bagi organ tubuh. Berkaitan dengan prinsip progresivitas, bila beban latihan selalu
ditingkatkan secara progresif, maka organ tubuh akan menyesuaikan terhadap perubahan
tersebut. Tingkat kecepatan olahragawan dalam mengadaptasi setiap beban latihan berbeda -
beda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini antara lain tergantung dari usia
olahragawan, usia (lama) latihan, kualitas kebugaran otot, kualitas kebugaran sistem energi
dan kualitas (mutu) latihannya.
Beban latihan harus mencapai atau sedikit melampaui ambang rangsang, namun tidak boleh
selalu melebihi ambang rangsang saat latihan. Hal itu akan mengakibatkan sakit dan latihan
yang berlebihan (overtraining). Beban latihan harus diberikan secara progresif dan diubah
sesuai dengan tingkat perubahan kemampuan olahragawan. Untuk meningkatkan kualitas
fisik, cara yang harus ditempuh ialah berlatih dengan melawan atau mengatasi beban latihan.
Bila tubuh sudah beradaptasi dengan beban latihan yang sudah ditentukan selama waktu
tertentu, maka beban latihan berikutnya harus ditingkatkan. Oleh karena itu dalam setiap
latihan harus selalu dipantau dengan cara mencatat dan melakukan tes pada waktu tertentu
sebagai dasar untuk menentukan beban latihan pada latihan berikutnya. Selain itu para pelatih
harus memiliki catatan mengenai biodata para olahragawan, sebagai salah satu dasar dalam
menentukan beban latihan. Adapun cara meningkatkan beban latihan, antara lain melalui : (a)
diperberat, (b) dipercepat, dan (c) diperlama proses pemberian bebannya.
Prinsip ini terkait erat dengan prinsip beban lebih (overload), karena dengan pemberian beban
yang bersifat progresif akan berarti juga memberikan beban yang lebih (overload). Selain itu,
latihan bersifat progresif, artinya latihan harus dilakukan secara ajeg, maju, dan
berkelanjutan. Ajeg berarti latihan harus dilakukan secara kontinyu, tidak kadang – kadang.
Maju berarti latihan semakin hari harus semakin meningkat. Sedangkan berkelanjutan berarti
dalam setiap latihan merupakan lanjutan dari proses latihan – latihan sebelumnya. Untuk itu,
dalam menerapkan prinsip beban lebih harus dilakukan secara bertahap, cermat, terus –
menerus, dan tepat. Artinya setiap tujuan latihan memiliki jangka waktu tertentu untuk dapat
diadaptasi oleh olahragawan. Setelah jangka waktu adaptasi dicapai maka beban latihan harus
mulai ditingkatkan.
Setiap bentuk rangsang akan direspons secara khusus oleh setiap olahragawan. Untuk itu,
materi latihan harus dipilih sesuai dengan kebutuhan cabang olahraganya. Hal – hal yang
perlu dipertimbangkan dalam prinsip spesifikasi, antara lain mencakup : (a) spesifikasi
kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk atau model latihan, dan (c) spesifikasi pola gerak dan
kelompok otot yang terlibat. Contoh, bentuk latihan kelincahan pada petenis akan berbeda
dengan pebolabasket.
Proses latihan yang lama dan monoton akan menimbulkan kejenuhan, keengganan dan
keresahan pada olahragawan, sehingga akan mengakibatkan kelelahan baik yang bersifat fisik
maupun psikis. Untuk itu, dalam menyusun program latihan perlakuannya harus bervariasi,
agar olahragawan terhindar dari rasa bosan (boring). Dalam memvariasikan beban latihan
dapat dilakukan dengan cara mengubah bentuk atau model, tempat, sarana dan prasarana
latihan serta teman berlatihnya. Namun dengan catatan, meskipun latihan di buat bervariasi,
tetapi latihan harus tetap mengacu kepada tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
7) Prinsip Pemanasan dan Pendinginan (Warming up dan cooling down)
Dalam satu pertemuan latihan selalu diawali dengan pemanasan dan diakhiri pula dengan
pendinginan (penenangan). Oleh karena itu dalam satu sesi (tatap muka) laithan selalu
mengandung unsur – unsur yang terdiri dari (a) pemanasan, (b) latihan inti, (c) latihan
suplemen, dan (d) penutup. Untuk mengantar memasuki latihan ini harus melakukan
pemanasan sesuai kebutuhan gerak cabang olahraganya. Setelah latihan ini diperlukan latihan
suplemen yang dapat berupa bermain atau bentuk latihan fisik dengan intensitas yang
disesuaikan dengan tujuannya. Untuk itu pada akhir latihan diperlukan gerak – gerak yang
ringan untuk mengantarkan proses secara fisiologis agar tubuh kembali normal secara
bertahap dan tidak mendadak.
Proses pelaksanaan latihan harus selalu mengacu pada periodisasinya, karena periodisasi
merupakan pentahapan dan penjabaran dari tujuan lathan secara keseluruhan. Adapun tujuan
akhir dari suatu proses latihan adalah mencapai prestasi optimal. Untuk dapat meraih prestasi
terbaik, memerlukan proses latihan dan jangka waktu yang panjang. Oleh karena berbagai
kemampuan dan keterampilan harus dikuasai, sehingga diperlukan waktu yang lama agar
olahragawan dapat mengadaptasi dan mengaplikasikannya ke dalam bentuk gerak yang
otomatis. Dalam mencapai penampilan terbaiknya, olahragawan memerlukan waktu dan
latihan antara 8 sampai 12 tahun yang dilakukan secara teratur, intensif dan progresif. Untuk
itu latihan yang memerlukan waktu cukup lama tersebut, pentahapan tujuannya dijabarkan ke
dalam periode – periode tertentu (periodisasi).
Arti dari berkebalikan (reversibiltas) yaitu bila olahragawan berhenti dari latihan, maka
kualitas organ tubuhnya akan mengalami penurunan secara otomatis. Adaptasi yang terjadi
sebagai akibat dari hasil latihan akan menurun atau bahkan hilang, bila tidak dipraktekan atau
dipelihara melalui latihan kontinyu. Untuk itu prinsip progresif harus selalu dilaksanakan
agar kemampuan dan keterampilan olahragawan tetap terjaga baik.
Prestasi olahragawan sifatnya adalah labil dan sementara, sehingga prinsip latihan harus
sistematik berkaitan terutama dengan takaran (dosis) dan skala prioritas dari sasaran latihan.
Setiap sasaran latihan memiliki aturan dosis yang berbeda – beda, sehingga akan membantu
proses adaptasi ke dalam organ tubuh. Dosis latihan yang selalu berat setiap tatap muka akan
menyebabkan overtraining, sebaliknya dosis yang selalu ringan tidak memiliki dampak pada
organ tubuh. Oleh karena itu latihan harus dilakukan secara sistematik, sehingga perlu skala
prioritas latihan disesuaikan dengan tujuannya. Adapun skala prioritas latihan merupakan
urutan sasaran latihan utama yang disesuaikan dengan periodisasi. Senagai contoh urutan
latihan secara garis besar selalu dimulai dari latihan fisik, teknik, strategi dan taktik, aspek
psikologis dan kematangan bertanding.
Yang terhormat,
Rektor/Ketua Senat Universitas Sebelas Maret;
Sekretaris dan Anggota Senat;
Pimpinan Fakultas, Pascasarjana, Lembaga, UPT, Jurusan/Bagian, dan Program Studi;
Yang terhormat Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa
Yang terhormat Para Pejabat Sipil dan Militer
Para Tamu Undangan, Wartawan, dan Hadirin yang berbahagia.
Marilah kita tiada pernah lupa dan tiada henti-hentinya memanjatkan puji dan rasa syukur
ke hadirat Allah SWT, karena dengan limpahan taufik, hidayah, dan inayah-Nya kita sekalian
dapat berkumpul di tempat yang terhormat ini. Berkat perkenan-Nya pula pada hari ini saya
mendapat kehormatan untuk menyam¬pai¬kan pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam
bidang Ilmu Keolahragaan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Uni¬ver¬sitas
Sebelas Maret di hadapan para hadirin yang saya muliakan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan pidato
pengukuhan guru besar dengan judul: “Pembangunan Olahraga bagian Integral dari
Pembangunan Bangsa”.
PENDAHULUAN
Lagu Kebangsaan Republik Indonesia yang berjudul “Indonesia Raya”, yang dikarang oleh
WR. Supratman, syairnya antara lain berbunyi: “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya”.
Sepenggal syair ini menunjukkan bahwa dalam membangun bangsa, termasuk membangun
Sumber Daya Insani (SDI) mene¬kan¬kan pada pembangunan jiwa dan raga atau jasmani
dan rokhani.
Kondisi jasmani dan rokhani yang kuat akan memberikan landasan yang kuat pula terhadap
pengembangan Sumber Daya Insani. Bangsa yang kuat dan besar terutama ditentukan oleh
kualitas Sumber Daya Insaninya. Banyak faktor untuk membangun SDI yang kuat, dalam
konteks ini olahraga memiliki peran yang cukup penting.
Dalam kenyataannya, olahraga telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan manusia.
Persoalannya adalah bagaimana agar olahraga dapat dijadikan wahana dalam membangun
bangsa yang sehat dan kuat jasmani dan rohani. Akan tetapi di sisi lain masih ditemui banyak
kendala dalam pembangunan olahraga.
Pembangunan olahraga di Indonesia masih perlu peningkatan dan pengembangan lebih
lanjut, karena di samping harus mengejar ketinggalan dengan negara-negara lain, Indonesia
juga masih me¬miliki berbagai kendala dalam pembinaannya. Masalah yang dihadapi dunia
olahraga Indonesia, yaitu:
1. Belum optimalnya kemauan politik (political will) pemerintah dalam menangani
olahraga. Hal ini ditandai antara lain: lembaga yang menangani olahraga belum secara
herarkhis-vertikal terpadu; kegiatan olahraga dikenai pajak; dana terbatas; dan lain-lain.
2. Sistem pembinaan belum terarah. Kurangnya keterpaduan dan kesinambungan
penyusunan pembinaan pendidikan jasmani dan olahraga serta pelaksanaan operasionalnya
mengenai kegiatan pemassalan, pembibitan, dan peningkatan prestasi sebagai suatu sistem
yang saling kait-mengkait. Sebagai indikatornya antara lain: belum memiliki sistem
rekruitmen calon atlet; pemilihan olahraga prioritas belum tepat; dan lain-lain.
3. Lemahnya kualitas Sumber Daya Insani olahraga. Rendahnya kualitas pelatih dan kurang
optimalnya peran guru pendidikan jasmani di luar sekolah merupakan sebagian indikator
yang menunjukkan rendahnya kualitas.
4. Belum optimalnya peran Lembaga Pendidikan Tinggi Olahraga (LPTO), seperti Fakultas
Ilmu Keolahragaan (FIK); Fakultas/ Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK/JPOK), Program Studi-Program Studi yang menangani disiplin ilmu keolahragaan
dalam Program Pascasarjana. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya kualitas lulusan;
banyak SDI yang tidak terlibat dalam kegiatan olahraga di luar kampus sesuai dengan
potensinya, dan lain-lain.
5. Lemahnya peran Lembaga/Bidang Penelitian dan Pengem¬bangan Olahraga.
Indikatornya adalah: perhatian terhadap lembaga tersebut rendah; data tentang keolahragaan
(misalnya data: atlet, pelatih, kelembagaan) belum lengkap; dan lain-lain.
6. Terbatasnya sarana dan prasarana. Tidak seimbangnya antara pengguna dan fasilitas
yang tersedia, bahkan fasilitas olahraga yang telah ada beralih fungsi, dan lain-lain.
7. Sulitnya pemanfaatan fasilitas olahraga. Karena terbatasnya fasilitas, maka berdampak
pada sulitnya memanfaatkan fasilitas tersebut. Bahkan untuk kebutuhan pembelajaran
pendidikan jasmani di sekolah pun masih jauh dari memadai. Untuk fasilitas
tertentu, Pengguna harus mambayar.
8. Masih kaburnya pemahaman dan penerapan pendidikan jasmani dan olahraga. Terutama
di sekolah, masih banyak dijumpai pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani yang
berorien¬tasi pada peningkatan prestasi olahraga. Padahal seharusnya pendidikan jasmani
tersebut diarahkan pencapaian tujuan pen¬di¬dikan. Pencapaian prestasi di sekolah dapat
dilakukan pada kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa kondisi kesegaran jasmani guru-guru
pendidikan jasmani rata-rata ber¬kategori “kurang”*) (Furqon, 2003: 3). Faktor-faktor yang
mempe¬nga¬ruhi kondisi kesegaran jasmani tersebut terutama karena sebagian besar guru
pendidikan jasmani di sekolah dasar tidak melakukan aktivitas olahraga secara teratur.
Bahkan juga ditemu¬kan faktor lain, yaitu dalam pelaksanaan mengajarnya pun jarang
terlibat atau melibatkan diri dalam aktivitas fisik. Di sisi lain, kondisi kesegaran jasmani bagi
anak usia 11–17 tahun juga berkategori “kurang” (Furqon dan Kunta, 2004: 2).
Melengkapi temuan tersebut, berdasarkan hasil tes peman¬du¬an bakat dengan Metode Sport
Search sebagian besar (> 70 %) potret keberbakatan anak Sala adalah olahraga yang bersifat
individual atau perorangan dan sangat jarang anak yang memiliki bakat dalam olahraga
beregu atau tim (Furqon dan Muhsin, 2000: 5). Kondisi semacam ini kemungkinan
besar disebabkan, karena lemahnya kemampuan gerak dasar dan kemampuan koor¬dinasi
gerak anak. Lemahnya kemampuan gerak tersebut, kemung¬kinan disebabkan oleh: (1)
spesialisasi pada cabang olahraga tertentu terlalu dini; (2) lemahnya pendidikan jasmani di
sekolah dasar; (3) kegiatan anak di luar sekolah tidak memberikan peluang untuk bergerak;
dan (4) lingkungan yang kurang konduksif, seperti terbatasnya tempat bermain, hilangnya
kesempatan anak untuk berburu, berpetualang, dan lain-lain.
Dalam bidang olahraga kompetitif, yang menekankan pada pencapaian prestasi yang
setinggi-tingginya juga mengalami kemun¬duran. Salah satu indikatornya adalah sejak SEA
Games 1995 di Thailand prestasi Indonesia merosot**). Padahal sejak Indonesia terlibat
dalam SEA Games tahun 1978, Indonesia selalu ranking satu (Juara Umum).
Berdasarkan fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pembangunan olahraga kurang ada
keserasian dan kesinambungan baik secara horisontal maupun secara vertikal. Dengan kata
lain, ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam sistem pembangunan olahraga kita. Oleh karena
itu, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengoptimalkan peran olahraga sebagai
bagian integral dari pembangunan bangsa? Dan bagaimana memberdayakan olah¬raga
tersebut agar mampu mendukung pembangunan bangsa?
Sebagai bangsa yang tergolong dalam kelompok negara berkembang bahwa pertumbuhan
olahraganya belum menggem¬bi¬rakan, karena penduduknya masih diliputi suasana
meningkatkan pertumbuhan taraf hidup yang lebih baik. Sebagai akibatnya olah¬raga belum
mendapat prioritas utama.
Tempat-tempat berolahraga di lingkungan lembaga pendi¬dikan, lingkungan pemukiman,
dan lingkungan industri di kota-kota besar makin terbatas, bahkan banyak lapangan olahraga
yang sudah ada berubah atau beralih fungsi, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk
berolahraga. Demikian pula kurangnya tenaga keolahragaan profesional yang mengabdikan
diri sepenuhnya pada perkembangan olahraga, seperti pembina, penggerak, dan pelatih,
merupakan kendala pula dalam pembangunan olahraga.
Di samping kendala yang dihadapi, kita juga memiliki peluang untuk menggalang potensi
yang ada.
Gerakan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat telah memperlihatkan
perkembangan yang menggembi¬rakan, terutama sejak dicanangkannya gerakan tersebut.
Kondisi ini memiliki potensi yang baik sebagai dasar dalam pembangunan olah¬raga.
Dari segi jumlah penduduk yang cukup besar, pada dasarnya merupakan sumber untuk
memperoleh bibit-bibit olahragawan yang berpotensi dalam berbagai cabang olahraga.
Tentunya dalam pemanfaatan Sumber Daya Insani ini harus disesuaikan dengan karakteristik
postur tubuh orang Indonesia. Cabang-cabang olah¬raga yang tidak atau kurang memerlukan
postur tubuh yang tinggi, memiliki potensi untuk dibina dan dikembangkan, seperti
bulu¬tangkis, tinju, tenis meja, panahan, loncat indah, senam dan lain-lain. Tampaknya kita
akan kesulitan untuk meraih prestasi tingkat internasional, misalnya dalam cabang bola
basket, bola voli, lari 100 meter, dan lain-lain, karena kita kurang atau belum memiliki postur
tubuh yang menguntungkan, walaupun unsur postur tubuh tidak selamanya menjadi jaminan
dalam mencapai prestasi.
Dari segi geografis maupun tersedianya sarana alami yang berupa wilayah darat, perairan,
dan udara Indonesia memungkin¬kan untuk pengembangan berbagai cabang olahraga.
Dari segi banyaknya olahraga tradisional di masyarakat merupa¬kan kekayaan budaya
bangsa yang dapat dikembangkan, seperti olahraga beladiri, sepak takraw, olahraga air dan
lain-lain.
HAKIKAT BEROLAHRAGA
Sistem adalah suatu keseluruhan atau keutuhan yang kom¬pleks atau terorganisasi; suatu
himpunan atau gabungan bagian-bagian yang membentuk keutuhan yang kompleks atau
terpadu. Sistem merupakan seperangkat elemen-elemen yang saling ber¬hu¬bungan .
Pembangunan olahraga pada dasarnya merupakan suatu pelaksanaan sistem. Sebagai
indikator adalah terwujudnya prestasi olahraga. Prestasi olahraga merupakan perpaduan dari
berbagai aspek usaha dan kegiatan yang dicapai melalui sistem pemba¬ngun¬an. Tingkat
keberhasilan pembangunan olahraga ini sangat ter¬gantung pada keefektifan kerja sistem
tersebut. Makin efektif kerja sistem, maka akan makin baik kualitas yang dihasilkan,
demikian juga sebaliknya.
Pembinaan dan pengembangan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik formal maupun
non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung
jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangankan
suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, dalam rangka memberikan
pengetahuan dan keteram¬pilan sesuai dengan bakat, kecenderungan/keinginan serta
kemam¬puan sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri me¬nambah
meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesama maupun lingkungannya ke arah
tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusia yang optimal dan pribadi yang mandiri
(Abdul Gafur, 1983:46)
Mengkaji sistem pembinaan olahraga di Indonesia pada hakikat¬nya adalah mengkaji upaya
pembinaan Sumber Daya Insani Indonesia. Dengan kata lain, upaya pembinaan ini tidak
dapat dipisahkan dari upaya-upaya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Harre, Ed. (1982: 21) mengemukakan bahwa pembinaan olahraga yang dilakukan secara
sistematik, tekun dan berkelan¬jutan, diharapkan akan dapat mencapai prestasi yang
bermakna. Proses pembinaan memerlukan waktu yang lama, yakni mulai dari masa kanak-
kanak atau usia dini hingga anak mencapai tingkat efisiensi kompetisi yang tertinggi.
Pembinaan dimulai dari program umum mengenai latihan dasar mengarah pada
pengembangan efisiensi olahraga secara komprehensif dan kemudian berlatih yang
dispesialisasikan pada cabang olahraga tertentu.
A. Olahraga kompetitif
Olahraga kompetitif yang dimaksud adalah berbagai kegiatan yang diarahkan untuk mencapai
prestasi olahraga yang setinggi-tingginya. Olahraga prestasi biasanya digunakan sebagai alat
per¬juangan bangsa. Banyak negara yang memanfaatkan berbagai arena olahraga, seperti
Olympic Games, atau Regional Games sebagai forum propaganda keunggulan bangsa dan
memperlihatkan pem¬bangunan bangsa di negaranya.
Berhasilnya Indonesia meraih satu medali Perak melalui olah¬¬raga panahan pada Olympic
Games di Seoul 1988 dan bebe¬rapa medali emas, perak dan perunggu melalui cabang
olahraga bulutangkis dan angkat besi ternyata mampu menunjukkan kepada dunia
Internasional melalui prestasi olahraga. Peristiwa menarik yang lain adalah pada Olympic
Games 1956 di Melbourne, Aus¬tralia, tim sepakbola Indonesia mampu menahan tim
sepakbola Rusia. Hanya setelah perpanjangan waktu, tim Indonesia menga¬lami kekalahan.
Dalam Olympic Games ini Rusia akhirnya sebagai juara. Bagi negara-negara yang
memikirkan kesejahteraan rakyat¬nya jauh ke depan, maka akan menempatkan olahraga pada
urutan prioritas yang penting. Sejak kemerosatan prestasi olahraga Ame¬rika dan Australia di
arena Olympic Games, konggres dan parlemennya turut membahas bahkan berusaha
mengatur pembina¬an olahraga di negaranya masing-masing melalui rancangan undang-
undang olahraga.
Penekanan pada peningkatan prestasi tidak hanya sekedar melakukan alih ketarampilan dari
pelatih kepada atlet, melainkan merupakan upaya membina manusia seutuhnya.
Sistem pembangunan olahraga yang digunakan di Indonesia adalah sistem piramida, yang
meliputi tiga tahap, yaitu (1) pemas¬salan; (2) pembibitan; dan (3) peningkatan prestasi.
Apabila model perencanaan ini dikaitkan dengan teori pira¬mida yang terdiri dari (1)
pemassalan; (2) pembibitan; dan (3) pening¬katan prestasi, maka selanjutnya dapat dilihat
dalam Gambar 1.
Junior lanjut
Atlet Pembibitan Usia spesialisasi = masa adolesensi
junior
Pemula Pemassalan Usia mulai berolahraga = masa kanak-kanak
Gambar 1. Pembinaan prestasi olahraga ditinjau dari Teori Piramida, usia berlatih, tingkat
atlet dan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan atlet.
1. Pemassalan Olahraga
Pemassalan adalah mempolakan keterampilan dan kesegaran jasmani secara multilateral dan
landasan spesialisasi. Pemassalan olahraga bertujuan untuk mendorong dan menggerakkan
masya¬rakat agar lebih memahami dan menghayati langsung hakikat dan manfaat olahraga
sebagai kebutuhan hidup, khususnya jenis olah¬raga yang bersifat mudah, murah, menarik,
bermanfaat dan massal. Kaitannya dengan olahraga prestasi; tujuan pemassalan adalah
melibatkan atlet sebanyak-banyaknya sebagai bagian dari upaya peningkatan prestasi
olahraga.
Pemassalan olahraga merupakan dasar dari teori piramida dan sekaligus merupakan landasan
dalam proses pembibitan dan peman¬duan bakat atlet.
Pemassalan olahraga berfungsi untuk menumbuhkan kese¬hatan dan kesegaran jasmani
manusia Indonesia dalam rangka membangun manusia yang berkualitas dengan menjadikan
olahraga sebagai bagian dari pola hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam
pembangunan olahraga perlu selalu meningkatkan dan mem¬perluas pemassalan di kalangan
bangsa Indonesia dalam upaya membangun kesehatan dan kesegaran jasmani, mental dan
rokhani masyarakat serta membentuk watak dan kepribadian, displin dan sportivitas yang
tinggi, yang merupakan bagian dari upaya pening¬katan kualitas manusia Indonesia.
Pemassalan dapat pula berfungsi sebagai wahana dalam penelusuran bibit-bibit untuk
membentuk atlet berprestasi.
Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyara¬kat merupakan bentuk upaya
dalam melakukan pemassalan olah¬raga. Dalam olahraga prestasi, pemassalan seharusnya
dimulai pada usia dini.
Bila dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemassalan sangat baik jika
dimulai sejak masa kanak-kanak, teru¬tama pada akhir masa kanak-kanak (6-12 tahun). Pada
masa ini merupakan tahap perkembangan keterampilan gerak dasar.
2. Pembibitan Atlet
Pembibitan atlet adalah upaya mencari dan menemukan indi¬vidu-individu yang memiliki
potensi untuk mencapai prestasi olah¬raga di kemudian hari, sebagai langkah atau tahap
lanjutan dari pemassalan olahraga.
Pembibitan yang dimaksud adalah menyemaikan bibit, bukan mencari bibit. Ibaratnya
seorang petani yang akan menanam padi, ia tidak membawa cangkul mencari bibit ke hutan,
tetapi melaku¬kan penyemaian bibit atau membuat bibit dengan cara tertentu, misalnya
dengan memetak sebidang tanah sebagai tempat pem¬buatan bibit yang akan ditanam.
Pembibian dapat dilakukan dengan melaksanakan identifikasi bakat (Talent Identification),
kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan bakat (Talent Development). Dengan cara
demi¬kian, maka proses pembibitan diharapkan akan lebih baik.
Ditinjau dari sudut pertumbuhan dan perkembangan gerak anak, merupakan kelanjutan dari
akhir masa kanak-kanak, yaitu masa adolesensi.
Pelaksanaan pembibitan atlet ini menjadi tanggung jawab pengelola olahraga pada tingkat
eksekutif-taktik dan sekaligus bertanggung jawab pada pembinaan di tingkat di bawahnya,
yaitu pada tahap pemassalan olahraga. Di sini disusun program yang mampu memunculkan
bibit-bibit, baik di tingkat kotamadya/kabu¬paten maupun di tingkat propinsi. Adanya
kejuaraan-kejuaraan yang teratur merupakan salah satu cara untuk merangsang dan memacu
munculnya atlet-atlet agar berlatih lebih giat dalam upaya meningkatkan prestasinya.
3. Peningkatan Prestasi
Prestasi olahraga merupakan puncak penampilan atlet yang dicapai dalam suatu pertandingan
atau perlombaan, setelah melalui berbagai macam latihan maupun uji coba.
Pertandingan/per¬lom¬baan tersebut dilakukan secara periodik dan dalam waktu tertentu.
Pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya merupakan pun¬cak dari segala proses
pembinaan, baik melalui pemassalan mau¬pun pembibitan.
Dari hasil proses pembibitan akan dipilih atlet yang makin menampakkan prestasi olahraga
yang dibina. Di sini peran penge¬lola olahraga tingkat politik-strategik bertanggung jawab
membina atlet-etlet ini yang memiliki kualitas prestasi tingkat nasional.
Para pengelola olahraga tingkat politik-strategik pada dasar¬nya bertanggung jawab terhadap
sistem pembangunan olahraga secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pengorganisasian program pembinaan jangka panjang dapat dikemukakan
bahwa (1) masa kanak-kanak berisi program latihan pemula (junior awal) yang merupakan
usia mulai berolahraga dalam tahap pemassalan; (2) masa adolesensi berisi program latihan
junior lanjut yang merupakan usia spesialisasi dalam tahap pembibitan; dan (3) masa pasca
adolesensi berisi program latihan senior yang merupakan usia pencapaian prestasi puncak
dalam tahap pembinaan prestasi.
1. Pendidikan Bangsa
Olahraga dapat mengembangkan dan membangun kepriba¬dian, watak, budi pekerti luhur
dan moral tinggi serta inisatif. Karena penyelenggaraan pembinaan olahraga bagi individu
dan masyarakat ini, mengandung pendidikan yang positif.
PENUTUP
Pada hakikatnya pembangunan olahraga tidak dapat dipisah¬kan dari kehidupan dan
sekaligus merupakan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, pembangunan olahraga merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembinaan dan pembangunan bangsa dalam rangka
peningkatan kualitas Sumber Daya Insani, terutama diarahkan pada peningkatan kesehatan
jasmani dan rohani, serta ditujuan untuk membentuk watak dan kepribadian yang memiliki
displin dan sportivitas yang tinggi. Di samping itu, pembangunan olahraga juga dijadikan
sebagai alat untuk memperlihatkan eksistensi bangsa melalui pembinaan prestasi yang
setinggi-tingginya.
Untuk melaksanakan pembangunan olahraga, perlu melaku¬kan berbagai upaya
penggalangan dan penggalian terhadap potensi yang ada, baik dalam bidang sistem
pembinaan, lembaga/organi¬sasi, maupun adanya landasan hukum yang digunakan sebagai
dasar pembangunan keolahragaan. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan tersebut,
pembangunan olahraga harus dijadikan sebagai gerakan nasional. Gerakan nasional ini perlu
terus dibangun dan ditingkatkan agar lebih meluas dan merata di seluruh tanah air untuk
menumbuhkan dan menciptakan budaya olahraga yang sehat.
Perlunya penyediaan sarana dan prasarana olahraga yang memadai baik di lingkungan
sekolah, pekerjaan maupun pemukim¬an sehingga memungkinkan segenap lapisan warga
masyarakat melakukan olahraga dan berbagai aktivitas jasmani.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Oleh: Syarifudin[2]
Pendahuluan
Konsep pendidikan jasmani adalah bagian dari sistem pendidikan secara keseluruhan telah
lama disadari oleh banyak kalangan. Namun demikian, bila dihubungkan dengan
perkembangan masa depan tampaknya kesadaran tersebut harus disertai dengan kemampuan
menganalisis dan mengadopsi rambu-rambu perkembangan masa depan ke dalam sistem
pendidikan jasmani.
Lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengisyaratkan
indikator beberapa perubahan yang dihubungkan dengan tujuan pendidikan nasional
Indonesia. Tujuan pendidikan nasional diorientasikan pada pengembangan kemampuan
dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, cerdas, beriman dan
bertaq, berahlak mulia, sehat, cakap, kreatf, mandiri, demokratis srta bertanggung jawab.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan jasmani, subsistem pendidikan jasmani merupakan
sistem yang dibangun atas beberapa komponen yang saling berinteraksi dan berinterrelasi
yang ditujukan pada penpaian tujuan pendidikan melalui aktivitas fisik sebagai
media. Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan tampaknya masyarakat pendidikan
jasmani harus segara melakukan revitalisasi dan restrukturisasi pada semua komponen dalam
sistem pendidikan jasmani. Revitalisasi dan restrukturisasi komponen-komponen sistem
pendidikan jasmani dihubungkan dengan isu standarisasi sistem pendidikan nasional. Isu
revitalisasi dan restrukturisasi sistem pendidikan jasmani dan olahraga sebenarnya telah
digulirkan sejak awal tahun 1990. Isu tersebut digulirkan ketika penelitian yang dilakukan
oleh beberapa pakar menunjukkan bahwa hasil pendidikan jasmani dan olahraga kurang
memuaskan.
Seperti akan dilakukan pada semua komponen pendidikan, stadarisasi pendidikan akan
dilakukan pada standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana/prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dalam makalah ini,
isu standarisasi akan difokuskan pada pembahasan pengembangan kompetensi guru dan
pengembangan kurikulum.
Penelitian yang dilakukan oleh oleh Harsono (1993) dan Syarifudin (2000) menemukan
bahwa kompetensi sebagian besar guru pendidikan jasmani dalam kondisi yang
mengkhawatirkan. Sebagian besar dari mereka melakukan proses pembelajaran yang tidak
terencana, tidak sistematik dan tidak terorientasi. Oleh Ateng (1992) dan Cholik (1994)
disinyalir menjadi akar dari kurang berkualitas dan keringnya proses pembelajaran yang
berlangsung, yang pada akhinya mempengarui pencapaian tujuan pendidikan jasmani.
Dari kondisi di atas, kita dapat segera melontarkan beberapa pertanyaan, satu di antaranya
adalah apa dan bagaimana proses pendidikan prajabatan di LPTK dan proses pembinaan
kompetensi profesi yang dilakukan oleh assosiasi profesi guru pendidikan jasmani?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita sebagai bagian dari LPTK harus besar hati.
Sinyalemen yang Cholik (2002) dilontarkan bahwa LPTK keolargaan belum mampu
menghasilkan lulusan yang berkualitas dan belum sepenuhnya memiliki kompetensi seperti
kebutuhan masyarakat perlu ditelusuri lebih jauh.
Kedua, kecepatan memuat berbagai isu perubahan yang permanen dan relatif dapat
membentuk opini publik dalam kurikulum LPTK cenderung lamban. Sebagian besar kita
baru menyadari ketika kita dikejutkan oleh krtitik tajam dari para pengguna lulusan tentang
ketidak mampuan lulusan dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru dalam
bidangnya. Disamping upaya rekonstruksi kurikulum yang dihubungkan dengan masalah-
masalah administrasi dan birokrasi kadang menjadi belenggu dalam melakukan up dating
kurikulum, masalah kecerdasan membaca tanda jaman masih sangat terbatas dimiliki oleh
kita.
Ketiga, hubungan harmonis yang dibangun atas prinsip sistem kolegial antara para lulusannya
dan LPTK masih terjadi dalam tataran administrasi. Pencatatan jumlah lulusan dari tahun ke
tahun, lulusan yang bekerja bahkan cacatan lulusan yang menjadi pejabat masih menjadi
orientasi dari konstruksi bangunan hubungan sebagian besar LPTK. Seharusnya hubungan
antara LPTK sebagai almamater dengan lulusan harus dibangun dalam kerangka sistem
kolegial dalam upaya pengembangan kompetensi. LPTK harus dipandang sebagai “ibu susu”
yang menjadi agen dari setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Ia harus mampu
menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai perubahan dengan lulusan. Secara berkala.
LPTK dan organisasi profesi melakukan penyegaran kompetensi pada para lulusan.
Keempat, kepedulian yang rendah dari LPTK terhadap organisasi profesi. Hampir tidak
ditemui perhatian yang memadai dari LPTK terhadap pengembangan kualitas organisasi
profesi. Seringkali kita hanya mengkritik terhadap eksistensi dan peran organisasi profesi
terhadap pengembangan kualitas kompetensi profesi. Padahal organisasi profesi dapat
menjadi jembatan antara bagi lulusan LPTK dengan profesi kependidikannya yang kelak
harus dilakukan. Dengan menggunakan jembatan ini, organisasi profesi dapat melengkapi
bagian kompetensi yang masih belum terbentuk pada saat lulusan melakukan pendidikan
prajabatannya. Dengan mengutip himbauan Shattock (2004) memperhatikan kualitas
organisasi profesia adalah identik dengan membanguan kualitas LPTK. Kualitas organisasi
profesi akan menjadi cerminan refeleksif dari kualitas LPTK dengan seperangkat proses
interaksi komponen-komoponen sistem organisasi LPTK.
Kurikulum yang diartikan sebagai langkah-langkah atau pedoman dalam proses pembelajaran
harus dipandang sebagai pedoman yang menggambarkan proses interaksi dan interrelasi dari
keseluruhan komponen dalam proses pembelajaran (Johnson and Kast, 1993). Oleh
karenanya standarisasi kurikukum juga juga harus dipandang sebagai langkah-langkah untuk
menyusun standar dari komponen-komponen kurikulum.
Standarisasi sebagai dapat diartikan sebagai suatu langkah penetapan satuan parameter yang
dihubungkan dengan kualitas pencapaian tujuan. Dengan demikkian, bila standarisasi
kurikulum dihubungkan dengan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka
konsep standarisasi akan berhubungan dengan komponen-komponen KBK.
Dalam KBK pendidikan jasmani, standarisasi dapat dimulai dari penyusunan parameter
terhadap peta perkembangan kemampuan dasar siswa yang menjadi dasar dari peta
kompetensu dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap proses pembelajaran, satuan
waktu pembelajaran dan tingkat pendidikan tertentu. Secara teoritik pemetaan kompetensi
dasar seperti yang terurai dalam KBK berorientasi pada referensi Barat. Walaupun teori
berlaku secara general, analisis terhadap subansi pemetaan yang dihubungkan dengan
karakteristik ke Indonesian tetap diperlukan. Memang bangunan dan subtansi kompetensi
dasar dari kurikulum harus diasumsikan merupakan profil ideal yang harus dicapai oleh suatu
proses pembelajaran, namun demikian kita harus menguhubungkannya dengan kemungkinan
minimal yang dapat dicapai oleh anak didik. Dengan demikian, proses pembelajaran tidak
semata-mata ditujukan pada upaya pencapaian kompetensi dasar, melainkan dengan seksama
juga mempertimbangkan kemampuan dasar yang dimiliki subyek didik.
Di samping itu, parameter standar perlu dilakukan terhadap materi atau bahan ajar yang
dikembangkan untuk mencapai kompetensi dasar. Pemahaman konsep pertumbuhan dan
perkembangan anak yang dirorientasikan pada pemetaan perkembangan gerak anak perlu
mendapatkan prioritas. Sebagian besar kita, masih terbelenggu oleh subtansi materi atau
bahan ajar yang berorientasi pada kecakapan cabang-cabang olahraga. Dengan demikian,
bila instrumen dari parameter standar materi tidak jelas, dikhawatirkan dalam
implemntasinya pembelajaran pendidikan jasmani tidak berbeda dengan latihan cabang-
cabang olahraga atau guru kembali ke dalam situasi pembelajaran konvensional.
Standarisasi instrumen evaluasi juga harus dipandang bagian dari standarisasi kualitas
pendidikan. Pengembangan format evaluasi yang dihubungkan hirarki kompetensi anak
sesuai dengan tingkat pendidikan yang ditempuh dapat menjadi prioritas dari perhatian
kita. Ateng (2001) telah melatakkan dasar-dasar bagaiman kita dapat mengembangkan
prinsip-prinsip instrumen evaluasi yang dihubungkan dengan peta kebutuhan dan
perkembangan gerak. Keunikan instrumen evaluasi pendidikan jasmani, yang
mengintegrasikan pengukuran keterampilan, pengetahuan dan sikap anak memang sangat
sulit untuk diimpelemantasikan bentuk instrumen yang sederhana dan dapat digunakan oleh
guru di lapangan. Belum lagi ketika instrumen tersebut dihubungkan dengan upaya
mengukur proses pencapaian tingkat keterampilan, pengetahuan dan sikap anak. Namun,
demikian, konsep tentang hal tersebut telah banyak dikemukakan ahli. Sehubungan dengan
hal tersebut, walaupun sulit kita perlu melakukan standarisasi instrumen evaluasi pendidikan
jasmani, paling tidak kita dapat mengembangkan rambu-rambu standar untuk bagaimana
membangun sebuah instrumen evaluasi yang dapat digunakan oleh guru dalam menngukur
keberhasilan anak dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani.
Ke depan, bila standarisasi kompetensi guru pendidikan jasmani menjadi program jangka
pendek pemerintah, langkah-langkah apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada dua hal
yang perlu dilakukan; Pertama adalah membangun instrumen pengukur kompetensi guru
pendidikan jasmani. Instrumen ini tidak hanya memuat dan mengukur kompetensi umum
guru, melainkan juga harus memuat dan mengukur variabel-variabel yang berhubungan
dengan kompetensi profesional sebagai guru penjas. Terdapat ciri spesifik dari profesi guru
penjas yang membedakannya dengan profesi guru bidang studi lainnya. Kespesikasian
tersebut harus menjadi karakteristik dari instrumen yang dikembangkan untuk mengukur
kompetensi guru penjas. Kedua, LPTK sebagai agen pembaharuan harus memberikan
kepedulian yang memadai terhadap upaya pengembangan konsep dan implementasi
standarisasi kompetensi guru. Paradigma lama yang selalu menunggu bola harus di ubah
menjadi jemput. Para ahli harus melakukan gerakkan proaktif untuk mengambil bagian dan
kedudukan yang jelas dalam pengembangan konsep dan implementasi standarisasi
kompetensi guru.
Sejak lama sebagian besar orang bertanya, pekerjaan guru pendidikan jasmani itu profesi
atau bukan. Pertanyaan ini wajar diajukan, karena dalam praktik keseharian banyak
ditemukan bahwa yang mengajar pendidikan jasmani bukan mereka yang memiliki latar
belakang pendidikan jasmani. Asumsi mereka, siapapun dapat mengajar pendidikan jasmani,
selama ia telah memiliki pengetahuan tentang pendidikan dan keguruan. Asumsi tersebut
boleh jadi menjadi benar, ketika dihubungkan dengan belum lahirnya organisasi profesi guru
pendidikan jasmani.
Dalam tugas profesi mestinya melekat kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab profesi
yang diatur melalui peraturan dan etika profesi. Untuk melakukan tugas profesinya seseoang
harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan
profesinya. Bila pasal 39 ayat 2 UU Nomor 20 tahun menegaskan bahwa pendidik atau guru
adalah tenaga profesional, maka seharusnya profesi guru pendidikan jasmani disertai dengan
perangkat kewenangan, kewajiban, tanggung jawab dan etika profesi.
Dewasa ini, keberadaan dan kedudukan profesi guru pendidikan jasmani di antara profesi
lainnya masih belum jelas. Suatu profesi, tidak hanya membutuhkan pendidikan prajabatan
yang spesifik yang membentuk seperangkat pengetahuan dan keterampilan profesinya,
melainkan juga diperlukan organisasi profesi yang secara terus-menerus mengembangkan
kompetensi profesi tersebut (Gibson, 1998). Selanjutnya ditegaskan bahwa organisasi profesi
yang baik memiliki hubungan timbal balik dengan para anggotanya. Organisasi dihidupkan
oleh anggota. Sebaliknya anggota dibesarkan oleh organisasi. Pelayanan dan peningkatan
pelayanan diatur dalam konsep etika pelayanan profesi yang jelas. Katzebach (1996)
menegaskan bahwa profesi yang memiliki organisasi yang mengatur etika pelayanan yang
baiklah yang dapat tetap hidup dan berkembang pada masa kini dan masa depan.
Uraian tersebut memuat kejelasan bahwa suatu profesi, di samping memerlukan latar
belakang pendidikan yang spesifik juga menuntut adanya organisasi profesi yang mengatur
hubungan timbal baiik antara anggota dalam organisasi dan konsep etika pelayanan yang
mengatur hak dan kewajiban anggota profesi. Profesi guru pendidikan jasmani merupakan
profesi yang telah di kenal sejak Republik ini berdiri. Namun keberdaan profesi ini masih
berada pada wilayah abu-abu (gray area).
Catatan Akhir
Pokok-pokok pikiran di atas, adalah pikiran liar yang dalam beberapa hal perlu pendalaman
lebih lanjut. Namun demikian, pikiran-pikiran tersebut dapat merupakan pengungkapan fakta
yang terjadi di sekitar kita. Sehubungan dengan hal tersebut, tampaknya terdapat beberapa
catatan yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama, sebagai berikut;
DAFTAR PUSTAKA
Ateng Abdulkadir, Tantangan Masa Depan Profesi Guru Pendidikan Jasmani, Jakarta:
P3ITOR Kantor Ateng Menpora, 1998
Gibson, James L, Terjemahan Azwar SL, Masa Depan Profesi: Konsep dan tantangannya,
Jakarta: PT. Erlangga 1992
Johnson, Richard A., and Freemont E. Kast, Theory and Management System, Tokyo:
McGraw Hill, 1993
Katzebach, John. F, Measuring Institutional and Productivity, New Jersey: Peterson, 1996
Harsono, Mudji, Profil Guru Pendidikan Jasmani di SD Surabaya, Media Pendidikan dan
Ilmu Pengetahuan IKIP Surabaya, Vol. 2. 1993
Syarifudin, Profil Kompetensi Guru Pendidikan Jasmani di Jakarta Timur, Jakarta: Lembaga
Penelitian UNJ, 2000
Shattock, Michael, Managing Successful Universities, New York: Bell and Bain Ltd.
SISTEM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA
Oleh:
Abidin
A. Pendahuluan
Masyarakat yang maju kaya dan makmur, dengan kenyamanan dan kemudahan yang
didukung oleh mesin atau alat-alat otomatis, telah mengalami derita yang diakibatkan oleh kemajuan
tersebut. Kini ancaman yang dihadapi mereka adalah penyakit yang diakibatkan kurangnya gerak.
Sebagai akibatnya, yaitu penyakit degeratif, seperti penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi
dan lain-lainnya yang meningkat sehingga berpengaruh terhadap mutu kehidupan mereka.
Tahukah bahwa di belanda, biaya perawatan kesehatan meningkat 2,5 persen, di kanada 6
persen, dan di Amerika mencapai 8 persen. Hal ini diakibatkan warga masyarakat kurang melakukan
aktivitas jasmani (Rusli Lutan, 2001: 16). Secara ekonomi keadaan tersebut dianggap sebagai ancaman
yang merugikan. Karena selain bisa menurunkan produktivitas kerja juga bisa meningkat biaya
perawatan kesehatan. Di Indonesia sendiri keadaan tersebut juga telah berkembang dalam jangkauan
yang luas. Kadaan itu terjadi terutama di kota-kota bahkan kini sudah sampai ke desa-desa.
Namun secara eksplisit istilah pendidikan jasmani dibedakan dengan olahraga. Dalam
arti sempit olahraga diidentikkan sebagai gerak badan. Olahraga ditilik dari asal katanya dari
bahasa jawa olah yang berarti melatih diri dan rogo (raga) berarti badan. Secara luas olahraga
dapat diartikan sebagai segala kegiatan atau usaha untuk mendorong, membangkitkan,
mengembangkan dan membina kekuatan-kekuatan jasmaniah maupun rohaniah pada setiap
manusia.
Dengan demikian olahraga merupakan bagian terpenting pada setiap negara. Oleh
karena itu, perlu pemahaman dalam pelaksanaan yang baik pada setiap negara tersebut,
melalui berbagai kajian teori dalam pengembangannya. Pemaknaan jasmani dan olahraga
dalam konsep pengembangan pendidikan merupakan pembahasan yang akan disajikan lebih
lanjut.
Selain itu, intrepretasi terpenting dalam pendidikan jasmani dan olahraga adalah
program secara nasional, sistem pendidikan dan pembinaan
yang digunakan dalam pendidikan jasmani dan olahraga pada beberapa negara.
Intrepretasi tersebut berdasarkan aspek budaya dan sejarah bangsa, dengan
mempertimbangkan perkembangan IPTEK dan peran organisasi internasional dan kompetisi
internasional
Berdasarkan uraian di atas, maka adapun masalah yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut: bagaimana konsep pendidikan jasmani dan olahraga, bagaimana system
pendidikan jasmani di Jepang, bagaimana pengembangan pelaksanaan pembelajaran
pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia, bagaimana landasan falsafah pendidikan
kebugaran jasmani, dan bagaimana strategi pengembangannya.
C. Tujuan
Untuk memberikan arah dan makna dalam penyusunan makalah ini, maka perlu
menentukan tujuan. Adapun tujuan yang dapat dikemukakan dari penulisan makalah ini
adalah untuk memahami bagaimana sistem pengembangan pendidikan jasmani
dan olahraga baik di Jepang maupun di Indonesi.
D. Metodologi
Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun tulisan ini adalah metode
kepustakaan dan bahan lainnya yang diunduh dari internet.
E. Pembahasan
Jasmani dalam sebutan bahasa Inggris adalah physical, dalam ilmu faal, jasmani
disebut sebagai struktur biologik pada manusia. Secara umum dipahami bahwa jasmani atau
jasadia berarti tubuh manusia. Jasmani dalam pembahasan ini adalah pemanfaatan aktivitas
fisik sebagai manifestasi pengembangan kualitas hidup manusia dalam memenuhi kebugaran
secara totalitas dan keterampilan motorik.
Di Amerika Serikat pendidikan jasmani menurut Nixon dan Jewet adalah satu aspek
dari proses pendidikan keseluruhan yang berkenaan dengan perkembangan dan penggunaan
kemampuan gerak individu yang sukarela dan berguna serta berhubungan langsung dengan
respon mental, emosional dan sosial.
Konsep pendidikan jasmani yang diuraikan Nixon dan Jewet, dapat dikatakan searah
dengan pemahaman di Indonesia yang diuraikan Rusli Lutan (2001: 18), bahwa pendidikan
jasmani sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai
mesin dalam konteks pendidikan jasmani yang mengandung isi pendidikan melalui aktivitas
jasmani. Karenanya konsep pendidikan jasmani perlu dikuasai oleh para calon guru
(mahasiswa penjas) dan guru yang bersangkutan, sehingga dalam penerapannya
memperlihatkan kesetaraan pemahaman.
Esensi dari substansi pendidikan jasmani ialah pengetahuan tentang gerak insani
dalam konteks pendidikan yang terkait dengan semua aspek pengetahuan yang berlangsung
secara didaktik, rekreatif, untuk dipahami dan dapat dilakukan oleh peserta didik secara utuh.
Oleh karena itu, pendidikan jasmani dan olahraga adalah suatu proses pembelajaran melalui
aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan
keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan
kecerdasan emosi. Lingkungan beIajar diatur secara seksama untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan seluruh rana, jasmani, psikomotor, kognitif, dan afektif
setiap siswa.
Tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga terletak dalam peranannya sebagai
wadah unik. Penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk
kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia. Jadi orang-orang yang memiliki
kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
(Baron Piece de Coubertin, Penggagas Kebangkitan Olympiads Modern, Perancis).
Posisi pendidikan jasmani dan olahraga pada kedudukan yang amat strategis yakni
sebagai alat pendidikan, sekaligus pembudayaan, karena kedua istilah yang amat dekat dan
erat. Maknanya tidak lain adalah sebagai proses pengalihan dan penerimaan nilai-nilai. Dalam
konteks keolahragaan secara menyeluruh, memang kian kita sadari perubahan yang terjadi
sebagai dampak dari globalisasi dalam ekonomi yang dipacu oleh teknologi komunikasi juga
terbawa dalam dunia olahraga (Coomb 2004:7).
Dengan demikian, yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan pendidikan jasmani dan
olahraga yaitu: (1) pendidikan merupakan upaya penyiapan peserta didik menghadapi dan
berperan dalam lingkungan hidup yang selalu berubah dengan cepat dan pluralistik; (2)
pendidikan merupakan upaya peningkatan kualitas kehidupan pribadi masyarakat dan
berlangsung seumur hidup; (3) pendidikan merupakan mekanisme sosial dalam mewariskan
nilai, norma, dan kemajuan yang telah dicapai masyarakat; (4) pendidikan merupakan kiat
dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan
manusia seutuhnya; (5) dalam undang – undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk rnemiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Salah satu contoh. Pelajaran penjas 'volley mini' di kelas 4 melibatkan 6 pelajaran
sistematis dalam tahun tersebut. Ibu Sato memutuskan untuk menggunakan pelajaran ketiga
sebagai suatu pelajaran penelitian, sedangkan guru lainnya mengamati secara teliti.
Fase perencanaan
Kelompok Ibu Sato terdiri dari guru senior kelas 4. Untuk mencapai tujuan jangka
panjang (pendidikan untuk klak individu anak) dia mencoba untuk memahami situasi di
kelasnya. Dia merasa bahwa ketika sebagian anak aktif dan memiliki pendapat yang jelas,
yang lain memiliki perasaan yang tidak dapat mereka ungkapkan atau tindak lanjuti.
Agar pendidikan jasmani menyenangkan bagi mereka, di bagian pertama dan kedua
dan 6 pelajaran dia meminta anak-anak menciptakan peraturan mereka sendiri untuk
membantu mereka dan orang lain dalam menikmati permainan volley. Setelah permainan dia
meluangkan waktu untuk berefleksi dengan siswa mereka. tentang bagaimana mereka
bermain. Mereka juga mendiskusikan bagaimana mereka dapat memperbaiki permainan
untuk melibatkan seseorang yang sering tersingkirkan, sehingga mereka dapat menikmatinya
dengan orang lain.
Fase pelaiaran penelitian
Rencana pelajaran yang disiapkan dengan seksama dipelajari oleh semua. anggota
kelompok. Ibu Sato kemudian melaksanakan pelajarannya ketika anggota kelompok dan guru
lain melihat. Orang yang bertanggung jawab dalam pendidikan jasmani di kota juga diundang
sebagai seorang konsultan untuk memberi masukan.
Fase diskusi
Mempengaruhi konsep 4 studi pelajaran. Dalam contoh ini, siswa kelas 4 belajar
tentang pentingnya kekuatan teman sebaya. Mereka juga belajar tentang kegiatan kerjasama
untuk merespon perbedaan. Guru dalam kelompok mendapatkan pandangan positif tentang
manfaat pembelajaran kelompok, sebagai cara membantu anak mengemukakan isu-
isu mereka sendiri agar dipecahkan oleh mereka sendiri.
Lebih penting lagi, semua guru mendiskusikan dan mengevaluasi pelajaran, yang
memampukan mereka berbagi topik penting ke seluruh sekolah. Sekarang ini, kebanyakan
guru memahami situasi tiap anak dan berbagi peran tanpa memandang kelas mana yang
ditugaskan kepada mereka. Misalnya guru sering membawa anak laki-laki pulang setelah
selesai sekolah, karena dia tahu anak tersebut mengalami masalah emosi dan orang tuanya
bekerja sampai larut malam.
Masih ada beberapa anak yang menyembunyikan nama sesungguhnya, karena ini
akan mengungkapkan status kesukuan mereka. Namun, kepala sekolah mengomentari
apakah anak mengubah namanya atau ticlak, semua merasa nyaman dan senang sekolah
dasar Suzuki. Sehubungan dengan pendidikan inklusif, sekolah dasar Suzuki berkembang ke
arah penyediaan lingkungan yang lebih baik untuk individu anak. Keefektifan kolaborasi antar
guru selama studi pelajaran secara lugas diakui sebagai elemen yang kuat dalam
mengembangkan budaya sekolah yang inklusif dan terbuka.
Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan
olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga
tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak fokusnya pada
keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir
dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial.
Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih
penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan
anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya,
harus menjadi pertimbangan utama.
Yang sering terjadi pada pembelajaran pendidikan olahraga adalah bahwa guru kurang
memperhatikan kemampuan dan kebutuhan murid. Jika siswa harus belajar bermain bola voli,
mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung. Teknik-teknik dasar dalam
pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara tahapan penyajian tugas gerak yang
disesuaikan dengan kemampuan anak kurang diperhatikan, kejadian tersebut merupakan
salah satu kelemahan dalam pendidikan olahraga. Guru demikian akan berkata: "kalau perlu
tidak usah ada pentahapan, karena anak akan dapat mempelajarinya secara langsung. Beri
mereka bola, dan instruksikan anak supaya bermain langsung". Anak yang sudah terampil
biasanya dapat menjadi contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati
demonstrasi temannya yang sudah mahir tadi. Untuk pengajaran model seperti ini, ada
ungkapan: Kalau anda ingin anak-anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam yang
paling dalam, dan mereka akan bisa berenang sendiri.
Lain lagi dengan anak-anak lain yang kurang berhasil? Mereka akan serta merta
merasa bahwa permainan sepak bola terlalu sulit dan tidak menyenangkan, sehingga mereka
tidak menyukai pelajaran dan permainan sepak bola tadi. Apalagi bila ketika mereka
melakukan latihan yang gagal tadi, mereka selalu diejek oleh teman-teman yang lain atau
bahkan oleh gurunya sendiri. Anak-anak dalam kelompok gagal ini biasanya mengalami
perasaan negatif. Akibatnya, citra diri anak tidak berkembang dan anak cenderung menjadi
anak yang rendah diri.
Melalui pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif, semua kecenderungan tadi bisa
dihapuskan, karena guru memilih cara agar anak yang kurang terampil pun tetap menyukai
latihan memperoleh pengalaman sukses. Di samping guru membedakan bentuk latihan yang
harus dilakukan setiap anak, kriteria keberhasilannya pun dibedakan pula. Untuk kelompok
mampu kriteria keberhasilan lebih berat dari anak yang kurang mampu, misalnya dalam
pelajaran renang di tentukan: mampu meluncur 10 meter untuk anak mampu, dan hanya 5
meter untuk anak kurang mampu.
Dengan cara demikian, semua anak merasakan apa yang disebut perasaan berhasil
tadi, dan anak makin menyadari bahwa kemampuannya pun meningkat, seiring clengan
seringnya mereka mengulang-ulang latihan. Cara ini disebut gaya mengajar partisipatif karena
semua anak merasa dilibatkan dalam proses pembelajaran.
Untuk mencegah terjadinya bahaya lain dari kegagalan, guru pendidikan jasmani dan
olahraga harus mengembangkan cara respon siswa terhadap anak yang gagal dan melarang
siswa untuk melemparkan ejekan pada temannya. Sebagai konsep pelaksanaan pendidikan
jasmani dan olahraga di Indonesia, maka diilustrasikan dalam bagan berikut ini.
Ilustrasi konsep pendidikan jasmani dan olahraga tersebut, telah dilandasi dengan
berbagai aspek keilmuan, sehingga pencapaian kebugaran jasmani dan keterampilan motorik
melalui aktivitas manusia, sehingga dapat memberikan nilai (aksiologi).
1. Kegiatan itu dimaksudkan untuk menghasilkan insan yang berpendidikan dan berpandangan bahwa
aktivitas jasmani ini bernilai, bermanfaat, dan dapat dilakukan di sepanjang hayat.
2. Melalui proses pendidikan tersebut juga dihasilkan insan yang dapat memahami bagaiman membuat
rencana kegiatan dan melasanakannya, baik untuk keperluan sendiri secara perorangan maupun
keperluan kelompok.
3. Untuk menghasilkan seseorang yang terampil menciptakan peluang dan memanfaatkannya dalam
rangka pembinaan kebugaran jasmani. Kemampuan mengatasi stress dan hambatan juga menjadi
tujuan akhir.
Bertitik tolak dari pandangan falsafah tersebut, sebagai guru pendidikan jasmani, kita
perlu memahami kaidah pengembangan program pendidikan jasmani yang seimbang.
Adapun kaidah-kaidah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Menyediakan wakut yang cukup bagi anak untuk melalukan aktivitas jasmani.
2. Menyediakan kesempatan bagi setiap anak untuk memenuhi kebutuhan secara perorangan yang
memang berbeda-beda.
3. Menyediakan aneka kegiatan dan memberikan bimbingan sesuai dengan pilihan siswa.
4. Memberikan informasi umpan balik kepada anak, baik mengenai proses maupun hasilnya.
5. Membekali siswa dengan keterampilan dasar termasuk pengayaan keterampilan dalam rangka
meningkatkan kebugaran jasmani.
6. Menjadikan diri sebagai guru pendidikan jasmani yang pantas sebagai panutan bagi siswa.
7. Memberikan perhatian penuh bagi perkembangan anak secara menyeluruh, termasuk sikap dan
perlakuannya terhadap aktivitas jasmani yang dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan.
8. Menggunakan strategi yang tepat untuk membentuk pola hidup sehat.
9. Menggunakan gaya hidup aktif dan pelaksanaan aktivitas jasmani di luar pendidikan jasmani
disekolah.
10. Menghindari ucapan yang menyatakan bahwa aktivitas jasmani itu hanyalah membuang-buang
waktu, dan sia-sia belaka.
Sesuai dengan kodranya, anak senang bermain. Ia senang melampiaskan
kebebasannya untuk bergerak. Melalui bermain, anak disiapkan untuk menghadapi
kehidupan nyata. Bermain mengajarkan kenyataan hidup. Untuk mencapai hal ini, maka
perlu penyiapan strategi pengembangan program yang sistematis dan berkesinambungan.
Sehingga tujuan bebetul-betul dapat tercapai dengan maksimal sesuai apa yang
diharapkan.
5. Strategi Pengembangan
Penyiapan program yang dianggap bermutu, tidak akan berjalan dengan sendirinya.
Karena itu dibutuhkan strategi pengembangan yang mencakup beberapa aspek sebagai
berikut:
1. Kembangkan program yang menekankan pada penyediaan pengalaman jasmani yang disenagi di
sepanjang hayat. Karena itu, misalnya, latihan aerobic, stretching (perengangan otot), jalan kaki,
tenis, dan berenang.
2. Bantulah siswa untuk menguasai keterampilan gerak dan kembangkan penilaian diri positif bahwa ia
dapat menguasai keterampilan itu. Sebagai contoh, bagaimana melakukan pemanasan yang benar
sebelum berlatih, bagaimana melakukan stretching yang aman dan efektif; atau bagaimana
memainkan suatu cabang olahraga dengan memuaskan dan mendatangkan kesenangan.
3. Berikan kesempatan yang meluas dan merata sehingga semua anak dengan kemampuan yang
berbeda-beda dapat ikut serta; programnya jangan sampai menjadi monopoli anak yang berbakat.
4. Beri tekanan pada program yang akan mendatangkan maslahat, bukan hanya untuk kepentingan
jasmani, seperti kebugaran, tetapi juga untuk perkembangan sosial, dan keterampilan yang
diperlukan untuk mempertahankan gaya hidup aktif sepanjang hayat, keterampilan itu antara lain,
bagaimana mengukur kebugaran diri secara sederhana, megatasi masalah, dan memotivasi diri.
Bila rambu-rambu pengembangan itu diringkas, maka ada tiga hal pokok yang
menjadi perhatian dalam pegembangan program pendidikan jasmani. Dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
Gambar 3 : Program Pengembangan Pendidikan Jasmani
1. Kesimpulan
Bagaimanapun juga, istilah pendidikan jasmani dan pendidikan olahraga secara
prinsip memang berbeda, walaupun masih banyak juga dalam penerapannya dan
pemahaman dimasyarakat guru pendidikan jasmani, masih terlihat sama. Ini, mungkin
implikasi dari tidak adanya pemahaman yang bisa diterima secara universal tentang definisi
pendidikan jasmani dan olahraga, sehingga tujuannya kurang mengenai sasaran khususnya
pendidikan jasmani sebagaimana yang diharapkan.
2. Saran
Diharapkan pemerintah memberikan perhatian yang lebih serius dan konsistem dalam
mengimplementasikan UU keolahragaan yang ada. Para pelatih dan khusnya guru pendidikan
jasmani harus memahami dan mengetahui perbedaan pendidikan olahraga dan pendidikan
jasmani agar pelaksanaannya tidak salah sasaran. Guru pendidikan jasmani
harus memperhatikan tiga hal pokok dalam megembangan program pendidikan jasmani
seperti yang telah dikemukakan di atas dan strategi pengembangannya.
Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan
kualitas SDM. Peranan pendidikan dalam pembangunan, khususnya pembangunan sistem
pendidikan nasional.
Seperti yang dinyatakan dalam GBHN, hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia Indonesia. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa yang menjadi tujuan akhir
pembangunan adalah manusianya, yaitu dapatnya dipenuhi hajat hidup, jasmaniah dan rohaniah,
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk religius, agar dengan demikian dapat
meningkatkan martabatnya selaku makhluk.
Jika pembangunan bertolak dari sifat hakikat manusia, berorientasi kepada pemenuhan
hajat hidup manusia sesuai dengan kodratinya sebagai manusia maka dalam ruang gerak
pembangunan, manusia dapat dipandang sebagai “objek” dan sekaligus juga sebagai “subjek”
pembangunan.
Sebagai objek pembangunan manusia dipandang sebagai sasaran yang dibangun. Dalam hal
ini pembangunan meliputi ikhtisar ke dalam diri manusia, berupa pembinaan pertumbuhan jasmani,
dan perkembangan rohani yang meliputi kemampuan penalaran, sikap diri, sikap sosial, dan sikap
terhadap lingkungannya, tekad hidup yang positif serta keterampilan kerja.
Manusia sebagai sasaran pembangunan wujudnya diubah dari keadaan yang masih bersifat
“potensial” ke keadaan “aktual”.
Pendidikan adalah usaha sadar yang ditujukan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang
berkepribadian kuat dan utuh serta bermoral tinggi.
2. Segi Lingkungan Pendidikan
Terdiri dari :
1) Lingkungan Keluarga
Di dalam lingkungan keluarga anak dilatih berbagai kebiasaan yang baik (habit formation) tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kecekatan, kesopanan, dan moral.
2) Lingkungan Sekolah
Di lingkungan sekolah (pendidikan formal), peserta didik dibimbing, untuk memperluas bekal yang
telah diperoleh dari lingkungan kerja keluarganya berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
3) Lingkungan Masyarakat
Di lingkungan masyarakat (pendidikan non formal), peserta didik memperoleh bekal praktis untuk
berbagai jenis pekerjaan.
Pendidikan dasar merupakan basic education yang memberikan bekal dasar bagi pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Artinya pendidikan tinggi berkualitas, jika pendidikan
menengahnya berkualitas, dan pendidikan menengah berkualitas, jika pendidikan dasarnya
berkualitas.
Pembidangan kerja menurut sektor kehidupan meliputi antara lain : bidang ekonomi, hukum, sosial
politik, keuangan, perhubungan, dan komunikasi, pertanian, pertambangan, pertahanan, dan lain-
lain.
Adalah logis jika sistem pendidikan yang merupakan sarana bagi manusia untuk mengantarkan
dirinya menuju kepada kesempurnaan itu juga perlu disempurnakan.
Sistem pendidikan sebagai sarana yang menghantar manusia untuk menemukan jawaban atas teka-
teki mengenai dirinya, juga selalu disempurnakan.
Selanjutnya persoalan pendidikan juga dapat dilihat sebagai persoalan nasional karena pendidikan
berhubungan dengan masa depan bangsa.
Secara makro, sistem pendidikan meliputi banyak aspek yang satu sama lain bertalian erat, yaitu :
- Struktur
Aspek filosofis, keilmuan, dan yuridis menjadi landasan bagi butir-butir yang lain, karena
memberikan arah serta mewadahi butir-butir yang lain. Artinya, struktur pendidikan, kurikulum, dan
lain-lain yang lain itu harus mengacu kepada aspek filosofis, aspek keilmuan, dan aspek yuridis.
Aspek filosofis berupa penggarapan tujuan nasional pendidikan. Bagi kita pengembangan sifat
kodrati manusia itu paralel dengan jiwa Pancasila. Filsafat Pancasila ini menggantikan secara total
falsafah pendidikan penjajah. Penjajah memfungsikan pendidikan sebagai sarana untuk
menghasilkan tenaga kerja yang terampil tetapi bersifat bergantung dan loyal kepada penjajah.
Pendidikan yang sehat harus merupakan titik temu antara “teori” dengan “praktek”,
demikian kata J. H. Gunning, “Theorie zonder praktijk is voor genieen, praktijk zonder theorie is voor
gekken en schurken”. Teori tanpa praktek hanya cocok bagi orang-orang pintar, sedangkan praktek
tanpa teori hanya terdapat para orang gila.
c) Aspek Yuridis
Kemajuan zaman menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru, khususnya kebutuhan akan
penyempurnaan sistem pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan baru
tersebut. Jelasnya sistem pendidikan perlu disempurnakan, dan tugas ini hanya dapat dilakukan
dengan mendasarkan diri pada Undang-Undang Pendidikan.
a) Isi UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) lebih komprehensif, dalam arti
bahwa UU No. 2 Tahun 1989 ini mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
b) Sifat UU RI No. 2 Tahun 1989 lebih fleksibel dp. UU No. 4/1950 dan UU No. 22/61. Fleksibilitas ini
terlihat dalam hal-hal seperti :
(1) Masih memberi peluang untuk dilengkapi dengan peraturan-peraturan pemerintah dan keputusan
menteri.
(3) Adanya tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga dalam
menyelenggarakan pendidikan sehingga pendidikan dapat mengarah kepada keserasian pemenuhan
tujuan negara di satu pihak dan kepentingan rakyat banyak di pihak yang lain pada masa mendatang.
c) Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tidak hanya bersifat mengatur (seperti UU Pendidikan yang
lalu), tetapi juga memiliki kekuatan hukum yang bersifat memaksa.
d) Aspek Struktur
Aspek struktur pembangunan sistem pendidikan berperan pada upaya pembenahan struktur
pendidikan yang mencakup jenjang dan jenis pendidikan, lama waktu belajar dari jenjang yang satu
ke jenjang yang lain, sebagai akibat dari perkembangan sosial budaya dan politik.
e) Aspek Kurikulum
Kurikulum merupakan sarana pencapaian tujuan. Jika tujuan kurikuler berubah, maka kurikulum
berubah pula. Perubahan dimaksud mungkin mengenai materinya, orientasinya, pendekatannya
ataupun metodenya.
D. Pembangunan Nasional
1. Batasan
Pembangunan ekonomi berarti suatu proses perubahan struktur produksi (pendapatan
nasional) struktur penduduk dan mata pencaharian (lapangan kerja) dan struktur lalu lintas barang,
jasa dan modal dalam hubungan internasional.
Pembangunan nasional Indonesia pada akhirnya harus bertujuan mencapai negara kesatuan yang
berkedaulatan rakyat serta adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
3. Strategi pelaksanaan
Strategi dasar pembangunan nasional Indonesia selama kurang lebih 30 tahun, baik jangka panjang
maupun jangka pendek, bertumpu pada pembangunan ekonomi yang terkait dengan pembangunan
bidang-bidang lainnya.
4. Karakteristik
5. Asas :
Terdiri dari
- Manfaat
- Mandiri
- Hukum
- IPTEK
6. Kedudukan Pembangunan Pendidikan
- Bidang ekonomi
- Bidang IPTEK
- Bidang hukum
- Bidang politik
1. Payung pembangunan pendidikan nasional yang berfungsi menjadi salah satu pembatas lingkungan
pembangunan pendidikan nasional, dan parameter atau tolak ukur kontribusi keberhasilan fungsi
pembangunan pendidikan nasional terhadap pembangunan nasional.
2. Sumber yang memberikan masukan pada pembangunan pendidikan nasional berupa hasil-hasil
pembangunan seperti informasi, energi (tenaga), bahan-bahan
KESIMPULAN
Pendidikan mempunyai misi pembangunan. Jika manusia memiliki jiwa pembangunan sebagai hasil
pendidikan, maka diharapkan lingkungannya akan terbangun dengan baik.
Pembangunan yang dimaksud baik yang bersasaran lingkungan fisik maupun yang
bersasaran lingkungan sosial karena pembangunan pendidikan adalah pembangunan manusia
seutuhnya.
emua orang pasti tahu bahwa olahraga dapat membantu menurunkan berat badan dan
memberikan gaya hidup yang lebih sehat. Yang mungkin tidak Anda ketahui adalah
peningkatan aktivitas fisik hanya beberapa kali seminggu, ternyata mampu memberikan
pengaruh positif dalam aktifitas lain Anda, mulai dari kantor hingga ke kamar tidur. Berikut
lima manfaat tersembunyi jika Anda melakukan olahraga secara rutin:
Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu Anda tertidur lebih cepat dan kualitas tidur lebih
baik. Juga akan menurunkan gejala Sindrom Kaki Gelisah (Restless Leg Syndrome). Selain
itu, juga membantu sistem kardiovaskular tubuh dan peredaran darah bekerja lebih efisien
sehingga Anda akan memiliki lebih banyak energi sepanjang hari.
Berolahraga secara teratur adalah hal yang cerdas untuk dilakukan! Aktivitas fisik membuat
fungsi otak Anda lebih efisien dengan melepaskan zat kimia yang meningkatkan kognisi dan
meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pria yang tidak aktif dan kelebihan berat badan
berisiko lebih tinggi mengalami disfungsi ereksi. Untuk pria dan wanita, berolahraga secara
teratur dapat meningkatkan gairah seksual yang menyebabkan tingkat kepuasan yang lebih
besar di kamar tidur.