Anda di halaman 1dari 10

PAPER EKONOMI INDUSTRI

Ekspor Biji Kakao Indonesia Turun

Oleh
Ni Putu Bertinadiya Eka Putri Gunadi
155020107111031

Jurusan Ilmu Ekonomi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya

2017
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara pemasok ketiga terbesar dunia setelah Pantai


Gading dan Ghana. Sepanjang 2014 produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton
jika merujuk data (ICCO) International Cocoa Organization (Kemenperin, 2015)
yang menandakan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi produsen utama
kakao dunia
Kakao asal Indonesia banyak diminati negara-negara Eropa dan Amerika
karena tidak mudah meleleh. Dibuktikan dari data, meningkatnya ekspor kakao
terus melaju setiap tahun. Tahun 2013 kakao Indonesia yang dikapalkan ke luar
negeri sebanyak 196,3 ribu ton lalu bertambah menjadi 242,2 ribu ton pada 2014
alias meningkat 23,3% (Kemenperin, 2015)
Kakao merupakan komoditas andalan Indonesia karena sangat
berkontribusi meningkatkan perekonomian negara Indonesia. Pada tahun 2014
menunjukan, devisa yang disumbangkan dari komoditi kakao mencapai USD
1,24 miliar, dan memiliki potensi untuk terus ditingkatkan produksinya dan
ekspornya. (m.tempo, 2015).
Akan tetapi pada tahun 2016, ekspor kakao di Indonesia mengalami
penurunan hingga 38%. Penurunan volume ekspor kakao secara langsung ikut
menekan devisa ekspor biji kakao yang tercatat pada 2016 yakni US$36,42 juta
turun 36% dari capaian periode sama tahun lalu US$56,88 juta (koran.bisnis,
2016).
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan di atas akan dibahas
lebih lanjut pada bab berikutnya yakni pada pembahasan mengenai penyebab dari
turunnya ekspor biji kakao, hal yang mempengaruhi ekspor biji kakao, dan solusi
yang digunakan untuk mengatasi permasalahn mengenai turunnya ekspor biji
kakao ke luar negeri. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penyebab
permasalahan turunnya ekspor dari biji kakao dan menghimbau pemerintah serta
masyarakat untuk tetap siap menangani permasalahan di dalam perekonomian
yang terjadi seperti menurunnya ekspor kakao, demi terwujudnya pembangunan
dan perekonomian yang lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN

Indonesia merupakan negara pemasok kakao terbesar ketiga di dunia


setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada peringkat tersebut menandakan kakao
yang dimiliki oleh Indonesia banyak peminatnya. Hal tersebut terjadi karena
kakao yang berasal dari Indonesia tidak mudah meleleh (agro.kemenperin, 2015).
Akan tetapi yang terjadi pada tahun 2016 ini ekspor menurun dengan
tujuan negara utama seperti Uni Eropa (UE), Malaysia, Singapura, Thailand, dan
Amerika Serikat (BPS, 2015).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi turunnya ekspor kakao Indonesia
dikarenakan penyerapan industri pengolahan cokelat di dalam negeri mulai
meningkat (koran.bisnis, 2016). Itu menyebabkan pemenuhan permintaan akan
biji kakao dalam negeri diutamakan sehingga ekspor berkurang.
Indonesia sebagai ekspor terbesar ketiga yang melakukan ekspor biji
kakao, juga melakukan impor kakao karena sering kekurangan pasokan. Akan
tetapi saat ini, impor biji kakao turun yang menandakan industri pengolahan
kakao Indonesia mulai memprioritaskan biji kakao produksi lokal. Hal itu
berhubungan dengan meningkatnya penyerapan industri pengolahan cokelat di
dalam negeri. Impor pun juga menunjukkan penurunan yaitu pada periode
Januari-Juni 2016, terhitung hanya 18.757 ton atau turun 45% dari periode sama
tahun sebelumnya 33.892 ton yang berdampak langsung terhadap kinerja ekspor
pada komoditas kakao.
Meningkatnya penyerapan industri pengolahan cokelat membuat ekspor
kakao tidak hanya dalam bentuk biji, tetapi Indonesia juga berusaha meningkatkan
nilai tambah dari biji kakao sendiri dengan mengekspor olahannya. Indonesia
ingin mengimbangi ekspornya dalam bentuk olahan dan biji yang menyebabkan
ekspor biji yang dilakukan lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya (m.tempo,
2015). Dengan begitu tingginya impor dapat ditekan dengan dan kurangnya bahan
baku dapat diatasi dengan mengirim kakao olahan.
Penyebab lain turunnya ekspor biji kakao, ada pemberlakuan bea keluar
biji kakao sejak 2010 sebesar 10%. Di samping bea keluar, ada juga pajak
pertambahan nilai (PPN) 10% dan pajak penghasilan (PPH) 0,5%. Pajak yang
diterapkan mengakibatkan total pajak yang ditanggung petani kakao mencapai
20,5% yang terjadi sepanjang Januari - Oktober 2015 dengan bukti ekspor kakao
sebesar 33.783 ton lebih rendah dibandingkan 2014 yang tercatat 63.334 ton dan
hingga akhir tahun lalu, ekspor kakao Indonesia diprediksi mencapai 40.000 ton
(beritasatu, 2016).
Dampak lainnya yang berkaitan yakni terdapat sekitar 57 perusahaan
berhenti operasi terpengaruh atas pemberlakuan pajak yang mengakibatkan pelaku
ekspor saat ini hanya perusahaan industri, bukan pedagang (beritasatu, 2016).
Pemerintah pun mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001
Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat
Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Kurangnya kapasitas industri untuk menghasilkan biji kakao untuk
diekspor juga bisa menjadi pengaruh terhadap turunnya jumlah ekspor yang
dikirim. Kakao sebagai komoditas dominan bagi Indonesia yang dihasilkan
melalui perkebunan rakyat Indonesia masih menghadapi permasalahan
produktivitas dan mutu produk kakao itu sendiri. Rendahnya produktivitas dan
mutu bisa diakibatkan oleh berbagai macam hal diantaranya bencana. Produksi
kakao nasional pada tahun ini jatuh akibat dari fenomena El Nino yang melanda
pada tahun lalu. Bencana El Nno yang terjadi telah merusak pertumbuhan buah
kakao. Selain bencana, ancaman mulai berdatangan dimulai dari pohon-pohon
kakao yang tua dimana produksinya mulai menurun dan alih fungsi lahan yang
masih terjadi sejak 2012 yang mengurangi lahan berpotensi untuk dijadikan
produksi kakao. (koran.bisnis, com).
Buruknya mutu dari biji kakao yang dihasilkn juga bisa dikategorikn
mempengaruhi penururnan permintaan negara tujuan ekpor. Mutu yang buruk
dari biji kakao dimana salah satu faktornya diakibatkan dari kegagalan panen yang
terdiri dari penanganan pascapanen yang belum sesuai dengan ketentuan yang
dipersyaratkan sehingga menghasilkan mutu biji kakao yang buruk. Pengaruh
lainnya untuk hasil dari produksi biji kakao adalah hama yang dapan menganggu
kualitas dari biji kakao sendiri.
Selain faktor yang berhubungan dengan produksi kakao, faktor diluar
kaitanya dengan produksi kakao juga bisa berpengaruh terhadap turunnya ekspor
kakao. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat perekonomian yang ada di negara
tujuan ekspor yang ditunjukan oleh adanya peningkatan GDP (Gross Domestic
Product) turunnya GDP menandakan perekonomian yang tidak baik yang mampu
mempengaruhi kegiatan perdagangan seperti menurunnya permintaan. Fluktuasi
dari kurs yang naik juga berpengaruh tehadap ekspor keluar karena penerapan bea
keluar yang meningkat, eksportir mengurangi komoditi ekspor biji kakao.
Banyaknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap turunnya ekspor ada
yang memeberi dampak positif bagi Indonesia ada juga yang berdampak negatif.
Untuk menanggulangi ekspor biji kakao yang turun ada beberapa solusi yang
dapat bisa menyelamatkan perindustrian kakao dikarenakan membawa dampak
negatif.
Pertama dengan turunnya ekspor akibat dari pengaruh diluar produksi
kakao yang menyebabkan negara tujuan ekspor mengurangi permintaannya,
pemerintah bisa melakukan peningkatan biji produk kakao agar digunakan di
dalam negeri seperti membuatnya menjadi produk olahan kakao yang
menyebabkan bertambahnya nilai kakao tersebut.
Untuk meningkatkan minat dalam negeri terhadap produk kakao.
Pemerintah dapat melakukan periklanan pada masyarakat dalam negeri dengan
membuat advertising yang baik seperti membuat kemasan coklat menarik,
mengadakan event untuk promosi, sosialisasi maupun gerakan peringatan Hari
Kakao yang didalamnya dapat menyuguhkan berbagai jenis kegiatan seperti
pameran, penjualan produk, workshop, kompetisi membuat kue coklat dan lain
sebagainya. Kegiatan itu diharapkan dapat memperkuat pemahaman tentang
produk dalam negeri tentang kakao dan cokelat yang memicu peningkatan
konsumsi. Dengan begitu gangguan ekspor keluar dapat teratasi dengan
pemenuhan industri olahan kakao dalam negeri.
Digunakan sebagai pemenuhan dalam negeri, secara tidak langsung untuk
meningkatan ekspor, kapasitas produksi harus lebih ditingkatkan. Di Indonesia
masih memiliki banyak lahan yang berpotensial dan belum dioptimalkan
pemanfaatannya. Peluang inilah yang seharusnya dilihat untuk mengoptimalkan
produksi kakao di Indonesia untuk menambah jumlah pasokan diekspor, karena
kakao sangat diminati dunia. Para petani pun juga sebaiknya diberikan pelatihan
untuk dapat meningkatkan produksi kakao pada tanaman dan bagaimana
menghasilkan kakao berkualitas baik. Disini pemerintah memiliki andil untuk
memberikan pelatihan dan melakukan perluasan untuk produksi kakao.
Memberikan bantuan industri dalam negeri berupa teknologi yang dapat
meningkatkan produktivitas juga dapat dilakukan.
Ekspor yang turun dianggap positif bila menandakan perindustrian
melakukan pengoptimalan dan prioritas di dalam negeri sehingga menurunkan
ekspor. Ekspor yang diinginkan tidak hanya dalam bentuk biji yang nilainya
rendah, keinginan pemerintah untuk mengangkat nilai dari komoditi utama ini
adalah dengan cara mengekspor kakao hasil fermentasi dan kakao yang telah
diolah sehingga nilai dari produknya meningkat. Itulah yang membuat Indonesia
menurunkan ekspor dari kakao mentah. Biji kakao Indonesia sudah bisa merebut
pangsa internasional dimana struktur pasarnya adalah oligopoli dan sebagai
pemasok urutan ketiga untuk mengekspor produk olahan dan fermentasi tidak
begitu sulit hanya perlu memainkan advertising dengan bantuan pemerintah
karena struktur pasarnya sudah terhitung kuat.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Indonesia merupakan negara pemasok kakao terbesar ketiga di dunia
setelah Pantai Gading dan Ghana. Peringkat tersebut menandakan kakao yang
dimiliki oleh Indonesia banyak peminatnya. Pada tahun 2016 ekspor menurun.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi turunnya ekspor kakao Indonesia adalah
penyerapan industri pengolahan cokelat di dalam negeri meningkat, mulai
memprioritaskan biji kakao produksi lokal (impor turun), Indonesia ingin
mengimbangi ekspornya dalam bentuk olahan, ada pemberlakuan bea keluar dan
pajak lainnya, kurangnya kapasitas industri, buruknya mutu biji kakao, turunnya
GDP negara lain, serta fluktuasi dari kurs. Untuk menanggulanginya ada beberapa
solusi yakni. melakukan peningkatan permintaan biji produk kakao di dalam
negeri dengan menggunakan cara seperti periklanan, mengadakan event,
sosialisasi maupun gerakan peringatan Hari Kakao, mengoptimalkan
pemanfaatan lahan, memberikan pelatihan kepada petani, dan memberikan
bantuan industri dalam negeri berupa teknologi. Ekspor rendah juga terjadi karena
keinginan pemerintah untuk mengangkat nilai dari kakao dengan mengekspor
kakao hasil fermentasi dan yang telah diolah, dimana struktur pasarnya adalah
oligopoli dan sebagai pemasok urutan ketiga untuk mengekspor produk olahan
dan fermentasi tidak sulit hanya perlu memainkan advertising dengan bantuan
pemerintah karena struktur pasarnya sudah terhitung kuat.
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. 2015. KAKAO. Alamat akses :


http://agro.kemenperin.go.id/esiagro/komoditi/kakao/ (14-01-2017)
 Barus, Herry.2016. 2016 Ekspor Kakao Capai 25.000 Ton. Alamat akses :
http://www.beritasatu.com/ekonomi/338614-2016-ekspor-kakao-capai-
25000-ton.html (14-01-2017)
 Hartono. 2015. Menperin: Kurangi Impor Kakao, Ganti Jadi Pengekspor
Produk Cokelat. Alamat akses :
http://www.kemenperin.go.id/artikel/13054/Menperin:-Kurangi-Impor-
Kakao,-Ganti-Jadi-Pengekspor-Produk-Cokelat (14-01-2017)
 Anonim. 2011. Pengembangan Industri Pengolahan Kakao. Alamat akses
:http://www.kemenperin.go.id/artikel/427/Pengembangan-Industri-
Pengolahan-Kakao (14-01-2017)
 Aziliya, Dara. 2016. Ekspor Biji Kakao Anjlok. Alamat akses :
http://koran.bisnis.com/read/20160927/452/587285/ekspor-biji-kakao-
anjlok (14-01-2017)
 Anonim. 2015. Industri Kakao Indonesia: Tantangan bagi Petani Kakao
Lokal. Alamat akses: http://www.indonesia-
investments.com/id/berita/berita-hari-ini/industri-kakao-indonesia-
tantangan-bagi-petani-kakao-lokal/item6312? (14-01-2017)
 Anonim, 2015. Ekspor Biji Coklat Menurut Negara Tujuan Utama, 2002-
2014. Alamat akses: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1018
(14-01-2017)
Lampiran Berita

Ekspor Biji Kakao Anjlok


Dara Aziliya Selasa, 27/09/2016 16:46 WIB

JAKARTA — Ekspor biji kakao pada semester I/2016 turun hingga


38% karena penyerapan industri pengolahan cokelat di dalam negeri
meningkat. Selain itu, penurunan produksi biji kakao juga berdampak
langsung terhadap kinerja ekspor komoditas tersebut. Pada saat yang sama,
impor biji kakao turun yang menandakan industri pengolahan mulai
memprioritaskan biji kakao produksi lokal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama semester
pertama 2016, ekspor biji kakao tercatat hanya 12.294 ton turun 38% dari
periode yangnsama tahun lalu yaitu 19.706 ton. Penurunan volume
ekspor secara langsung ikut menekan devisa ekspor biji kakao yang pada
semester I/2016 tercatat US$36,42 juta turun 36% dari capaian periode
sama tahun lalu US$56,88 juta. Di saat yang sama, impor menunjukkan
penurunan yaitu pada periode Januari-Juni 2016 terhitung hanya 18.757 ton
atau turun 45% dari periode sama tahun sebelumnya 33.892 ton.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKI)
Arief Zamroni menyampaikan, penurunan ekspor dan impor biji
kakao mengindikasikan perusahaan mulai giat melakukan
penyerapan produksi lokal. Pada tahun-tahun sebelumnya, perusahaan
memenuhi bahan baku dari impor. “Kalau ekspor kakao yang berkurang itu
karena serapan industri dalam negeri memang tumbuh. Apalagi sekarang
memang perusahaan-perusahaan multinasional yang berinvestasi di
Indonesia. Sekarang harga di tingkat petani terus membaik,” kata Arief
saat dihubungi Bisnis, Senin (26/9/2016).
Menurutnya, struktur rantai pasok kakao di dalam negeri pun kian
efisien karena pabrik-pabrik langsung mendatangi sentra-sentra produksi
kakao untuk melakukan kontrak pembelian. Perusahaan berebut
produksi lokal mengingat pemerintah sedang memperketat impor
kakao melalui bea keluar 10%.
Beberapa perusahaan yang giat mencari sumber-sumber
baru misalnya Cargill, Mars, Jabe Koko, Asia Cocoa, dan Barry Callebaut.
Permintaan biji kakao dari industri pengolahan yang meningkat membuat
harga komoditas itu di tingkat petani turut terkerek.
Menurut Arief, harga biji kakao asalan mencapai titik tertingginya
sepanjang sejarah yaitu Rp30.000-Rp33.000 per kilogram, sedangkan biji
kakao fermentasi Rp41.000 per kg. Harga itu mencapai 3-4 kali lipat
dari biaya yang dikeluarkan petani. Menanggapi penurunan ekspor, Arief
pun mengakui produksi kakao nasional yang tahun ini tergerus akibat
fenomena El Nino yang melanda pada tahun lalu.
Hal itu merusak pertumbuhan buah. Selain itu, adapula ancaman dari
pohon-pohon tua dan alih fungsi lahan yang masif terjadi sejak 2012.
“Tetapi 1-2 tahun ke depan kami yakin produksinya naik lagi karena
harganya bagus, dan tanaman-tanaman yang kami rehabilitasi akan
menghasilkan. Selain itu ada beberapa daerah pengembangan sentra baru
yang akan mulai panen seperti Jatim, Jateng, Sumbar, Gorontalo,
dan Kaltim.”

PRODUKSI

Dia memprediksi produksi biji kakao nasional pada tahun ini akan
mencapai 650.000—700.000 ton dengan memperhitungkan tanaman yang
sudah panen dan diprediksi akan panen tahun ini. Arief mengaku, saat ini
petani sedang berupaya menaikkan produktivitas tanaman yang hanya 1—
1,5 ton per ha menjadi 4 ton per ha. Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia
(Askin do) Zulhefi Sikumbang menga takan, produksi kakao mengalami
penurunan sehingga ikut berdampak pada kinerja ekspor yang melesu.
Zulhefi menuturkan, dari data produk kakao olahan yang
diekspor dan konsumsi di dalam negeri, maka produksi biji kakao tahun
ini tidak lebih dari 340.000 ton.

Sumber :
http://koran.bisnis.com/read/20160927/452/587285/ekspor-biji-kakao-anjlok

Anda mungkin juga menyukai