Anda di halaman 1dari 142

Kiblat Cinta

Kiblat Cinta
Kumpulan Sajak Suara Bunga Patani

Mahroso Doloh

CV E Sastra Management Enterpise

i
Mahroso Doloh

Diterbitkan dan diedarkan di Indonesia oleh:


E Sastra Management Enterprise (EsMe)
Jl. Bujana Tirta 2 No.5, RT 011/RW 006, Pisangan Timur,
Pulogadung, Jakarta Timur 13230
Phone: +6221.4721382 | Fax: +6221.4721382
www.esastraindo.com
facebook : EsMeIndo
esastraindo@gmail.com

Kiblat Cinta, antologi puisi Mahroso Doloh

Penulis :
Mahroso Doloh

Editor :
Yo Sugianto

Sampul:
Gie

Tata Letak Isi :


Setiyo Bardono

Cetakan I : November 2014


ISBN 978-602-71008-5-5
Dicetak di Indonesia

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG !

Dilarang keras menerjemahkan, menyalin, atau memperbanyak sebagian


atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta.

ii
Kiblat Cinta

Dari Penerbit

Puisi mampu menjadi medium dari pergulatan perjalanan


estetik penulisnya, termasuk pengalaman religiusitasnya.
Dalam puisi tercermin ekspresi diri sang penyair, pertarungan
yang telah dilakoninya, termasuk hubungan bathin dengan
Tuhan perasaan ketuhanan, kesadaran akan kebesaran Tuhan,
dan akan takdir.
Pengalaman religious itu mewarnai puisi-puisi Mahroso Doloh,
penyair dari Patani, Thailand Selatan yang terhimpun dalam
kumpulan puisi “Kiblat Cinta” ini. Bukunya yang pertama, dan
menjadi catatan penuh makna, karena untuk pertama kalinya
penulis Patani meluncurkan kumpulan puisinya di Indonesia.
Dalam “Kiblat Cinta” ini terasa kental warna budaya Melayu
(baca : bahasa) yang tak terelakkan, namun berpadu dengan
bahasa Indonesia, terasa enak untuk dicerna. Ia tak hanya
bersajak tentang perasaannya, atau Patani, tapi juga Indonesia
yang dikenalnya dalam sentuhan keseharian. Selain, tentunya
lantunan perjalanan religiusitasnya yang membuat puisi-puisi
di dalamnya menjadi renungan tersendiri.
Melalui karya pertamanya yang diterbitkan atas prakarsa
eSastera Malaysia ini, Mahroso Doloh memberi warna
tersendiri bagi khasanah kesusastraan Indonesia. Tak hanya
karena ia berasal dari Patani, tapi juga keakraban sehari-hari
pada budaya lokal di Jawa Tengah, terutama Banyumas dan
Purwokerto.
Penerbitan karya penyair Patani ini, setelah diawali dengan
peluncuran kumpulan puisi dari penulis Malaysia (Nimoiz T.Y
dan Irwan Abu Bakar), semoga menjadi pintu bagi saudara
serumpun Melayu lainnya untuk memperkenalkan guratannya
kepada masyarakat Indonesia.
Salam sastra,
EsMe

iii
Mahroso Doloh

Daftar Isi

Dari Penerbit iii


Kupasan Cinta ix
Nilai-Nilai Insani xii
Berkiblat Pada Cinta xiv

1. Lorong-lorong Cinta xx

Kiblat Cinta 1
Cinta di Atas Cinta 2
Benang Putih 3
Biji-biji Rindu 4
Selimut Tahajud 5
Hanya Dia 6
Surga Sebelum Surga 7
Sajak di Rahim Subuh 8
Kutuliskan Cinta 9
Kopi Rindu 10
Kutbah Hujan 11
Deraian Kata 12
Mencari Maksud 13
Setangkai Duri Cinta 14
Antara 15
Perbedaan Cinta 16
Tetesan Manis 17
Suara 18
Bunga dalam Hujan 19
Mencari Kata-kata 20
Mahligai Cinta 21
Melati 22
Pagi yang Kemarau 23
Gelap Dalam Cahaya 24
Dialog Melati 25

iv
Kiblat Cinta

Kehabisan Kata-kata 26
Anak Malaikat 27
Tersungi Dalam Rindu 28
Puncak Rindu 29
Aroma Dalam Sujud 30
Tanaman Kalbu 31
Mentari Senja 32
Kabut yang Bertahyat 33
Buah Bermusim Gerimis 34
Bidadari Sampingku 35
Sayap Merpati 36
Sepasang Merpati 37
Tetesan Surga Hamba Hyang 38
Cinta di Pohon Kuldi 39
Ketika Itu 40
Jam Dua Belas Malam 41
Setangkai Tasbih 42
Kenangan Dalam Gerimis 43
Kesucian Bunga 44
Malam Pertama 45
Lamuanan Cahaya 46
Sholawat Cinta 47
Cemburu dengan Senyummu 48
Wajah Jelita 49
Jelita Duri Manis 50

2. Untukmu Patani 51

Wasiat Bumi Patani 52


Kiai Menjelang Malam 53
Tangis Dalam Rindu 54
Di Bawah Air Mata Bumi Patani 55
Suara Patani 57
Takkan Surut 59
Belalai Gajah 60

v
Mahroso Doloh

Tangisan Mencari Bahasa 61


Semarak Darah 64
Hilal di Padang Pasir 63
Ketika Itu 64

3. Untuk Pohon Cinta 65


Dalam Tenda Cinta 66
Akar 67
Tafsir Cinta 68
Telor Goreng 69
Pohon Tua Itu 70
Bidadari Tercinta 71
Jembatan Bidadari 72

4. Catatan Indonesia 73

Saat Langit Bersalam pada Bumi 74


Rapi dan Api 75
Semarak Tikus 76
Ku singgah Negeri Indah 77
Dakwah Seorang Rakyat 79
Mata Langit Diruncing 80
Lilin Jepara 81
Melukis Cahaya 82
Kau 83
Kartini 84
Warisan si Salam Kartini 85
Kepayang Kursi (1) 86
Kepayang Kursi (2) 87
Kepayang Kursi (3) 88
Kepayang Kursi (4) 89
Ucapan Selamat 90
Keunikan Senyum 91

vi
Kiblat Cinta

Bait Puisi Para Pejabat 92


Doa Sebelum ke Makam 93
Ulang Tahun Sepuluh April 94
Risalah Rakyat 95
Kepada Siapa Aku Bertanya 96
Bunga-bunga Rakyat 97
Suara di Kaki Bumi 98
Kabut di Kampus Biru 99
Smokol 100
Merah Putih Mengecewa 101
Raja Pemilu 102
Banyumas Seindah Negerimu 103
Nafas 104
Sajak Seorang Merantau 105
Setangkai Gelombang Karyamin 106

Mengkiblatkan Cinta Kepada Cahaya 107


Endorsment 114

vii
Mahroso Doloh

Buku ini;
Akan kupersembahkan pada kedua orang yang mulia
Ayah dan Ibu yang telah mengasuhku dengan penuh cinta luhur
sejak dari buaian sampai sekarang.
Kedua orang itulah yang menjadi sebuah payung melindungi kami
dari hujan, panas dan sebagainya.
Dengan berkah doanya sehingga anaknya
dapat mengenal bangku kuliah mengenal dunia yang lebih luas,
walaupun keduanya tak pernah merasakan.
Semoga buku ini dapat menjadikan penyejuk jiwamu
wahai Ayah dan Ibuku tercinta.

Untuk saudara sekandungku


yang selalu menjadi motivasiku dalam meraihkan
ilmu Allah yang tak terhingga.
Dengan senyum, tawa, dan tangis kita berempat selalu
mengindahkan hidup ini.

viii
Kiblat Cinta

Kupasan Hati

Terbitnya “Kiblat Cinta” sungguh menjadi suatu hal yang sangat


istimewa bagi saya. Allhamdulilah jutaan puji syukur hamba
pada-Nya, karena buku ini takkan hadir tanpa kuasa-Nya.
“Kiblat Cinta” merupakan karya pertama kumpulan sajak
tunggal, dan buku ketiga setelah Cakap Berbahasa Indonesia-
Thailand (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) dan Buku Lentera
Sastra II Antalogi Puisi Lima Negara (Baten, 2014). Terbitnya
sepilihan puisi ini sesuatu yang luar biasa. Saya teringat, saat
duduk di bangku SMP dan SMA dapat dikatakan sulit untuk
mencerna dengan baik pelajaran bahasa (membahas Rumi,
Bahasa Indonesia). Tapi, dalam kesulitan itu masih ada rasa
cinta terhadap bahasa sehingga saya memilih untuk hijrah ke
Indonesia, untuk mendalami ilmu bahasa (bahasa serumpun
Melayu). Teringat pula, saat pertama menulis sajak sebagai
tugas mata kuliah Kajian Puisi dengan dosen Abdul Wachid
B.S. dan semua tulisan itu dicoret. Saat itu beliau mengatakan
ini bukan puisi atau sajak, serta dengan penjelasan yang
panjang lebar. Baru di semeter dua saya mengenal puisi atau
sajak, yang terus saya pelajari hingga kini.
Abdul Wachid B.S. menularkan ilmu sajak itu. Hampir setiap
minggu, malam Selasa dan Rabu, saya membiasakan diri untuk
berdiskusi dengan beliau di kontrakannya. Dalam proses
beberapa tahun kemudian, dengan semangat yang membara
serta hidup dengan warna cinta yang keruh maupun jernih,
melingkupi hidup ini dan beribu ujian yang dihadapi, hadirlah
“Kiblat Cinta”.
Istimewanya buku ini bukan dalam arti hebat, tapi karena
bagi saya “Kiblat Cinta” ini dapat menjadi suatu hadiah, untuk
menghapuskan air mata, keringat dan penyejuk jiwa bagi
kedua orang, yang penulis senantiasa memanggilnya “Ayah

ix
Mahroso Doloh

dan Wae1”, yakni kedua orangtua (Kosim dan Zainab) yang


sangat menyayangi anak-anaknya. Tidak salah jika penulis
mengatakan tanpa mereka “Kiblat Cinta” tak akan hadir.
Dalam ruang yang tak luas ini, saya ingin menyampaikan
ucapan terima kasih bagi semua yang telah mempertegas
jalan dalam dunia sastra ini. Mereka yang percaya bahwa
saya bisa meniti jembatan itu, meski masih tertatih. Untuk
tiga saudara sekandung; Rosidah, Bukhori, dan Nurmayuti,
yang mengindahkan hidup saya. Tak terasa, air mata mengalir
setelah menyebut nama-nama itu, tidak tahu kenapa. Mereka
sudah menaburkan ribuan tetesan kasih sayang yang tak akan
hilang dalam jiwa ini.
“Kiblat Cinta” yang sedang dibaca ini tak akan hadir juga jika
tanpa orang-orang yang memberi semangat dan menguatkan,
diantaranya pak Abdul Wachid B.S. (penyair sekaligus guru
favorit saya), pak Heru Kurniawan (dosen, sekaligus teman
dan saudara saya), pak Eko Sri Israhayu (dosen), pak Teguh
Trianton (dosen), dan semua dosen di Prodi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Selain itu, ada Arif Hidayat, mbakYanwi Mudrikah, Titi
Anisatul Laely, Dimas Indianto S., Irfan M. Nugroho, Usman
Tanjung, Wanto Tirta, Mulasih Tary, Endah Kusumaningrum,
Otih Nurhayati, bapak Ibu serta adik-adikku di Rumah Kreatif
Wadas Kelir, dan teman-teman lainnya.
Tak lega rasanya jika belum menghaturkan terima kasih buat
Ibu Santhy Hawanti, pak Regawa Bayu Pamungkas, bu Laily
Nurliana, teman-teman KUI yang senantiasa membantu
dalam urusan imigrasi maupun hal yang lain selama berada
di Indonesia. Tak kecuali juga keluarga angkat di Indonesia;
bu Nani, pak Ruat, Dani dan Dendi serta teman-teman asal
Patani Thailand Selatan yang kuliah di UMP.

1
“Wae” adalah ganti nama untuk memmanggil pada seorang ibu yang
sering digunakan oleh beberapa masyarakat di Patani

x
Kiblat Cinta

Melalui “Kiblat Cinta” saya mencoba untuk menuangkan rasa


cinta yang dianugrahkan oleh Yang Mahacinta pada hamba-
Nya kedalam sajak-sajaknya. Kata “cinta” pada umumnya
banyak di kalangan remaja maupun dewasa yang menganggap
atau menjadikan cinta itu hanya untuk memuaskan hawa nafsu
saja, sedangkan cinta yang sebenarnya itu adalah cinta yang
melibatkan Yang Mahacinta pada cinta itu.

Mahroso Doloh
Pemilik “Kiblat Cinta”

xi
Mahroso Doloh

Nilai-Nilai Insani

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, kita panjatkan puji syukur ke


hadirat Allah SWT atas rahmat yang telah dilimpahkan kepada
kita. Kesejahteraan semoga Allah SWT curahkan kepada
junjungan kita manusia pilihan Rasulullah SAW, juga keluarga,
para sahabat, dan kita sebagai umatnya.
Saya menyambut dengan baik atas terbitnya buku kumpulan
sajak Kiblat Cinta yang ditulis oleh Mahroso Doloh, mahasiswa
asal Patani, Thailand Selatan yang sedang melanjutkan studi
di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Saya sangat senang dan bangga
dengan seorang mahasiswa asing dari Patani, Thailand Selatan
yang ada di Universitas Muhammadiyah Purwokerto aktif
di bidang kepenulisan, sehingga ia dapat menerbitkan buku
ketiganya yang merupakan kumpulan sajak dengan judul
Kiblat Cinta.
Kumpulan sajak Kiblat Cinta karya Mahroso Doloh, merupakan
kumpulan sajak yang tidak hanya mengandung nilai-nilai
romantisme atau hiburan saja, tapi juga mengandung nilai-
nilai insani sebagai makhluk profetik. Bagaimana terlihat pada
sajak-sajaknya yang berusaha mengarahkan pembaca untuk
melibatkanYang Maha Cinta pada semua yang kita cintai. Baik
cinta terhadap sesama manusia, cinta terhadap kedua orang
tua, cinta terhadap bangsa, dan cinta kepada seluruh makhluk
Allah SWT.

xii
Kiblat Cinta

Harapan saya semoga kumpulan sajak Kiblat Cinta dapat


mengarahkan semua pembaca untuk menempatkan sebuah
cinta yang dianugerahkan oleh Allah SWT sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Islam. Selain itu,juga dapat memotivasi
mahasiswa saya agar aktif di bidang kepenulisan yang banyak
manfaatnya.

Dr. H. Syamsuhadi Irsyad, M.H.


Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto

xiii
Mahroso Doloh

Berkiblat Pada Cinta


Oleh Teguh Trianton
Kejahatan terkejam yang ada pada diri manusia adalah cinta,
lantaran kau, aku dan waktu pernah dibuat menangis karenanya,
tapi aku justru hanya dapat hidup dengan dilukai,
dan lukaku adalah kau.

Seperti puisi, cinta adalah seni. Cinta merupakan hakekat


yang paling inti dari hidup dan kehidupan. Tanpa cinta,
maka manusia tak lagi lengkap syaratnya untuk menduduki
kapasistas kemanusiaan. Cinta adalah api dan air sekaligus.
Cinta menjadi nyala, penerang dalam kegelapan, tapi ia juga
dapat berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan,
atau bahkan api yang menyala dan membakar. Tapi, dengan
cinta itu pula, nyala akan dapat dipadamkan, panas menjadi
dingin, keriuhan menjadi kedamaian, lantaran cinta juga air,
air kehidupan.
Hidup adalah seni, maka cinta adalah seni (Erich Fromm). Jika
untuk menulis puisi dibutuhkan dua laku; mengetahui dan
mempraktekan, maka untuk perkara cinta, juga dibutuhkan
laku; belajar mengetaui, merasakan dan melaksanakan cinta.
Belajar mengetahui cinta merupakan aktivitas intelektual,
belajar merasakan cinta merupakan aktivitas afektif yang
mengedepankan fungsi emosi, kesadaran diri dalam kontrol
pengetahuan. Sedangkan belajar melakukan cinta adalah
aktivitas mewujudkan cinta dalam tindakan, atau amalan.
Cinta menjadi perkara terbesar dalam kehidupan manusia.
Itulah sebabnya persoalan cinta dalam konteks apapun, tak
pernah kering diperbincangkan. Cinta menjadi inspirasi
terbesar bagi para penulis sastra. Dalah khazanah sastra,
cinta dikonstruksi dan direproduksi menjadi teks, cinta
dikonstruksi menjadi persoalan sekaligus penyelesaian.

xiv
Kiblat Cinta

Agaknya, cinta pula yang menginspirasi Mahroso Doloh,


menulis puisi tentang cinta,pada kitab puisi Kiblat Cinta;
Kumpulan Sajak Suara Bunga Patani ini. Penyair membahas dan
membahasakan cinta, dalam tiga kutup berbeda.
Kutub pertama, merupakan kutub paling subjektif yang
ada dalam diri aku lirik. Penyair, melalui kutub yang paling
primordial ini mencoba menempatkan puisi sebagai alat ucap.
Puisi sebagai ekpresi untuk merepresentasikan subjektivitasnya
terhadap persoalan cinta. Kemana akan ku simpan sebuah cinta/
jika aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap hanya terpaksa/
menjadi ombak hanya ketika// dalam puisi menggunung cinta/
mencari arah tak hingga/ tak ingin cinta;/ yang menjadi titi
neraka.
Penyair melalui dua episode cinta dalam larik-larik
puisi berjudul “Kiblat Cinta” ini, tengah mengabarkan
subjektivitasnya terhadap arah atau posisi cinta yang paling
hakiki. Itulah sebabnya, penyair menempatkan puisi ini
sebagai pintu masuk untuk menjelajahi keseluruhan puisi
yang ada dalam buku ini. Meski aku lirik menyediakan pintu
dan kunci untuk memasuki kedalam serta arah cinta dalam
puisi ini, namun sebagai teks yang terbuka, kelak kumpulan
puisi ini akan dimasuki dari berbagai sisi. Bahkan pintu yang
disediakan penyair, boleh jadi ditinggalkan begitu saja oleh
para pembaca.
Lantaran, pada pintu ini pula, mula-mula penyair
mendeklarasikan keluasan ruang jelajah –baca dan tafsir-
melalui larik pembuka yang menanya; Kemana akan kusimpan
sebuah cinta. Lewat lirik pendek ini, penyair secara subjektif
menawarkan keluasan medan tafsir tentang cinta. Aku lirik
secara subjektif, hendak membiarkan aku publik mencari
sendiri kiblat cinta.
Meski demikian, secara subjektif pula, aku lirik memberikan
arah cinta; tak ingin cinta;/ yang menjadi titi neraka/. Pada

xv
Mahroso Doloh

titik ini, penyair agaknya memposisikan puisinya sebagai


ekspresi religiusitas yang paling pribadi. /dengan cinta;
beribu cinta/ membuat taubat di sela-sela malam/ menderai
gerimis hitam/ menjadi secawan zamzam// (fragmen tiga). Bait
ketiga ini menegaskan bahwa perkara cinta sesungguhnya
dapat membawa manusia pada situasi penuh masalah, itulah
sebabnya, sebaik-baik cinta adalah ketika ia merupakan jalan
terang menuju pertaubatan, di waktu yang paling sunyi dan
pribadi.
Lihatlah bait empat, episode akhir ini menjadi semacam
konklusi penyair dalam melihat cinta secara subjektif. /dengan
cinta; beribu cinta/ angin, panas, hujan/ semua terasa pada telubuk
kalbu/ hanya mencari kiblat Cinta/. Aku lirik menutup fragmen
ini dengan sebuah kalimat penegasan, bahwa persoalan
kehidupan adalah persoalan mencari kutub, hanya mencari
kiblat.
Kutub pertama yang menjadi kiblat aku lirik ini kemudian
dipertegas pada bagian ketiga buku puisi ini. Aku lirik
menegaskan pencarian arah cinta dengan tajuk “Untuk Pohon
Cinta”. Bagian ketiga ini merupakan perwujudan kerinduan
aku lirik akan kiblat yang dapat ia temukan dimana saja.
Lantaran kiblat cinta bukanlah arah yang dipandu dengan
kompas, melainkan hakekat cinta itu sendiri yang tak
mengenal arah secara geografis.
Kutub yang kedua adalah kutub kultural penyair. Kutub
kultural ini menjadi titik berangkat dan titik tuju pulang
sekaligus. Patani adalah nama sebuah kawasan di Thailand
Selatan, tempat moyang penyair lahir dan dibesarkan.
Patani dalam kumpulan puisi Kiblat Cinta, merupakan kutub
kedua yang juga primodial. Bagaimanapun, subjektivitas
yang pertama akan muncul sebagai buah ranum pohon
budaya tempat penyair ditanamkan oleh orang tuanya atau
menanamkan dirinya sebagai bagian dari entitas sosial.

xvi
Kiblat Cinta

Patani adalah kutub kultural penyair. Itulah sebabnya, meski


saat puisi-puisi ini ditulis; aku lirik berada di Indonesia, namun
pengetahuannya dan emosinya tentang cinta membuat ia terus
dihinggapi rasa rindu pada kampung halaman. Rindu yang
menggelegak ini menyebabkan aku lirik secara sentimentil
mengingat tanah tumpah darahnya.
Saat cinta berada pada orbit yang berbeda, maka seseorang
akan mengalami situasi rindu. Rindu sebenarnya merupakan
akibat, yang pada situasi tertentu akan menjadi sebab. Bersebab
subjek cinta berada pada ranah budaya yang berbeda, maka
rindu adalah keniscayaan. Lantaran rindu yang menggebu,
maka subjek cinta akan mengalami situasi kegalauan; Apa yang
harus kutulis/ untukmu bumi Patani/ sekian lama kau ditindih/
tenggelam air dan darah-darah// hari ke hari/ tulangmu selalu
dihimpit/ tak ada ruangan untuk bertumbuh/ menjadi subur
agar bisa berlari di cakrawala//. Intensitas pergulatan bathin
pada medan rindu; antara kenangan yang bertumpuk,
dendam tentang masa silam yang ingin ia bayar di masa
depan (cakrawala), membuat aku lirik memiliki optimisme,
berwasiat secara literer pada bumi Patani.
Kutub yang ketiga adalah kutub cinta ketiga. Saya menyebut
cinta ketiga, lantaran aku lirik telah memiliki cinta pertama
pada hakekat cinta yang tengah ia cari kiblatnya, cinta kedua
adalah cinta penyair pada tanah moyangnya yang menjadi ibu
kandung kebudayaan yang mengasuhnya, sementara cinta
ketiga adalah keterpesonaan penyair pada Indonesia.
Meski bertajuk ‘Catatan Indonesia’ namun, sesungguhnya roh
kutub cinta ketiga ini berasal dari bumi cabalaka; Banyumas.
Pergulatan intelektual dan kultural penyair dengan wong
Banyumas sebagai subjek individu maupun sebagai entitas
sosial budaya, telah mengkontruksi cinta yang ketiga.
“Banyumas Seindah Negerimu”, demikian aku lirik memberi
tajuk pada puisinya, yang merupakan presentasi kekaguman
atau mungkin buah keterpecahan pengetahuan budayanya.

xvii
Mahroso Doloh

Banyumas seindah negerimu/ embun pagi memaniskan mataku/


gunung Slamet merayu-rayu kalbu/ Ronggeng dan batik membuatku
kehilangan titik salju/ fajar menyingsing kumelihat di setiap
penjuru/ sungai serayu mengalirkan jiwa luhur, mataku terpaku.//
Telaga sunyi/ pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi/ bumi
perkemahan kebun raya terperi/ negeri mutiara pusaka Ilahi/ yang
tak terlukis dada sebelum kukunjungi.//
Cinta selalu lahir dalam ketegangan antara keinginan, harapan,
dan kenyataan. Puisi selalu lahir dari pergolakan; pemikiran,
emosi, dan pergulatan sosial. Penyair pada hakekatnya adalah
manusia biasa yang lahir dengan ketidak seimbangan. Untuk
itulah, tugas mulia manusia di muka bumi ini adalah berkreasi
dan berekreasi menciptakan keseimbangan. Tugas penyair
adalah menciptakan keseimbangan melalui puisi, berkreasi
dan berekreasi.
Barangkali inilah yang dilakukan Mahroso Doloh, Penyair
muda asal bumi PataniThailand Selatan, yang saat menulis puisi
ini merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto
(UMP). Sebagai mahasiswa dari negara jiran tentu saja ia
memiliki kutub intelektual yang berbeda dengan mahasiswa
setempat. Namun dengan latar budaya Melayu, yang setali
tiga uang merupakan moyang bahasa Indonesia, membuat
puisi-puisi yang ia tulis menarik untuk ditilik dari perspektif
kebahasaan.Pada sudut yang lain, keterpesonaanya pada kultur
Banyumas membuat penyair yang satu ini memiliki potensi
untuk mengawinkan kutub budaya Banyumas dan Patani
(Melayu) dalam karya-karyanya yang lain di masa datang.
Lewat kumpulan puisi Kiblat Cinta ini, Mahroso menawarkan
kiblat, atau kutub cinta yang ia sendiri tengah mencarinya.
Cinta, sekali lagi; merupakan inti kehidupan manusia. Cinta
dalam berbagai dimensi dan konteksnya berada di satu titik,
yang dapat berpendar ke segala arah. Saat cinta berpendar

xviii
Kiblat Cinta

inilah, cinta seperti berangkat dari satu titik menuju titik lain
sebagai kiblat yang entah. Tapi melalui kesadaran yang paling
dalam, sesungguhnya kiblat cinta tak lagi perlu dicari, lantaran
kiblat cinta adalah cinta itu sendiri. Melalui puisi-puisinya,
penyair ingin mengajak aku publik menjelajah berbagai
dimensi dan kutub cinta, hingga pada akhirnya menemukan
keseimbangan dan kembali pada titik yang disebut kiblat
Cinta.

Teguh Trianton adalah Peneliti Beranda Budaya Purwokerto,


Siswa Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengajar di Prodi PBSI FKIP UMP.

xix
Mahroso Doloh

1 Lorong-lorong
Cinta

xx
Kiblat Cinta

Kiblat Cinta

Kemana akan kusimpan sebuah cinta


jika aksara tak menjadi kata-kata
bahkan terucap hanya terpaksa
menjadi ombak hanya ketika

dalam puisi menggunung cinta


mencari arah tak terhingga
tak ingin cinta;
yang menjadi titi neraka

dengan cinta; beribu cinta


membuat taubat di sela-sela malam
menderai gerimis hitam
menjadi secawan zamzam

dengan cinta; beribu cinta


angin, panas dan hujan
semua terasa pada telubuk kalbu
hanya mencari kiblat Cinta

Patani, September 2014

1
Mahroso Doloh

Cinta di Atas Cinta

Ingin kutanya kabarmu


tapi teringat duri dalam soalan
tak ingin membuat waktu menangis lagi
hanya Dia nakhkoda seorang hamba

dengan sajadah dan lingkaran tasbih


ditemani hujan menari malam dan siang
nyanyian malaikat dan ayat-ayat;
kutanam benih cinta

masih teringat
saat kata-kata menjadi salju
hanya sepatah apa kabar mendayu kalbu
dengan cinta memuncak menjadi rantingranting
kembali cinta atas cinta; hening

Purwokerto, September 2014

2
Kiblat Cinta

Benang Putih

Benang putih dan kekasih


yang dipintal oleh kapas cinta
dan selalu menjahit antara kalbu
aku dan kau merenung tunggu

benang yang sepertinya telah putus


tapi, masih terasa terlekat kalbu
pada badan memberi hangat; selimut malam
akhirnya benang itu tersambung kembali

menenun jadi bersih sehelai kain putih


menjadi hamparan di sini, di sebuah ruang
tempat kita bertatap mata
kain itu tak terasa, lekasnya berubah menjadi sebuah kelambu

kelambu hitam yang dulu aku benci


tiba di ruang, dalam keruhan cinta
dan sekalikali merasa nikmat
saat badan di selimut malam itu

tapi, dalam kelambu hitam itu


masih terlihat sebuah lampu, berkedip-kedip
hingga kelambu itu terbakar oleh cahaya kesadaran
tinggal hamparan kain putih kembali

dan kain itu, aku bentuk menjadi sebuah perahu


berlayar di samudra-Nya;

hingga air mata tak tersurut sujud


pada-Nya

Purwokerto, September 2014

3
Mahroso Doloh

Biji-biji Rindu

Aku melihat senyummu


yang bertasbih atas rembulan
dengan taburan bintang sebiji rindu
hingga berderai jutaan sanjung
agar dikau dan aku;
dilingkar cincin oleh-Nya
sampai dikau menjadi alasan
yang tak mau kuhentikan nafas ini

Purwokerto, September 2014

4
Kiblat Cinta

Selimut Tahajud

Jika kau mengantuk lelaplah sejenak


dan bangun kembali;
menjemput dua rokaat tahajud
untuk menjadi selimut pada tidurmu.

Purwokerto, September 2014

5
Mahroso Doloh

Hanya Dia

Bunga berbunga tanpa musim


belum tentu terwujud jika bukan Kehendak
cinta tak terbatas waktu
hanya milik Dia, Hyang

dengan dzikir-dzikir mentari pagi


dan rembulan membawa kesayangan-Nya
pada kedipkedip bintang
terlihat ayatayat Maha Kuasa

sekalipun malam yang gelap


masih terlintas cahaya
bisa saja kau pelajari
dalam sendirian rimba;
Dia menemani selalu

kau lihat daundaun


yang hitam dan lebat
masih saja berbunga dengan indah
di situ boleh kau bartanya

boleh kau bertanya


siapa pencipta bunga itu?

Purwokerto, September 2014

6
Kiblat Cinta

Surga Sebelum Surga

surga dari kecil sering aku dengar


demikan juga dirimu;
surga tak terhapus lauhul mahfuzh
tapi, dimana kau berada

kalbu terasa remang mutiara yang


terkunci dalam puisi
tak terkurang walau serintik doa
pada pagi ditelan bulan
bulan ditelan mentari

sekalikali ingin terdapat surga itu


dengan api membara birahi
hingga surga menjadi durhaka
surga tak dipanggil surga dan jaga
sebelum hijab kabul; hingga

hingga malam pertama


sejemput ciuman tertulis cinta di sela kening itu
dengan kalimat Cahaya hening
sepotong kata karena-Nya
mengundang rombongan malaikat
dan pohonpohon mengirimkan doa
dengan izin-Nya sepasang burung terbang menemani
sepasang cinta melayang dalam surga sebelum surga

Purwokerto, September 2014

7
Mahroso Doloh

Sajak di Rahim Subuh

Rahim subuh tak semua orang melabuh


tinggal aku sendirian melihat bayang
yang mencoba membiasakan diri
menyanyi, menangis, di panggung sajadah

di rahim subuh
sebelum ditemani segelas kopi
rasa sepi selalu menjadi
membungkus rindu; bait puisi aku lontari

di rahim subuh aku bernyanyi


dengan lirik puisi yang pernah dibaca Muhammad
walau jutaan tahun lamanya
penyair besar takkan sampai sebatas Dia

rahim subuh hingga ke bibir pagi


tak terhenti menjilat bait puisi Dia
membuka mata dan otak yang tajam
melihat mentari bertasbih di sebelah selatan
dan keikhlasan embun pada-Nya
menghilangkan diri; taat pada-Nya yang tak kecuali

hanyalah milik Dia


Bait-Bait Puisi yang tersurat
sekalipun tidak; masih bisa terlihat
tapi hanya dengan lautan iman dan takwa

menjadi air mata melihat segala semesta


terselip Qudrat dan Iradat-Nya

Purwokerto, September 2014

8
Kiblat Cinta

Kutuliskan Cinta

Kutuliskan cinta pada dedaun


yang selalu memberi mendung di telubuk hati
tempat dikau dan aku menghirup angin
menjadi rantai senyum berbunga
tapi, jangan membuta
siapa pemilik angin itu

Purwokerto, September 2014

9
Mahroso Doloh

Kopi Rindu

Pagi membasah kalbu


dengan sebiji rindu
ditemani dua gelas kopi
tinggal satu tak dihabisi
hanya tunggu yang sudi
penghirup kopi sudah tersaji

Purwokerto, September 2014

10
Kiblat Cinta

Kutbah Hujan

Dalam sendirian bibir malam


terdengar kutbahkutbahnya
berjamaah dengan dedaun
membasahi leluhur cinta

Dan dikau,
terdengar dalam kutbah hujan
merenung tunggu bisikan malaikat
yang sudah tertulis di atas tenda biru
Tapi, takkan indah sajadah cinta
jika kabut tak ditaubati
dengan gerimis purnama
menghanyut segala dosa
menjadi sepucuk risalah senja
untuk kutitip pada mentari pagi

Purwokerto, September 2014

11
Mahroso Doloh

Deraian Kata

Dua tahun merantau


angin dan dedaun; jadi saksi
dalam rintis melewati
menemui lautan basahi kata

dari sana hingga kesini


merajut cinta ibu pertiwi
hinga gerimis tak kecuali
melewati lorong-lorong

aksara aku merangkai


agar melayu terkibar tinggi
walau tersesat jangan abadi
tetapkan detik untuk kembali

Patani, Agustus 2014

12
Kiblat Cinta

Mencari Maksud

Pada tetesan hujan


dan mungkin beribu suara;
berdzikir pada-Mu
begitu juga; aku

dalam kegelapan hamba


mencari sebuah maksud
terselip di sela-sela hujan
dan waktu

kujunjungkan asma-Mu
dengan renungan sebuah cinta
tersembunyi di sebalik duka
walau gelisah; tak terhanyut pada-Mu

duri yang tertancap kepala


mungkin salam Sang Pencipta
dalam mencari rahmat
melintasi rimba-rimba dan air mata

Patani, Agustus 2014

13
Mahroso Doloh

Setangkai Duri Cinta

Terpaksa kubiarkan waktu


pejam dalam gerimis kemarau
dan tertelan setangkai duri
bernyanyi dalam bisu
tersimpan riwayat cinta

Yala, Agustus 2014

14
Kiblat Cinta

Antara

kehangatan bulan yang melintasi awan


tertulis sebuah risalah cinta
kau tersenyum pejamkan mata
menjadi titian pada-Nya

kuingin bulan yang selalu;


tak ada purnama kecuali malam itu
manakah bunga tahajudku
antara beribu kuntung; salam kasturi
jadi embun membasahi

kehangatan bulan melintasi awan


tersurat sebuah risalah cinta
terasa menjadi seorang raja
dalam mahligai tak tersangka

matapun terbuka
membaca beribu pertanyaan
hanya kalbu yang mengatakan;
dia berada di antara

Patani, Agustus 2014

15
Mahroso Doloh

Perbedaan Cinta

sementara ini
angin tak berjilbab
hanya sesekali terlihat dalam ragu
hati kecil bertunang keyakinan

sementara cincin terikat pada jilbab


belum menjadi satu lingkaran
hanya bersiap dan berharap
dia terpaku dalam semoga

bulan; sungguh setia pada malam


tapi sesekali menyinari pada pagi
walau tak pernah engkau datangi
tak sedikit yang menunggu untuk menyaksi

walau terasing pada mula


tapi cahaya selalu berseri
menjadi hijrah seorang hawa
semoga kehendak oleh Dia

walau berbeda bumi


namun masih dibawah langit yang sama
walau terasing gaya budaya
mungkin saja menjadi cahaya

perbeda dalam cahaya


tercatat sejarah budaya cinta

Patani, Agustus 2014

16
Kiblat Cinta

Tetesan Manis

Tetesan manis di sekuntum mawar


ingin simpan manis itu agar menemani selalu
tapi belum mampu untuk menghirup
tunggu dan mencari detik untuk melepaskan;
semua kehangatan yang tersimpan kudus kalbu

tetesan manis itu mendung dalam jiwa


jadi bayang-bayang setiap nafasan
memberi warna pada hidup
dan akan menjadi ombak, badai jika;
18tetesan manis itu
telah dimilik atau diisap seekor madu

Yang lain

Purwokerto, Mai 2014

17
Mahroso Doloh

Suara

suara pertama tersujud


gerimis menetes limpah rahmat;
tak pernah tersurut
dan suara selalu menemaniku

tak asing beristikomah dan melewati


dari bertaburan embun hingga ke malam
berdayu pada kalbu
terdengar suara-Mu

Patani, Agustus 2014

18
Kiblat Cinta

Bunga Dalam Hujan

Wajah dipenuhi bunga-bunga


dan selalu menunggu kedatangan hujan
di saat itu—mungkin hujan istikomah merindui
terpendam sesuatu, tapi tak bisa terucap

begitu juga dengan kemarau yang


tanpa hujan, hidup menjadi parau
apakah di antara itu terselip cinta
cinta yang tersujud karena cinta
dan tersenyum, menangis pada embun
terlelap dalam hujan, tercium alis dalam sujud

Purwokerto, 21 Juni 2014

19
Mahroso Doloh

Mencari Kata-kata

tak mampu kucari katakata indah


tapi; tulisanku melukis mawar di jilbab itu
aku tunggu saja; waktu
biar rembulan berbicara padamu
ketika bulan melepaskan katakata
dengan harapan jilbab itu bertahajud pada-Mu
hanya air mata dan doa bulan Ramadan
kepada bidadari berwajah embun
doa senja ke senja
melontar dalam jamaah dan semoga

Purwokerto, Juni 2014

20
Kiblat Cinta

Mahligai Cinta

kepada angin
yang menemani saat kucium alismu
ingin mencoba berpuisi padamu
mohon tancapkan kupingmu di pipi ini

selamat datang isteriku


apakah kau yakin aku mencintaimu
apakah kau yakin rembulan setia pada malam
apa jawabmu itulah mawar yang kutanamkan

di pagi hari
embun berdoa pada Cahaya
agar hujan menemani bungabunga
saat kau mencium tanganku
Qudrat di atas qudrat tertulis; semoga
di dalam mahligai cinta

Purwokerto, Juni 2014

21
Mahroso Doloh

Melati

Melati—manis menghangatkan kalbu


yang melayani seribu bintang padamu
ingin kutangkaikan manis itu
dengan ayat-ayat mencium kembang

dalam sujud asmara


kau terwujud tak kesudahan
jutaan malaikat jadi saksi
sebelum ijab kabul terucap
Titian sirat kupimpin tanganmu

Purwokerto, Mai 2014

22
Kiblat Cinta

Pagi yang Kemarau

Sungguh pagi telah menyapa, tapi


belum saat untuk diteguk
cukup hanya simpan aroma
jadi tetesan embun pada kalbu
kejernihan benih tentu saja menjadi doa

walau tak terlukis aksara


anugerah yang terdiam
ingin jadikan hidangan
sejemput kata
di saat pagi yang kemarau

Purwokerto, April 2014

23
Mahroso Doloh

Gelap Dalam Cahaya

Kaulah Puisiku
cinta terpendam kalbu
tak mampu bernyanyi dengan merdu
Perempuan Pelukis Senja

Purwokerto, April 2014

24
Kiblat Cinta

Dialog Melati

Jika pagi telah menyapa teguklah setetes


kesegaran setetes embun
niatkan dalam hati
yang menyapa tumbuhkan benih kejernihan
aksara yang mencerah walau hanya sejumput kata

sungguh pagi telah menyapa


tapi belum saat untuk diteguk
cukup hanya simpan aroma
jadi tetesan embun pada kalbu
kejernihan benih tentu saja menjadi doa
walau tak terlukis aksara
anugerah yang terdiam
ingin jadikan hidangan
sejemput kata di saat pagi yang kemarau

embun pagi terlalu hangat mendekap tubuh ini


hingga keringat yang peluh semakin tanggal
mari bertasbih pada bunga yang mekar
tersenyum pada pagi yang pagi

Purwokerto, April 2014

25
Mahroso Doloh

Kehabisan Kata-kata

Sunyi berwarisan
segala mimpi tertulis diam
terlihat karat membara tidurmu
melihat pagi berlutut setan

sebelum mentari memuak cahaya


jutaan kepala berbarisan menjerit
menunggu singgah hiris separuh luka
menjadi senja selalu pada-Nya

Purwokerto, April 2014

26
Kiblat Cinta

Anak Malaikat

Dingin menyelimuti suluk ini


menjadi doa-doa tanpa kehabisan
rantingranting melihat akar; berceding penuh makna
daun tersenyum menjadi saksi di situ—

sementara aku tak kuasa memberi salam pada sore hari itu
tertatap pelangi yang cantik selalu
mengharu pada kalbu terkunci tasbih cinta
tersimpan rapi dalam nadi di setiap angin melintasi rongga

mata terpejam di setiap waktu


selalu menjerit mengharu air mata
sajadah dan lingkaran tasbih menabur aroma
bak taburan bunga-bunga pada pernikahan

kutitipkan salam pada angin


melewati malaikatmalaikat menjadi saksi
pada ijab kabul semesta ini
menciptakan sebuah titi berganding mencari-Nya

Purwokerto, April 2014

27
Mahroso Doloh

Tersunyi Dalam Rindu

Selalu ada senja di jernih embun


yang memikat risalah cinta
di detik embun mulai diteguk mentari
tak lagi hangat seperti tersurat

dengan tahajud kumencari Ilahi


dalam doa tersebut jilbabmu
apakah pantas menyebut imam
ikhlaskah kau mengikuti jejak ini
hanya terjawab dalam diam

di antara senyum dan tangis


menjadi malaikat untuk cari
mencari arti sebuah cinta
langit dan bumi menjadi saksi
pada kalbu tersunyi dalam rindu

Purwokerto, Juni 2014

28
Kiblat Cinta

Puncak Rindu

di butiran nafasmu
menjadi bait puisi di puncak rindu

Purwokerto, Juni 2014

29
Mahroso Doloh

Aroma Dalam Sujud

Cinta selalu membisu


berbunga dalam kalbu
kau selalu mengisi waktu
dengan tetesan salju
mewujud malam yang gemilang
kembang melati tak kuasa dimaknai
menunggu detik terarus aroma surga
sampai waktu akan kupanen
tersimpan rapi jadi malaikat
memberi aroma di setiap sujud,
merantai pujian tersimpan pada senyum—

Purwokerto, April 2014

30
Kiblat Cinta

Tanaman Kalbu

Cintaku, wahai bidadari


haruman mawar bersajadah
merekah kalbu menggembur salju
sebongkah baris puisi kulayani

Mengalir di dalam darah


menderai rindu kudus dan sunyi
angin menjilat jilbab merahmu
mata bertatap gairah langit biru

senyuman bintang di sepertiga malam


merantai mimpi; lautan cerita
laut dan sawah itu ku bernapas
merawat kalbu, sebening rindu

nada suci rahim senyummu


bunga wangi, memekar
merekah menunggu ketukanmu
di gembur kalbu; kabul sebongkah baris puisi

Purwokerto, April 2014

31
Mahroso Doloh

Mentari Senja

dedaun dan embun bersujud itikaf


gedung-gedung semua mendiam
menyaksi cahaya mentari senja
yang selama bersumpah di terikit dunia—

rerumput bergeliat teriki di ulang tahun


tangan bermusik meniup lilin yang membara
sembilan april; napas rerumput tumbuh di pinggiran jalan
beribu kesyahduan mengombak rumput kering; bunga-
bunga kamboja

Hanya kasidah-Mu
menghijau rerumput yang tumbuh dari sisa-sisa dan kerdil
kalau begitu; kembangkan taman abadi
dapatkan kami menjelma sebongkah mawar atau melati

Purwokerto, April 2014

32
Kiblat Cinta

Kabut yang Bertahyat

Kabut yang melentang bumi itu


pohon-pohon di selimuti embun
Lafal Terindah menjilat kupingkuping
menyeru hewan menghamparkan sajadah

didampingi jutaan Malaikat


sekepal daging menari dalam kabut
menghiriskan oksigen oleh sarung bertahayat
melangkah menghamparkan kening di taman kuldi

melukis kata-kata pada angin


mengisi Rindu dalam diam
embun bergelombang jutaan tasbih
yang sejati untuk Ilahi

Purwokerto, 4 Maret 2014

33
Mahroso Doloh

Buah Bermusim Gerimis

Musim gerimis tiba kembali


ketika mawar bertepuk sebelah tangan
empat mata melihat sinaran rembulan
empat telinga mendengar putaran jarum
sudah memjadi bayangan kosong

Oh...Yang Maha Penyayang


kenapa gerimis ini sulit dihentikan
gerimis yang mengiris kalbu hamba-Mu
gerimis menyamarkan kemanisan asmara
yang selama ini menjadi lampulampu hamba-Mu

pantas tanah-tanah campuran


menjadi pohon-pohan bermusim
membuat aku tertagih dengan buah-buahan
yang tak dapat melayani kalbu yang derita ini

Purwokerto, 4 Maret 2014

34
Kiblat Cinta

Bidadari Sampingku

Engkau ikhlas membisu


waktu aku berteriak terlepas di rahimnya
dan beribu syukur
waktu aku berbahasa lewat tangis

waktu aku mengenal dunia


melintasi jalan siang dan malam
menikung, bertabung oleh bingung
kaulah kaki tanganku

siapa diriku? dari mana?


apa yang membuat diriku lebih bermakna
hingga kemana malam dan siangku
akan pergi selamanya

keringat asin engkau
meladeni makan dan minum buatku
engkau milih secawan jernih dan sedikit sayur untuknya
sedangkan kopi dan daging untukku

menahan diri lapar dan haus


dari terbit dan jatuh mata sang surya
embun kembali basahi bumi

engkau
betapa menahan sejuta rintangan
engkaulah bidadari dinapasku

Purwokerto, 4 Maret 2014

35
Mahroso Doloh

Sayap Merpati

Pagi yang hijab kabulkan


merpati yang menari dalam jurang
untuk membuta dan bisu tulang punggungnya
yang tak ingin buah hatinya berbunga ditepi jalan

setiap kali mata merpati betina berkaca


selutut menghamparkan kening dan
bernyanyi merayu-rayu dalam diam
meresapkan air tasbih pada-Nya

senantiasa tahlilan sepasang merpati


yang menari di runcing angin, rungcingruncing gerimis
takkan mustahil jika embun yang berhembur di bibir
menjadi keras yang tak bisa berganti-ganti

Duhai Pemeluk Teguh


wujudkan dan kekalkan sayap ini
sayap senantiasa bergoyang membawa bahtera hidup
yang senantiasa menabik badai,
untuk bisa memanjat di pohon khuldi-Mu abadi

Purwokerto, 4 Maret 2014

36
Kiblat Cinta

Sepasang Merpati

Embun bersholawat sekeping kalbu membasahi


sepasang merpati bersa
lim senyum-senyuman
saat sang surya berloncat-loncat bumi
membawa ranting-ranting bidadari berseri

seri bidadari, bidadari seri


seberapa kilometer kau melayang
pasti saja jendela memanggilmu
jendela berdzikir bersyahadat padamu

kau tak akan tersesat


kau pasti tersimpan rumah semut ini
menjadi Padang Arafah sepasang merpati
walaupun bocoran air yang menderai di pipi

yang membawa duri dan rindu


yang nantinya kau kembali
berjalan di duri ke kanan ke kiri
menjadi air tersimpan kendi
menjadi minuman pagi, siang
dan malam yang abadi

Purwokerto, 4 Maret 2014

37
Mahroso Doloh

Tetesan Surga Hamba Hyang

Hyang teteskan tetesan surga hamba Hyang


Hyang dengan mata-Mu tak akan tengggelam
Hyang yang tak di senyum Hyang

Hyang jatuhkan tetesan surga kedalam bunga bayi yang Hyang


Hyang yang Kau siapkan menjadi bunga matahari dan bulan
Hyang yang menjadi bunga rumah bukan ditepi jalan

Hyang jadikan tetesan surga hari ini dan besok


Hyang janganlah tumpah ila ijab kabul
Hyang yang Kau tulis Lauh Mahfuz itu yang ditunggu

Purwokerto, 4 Maret 2014

38
Kiblat Cinta

Cinta di Pohon Kuldi

Kertas di dada
yang melimpah melati dan melati
membayang seorang bidadari
yang akan menjadi jamaah di rembulan dan surya shalatku
yang akan bertabur Nur-Hayat

kanan dan kiri tanganku menari-nari


ketika angin menjadi duri-duri menjilati kanan dan kiri
untuk kau,aku bersumpah yang abadi
yang terbayang nanti lorong-lorong
di padang arafah namanya

di situ, padang itulah kau,aku mulai melangkah dan


meloncat, bercocok tanam
di situ, kebun-kebun bunga tak bisa menilai kasturi
di situ, kau, aku melewati duri-duri tak berduri
di situ, sampailah kau, aku di bawah pohon kuldi
di situ, kau, aku istirahat yang abadi

Purwokerto, 4 Maret 2014

39
Mahroso Doloh

Ketika Itu

Ketika itu detak-detak menjilat kuping


bumi menikmati keringat pelangi
dedaun bersama sajadah berkata dalam diam
bernyanyi dan pipi; mengisi tetesan zamzam
berjunub dalam kering kepada Ilahi.

Purwokerto, 4 Maret 2014

40
Kiblat Cinta

Jam Dua Belas Malam

Sampai aku di tengah perjalanan malam


tibatiba aku bertemu malaikat
membawa mawar pada Cahaya
hingga alis terkapar oleh tibatiba

Dengan Cahaya
aku mencari cahaya
merasa sepi saat tahajud
tanpa niat seorang imam

aku mencari dan mencari


setangkai tahajud pada-Nya
jika dia ikhlas menyusuri jejak kasturi
maka; malam hingga tetesan embun terakhir

kuyakin; ada keindahan dalam kesendirian


itu adalah hadiah Ilahi
dengan gairah tertulis namamu
terdengar amin di sebalik jilbabmu
dan semoga—

Purwokero, Juni 2014

41
Mahroso Doloh

Setangkai Tasbih

Di sela puji berdeburan embun


setangkai tasbih terselip nama-Mu

Purwokerto, Juni 2014

42
Kiblat Cinta

Kenangan Dalam Gerimis

Sepertinya kembang bunga tak mau menghirup embun;


sebagai mana dulu
dan sapaan embun yang biasa membasahi
sudah menjadi kenangan dalam gerimis

Purwokerto, Juni 2014

43
Mahroso Doloh

Kesucian Bunga

Kalbu diselimuti bunga-bunga


yang selalu menjaga kesucianmu
walau waktu sudah terlarut
sepertinya kau selalu menunggu

kata cinta tak terucap, karena cinta


kaulah air menyegari bunga

Purwokerto, Juni 2014

44
Kiblat Cinta

Malam Pertama

Malam pertama;
kau dan aku saling senyum
saat katakata terkunci surga
senyum pertama dalam hidup

kau lihat cahaya selalu setia pada rembulan


yang selalu menemani bayangbayang
ingin kunikahi bayang itu
apakah kau ikhlas
jika aku berada di bintangbintang

hanya pertanyaan mengisi waktu;


saat aku kehabisan katakata
bukan dengan sederhana sebuah cinta
tapi sepucuk surat dari Cahaya

Purwokerto, Juni 2014

45
Mahroso Doloh

Lamunan Cahaya

Kau selipkan setangkai cinta pada duri


sehingga gerimis tersesat dalam lamunan Cahaya

Purwokerto, Juni 2014

46
Kiblat Cinta

Sholawat Cinta

Hanya Basmalah;
kulingkarkan jari manismu
senyum mesra, simpul yang
selalu tujukan padamu

saat kubaca suara kalbumu


melalui kata-kata malaikat
selalu menggunung impian-impian
yang terbayang dan tercatat

surya rembulan silih berganti


membawa gemilang kepada semesta
silih senyuman dikau dan aku tak kesudahan
apakah itu sholawat sebuah cinta

Purwokerto, Januari 2014

47
Mahroso Doloh

Cemburu dengan Senyummu

Aku cemburu tanpa sebab akibat


melihat jilbab dijilat angin barat
daun menggugur menjadi adat
dikau dan aku tak mau berjabat

senyum manismu itu


menabur dan buta matamata
membuat damai jadi perang
kemana dikau dan aku sekarang

kau hanya embun dini hari


saat malam menjelang tak kembali
senyummu hanya pencuri
memekar melati dan tinggal pergi

jilbab merahmu
kalbu menjadi abu
hidup jadi palsu
semesta penuh nafsu

Purwokerto, Januari 2014

48
Kiblat Cinta

Wajah Jelita

Jari manis berduri menari


menemani sepi tak terhenti
niat yang bening ombak menjadi
setiap detak kecapi-kecapi rindu berdetingan

batin mengguyur oleh gerimis


dalam diam namamu bertaburan di telubuk kalbu
diiringi suluk-suluk gairah ini
zikir kerikilkerikil menderas namamu tak henti-henti

jari manismu bergolong menjadi-jadi


jika itu adalah bukti; menghangus takbir cinta
setiap alunan darasdaras memancarkan aura gairah pada Mu
mimpimimpi dan harapan kali ini menjadi abu

wajah jelita yang mengharu


sekalipun telah raihkan hasrat indah dan tersimpan
sudah bertatap tapi malu pada keterangan sendiri
meskipun lidah mampu menjelaskan dengan terang

disini sebelum ombak gerimis terbenam menghilang


tolong jelaskan dengan terang persoalan-persoalan

Purwokerto, Desember 2013

49
Mahroso Doloh

Jelita Duri Manis

wajah berlumur mutiara


indah saaat dipandan; berkerudung setengah badan
rasa cinta menghiba bunga-bunga yang terasa
kelopak yang melekatimu menetes air mata

ketika pelangi terbuka menitip duka


cahaya jelita hanya mampir, mengantar pergi
rasa yang tersimpan menjadi fana
hanya bunga berduri terlukis dan tingal pergi

ketika embun dalam sehari;dikau menjadi bait-bait puisi


menjadi beji-biji berputar di puncak rindu
angin membawa dingin diiringi aura jilbabmu
dan menitip salam membuatku menangis dalam diam

lalu pelangi menhilang rembulan tidakpun tiba


hanya luka dan air mata tak bisa dicerita

Purwokerto, Desember 2013

50
Kiblat Cinta

2 Untukmu
Patani

51
Mahroso Doloh

Wasiat Bumi Patani

Apa yang harus kutulis


untukmu bumi Patani
sekian lama kau ditindih
tenggelam air dan darah-darah

hari ke hari
tulangmu selalu dihimpit
tak ada ruangan untuk bertumbuh
menjadi subur agar bisa berlari di cakrawala

Hai...Bumi Patani
nasib seorang bayi mungkin sudah melayang
dan tanpa kutahu kemana arahnya
kemana kiblatnya

dengan sajak ini;


kusimpan jiwa malaikat
membangun para pejabat
yang terlena dalam selokan kafir
membuka mata, menyambung lidah dan bertakbir

Bangun!
jangan biarkan para tikus-tikus mengerik ladang ini
tempat kita menanam nyawa sehari-hari
belakanlah ladang ini, walau usia tenggelam bumi

Purwokerto, September 2014

52
Kiblat Cinta

Kiai Menjelang Malam

Suatu hari
ia akan pergi
umurnya sudah menjelang malam hari
bahkan sudah melayang pergi
tapi, perginya berteduh di pohon kuldi
dikelilingi beribu bidadari
pada pagi dilayani; di kolam mandi
kolam yang tak siapapun pernah kunjungi
dia pergi;
tinggal telapak para sufi
bertaburan merata, walau penuh duri-duri
tak kecuali ia mencari Cahaya Ilahi
mungkin sekarang sedang menyaksi
butiran dzikir yang dulu ia tanami
apakah ada yang membajai
untuk berteduh di hari nanti
jangan kau lupa, perginya harus kau ganti
untuk menjadi matahari pagi
sejernih embun yang dititipi
jadi amanah tak kecuali
walau sedikit hujung jari
satu huruf menderai beribu sanjungi
dia pergi;
iktikaf di tempat yang tinggi
yang harus kita telusuri
membawa sebuah janji-janji
Purwokerto, September 2014

53
Mahroso Doloh

Tangis Dalam Rindu

Langkasuka
dalam kesamaran aku terdengar
angin-angin yang menangis
terbungkus sebuah rindu ibu pertiwi

bukit bukau menjadi rahim rezeki


melalui embun dan hujan penuh berkah
sekarang tak; buah-buahan kehilangan manis
berbagai biji dan emas walau bergunung
hanya angin melewati kuping-kuping dan pergi

dalam mata yang lampau; tercermin Melayu


penuh cinta teringat permata mutiara—
dan air mata selalu berkunjung dalam kata cinta
menghangat sebuah jiwa kebangkitan mengikis najis-najis

dalam cakrawala yang tersurat


Nusantara tersubur para ulama
Syed Daud tertulis di merata
tapi siapa yang sanggup di atas telapaknya
jika sang bayi dibisu Huruf Melayu
menjadi kata tangis dalam rindu

Patani, Agustus 2014

54
Kiblat Cinta

Di Bawah Air Mata Bumi Patani


—Mujahidin bumi Patani
Di bawah air mata
yang sering kau bercerita
serta cinta terbangun sebuah pondasi
menjadi cermin sampai puncak suluk mujahid

walau aku tak terlihat


air mata bahkan darah
membasahi di sungai itu
tapi ku rela menjadi bungabunga
bunga yang disuburkan oleh air mata cinta
dan terus membawa sejarah tak terhingga

pergimu tak begitu saja


bahkan beribu langkah telusuri jejakmu
menyambung lidah
hingga darah menjadi air mata
terarus kesungai yang melimpah cinta;
budaya, bangsa, negara dan agama

aku takkan hilang gambaran


jasad yang terlayang
berlapisan di sebuah kendaraan
dia si baju hitam dan jahanam

keadilan hanya menjadi sebatas hiasan palsu


membisu rakyat dalam kepanasan
keganasan bermaharajalela
penindasan tak kecuali
seorang bayi yang sedang mengenal dunia
bahkan orang seumuran mentari tenggelam bumi

55
Mahroso Doloh

apa yang terjadi di sini


siapakah dia yang kau kenal selama ini
penjajah manis wajah menjadi topeng-topeng
apa yang harus kau laku wahai anak cucu

Purwokerto, September 2014

56
Kiblat Cinta

Suara Patani

Matahari terbit menyinari angkasa


dengan cahaya membawa beribu cita-cita
orang-orang berkumpul dibawah cahaya Sang Kuasa
menayangkan semangat terpendam kalbu
dengan sebiji cinta; budaya bangsa
agama tak terhingga

september dua puluh empat belas


dua puluh satu tanggalnya berbicara
beribu suara melontar menggali kedamaian
hakhak yang terkurung hingga berlumut hitam
kini harinya untuk kita bersama
menebang lumut dan hutan-hutan
yang selama ini mengganggu taman anak cucu
hutan yang penuh likaliku para penjajah
menyesat umat bahkan lenyap mayatmayat

jangan mudah terlena


wajah berbunga belum tentu itu surga
disana dan merata banyak penjaga
tapi kenapa selalu menderita
darahdarah mengalir dibalas dengan jutaan ketawa
ini negara apa?

kau bilang kedamaian milik kita


tapi kenapa kau sendiri membakarkannya
anak-anak dihilangkan ayah penuh sengsara
para ustadz, ulama menjadi tersengka
ini permainan politik belaka
menabur najis tak terhingga
hari ini mari kita bicara
jangan biar begitu saja
jangan sampai anak cucu kecewa

57
Mahroso Doloh

ayo kita bangkitkan surga


dalam negeri yang tercinta
bumi bertuah bumi pusaka
hapuskan penindasan yang menggoda
peri kemanusiaan kita tegakan semula
ketidakadilan kita hanyutkan di samudra
dengan satu syahadat menjadi rantai kita
berjuang sampai jasad melayang cinta
walau hujan kunjungi sebentar dengan campuran airmata
walau dalam lautan darah; yakinkan itu balasan surga

simpulkan tangan sesama


Satu Patani Harapan Kita

Purwokerto, September 2014

58
Kiblat Cinta

Takkan Surut

Derita tak kunjung surut


jika usaha tak membasahi
bumi selalu menangis
melihat umat membuta kalbu

sekalipun ditindas
tak terasa sengsara
saat darah dibalas selembaran itu
menemani saku kelaparan
memakan darah anak sendiri

gunungkan sadar jiwa Patani


selama ini sedang dicoba diuji

Purwokerto, September 2014

59
Mahroso Doloh

Belalai Gajah

Belalai gajah sumber negara


tahukah akan terjadi sengsara
jika seekor gajah tanpa belalai itu
bahkan jadi negeri kurus ekonomi

kau jadi kepala gajah dan tubuh


gemuk, gagah dan kuat
dengan putaran belalai yang terlingkar itu
tapi kenapa selalu dilihat tak berharga

dulu ku tahu
belalai itu bukan milikmu
setelah pemilik dibunuh
kau ambil tanpa izin anak cucu

anak cucu menanam padi dan buahan


menjadi makan pada pagi kepagi
malah petani itu diinjak oleh seekor ibu gajah
sudah memberi kekayaan tapi ditekap tenpurung

belalai hanya berlikar dalam rimba


tak kuasa melihat semesta yang berbunga
dalam rimba beribu anak yang haus pendidikan
tapi hanya bisa minum tetestetes tersisa dan bekasbekas

apa akan terjadi


jika seekor ibu gajah tak mau berlaku adil

rumputrumput selalu kepanasan tak sedikit terasa embun cinta


nasib lingkaran belalai gajah jangan biar begitu saja

Patani, Agustus 2014

60
Kiblat Cinta

Tangisan Mencari Bahasa

Selama terpendam lautan


apakah kuasa memetik lezatnya
saat melayu menjadi biru
jangan terpudar oleh dia

tahankan melayu yang selalu


walau terbanting menjadi pepasir
dari hidup miskin bahasa
tanamkan sebiji cinta
pada embun harapan beribu aksara

jangan biarkan sebuah kata


tenggelam begitu saja
terkubur sebuah bangsa
karena bahasa diselimut hampahampa

dengan tetesan cinta


terderai membasahi
melayu tersimpan tinggi
sebuah kalbu anak Patani

Patani, Agustus 2014

61
Mahroso Doloh

Semarak Darah

tak ada jiwa manusia


di dzikir matahari membara
sudah menjadi riwayat dunia
anak dan wanita korban

Kau menegak pusaka cinta


yang terkandung jutaan cahaya
yang bertatih pada-Nya
basahi badan oleh saksisaksi

sungguh kau pergi


berkumpul di Istana
penuhi bungabunga yang;
tak kau temui sebelumnya

setetes darah
dalam mahligai tiara

Patani, Agustus 2014

62
Kiblat Cinta

Hilal di Padang Pasir

Saat tangisan dunia mengguyur batu dalam diam


ufuk sang surya menambah jumlah hitungan dunia
pernah kau menyaksi pohon-pohon berdzikir di bintang
bertaburan?
untuk menjadi kecapi-kecapi rindu berdentingan
serombongan Unta di padang pasir menuju ke Makam Surga

tapi kalau kandang gajah putih ini
peristiwa itu di kebun berdaun merah putih,
malah menjadi makanan sambil berjalan
tidak ada kain dan tidak lilin yang bernari
di sepanjang jalanan
tidak ada kursi-kursi bersholawat seperti di altar yang penuh
pesinggahnya saat Januari menjelang

kenapa bisa terjadi di kaki tangan mayoritas Muahammad?


dengan puisi gajah putih yang miskin kalam ini
sejuta harapan kebun ini merunduk meratap jiwa
ditemani suluk-suluk kesendirian para sufi
semoga-Nya tampakkan hilal itu yang beserta taufik untuk
bertatih kejalan Engkau ridhoi

Purwokerto, 4 Maret 2014

63
Mahroso Doloh

Ketika Itu

Ketika itu detak-detak menjilat kuping


bumi menikmati keringat pelangi
dedaun bersama sajadah berkata dalam diam
bernyanyi dan pipi; mengisi tetesan zamzam
berjunub dalam kering kepada Ilahi.

Purwokerto, 4 Maret 2014

64
Kiblat Cinta

3 Untuk
Pohon Cinta

65
Mahroso Doloh

Dalam Tenda Cinta

mungkin sembilan bulan


aku di dalam tenda cinta
tak ternilai harga bunda
menulis cinta, walau ombak luka

setelah itu,
aku diberi tenda biru
agar lebih nyaman dan penuh iman
dia lagi yang memerah susu
berikan aku dengan tak kenal kemarau

malam hari menjadi malaikat


siang hari menjadi pelayan
pelayan yang tak kuasa digaji
hingga dua belah paha jadi tempat mandi
bahkan tempat aku kotori
dia hanya senyum dan memuji

aku terlihat lagi


tak kecuali posisi
tenda biru selalu menemani
kekanan dan kekiri
cinta yang kau tulis di atap biru
tak sedikitpun kurangi
selalu menghangat diri
tak pernah habis dari buaian sampai berkumis

apa yang harus kuganti


selain doa tak terhenti
nanti kau akan pergi
sampai jumpa di sana nanti

Purwokerto, September 2014

66
Kiblat Cinta

Akar
—Al-marhum H Husin Bin H Abdulrahman
akar selalu sanggup menembus;
sekalipun itu tanah dan batubatu
dia tempuhi segala permintaan bungabunga keluarga
yang melayang tengah udara semesta indah

tapi, suatu hari akar itu tak lagi berlari melayani


sampai detik janji untuk kembali
dia pergi, tinggal bayang dan sayang
pergi menemui Yang Maha Penyayang

akar selalu sanggup menembus;


sampai titik arti pasrah
meninggal buah dan bunga akan jadi akar
dan jangan kau lupa
cinta tak hanya menyiram air mata
selain merta doa membasahi tanah
memberi kesegaran sampai kebawah
tempat akar terdiam diri

kau pergi tak kembali


di sisi Ilahi kau terpuji
dengan ayatayat dan al-fatihah
hanya itu dapat ku telusuri padamu

Purwokerto, September 2014

67
Mahroso Doloh

Tafsir Cinta

Sekian lama
aku bisa membaca
menafsir sebuah cinta
yang tenggelam di airmata

seberat apapun tak ditolak


walau harus menjadi gandar
tulangtulang sanggup bersujud
menjadi pondong dalam keluarga

sekalipun panas
tak sedikitpun terasa panas
melewati rimba dan batubatu
dengan airmata dia berlayar dan pergi
airmata yang mengalir dari hati
menuju ke hati

kalau sudah kita maklumi


dia pergi tanpa permisi
tinggal airmata menjadi saksi
sebuah cinta yang diberi

Purwokerto, September 2014

68
Kiblat Cinta

Telor Goreng

Telor goreng sebelum pagi


Terlukis rindu dalam samudera
Tak seenak keringat bunda
Sebuah nikmat ketulusan luhur

sungguh; perlu sebuah renungan


ayat-ayat yang terselip embun
jika sejarah hanya mengisi kekosongan
telor tersaji tak berbuah sebuah arti

kehangatan begitu datang


saat kenangan terderai waktu
merasa sesuatu tertulis dalam diam
dengan lirik nyanyian sebuah kunut

saat merayu tasbih cinta


ayat-ayat terbungkus dalam sujud
dengan selalu sebuah kepastian
semoga Dia yang selalu

Purwokerto, Juli 2014

69
Mahroso Doloh

Pohon Tua Itu

Di hutan tua itu aku tumbuh


bawahan dua pohon tua yang kokoh
mengembangkan bunga-bunga warna-warni
dalam kebun yang sama
yang saling bertahan dari angin-angin ribut

betapa kokoh pohon tua itu


langit menangis piring api tak menjadi halangan
melangkahi jalur yang penuh asap-asap
untuk merawat empat bunga sedang mengenal dunia

dalam kepak kutung bunga ini


terisi oleh bintang rindu yang berputarputar
mencari pohon tua yang kokoh itu
di kebun itu firdaus dalam perjalanan

kebun itu mengalirkan air manis


melahirkan dialog-dialog menawarkan
ikan dan daging di timur, tengah dan barat
tapi untuknya hanya sayur dan segelas air putih

Purwokerto, 4 Maret 2014

70
Kiblat Cinta

Bidadari Tercinta

Di jendela itu melihat Hawa menari-nari


dan ditimpa oleh banjir-banjir
yang tak kenal musimnya
Hawa itu tetap saja menari-nari

dari titisan embun ke ayam yang membisu


seorang menyaksi Adam pulang Adam pergi
bersama besi hitam dan keras di bahunya
untuk melukis bidadari yang tercinta

Purwokerto, 4 Maret 2014

71
Mahroso Doloh

Jembatan Bidadari

Bintang-bintang yang bertasbih


air yang berderai tetesan mutiara
di sudut-sudut bertaburan emas
menjadi jembatan bertemu bidadari

dengan pohon yang bertatih-tatih, berdzikir


dan bercabang ranting-ranting firdaus
yang menjadi taman teduhan kembali
bagi Adam Hawa yang bernari
ketika panggilan-Mu merayu-rayu

Purwokerto, 4 Maret 2014

72
Kiblat Cinta

4 Catatan
Indonesia

73
Mahroso Doloh

Saat Langit Bersalam pada Bumi

kuberi salam pada mata hari


yang tak sedikitpun sinarnya membisu
walau berada setinggi langit
selalu menyapa rumputrumput

begitu juga bulan; selalu tersenyum


pada segenap semesta
berkedip mencari umat
sedang bersenang maupun tak

dari situ aku pelajari; hidup jadi hampa


jika senyum hanya pada rembulan dan bintang
sedangkan rumputrumput dan kerikil kecil
masih berjejeran di sepanjang jalan

sampai kapankah
kekeringan terpaku pada rumput
dan itu, tak bisa tetepkan waktu
jika nurani tak tertancap pada kalbu

jika kita sesama rumput dan berbunga


tetaplah pada tanah kejujuran
menegak sebuah kebun
membagi harum tak kecuali

Purwokerto, Juni 2014

74
Kiblat Cinta

Rapi dan Api

Tak sedikipun terbayang malaikat


apalagi pada-Nya
saat keringat membasahi telapak tangan
hanya bersibuk dengan ombak-ombak uang

kau lihat tari-tarian bintang


berusaha menolak kegelapan
kau fikirkan apa maksud mentari setia pada siang
dan bulan selalu bertahajud pada malam
demikian embun pada pagi

semua itu dengan keikhlasan pada Ilahi


apakah kau tak mampu bersandar pada-Nya
yang setiap daun-daun membawa angin padamu
hentikanlah!
tanganmu sudah tak sanggup lagi untuk menari dalam api

sungguh selama ini kau sudah merasa akrab


tapi ingatlah; api menyala tidak hanya hari ini
tapi dalam tanah sekalipun tetap saja membara
apakah kau tak merasa kasihan
pada orang-orang kepanasan dengan senyum manismu
dan merasa bangga saat kantong kemeja rapi; berisi api

Purwokerto, Juni 2014

75
Mahroso Doloh

Semarak Tikus

Tikus kecil sudah bersekolah


yang tua sudah merata ufuk Nusantara
di bawah meja, kursi, dan di manapun dikuasai tikus
tikus mengikis semua tak kecuali seperakpun
tapi pantas rombongan tikus adalah sarjana-sarjana bahkan
doktor

apa jadi negara ini; jika salah tak lagi merasa salah
saat ombak hitam membasahi telapak tangan
di ruangan berbesi hitam sudah bergunung;
tapi jutaan ekor masih saja menjadi keturunan
mengikis bumi dan pohon-pohon; dengan senyuman tawar

sepertinya para petani dan pedagang adalah korban


mencari nafkah dari embun hingga mata hari terkubur
hanya mendapat sepiring sayur dan segelas air putih
berbeda dengan para tikus;
yang hanya merangkai kata-kata palsu

palsu dianggap benar


itu cermin pembuktian; tikus sudah mengikis nurani
nurani menjadi ombak-ombak hitam
dan mengalir melingkupi sepatu kulit;
yang tak pernak diselimuti kabut

permukaan bumi diterpa segenap penjuru


terik mentari; hanya satu yang kau kejar
bukan malaikat dan bukan juga nabi
apa lagi mencari Cahaya
jika bukan demikian
siapkah kau hampar alis berjamaah para malaikat

Purwokerto, Juni 2014

76
Kiblat Cinta

Ku Singgah Negeri Indah

Aku singgah sebentar


melihat taman ini; sungguh indah
tapi kenyamanan tak pernah menyinggah
ada apa dengan taman ini, taman riuh dengan kesuburan
tapi kenapa pemiliknya masih saja bernari; di pintu ke pintu
dan di jalan terlihat sebongkah daging ikut bertepuk tangan
mengucap terimakasih, pak

Aku merasa tersinggung


sepertinya ada sesuatu terhadap hal itu
bagaimana aku mau membangun rumah
jika kegelisahan selalu tertancap kalbu, kenyamanan tak
apa yang harus kugunakan untuk menjadi fondasi
sehingga tak gampang diruntuh atau dikerik tikus-tikus
bersepatu kulit

kenapa taman ini terasa seram


setiap angin melewati kuping kecil ini
membawa pilu; saat aparat tersenyum di televisi
dengan kasus hanya melayani ketebalan dompet bribadi
nurani tak lagi menjadi jiwa yang sujud pada bangsa
setiap masalah menjadi komoditas diperdagangkan di bawah
meja

tak lagi merasa seram


jika mata sudah terbuka; melihat duri-duri yang merusak
dan takkan ku diam lagi
merela kemiskinan semarak di ibu pertiwi
kesehatan Nusantara;
adalah kewajiban tak kecuali
menghapus kecemasan yang hanya mementingkan pada kursi
empuk
dan kekenyangan perut sendiri

77
Mahroso Doloh

menghapus egoisme di seekor serigala mencari mangsa tak


kesudahan

wahai bapak yang terhormat


sudah, cukup disinilah
kau tak perlu merangkai kata-kata agar jadi indah
karena dengan suara indah itu; adalah butiran menambah
jumlah kemiskinan

kau tanamlah nurani pahlawan bangsa


dengan tetesan darah terakhir menjadi fondasi agar berkibar
dipuncak dunia

Purwokerto, Juni 2014

78
Kiblat Cinta

Dakwah Seorang Rakyat

Aku tak bisa bermain kata-kata


seperti yang engkau ucapkan
aku tak bisa berpuisi
bermain irama yang sedang kau lakukan

sungguh itu indah


jika suara itu, takkan hanyut begitu saja
tak membuat mimpi seorang anak
menjadi mimpi seekor kambing bermain atas rembulan

ingin ku ajak untuk selalu;


dengan ikhlas dua tangan menari di atas; dengan terbuka
jangan hanya melayani pada suatu tak dibutuh
panggung tersedia kau menarilah, bukan di bawah meja;
tak terlihat mata telanjang

ingin mengucap terima kasih


jika lidah-lidah ini tak terputus

juataan telapak tangan tak mampu berkeringat


jika kau tak menjadi matahari
jutaan jiwa akan kelaparan
jika kau tak menjadi hujan-hujan
karena di bawah pohon tua ini
tempat kami berdarah
kesuburan yang senantiasa;
itu menjadi harapan dan cita-cita

Purwokerto, Juni 2014

79
Mahroso Doloh

Mata Langit Diruncing

berkedip di lapangan langit hitam


manisan doa melintasi separuh kuburan
memberi salam pada kumpulan itu
pintu terbuka senyum yang terluka

terhunus malam yang setia pada gelap


berikan rahim embun membasahi;
tiangtiang bangsa selalu—
mengikis asap menerobos mendung pada jalanan

danaudanau yang buta arus


menunggu hujan sebilah pisau
kapal mencari ikan, pasaran tersenyum
menjadi pagi iktikaf pada embun

Purwokerto, April 2014

80
Kiblat Cinta

Lilin Jepara

Kita dipertemukan lilin Jepara


selalu menderaikan terang tak kehabisan
cahayanya melumuri anak cucu disini
pribumi; terdengar di Nusantara

terpaku di jutaan kalbu


cinta membara mengilhami Hawa
dalam sukma dengan tulus pengorbanan
dari belenggu antara langit dan bumi hitam dan putih

habis malam datanglah pagi


membuka mata pada kepala yang terpicik
habis gelap terbitlah terang
terkubur malang menggunung doa
dalam sujud terbungus kebangkitan
mewariskan terang jadi titi—
kepada-Nya

Purwokerto, April 2014

81
Mahroso Doloh

Melukis Cahaya

Kaulah puisiku
selalu terkunci di pintu kalbu
sungguh wajahmu mata tak bertatap
tapi aroma selalu jadi sahabat kuping-kuping

waktu bertabur
sehingga cinta terpendam kalbu
tak mampu bernyanyi dengan merdu;
kau bebaskan hawa di Nusantara

Purwokero, April 2014

82
Kiblat Cinta

Kau

Usai di makam itu


subuhmu merambat menjadi aksara
embun yang selalu bermadah
hingga kupu-kupu bershalawat tak kehabisan

apakah kau selalu mendengarnya


sebagaimana kau dengar suara perempuan menjerik pada
dunia;
dan ketika itu kau bertatih menggali surga dan hamburkan
mewariskannya menjadi benihbenih berdiri dengan diri
hingga tarianmu menjadi-jadi tak terlihat kaku
kau kuburkan lumpuh pada hawa
menjadi pohon, sayur mayur menakluk kehijauan kembali

setelah begitu lama namamu berlayar dalam nadi,


aku berlabuh pada dadamu; begitu kukuh
melintas ombak dan segala badai di cakrawala
dibanting doa pulau ke pulau hingga teluk dadamu sampai
terdengarlah suarasuara disegenap pelosok dunia

Purwokerto, April 2014

83
Mahroso Doloh

Kartini

KARam kembali memberi salam


pada dedaun yang lama lumpuh dan kering dalam basah
menunggu hujan membalik nasib
yang selama hanya diam pada doa

TInta setitik kata


menjadi senjata pembuka mata
dan tak lagi buta, tak mendiam katakata
seolah-olah nabi kaum hawa

NIat tulus; pagi sampai mentari ditelan bumi


kau dan kami berjabat kalbu menetes gerimis rindu
hanya pada angin kulihat indah wajahmu
biarpun lama sekian tahun tetap disanjung
setiap ulang tahunmu jutaan cahaya lilin shalawat tak
kesudahan
membalas tetesan keringatmu dulu menyuburkan di segenap
cakrawala

Purwokerto, April 2014

84
Kiblat Cinta

Warisan di Salam Kartini

Semoga kau dengar salamku ini


lihatlah kembang salam cinta; hawa
biarlah tangan tak sempat berjabat
tapi tetesan dari keringat tanganku
sudah menjadi kehijauan
yang begitu indah pada alam
dan ku harap lanjutkan keringat ini
jangan sampai kekeringan singgah pada bumi

semoga kau dengar salamku ini


jangan kau takut dengan hal-hal belum kau teguk
walau sepanas apapun jangan biar begitu saja
mainkan sedikit otak jernih itu
untuk bebas sepanjang waktu
dalam hidup seorang anak ke anak cucu
yakinkan itulah rela dari-Nya

Purwokerto, April 2014

85
Mahroso Doloh

Kepayang Kursi (1)



Terbening kursi dalam ruangan
pada fajar menyingsing
menunggu calon ratusan mata
dua mata yang jutaan mata

mata melihat kursi itu


kursi melihat mata itu
dan itu bukan permainan metafora;
tapi metafora itu dipermainkan

bukan permainan hidup


hidup dipermainkan—
memang kita adalah boneka
tak dapat menempati kursi empuk

Purwokerto, April 2014

86
Kiblat Cinta

Kepayang Kursi (2)

Di kamar tidur boneka dipeluki


hujan membasahi dan kedinginan
seberapa mahal boneka itu
ku senyum tanpa kecuali

tapi apakah boneka itu


diletak di kursi empuk, senantiasa
harum bajunya, tidak terlihat
di jalanan dan lampu-lampu merah

senyum rumit kau berikan


tak bisa dibaca; boneka bernapas ikan
berbaring melihat kursi sedang permimpi
kursi penuh oleh dasi-dasi

Purwokerto, April 2014

87
Mahroso Doloh

Kepayang Kursi (3)

Malam di siang hari


mimpi hangat atas kursi berjuta kaki
berjuta kaki di kursi tanpa kaki
kepayang kursi

kau riuh yang menjadi


bertabur bidadari
menutup mata selembar-selembar
tangan terbuka penuh udara

kursi sekolah tak pernah kududuki


keras lembutnya sekalipun tak nikmati
kau di kursi surga; melihatkah
kaki tenggelam tanah—

Purwokerto, April 2014

88
Kiblat Cinta

Kepayang Kursi (4)

Dedaun silih berganti


indah pohon; dedaun hijau yang tulus
daun di puncak badai bertamu
meskipun begitu, tetap dengan kukuh

menjaga kehijauan memberi teduh


di bawah pohon aku bersekolah
menanam pohon aku bernapas
naungan pohon merantai gerobak

jadikan pohon di puncak takwa


cumbuan waktu tidak sesaat
memberi medan penuh warna
kesana kemari senyuman makmur

Purwokerto, April 2014

89
Mahroso Doloh

Ucapan Selamat

Hari masih tersisa sepertiga menjelang malam


kami menyaksi sumpah-sumpah telah kasidah
akan membara jadi perigi; dan doa-doa
kami ucapkan selamat atas kursi yang kau ingin

rembulan silih berganti dan mentari pagi selalu


mendaki kursi yang kau isikan sumpah—
sumpah jadi ayah dan ibu tercinta
kami tunggu layanan—sang bayi melihat dunia

senyum manis yang kau papar itu


atas kursi di puncak awan
kau menatap cerahan di langit biru
jangan hanya berziarah; kau berikan

Purwokerto, April 2014

90
Kiblat Cinta

Keunikan Senyum

Senyum salju penuh di depan rumah warga


pohon-pohon ikut bersenyum di sepanjang jalanan
apakah matahari sepuluh april masih tersenyum
jika iya, ku harap kau tersenyum merantai kalbu penuh
melati

terima kasih kau ucapkan


dengan Basmalah kau langkah tebah semak-semak hutan
simbah keringat menjerat di atas sajadah
memberi penawar kakek tua penjaga mushola

jangan kau tanam bunga kamboja pada mimpi-mimpi


tapi tanamkan para sufi atas kuburan berdoa oleh ribuan
orang
kepergian diselimuti aroma melati dan suci
senyum kau merata; kau pergi bertemu sang Maha Cinta

Purwokerto, April 2014

91
Mahroso Doloh

Bait Puisi Para Pejabat

Selamat pagi bapak ibu


suara pejabat melontar kuping-kuping
dengan manis senyumnya; menjadi sulit dimaknai
senyum bunga kamboja apa melati

sekalipun penuh wangi


bisa membusuk sampai ke hati
sekuntum bait puisi
merekah darah gembur di hati

nada-nada mengalun aroma surga


beri ceramah bagai kasidah cinta
sebening puisi menetes awan sunyi
menjadi kabut untuk yakin para Nabi

Purwokerto, April 2014

92
Kiblat Cinta

Doa Sebelum ke Makam

Matahari pagi nakhoda hidup ini


aku sudah tua tak melihat langkah di depan
tapi, anak cucuku masih bayi semua
apakah itu akan ku tinggal begitu saja

ku selalu berdoa agar di jendela dunia


tempat kau sumpah; menjadi tepat—
tempat aku merenung, melihat kekuningan sawah
yang penuh senyuman mewujud kehijauan mendatang

kutitipkan gunung, lautan dan semesta ini


menjadi kaki tangan dalam seharihari mengisi waktu
jangan kau tanam untuk kepentingan pribadi
menyulap mentah menjadi emas menghias diri

khalifah Ilahi
kemarau kau rimbah keringat menjadi-jadi
memberi mendung pada pintu ke pintu
terima kasih kau menjadi khalifah yang selalu

Purwokerto, April 2014

93
Mahroso Doloh

Ulang Tahun Sepuluh April

Harapan berpijar di rengkut lautan


karena redam dengan nanar sumpah-sumpah
bukankah Dia untuk mengikat keyakinan
kepada-Nya kening-kening menghampari

ulang tahunmu sepuluh april


sempatkah kau menyala lilin dan merata
menabur melati memberi harum di pintupintu
seperti Dia; purnama bulan di pelusuk dunia

ku ingin, di mushala itu terang gemilang


kau jadi imam menular para jamaah
merenung kepada Cinta; dan doa
dengan Zamzan itu Dia memandikan kita

Purwokerto, April 2014

94
Kiblat Cinta

Risalah Rakyat

Kau hidangkan nyala matahari


sebelum subuh menjelma
kau beri beribu doa tercatat di surat kabar
kau merapat bunga-bunga; kelopak—

berjuta medan merantai doa


memekarkan kemilauannya, sinar di ufuk-ufuk
hingga fajar jadi hakikat dan bermakna
aroma jalanan kau reguk sebagai sang kekasih

sebelum matahari berkubur


lima tahun kelak berikan embun yang mengkobar
membasahi rerumput kepanasan; kering
membuka hutan menjadi ladang-ladang
; napas

Purwokerto, April 2014

95
Mahroso Doloh

Kepada Siapa Aku Bertanya

Umpama badai menjelma dalam hidupku


menutup mata dalam gelombang ; bernapas ikan
beribu kapal bersuara mengundangku
semua berhias penuh warna dan senyuman

saat gemuruh dan gelegar


kemanakah aku harus mengatur telapak
apakah ada yang melabuh bahtera cinta
memberi ikan menjadi lauk untuk sarapan

aku sudahkah i’tikaf dalam sujud


apakah sujud hanya sisa yang menghanyut
aroma surga dan air mata bisakah diuntai mutiara
gemilang menjadi doa di penghujung senja

Purwokerto, April 2014

96
Kiblat Cinta

Bunga-bunga Rakyat

Butiran embun hening di kelopak bunga


semua merah dan semakin runcing
memberi hias taman ke taman
saat embun mengatarkan rembulan

Sepeti mimpi yang berkerut


saat melepas aroma surga yang bertakbir
jutaan amin dengan harapan kehijauan
menyejuk mata, relung kalbu pada sunyi

dalam udara berteduh kuldi


menghalang nestapa menyemai doa
dengan jasad yang kau selami
jadikan bunga di rembulan yang mengantar
: kuburan mentari

Purwokerto, April 2014

97
Mahroso Doloh

Suara di Kaki Bumi

Di kursi yang mana layak ku tempati


kau persila penuh dengan irama dan berpuisi
singgasana kau ikhlas untuk siapa
pada ku atau menjadi altar untukmu

sungguh gemang saat kau melontar doa-doa


menjadi mimpi-mimpi revolusi anak cucu
berangkutan bertemu guru tanpa sembilu
mewujud hari-hari istikharah aroma surga

kemarau tak juga kemarau


bumi merindangkan hujan
hujan merindangkan hijau
kau beserta aku merindang tangan-tangan—

dalam hujan dan cahaya yang redup


lapangkah kau berbunga bersedia ditimpa badai
dalam ruang yang sudah-sudah berbenah bidadari
sudi menghanyut geram derita saat sapa melontar

Purwokerto, April 2014

98
Kiblat Cinta

Kabut di Kampus Biru

Kampus biru kau selalu menyebut


taat dan sujud suara bergema
ayat-ayat kau selalu menyebut
bukan Kitab kau tak kenalan dan berkata bidah

tapi menjilat mata dan membumi bayang-bayang hitam


dengan membuta mata-mata yang nyata
saat kabut bernyala menjilat kepala dan kau menari
kau jadi wadah terbuka meledani kabut hitam

apa arti apakah tafsirmu kata unggul


dan apakah arti modern dan islami
ketika tembok-tembok dan suara-suara menjerik-jerik
kau memejam, tuli dan membuta

satu kata kau tak berkata


bibir telah dikunci oleh budaya
seni yang kau setia tanpa setetes menguranginya
budaya bukan cahaya tapi kabut memunuhi jiwa-jiwa

Purwokerto, 4 Maret 2014

99
Mahroso Doloh

Smokol
-Tugas Analisis Cerpen Smokol
Smokol kau jadi puisi aku malam ini
kau masukan kepayang kepala kecil ini
oh...aku pergi aku balik aku tersesat
tak bisa aku tembuskan jalan kau, Smokol

Smokol aku bengong


aku tanya ke pohon-pohon tua di kebun
tapi jawabannya aku juga tertutup pohon-pohon kepayang
Smokol,
ini harus bagaimana? padahal bumi memuntah cahaya
aku harus pergi, tiket satu minggu lalu aku sudah tetap

aku harus bagaimana?


kau suruh aku menyeberang aku menyeberang
malah kau memutarkan
aku harus bagaimana

Purwokerto, 4 Maret 201

100
Kiblat Cinta

Merah Putih Mengecewa

Di puncak pohon-pohon tanah ini


terbayang merah putih serambi Mekah
berlari-lari di televisi tidak ada yang Cina
kebanyakan wajah memuat gatungan baju

merah putih di puncak pohon-pohon ini


engkau sudah bebas dari batas-batasan barat
semua umat mayoritas Muhammad
kaum ibu berjalanan Aisyah

tapi setelah aku tumbuh di kebun-kebunnya


ternyata semua itu bayang-bayangan kosong
rakyat-rayat yang lapar di pinggir-jalan
serambi Mekah berada di tangan-tangan barat

aku kecewa kenyataan di kebun SBY


aku kira kebun ini dapat aku menumpan mandi
tapi ternyata kebun ini hanya berisi rumput-rumput yang
kering
yang mengalami lapar dan dahaga

Purwokerto, 4 Maret 2014

101
Mahroso Doloh

Raja Pemilu

Aku pribadi pendatang


saat fajar menyingsing mata terlihat memandang;
barisan gerobak-gerobak mencari nafkah di sepanjang—
jutaan tangan mengayung-ngayung yang
menari di jalan getir menggendong sebongkah jantung tanpa
berdosa dan bertelanjang

di segenap rute-rute di bumi tercinta Hyang


aku menghitung lampu-lampu jalan yang
berurutan dan diakhiri oleh sebilah tongkat serta kaki yang
patah membelalang
membawa kecapi-kecapi yang dibikin dari tasbih dan madah
berdetingan kotoran lumang

tapi setiap hari tongkat itu menjadi raja


angin membawa gelombang menjilat kuping-kuping kita
gelombang yang lahir dari bibir politisi, pusat dan daerah
serta kota
beragam dan selalu dijunjung, tapi setelah pemilu tiba
dan usai, fajar menyingsing tongkat dan tangan-tangan yang
mengayung fakta
menjadi getir dan membawa gelombang keruyuk untuk lima
tahun ke depan yang derita—

Purwokerto, Januari 2014

102
Kiblat Cinta

Banyumas Seindah Negerimu

Banyumas seindah negerimu


embun pagi memaniskan mataku
gunung Slamet merayu-rayu kalbu
Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju
fajar menyingsing ku melihat di setiap penjuru
sungai serayu mengalirkan jiwa luhur, mataku terpaku
Telaga sunyi
pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi
bumi perkemahan kebun raya terperi
negeri mutiara pusaka Ilahi
yang tak terlukis dada sebelum ku kunjungi
Ahmad Tohari
cukup indah namamu, senantiasa terperi
yang persis tajam otaknya tak terhenti
Srintil menjadi bidadari dan menari
teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti
menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji
lantaran aku berlari disini
tak pernah ku duga jalanan ini;
bertemu dengan seorang penyair selama ini ku cari-cari
yang dicintai ranting-ranting budaya dan seni
yang tersimpan filosof dan Sifatul Din bercabang tak henti
diiringi ahlussuluk kesendirian para sufi
sekelumit rindu takkan hanyut
menumpang mandi dan berteduh larut
agar bisa ku temui cablaka, blakasuta untuk ku rangkut
setetes dzikir bisa kutitip, tuntut
menabur bunga-bunga profetik ke jauh-jauh ufuk dan sudut
semoga persih tabliq di talapak Muhammad melesat salut

Purwokerto, Januari 2014

103
Mahroso Doloh

Nafas

Fajar menyingsing
membawa gairah terbening
setiap langkah tanpa merinding
Kau menjelita rerumput; kering

di pegunungan dingin ku sapa


kaki tangan mengayuh bersama
berbakti, makruf bumi tercinta
memapar hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga

diiringi rengkong saat panen tiba


jalan pulang-pergi silih senyum dan suara
bekerjacowog, mbloak wongdesa
umat limpah rahmat Sang Kuasa

marak fajar rute-rute untuk bersujud


jutaan gerimis menyelimut badan penuh maksud
setetes lautan nafas sang bayi yang menakjub
Rahmat selalu shalawat semesta bertahajud

Purwokerto, Januari 2014

104
Kiblat Cinta

Sajak Orang Merantau

Tak tahu bulan sabit yang harus ku tulis


aku adalah rembulan dikelilingi bintang romantis
orang berkata sajakku adalah puitis
aku bilang anggap saja ini setangkai bunga narsis

aku merantau menggali doa-doa


pafas dingin kulit menjadi kata-kata
gunung Slamet ku menjilat dua belah mata
menggalas cahaya taaruf berbagai budaya

ada bongkel yang bernadanada


tangan dan kaki dilingkar gelang-gelang
setiap gerakan diiringi kerincingan
senyum Srintil sangat menyenang

sungai serayu jutaan kata


walaupun belum sampai di muara
mengalir dengan gelombang sayang dan cinta
memberi nafas pada penduduk cablaka

hidup sama rata


adalah doa pulau jawa

Purwokerto, Januari 2014

105
Mahroso Doloh

Setangkai Gelombang Karyamin

Sepertiga rembulan kumelihat senyummu


demi waktu terus membuat terpaku
diijab-kabul bidadari hanya mengumpul batu
aku mengerti rembulan menyinari kerikil

tubuh rubah batupun tumpah


mengalir hiburan dan omong brecuh
mekar bunga melihatmu yang mbloak
aku pungut akarmu yang ksatria

Diktum jadi kolam renang bagi


aku yang sambil menyelam menangkap ikan
untuk mengisi lambung yang keruyuk
walau keruyuk, tapi merantai senyuman

merasa bajul buntung—


jika tanpa merajut senyummu itu
sebelum rembulan di telan tanah
sudikan aku melafal kulanuwun

Purwokerto, Januari 2014

_____________________
*Sajak “Setangkai Gelombang Karyamin” ditulis dengan berdasarkan
cerpen “Senyum Karmin” karya Ahmad Tohari.

106
Kiblat Cinta

Mengkiblatkan Cinta Kepada Cahaya


Oleh Dimas Indianto S.1

Cinta memang luar biasa. Cinta tak pernah habis dituliskan.


Cinta meruang dan mewaktu. Semua orang mengalami
perasaan yang disebut cinta. Cinta mempunyai banyak
dimensi, dari cinta eros sampai cinta mahabbah. Cinta tak
pernah selesai dibahas, tak pernah usang dijadikan cerita. Pun
dengan puisi. Penyair tak bosan menuliskan puisi ikhwal cinta.
Sehingga puisi cinta akan terus ada dan mengada. Padahal,
menulis puisi cinta itu hal yang sangat sulit. Setidaknya itu
yang diakui oleh Paul B. Janeczko dalam pengantarnya di
buku “Ketika Kau Tersipu” (2004). Puisi cinta menuntut
penyair untuk bisa membuka teks, agar pembaca bisa hadir
dan mengatakan “penyair ini begitu memahami perasaanku”.
Artinya, agar puisi tidak menjadi aku-penyair semata, namun
aku-publik. Sebab, semua orang merasakan cinta, mempunyai
cerita cinta, dan kenangan-kenangan indah tentang cinta,
maka itu, ketika dituangkan ke dalam sebentuk puisi,
tantangannya adalah bagaimana “pengalaman” yang menjadi
isi puisi itu tidak kehilangan ruh ketika puisi sampai pada
pembacanya. Contohnya adalah puisi cinta berjudul “aku ingin”
karya Sapardi Djoko Damono. Puisi itu sederhana, namun
maknanya—meminjam istilah W.S. Rendra—meruang dan
mewaktu, sehingga usia cinta lebih lama dari usia percintaan.

1 Dimas Indianto S. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga


Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan jurnal. Sering
diundang membaca puisi baik di pertemuan sastrawan bertaraf lokal,
nasional, maupun internasional. Puisinya sering memenangkan lomba
kepenulisan puisi. Puisinya tersebar di berbagai buku antologi dan koran-
koran nasional. Buku kumpulan puisi pertamanya berjudul Nadhom
Cinta (2012). Sekarang bergiat sebagai pengasuh komunitas Pondok
Pena, Purwokerto.

107
Mahroso Doloh

Membaca buku kumpulan puisi berjudul “Kiblat Cinta”,


saya dihadapkan dengan sebuah kitab cinta. Mahroso Doloh,
seorang penyair kelahiran Thailand yang belum genap tiga
tahun berada di Indonesia, menawarkan puisi-puisi manis
yang sarat muatan cinta, dari cinta eros kepada lawan jenis,
cinta nasionalis kepada tanah kelahirannya, cinta berdimensi
sosial kepada lingkungan sekitar, juga cinta yang berdimensi
ruh atau transendental.
Kiblat Cinta

Kemana akan kusimpan sebuah cinta


jika aksara tak menjadi kata-kata
bahkan terucap hanya terpaksa
menjadi ombak hanya ketika

dalam puisi menggunung cinta


mencari arah tak terhingga
tak ingin cinta;
yang menjadi titi neraka

dengan cinta; beribu cinta


menbuat taubat di sela-sela malam
menderai gerimis hitam
menjadi secawan zamzam

dengan cinta; beribu cinta


angin, panas dan hujan
semua terasa pada telubuk kalbu
hanya mencari kiblat Cinta

Patani, September 2014


Puisi ini merepresentasikan esensi dari buku ini. Adalah
sebuah keresahan yang dirasakan oleh Mahroso Doloh
yang menjadikan ia terpanggil untuk menuliskannya dalam

108
Kiblat Cinta

sebentuk puisi, ia mencurahkan pemikiran, perasaan, dan


harapan-harapannya. Ia melihat dan merasakan bahwa
fenomena “cinta” baik dalam konteks spesial yakni cinta antar
jenis kelamin manusia maupun cinta yang hakiki, yakni cinta
yang berdimensi transendental. Ia mengatakan /Kemana
akan kusimpan sebuah cinta/ jika aksara tak menjadi kata-kata/
bahkan terucap hanya terpaksa/ menjadi ombak hanya ketika. Ia
khawatir jika cinta yang ada tidak memberikan kemanfaatan.
Apalagi jika cinta menimbulkan suatu yang merugikan. Jika
dalam konteks lebih sempit, cinta antar dua insan manusia
misalnya, adalah cinta yang sekadar kamuflase-kamuflase
belaka, sehingga aksara tak menjadi kata-kata/ bahkan terucap
hanya terpaksa/, padahal cinta itu memberi, tanpa berharap
menerima, sebagaimana disampaikan Erich Fromm, bahwa
dalam mencintai, yang dibutuhkan adalah kesanggupan untuk
senantiasa memberi kepada yang dicinta, tanpa mengharapkan
balasan. Sebaliknya, jika cinta hanya dipahami sebagaimana
definisi umum yakni give and receive, maka cinta akan timpang,
ketulusan akan dipertanyakan, dan bisa jadi akan berakhir
menjadi ombak hanya ketika. Maka itu, Mahroso Doloh khawatir
dan /tak ingin cinta;/yang menjadi titi neraka.
Sebaliknya, Mahroso menginginkan /dengan cinta; beribu
cinta/ membuat taubat di sela-sela malam/ menderai gerimis
hitam/ menjadi secawan zamzam. Artinya, keberadaan cinta,
memberikan kontribusi positif: cinta menjadikan seseorang
justru menjadi lebih baik. Maka itu, Mahroso menuliskan
puisi “Kutuliskan Cinta”; /Kutuliskan cinta pada dedaun/ yang
selalu memberi mendung di telubuk hati/ tempat dikau dan aku
menghirup angin/ menjadi rantai senyum berbunga/ tapi, jangan
membuta/siapa pemilik angin itu/.
Mahroso menginginkan, agar cinta mengingatkan—sekalipun
dalam euporia—siapa pemberi cinta itu: Dzat Yang Maha
Cinta. Dalam ranah itu, Mahroso banyak menyimbolkannya
dengan diksi “cahaya” dalam puisi-puisi cintanya, seperti puisi
“Mahligai Cinta”:/di pagi hari/ embun berdoa pada Cahaya/

109
Mahroso Doloh

agar hujan menemani bungabunga/ saat kau mencium tanganku/


Qudrat di atas qudrat tertulis; semoga/ di dalam mahligai cinta//.
Pun dalam puisi “Semarak Tikus”/ permukaan bumi diterpa
segenap penjuru/ terik mentari; hanya satu yang kau kejar/ bukan
malaikat dan bukan juga nabi/ apa lagi mencari Cahaya/ jika bukan
demikian/ siapkah kau hampar alis berjamaah para malaikat/.
Namun begitu, Mahroso—melalui puisi-puisinya—juga
menebarkan cinta terhadap tanah kelahirannya: Patani. Untuk
itu terdapat sub judul tersendiri, yakni Untukmu Patani.
Menjelaskan bahwa sebagai seorang warga negara, Mahroso
mempunyai tanggungjawab untuk senantiasa menjaga rasa
cintanya sekalipun ia sedang tidak berada di negeri asalnya.
Suara Patani

….
jangan mudah terlena
wajah berbunga belum tentu itu surga
disana dan merata banyak penjaga
tapi kenapa selalu menderita
darahdarah mengalir dibalas dengan jutaan ketawa
ini negara apa?
kau bilang kedamaian milik kita
tapi kenapa kau sendiri membakarkannya
anak-anak dihilangkan ayah penuh sengsara
para ustadz, ulama menjadi tersengka
ini permainan politik belaka
menabur najis tak terhingga
hari ini mari kita bicara
jangan biar begitu saja
jangan sampai anak cucu kecewa
ayo kita bangkitkan surga
dalam negeri yang tercinta
bumi bertuah bumi pusaka
hapuskan penindasan yang menggoda

110
Kiblat Cinta

peri kemanusiaan kita tegakan semula


ketidakadilan kita hanyutkan di samudra
dengan satu syahadat menjadi rantai kita
berjuang sampai jasad melayang cinta
walau hujan kunjungi sebentar dengan campuran airmata
walau dalam lautan darah; yakinkan itu balasan surga

simpulkan tangan sesama


Satu Patani Harapan Kita

Purwokerto, September 2014

Puisi ini adalah bentuk kepeduliannya terhadap negeri


asalnya. Sementara itu, tersebab dirinya tinggal di Banyumas
untuk kepentingan studi, ia pun menuliskan sebuah puisi
yang merepresentasikan perasaannya terhadap bumi
Banyumas. Tentu apa yang ia tuliskan adalah lesatan-lesatan
ingatan, dan segala yang ia tangkap dari hasil permenungan
dan pengalamannya selama hidup di Banyumas. Mahroso
menjadikan puisi sebagai kesaksian atas lingkungan hidup
tempat ia menjalani hari-harinya.
Banyumas Seindah Negerimu

Banyumas seindah negerimu


embun pagi memaniskan mataku
gunung Slamet merayu-rayu kalbu
Ronggeng dan batik membuatku kehilangan titik salju
fajar menyingsing ku melihat di setiap penjuru
sungai serayu mengalirkan jiwa, mataku terpaku

Telaga sunyi
pancuran tiga dan tujuh kumenyaksi
bumi perkemahan, kebun raya terperi
negeri mutiara pusaka Ilahi
yang tak terlukis dada sebelum kukunjungi

111
Mahroso Doloh

Ahmad Tohari
cukup indah namamu, senantiasa terperi
yang persis tajam otaknya tak terhenti
Srintil menjadi bidadari dan menari
teguh menggalas adab budaya tak pernah goyah dan bakti
menjilat daun kudus di dadaku rantai memuji

lantaran aku berlari di sini


tak pernah diduga, jalanan ini
bertemu dengan seorang penyair selama ini ku cari-cari
yang dicintai ranting-ranting budaya dan seni
yang tersimpan filosof dan Sifatul Din bercabang tak henti-henti
diiringiahlussuluk kesendirian para sufi

sekelumit rindu takkan hanyut


menumpang mandi dan berteduh larut
agar bisa ku temui cablaka, blakasutauntuk ku rangkut
setetes dzikir bisa kutitip, tuntut
menabur bunga-bunga profetik ke jauh-jauh ufuk dan sudut
semoga persih tabliqdi tapak Muhammad melesat salut

Purwokerto, Januari 2014

Religiusitas perpuisian Mahroso Doloh yang direpresentasikan


dengan diksi “cahaya” di dalam buku ini, mengingatkan saya
pada konsep cahaya sebagaimana didefinisikan Murata dan
Chittick, adalah apa yang menghilangkan kegelapan, dan
ketidakjelasan, iluminasi, irradiasi, ketakterselubungan, dan
penampakan (2005: 128&132). Sementara, dalam perspektif
Islam, cahaya merupakan representasi Tuhan. Cahaya dalam
pengertian mistik ini dapat ditelusuri dari Q. S. an-Nur [24]:
35 yang artinya:
Tuhan adalah cahaya (pada) Langit dan Bumi. Perumpamaan
cahaya Tuhan adalah seperti sebuah relung yang tidak tertembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca

112
Kiblat Cinta

(dan) aca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti


mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah Barat (nya), yang minyaknya
saja (hampir-hampir) menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).
Cahaya dalam ayat di atas diartikan sebagai “sang cahaya”
sebagai salah satu nama indah Tuhan (al-asma al-husna).
Cahaya (al-Nur) merupakan cahaya yang memancar dari
Cahaya Tuhan Yang Tercipta yang keberadaannya menyinari
suatu objek menjadi jelas dan terang sehingga mata manusia
menjadi bisa melihatnya (Kurniawan, 2009: 87). Definisi ini
senada dengan yang disampaikan Muhammad Mahmud Hijazi,
bahwa cahaya adalah sinar yang tertangkap oleh indera, dan
dengannya mata dapat melihat sesuatu (Ensiklopedi Islam,
1994: 45). Hal ini berarti, cahaya diartikan sebagai esensi
yang tampak dengan sendirinya, dan membuat benda-benda
di sekeliling menjadi nampak. Cahaya menjadikan segala
objek wujud di alam semesta dapat terlihat dan diidentifikasi
oleh penglihatan manusia. Maka itu, dengan puisi-puisi dalam
buku ini, Mahroso ingin mengajak kepada jamaah pembaca,
agar cinta yang sudah terlanjur dan menjadi keniscayaan
manusia, diarahkan kepada cahaya: agar cinta menjadikan
manusia menjadi lebih baik, lebih mengenal siapa pemberi
rasa cinta itu: dengan kata lain, Mahroso mengajak pembaca
untuk mengkiblatkan cinta kepada Cahaya. []

113
Mahroso Doloh

Endorsement

“Mahroso Doloh, anak muda yang sangat berbakat. Dengan


tempo waktu yang terhitung sangat singkat mampu
menembus dinding batas antara Indonesia dan Melayu Pattani
baik secara kebahasaan, maupun kultural. Hingga akhirnya
mampu menggunakannya dalam kumpulan karya puisinya
“Kiblat Cinta” bernuansa romantis-religius.”
Hamam Supriyadi, Ph.D (Wakil Kepala Pusat Studi Sosial Asia
Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada, Indonesia

“Saya sangat apresiatif dengan puisi dari Mohroso Doloh ini.


Ia mampu menjalin simbol-simbol sebagai kekuatan puisi.
Bahkan, ia juga turut memunculkan unsur alam sebagai pesona
di dalam puisi. Maka, ia mudah saja ketika harus menulis tema
religius maupun nasionalisme untuk diwacanakan pada publik
seperti yang ada dalam buku ini.”
Arif Hidayat (Dosen dan Sastrawan)

"Sajak-sajak yang indah dan bermakna.”


Yanwi Mudrikah (Penyair dan pemilik Kumpulan Sajak Rahim
Embun)

“Sajak dalam Kiblat Cinta pantas dan layak dibaca untuk


memahami sebuah cinta.
Good Luck Mahroso!
Yustin Safrilia Nur Alfian (Penyiar Radio Gradiosta dan
Mahasiswa PBSI)

114
Kiblat Cinta

Puisi-puisi Mahroso Doloh itu sejuk. Serupa angin pagi hari


yang berbeda. Berbeda karena teknik, corak, dan nuansa
yang ada dalam puisi-puisinya adalah nuansa Melayu dalam
keindonesiaan. Hal ini tak terlepas dari proses imajinatif
hidup Mahroso yang Melayu, tetapi pengalaman imajinatif
ini disampaikan dalam citra-citra keindonesiaan yang kental.
Inilah khasnya puisi-puisi Mahroso Doloh.
Heru Kurniawan (Penulis cerita anak, sastrawan dan dosen ilmu
bahasa dan sastra)

Menikmati puisi karya Mahroso Doloh, seperti menikmati


secangkir coklat. Hangat, manis serta romantis. Penyair dari
Patani ini seolah mengajak saya menyelami lautan bernama
cinta. Ada puisi di dalam puisi. Ungkapan yang estetik dan
apik mampu membius saya ke dasar yang paling dalam. Hati.
membuat saya terhanyut bahkan tersesat. Tasbih-tasbih cinta
untuk pencipta, membuat saya seolah kembali jatuh cinta
dengan cinta. Puisi yang mendamaikan, menyejukkan, seperti
pohon rindang di tengah tanah gersang.
Mulasih Tary (Novelis dan penikmat sastra)

“Membaca puisi Mahroso Dolloh membuat saya merasa


tenang. Seperti embun yang menetes di dedaunan, indah
dan selalu ada hikmah pada tiap tetes kata-katanya. Sentuhan
Melayu yang ada dalam sajak Negeri Patani ini membuat
semuanya unik dan indah dalam bingkai kesederhanaan.”
Titi Anisatul Laely (Penulis Kreatif di Rumah Kreatif Wadas
Kelir)

115
Mahroso Doloh

“Mencermati puisi-puisi yang ditulis Mahroso Doloh pada


Kiblat Cinta ini, saya seperti disuguhi fenomena-fenomena
yang sarat akan renungan pikir dari penyairnya. Fenomena air
mata, saya tangkap cukup dominan pada penggalan “Untukmu
Patani”. Yang menarik, Mahroso justru mampu menjelmakan
fenomena air mata itu menjadi mata air karya! Dengan apik
Mahroso mampu mengerahkan seluruh panca inderanya
untuk kerja kreatifnya, sehingga ada jarak estetis antara “aku
lirik” penyair dengan fenomena yang menjadi pijakan idenya.
Meski, nuansa kesedihan muncul pada beberapa puisi yang
ditulisnya, tetapi optimisme dan respon kritis atas fenomena
tersebut justru membuat puisi-puisi yang ditulis Mahroso
memiliki ruh. Ia tidak terjebak pada gaya penyair sentimentil
yang cenderung hanya meratap-ratap. Mahroso justru
mengajak para pembaca puisinya untuk melakukan refleksi,
perenungan yang dalam, sehingga puisi yang ditulisnya bukan
sekadar puisi curhat, tetapi puisi yang sarat dengan pesan
moral. Puisi yang membuat pembacanya berpikir”.
Eko Sri Israhayu, Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto sekaligus sebagai dosen
Prodi PBSI FKIP UMP

“Kumpulan sajak ini seolah menjadi tetesan hujan yang


membersihkan kekeruhan cinta yang pernah kita jilati
hingga melahirkan cinta sejati dari-Nya. Dengan bahasa
yang sederhana penulis mengajak kita untuk merenung dan
mengembalikan cinta pada Pemilik Cinta.”
Wanto Tirta, Penyair, dan “Presiden Guritan Banyumas” Indonesia

116
Kiblat Cinta

“Kumpulan sajak ini membuat saya termenung. Buah karya


penulis muda kelahiran Patani ini mampu menuangkan cita-
citanya dan berdaya bangkitkan jiwa anak bangsa yang lama
terlena.”
Usman Tanjung, Ketua Program Studi Pbs. Melayu JISDA Jala
Thailand Selatan.

“Dalam kesempatan menekuni sajak-sajak Mahroso Doloh;


terutama lewat fb, saya dapat merasakan kemampuannya yang
sangat terserlah dan mempunyai potensi yang menjanjikan
berbanding penulis-penulis Patani yang seusiabahkan yang
lebih veteran daripadanya. Dengan persekitaran kehidupan
masyarakat Merlayu Patani yang jauh berbeza dengan realiti
kehidupandi di Malaysia, Indonesia mahupun Brunei, saya
yakin kesempatannya untuk mengangkat isu-isu kontempora
melalui sajak-sajaknya cukup luas.”
Nawawee Mohammad, Penyair, Jerteh, Terengganu, Malaysia
27 September 2014

Membaca sajak-sajak yang ditulis oleh penyair Mahroso


Doloh, saya menemukan nafas ke-Melayu-an. Namun,
penyair ini berusaha menuliskan sajaknya dengan Bahasa
Indonesia. Di antara kedua bahasa ini di dalam sajaknya tarik-
menarik. Sebagaimana tarik-menarik antara tradisionalitas
dan modernitas, antara religiositas dan romantisme cinta
remaja yang berangkat dewasa.
Abdul Wachid BS, Penyair Indonesia, dosen-tetap Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, Jawa Tengah.

117
Mahroso Doloh

“Membaca sajak-sajak dalam Kiblat Cinta kita dapat merasakan


bahwa puisi Mahroso Doloh tidak hanya mengandung nilai-
nilai romantis atau hiburan saja, tapi juga mengandung nilai-
nilai seorang hamba terhadap Yang Maha Kuasa atau hakikat
manusia sebagai makhluk profetik.”
Muhammad Abdul Khodir, Mahasiswa Jurusan Derasat
Islamiah Al Azhar University, Cairo

118
BIODATA

Mahroso Doloh, mahasiswa


Prodi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Muham-
madiyah Purwoketo, Indonesia.
Lahir pada 24 Februari 1992, di
Pakalesong, No.31/1, 6 Tuyong,
Nongchik, Patani 94170 (Thailand
Selatan). Mahroso adalah anak
yang kedua dari empat saudara.
Ibunya Zainab binti Husen dan ayahnya Kosim bin Ismail, seorang
pedagang minuman (air tebu). Mahroso dikenal juga dengan nama
Muhammad Rosul bin Kosim dan sekarang ia dikenal sebagai Penyair
Muda Negeri Patani (Thailand Selatan).
Masa kecil, Mahroso sangat dekat atau akrab dengan kakeknya
(al-marhum H. Abdul Kodir), kakeknya adalah seorang imam masjid
Nurul Huda Pakalesong. Dengan pendekatan tersebut dapat
dikatakan Mahroso berkembang di ranah religius yang agak kuat.
Sejak kecil Mahroso dididik oleh kakek dan kedua orangnya untuk
senantiasa shalat berjamaah di masjid dan setiap malam setelah
maghrib Mahroso dan adik-adiknya ngaji bersama. Mahroso
bersekolah SD, SMP, dan SMA di sekolah yang sangat biasa, bukan
sekolah yang favorit seperti teman-temannya. SD-nya di Sekolah
Pakalesong yang berada di desanya. Setelah lulus SD Mahroso
langsung ditempatkan ke sebuah pesantren di Sekam, Palas, Patani
atau yang dikenal dengan Pondok Ji. Loh Sekam. Tapi, sayangnya
Mahroso bisa bertahan di pesantren tersebut hanya satu tahun saja,
kemudian ia melanjutkan lagi di sebuah sekolah sekaligus dengan
pesantren yang dekat dengan rumahnya, yaitu Pondok Takdam atau
Ma’had Al-hidayah. Di pondok Takdam Mahroso hanya menjadi siswa
biasa (pulang-pergi atau laju), tidak menjadi santri yang benar-benar
tinggal atau menginap di ma’hadnya. Cukup satu tahun, Mahroso
pindah ke sekolah atau pondok yang lain lagi dan di sekolah inilah
yang dapat dikatakan sebagai sumber atau taman yang paling banyak
menumbuhkan ilmu agama dan religiusitas ke dalam jiwanya. Sekolah
tersebut adalah Sekolah Bakong Pitaya atau Ma’had Al-Islahiyah
Addiniyah Pondok Hutan Agu. Kebetulan sekolah tersebut bersedia
sampai tingkat SMA sehingga Mahroso pun tamat SMA di sekolah
tersebut. Perlu diketahui bahwa di Patani atau wilayah Selatan
Thailand kebanyakan sekolah yang dilahir dengan latar belakang
pesantren, jadi sekolah-sekolah di sana tidak hanya mempelajari ilmu
dunia saja, tapi malah lebih memperkuatkan ilmu agama atau ilmu
akhirat.
Setelah lulus SMA Mahroso memilih jalur studinya di Program
Studi Mass Communication di Ramkhamheng University Bangkok
Thailand (kampus terbuka) sementara itu, Mahroso mengiringi juga
dengan ilmu agama atau kelas sanawi di Mahad Darul Ma’arif Patani.
Satu tahun di Ramkhamheng University kemudian pada tahun
angkatan 2012 Mahroso mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
studi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto Indonesia.
Mahroso, saat berada di kampungnya ia sering disuruh untuk
membaca Kutbah Jumat dan Kutbah Hari Raya Idul Fitri maupun Idul
Adha. Dengan nada yang kuat, permainan suara yang membuat para
jamaah meneteskan air mata, bahkan ada beberapa warga yang
mengatakan Mahroso adalah calon seorang imam atau khotib di hari
mendatang.
Dengan latar belakang demikian, hingga menjadikan puisi yang
ditulis oleh Mahroso bernuansa romantis sekaligus religius yang
tarik menarik antara kemelayuan dengan bahasa Indonesia, hal ini
pernah diungkapkan oleh Penyair Indonesia (Abdul Wachid B.S.).
Adanya kemelayuan karena tidak terlepas dari lingkungan di Patani
yang berbahasa Melayu dalam sehari-hari dan Mahroso sendiri
sebagai salah seorang keturunan Melayu. Mahroso sangat mencintai
kesenimanan. Sebelum ia berhijrah ke Indonesia ia bergiat juga
sebagai penyanyi lagu anasyid. Grup anasyidnya adalah Mutiara.
Hijrah Mahroso ke Indonesia. Dalam waktu tak berapa tahun
dia diminta untuk menjadi guru kursus bahasa Thailand di SMP
Muhammadiyah 1 Purwokerto dan di wilayah sekitar Kota
Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Sambil proses mendalami ilmu
berkaitan dengan Bahasa dan Sastra Indonesia sehingga ia sempat
mengajar menulis puisi di Jamiah Islam Syeh Daud Al-Fathoni (JISDA)
Yala Thailand Selatan untuk memenuhi permintaan Kepala Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastera Melayu. Selain itu, ia pernah menjadi
Guru Al-Quran dan Guru Agama di Sekolah Melayu Nurulhuda
Pakalesong.
Mahroso tertarik dengan karya sastra (puisi); setelah mengikuti
mata kuliah Kajian Puisi pada semester dua tahun 2012 dengan dosen
Abdul Wachid B.S. (penyair). Sekarang ia aktif di Forum Diskusi
Sastra Pojok Stasium, menjadi Relawan di Komunitas Rumah Kreatif
Wadas Kelir, bergiat juga di Komunitas Penyair Institute dan ia
sempatkan dirinya untuk mengikuti kelas belajar menulis (fiksi dan
non fiksi) di Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto (SKSP).
Bukunya yang telah diterbit adalah Cakap Berbahasa Indonesia-
Thailand (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014). Puisinya pernah
bergabung di Lentera Sastra II: Antologi Puisi Lima Negara (Cilegon,
2014). Karya ilmiahnya berupa proposal makalah yang diajukan
sebagai perlombaan membuat PKM (Program Kreativitas
Mahasiswa) 2013-2014 lolos dan didanai oleh DIKTI. Profil
prestasinya sudah dimuat di beberapa media surat kabar dan
majalah. Mahroso pernah mendapatkan penghargaan pembaca puisi
terbaik dalam kegiatan pementasan musikalisasi puisi di “Panggung
untuk Puisi” yang diselenggarakan oleh panitia Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012 di
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Selain itu, Mahroso pernah
menjadi perwakilan baca puisi di acara Temu Penyair Asia Tenggara
di Cilegon Indonesia sebagai perwakilan dari Patani Thailand Selatan.
Hp : +62857-2622-6705/ +6684-747-9852, Email :
mahroso_doloh@yahoo.com, www.facebook.com/Mahroso Doloh.

Anda mungkin juga menyukai