Anda di halaman 1dari 30

Nilai:

Tanda tangan:

LAPORAN KASUS
Appendisitis Akut

Pembimbing:
dr. Aplin Ismunanto, Sp.B
Disusun Oleh:
Diravita Caroline (11.2016.363)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 6 November 2017 s/d 13 Januari 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA
2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
KRIDA WACANA
LEMBAR PENILAIAN

Nama Diravita Caroline


NIM 11 2016 363
Tanggal 27 Desember 2017
Judul kasus Appendisitis Akut
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Kemampuan Analisis
Penguasaan Teori
Bentuk Case Tertulis
Cara Penyajian
Referensi
Total
Nilai %= (Total/25)x100%
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)

Komentar penilai

Nama Penilai Paraf/Stempel


dr. Aplin Ismunanto, Sp.B
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul :


Appendisitis Akut

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 6 November 2017 – 13 Januari 2018

Disusun oleh:
Diravita Caroline 112016363

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Aplin Ismunanto, Sp.B

selaku dokter pembimbing Departemen Bedah Umum RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, 27 Desember 2017

..................................
dr. Aplin Ismunanto, Sp.B
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus: Kamis, 21 Desember 2017
RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA

Nama : Diravita Caroline


NIM : 11.2016.363
Periode : 6 November 2017 – 13 Januari 2018
Dr. Pembimbing : dr. Aplin, Sp.B

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. HJ
Usia : 14 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Alamat : Kramatjati, Jakarta Timur

ANAMNESIS
Diambil secara : Autoanamnesis Tanggal : 27 November 2017 Jam : 15.00
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang wanita usia 14 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak 3 hari SMRS. Nyeri yang dirasakan tidak dapat ditahan. Awalnya nyeri perut yang

3
dirasakan bermula di ulu hati yang kemudian menjalar ke bagian perut kanan bawah.
Nyeri perut yang dirasakan disertai dengan mual namun tidak ada muntahan yang
keluar. Os mengatakan nyeri nya hilang timbul dan membaik saat ada perubahan posisi
yaitu dengan cara duduk.
3 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri pada perut area tengah . Nyeri terasa samar
dan dirasakan tidak terlalu hebat dan tidak mengganggu aktivitas pasien. Pasien
mengira nyeri dikarenakan telat makan dan tidak mempedulikan nyeri tersebut. Pasien
dapat melakukan aktivitas dengan baik. Os tidak mengonsumsi obat sebelumnya. BAB
dan BAK dalam batas normal.
Os mengatakan keluhan yang dirasakan sangat hebat dan juga mengeluhkan
kesulitan BAB sejak 2 hari SMRS sehingga datang ke poli bedah umum RSAU dr.
Esnawan Antariksa. Os mengaku nafsu makannya menurun dikarenakan mual yang
dirasakan. Os juga mengatakan adanya demam tinggi. Os menyangkal adanya keringat
dingin dan menggigil. Os merasa nyeri pada setiap sendi pada tubuhnya. Os
mengatakan kebiasaan pola makannya teratur, jarang mengkonsumsi sayur-sayuran,
dan sering mengkonsumsi makanan pedas. BAK normal, berwarna kuning jernih, tidak
ada darah, tidak terasa panas, tidak terasa nyeri, dan tidak berpasir. Riwayat menstruasi
teratur, tidak ada keluhan selama menstruasi, hari pertama haid terakhir 1 minggu
SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Keluhan yang sama sebelumnya (-)
 Trauma terdahulu : Tidak ada
 Operasi : Tidak pernah
 Sistem Saraf : Tidak ada
 Sistem Kardiovaskular : Tidak ada
 Sistem gastrointestinal : Maag (+)
 Sistem urinarius : Tidak ada
 Sistem genitalis : Tidak ada
 Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada
Riwayat Keluarga :
Pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang mengalami gejala yang serupa.
Tidak ada riwayat jantung, diabetes mellitus, hipertensi, tumor, alergi disangkal.

4
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis ( GCS 15 = E4V5M6)
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110 /70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37,8 oC
Berat badan : 58 kg
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungitva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen (+), sekret (-).
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)
Tenggorokan : T1/T1 tenang, faring tidak hiperemis.
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan tiroid
Thorax :
Inspeksi : Bentuk dada normal, kedua dada tampak simetris, tidak ada
bagian yang tertinggal baik pada keadaan statis maupun
dinamis, tipe pernapasa torakoabdominal, tidak ada retraksi
sela iga, ictus cordis tidak tampak, tidak terlihat adanya
benjolan, tidak terdapat lesi sikatrik pada payudara kanan,
retraksi putting susu, ataupun gambaran peau de orange.
Perkusi : Sonor
Palpasi : Simetris pada saat keadaan statis maupun dinamis, retraksi
sela iga (-), nyeri tekan (-), ictus cordis tidak teraba
Auskultasi : Suara napas vesikuler,ronki -/- wheezing -/-

Jantung
 Perkusi : Batas Atas : pada sela iga II garis parasternal kiri
Batas Kiri : pada sela iga V garis midklavikular kiri
Batas Kanan :pada sela iga IV, garis sternalis kanan
5
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (–)

Abdomen:
Inspeksi : Tampak datar, lesi kulit (-), sikatrik (-), bekas luka operasi (-),
caput medusa (-), pelebaran pembuluh darah kolateral (-), benjolan
(-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Palpasi :
Dinding perut : nyeri tekan Mc Burney (+), Rebound tenderness (+),
Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (+), obturator sign (+), massa
abdomen (-)
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Ginjal : Ballottement (-), bimanual (-)
Kandung empedu : Murphy sign (-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-/-)


Pemeriksaan Genitalia (tidak dilakukan)
Colok Dubur (atas Indikasi)

6
Ekstremitas
Ekstremitas Dextra Sinistra
Superior
Akral Hangat (+) Hangat (+)
Luka (-) (-)
Otot : tonus Normotonus Normotonus
Otot : massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas
Sensorik Normal Normal
Kekuatan 5555 5555
Edema (-) (-)
Deformitas (-) (-)
Inferior
Akral Hangat (+) Hangat (+)
Luka (-) (-)
Otot : tonus Normotonus Normotonus
Otot : massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas
Sensorik Normal Normal
Kekuatan 5555 5555
Edema - -
Deformitas - -

7
STATUS LOKALIS
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, lesi kulit (-), sikatrik (-), bekas luka operasi (-), caput
medusa (-), pelebaran pembuluh darah kolateral (-), benjolan (-)
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Palpasi :
Dinding perut : nyeri tekan Mc Burney (+), Rebound tenderness (+),
Rovsing sign (-), Blumberg sign (-), Psoas sign (+), obturator sign (+), massa
abdomen (-)
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Ginjal : Ballottement (-), bimanual (-)
Kandung empedu : Murphy sign (-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 November 2017
Hasil Interpretasi Satuan Nilai normal
Hemoglobin 11,6 Normal g/dL 11.7-15.5
Leukosit 13100 Meningkat 10^3/uL 3.6-11.0
Hematokrit 37,8 Normal % 36-46
Trombosit 296000 Normal 10^3/uL 150-400
Hemostasis
Pembekuan /CT 6.00 Normal Menit 2-6
Pendarahan /BT 2.00 Normal Menit 1-3

HbsAg Stick Negatif Negatif

Eosinofil Negatif % 1-4

8
PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIANJURKAN
1. Pemeriksaan Darah lengkap
2. Pemeriksaan urine
3. USG Abdomen

RESUME
Seorang wanita usia 14 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak 3 hari SMRS. Nyeri perut yang dirasakan bermula di ulu hati kemudian menjalar
ke bagian perut kanan bawah dan membaik dengan perubahan posisi duduk. Keluhan
lain demam (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun. BAB (-) 2 hari, BAK
normal (+), Tidak ada keluhan mengenai menstruasi nya. Kebiasaan pola makan teratur,
namun Os mengatakan jarang mengkonsumsi sayur dan sering mengkonsumsi makanan
pedas.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan Mc Burney (+), rebound and
tenderness (+), psoas sign (+), obturator sign (+). Pada hasil pemeriksaan lab didapatkan
leukosit meningkat.

DIAGNOSIS KERJA
Appendicitis Akut
Dasar diagnosis:
- Nyeri perut kanan bawah, demam (+)
- Mc Burney (+), Rebound and tenderness (+), Obturator sign (+)
- Alvarado score 8

DIAGNOSIS BANDING
1. Gastroenteritis
2. Diverticulitis
3. Pelvic inflammatory disease (PID)

9
PENATALAKSANAAN
o Medika mentosa
- Ceftriaxone 2x 1 gr (iv)
- Ketorolac 2 x 30 mg (iv)
- Asering 20 tpm
o Non-medika mentosa
- Mengkonsumsi makanan berserat tinggi dan sayur-sayuran
- Hindari makanan pencetus seperti makanan pedas dan lain-lain
o Rujuk spesialis bedah untuk dilakukan operasi

PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad functionam: ad bonam
Ad sanationam: ad bonam

10
BAB II
Tinjauan Pustaka

Definisi
Apendisitis akut adalah proses peradangan akut pada apendiks vermiformis.
Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi atau dengan
kata lain merupakan inflamasi pada lapisan dalam dari apendiks yang menyebar ke bagian
lainnya.1

Anatomi
Apendiks mulai terlihat di awal minggu ke 8 pertumbuhan embriologi, sebagai
sebuah protuberensia atau tonjolan dari bagian sekum terminal. Pertumbuhan sekum
mendorong apendiks sehingga masuk ke dalam katup ileokolika. Letak apendiks terhadap
sekum tidak pernah berubah yaitu di pangkal sekum, sedangkan ujungnya dapat ditemukan
di belakang sekum (retrocecal), panggul (pelvic), bawah sekum (subcecal), sebelum ileum
(preileal), atau samping kolon (right pericolic). Pertimbangan letak anatomi ini memiliki
kepentingan klinis dalam mendiagnosa apendisitis akut. Tiga taeniae coli yang berkumpul
di persimpangan sekum menjadi sebuah tanda yang berguna untuk mengidentifikasi
apendiks. Apendiks memiliki panjang kira-kira 6 - 9 cm, namun dapat bervariasi antara <1
dan >30 cm.2
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Perdarahannya berasal dari arteri apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, apendiks akan mengalami
gangren.3

11
Gambar 1. Anatomi Apendiks

Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial
tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik yang
secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A.2
Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya penyakit pada
manusia, telah dilaporkan adanya hubungan antara apendektomi dan timbulnya kolitis
ulseratif dan Chron’s disease, hal ini menunjukkan fungsi protektif dari apendiks.2
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran ini di
muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.3

Epidemiologi
Resiko untuk terkena apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% untuk
perempuan dengan insiden tertinggi pada umur dekade kedua dan ketiga. Apendisitis
muncul pada 7% populasi di Amerika Serikat, dengan insidensi dari 1,1 kasus per 1000
orang per tahunnya. Pada negara Afrika dan Asia, insidensi dari apendisitis akut

12
kemungkinan lebih rendah karena kebiasaan diet dari populasi tersebut. WHO
menyebutkan insidensi apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan
2,6% penduduk dari total populasi. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan
duodenitis, dan penyakit sistem cerna lainnya dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak
28.040. Insiden apendisitis lebih rendah pada budaya orang-orang dengan intake serat yang
tinggi. Serat makanan dapat mengurangi viskositas feses, mengurangi waktu transit di
usus, dan memecah formasi fekalit, yang dapat menjadi predisposisi obstruksi lumen
apendiks pada individu.3

Etiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berperan dalam
etiologi terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks. Percobaan pada
binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks
dapat menyebabkan apendisitis. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60-
70 % kasus. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa,
35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.4
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasit seperti Entamoeba
histolityca, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan erosi
membrane mukosa apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba histolityca
berkembang di kripte glandula intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa, parasit ini
memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sabagai pencetus
terjadinya ulkus.3 Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Beberapa
keadaan yang mengikuti setelah terjadinya obstruksi adalah akumulasi dan peningkatan
tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks, obstruksi vena dan arteri,
yang akhirnya menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan invasi bakteri.4
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix
oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu:

13
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

Patofisiologi
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina
serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12-24 jam pertama. Obstruksi pada bagian
yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga
mucus yang terbentuk secara terus-menerus akan terakumulasi. Kapasitas normal lumen
apendiks hanya 0,1 ml. Sekresi cairan yang melebihi 0,5 ml akan meningkatkan tekanan
intraluminal sebesar 60 cmH2O.1,3
Peningkatan tekanan intraluminer dan edem akibat gangguan sirkulasi limfe akan
memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen
apendiks. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen
menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks. Obstruksi yang
berkelanjutan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan
mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan
iskemi jaringan dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding
apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akut supuratif.1,3

14
Manifestasi Klinis
A. Gejala
Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus yang
nantinya setelah 4 sampai 6 jam terlokalisasi pada kuadran kanan bawah. Variasi lokasi
anatomis dari apendiks dapat berperan dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase
nyeri somatis.2
Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti mual
dan anoreksia. Banyak pasien mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul
dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi
terutama pada anak-anak.2

B. Tanda
Awalnya, tanda vital mulai berubah. Suhu tubuh dan nadi dapat normal atau sedikit
meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan terjadinya komplikasi atau
diagnosa lain perlu dipertimbangkan.2 Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam
0 0
ringan (37,5 -38,5 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi perforasi.
Anak dengan appendisitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau
kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang1.
Anak dengan appendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung
untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan 1. Anak yang
menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendisitis, kecuali pada anak dengan
appendisitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
Pasien apendisitis biasanya bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring
telentang karena iritasi peritoneum. Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan
maksimal pada atau sekitar titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya
resisten muskular (guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi
sinistra. Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien
merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri
tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran
kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi

15
peritoneum.2

Pemeriksaan Fisik

Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada perbedaan dari
pemeriksaan fisik. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada abdomen bisa menjadi
kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat apendiks tergantung
di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak ditemukan, dan diagnosa
apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan dikatakan dapat membantu dalam
situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah. Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas
sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas
(menunjukkan apendiks retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi
internal dari paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot
(menunjukkan apendiks pelvis).2
Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
Rovsing’s sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering
positif tapi tidak spesifik.

Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas

16
kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.

Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan


endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing
tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.

Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver
ini.

17
Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri
di RLQ)

Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.


Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk.

Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix
dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang
akut.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1

18
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.

C. Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat dengan
keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah bagian penting dari
diagnosa. Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-
18.000/mm. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah
normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal
jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat
terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.3
Leukositosis ringan sering timbul pada pasien dengan apendisitis akut tanpa
komplikasi dan biasanya dibarengi dengan polymorphonuclear prominence. Jarang
ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi
level ini meningkatkan kemungkinan dari apendiks yang perforasi dengan atau tanpa
abses.

D. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith di dalam sekum,
berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang membantu mendiagnosa apendisitis akut,
namun dapat berguna dalam menyingkirkan patologi lain. Radiografi thoraks dapat

19
membantu menyingkirkan nyeri alih dari lobus kanan bawah paru. Jika apendiks terisi
barium enema, kecil kemungkinan terjadi apendisitis, namun pemeriksaan ini tidak
diindikasikan pada keadaan akut.2
Ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) Scan adalah pencitraan
yang paling sering digunakan pada pasien dengan nyeri abdomen, terutama pada evaluasi
kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah dilakukan untuk membandingkan
kedua modalitas. Rata-rata, CT-Scan lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan USG
dalam mendiagnosa apendisitis.
Pada USG, apendiks diidentifikasi sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal
dari sekum. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal kemungkinan
besar menyarankan apendisitis. Apendiks yang mudah dikompresi berdiameter <5 mm
menyingkirkan diagnosa apendisitis. Struktur lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi
target) dapat menjadi gambaran terjadinya apendisitis. USG memiliki limitasi, terutama
pada hasil yang operator-dependent.2 False positif dapat muncul dikarenakan infeksi
sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False
negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang
terisi banyak udara yang menghalangi appendix.
Dengan CT-Scan resolusi tinggi, apendiks yang meradang tampak terdilatasi (>5
mm) dan dindingnya menebal. Sering ditemukan tanda-tanda inflamasi, yaitu
periappendicial fat stranding, penebalan mesoapendiks, periappendiceal phlegmon, dan
cairan bebas. Fecaliths sering terlihat, namun keberadaannya bukan patognomonik
apendisitis.2 Diagnosis appendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih
dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil
sehingga memberi gambaran “halo”.

Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor: lokasi


anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa atau dengan
komplikasi), usia, dan jenis kelamin pasien.2

A. Pasien Pediatri
Adenitis mesenterik akut adalah penyakit yang sering disalah artikan sebagai
apendisitis akut pada anak-anak. Hampir setiap kali, terdapat infeksi saluran nafas atas
atau belum lama mereda. Nyeri biasanya tersebar dan nyeri tekan tidak tepat terlokalisir
seperti pada apendisitis. Terkadang ditemukan voluntary guarding, tetapi jarang ditemukan
20
true rigidiy. Limfadenopati umum dapat ditemukan. Pemeriksaan labotarium hanya sedikit
membantu penegakan diagnosa yang tepat, walaupun limfositosis relatif menyarankan
terjadinya adenitis mesenterik. Observasi selama beberapa jam dapat dilakukan bila
diagnosis dicurigai adenitis mesenterik dicurigai, karena merupakan penyakit self-limited.

B. Pasien Geriatri
Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada pada
abdomen kanan bawah) perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan apendisitis. Hal ini
perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih tua. CT-Scan sering kali
bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada pasien yang lebih tua dengan nyeri perut
kanan bawah dan presentasi klinis atipikal. Pada pasien yang ditatalaksana secara
konservatif, dianjurkan melakukan pemantauan berkala kolon (kolonoskopi atau barium
enema).2

C. Pasien Perempuan
Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalah artikan sebagai
apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur folikel graaf, kista atau
tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan kehamilan ektopik terganggu (KET). Alhasil,
peluang salah diagnosa tetap lebih tinggi pada perempuan.2
Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan maka dapat
menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada pasien apendisitis tetapi hanya
sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan biasanya lebih rendah dan terdapat nyeri
goyang serviks. Diplokokus intraselular dapat tampak pada apusan sekret purulen vagina.2
Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan folikuler
yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan ringan. Jika jumlah
cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan, maka dapat menstimulasi apendisitis.
Nyeri dan nyeri tekan biasanya menyebar, dan leukositosis dan demam biasa ringan atau
tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada titik tengah siklus menstruasi, sering dinamakan
mittelschmerz.2
Kista serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika
kista sisi kanan mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya serupa dengan apendisitis.
Pasien mengalami nyeri perut kuadran kanan bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan
leukositosis. Baik USG transvaginal dan CT-Scan bisa membantu diagnosa.2
Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang terjadi komplit
21
atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba menjadi gangren dan
memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi kista dan fiksasi ovarium sebagai
intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi beberapa hari setelahnya, dapat dianjurkan
karena sering kali sulit untuk menentukan secara pre-operatif viabilitas ovarium.2
Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya pada bagian ampulla) dan
ovarium. Ruptur tuba kanan atau kehamilan ovarium dapat menyerupai apendisitis. Pasien
dapat memiliki riwayat menstruasi abnormal, baik melewatkan satu atau dua siklus atau
hanya sedikit perdarahan vaginal. Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya hamil.
Timbulnya nyeri kuadran kanan bawah atau nyeri pelvis bisa menjadi gejala pertama.
Diagnosa KET seharusnya relatif mudah. Adanya massa pelvis dan peningkatan kadar
human chorionic gonadotropin (HCG) merupakan karakteristiknya. Walaupun jumlah
leukosit sedikit meningkat, kadar hematokrit menurun sebagai akibat dari perdarahan intra-
abdomen. Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri goyang serviks dan nyeri tekan
adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat ditegakkan dengan culdocentesis. Adanya darah
dan khususnya jaringan desidua adalah patognomonik. Tatalaksana KET adalah operasi
darurat.2

D. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya hiperperistaltis.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.3

Tatalaksana
Medika Mentosa
Beberapa penelitian telah menunjukkan efektivitas pemberian antibiotik pre-
operatif dalam menurunkan resiko komplikasi apendisitis. Kebanyakan ahli bedah secara
rutin memberikan antibiotik kepada pasien yang diduga apendisitis. Pada kasus simple
acute appendicitis, tidak ada manfaat memberikan antibiotik terus menerus melebihi 24
jam. Jika terjadi perforasi atau apendisitis gangrenosa, antibiotik tetap diteruskan sampai
pasien afebril dan memiliki leukosit normal. Untuk infeksi intra abdominal dari saluran
cerna yang ringan sampai sedang Surgical Infection Society merekomendasikan terapi
tunggal dengan cefoxitin, cefotetan atau asam ticarcillin-clavulanic. Pada kasus infeksi
berat, dipakai kombinasi antara single agent therapy dengan carbapenems atau

22
cephalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah antibiotik
anaerob seperti metronidazole.1

Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi.3 Sebagai penanganan preoperasi, resusitasi cairan
perlu dilakukan dan antibiotik untuk bakteri aerob dan anaerob (ceftriakson single dose 1
gr, IV ½- 2 jam sebelum operasi). Pilihan operasi apendektomi yang dapat dilakukan
adalah laparoskopi dan open appendectomy (laparotomy). Banyak ahli bedah melalukan
insisi pada Mc Burney (oblique) atau Rocky-Davis (transverse) pada kuadran kanan
bawah. Jika diduga suatu abses, insisi lateral dilakukan untuk drainase intraperitoneal dan
menghindari kontaminasi umum dengan peritoneum. Jika diagnosis meragukan, insisi
garis tengah bawah direkomendasikan untuk memeriksa lebih lanjut kavum peritoneum.
Beberapa teknik dapat digunakan untuk melokalisasi apendiks. Umumnya sekum langsung
terlihat pada insisi, penelusuran taenia akan menunjukkan dasar dari apendiks. Setelah
identifikasi, apendiks dimobilisasi dengan memisahkan mesoapendiks dan meligasi a.
apendikularis. Appendical stump diligasi dengan ligase simple atau dengan ligase dan
inversi oleh purse-string atau Z stich. Kavum peritoneum di-irigasi dan sayatan kemudian
ditutup lapis demi lapis.1
Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.
Penggunaan ligasi ganda setelah appendektomi terbuka dilakukan dengan jahitan yang
mudah diserap tubuh. Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan
teknik laparoskopi, apendektomi laparoskopi menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat
dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah akan tetapi terdapat peningkatan
kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan
untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita.
Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi meningkatkan kemampuan dokter bedah
untuk operasi.6

23
Tabel 3. Macam-macam Insisi untuk apendektomi

Insisi Grid Iron (McBurney Incision)6


Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis
insisi parallel dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu
1/3 lateral garis yang menghubungkan
spina liaka anterior superior kanan dan
umbilikus.

Lanz transverse incision7


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat,
insisi transversal pada garis miklavikula-
midinguinal. Mempunyai keuntungan
kosmetik yang lebih baik dari pada insisi
grid iron.

Rutherford Morisson’s incision (insisi


suprainguinal)7
Merupakan insisi perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan jika apendiks
terletak di parasekal atau retrosekal dan
terfiksir.

Low Midline Incision7


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi
perforasi dan terjadi peritonitis umum.

24
Insisi paramedian kanan bawah7
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5
cm di bawah umbilikus sampai di atas
pubis.

Penanganan post operatif dan komplikasi


Pada pasien apendisitis non-perforata, cukup dengan antibiotik single preoperative
dose. Pasien apendisitis dengan perforasi atau gangren, diberikan antibiotik postoperative
IV sampai pasien afebril dapat diberikan juga analgesik, seperti Pethidine 25 mg iv bolus,
atau Ketorolak 30 mg dosis tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan, yaitu ceftriaxone 2x
1 gr IV. Perhatikan juga balans cairan, bising usus, mobilisasi pasien. Pada apendektomi
unkomplikata, tingkat komplikasi adalah rendah dan beberapa pasien dapat dengan capat
memulai diet dan di rawat jalan pada hari yang sama atau keesokan harinya. Apendektomi
komplikata, komplikasi yang dapat terjadi adalah lebih tinggi. Pasien harus terus
melanjutkan terapi antibiotik spektrum luas selama 4 sampai 7 hari. Ileus postoperatif
dapat muncul, sehingga diet dapat dimulai berdasarkan evaluasi klinis. 2
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perforasi pada appendiks, perforasi ini akan
dibungkus omentum menjadi abcess (appendiculair abcess), abcess pecah akan
menyebabkan peritonitis berlanjut ke perlengketan usus dan ileus obstruksi sehingga dapat
berlanjut sepsis dan syok yang mengancam jiwa. Sedangkan komplikasi setelah operasi
adalah infeksi pada lokasi operasi dan stump appendicitis, (apendektomi yang tidak
komplit, menimbulkan gejala apendisitis berulang kurang lebih 9 tahun setelah operasi
pertama dilakukan).2

Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus
besar.
2. Appendicular abscess:

25
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang
meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan, iskemia, trauma atau
perforasi peritoneal diawali terkontaminasi material. Awalnya material masuk
ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis)
tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem
jaringan dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi
keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang
rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil
tetapi segera dikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di
dalam usus besar.

GEJALA DAN TANDA KOMPLIKASI:


•Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita
peritonitis umum.
•Demam
•Distensi abdomen
•Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung
pada perluasan iritasi peritonitis.
•Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang
jauh dari lokasi peritonitisnya.
•Nausea
•Vomiting
•Penurunan peristaltik.
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas apendisitis sangat kecil dengan diagnosis yang
26
akurat serta penatalaksanaan yang tepat. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 1 % dan
disebabkan oleh komplikasi apendisitis dari pada intervensi bedah. Pada pasien usia lanjut
angka ini meningkat di atas 5% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.
Kematian terjadi karena sepsis akibat peritonitis, abses intra abdomen, atau emboli paru.2

27
BAB III
Penutup

Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada organ apendiks vermicularis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis apendisitis. Aplikasinya
membuktikan keakuratan dalam diagnostik dan memudahkan penatalaksanaan pada
pasien. Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Townsend Jr. M. et al. Sabiston textbook of surgery: the biological basis of modern
surgical practice. 19th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.h.1287-99.
2. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York:
McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.
3. De Jong, Sjamsuhidijat. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2013.h.755-60.
4. Lawrence W. Current surgical: diagnosis and treatment, 12th ed. New York: Lange
Medical Book/McGraw-Hill; 2005.h.648-50
5. Meara JG, McClain CD, Mooney DP. Global surgery and anesthesia manual. USA:
CRC Press: Taylor & Francis Group; 2015.h.167-8.
6. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Skandalakis surgical anatomy.
USA: McGrawHill; 2004.
7. Patnalk VG, Singla RK, Bansal VK. Surgical incisions-their anatomical basis.
India: J Anat.Soc: 2001.h.170-178.

29

Anda mungkin juga menyukai