Disusunoleh:
Nia Vebriyani
11.2016.119
Pembimbing:
0
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT BAKHTI YUDHA-DEPOK
Nama Mahasiswa : Nia Vebriyani
NIM : 11-2016-119
Dokter Pembimbing : dr. Dini Adriani, Sp.S TandaTangan:
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kp. Kepupu RT 003/004
No RM : 281562
Tanggal masuk poli RS : 29 Juni 2018
II. SUBJEKTIF
Anamnesis
Anamnesis di lakukan secara Autoanamnesis ada tanggal 29 Juni 2018
Keluhan utama
1
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke poli oleh keluarganya untuk kontrol nyeri kepala yang sudah
berlangsung sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti berdenyut terutama
dibelakang kepala. Nyeri terasa terus-menerus. Keluhan dirasakan sepanjang hari, nyeri
dirasakan tiba-tiba tanpa pencetus. Durasi nyeri bisa sampai 7 hari. Nyeri seperti ditusuk-
tusuk(-). Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas namun ringan, pasien masih
beraktivitas dengan baik. Nyeri kepala juga tidak membaik dengan istirahat atau tidur.
Keluar air mata ketika pusing tidak ada, ataupun cairan yang keluar dari hidung.
Terdapat demam, terasa pegal juga dileher dan mata, Minum obat sudah dilakukan namun
tidak ada perbaikan. Tidak ada penglihatan ganda, silau saat melihat cahaya juga tidak ada.
Tidak ada kejang, tidak ada penurunan kesadaran, pusing karena gangguan tidur tidak ada.
Tidak ada trauma kepala, tidak ada mual maupun muntah. BAB dan BAK dalam batas
normal.
.
Ada riwayat batuk berdarah pada tahun 2015, darah berwarna segar, keringat
malam (+), pasien pernah berobat paru diklinik selama 3 minggu, namun setelah itu pasien
tidak mau berobat lagi, dan menghentikan pengobatan. Tidak ada penurunan berat badan
yang drastis Bicara pelo (-), mulut mencong (-), kesemutan (-), kejang (-), mual (-), muntah
(-), DM (-), Hipertensi (+)
Bicara pelo (-), mulut mencong (-), sakit kepala (-), kesemutan (-), kejang (-), DM (-), HT
(-), flek paru (-)
Pasien tinggal dalam lingkungan yang tidak padat penduduk, jauh dari tempat
pembuangan sampah. Pasien tidak merokok, tidak minum alkohol. Makan teratur dengan
baik.
III.PEMERIKSAAN FISIK
2
1. Status Generalis
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 90 kali/menit, reguler
Pernafasan : 22 kali/menit
Suhu : 36,6° C
Kepala : Normosefali, simetris.
Leher : Simetris, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Dada : Simetris, pectus carinatum (-), massa (-)
Paru : Suara nafas vesikuler, wheezing (-/-) , ronkhi (-/-)
Jantung : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Perut : Membuncit, supel, normotimpani, BU (+) normal, hepar
dan lien tidak teraba membesar.
Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik
2. Status Psikikus
a. Cara berpikir : Baik
b. Perasaan hati : Baik
c. Tingkah laku : Baik
d. Ingatan : Baik
e. Kecerdasan : Baik
3. Status Neurologikus
a. Kepala
i. Bentuk : Normosefali
ii. Nyeri tekan : (-)
iii. Simetris : (+)
iv. Pulsasi : Tidak teraba
b. Leher
i. Sikap : Simetrris
ii. Kaku kuduk : (-)
3
Kaku kuduk :-
Kernig : -/-
Laseque : -/-
Brudzinski I : -/-
d. Saraf kranialis
N. I (olfaktorius)
Kanan Kiri
Subjektif tidak dilakukan tidak dilakukan
Dengan bahan tidak dilakukan tidak dilakukan
N. II (optikus)
Kanan Kiri
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. III (okulomotorius)
Kanan Kiri
Strabismus (-) (-)
Nystagmus Tidak di lakukan
Exophtalmus (-) (-)
Pupil Besar, Bentuk 3 mm 3 mm
Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks terhadap sinar (+) (+)
Refleks konversi Tidak di lakukan
Refleks konsensuil Tidak di lakukan
N. IV (trokhlearis)
Kanan Kiri
Pergerakan mata baik
(kebawah – medial)
Sikap Bulbus (-)
Melihat ganda (-)
N. V (trigeminus)
4
Kanan Kiri
Membuka mulut (+)
Mengunyah (+)
Menggigit (+)
Refleks kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas (+)
N. VI (abdusen)
Kanan Kiri
Pergerakan mata (ke lateral) Baik
Sikap bulbus (-)
Melihat ganda (-)
N. VII (fasialis)
Kanan Kiri
Mengerutkan dahi (+)
Menutup mata (+)
Memperlihatkan gigi (+)
Menggembungkan pipi (+)
N. VIII (vestibulo-kokhlearis)
Kanan Kiri
Detik arloji Tidak dilakukan
Suara berisik Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan
N. IX (glosofaringeus)
Kanan Kiri
Perasaan bagian lidah belakang Tidak dilakukan
Sensibilitas Tidak dilakukan
Faring Tidak dilakukan
N. IX dan X
Reflek muntah (tidak dilakukan)
N. X (vagus)
Kanan Kiri
Arcus faring Tidak dilakukan
Bicara Tidak ada gangguan
Menelan baik
5
N.XI (aksesorius)
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Tidak diperiksa
Memalingkan kepala Tidak diperiksa
Tropi otot bahu Tidak diperiksa
N. XII (hipoglosus)
Kanan Kiri
Julur lidah Baik
Tremor lidah Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada
Atrofi Tidak ada
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan
Thermi Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan
Refleks
6
Kanan Kiri
Pergerakan (+) (+)
Tonus Normotonus Normotonus
Atrofi (-) (-)
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan
Refleks
Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Brachioradialis Tidak dilakukan
Trimmer- Hoffman (-) (-)
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan
Refleks
Kanan Kiri
7
Patella + +
Achilles + +
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Schaffer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
g. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah Rutin Tanggal 05 Juni 2018
Darah Lengkap
Hemoglobin : 13,6 g/dl
Leukosit : 16,4 ribu/mm3
Hematokrit : 45%
Trombosit : 544 ribu/mm3
8
Telah diberikan pemeriksaan CT SCAN KEPALA tanpa dan dengan pemberian kontras IV
sebanyak 50 ml, slice 5 mm, brain window, potongan axial – Hasil sebagai berikut :
- Tak tampak lesi hipo / hiperdens dikedua hemisfer parenkhim cerebri
- Tampak kalsifikasi fisiologis di pineal body, pleksus khoroideus kanan kiri dan basal
ganglia kanan kiri
- Tampak persisten cavum septum pellucidum
- Tampak penyangatan kuat pasca pemberian kontras dikedua hemisfer cerebri dan falk
cerebri
- Sella dan parasella baik
- Tak tampak deviasi midline
- Ventrikel lateralis kanan kiri, III dan IV baik
- Sulci dan gyri cerebri baik, cisterna tidak melebar
- Infratentorial; pons, cerebellum dan CPA baik
- Pneumatisasi mastoid kanan kiri baik
- Kedua bulbus okuli dan nn.optici baik
- Sinus paranasal cerah
Kesan :
Penyangatan kuat pasca pemberian kontras dikedua hemisfer cerebri dan falk cerebri ec
DD/infeksi
Persisten cavum septum pellucidum
Taktampak perdarahan intra parenkhim
9
Hasil Foto Thorax AP tanggal 8 Juni 2018
Cor : Tak membesar
Aorta tampak normal
Pulmones : Tampak bercak infiltrat di paracardial kanan
Hilus tidak melebar
Diafragma normal
Sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam
Tulang-tulang : tak tampak kelainan
Kesan : Bronchopneumonia
RESUME
Pasien perempuan usia 49 tahun dengan keluhan nyeri kepala yang sudah
berlangsung sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti berdenyut terutama
dibelakang kepala. Nyeri terasa terus-menerus. Keluhan dirasakan sepanjang hari, nyeri
dirasakan tiba-tiba tanpa pencetus. Durasi nyeri bisa sampai 7 hari. Nyeri kepala dirasakan
mengganggu aktivitas namun ringan, pasien masih beraktivitas dengan baik. Nyeri kepala
juga tidak membaik dengan istirahat atau tidur. Ada riwayat batuk berdarah pada tahun
2015, darah berwarna segar, keringat malam (+), pasien pernah berobat paru diklinik
selama 3 minggu, namun setelah itu pasien tidak mau berobat lagi, dan menghentikan
pengobatan. Riw.HT(+).
Pemeriksaan fisik os didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis dengan GCS 15 (E4M6V5). Tekanan darah 140/90 mmHg. Pada
pemeriksaan N. II: Pupil bulat isokor, 3 mm RCL +/+, RCTL +/+. N. III, IV, dan VI: Doll’s
Eye Maneuver (+).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan lab darah rutin dan
lumbal punksi dengan hasil skor Thwaites yang menunjukkan hasil kesan suggest
meningitis TB pada LCS pasien yang menunjukan adanya peningkatan protein dan
penurunan kadar glukosa LCS.
DIAGNOSIS
Klinis : Cephalgia progressive, batuk darah, hipertensi
Topis : Meningen
Etiologi : Infeksi, kuman Mycobacterium tuberculosis
Patologik : Inflamasi selaput otak
10
TERAPI MEDIKAMENTOSA
INH 1x400 mg
Rifampisin 1x600 mg
Pyrazinamid 1x1000 mg
Etambutol 1x750 mg
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
Penyakit infeksi merupakan suatu penyakit menular yang terkadang bisa bersifat
laten dan juga menimbulkan suatu sindrom atau gejala yang bergantung pada sistem imun
dan lingkungan seseorang. Apabila penyakit ini tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan timbulnya kecacatan sampai kepada kematian.1
Karena itulah menjadi penting bagi klinisi untuk memiliki kemampuan
mendiagnosis lebih dini penyakit infeksi yang terjadi terutama pada sistem saraf agar dapat
menurunkan angka kecacatan dan kematian tersebut.1
11
Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak
Meninges
Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh 3 lapisan (meninges) yang berasal dari
mesodermal: duramater yang kuat dan terletak paling luar, diikuti oleh arachnoid dan
piamater. Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara
duramater dan arachnoid terdapat ruang subdural; antara arachnoid dan piamater terdapat
ruang subarachnoid. Ruang subarachnoid mengandung LCS.2
Cairan LCS dibentuk di pleksus khoroideus keempat ventrikel serebri (ventrikel
lateral kanan dan kiri, ventrikel ketiga dan ventrikel ke empat). Cairan ini mengalir melalui
sistem ventrikel (ruang LCS internal) dan kemudian masuk ke ruang subarachnoid yang
mengelilingi otak dan medulla spinalis (ruang LCS eksternal). Cairan ini diresorbsi di
granulasiones arakhnoideae sinus sagitalis superior dan di selubung perineural medulla
spinalis. Peningkatan volume cairan LCS (baik di penurunan resorbsi atau karena
peningkatan produksi) bermanifestasi pada peningkatan tekanan LCS dan pembesaran
ventrikel (hidrosefalus).2
12
Gambar 2. Meninges medulla spinalis (gambaran skematik, penampang transversal) 2
1. Dura Mater
Dura mater disebut juga sebagai pachymeninx yang berarti membran yang kuat.
Dura mater terdiri dari 2 lapisan penyambung fibrosa yang kuat. Lapisan luar duramater
kranial adalah periosteum di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal
yang sesungguhnya, membentuk batas luar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua
lapisan dural ini terpisah satu sama lain di sinus-sinus dural. Di antara sinus sagitalis
superior dan sinus sagitalis inferior, lipatan ganda lapisan dura yang dalam membentuk
falx cerebri yang terletak di bidang midsagital di antara kedua hemisfer cerebri; falx
cerebri bergabung dengan tentorium yang memisahkan serebelum dari serebrum. Struktur
lain yang dibentuk oleh lapisan ganda dura mater bagian dalam adalah falx cerebelli yang
memisahkan kedua hemisfer cerebelli, diaphragma sellae dan dinding rongga Meckel yang
mengandung ganglion gasserian (trigeminal).2
2. Arakhnoid
Arakhnoid otak dan medula spinalis merupakan membrane avaskuler yang tipis dan
rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang antara arachnoid
dan piamater (ruang subarachnoid) mengandung LCS. Arakhnoid dan piamater
dihubungkan satu sama lain melewati rongga ini oleh benang-benang tipis jaringan ikat.
Piamater melekat dengan permukaan otak beserta lipatan-lipatannya, sehingga ruang
subarachnoid lebih sempit pada beberapa tempat dan lebih luas pada area lainya.
Pembesaran ruang arachnoid disebut sisterna. Ruang subarachnoid kranial dan spinal
berhubungan satu sama lain melalui foramen magnum. Sebagian besar cabang arteri yang
memperdarahi otak dan sebagian besar saraf kranial, berjalan di ruang subarachnoid.2
13
3. Piamater
Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai
endothelium. Tidak seperti arachnoid, struktur ini tidak hanya meliputo seluruh permukaan
eksternal otak dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak terlihat
di sulkus yang dalam. Piamater melekat pada SSP di bawahnya melalui membran
ectodermal yang terdiri dari astrosit marginal. Pembuluh darah yang memasuko atau
meninggalkan otak dan medulla spinalis melalui ruang subaraknoid dikelilingi oleh
selubung seperti terowongan-terowongan piamater. Ruang antara pembuluh darah dan
piamater di sekitarnya disebut ruang Virchow-Robin. Saraf sensorik pia mater, tidak seperti
pada dura mater, tidak berespons terhadap stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini
diduga berespons terhadap regangan vaskular dan perubahan pada tonus dinding pembuluh
darah.2
14
Gambar 3. Sirkulasi Cairan LCS 2
15
Tabel 1. Temuan LCS pada penyakit Susunan Saraf Pusat2
16
subarakhnoid spinal melingkupi medula spinalis. Sebagian LCS diresorpsi setinggi level
spinal. Komposisi LCS dimanapun adalah sama, tidak lebih encer ataupun lebih konsentrat
pada masing-masing ujung jalurnya.2
Resorpsi2
LCS diresorpsi (yaitu dikeluarkan dari ruang subarachnoid) di intrakranial dan di
sepanjang medula spinalis. Sebagian LCS meninggalkan ruang subarakhnoid dan
memasuki aliran darah melalui banyak vili granulasio araknoidal yang terletak di sinus
sagitalis superior dan pada vena diploika kranium. Sisanya diresorpsi di selubung
perineural saraf kranial dan saraf spinal, ketika saraf tersebut masing-masing keluar dari
batang otak dan medula spinalis, dan melewati ependima dan kapiler leptomeninges.
Dengan demikian, LCS secara konstan dihasilkan di pleksus koroideus ventrikel dan
diresorpsi lagi dari ruang subaraknoid di berbagai lokasi.2
Lumbal Punksi4
1. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksan sel, kimia dan
bakteriologi
2. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, antitumor dan
spinal anastesi
•
Peningkatan tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan
papil edema
•
Penyakit kardio pulmonal yang berat
17
•
Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi4
•
Trombosit < 50.000 pada pemeriksaan darah tepi
•
Adanya syok akibat berbagai sebab
•
Koagulopati; riwayat penggunaan antikoagulan atau adanya tanda DIC1
1. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan
leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah
kepala atau lutut.
2. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L 3-4, yaitu
setinggi crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas
atau ke bawah. Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5
5. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus
dengan ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus
jaringan meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian
pinggir yang miring menghadap ke kepala.
Pada umumnya tindakan LP aman untuk dilakukan. Risiko kematian akibat herniasi
otak setelah dilakukan tindakan LP dapat diminimalisir dengan melakukan pemeriksaan
CT-Scan terlebih dahulu pada keadaan-keadaan sebagai berikut:1
1. papil edema yang nyata
2. penurunan kesadaran yang dalam atau memburuk dengan cepat
3. didapatkannya defisit neurologis fokal, termasuk adanya kejang parsial
4. kecurigaan lesi desak ruang intracranial.
18
Meningitis
Definisi Meningitis
Meningitis Bakterialis6
Faktor Risiko6
Etiologi6
19
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah
patogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan
Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab MB nosokomial, yang lebih mudah
terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma
kepala. Penyebab MB berdasarkan usia dan faktor risiko dapat dilihat pada tabel 1.
Patofisiologi6
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pascaventriculoperitoneal shunt atau prosedur bedah
otak lainnya).
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung
dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan mekanisme
yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring dengan berikatan pada
sel epitel menggunakan villi adhesive dan membran protein. Risiko kolonisasi epitel
nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi virus pada sistem pernapasan
atau pada perokok. Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut
mengatasi mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri
kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif
terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya.
20
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui
pleksus koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel
yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula spinalis,
dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini
menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur serebrospinal. Infeksi juga
mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus koroid maupun melalui refl uks
lewat foramina Magendie dan Luschka.
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga
dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan trombosis
sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal. Eksudat
purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat
aliran pada sistem ventrikel yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans
yang disertai edema serebral interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-
saraf kranial dan menyebabkan neuropati kranial fokal.
Manifestasi Klinis1
Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri kepala, dan
fotofobia. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai keluhan penurunan kesadaran, kejang,
hemiparesis. Selain itu terdapat sakit kepala, kekakuan pada leher, nausea, vomiting, dan
tanda-tanda disfungsi serebral (mis, lethargy, confusion, coma). Terdapat triad meningitis
21
yaitu demam, kekakuan pada leher, dan penurunan kesadaran. Pada stadium yang lebih
lanjut, dijumpai tanda hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah,
kejang, dan papiledema.1
Pemeriksaan Penunjang1
Kriteria Diagnosis1
Gejala dan tanda klinis meningitis
plus
Parameter LCS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa LCS: darah < 0,4
plus
22
Didapatkan bakteri penyebab di dalam LCS secara mikroskopis dan/hasil kultur
positif
plus
Gejala dan tanda khas meningitis
plus
Parameter LCS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa LCS: darah < 0,4
plus
Kultur LCS negatif
plus
Satu dari hal berikut: kultur darah positif / test antigen atau PCR dari LCS
menunjukkan hasil positif
Penatalaksanaan1
Komplikasi1
23
Komplikasi yang dapat terjadi:
- Komplikasi segera : edema otak, hidrosefalus, trombosis sinus otak, abses/efusi
subdural, gangguan pendengaran
- Komplikasi jangka panjang : gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada pasien
anak, epilepsi.
Meningitis Virus7
Enterovirus7
Enterovirus menyumbang lebih dari 85% dari semua kasus viral meningitis.
Mereka adalah bagian dari keluarga virus Picornaviridae dan termasuk echovirus,
coxsackieviruses A dan B, virus polio, dan enterovirus bernomor. Enterovirus nonpolio
adalah virus umum; mereka hampir sama seperti rhinovirus (yang menyebabkan flu biasa).
Sebagian besar kasus meningitis disebabkan oleh serotipe coxsackievirus dan echovirus.
Coxsackievirus B subkelompok saja menyumbang lebih dari 60% kasus meningitis pada
24
anak-anak yang lebih muda dari usia 3 bulan.
Enterovirus memasuki host manusia biasanya melalui rute oral-fecal, tetapi juga
dapat menyebar melalui rute pernapasan. Enterovirus ada di mana-mana pada musim panas
dan awal musim gugur; Kecenderungan mereka untuk menyebabkan infeksi selama bulan-
bulan hangat adalah faktor utama dalam insiden meningitis aseptik yang lebih tinggi
selama waktu itu. Temuan klinis terkait dalam infeksi enteroviral mungkin termasuk
faringitis, pleurodynia, ruam, dan perikarditis.
Arbovirus7
Arbovirus terdiri dari lebih dari 500 virus dari Famili virus yang berbeda..
Arthropoda penghisap darah, biasanya nyamuk, berfungsi sebagai vektor untuk transmisi.
Beberapa arbovirus yang penting termasuk virus ensefalitis, dari famili Togavirus; St Louis
encephalitis 'West Nile, Japanese B, dan Murray Valley viruses, dari famili Flavivirus; dan
kelompok California dan Jamestown Canyon virus, dari famili Bunyaviridae.
Infeksi dengan virus West Nile biasanya asimptomatik atau bermanifestasi sebagai
gejala ringan demam nonspesifik, mialgia, dan kelelahan. Namun, 1 dari 150 kasus
berkembang menjadi penyakit berat yang melibatkan sistem saraf, dengan ensefalitis
dilaporkan lebih dari meningitis.
Mumps7
Merupakan famili Paramyxovirus, virus gondong adalah salah satu agen penyebab
25
meningitis dan meningoencephalitis yang pertama kali diketahui. gondong terus
menyebabkan 10-20% dari meningitis dan kasus meningoencephalitis di bagian dunia di
mana vaksin tidak mudah diakses. Laki-laki berusia 16-21 tahun berisiko paling tinggi
untuk mengembangkan infeksi ini, dengan rasio pria / wanita 3: 1. Parotitis bersamaan
adalah alat klinis yang bermanfaat, tetapi mungkin tidak ada dalam sebanyak setengah dari
kasus dengan keterlibatan SSP.
Virus Herpes7
Virus herpes simplex (HSV) -1, HSV-2, virus varicella-zoster (VZV), virus
Ebstein-Barr (EBV), cytomegalovirus (CMV), dan herpesvirus-6 manusia secara kolektif
menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis virus, dengan HSV-2 menjadi pelaku paling
umum. Virus dapat menyerang kapan saja sepanjang tahun.
Meningitis yang disebabkan oleh virus ini seringkali terbatas. Ketika dikaitkan
dengan ensefalitis, angka kematian bisa tinggi. Perawatan dini dengan acyclovir dapat
secara signifikan mengurangi morbiditas.
HSV-1 tetap merupakan penyebab paling umum dari ensefalitis sporadis, sementara
infeksi HSS-2 dari CNS sebagian besar terbatas pada meningitis aseptik. Infeksi genital
HSV-2 mungkin mendahului meningitis; kontak seksual dengan individu yang terinfeksi
aktif adalah salah satu faktor risiko yang diketahui. Namun, dalam satu tinjauan, hanya 3
dari 23 pasien dengan meningitis HSV-2 memiliki riwayat herpes genital sebelumnya atau
memiliki lesi genital yang tercatat pada saat presentasi. Transmisi HSV-2 ibu-janin dapat
terjadi, yang menyebabkan sekuel sistemik yang signifikan, termasuk septicemia infantil
dan kematian.
EBV, HSV-1, dan terutama HSV-2 telah dikaitkan dengan meningitis Mollaret,
meningitis berulang yang jarang, jinak, dan menghilang secara spontan. Sel mollaret
(monosit aktif dengan penampilan atipikal dari nukleus yang membesar, bilobed dan
sitoplasma amorf) ditemukan di CSF biasanya pada hari pertama gejala. Herpesvirus-6,
EBV, dan human immunodeficiency virus (HIV; yang bukan anggota keluarga herpes) juga
telah terlibat. Virus-virus ini semua diketahui tetap laten di dalam sistem saraf.
26
terkait yang signifikan. Infeksi cacar anak atau dewasa oleh VZV jarang dipersulit oleh
meningitis. Zoster dewasa yang melibatkan dermatom apapun dapat menyebabkan
meningitis atau meningoencephalitis.
Adenovirus
Campak7
Morbilli virus ini adalah penyebab lain dari meningitis yang telah menjadi langka.
Ruam makulopapular karakteristik membantu dalam diagnosis. Sebagian besar kasus
terjadi pada orang yang lebih muda di sekolah dan perguruan tinggi. Masih merupakan
ancaman kesehatan di seluruh dunia, campak memiliki tingkat serangan tertinggi dari
setiap infeksi.
HIV7
HIV mungkin menjadi penyebab meningitis atipikal ditandai dengan kronisitas dan
kekambuhan. Tentang waktu seroconversion, pasien dapat hadir dengan pleositosis CSF,
peningkatan kadar protein dan, kadang-kadang, tekanan intrakranial yang tinggi.
Laporan telah menyarankan bahwa sebanyak 5-10% dari infeksi HIV dapat
digembar-gemborkan oleh meningitis. Selain tanda meningeal yang biasa, infeksi HIV juga
dapat menyebabkan ensefalopati global, kejang, dan defisit neurologis fokal. Beberapa
pasien mengalami temuan CSF kronis yang abnormal dengan gejala ringan atau tanpa
27
gejala. HIV sering dapat diisolasi dari CSF.
Patofisiologi7
Beberapa kontroversi ada untuk efek jangka panjang dari meningitis virus pada
anak-anak, dengan beberapa studi yang menghubungkan ketidakmampuan belajar,
gangguan neuromuskular (yaitu, paresis ringan atau kehilangan koordinasi), dan tuli ke
viral meningitis. Peneliti percaya bahwa sebagian besar kasus ini harus melibatkan
parenkim SSP, menyebabkan ensefalitis atau encephalomyelitis.
Hidrosefalus adalah komplikasi langka dari meningitis virus dan karena obstruksi
granulasi arakhnoid oleh debris inflamasi. Waktu onset yang biasa adalah dalam beberapa
minggu dari gejala asli. Yang kurang umum adalah hidrosefalus akut, dengan onset dalam
beberapa jam sampai beberapa hari dari gejala asli.
Meningitis Tuberkulosa8
Patofisiologi1
28
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberculosis. Fokus
primernya berada di luar otak, biasanya paru-paru tapi bisa juga pada KGB, tulang, sinus
nasalis, GIT, ginjal dan sebagainya.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak secara
hematogen tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih pada
permukaan otak dan sumsum tulang belakang. Tuberkel selanjutnya melunak, pecah, dan
masuk ke dalam ruang subarachnoid dan ventrikel sehingga terjadi peradangan difus.
Penyebaran dapat pula terjadi secara perikontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di daerah selaput otak seperti primer di nasofaring, pneumonia, endocarditis,
OMA, mastoiditis, thrombus sinus kavernosus atau spondylitis. Penyebaran kuman ke
ruang subarachnoid menyebabkan reaksi radang pada piamater dan arachnoid, LCS, ruang
subarachnoid dan ventrikel.
Akibat reaksi radang ini maka akan terbentuk eksudat kental serofibrinosa dan
gelatin oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit,
sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas pada
subarachnoid saja tetapi terutama berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar
melalui pembuluh-pembuluh darah piamater dan menyerang jaringan otak di bawahnya
sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat
aquaduktus, fissure sylvii, foramen magendi, foramen luschka dan menyebabkan
hidrosefalus dan edema papil akibat peningkatan TIK.1
Diagnosis1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis meningitis tuberkulosis
memperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat
ditemukan anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII),
hemiparese.
Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid,
dan edema pupil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial.
Perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis memperlihatkan 3 stadium:
1. Stadium 1 (Stadium awal)
29
Gejala prodromal non spesifik seperti apatis, iritabiitas, nyeri kepala ringan, malaise,
demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen.
2. Stadium 2 ( Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas, ditemukan perubahan mental, tanda iritasi meningen, kelumpuhan
saraf III, IV, VI.
3. Stadium 3 ( Stadium Lanjut)
Mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma, kejang, dan dapat
ditemukan hemiparese.
Pemeriksaan Penunjang11
1. Laboratorium rutin : tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat,
normal, ataupun menurun
30
2. Analisa CSF:
Leukosit 100-500/mikrolit predominan limfosit
Protein 100-500 mg/dl
Glukosa < 45 mg/dl
Xantokrom atau jernih
Peningkatan tekanan LP, 40-75% pada anak dan 50% pada dewasa
3. Mikrobiologi ditemukan m. tuberculosis pada kultur CSS yang merupakan gold
standart
4. CSF PCR Spesifik tetapi tidak sensitive
5. Pada foto ronsen ditemukan tbc aktif pada paru
6. PPD test negative pada 10-15% anak dan 50% dewasa
7. CT Scan Kepala dapat ditemukan hidrosefalus, tuberkuloma,abses tuberculous,
dan infark
Variable Score
Age (years)
≥36 +2
<36 0
Blood white cell count (103/mL)
≥15.000 +4
<15.000 0
Duration of Illness (days)
≥6 -5
<6 0
CSF total white cell count (103/mL)
≥900 +3
<900 0
CSF % neutrophils
≥75 +4
<75 0
Total score ≤4 suggests tuberculosis meningitis
Total score >4 is against tuberculosis meningitis
Tabel 3. Skoring Meningitis TB.10
Penatalaksanaan10
Sediaan OAT:
Rifampicin : 10mg/KgBB/hari po
Isoniazid : 5mg/KgBB/hari po
Pirazinamid : 25 mg/KgBB/hari po maks 2g/hari
Ethambutol : 20 mg/KgBB/hari po maks 1,2g/hari
Sterptomisin : 20 mg/KgBB/hari im
31
Lama pemberian adalah 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z (2 bulan pertama diberikan
Rifampisin, INH, Prazinamid, Etambutol / Streptomisin, 7-10 bulan berikutnya diberikan
rifampisin, INH, Pirazinamid). Pemberian deksametason pada meningitis tuberculosis
hanya direkomendasikan untuk pasien HIV negatif.
Meningitis TB grade I
Minggu I : 0,3 mg/kgBB/ hari iv
Minggu II : 0,2 mg/kgBB/hari iv
Minggu III-IV : mulai 4mg/ hari po & diturunkan 1mg/hari tiap
minggu
Meningitis TB grade II/III
Minggu I : 0,4mg/kgBB/hari iv
Minggu II : 0,3mg/kgBB/hari iv
Minggu III : 0,2mg/kgBB/hari iv
Minggu IV : 0.1mg/kgBB/hari iv
Minggu V-VIII : mulai 4mg/hari po & diturunkan 1mg/hari tiap
minggu.
Meningitis Kriptokokus
32
Anamnesis12
- Gangguan kognitif
Pemeriksaan Fisik
- Penurunan kesadaran
- Tanda rangsang meningeal
- Demam
- Kejang
Kriteria diagnosis
Pemeriksaan LCS didapatkan kriptokokus pada pewarnaan Tinta India atau kultur
didapatkan C. Neoformans.12
Pemeriksaan penunjang
- Lumbal pungsi dengan dilakukan pemeriksaan LCS tinta India dan kultur
- CT Brain dengan kontras sebelum dilakukan drainase lumbar
33
Minggu 1-2 - Amphoterisin –B 0,7 – 1 mg/kg / hari dalam infuse
dextrose 5% dan diberikan selama 4-6 jam (jangan
dilarutkan dengan NaCl) dikombinasikan dengan :
Ensefalitis
Ensefalitis adalah suatu proses inflamasi akut pada jaringan otak. Proses
peradangan ini jarang terbatas pada otak saja, tetapi hamper selalu mengenai selaput otak
sehingga beberapa ahli sering menggunakan istilah meningoensefalitis1
34
Ensefalitis yang disebabkan oleh virus varicella-zoster (VZV), virus Epstein-Barr
(EBV), cytomegalovirus (CMV), virus campak, atau virus gondok: Ruam,
limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pembesaran parotid
St Louis encephalitis: Disuria dan pyuria
West Nile Encephalitis (WNE): Kelesuan ekstrim
Presentasi klasik adalah ensefalopati dengan gejala neurologis difus atau fokal,
termasuk yang berikut:
- Perubahan perilaku dan kepribadian, dengan tingkat kesadaran yang menurun
- Nyeri leher, kekakuan
- Ketakutan dipotret
- Kelesuan
- Kejang umum atau fokal
- Kebingungan akut atau keadaan amnestic
- Kelumpuhan flaksid (10% pasien dengan WNE)
Tanda-tanda ensefalitis mungkin difus atau fokal. Temuan umum termasuk yang berikut:12
Status mental berubah
Perubahan kepribadian (sangat umum)
Temuan fokal (misalnya, hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi otonom)
Gangguan gerakan (misalnya, St. Louis ensefalitis, ensefalitis kuda timur, dan
ensefalitis kuda barat)
Ataxia
Cacat saraf kranial
Disfagia, terutama pada rabies
Meningismus (kurang umum dan kurang jelas dibandingkan pada meningitis)
Disfungsi sensorimotor unilateral (encephalomyelitis pascainfeksi) Infeksi.
Ensefalitis dapat dikaitkan dengan sejumlah komplikasi, termasuk yang berikut:12
Seizure
Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH)
Peningkatan tekanan intrakranial (ICP)
Koma
Diagnosa14
35
Kriteria Diagnosis:14
Bentuk asimtomatik:
Gejala ringan, kadang ada nyeri kepala ringan atau demam tanpa diketahui
penyebabnya. Diplopia, vertigo, parestesi berlangsung sepintas. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal.
Bentuk abortif:
Nyeri kepala, demam tidak tinggi, kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat infeksi
saluran nafas bagian atas atau gastrointestinal.
Bentuk fulminant:
Berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan kematian.
Pada stadium akut demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku
kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma
dalam. Kematian biasanya terjadi dalam 2-4 hari akibat kelainan bulbar atau
jantung.
Bentuk khas ensefalitis:
Gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi saluran napas bagian atas
atau gastrointestinal selama beberapa hari. Kaku kuduk, tanda kernig positif,
gelisah, lemah, dan sukar tidur. Deficit neurologis yang timbul tergantung tempat
kerusakan. Selanjutnya kesadaran menurun sampai koma, kejang fokal atau umum,
hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan
bicara dan gangguan mental.
Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan laboratorium
o Punksi lumbal (bila tak ada kontraindikasi)
Cairan serebrospinal jernih dan tekananya dapat normal ataupun
meningkat
Fase dini dapat dijumpai peningkatan sel PMN diikuti dengan
pleositosis limfositik, umumnya kurang dari 1000/ul
Glukosa dan klorida normal
Protein normal atau sedikit meninggi (80-200 mg/dl)
o Pemeriksaan darah
Leukosit: normal atau leukopenia tau leukositosis ringan
Amylase serum sering meningkat pada parotitis
36
Fungsi hati abnormal dijumpai pada hepatitis virus dan
mononucleosis infeksiosa
Pemeriksaan antibody-antigen spesifik untuk HSV, cytomegalovirus
dan HIV.14
Pemeriksaan Radiologik15
o CT Scan kepala
Pada ensefalitis HSV, CT Scan memperlihatkan lesi dengan
densitas rendah di lobus temporalis, yang belum terlihat sampai 3-4
hari setelah awitan.
CT Scan dapat memperlihatkan komplikasi seperti perdarahan,
hidrosefalus dan herniasi serta dapat membantu menentukan perlu
tidaknya tindakan bedah.
o MRI
MRI lebih sensitive daripada CT Scan dalam mengidentifikasi
ensefalitis viral.
Gambaran lesi di lobus temporalis berupa perdarahan unilateral
atau bilateral. Lesi di lobus inferomedial temporalis dengan girus
singuli adalah area yang paling sering terdeteksi dengan MRI. Pada
anak dan bayi, dapat terdeteksi dengan MRI. Pada anak dan bayi,
dapat terdeteksi penyebaran yang lebih luas.
o Elektroensefalografi (EEG)
Pada ensefalitis HSV, 4 dari 5 kasus yang telah dibuktikan dengan
biopsy memperlihatkan EEG yang abnormal. Terdapat perubahan
di daerah temporalis yang menyebar secara difus dan perlahan serta
didapatkan lateralisasi gelombang epileptiform.
Penalataksanaan15
o Antiviral
Manfaat pemberian antiviral adalah untuk meringankan gejala klinis,
mencegah komplikasi dan mencegah timbulnya gejala sisa. Penggunaan
Asiklovir harus didahului dengan pemeriksaan kreatinin.
Dosis Asiklovir (penghambat aktivitas HSV-1 dan HSV-2) digunakan
selama 14-21 hari:
o Neonatus : 10-15 mg/kg IV taip 8 jam.
37
o Ensefalitis HSV : 10 mg/kg IV tiap 8 jam
o Kortikosteroid
Digunakan untuk pengobatan pasca-ensefalitis. Dosis nya:
o Dewasa : 10 mg IV tiap 6 jam
o Anak : 0,15 mg/kg IV tiap 6 jam.
Prognosis15
Prognosis bergantung pada virulensi virus dan kondisi kesehatan pasien
misalnya usia tua atau sangat muda, imunitas tubuh dan kondisi neurologis.
Ensefalitis Toxoplasma12
Ensefalitis toxoplasma adalah penyakit peradangan pada jaringan otak yang
disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Penyakit ini muncul akibat terjadinya
reaktivasi kista laten di jaringan. Infeksi primer umunya menyerang otak atau dapat berupa
penyakit sistemik.12
Anamnesis
Demam, sakit kepala, defisit neurologik fokal (hemiparesis, paresis saraf kranial)
dan kesadaran menurun akibat menifestasi klinis utama. Gejala lain adalah kejang, ataksia,
afasia, parkinsonisme, chorea-athetosis dan gangguan lapang pandang. Faktpr risiko HIV
(+).12
Pemeriksaan Fisik12
Demam, sakit kepala, defisit neurologik fokal (hemiparesis, paresis saraf kranial)
dan kesadaran menurun.
Kriteria Diagnosis
38
Diagnosis definitif ensefalitis toxoplasma hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak. Sedangkan diagnosis presumtif ensefalitis
toxoplasma dapat dibuat berdasarkan respon terhadap terapi empirik anti-toxoplasma
secara klinis dan imaging.12
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana12
Secara praktis semua ODHA dengan lesi massa intrakranial dengan gejala
neurologik yang progresif dapat diberikan terapi empirik anti-toxoplasma selama 2
minggu, walaupun serologinya negatif atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan
klinis maupun radiologik setelah terapi empirik, barulah dianjurkan untuk biopsi. Syarat
pemberian terapi empirik anti-toxoplasma yaitu :
39
Terapi empirik Standar terapi ensefalitis toxoplasma ET adalah kombinasi
pirimetamin dan sulfadiazin. Namun karena di Indonesia sulfadiazin tidak tersedia,
kombinasi pilihan yaitu pirimetamin dan klindamisin, dengan dosis :10
a. Fase akut
- Pirimetamin loading 200mg, lalu dilanjutkan, jika BB<50kg : 2x25 mg per hari per
oral dan jika BB>50 kg : 3x25 per hari per oral.
- Klindamisin 4x600 mg.
b. Fase rumatan :
- Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis ½ dari dosis fase akut atau
menggunakan kotrimoksazol 2x480 mg.
- Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai CD4 > 200
- Anti edema : walaupun masih diperbolehkan steroid dapat digunakan dalam waktu
singkat pada terapi fase akut, terutama bila dijumpai efek massa yang signifikan.
Manitol sesuai indikasi.
-
Pirimetamin: anemia, nausea, netropenia, trombositopenia, alergik-sindrom Steven-
Jhonson.
-
Klindamisin: demam, diare (colitis pseudomembran), erupsi obat alergik, sindrom
Steven-Jhonson.
-
Kotrimoksazol : demam, leukopenia, trombositopenia, hepatotoksisitas, erupsi obat
alergik, sindrom Steven-Jhonson.
Abses serebri
Abses otak adalah proses supurasi fokal parenkim otak, di serebrum maupun
serebelum1. Abses otak biasanya terjadi akibat infeksi fokal di bagian tubuh lain1,2. Abses
otak otogenik merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang sering pada otitis media
40
supuratif kronik (OMSK) tipe bahaya (tipe maligna), memerlukan diagnosis sedini
mungkin, penatalaksanaan yang cepat serta tepat untuk menghindari kematian. Diagnosis
sering terlambat karena pada stadium dini gejalanya tidak khas mirip dengan gejala infeksi
umumnya, gejala neurologis sering tidak tampak3,4. Pada stadium laten penderita tampak
tenang, keluhan nyeri kepala berkurang, tampak lemah dan sedikit sensitif sehingga sering
diduga sebagai mastoiditis kronis tanpa komplikasi.16
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai serebritis
yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul.1
Epidemiologi1
Di Indonesia belum ada data pasti, namun di Amerika Serikat dilaporkan sekitar
1500-2500 kasus abses serebri per tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak daripada
wanita yaitu dengan perbandingan 2-3:1.
Etiologi1
Infeksi opportunistik meningkatkan penyebab abses serebri pada pasien dengan
transplantasi organ, HIV, imunodefisiensi.
Faktor resiko predisposisi lain, seperti: penggunaan jalur intravena, kelainan
jantung, diabetes, steroid kronis, alkoholik, dan neoplasma.
Bila sumber infeksi tidak jelas, dapat diisolasi flora dan kuman anaerob saluran
napas atas.
Patofisiologi1
Mekanisme kuman masuk ke otak melalui beberapa cara:
Perluasan langsung dari kontak fokus infeksi (25-50%) berasal dari sinus, gigi,
telinga tengah atau mastoid. Akses menuju vena drainase otak melalui vena
emissary berkatup yang menjadi drain regio ini.
Hematogen (30%) berasal dari fokus infeksi jauh seperti endocarditis bacterial,
infeksi primer paru dan pleura. Sering menghasilkan multiple abses serebri
Setelah trauma kepala maupun tindakan bedah saraf yang mengenai dura dan
leptomeningen
Kriptogenik (hingga 30%): tidak ditemukan jelas sumber infeksinya.
41
Setelah kuman masuk ke otak maka selanjutnya akan terjadi proses evolusi pembentukan
abses melalui 4 tahap yaitu:
Serebritis awal (Hari 1-3): terjadi infeksi serebri, dan terisi sel-sel radang, dan
edema substansia alba, batas belum jelas
Serebritis lanjut (Hari 4-9): Jaringan pusat nekrotik, fibroblast, neovaskuler tepi
daerah nekrotik.
Pembentukan kapsul awal (Hari 10-13): Resolusi daerah serebritis, peningkatan
makrofag dan fibroblas, pembentukan kapsul dan edema
Pembentukan kapsul akhir (>14 hari): Kapsul matang mengelilingi daerah
inflamasi berisi debris dan sel PMN, edema serebri semakin luas.1
Gejala Klinis1
Manifestasi klinis abses serebri dapat terbagi dalam 3 kelompok:
1. Sistemik: demam subfebril, kurang dari 50% kasus
2. Serebral umum: sering dikaitkan dengan peningkatan TIK, yaitu nyeri kepala
progresif (>50%), mual muntah, penurunan kesadaran dan papil edema
3. Serebral fokal: kejang, sering secara general (40%), perubahan status mental
(>50%) dan defisit neurologis fokal motoric, sensorik dan nervus kranialis (50%).
Pemeriksaan Penunjang1
1. Laboratorium:
leukositis dominan PMN, peningkatan LED.
Kultur darah hanya positif pada 30% kasus, kultur dari jaringan lain yang diduga
sebagai fokus.
Kultur dari hasil operasi abses menunjukan 40% negatif mungkin disebabkan
pemberian antibiotika sebelumnya.
Punksi lumbal tidak dianjurkan, hasil kurang spesifik, bahaya herniasi.
2. Imaging
CT scan (tanpa dan dengan kontras): pada fase serebritis dapat dijumpai lesi
densitas rendah batas ireguler, setelah pembentukan kapsul tebal akan didapati
“ring enhancement.”
MRI lebih sensitif terutama pada fase awal infeksi dan lesi di daerah fosa posterior.
42
3. Penunjang lain:
EEG: abnormalitas EEG di lokasi lesi berupa gelombang lambat kontinu.
Penatalaksanaan1
Penanganan abses serebri harus dilakukan segera, meliputi penggunaan antibiotika yang
sesuai, tindakan bedah (drainase / eksisi) atau edema serebri dan pengobatan infeksi primer lokal.
Nama obat Dosis
Ceftriaxone 1-2 x 2 gr, IV (max 4 gr) Sefalosporin gen III, aktif
gram (-), kurang aktif gram
(+)
Cefotaxim 3-4 x 2 gr Idem cefotaxime
Metronidazole 4 x 500mg Bakteri anaerob & protozoa
Penicilin G 4 x 6 juta U Anaerob & streptococcus
Vancomycin 2 x 1 gr MRSA, gram (+), septikemi
Tabel 5. Jenis dan dosis antibiotik yang lazim diberikan pada abses serebri1
Tindakan bedah drainase atau eksisi pada abses serebri diindikasikan untuk:
Lesi dengan diameter >2,5cm
Terdapat efek massa yang signifikan
Lesi dekat dengan ventrikel
Kondisi neurologis yang memburuk
Setelah terapi 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak
mengecil
BAB III
43
PEMBAHASAN KASUS
Pasien Ny.A usia 49 tahun ke poli bagian saraf dengan keluhan sakit kepala sejak 2
bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti berdenyut terutama dibelakang kepala. Nyeri
terasa terus-menerus. Keluhan dirasakan sepanjang hari, nyeri dirasakan tiba-tiba tanpa
pencetus. Durasi nyeri bisa sampai 7 hari. pasien ada riwayat batuk berdarah, berkeringat
malam hari dan demam. Keluhan yang dialami pasien merupakan beberapa kriteria penting
pada penegakan diagnosis meningitis tuberkulosis, yaitu didapatkannya sakit kepala,
riwayat demam, malaise, batuk lama, yang dimana ini sebagai faktor risiko terjadi infeksi,
karena itu dari anamnesis dapat dicurigai, pasien menderita meningitis TB.
Kesadaran pasien Compos Mentis dan tanda-tanda vital semuanya dalam batas
normal. Pada pemeriksaan tanda rangsang meningeal tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada pemeriksaan motorik, tidak ditemukan adanya parese atau kelainan lain dan memiliki
kekuatan yang sama. Pada pemeriksaan refleks fisiologis ekstremitas atas dan ekstremitas
bawah, didapatkan reflex yang normal. Pada pemeriksaan refleks patologis ekstremitas
bawah tidak didapatkan adanya kelainan. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan Romberg
Sign (-), Romberg Sign dipertajam (-), Dix Hallpike(-) dan didapatkan Nistagmus (-/-),
Laten (-/-), Fatigue (-) Perjalanan penyakit dari meningitis TB ini juga memperlihatkan
bahwa pasien ini memiliki perjalanan penyakit meningitis TB stadium 1, yang ditandai
dengan pasien sadar penuh, GCS 15 dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda defisit
neurologis.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini yaitu pemeriksaan
H2TL, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan (LP) lumbal punksi. Dari pemeriksaan
laboratorium pasien dengan meningitis TB jarang yang khas. Dapat ditemui leukosit
meningkat, normal atau menurun. Seperti yang didapatkan pasien ini yaitu leukosit
meningkat. Secara garis besar pasien ini memiliki pemeriksaan darah yang normal. Dari
hasil lumbal punksi, ditemukan warna merah muda, keruh total protein 42.0 mg/dL, jumlah
sel 43.0/uL, glukosa 70 mg/dL, PMN sel 49 % dan MN sel 51%. Hal ini sesuai dengan
kriteria pemeriksaan LCS pada meningitis tuberkulosis yaitu warna jernih atau
xantokhrom, penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein. Tindakan LP
terkadang memiliki risiko kematian akibat herniasi otak setelah dilakukannya LP dan hal
44
ini sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan CT-Scan. Namun pada
pasien ini tidak dilakukan CT-Scan untuk meninjau adanya komplikasi akibat lumbal
punksi, ditinjau dari tidak adanya keadaan-keadaan seperti papil edema (tidak terjadi
penurunan fungsi penglihatan), penurunan kesadaran, defisit neurologi fokal termasuk
adanya kejang, dan kecurigaan adanya lesi yang mendesak ruang intrakranial.
45
keluhan yang dirasakan sebelum masuk ke rumah sakit. Penegakan diagnosa dari pasien ini
didapatkan melalui skor thwaites sebagai skor meningitis TB dan berdasarkan hasil dari
lumbal punksi.
Prognosis pasien untuk ad vitam dan ad functionam adalah ad bonam, yang dinilai
dari grade meningitis tuberkulosisnya yaitu grade I, dan dari pasien ini didapatkan
kesadaran CM, GCS 15 dan tidak didapatkan tanda-tanda defisit neurologis, pasien juga
masih dapat duduk dan berjalan sebagaimana biasanya dan ad sanationam adalah ad
bonam, tergantung dari kepatuhandan keteraturan pasien mengonsumsi OAT sampai tuntas.
46
Daftar Pustaka
1. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Surabaya : Pusata
penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga, 2011.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi duus. Anatomi, fisiologi, tanda,
gejala. Edisi ke-5. Jakarta:EGC;2016.h.324-31.
3. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS. Jakarta: Penerbit EGC;
2010. Hal 358-62
4. Japardi I. Cairan Serebrospinal. FK USU. USU Repository. 2002. Di unduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi5.pdf). Diakses pada 2
Juli 2018.
5. Satyanegara. Hasan RY. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. Edisi IV. 2010.
6. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan tatalaksana meningitis
bakterialis. CDK-224 2015;42(1):15-9.
7. Wan, Cordia. Viral meningitis. Cited at:
https://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview#a2 Pada tanggal 2 Juli
2018
8. Fluoroquinolone untuk meningitis tuberkulosa. CDK-191 2012;39(3):205. Diunduh
dari : http://www.kalbemed.com/Portals/6/15_191Berita%20Terkini-Fluoroquinolone
%20untuk%20Meningitis%20Tuberkulosa.pdf pada tanggal 2 Juli 2018.
9. Pemula G, Azhary R, Apriliana E, Mahdi PD. Penatalaksanaan yang tepat pada
meningitis tuberkulosis. J Medula Unila 2016;6(1):50-5.
10. Handout Workshop Neuro-Infeksi 1. Persatuan Dokter Spesialis Saraf. Jakarta: 11
Februari 2011.
11. Munir B. Neurologi dasar. Jakarta: Sagung Seto;2015.h.188-202.
12. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan penduan praktik klinis neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf;2016.h.204-26.
13. Rani P. CNS cryptococcosis in HIV. Cited at:
https://emedicine.medscape.com/article/1167389-overview. diakses pada tanggal 2
Juli 2018
14. Ensefalitis Virus dalam Standar pelayanan medik. PERDOSSI.
15. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana D. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta:EGC;2009.h.37-54.
16. Widodo S, Samodra E, Christanto A, Zulaika P, Acala V. Karakteristik abses otak
otogenik. CDK 185 2011;38(4):267-9
47
48