Anda di halaman 1dari 40

Sport Asesment

Rifqi Festiawan, S.Pd


Pedagogi Olahraga
(Sport Pedagogy)

Mata Kuliah Dasar-Dasar Ilmu Keolahragaan


Dosen Pengampu: Prof. Suharjana, M.Kes

Disusun oleh:
Rifqi Festiawan
14711251043
IK B 2014

PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
PROGRAM PASCASARJANA
2015
ABSTRAK
Pedagogi Olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu

keolahragaan yang berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu

keolahragaan lainnya untuk melandasi semua praktik dalam bidang keolahragaan

yang mengandun maksud dan tujuan untuk mendidik.Kajian ruang lingkup sport

pedagogy istilah lazimnya dan disepakati di tingkat internasional memang tidak

lepas dari pemahaman kita terhadap eksistensi ilmu keolahragaan (sport science).

Dari perspektif sejarah, di Indonesia status dan pengakuan terhadap ilmu

keolahragaan masih tergolong masih muda baik ditinjau dari tradisi dan paradiqma

penelitian maupun produk riset yang dapat diandalkan untuk melandasi tataran

praktis.

Selanjutnya diuraikan tentang pedagogi olahraga dari aspek

perkembangannya, tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan batang tubuh

pedagogi olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian, sekaligus

pengembangan ilmu yang melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang

bersifat mendidik. Itulah sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang

pengembangan dan penerapannya, tidak hanya dalam lingkup penyelenggaraan

Penjas dan OR di sekolah atau lembaga formal, tetapi juga diluar persekolahan

seperti perkumpulan olahraga, terutama klub-klub pembinaan olahraga usia dini.

Kukuhnya landasan ilmiah bagi landasan bagi segenap upaya kependidikan

dalam olahraga menuntun kearah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan

yang diharapkan. Hanya dengan landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin

prinsip akuntabilitas dalam pendidikan jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula

ii
para pendidik di bidang olahraga dapat mempertanggungjawabkan upaya

pembinaannya secara terbuka kemasyarakat.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat, dan

kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pedagogi Olahraga”. Dalam

kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sedalam-

dalamnya kepada semua pihak, yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan,

arahan, motivasi, dan doa selama proses penulisan makalah ini.

Teriring harapan dan doa semoga Allah SWT. Membalas amal kebaikan dari

berbagai pihak tersebut. Tentunya masih banyak kekurangan yang ada dalam

penulisan makalah ini, untuk itu penulis sangat berharap masukan dari pembaca dan

semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin

Yogyakarta, Oktober 2015

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


ABSTRAK …………………………………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Pedagogi Secara Umum………………… ......................... 3
1. Tiga Arti Dalam Pedagogi……………………………………… .. 4
2. Pedagogi Ditinjau secara Etimologi…………………………… ... 5
B. Pengertian Pedagogi Olahraga.............................................................. 5
1. Perspektif Sejarah Pedagogi Olahraga…………………………... 6
2. Struktur Ilmu Keolahragaan……………………………………... 6
3. Landasan Filosofis Pedagogi Olahraga………………………….. 7
4. Pendidikan Jasmani danPedagogi Olahraga……………………... 8
5. Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga……………………... 11
C. Pendidikan Jasmani .............................................................................. 21
1. Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga…………………... 22
2. Perbedaan dan persamaan Penjas dan Pendidikan Olahraga…….. 24
D. Perbedaan Pendidikan Formal dan Non Formal dalam Pedagogi
Olahraga………………………………………………........................27
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 32

v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Mata kuliah pedagogi ini merupakan mata kuliah yang mengajarkan hubungan

olahraga da kehidupan masyarakat. Demikian pula untuk mengikuti mata kuliah

pedagogi Dasar terlebih dahulu harus memahami tentang struktur, fungsi dan

manfaatnya bagi kehidupan kedepannya kita kelak. terutama pada bahasan kali ini yaitu

tentang pengertian pedagogi,pedagogi olahraga,perbedaan pendidikan jasmani dan

olahraga,beserta perbedaan pendidikan formal dan nono-formal. Dalam mata kuliah

pedagogi akan dipelajari tentang fungsi atau cara kerja kehidupan olahraga atau orang

yang basicnya olahraga dalam menghadapi fenomena dalam kehidupan

masyarakat.pengaruh itu dapat terjadi secara spontan atau pun terencana.

Membahas Pengertian pedagogi dan pedagogi Olahraga, perubahan fisiologi

yang bersifat sementara maupun yang bersifat menetap sebagai hasil pelatihan berbagai

kegiatan olahraga, Pengertian pedagogi itu sendiri, Olahdaya attitute dan uptitute serta

tata hubungannya, Latihan Pendahuluan (”Pemanasan”), Analisis penampilan olahraga

mutu tinggi, proses penyaluran olahraga dam dunia mengajar, olahraga dalam berbagai

kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (adaptasi dan aklimatisasi),

pembelajaran gerak ketrampilan dan latihan ketrampilan; Cara/alasan menata urutan

latihan fisik dan latihan teknik dalam kaitannya dengan masalah kelelahan dan efisiensi

pemanfaatan waktu. Penerapan pedagogi Olahraga. Keseluruhan materi tersebut harus

dapat dikuasai oleh seoreang sarjana olahraga, sehingga nantinya ia mampu

menerapkan metode-metode latihan pada seorang atlit yang dilatihnya.

1
B. Rumusan masalah

1. Apakah yang dimaksud pedagogi?

2. Apa yang dimaksud dengan pedagogi olahraga?

3. Apa saja perbedaan antara pendidikan jasmani dan olahraga?

4. Apakah pebedaan antara pendidikan formal dengan pendidikan non-formal?

5. Apa saja kaitan antara pedagogi dan olahraga?

C. Tujuan Makalah

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengajarkan hubungan olahraga

dalam kehidupan masyarakat. terutama pada bahasan kali ini yaitu tentang pengertian

pedagogi, pedagogi olahraga, perbedaan pendidikan jasmani dan olahraga, beserta

perbedaan pendidikan formal dan non-formal.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pedagogi Secara Umum

Pedagogi yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya

membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi"

berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.

Pedagogi berasal dari kata Yunani "dibayar," yang berarti anak plus "agogos," yang

berarti memimpin. Oleh karena itu, pedagogi telah didefinisikan sebagai seni

atau pengetahuan membimbing, memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian

pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila

menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak

tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga

sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pendidikan yang ditujukan kepada

orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang

pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak

dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan bagi orang dewasa. Namun

karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan

dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar

adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan

bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered

Training / Teaching).

Menurut Hewett LL.D, bahwa pedagogi lebih dari sekedar ilmu dan seni

mengajar. Pedagogi berkenaan dengan upaya membawa anak-anak dan memimpin

mereka untuk mencapai suatu tujuan yang ideal, di sini tujuan idealnya adalah kelaki-

lakian dan keperempuanan yang bermartabat. Tujuan pendidikannya idealistik. Realitas

3
pendidikan, situasi pendidikan, selalu berhubungan dengan tujuan-tujuan idealistik,

baik yang individual ataupun masyarakat/bangsa.

Pedagogi bertujuan agar anak di kemudian hari mampu memahami dan

menjalani kehidupan dan kelak dapat menghidupi diri mereka sendiri, dapat hidup

secara bermakna, dan dapat turut memuliakan kehidupan. Dalam model pedagogi, guru

memiliki tanggung jawab penuh untuk membuat keputusan tentang apa yang akan

dipelajari, bagaimana akan dipelajari, ketika akan dipelajari, dan jika materi telah

dipelajari. Pedagogi, atau instruksi guru-diarahkan seperti yang umumnya dikenal,

tempat siswa dalam peran tunduk membutuhkan ketaatan dengan instruksi guru. Hal ini

didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik hanya perlu mengetahui apa guru

mengajarkan mereka. Hasilnya adalah situasi pengajaran dan pembelajaran yang aktif

mempromosikan ketergantungan pada instruktur (Knowles, 1984).

1. Tiga Arti dalam Pedagogi

Pedagogi memiliki arti 3 hal sebagai berikut :

a. Instruksi

b. Pendidikan: seni, ilmu pengetahuan, atau profesi mengajar, terutama: penelitian

yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode dalam pendidikan formal

c. Sekolah: tempat instruksi

Pedagogi adalah ilmu atau seni dalam menjadi seorang guru. Istilah ini

merujuk pada strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran. Pedagogi juga kadang-

kadang merujuk pada penggunaan yang tepat dari strategi mengajar. Sehubungan

dengan strategi mengajar itu, filosofi mengajar diterapkan dan dipengaruhi oleh latar

belakang pengetahuan dan pengalamannya, situasi pribadi, lingkungan, serta tujuan

pembelajaran yang dirumuskan oleh peserta didik dan guru. Salah satu contohnya

adalah aliran pemikiran Sokrates.


4
2. Pedagogi Ditinjau secara Etimologi

Kata "pedagogi" berasal dari Bahasa Yunani kuno παιδαγωγέω (paidagōgeō;

dari παίς país:anak danάγω ági: membimbing; secara literal berarti "membimbing

anak”). Di Yunani kuno, kata παιδαγωγός biasanya diterapkan pada budak yang

mengawasi pendidikan anak tuannya. Termasuk di dalamnya mengantarnya ke

sekolah (διδασκαλείον) atau tempat latihan (γυμνάσιον), mengasuhnya, dan

membawakan perbekalannya (seperti alat musiknya). Kata yang berhubungan

dengan pedagogi, yaitu pendidikan, sekarang digunakan untuk merujuk pada

keseluruhan konteks pembelajaran, belajar, dan berbagai kegiatan yang berhubungan

dengan hal tersebut. Malcolm Knowles mengungkapkan istilah lain yang mirip

dengan pedagogi yaitu andragogi, yang merujuk pada ilmu dan seni mendidik orang

dewasa.

B. Pengertian Pedagogi Olahraga

Pedagogi Olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan

yang berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk

melandasi semua praktik dalam bidang keolahragaan yang mengandun maksud dan

tujuan untuk mendidik. Kajian ruang lingkup sport pedagogy istilah lazimnya dan

disepakati di tingkat internasional memang tidak lepas dari pemahaman kita terhadap

eksistensi ilmu keolahragaan (sport science). Dari perspektif sejarah, di Indonesia status

dan pengakuan terhadap ilmu keolahragaan masih tergolong masih muda baik ditinjau

dari tradisi dan paradiqma penelitian maupun produk riset yang dapat diandalkan untuk

melandasi tataran praktis.

Selanjutnya diuraikan tentang pedagogi olahraga dari aspek perkembangannya,

tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan batang tubuh pedagogi olahraga itu

sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian, sekaligus pengembangan ilmu yang

5
melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang bersifat mendidik. Itulah

sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang pengembangan dan penerapannya, tidak

hanya dalam lingkup penyelenggaraan Penjas dan OR di sekolah atau lembaga formal,

tetapi juga diluar persekolahan seperti perkumpulan olahraga, terutama klub-klub

pembinaan olahraga usia dini.

Kukuhnya landasan ilmiah bagi landasan bagi segenap upaya kependidikan

dalam olahraga menuntun kearah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan

yang diharapkan. Hanya dengan landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin prinsip

akuntabilitas dalam pendidikan jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula para

pendidik di bidang olahraga dapat mempertanggungjawabkan upaya pembinaannya

secara terbuka kemasyarakat.

1. Perspektif Sejarah Pedagogi Olahraga

Kerangka ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamblang, mulai

dikenal sejak tahun 1975 tatkala adanya lokakarya internasional sport science.

Hasilnya berdampak kuat terhadap pengembangan STO di Indonesia meskipun kala

itu muatannya sesak dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa

sub disiplin ilmu keolahragaan (misalnya biomekanik, filsafat olahraga, fisiologi

olahraga, dalam nuansa sendiri-sendiri) mulai dikembangkan yang didukung oleh

ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan. (misalnya psikologi pertumbuhan

dan perkembangan) dan ilmu social lainnya (misalnya sosiologi dan anthropology)

yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih dan Pembina olahraga.

2. Struktur Ilmu Keolahragaan

Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang

dianggap cukup mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak tahun

1979, sangat membantu kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy, sebagai

6
salah satu diantaranya, sebagai isi dari ilmu keolahragaan. Ada 7 (tujuh) bidang teori

yang mendukung, yakni (1) sport medicine, (2) sport beomechanic, (3) sport

psychology, (4) sport sociology, (5) sport pedagogy, (6) sport history dan (7) sport

philosophy. Masing-masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula.

Urutan ketujuh bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang

dianggap logis. Sport medicine dan sport biomechanic termasuk kedalam kelompok

ilmu pengetahuan alam, sementara sport psychology, sport sosiology dan sport

pedagogy tergolong kedalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dan behavioral. Sport

history dan sport philosophy termasuk kedalam kelompok hermeneutical-normative

science. Paparan tersebut juga menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang

menjadi landasan pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biology/fisika,

psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat.

Oleh karena itu jika ditinjau dari struktur ilmu keolahragaan, maka pedagogi

olahraga merupakan salah satu bidang yang memiliki peran dalam ilmu

keolahragaan, oleh karena itu sangat penting untuk memahami tentang pedagogi

olahraga yang baik bagi para insan olahraga.

3. Landasan Filosofis Pedagogi Olahraga

Pandangan dualisme Decartes yang memahami dikhotomi jiwa dan badan

berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang semata-

mata sebagai sebuah objek, yang diungkapkan dalam perumpamaan yang lazim

dikenal ”the body instrument” ” the body-machine” atau ” the body-computer”.

Sebagai akibatnya maka sedemikian menonjol pandangan yang mengutamakan

aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam

penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami

sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai

7
mesin. Selanjutnya, konsep yang dikembangkan Maurice Merleau-Ponty tentang

”the body-subject“ dapat dipandang sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran

dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa manusia itu sendirilah

yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif sedemikian

rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Ide tentang the body subject menegaskan

kesatuan antara jiwa dan badan.

4. Pendidikan Jasmani dan Pedagogi Olahraga

Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga beragam pada berbagai

negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar

metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu

pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di

sekolah, dan pedagogi olahraga dipandag sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam

kerangka ilmu keolahragaan. Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pierson,

Cheffers, dan Barette 1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah

disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradiqma ini telah diadopsi

di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/FPOK/JPOK dengan

kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai ”induk” yang berpotensi

untuk memadukan konsep / teori terkait dan relevan dari beberapa subdisiplin ilmu

keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan

paradiqma interdisiplin (Matveyev, dalam Rusli lutan, 1988). Pandangan ini tak

berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam

kedudukan sentral dan struktural ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973).

Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow,

pedagogi olahraga ditempatkan sebagai ”pusat” yang berpotensi untuk memadukan

beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli

8
meletakkan sport medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan

kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rusli Lutan, 1988; dalam

laporan hasil The Second Asia-pasicic Congress Of Sport and Physical Education

University President). Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga

yaitu ”fenomena olahraga fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar

mampu berolahraga. Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup 2

(dua) hal utama : (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan

karena itu ada landasan teoritis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud

mendidik tersebut, (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep

lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya meliter dan drill

di beberapa negara, khususnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoritis

pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, disiplin, yang menyatu dengan gerak

fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalian jiwa dan kemauan.

Di Indonesia, baik dalam pengertian paradigma pengembangan keilmuannya,

maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah ”embrio”

dalam taksonomi ilmu keolahragaan dalam international Workshop on Sport Science,

1975 di bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari STO se-Indonesia dengan

nara sumber ahli dari jerman Barat (Prof. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen dan Bodo

Schmidt). Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik

dengan tema-tema diskusi olahraga kompetitif, disekitar feri-feri ilmu kepelatihan

dan sport medicine. Sejak tahun 1980-an perubahan memang banyak terjadi di

tingkat international, terutama di AS utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan,

mulai memperkenalkan ”sport Pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka

mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani dan kurikulum

penididikan jasmani mereka sendiri. (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang

9
dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan

penyerapan lulusan program pendidikan yang amat rendah dipasar kerja (disekolah)

sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan

jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.

Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan

jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradiqma interdisiplin-integratif

didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab

pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak lagi memadai untuk

mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan Internssional sepaham

bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari jerman, tatkala latar belakang filsafat /

hermenetik dari ”teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir

tahun 1960-an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969;

dalam Naul, 1994).

Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah

pedagogi olahraga itu tidak saja sepenuhnya berasal dari jerman yang muncul pada

tahun 1960-an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada

tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga perang dunia I, seperti juga

buah pikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dan artikel yang ditulis de

Courbertin (Perancis), Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth-

Jarkowsky (Austria-Honggaria) sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga.

Tulosan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral,

kemauan untuk berolahraga, dan semangat olimpiade, dan pokok pikiran itu sungguh

sangat relevan dengan konsep dalam pdagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar

pedagogi olahraga ini berpikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat

dan gerakan pengembangan ” body and mind ” di Amerika Serikat dan Jerman.

10
Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun

1900, khususnya tahun 1920-an . Perkembangan ini didukung kuat oleh Dokter

olahraga yang dikenal di tingkat Internasional yaitu Sargent (1906) di AS, dan

Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh ini menganjurkan tipe latihan senam dan

metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metode

alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren

(1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923)

5. Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga.

Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Eropa

lebih menunjuk kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan untuk

yang bersifat mendidik, meskipun ada kecenderungan kearah penyempitan makna

semata-mata menelaah proses pengajaran belaka, seperti yang dikatakan ”sport

pedagogy deal with teaching and learning of all age group ….target group are

individual with low level of performance,” atau ”sport pedagogy is constituted in the

actors and actions of teaching and learning porpuseful human movement”. Dalam

ungkapan yang lebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga adalah “

the science …which is concerned with the relationship between sport and education

(misalnya dalam tulisan Grupe & Kurz). Definisi ini sangat banyak mebantu kita

untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak berurusan dengan

segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam rangka proses

pembudayaan, khususnya transformasi nilai-nilai inti, yang memang, jika disimak

secar cermat, bahwa olahraga itu sangat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam

pembekalan kecakapan hidup.

Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan

dalam konteks olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja system persyarafan

11
dalam sebuah koordinasi yang luar biasa cepatnya, mekanisme persepsi dan aksi

yang sinkron dibuahkan dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan

masalah yang jitu selain kreativitas, seperti tampak dalam peragaan para atlit tinggi

(misalnya tampak dalam peragaan professional bola basket dan sepakbola). Unsur

estetika melekat kuat di dalamnya dalam wujud irama tampilan yang anggun dan

selaras untuk berekpresi (lihat misalnya dalam tampilan atlit figure skating).

Pengembangan potensi sekaligus pembentukan jelas-jelas terjadi melalui semua

adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula mengklaim bahwa

pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan

yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.

Bahwa proses ajar merupakan bagian dan keterjadian pendidikan jasmani dan

olahraga harus diakui, dan perubahan laku dimaksud memang terjadi melalui proses

itu. Itulah sebabnya pada tataran praktis disyaratkan bahwa harus selalu terjadi

proses transaksi antara guru dan murid, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni

apa sesungguhnya substansi yang disampaikan oleh guru kepada murid, dan karena

itu pengetahuan apa yang terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk

mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kretik keras dari masyarakat dan

orang tua siswa terhadap profesi pendidikan jasmani dan olahraga ialah bahwa hanya

sedikit terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekali tidak berlangsung proses ajar.

Untuk mengenal lingkup pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga

Pokok pikiran Lee Shulman (1987) tentang tujuh kategori pengetahuan, sangat

membantu untuk menjawab persoalan, apa landasan keilmuan utama pendidikan

jasmani dan olahraga. Di Amerika sendiri, seperti laporan Christensen, bahwa dalam

proses belajar mengajar pendidikan jasmani dari olahraga ( 1996), ketujuh kategori

ini digunakan sebagai sumber yang paling sering dipakai NCATE (National Council

12
on Accreditation for Teacher Education) dalam melaksanakan akreditasi guru

pendidikan jasmani. Kupasan singkat tentang wilayah kajian pedagogi olahraga ini

juga pernah dipaparkan dalam ceramah Schempp (1993) yang berjudul The Nature

of Knowledge in Sport Pedagogy. Ketujuh kategori pengetahuan tersebut di atas

sebagai berikut:

a. Content knowledge

b. General pedagogical knowledge

c. Pedagogical content knowledge

d. Curriculum knowledge

e. Knowledge of educational context

f. Knowledge of learners and their characteristics

g. Knowledge of educational goals

Ketujuh kategori pengetahuan yang melandasi sekaligus mendukung proses

belajar mengajar pendidikan jasmani dari olahraga itu pada dasarnya dapat dipakai

sebagai rujukan bagi pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga. Ketujuh

pengetahuan yang bersifat umum itu menunjukkan potensi pedagogi olahraga untuk

mengintegrasikan pengetahuan dari subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya yang

menjadi landasan teoretis penyelenggaraan pendidikan dalam konteks pendidikan

jasmani dan olahraga pada umumnya. Menjadi lebih unik pengetahuan yang

dimaksud karena ada tiga kategori pengetahuan yang mesti dikuasi oleh guru

pendidikan jasmani. Kategori pertama, pengetahuan teoretis konseptual, kategori

kedua pengetahuan tentang prosedur penerapan, dan kategori ketiga, penerapan

pengetahuan yang bersifat situasional.

13
a. General pedagogical knowledge

Pengetahuan ini mencoba untuk menyingkap kaitan antara perilaku guru

dan hasil belajar pada siswa. Cakupannya, meliputi: kemampuan umum dalam

mengelola dan merencanakan unit pengajaran; pengelolaan dan

pengorganisasian kelas; metode/teknik pengajaran; dan evaluasi persepsi

penentuan (grading) nilai siswa.

Penelitian dalam kategori ini berkisar pada tema jurnlah waktu aktif

belajar (Active Learning Time), pembuatan keputusan, efektivitas pengajaran

dan manajemen kelas.

b. Pedagogical content knowledge

Pengetahuan ini berkenaan dengan bagaimana mengajar sebuah subjek

atau topic bagi sekelompok peserta didik dalam konteks yang spesifik.

Pengetahuan ini juga terkait dengan: tujuan pengajaran sebuah subjek pada

tingkat kelas yang berbeda; konsepsi dan miskonsepsi siswa mengenai suatu

subjek; material kurikulum suatu subjek; strategi pengajaran bagi sebuah topik.

c. Curriculum knowledge

Pada skala makro. pengetahuan ini berkaitan dengan tipe kurikulum

dalam pendidikan Pengetahuan ini berkenaan dengan isi dari program yang

berorientasi pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan peserta didik jasmani,

suatu bidang yang paling terbengkalai pengembangannya di Indonesia baik

secara teoretis maupun praktis. Diskusi dari pengembangan model kurikulum

pendidikan jasmani di Indonesia masih sangat banyak memerlukan dukungan

fakta empirik di lapangan. Karena itu perbincangan tentang kurikulum, yang

kedudukannya amat strategis untuk pencapaian tujuan pendidikan membutuhkan

banyak penelitian. Hanya sedikit pikiran kritis misalnya untuk mengkaji ulang

14
implementasi model kurikulum pendidikan jasmani yang berorientasi pada

“pelestarian kultur olahraga” dalam nuansa “sporting based approach” yang

banyak dipengaruhi oleh para pendukung pengembangan olahraga elite dan

kompetitif.

Dalam bentuk serpihan program tidak terstruktur program yang berbasis

pada upaya peningkatan kebugaran jasmani di sana sini tampak diterapkan

dengan munculnya aneka Senam Kebugaran Jasmani (SKJ) yang dalam banyak

hal menyulitkan para guru dan siswa akibat struktur gerak atau tugas geraknya,

sedemikian formal, tanpa dukungan riset untuk kemudian diadakan perubahan.

Model kurikulum berbasis pengetahuan biologis ini yang dikenal dalam istilah

‘gerak badan” atau “taiso” semasa pendudukan Jepang, pernah diterapkan di

Indonesia. Model pendidikan gerak yang sering dijumpai pada program SD,

seperti saya lihat di Australia, masih jarang dikembangkan di Indonesia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum

pendidikan jasmani di Indonesia merupakan wilayah pengembangan

pengetahuan yang memerlukan prioritas, karena berpangkal dari model

kurikulum itulah kemudian banyak muncul persoalan dalam penerapannya.

d. Knowledge of educational contexts

Semua program pendidikan jasmani berlangsung dalam konteks yang

beragam. yakni yang dapat mempermulus atau iebalikiiya menghambat

pelaksanaan pengajaran. Yang dimaksud dengan konteks atau tata latar adalah

keseluruhan faktor yang mempengaruhi apa dan bagaimana isi diadakan dan

dipelajari dalam sebuah program. Dalam lingkup yang lebih luas kita dapat

mengamati betapa besar variasi dari perbedaan lingkungan lembaga pendidikan

antara sekolah di perkotaan, pedesaan, atau yang terdapat di pesisir dan di daerah

15
belantara, daerah-daerah terpencil. Kebanyakan lingkungan semacam itu relatif

stabil, tetap, dan arena itu hanya sedikit kemampuan guru untuk mengubahnya.

Hal terbaik yang dapat dilakukannya ialah ia mesti dapat membiasakan diri

menghadapi lingkungannya dan mampu memanfaatkan secara maksimal semua

potensi untuk mendukung pengajaran. Ini berarti bahwa faktor lingkungan ini

tidak dengan sendirinya menjadi penghambat, dan bahkan program pendidikan

jasmani itu berlangsung dalam konteks yang memungkinkan para guru untuk

memperoleh pilihan yang banyak bagi pengajarannya.

Penjelasan ini mengingatkan guru pendidikan jasmani saya pada tahun

1962, yang memanfaatkan sebatang pohon karet di halaman sekolah, ketika kami

menempuh pendidikan di SGA Kuala Kapuas. Salah satu tugas ajar yang tidak

dapat saya lupakan ialah “memanjat pohon karet itu,” sebuah tugas yang

memerlukan ketangkasan, kekuatan. dan bahkan keberanian. Contoh

pengalaman ini membenarkan pernyataan bahwa setiap sekolah memiliki

karakteristik yang unik yang dapat memberikan peluang dan tantangan bagi guru

pendidikan jasmani. Guru perlu memahaminya karena konteks situasi pengajaran

mempengaruhi bagaimana guru mengembangkan, apa keterampilan yang

mereka perlu kuasai, bagaimana pikiran mereka tentang keterampilan tersebut,

dan apa yang mereka pikirkan tentang tujuan bagi program pendidikan

jasmaninya.

Pengetahuan ini berkenaan dengan dampak lingkungan terhadap

pengajaran, yang meliputi faktor lingkungan fisikal dan sosial di dalam dan di

sekitar kelas, termasuk pengetahuan tentang kegiatan kerja dalam kelompok atau

kelas, pembiayaan pendidikan, karakteristik masyarakat dan budaya. Dalam

paparannya sebagai pemakalah kunci pada konferensi internasional AISEP di

16
Lisbon baru-baru ini, Richard Tinning dari Queensland University mengangkat

proposisinya tentang kelangsungan pendidikan jasmani dan olahraga yang

berorientasi pada keragaman budaya dan ia mengeritik pandangan yang

memahami pendidikan jasmani dan olahraga sebagai fenomena universal. Lebih

rinci lagi, seperti dalam tulisan Metzler (2000), faktor konteks ini dipaparkan

dalam lima faktor utama: (1) lokasi sekolah, (2) demografis siswa, (3)

administrasi. (4) staf pelaksana pendidikan jasmani, dan (5) sumber-sumber

belajar.

Faktor lokasi meliputi lingkungan perkotaan, pedesaan, dan pinggiran

kota. Yang berpotensi untuk mempengaruhi pengajaran seperti luas sempitnya

pekarangan atau lapangan yang tersedia, keterjangkauan sekolah yang terkait

dengan transportasi, dan faktor keamanan. Termasuk faktor yang lebih pelik

ialah keadaan iklim, seperti sekolah-sekolah di bagian Indonesia Timur yang

banyak diterpa oleh sinar terik matahari sehingga keadaan ini sangat berpengaruh

terhadap kelangsungan pengajaran di daerah terbuka. Itulah sebabnya, seperti

sekolah-sekolah di kota Brisbane, negara bagian Queensland, Australia, para

siswanya diharuskan memakai topi ketika mengikuti pendidikan jasmani untuk

mengurangi sengatan sinar matahari selain mesti membawa minuman untuk

mengatasi kehilangan cairan tubuh.

e. Knowledge of learners and their characteristics

Pengetahuan ini berkenaan dengan proses ajar manusia dan

penerapannya dalam pengajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Terliput di

dalamnya pemahaman tentang karakteristik siswa yang amat beragam dari aspek

kognitif. emosi, sosial, dan faktor sejarah dan budaya. Pemahaman tentang

peserta didik berkenaan dengan pengetahuan tentang pertumbuhan dan


17
perkembangan, learning capacity, perbedaan bahasa, dan kondisi psikososial

yang mempengaruhi sikap dan aspirasi siswa dalam belajar.

Banyak uraian kita jumpai tentang prinsip Developmentally Appropriate

Practice (DAP) dalam pengertian penyesuaian substansi, sekaligus metode dan

strategi dengan karakteristik siswa atau peserta didik. Prinsip ini mongukuhkan

asas pengajaran yang berpusat pada Siswa, dan pemahaman tentang

pertumbuhan dan perkembangannya amat menentukan dalam penyusunan

perencanaan, dan menjadi titik awal dalam hill pemahaman mengenai kebutuhan

dan kemampuan siswa.

Sudah lazim kita pahami tentang konsep perkembangan Kognitif, dan

betapa penting bagi guru Untuk memahami proses kognitif karena

mempengaruhi belajar Tahap‑tahap perkembangan kognitif yang diteorikan

oleh Piaget, yakni (1) sensorimotor, (2) pre-operational, (3) concret

operationals, dan (4) formal operations, banyak mempengaruhi kurikulum

pendidikan jasmani dewasa ini.

Perkernbanggan gerak yang menunjukkan fase penguasaan keterampilan

di sepanjang hayat juga merupakan titik awal bagi pengembangan model

pengajaran. Wilayah binaan yang tak kalah pentingnya ialah domain afektif yang

di Indonesia, karena pengajaran didikte oleh sistem evaluasi yang serba terukur

menyebabkan bagaimana membina perkembangan afektif ‘ini menjadi kurang

sistematik. jika bukan disebut hanya sebagai dampak pengiring. Betapa

pentingnya kecakapan hidup berupa pengendalian diri yang bertumpu pada

pengendalian emosi, sama halnya kemampuan memotivasi diri disertai dengan

ketekunan yang menjadi landasan bagi pencapaian prestasi dalam bidang apa

saja, yang sesuai dengan bakat seseorang.

18
Adegan-adegan dalam permainan atau pelaksanaan tugas ajar dalam

konteks pengajaran pendidikan jasmani, sungguh menyediakan banyak

kesempatan bagi pengembangan domain afektif ini. Kejujuran dan tanggung

jawab misaInya banyak sekali dijumpai dalam peristiwa permainan dan peragaan

ketangkasan, dan peluang ini sia‑sia belaka jika tidak dimanfaatkan sebaik

mungkin.

Teori pemrosesan informasi dan penyimpanannya misalnya telah

mencoba untuk mengkaji persoalan ini dalam konteks penguasaan keterampilan

gerak. Upaya ini sangat bermanfaat untuk memahami proses kognitif yang

melandasi kemampuan seseorang untuk belajar dan memecahkan masalah.

Pengetahuan ini disebut “metacognition” (pengetahuan tentang proses kognitif

yang dimiliki seseorang). Pengalaman menunjukkan bahwa kunci-kunci

pelaksanaan tugas gerak yang disampaikan oleh guru atau pelatih tidak lebih dari

sebuah rambu-rambu yang memudahkan siswa atau atlet untuk mengingat

konsepnya, tetapi dalam pelaksanaannya, terutama keputusan-keputusan yang

bersifat situasional adalah tergantung pada siswa atau atlet itu sendiri. Fenomena

ini tampak misalnya dalam pelaksanaan tugas gerak yang tergolong

“keterampilan terbuka” atau open skill. dalam keadaan, pangaruh faktor

lingkungan sangat dominan sehingga seseorang dihadapkan dengan tantangan

untuk memecahkan masalah sendiri.

Seperti sudah disinggung di muka perbincangan tentang pentingnya

faktor perhatian dan fenomena arousal atau bangkit yang Mempengaruhi kinerja

seseorang Tema ini tak kalah menariknya dengan tema penyimpanan informasi

jangka pendek dan jangka panjang, penyimpanan perbendaharaan gerak dalam

pusat memori Yang kemudian siap untuk dipanggil kembali. Teori motivasi,

19
termasuk jenisnya (intrinsik dan ekstrinsik) tidak kalah menariknya, sama halnya

dengan persoalan “transfer of learning”, bagaimana suatu kecakapan dam

mempengaruhi penguasaan kecakapan baru lainnya dalam bentuk nilai alihan

positif manakala kecakapan lama mendukung atau memperkuat perolehan

kecakapan baru, atau bersifat negatif, bila efeknya sebaliknya. Berkaitan dengan

persoalan ini dalam konteks pendidikan jasmani, lebih-lebih dalam olahraga

kompetitif tingkat tinggi sangat dibutuhkan fleksibilitas kognitif, yakni

kecakapan untuk mengevaluasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang, dan

kemudian melihat beberapa kemungkinan interpretasinya. Pengungkapan

pemahaman tentang peserta didik ini, seperti halnya di Indonesia memerlukan

upaya yang lebih banyak melalui penelitian. Beberapa contoh penelitian diluar

negeri berkenaan dengan karakteristik siswa:

1) Pengaruh aktivitas jasmani terhadap self‑esteem (Gruber, 1985)

2) Pertumbuhan dan perkembangan (Broekhoff, 1985)

3) Perkembangan sosial (Sage,1985)

4) Kognisi siswa (Amelia Lee, dkk (1992)

f. Knowledge of educational goals

Pengetahuan ini berkenaan dengan tujuan, maksud dan struktur sistem

pendidikan nasional, apa yang diharapkan guru pada siswa untuk dipelajari di

kelas, sehaluan dengan cita-cita pembangunan nasional. Pembelajaran

berlangsung untuk mencapai tujuan dalam keadaan peserta didik memiliki

kebebasan untuk semua terlibat, bertanggung jawab dan menikmati iklim

kemerdekaan untuk menyelidik, menemukan, mengembangkan dan memahami

keterampilan, menghayati nilai-nilai yang dibutuhkan bagi pengembangan

sebuah masyarakat madani (civil society) yang adil. Penelitiannya terkait dengan

20
riset dalam kurikulum studi tentang orientasi nilai (misalnya, Ennis, 1992),

hidden curriculum (misalnya, Bain (1989); tujuan & nilai pendidikan (misalnya,

Hellison, 1993).

C. Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani terdiri dari kata pendidikan dan jasmani, pendidikan adalah

proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan sesorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan latihan (KBBI, 1989), jasmani adalah tubuh atau badan

(fisik). Namun yang dimaksud jasmani di sini bukan hanya badan saja tetapi

keseluruhan (manusia seutuhnya), karena antara jasmani dan rohani tidak dapat dipisah-

pisahkan. Jasmani dan rohanai merupakan satu kesatuan yang utuh yang selalu

berhubungan dan selalu saling berpengaruah.

Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang

memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas

individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani

memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya

menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya. Pada

kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik

perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan

dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari

perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh

perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari

manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti

pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia.

21
Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai

perorangan atau anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui

berbagai kegiatan jasmani untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan

kesegaran jasmani, kemampuan dan keterampilan, kecerdasan dan perkembangan

watak serta kepribadian yang harmonis dalam rangka pembentukan manusia Indonesia

berkualitas berdasarkan Pancasila. Secara eksplisit istilah pendidikan jasmani

dibedakan dengan olahraga. Dalam arti sempit olahraga diidentikkan sebagai gerak

badan. Olahraga ditilik dari asal katanya dari bahasa jawa olah yang berarti melatih diri

dan rogo (raga) berarti badan. Secara luas olahraga dapat diartikan sebagai segala

kegiatan atau usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina

kekuatan-kekuatan jasmaniah maupun rokhaniah pada setiap manusia.

1. Perbedaan Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga

Pendidikan Jasmani / Pendidikan Olahraga - Salah satu pertanyaan yang

sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah: "Apakah pendidikan

jasmani?" Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan oleh yang paling

berhak menjawab pertanyaan tersebut. Hal tersebut mungkin terjadi karena pada

waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan sebagai guru penjas, melainkan

guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan itu terjadi menyusul perubahan

nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata

pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalarn kurikulum 1984,

menjadi pelajaran "pendidikan jasmani dan kesehatan" (penjaskes) dalam kurikulum

1994. Perubahan nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang

menjelaskan makna dan tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru

menganggap bahwa perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan

pelaksanaannya dianggap sama. Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas
22
sungguh berbeda, sehingga tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya

pendidikan olahraga dengan pendidikan jasmani?

Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan

dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang

olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling

tidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan

motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa

juga keterampilan emosional dan sosial. Karena itu, seluruh adegan pembelajaran

dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan

demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan

murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya, harus menjadi

pertimbangan utama.

Pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai

cabang-cabang olahraga tertentu. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang

olahraga agar mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di sini

adalah ` hasil ' dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana

anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai. Ciri¬ciri

pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran.

Yang sering terjadi pada pembelajaran pendidikan olahraga adalah bahwa guru

kurang memperhatikan kemampuan dan kebutuhan murid. Jika siswa harus belajar

bermain bola voli, mereka balajar keterampilan teknik bola voli secara langsung.

Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara tahapan

penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang

diperhatikan. Guru demikian akan berkata: "kalau perlu tidak usah ada pentahapan,

karena anak akan dapat mempelajarinya secara langsung. Beri mereka bola dan

23
instruksikan anak supaya bermain langsung yang sudah terampil biasanya dapat

menjadi contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati demontrasi

temannya yang sudah mahir. Untuk pengajaran model seperti ini, ada ungkapan

“kalau anda ingin anak-anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam yang paling

dalam dan mereka akan bisa sendiri.

2. Beda dan Persamaan Pendidikan jasmani dengan Pendidikan Olahraga

Pendidikan Jasmani dan Olahraga (Penjas-Or) merupakan bagian dari

kurikulum standar Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah. Dengan pengelolaan

yang tepat, maka pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan Jasmani,

Rohani dan Sosial Peserta didik tidak pernah diragukan. Pendidikan Jasmani adalah

kegiatan jasmani yang diselenggarakan untuk menjadi media bagi kegiatan

pendidikan. Pendidikan adalah kegiatan yang merupakan proses untuk

mengembangkan kemampuan dan sikap rohaniah yang meliputi aspek mental,

intelektual dan bahkan spiritual. Sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, maka

pendidikan jasmani merupakan bentuk pendekatan ke aspek sejahtera Rohani

(melalui kegiatan jasmani), yang dalam lingkup sehat WHO berarti sehat rohani.

Olahraga adalah kegiatan pelatihan jasmani, yaitu kegiatan jasmani untuk

memperkaya dan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan gerak dasar maupun

gerak ketrampilan (kecabangan olahraga). Pendidikan jasmani pada hakikatnya

adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan

perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam fisik, mental, serta

emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh,

makhluk total, dari pada hanya menganggapnya sebagai seorang yang terpisah

kualitas fisik dan mentalnya. Pendidikan jasmani ini harus menyebabkan perbaikan

dalam pikiran dan tubuh yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian

24
seseorang. Pendekatan holistic tubuh jiwa ini termaksud pula penekanan pada ketiga

domain kependidikan, psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam

ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh

yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa”. Artinya, dalam tubuh yang baik

“diharapkan” pula jiwa yang sehat, seperti dengan pepatah “men sana in

corporesano” Akan tetapi, apakah kita percaya terhadap konsep holistik tentang

pendidikan asmani, tetapi, apakah konsep tersebut saat ini bersifat dominant dalam

masyarakat kita atau diantara pengembang tugas penjas sendiri. Masih banyak guru

penjas yang sangat jauh dari menyadari terhadap peranan dan fungsi pendidikan

jasmani disekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran penjas disekolahnya

masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat sebelah pada aspek fisik

semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan yang berat itu masih

dipandang lebih baik, karena ironisnya, justru program pendidikan jasmani dikita

masih tidak ditekankan kemana-mana. Itu karena pandangan yang sudah lebih parah,

yang memandang bahwa program penjas dipandang tidak penting sama sekali.

Contoh dimana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan

menunjukan pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan

jasmani dilapangan seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan

antara apa yang kita percayai dan apa yang kita praktikkan (gap antara teori dan

praktek) adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasmani kita.

Hubungan Pendidikan Jasmani dengan Bermain Olahraga Dalam memahami arti

pendidikan jasmani, kita juga harus mempertimbangkan hubungan antar bermain

(play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu popular dan lebih sering

digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu

para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani

25
secara lebih konseptual. Bermain pada intinya adalah aktifitas yang digunakan

sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal

yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain

bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain

dapat ditemukan didalam keduanya.

Olahraga dipihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan

bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu

bentuk permainan yang teorganisasi, yang menepatkanya lebih dekat kepada istilah

pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukan bahwa

secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif. Diatas semua pengertian

itu, olahraga adalah aktifitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa

memikirkan kopetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi

semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi

olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain,

karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.

Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk

gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika

digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan

menghibur tanpa adanya tujuan prestasi.

Ada 4 aspek yang membedakan antara Pendidikan Jasmani dengan Olahraga

antara lain:

a. Tujuan Pendidikan Jasmani disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang

menyangkut pengembangan seluruh pribadi anak didik, sedangkan tujuan

Olahraga adalah mengacu pada prestasi unjuk laku motorik setinggi-tingginya

untuk dapat memenangkan dalam pertandingan.

26
b. Isi Pembelajaran dalam pendidikan jasmani disesuaikan dengan tingkat

kemampuan anak didik, sedangkan pada olahraga isi pembelajaran atau isi

latihan merupakan target yang harus dipenuhi.

c. Orientasi Pembelajaran pada pendidikan jasmani berpusat pada anak didik.

Artinya anak didik yang belum mampu mencapai tujuan pada waktunya diberi

kesempatan lagi, sedangkan pada olahraga atlet yang tidak dapat mencapai

tujuan sesuai dengan target waktu dianggap tidak berbakat dan harus diganti

dengan atlet lain.

d. Sifat kegiatan pendidikan jasmani pada pemanduan bakat yang dipakai untuk

mengetahui entry behavior, sedangkan pada olahraga bertujuan untuk memilih

atlet berbakat.

D. Perbedaan Pendidikan Formal dan Non Formal dalam Pedagogi Olahraga

Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa

rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD, SMP, SMA, dan PT.

Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun

ke masyarakat.

Mengenyam pendidikan pada institusi pendidikan formal yang diakui oleh

lembaga pendidikan Negara adalah sesuatu yang wajib dilakukan di Indonesia.

Mulai dari anak tukang sapu jalan, anak tukang dagang martabak mesir,

anak tukang jamret, anak pak tani, anak bisnismen, anak pejabat tinggi Negara,

dan sebagainya harus bersekolah, minimal 9 tahun lamanya hingga lulus SMP.

Mungkin dari kita yang mempertanyakan apakah sebenarnya fungsi pendidikan

formal tersebut. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan

berkembang secara efektif dan efisien dari pemerintah untuk masyarakat merupakan

perangkat yang berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam

27
menjadi warga Negara. Ada beberapa Krateristik proses pendidikan yang berlangsung

di sekolah yaitu;

1. Pendidikan diselengarakan secara khusus dan dibagi atas jenjang yang memiliki

hubungan hierarki.

2. Usia anak didik di suatu jenjang pendidikan relative homogen.

3. Waktu pendidikan relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang harus

diselesaikan.

4. Materi atau isi pendidikan lebih banyak bersifat akademis dan umum.

5. Adanya penekanan tentang kualitas pendidikan sebagai jawaban kebutuhan dimasa

yang akan datang.

Sebagai pendidikan yang bersifat formal, sekolah mencari fungsi pendidikan

berdasarkan asas-asas tanggung jawab. Tanggung jawab formal kelembagaan sesuai dengan

fungsi dan tujuan yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini

undang-undang pendidikan UUSPN nomor 20 tahun 2003. Tanggung jawab keilmuan

berdasarkan bentuk, isi, tujuan and tingkat pendidikan kepadanya masyarakat oleh

masyarakat dan bangsa. Tanggungjawab fungsional ialah: Tanggung jawab professional

pengelola dan pelaksana pendidikan yang menerima ketetapan ini berdasarkan ketentuan-

ketentuan jabatannya. tanggung jawab ini merupakan pelimpahan tanggung jawab dan

kepercayaan orang tua (masyarakat) kepada sekolah dari para guru.

Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pada Pasal 13

ayat (1) disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan

informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Peran sekolah sebagai lembaga

yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta

memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarganya.

28
Sementara itu, dalam perkembangan keperibadian anak didik, peranan sekolah dengan

melalui kurikulum, anatara lain sebagai berikut:

1. Anak didik belajar bergaul sesama anak didik, antara guru dengan anak didik, dan

antara anak didik dengan orang yang bukan guru (karyawan )

2. Anak didik belajar menaati peraturan-peraturan sekolah.

3. Mempersiapkan anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi

agama, bangsa dan Negara.

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan

formal memiliki peran dan fungsi yang berdasarkan asas-asas dan tanggung jawab yang

berbeda-beda yang salah satunnya telah ditetapkan oleh UUD No. 20 Tahun 2003 yang

berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana sub-sistem tersebut

berperanan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang

terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah,

dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal berstatus negeri dan

pendidikan formal berstatus swasta

29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pedagogi olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragan

yang masih muda usianya dengan kedudukan sangat berpotensi untuk mengintegrasikan

subdisiplin iImu keolahragaan lainnya untuk mendukung pemahaman bagi

kelangsungan proses pembelajaran atau tindakan yang bersifat mendidik. Proses

pembelajaran itu melibatkan keterjadian transaksi antara guru dan peserta didik, dan

dalam proses itu penguasaan 7 kategori pengetahuan menjadi amat penting yang

dipandang sebagai batang tubuh pengetahuan pedagogi olahraga. Dalam kaitannya

dengan penyelenggaraan pendidikan jasmani, pengembangan model-model pengajaran

berlandaskan pada batang tubuh pengetahuan tersebut.

Untuk penyelenggaraan pengajaran yang berhasil dalam pendidikan jasmani dan

olahraga, ketujuh kategori pengetahuan itu tidak saja dapat diungkapkan kembali oleh

guru yang bersangkutan, tetapi pengetahuan itu harus sampai pada tataran penerapan

Pada waktu sebelum, selama dan setelah pengajaran berlangsung. Lebih rumit lagi

karena pengetahuan itu harus dapat diselaraskan dengan kondisi pengajaran yang

berubah-ubah yang amat spesifik pada setiap saat.

Pengembangan pedagogi olahraga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu

pendidikan jasmani dan olahraga khususnya di lingkungan lembaga pendidikan formal

dan non formal, Karena itu, penelitian untuk mengembangkan batang tubuh pedagogi

olahraga di sekitar 7 kategori pengetahuan sangat diperlukan dengan menerapkan

paradigm penelitian yang sesuai dengan topik masalahnya. Tradisi penggunaan analisis

secara empiric masih populer, meskipun pendekatan kualitatif kian menunjukkan

30
peningkatan dalam penerapannya sekitar dua dasawarsa, meskipun masih amat terbatas

di Indonesia.

31
DAFTAR PUSTAKA

Annarino, Anthony A. (1980). Curriculum Theory and Design in physical Education, St,
Louis. Missouri: The C.V. Mosby

Coakley, Jay (2000). Sport in Society: Issues and Controversies, Singapore: McGrawHill
Book Co.

Gutek, Gerald L. (2004). Philosophical and Ideological Voices in Education. Boston:


Pearson.

Hammond, Linda Darling and Bransford, John (ed,) (2005). Preparing Teachers for a
Changing World. San Fransisco: Jossey‑Bass.

Huzinga, Johan (1950). Homo Ludens. A study of the Play Element in Culture. Boston: The
Beacon Press.

Hyland, Drew A (1990). Philosophy of Sport. New York: Paragon House.

Lutan, Rush (1999). Manusia dan Olahraga. Bandung: ITB

Lutan, Rush (1999). Reinterpretasi Hasil Kongres: World Summit on Physical Education at
Berlin, September, 1999. Unpublished manuscript.

Lutan, Rush (2005). Indonesia and Asian Games: Sport, Nationalisms and the New Order in
Sport in Society, Vol. 8, No. 3, September 2005

Maguire, Joseph (et.al), Sport World: A Sociological Perspective. (Champaign, III! Human
Kinetics, 2002)

Metzler, Michael W. (2000). Instructional Models for Physical Education. Boston: Allyn
and Bcon.

Schemppp, P.G. (1993, July). The Nature of Knowledge in Sport Pedagogy. JoseMaria
Cagigal Memorial Lecture, presented at the 199′ World University Games, Buffalo,
NY. http://cilab.myweb.uga.edu/cinature.htm

Siedentop, Daryl (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education Califonnia:


Mayfield Publishing Company.

32
Sic, Swan Po (1973) Prosiding Kongres Internasional ICHPERSD ke‑16, Denpasar, Bali,
Indonesia, 29 July‑3 August. Jakarta: KONI Pusat

Tinning, Richard. et.al. (2001). Becoming A Physical Education Teacher. French Forest:
Prentice Hall.

33
ILMU KEOLAHRAGAAN | PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015

Anda mungkin juga menyukai