Anda di halaman 1dari 5

Konsep Equity dalam Pelayanan Kesehatan

(Equity in Health Care and Health System)


Pengantar
Modul ini membahas mengenai pemerataan pelayanan kesehatan. Dalam
modul pertama ini, beberapa konsep dasar mengenai equity akan dibahas.
Kerangka pelatihan modul pertama adalah:

1. Konsep equity dan equality


2. Dimensi equity dalam kesehatan
1. Luaran kesehatan: kematian, beban penyakit
2. Penggunaan layanan kesehatan
3. Pembiayaan kesehatan

Modul pertama akan membahas secara umum konsep equity, serta


perbedaannya dengan equality. Kedua konsep ini penting untuk dipelajari
secara mendalam karena merupakan fondasi konsep yang akan digunakan
selama pelatihan berlangsung. Pada akhir modul pertama, peserta
pelatihan diharapkan dapat:

1. Membedakan antara konsep equity dengan equality


2. Dapat memberikan definisi yang aplikatif mengenai kedua konsep ini,
dan memberikan contoh dalam konteks pelayanan kesehatan di
Indonesia
3. Memahami berbagai dimensi equity dalam bidang kesehatan

Equity dan equality adalah dua konsep yang tidak terpisahkan. Menurut
definisi WHO, equality adalah:

“The absence of differences in health status or the distribution of health


determinants between different population group”
Atau dapat diartikan sebagai tidak adanya perbedaan dalam hal status
kesehatan antar populasi yang berbeda.
Dalam artiak inequality, perbedaan populasi ini dapat didasari oleh
perbedaan dalam hal jenis kesukuan, tingkat kekayaan, lokasi geografis,
tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi lainnya.
Perbedaan dalam hal inequality adalah murni perbedaan yang ada antar
populasi, baik itu disebabkan oleh hal-hal biologis, maupun faktor eksternal
seperti status sosial dan tingkat kekayaan.
Contoh klasik inequality adalah perbedaan tinggi tubuh rata-rata antara pria
dan wanita. Karena faktor biologis, tubuh pria rata-rata lebih tinggi daripada
wanita. Dalam hal ini, perbedaan yang ada murni terjadi karena faktor
biologis dan bukan karena perbedaan kesempatan memiliki nutrisi yang
cukup atau preferensi gender.
Namun, saat kita berbicara tentang equity, maka kita telah menggunakan
sebuah nilai dalam menilai apakah perbedaan status kesehatan
tersebut adil.
Dengan menggunakan contoh tinggi badan, inequality tersebut menjadi
tidak adil apabila:

 Anak laki-laki di dalam suatu keluarga mendapat asupan gizi yang


lebih dibanding dengan anak perempuan, sehingga menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan dan anak perempuan tersebut
menjadi stunting.

-> Di sini kita telah memakai penilaian apakah suatu preferensi


tersebut adil atau tidak. Ketidaksetaraan gender di sini
menyebabkan status kesehatan menjadi timpang. Inilah yang kita
anggap sebagai inequity atau perbedaan yang tidak adil.
Mengapa equity dalam bidang kesehatan menjadi sangat penting?
Dan mengapa dalam kesehatan, kita lebih tertarik untuk
meneliti inequity dibandingkan denganinequality?
Margaret Whitehead (1992) menjelaskan dengan detail konsep dan dasar-
dasar equity dalam kesehatan. Peserta dapat membaca publikasi ini
dengan membuka link berikut:
Whitehead (1992). The concepts and principles of equity and health.
Tiga dimensi equity dalam kesehatan dapat dibagi menjadi:

1. Equity dalam status kesehatan

Sebagai contoh adalah perbedaan tingkat kematian maternal antara


populasi. Di Provinsi Yogyakarta, angka kematian ibu (AKI) adalah
125 kematian per 100.000 kelahiran hidup, sementara di Provinsi
Papua, AKI mencapai angka 362 per 100.000 kelahiran hidup.
Perbedaan ini tidak adil dan dapat dihindari.
2. Equity dalam penggunaan layanan kesehatan

Penggunaan layanan kesehatan seringkali dijadikan perbandingan


dalam melihat ketimpangan antar populasi. Masyarakat yang hidup di
DKI Jakarta dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan,
dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di Provinsi NTT
misalnya.
Contohnya, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di DKI Jakarta
mencapai cakupan 98%, sementara ibu-ibu melahirkan di Provinsi
Maluku Utara hanya mendapat cakupan persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan sebanyak 23% (SDKI, 2007).
Apakah hal ini adil? Mengapa bisa terjadi ketimpangan yang tinggi
ini? Apakah distribusi dokter dan fasilitas kesehatan juga merupakan
suatu inequity tersendiri?
Dan, apakah sistem kesehatan nasional Indonesia timpang?

3. Equity dalam pembiayaan kesehatan

Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil


memperbaiki pemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah
sakit pemerintah maupun swasta cenderung digunakan oleh
kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar masyarakat miskin,
belum atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya. Dapat
disimpulkan bahwa berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan dan Askeskin berhasil
mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-
rumah sakit lainnya. Adanya program perlindungan kesehatan bagi
masyarakat (ASKESKIN, JAMKESMAS, dsb), mempunyai arah
positif menuju semakin terlindunginya kaum miskin dan kaum rentan-
miskin terhadap katastropik akibat pengeluaran kesehatan.
Akan tetapi data tentang akses dan kualitas kepelayanan dasar
(puskesmas) dan pelayanan rujukan (rumah sakit) serta pemerataan
sumber daya manusia, masih menunjukkan gejala ketidak merataan
secara horizontal. Jumlah rumah sakit dan dokter tidak terdistribusi
secara merata di berbagai daerah dan kualitas pelayanan juga masih
berbeda-beda. Keadaan ini perlu dipelajari oleh para pemimpin di
sektor kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten dan Propinsi
perlu untuk memahami bagaimana teori equity berjalan di daerahnya.
Konsepsi ini perlu dimiliki oleh kepala dinas kesehatan sebagai
kompetensi dasar untuk peningkatan kemampuan dalam mengolah
data dalam rangka pengembangan pemikiran untuk perencanaan
strategis program kesehatan di daerahnya.

Kebijakan menentukan bagaimana uang, kekuasaan dan


sumberdaya mengalir ke masyarakat, sehingga menjadi salah satu
faktor determinan kesehatan. Advokasi kebijakan kesehatan publik
semakin menjadi strategi yang penting yang dapat kita gunakan
sebagai panduan dalam penentuan status kesehatan. Meskipun
agenda kebijakan merupakan bagian dari strategi politik dengan
kepentingan yang berbeda-beda, sistem pembiayaan dan legislasi
pelayanan kesehatan yang tersedia bagi orang miskin adalah strategi
pendekatan utama untuk mencapai pemerataan kesehatan (Rosen
S. 2002).

Analisis mengenai sebaran utilisasi pelayanan kesehatan di


Indonesia antara tahun 2000-2007 memberikan gambaran situasi
menarik, khususnya komparasi antar wilayah. Kebijakan pembiayaan
kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki kemerataan
sosial ekonomi secara umum/nasional, tetapi belum bisa
memperbaiki kesenjangan antar wilayah. Rumah sakit diwilayah yang
jauh dari pusat pemerintahan (baca: Indonesia Timur) cenderung
digunakan oleh kalangan masyarakat ‘mampu’. Sebagian besar
masyarakat miskin, belum dapat atau bahkan tidak memanfaatkan
fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan akses
menuju ke pelayanan kesehatan (Geographical Barrier).

Kondisi pembiayaan social saat ini yang dilakukan melalui berbagai


skema jaminan kesehatan social seperti JPKM, ASKESKIN, dan
JAMKESMAS belum berhasil/mengurangi hambatan akses bagi
masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah
sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya di wilayah
terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Saat ini Jamkesmas
mengijinkan rumah sakit pemerintah dan swasta untuk melayani
pasien dari kalangan masyarakat miskin atau hampir miskin. Hal
tersebut meningkatkan akses bagi masyarakat miskin atau hampir
miskin di perkotaan dan di pulau Jawa untuk mendapat perawatan
rumah sakit pemerintah dan swasta dan pelayanan kesehatan yang
berbiaya tinggi. Tetapi salah satu kelemahan Jamkesmas adalah
belum adanya biaya untuk akses ke pelayanan bagi kaum miskin.
Sebagai contoh, di Kep Maluku Utara, mungkin biaya berobatnya
gratis, tetapi biaya transport dari suatu pulau ke pulau yang yang
tersedia layanan kesehatan, mungkin sampai jutaan rupiah. Hal ini
menyebabkan biaya berobat menjadi semakin mahal, dan
menyebabkan terjadi ketidakadilan geografis.

Anda mungkin juga menyukai