Anda di halaman 1dari 10

Niluh Djelantik, Pengusaha Wanita Bali Ini Sukses

Jajah 20 Negara di Dunia

SPC, Denpasar – Bagi pecinta sepatu, nama Niluh Djelantik berarti sebuah kenyamanan
berbalut cinta dan gairah. Nama yang juga membawa sepatu produk dalam negeri berkiprah
di industri fesyen bahkan menembus pasar dunia. Cinta dari Ni Luh Putu Ary Pertami
Djelantik terhadap sepatu terutama high heels yang membuat karyanya mendapat tempat
istimewa.

Semua berawal dari cinta. Sejak kecil, Niluh memang menaruh perhatian lebih pada alas
kaki. Klise, karena Niluh kecil tak penah mendapat sepatu yang pas. Sebagai orangtua
tunggal, ibu Niluh berjuang agar bisa menyekolahkan putrinya di tempat terbaik. “Mama
lebih fokus pada pendidikan, jadi [sepatu] harus diganjel sama kain karena dua atau tiga
ukuran lebih besar,” kenang Niluh, seperti dikutip, Sabtu (16/2/2013).

Kadang, sepatu Niluh keburu rusak atau berlubang saat ukuran mulai pas di kaki.
Kesederhanaan itulah yang membuat Niluh berangan-angan untuk memiliki sepatu yang pas
di kaki. “Ma, nanti kalau aku sudah gede, sudah bisa kerja sendiri, aku beli sepatu yang pas
deh,” citanya kepada sang ibu.

Setamat SMA, Niluh meneruskan pendidikan di Jakarta sesuai dengan keinginan ibunya.
Niluh kuliah di manajemen keuangan Universitas Gunadarma mulai 1994. Setahun di Jakarta,
Niluh belajar mencari kerja agar bisa mandiri. Pekerjaan pertama, operator telepon di
sebuah perusahaan tekstil asal Swiss.

Mulai berpenghasilan, Niluh teringat hasratnya memiliki sepatu yang pas di kaki. Gaji
pertama didapat, ia langsung membeli sepatu di kawasan Blok M, Jakarta. Sepatu bertumit
tinggi menjadi pilihan karena Niluh bekerja kantoran. Harganya Rp 15.000 disesuaikan
dengan kantong Niluh saat itu. “Sepatu pertama saya yang pas di kaki, gak nyaman dipakai,”
ungkapnya. Seiring membaiknya kondisi keuangan, Niluh mampu mendapatkan sepatu
impian yang nyaman di kaki dan pas di hati.

Kemesraan Niluh di Jakarta buyar pada akhir 2001. Garangnya kriminalitas Ibu Kota
menyergap perempuan kelahiran 15 Juni 1975 ini pada suatu senja di Bilangan Senen.
“Nggak diapa-apain sih, cuma rasa takut itu sangat ada,” ujar Niluh. Rasa takut yang
membuat Niluh meninggalkan karier di Jakarta. Apalagi sang Ibu juga memintanya untuk
kembali ke tanah kelahiran.

Di Bali, Niluh kembali mendapatkan pekerjaan di perusahaan fashion milik pengusaha


Amerika Serikat. Niluh dipercaya Paul Ropp untuk memegang kendali sebagai Direktur
Marketing. Kerja kerasnya berbuah sukses, Paul Ropp berkembang pesat. Di tahun pertama
yakni 2002, penjualan naik hingga 330%. Butik bertambah hingga 10 lokasi.

Tapi, hasrat pembaca setia novel-novel karya John Grisham ini tak pernah lepas dari alas
kaki. Terlebih saat ibunya menawarkan sebuah pabrik kecil milik temannya yang hendak
bangkrut. “Kenapa kamu nggak bantu Bapak ini memasarkan sandal beliau,” jelas Niluh
menirukan permintaan Ibu. Namun, Niluh terpaksa menolak karena ingin lebih
berkonsentrasi bersama Paul Ropp. “Rencana itu tertunda.”

Perjalanan bersama Paul Ropp tak berlangsung lama. Pekerjaan marketing harus
ditinggalkan karena Niluh jatuh sakit saat tengah berada di New York pada awal 2003. Dokter
meminta Niluh tak berpergian jauh sekurangnya dalam enam bulan. Padahal, profesinya
menuntut Niluh untuk terbang ke sejumlah negara. “Dibuat mikir lagi,” lanjut Niluh, “Harus
memutuskan tinggal di Bali atau New York.”

Niluh memutuskan kembali ke Bali, Niluh benar-benar terobsesi oleh “kekurangan” dia di
masa lalu. Pada saat itu pula, Niluh bertemu Cedric Cador. “Kita bertemu, jatuh cinta.”
Peluang pun tercipta karena Cedric memang terbiasa memasarkan produk Indonesia di
Eropa. Prinsipnya bahwa tiap perempuan seharusnya bisa memakai sepatu dengan tumit
setinggi 12 cm dengan nyaman akhirnya melahirkan produk sepatu bernama Nilou, yang tak
lain adalah slang lafal Niluh di lidah bule. “Otomatis lahirnya dari cinta.”

Niluh fokus mendesain sepatu-sepatu cantik berbahan dasar kulit. Semua dikerjakan tangan
agar kualitas tetap terjaga. Di awal pendirian, Niluh membutuhkan waktu hingga dua bulan
untuk menyelesaikan satu desain sepatu. Alokasi waktu paling lama untuk berdiskusi dengan
pengrajin. Biasanya, Niluh menunjukkan sepatu mahal koleksinya ke tukang. “Saya tanya ke
mereka, bisa nggak bikin yang lebih bagus dari ini,” kata penggemar alas kaki karya Manolo
Blahnik dan Christian Louboutin ini.

Untuk membedakan dengan produsen sepatu lainnya, Nilou fokus ke pembuatan sepatu
dengan tumit antara 10 cm hingga 12 cm. Menurut Niluh, sepatu tumit tinggi yang baik
adalah sepatu yang tetap nyaman dipakai meski sudah dipakai selama delapan jam. Bukan
sepuluh menit.

Itu sebabnya, Niluh begitu peduli pada proses pembuatan. Satu tukang, jelas dia,
bertanggung jawab untuk menyelesaikan sepasang sepatu. Dari memotong bahan, menjahit,
hingga membentuk hak sepatu. Tak masalah jika dalam satu hari workshop-nya hanya bisa
memproduksi satu pasang sepatu. Sebab, kualitas produk jauh di atas kuantitas. “Kalau saya
melihat lima pasang sepatu yang berjajar di etalase, saya tahu siapa pembuat masing-
masing sepatu itu,” kata Niluh. Sebab, antara satu tukang dan tukang lain memiliki gaya
yang berbeda, meski hal itu hanya akan tampak di mata Niluh seorang.

Tak disangka, koleksi pertama Nilou langsung booming di Prancis. Pesanan pun membanjir.
Hingga 4.000 pasang. Pada 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel
Topshop yang berpusat di Inggris. Pintu perdagangan ke Eropa kian terbuka lebar. Di tahun
yang sama, seorang perempuan berkewarganegaraan Australia berkunjung ke gerai Nilou di
kawasan Seminyak, Bali. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Sally Power ini
mengaku terkesan dengan sepatu Nilou dan menawarkan diri untuk menjadi distributor di
Negeri Kanguru.

Nilou semakin tenar. Pada saat bersamaan, desainer-desainer internasional yang


berproduksi atau mencari inspirasi di Bali ikut memakai produk Nilou. Dari situlah Niluh
memulai hubungan profesional mendesainkan sepatu untuk perancang-perancang busana
dunia seperti Nicola Finetti, Shakuhachi, Tristanblair, dan Jessie Hill.

Sejumlah selebriti Hollywood papan atas, seperti Uma Thurman, supermodel Gisele
Bundchen dan Tara Reid, dan Robyn Gibson (mantan istri Mel Gibson) merupakan sebagian
perempuan yang fanatik memakai sepatu Nilou. Sepatu made in Bali ini kini dipajang di
ratusan etalase di 20 negara di dunia, selain di kantor pusat Nilou di Denpasar. “Kalau Uma
beli sepatu Nilou di Saint Barth.” bisik Ni Luh, merujuk ke sebuah pulau kecil di Kepulauan
Karibia.

Kalau di awal pendirian Niluh hanya mampu memproduksi tiga pasang sepatu, itupun hanya
barang pajangan, Nilou memiliki kapasitas produksi hingga 200 pasang sepatu per bulan.
Dahulu, hanya memiliki dua karyawan, Nilou dibantu 22 karyawan dan tiga asisten
kepercayaan. Jika toko pertamanya jauh dari kesan eksklusf dengan tembok kusam, dan
berdinding anyaman bambu (gedhek), Nilou telah membuka 36 butik di 20 negara.

Niluh mengakui inspirasi merancang sepatu didapat dari mana saja. Baik pada saat sedang
membaca buku favorit yang membahas arsitektur dan interior desain maupun ketika berada
di Niluh Djelantik atelier bersama para pembuat sepatu. Ide-ide yang muncul ini biasanya
langsung Niluh berikan konsepnya kepada sang shoes maker dan mereka langsung
menerjemahkannya menjadi sepasang sepatu yang cantik.

Sepatu-sepatunya kebanyakan memakai bahan baku kulit asli, dikombinasikan dengan


karung goni, kuningan, kayu, hingga manik-manik. Atas nama eksklusivitas, Nilou
menghargai sepasang sepatunya hingga Rp 4 juta. Omzet perusahaan yang diraih pun
terbilang besar, mencapai Rp 800 juta untuk setiap bulan.

Di tengah kesuksesan, cobaan kembali datang. Pada 2007, Niluh mendapat tawaran dari
agen di Australia dan Prancis untuk melebarkan sayap. Nilou diproduksi secara massal di
Cina dengan iming-iming sejumlah besar saham. Dengan tegas, Niluh menolak. Dia tak ingin
cintanya yang melekat setiap pasang sepatu yang dihasilkan dari workshopnya tergantikan
oleh mesin atas nama kapitalisme. “Saya tak mau apa yang dibina dari nol dibawa ke luar
negeri. Berkah dari Tuhan kembali ke anak-anak [pengrajin],” kilas Niluh.
Namun, keputusan itu harus menjadi pil pahit. Nilou yang sudah mendunia ternyata sudah
didaftarkan pihak lain. Penolakan Niluh tak membuat bergeming. Kongsi pecah. “Mereka
tetap jalan dengan mass production bermerek Nilou berbasis di Cina,” ujar Niluh. Karena
alasan itu pula, dia terpaksa membunuh Nilou, brand yang lahir dan tumbuh dari cintanya.
Niluh kembali ke belakang layar dengan berkonsentrasi memproduksi sepatu untuk desainer
asing. “Yang penting mesin jahit tetap jalan, anak-anak tetap bareng aku, kita gak misah.”

Tak ingin terlalu lama tenggelam dalam kegamangan, Niluh kembali mencoba peruntungan
di bisnis sepatu. Kali ini ia berjuang sendiri. Awal 2008, pecinta shopping dan travelling ini
kembali membangun usahanya dengan memproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”.
Agar tak terulang, brand Niluh Djelantik langsung dipatenkan.

Setahun kemudian high heels buatannya sudah melanglang buana kembali di berbagai negara
Eropa, Australia dan Selandia Baru. “Julia Robert memakai produk saya, ketika pembuatan
film ‘Eat Pray Love” di Bali kemarin,” ujar Niluh.

Label baru ini bahkan telah menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah
satu retailer terkemuka di Eropa. Sepatu-sepatu ini mulai dipasarkan pada musim panas
2012. Niluh belum lama ini juga bekerja sama dengan retailer terkemuka untuk membuka
Niluh Djelantik di Rusia.

Atas kerja kerasnya, Niluh meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards in 2010.
Dinominasikan sebagai Ernst & Young for Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women
2012 Awards. Sebagai persembahan bagi pecinta high heels, Niluh membuka butik Niluh
Djelantik seluas 250 meter persegi di Bali pada pertengahan Maret 2012.

Kisah jatuh bangun bersama high heels dikubur dalam-dalam dan menjadi pembelajaran
untuk bangkit bersama Niluh Djelantik. Dia tak pernah menyesali keputusan menolak dan
membenamkan Nilou. Keputusan yang memiliki dua konsekuensi yakni bangkrut karena
melawan perusahaan yang lebih besar atau justru berhasil. “Meski keberhasilan itu tidak
semata-mata dinilai dengan uang,” tegas Niluh. Tak terbilang siapa saja pesohor dunia yang
memakai Niluh Djelantik, “Karena semua wanita pemakai [sepatu] Niluh Djelantik adalah
selebritis buat saya,”

Niluh Djelantik, bagi ibu satu anak ini, bukan lagi sekadar sebuah merek atau butik.
Keseharian di factory, butik, hingga hubungan klien sudah seperti keluarga besar. Ada
kebahagiaan saat seorang wanita merasa nyaman memakai Niluh Djelantik.

Jauh di lubuk hati, cita-cita untuk terus mengibarkan Niluh Djelantik di kancah internasional
terus dipupuk namun dengan tetap menjaga eksklusivitas. Yang pasti, ekspansi ke negara
lain tak akan mengubah prinsip awal Niluh Djelantik yakni ‘dibuat dengan cinta’. (SPC-
20/tvOne)
Sumber:
Ni luh Djelantik, begitulah ia dikenal. Terlahir di Bali tanggal 15 Juni 1975 dengan
nama asli Ni Luh Putu Ary Pertami. Putri dari pasangan Ni Nyoman Palmi dan Putu
Djelantikini merupakan seorang desainer merek sepatu produk dalam negeri yang telah
berkiprah di industri mode dunia. Cinta Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik terhadap sepatu,
terutama hak tinggi alias high heels membuat karyanya mendapat tempat istimewa. Ni luh
memang menaruh perhatian lebih pada alas kaki karena Ni luh kecil tak penah mendapat
sepatu yang pas sebab ibunya selalu membelikan sepatu dengan ukuran dua atau tiga kali
lebih besar dari kakinya dan sepatu Niluh mulai rusak atau berlubang saat ukuran mulai pas
di kaki. Kesederhanaan itulah yang membuat Niluh berangan-angan untuk memiliki sepatu
yang pas di kaki. Ni luh berasal dari keluarga yang sederhana dan broken home dan sejak
umur setahun ia ikut ibunya berjualan di Pasar Kintamani. Sebagai orangtua tunggal, ibu
Niluh berjuang agar bisa menyekolahkan putrinya di tempat terbaik.
Ni luh memiliki hasrat membaca yang sangat besar, namun karena kehidupannya
yang pas-pasan ibunya tidak bisa membeli banyak buku untuk Ni Luh. Untungnya, tak jauh
dari kios tempat ibunya menggelar dagangan, ada sebuah toko buku. Sejak Ni luh bisa
membaca, ibunya menitipkannya di toko itu. Sambil bekerja menjaga kios, Niluh pun bisa
membaca buku sebanyak yang ia mau. Dengan keterbatasan pendidikan dan waktu yang
habis untuk bekerja, ibunya mengaku tidak dapat mengajarkan banyak hal kepada Niluh.
Setamat SMA, Niluh meneruskan pendidikan di Jakarta sesuai dengan keinginan ibunya. Ia
kuliah di manajemen keuangan Universitas Gunadarma. Setahun di Jakarta, Niluh belajar
mencari kerja agar bisa mandiri. Pekerjaan pertamanya adalah operator telepon di sebuah
perusahaan tekstil asal Swiss tahun 1995. Mulai berpenghasilan, Niluh teringat hasratnya
memiliki sepatu yang pas di kaki. Gaji pertama yang didapat, ia langsung membeli sepatu
di kawasan Blok M, Jakarta. Sepatu bertumit tinggi menjadi pilihan karena Niluh bekerja
kantoran. Saat itu harga sepatu yang dibelinya sebesar Rp 15.000, disesuaikan dengan
kondisi keuangan Niluh saat itu. Namun, Sepatu pertamanya yang pas di kaki tidak nyaman
dipakai. Seiring membaiknya kondisi keuangan, Niluh mampu mendapatkan sepatu impian
yang nyaman di kaki dan pas di hati.
Akhir tahun 2001 Ni luh kembali ke Bali dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan
fashion Paul Ropp milik pengusaha Amerika Serikat. Niluh dipercaya untuk memegang
kendali sebagai Direktur Marketing. Kerja kerasnya berbuah sukses, Paul Ropp berkembang
pesat. Di tahun pertama yakni 2002, penjualan naik hingga 330%. Butik bertambah hingga
10 lokasi. Namun pada awal 2003 Pekerjaan marketing harus ditinggalkan karena dalam
rangka ekspansi perusahaan, harus dikompensasikan Niluh dengan jam kerja yang panjang
dan berpergian keluar negeri setiap saat untuk melakukan trade show dan juga membuka
pasar bagi perusahaan tersebut, yang akhirnya membuat Niluh jatuh sakit dan dokter
meminta Niluh tak berpergian jauh sekurangnya dalam waktu enam bulan. Padahal,
profesinya menuntut Niluh untuk terbang ke sejumlah negara. Yang pada akhirnya Niluh
memutuskan untuk kembali ke Bali.
Niluh benar-benar terobsesi oleh “kekurangan” dia di masa lalu dan ia
memiliki prinsip bahwa tiap perempuan seharusnya bisa memakai sepatu dengan tumit
setinggi 12 cm dengan nyaman. Akhirnya niluh memberanikan diri melahirkan produk sepatu
bernama “NILOU” di kawasan Kerobokan dengan berbekal modal Rp 33.000.000. Brand
NILOU ini berasal dari slang lafal Niluh di lidah bule dan peluang pun tercipta karena Niluh
bertemu Cedric Cador yang memang terbiasa memasarkan produk Indonesia di
Eropa. Koleksi pertama NILOU langsung booming di Prancis, pesanan pun membanjir hingga
4.000 pasang. Pada 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop
yang berpusat di Inggris. Pintu perdagangan ke Eropa kian terbuka lebar. Kemudian di tahun
yang sama, seorang perempuan berkewarganegaraan Australia berkunjung ke gerai NILOU
di kawasan Seminyak, Bali. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Sally Power ini
mengaku terkesan dengan sepatu Nilou dan menawarkan diri untuk menjadi distributor di
Negaranya Australia.
NILOU semakin tenar. Pada saat bersamaan, desainer-desainer internasional yang
berproduksi atau mencari inspirasi di Bali ikut memakai produk NILOU. Dari situlah Niluh
memulai hubungan profesional mendesainkan sepatu untuk perancang-perancang busana
dunia seperti Nicola Finetti, Shakuhachi, Tristanblair, dan Jessie Hill. Di awal pendirian, Ni
Luh membutuhkan waktu hingga 2 bulan untuk menyelesaikan satu desain sepatu. Alokasi
waktu paling lama untuk berdiskusi dengan pengrajin. Biasanya, Niluh menunjukkan sepatu
mahal koleksinya ke tukang. “Niluh tanya ke mereka, bisa nggak bikin yang lebih bagus dari
ini,” kata penggemar alas kaki karya Manolo Blahnik dan Christian Louboutin ini. Untuk
membedakan dengan produsen sepatu lainnya, NILOU fokus ke pembuatan sepatu dengan
tumit antara 10 cm hingga 12 cm dengan memakai bahan baku yang kebanyakan dari kulit
asli, kuningan, kayu, hingga manik-manik. Di awal pendirian Niloh memiliki dua karyawan
dan hanya mampu memproduksi 3 pasang sepatu itupun hanya barang pajangan. Setelah
berkembang, Nilou memiliki kapasitas produksi hingga 200 pasang sepatu per bulan dan
dibantu 22 karyawan dan 3 asisten kepercayaan. Nilou telah membuka 36 butik di 20 negara,
antara lain Australia, Amerika Serikat, Prancis, Jepang, dan Uni Emirat Arab.
Di tengah kesuksesan, cobaan datang. Pada 2007, Niluh mendapat tawaran dari agen
di Australia dan Prancis untuk melebarkan sayap. Nilou diproduksi secara massal di Cina
dengan iming-iming sejumlah besar saham. Dengan tegas, Niluh menolak. Dia tak ingin
cintanya yang melekat setiap pasang sepatu yang dihasilkan dari workshopnya tergantikan
oleh mesin atas nama kapitalisme. Brand NILOU yang sudah mendunia ternyata sudah
didaftarkan pihak lain dan terpaksa Niluh membunuh brand NILOU. Kemudian di awal 2008,
Niluh kembali membangun usahanya dengan mproduksi sepatu bermerek “Niluh Djelantik”.
Sebelum memulai dengan brand Niluh Djelantik, Niluh belum memikirkan merek pengganti
dan ia berkonsentrasi untuk membangun merek luar dengan cara mendesain,
mendevelopment, dan memproduksi, tetapi menyerahkan modal ke merek tersebut. Agar
tak terulang, brand Niluh Djelantik langsung dipatenkan. Label baru ini bahkan telah
menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah satu retailer terkemuka di
Eropa. Dan juga bekerja sama dengan retailer terkemuka untuk membuka Niluh Djelantik di
Rusia. Selain memproduksi alas kaki yang siap jual Niluh juga membuat sepatu customize
lewat proses pengepasan ukuran kaki dibutiknya di Bali.
Dengan bantuan 15 perajin sepatu yang semuanya berasal dari Bali, Niluh dapat
memproduksi 200 pasang sepatu per bulan. Kualitas produk yang tinggi serta menonjolkan
eksklusivitas membuat harga jual sepatu buatannya tergolong tidak murah. Untuk
menghasilkan sepasang sepatu, butuh waktu berkisar 2 hari hingga seminggu. Harga jualnya
dibanderol mulai Rp 1.400.000 hingga Rp 5.000.000 per pasang. Hingga kini niluh memiliki
tiga toko diantaranya Niluh Djelantik Outlet 144, Jalan Raya Kerobokan 80361 Bali, Niluh
Djelantik Flagship Store 88 AB, Jalan Petitenget 80361 Bali dan Niluh Djelantik Jakarta 74A
Jalan Kemang Timur Raya 12730 Jakarta Selatan. Selain itu Niluh juga membuat online store
di www.niluhdjelantik.com semua koleksi Niluh Jelantik mulai dari sepatu, sandal, tas,
dompet, dan clutch dapat di lihat dan dipesan melalui website ini. dan Niluh juga
mempromosikan semua desainnya melalui akun facebook pribadinya. Berbagai Penghargaan
telah diraih Niluh diantaranya Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards in 2010,
Dinominasikan sebagai Ernst & Young for Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women
2012 Awards.

Daftar Pustaka:
https://indonesiaproud.wordpress.com/2012/11/19/niluh-djelantik-sepatu-lokal-yang-
dipakai-selebritas-dunia/

http://gaya.tempo.co/read/news/2014/12/22/174630289/kebanggaan-ibunda-niluh-djelantik

www.niluhdjelantik.com
Kenapa Ni Luh Djelantik disebut sebagai entrepreneur?

Karena Ni Luh dapat merealisasikan mimpi kecilnya menjadi usaha yang mendatangkan
income dan dalam memulai usaha ini ia berani mengambil resiko apapun yang ada untuk mengalahkan
halangan demi halangan menuju keberhasilannya. Di dalam melakukan usahanya ia selalu membuat
inovasi dalam setiap karya, berdedikasi tinggi dan fokus terhadap usaha yang dijalaninya.

Karakter apa yang dimiliki?


• Sifat kerja keras dan keyakinan diri
• Sifat Pengambilan Resiko
• Sifat Prestatif
• Presumptuous

Customer Relationships

 Transactional : Beberapa customer hanya melakukan pembelian di Niluh Djelantik,


kemudian putus saat itu juga. Namun ada juga yang tetap menjalin kerjasama dengan Niluh
Djelantik.

 Automated Service : Customer tidak perlu ke toko dalam melakukan pembelian, tetapi bisa

di pesan juga melalui website baliupdateinformation.wordpress.com

Perempuan mana yang tak suka sepatu hak tinggi? Rasa-rasanya, alas kaki yang satu ini masih menjadi
pilihan favorit kaum hawa. Tak aneh nila kemudian berbagai merk ternama berlomba-lomba merebut
perhatian para penggila sepatu jenis ini. Satu diantaranya adalah Niluh Djelantik. Meski masih asing di
telinga orang Indonesia, namun brand sepatu yang telah dipatenkan sejak tahun 2008 ini sangat
terkenal di mancanegara.

Adalah Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik, perempuan di balik label sepatu Niluh Djelantik.
Mengusung nama keluarganya, putri dari pasangan Ni Nyoman Palmi dan Putu Djelantik ini berhasil
meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards 2010 lalu. Kecintaannya pada sepatu
menuntunnya menekuni bisnis sepatu yang kini telah dikenal dunia.

Tak hanya memenangi penghargaan, label berbau Bali ini juga telah menembus Globus Switzerland,
salah satu retailer terkemuka di Eropa, pada 2011. Capaian tersebut terus berlanjut di 2012, dimana ibu
satu putri ini kemudian berkesempatan menjalin kerjasama dengan retailer terkemuka dari Rusia.

Kesuksesan perempuan yang berasal dari Denpasar ini tidak berjalan secara instan. Kerja keras dan
pantang menyerah merupakan kunci dari kesuksesan yang diraihnya. Masa kecil yang keras menempa
perempuan kelahiran 15 Juni 1975 ini menjadi sosok yang kuat.

Berasal dari keluarga yang sederhana, kedua orangtuanya bercerai sejak ia berusia satu tahun.
Dibesarkan seorang diri oleh sang ibu, sulung dari dua bersaudara ini kerap menemani ibunya
berdagang di pasar. Meski begitu, memberikan pendidikan terbaik seolah menjadi tekad ibunda
tercinta. Sayangnya, karena kekurangan biaya, Niluh kecil hampir tak pernah mendapatkan sepatu
baru.

Sepatu yang dimilikinya selalu kebesaran dan tak pernah pas di kakinya. Sepatu tersebut baru terasa
pas saat kondisinya sudah rusak dan berlubang. Sejak itulah alas kaki selalu menjadi perhatian Niluh.
Ia pun berujar pada sang ibu bila ia akan membeli sepatu yang nyaman di kakinya bila ia sudah bisa
menghasilkan uang sendiri.

Niluh remaja akhirnya menempuh pendidikan di Universitas Gunadarma Jakarta. Kuliah sambil
bekerja pun ia lakoni. Dari gaji pertamanya, perempuan sawo matang ini akhirnya bisa membeli sepatu
seharga 15.000 rupiah. Meski terlihat pas di kaki, sayangnya sepatu tersebut masih tak nyaman
dipakai. Alhasil, ia pun kembali bersemangat dan bertekad untuk mendapatkan alas kaki yang lebih
baik.

Kerja Keras Tak Ingkari Hasil Akhir

Selesai kuliah, Niluh kembali ke Bali dan bekerja di perusahaan fashion milik Paul Ropp, seorang
berkebangsaan Amerika Serikat. Dipercaya menduduki posisi direktur marketing pada tahun 2012,
penjualan perusahaan tersebut naik hingga 330% dan membuka 10 butik baru di beberapa lokasi.

Keberhasilan tersebut membawanya terbang New York. Sayangnya, ia kemudian jatuh sakit yang
membuatnya tak boleh bepergian selama enam bulan. Sadar tak bisa berbuat banyak, Niluh pun
memutuskan untuk pulang ke Bali.

Toh begitu, tekadnya membuat sepatu yang nyaman masih tetap membara. Alhasil, meski berada di
Indonesia, perempuan penyuka buku ini kemudian mencoba peruntungan dengan menjalin kerjasama
bersama Cedric Cador, pria yang kemudian menjadi suaminya. Cedric sendiri bukan pemain baru. Ia
kerap menjual barang-barang Indonesia di Eropa. Dari kerjasama ini, lahirlah label Nilou, dimana
proses pengerjaan sepatu di bawah label ini benar-benar mendapatkan pengawasan ketat dari Niluh.
Untuk menjaga kualitas sekaligus memastikan agar sepatu yang dihasilkan nyaman untuk dipakai,
semua proses pengerjaan dilakukan secara konvensional dengan menggunakan tangan.

Siapa sangka, koleksi pertama Nilou akhirnya tenar di Perancis dan dunia. Pesanan pun membanjir
hingga 4.000 pasang. Sejumlah selebriti Hollywood papan atas seperti Uma Thurman,
supermodel Gisele Bundchen dan Tara Reid, juga Robyn Gibson merupakan penggemar fanatik
sepatu Nilou.

Di tengah kesuksesan yang dialaminya, badai cobaan kembali hadir. Ujian itu bermula kala di medio
2007, Niluh mendapatkan tawaran dari agen Australia dan Prancis untuk melebarkan sayap dengan
memproduksi secara massal sepatu-sepatu dibawah labelnya. Rencananya, produksi tersebut akan
dilakukan di Cina. Tak ingin cinta yang terlanjur melekat pada workshop sepatu buatan tangan
tergantikan oleh mesin, secara tegas, Niluh pun menolak.

Siapa sangka, keputusan yang ia ambil ini justru menjadi bumerang. Tanpa sepengatahuannya, para
penawar tersebut telah mematenkan Nilou dan tetap memproduksi secara massal di Cina.

Kembali Bangkit

Tak patah semangat, Niluh yang merasa sedih dan kecewa tetap berusaha untuk bangkit kembali.
Masih dengan mimpi yang sama, yakni membuat alas kaki yang nyaman dan pas, ia akhirnya
memproduksi sepatu dengan label Niluh Djelantik pada tahun 2008.

Bekerja dengan cinta, begitulah semangat yang melekat pada Niluh. Mengabungkan pekerjaan
dengan passion, pengalaman pahit yang ia alami justru membuatnya semakin yakin untuk tetap
mempertahankan impiannya semasa kecil, membuat alas kaki yang pas dan nyaman.

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai