Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN KERJA PRAKTIK

VERTICAL TAIL PLANE (VTP) SIZING PESAWAT N-245


BERDASARKAN PADA PLATFORM VERTICAL TAIL
PESAWAT N-250 BUATAN PT DIRGANTARA INDONESIA

DEPARTEMEN AERODINAMIKA
BIDANG DINAMIKA TERBANG DAN KENDALI (TC 2200)
PT. DIRGANTARA INDONESIA (IAe)

Disusun Oleh:
RANIA RAHMAWATI WAHYU WIBAWA
14050062

DEPARTEMEN TEKNIK PENERBANGAN


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI ADISUTJIPTO
YOGYAKARTA
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN INDUSTRI

ii
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KERJA PRAKTIK

VERTICAL TAIL PLANE (VTP) SIZING PESAWAT N-245 BERDASARKAN


PADA PLATFORM VERTICAL TAIL PESAWAT N-250 BUATAN PT
DIRGANTARA INDONESIA

DEPARTEMEN AERODINAMIKA
BIDANG DINAMIKA TERBANG DAN KENDALI (TC 2200)
PT. DIRGANTARA INDONESIA (IAe)

Disusun Oleh :
RANIA RAHMAWATI WAHYU WIBAWA
14050062

Telah disetujui dan disahkan oleh Departemen Teknik Penerbangan


Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Yogyakarta
Pada tanggal: Yogyakarta, 12 Desember 2017

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu
memberkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kerja
Praktik di PT. Dirgantara Indonesia beserta laporan Kerja Praktik yang berjudul
“VERTICAL TAIL PLANE (VTP) SIZING PESAWAT N-245 BERDASARKAN
PADA PLATFORM VERTICAL TAIL PLANE (VTP) PESAWAT N-250
BUATAN PT DIRGANTARA INDONESIA” ini dengan sebagaimana mestinya.
Laporan ini terdiri dari segala sesuatu yang penulis lakukan saat melakukan
kerja praktik di PT. Dirgantara Indonesia. Adapun maksud dan tujuan penulisan
laporan ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan mata kuliah
Kerja Praktik di Program Studi Teknik Penerbangan, Sekolah Tinggi Teknologi
Adisutjipto.
Dalam Pelaksanaan Kerja Praktik dan penulisan laporan ini, banyak pihak
yang membantu penulis dalam memberikan nasihat, bimbingan, dan ilmu, oleh
karena itu penulis mengungkapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT, yang selalu memberikan nikmat serta karunia yang tak ternilai
kepada penulis.
2. Orang tua penulis, yaitu Bapak Syarif Wibowo dan Ibu Ika Wahyu
Handayani serta adik penulis Marsha Dewi Fitria Wibawa dan Fauzan Ridho
Satrio Wibowo. Beserta seluruh keluarga yang telah memberikan doa restu,
semangat, dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.
3. Bapak D. Junitu Tikupasang sebagai Manager of Aerodynamic TC2000,
Direktorat Teknologi dan Pengembangan, PT. Dirgantara Indonesia, yang
telah memeberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan Kerja Praktik di
departemen yang beliau pimpin.
4. Bapak Nyoman Sastradi sebagai Pembimbing di bidang Dinamika Terbang
dan Kendali (TC2200), Direktorat Teknologi dan Pengembangan, PT.
Dirgantara Indonesia, yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta telah
bersedia menjadi pembimbing lapangan penulis selama kerja praktik.

iv
5. Seluruh direksi beserta staff dan karyawan Departemen Aerodinamika
terutama pada Divisi Dinamika Terbang dan Kendali, yang telah bersedia
memberikan ilmu dan pengetahuannya.
6. Bapak Bangga Dirgantara A. S.T., M.T., selaku Kepala Departemen Teknik
Dirgantara, Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto dan Bapak Kris Hariyanto,
S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.
7. Ibu Dwi Hartini S.T., M.T., selaku Dosen dan Pembimbing Kerja Praktik
penulis, yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.
8. Sahabat penulis Fadillah Ilham Jaty yang tak pernah henti memberikan
dukungan, semangat, dan motivasi kepada penulis selama melakukan Kerja
Praktik dan selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis selama ini.
9. Keluarga besar alumni “TKJ B „11 SMK N 2 SALATIGA” beserta keluarga
besar “HMJ Teknik Penerbangan 2015-2016” sebagai keluarga kedua bagi
penulis.
10. Teman-teman yang melaksanakan penelitian di Direktorat Teknologi dan
Pengembangan PT. Dirgantara Indonesia (Hensam Tri Widagdo, Aditya
Nurcholis Putra, Anisa Noviaratri Larasati), ACS PT Dirgantara Indonesia
(M. Imam Baihaqi, Fajar Harry Kurniawan, Suci Nurfajriah, Ahmad
Gunawan S, Okinawa, Ali, Hendri), PT. Nusantara Turbine and Propulsion
(NTP) (Anggi Firdani, Afsah Ulfah, I Made Pandu Wirawan) yang menjadi
tempat berbagi selama masa penelitian.
11. Teman-teman dari ITB Bandung (Yusuf), Universitas Indonesia (Nafis, Aldi,
Eza) dan UNEJ Jember (Exwan, Robi, Edo) yang melaksanakan penelitian di
Divisi Aerodinamika dan ITS Surabaya (Tama, Rozi, Izda) yang
melaksanakan penelitian di Divisi Pusat Rancang Bangun yang menjadi
tempat berbagi dan bertukar pikiran selama masa penelitian.
12. Teman-teman yang melaksanakan Kerja Praktik di Tangerang (Dimas, Ika,
Hilmy, Marhendra, Hanung Rizal, Levi, Puji, Ida Bagus, Mustofa, Galih)
yang selalu memberikan semangat dan hiburan bagi penulis.
13. Teman-teman Teknik Penerbangan B, teman main penulisn (Herry, Rizky,
Ragil) yang sering mengalami suka dan duka dimasa perkuliahan bersama

v
dengan penulis dan memberikan kenangan indah selama masa perkuliahan
penulis.
14. Teman-teman dari Salatiga yang merantau di Bandung (Andi Prasetyo, Sari,
Tri Cahya, Erya Warandita, Wicak) yang memberikan bantuan selama penulis
melaksanakan Kerja Praktik.
15. Teman-teman “Pagardepan 58 PT. ASELI DAGADU DJOKDJA” dan semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan, masukan serta saran kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan dan perbaikan dalam penulisan laporan ini.

Bandung, September 2017

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN INDUSTRI .......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
LAPORAN KERJA PRAKTIK .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iiv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR SIMBOL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2
1.4 Batasan Masalah ..................................................................................... 2
1.5 Manfaat Kerja Praktik ............................................................................ 3
1.6 Metodologi Penelitian ............................................................................ 4
1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN .................................................... 6
2.1 Profil Perusahaan .................................................................................... 6
2.2 Logo Perusahaan .................................................................................... 7
2.3 Visi dan Misi Perusahaan ....................................................................... 8
2.3.1 Visi PT. Dirgantara Indonesia ......................................................... 8
2.3.2 Misi PT. Dirgantara Indonesia ........................................................ 8
2.4 Sejarah Perusahaan ................................................................................. 8
2.5 Struktur Organisasi ............................................................................... 11
2.6 Orientasi Bisnis .................................................................................... 13
2.7 Produksi ................................................................................................ 14
2.8 Anak Perusahaan .................................................................................. 16
2.9 Lokasi dan Waktu Kerja ....................................................................... 16
2.10 Jobdesk dan Timeline Kerja Praktik ..................................................... 17

vii
BAB III DESKRIPSI PROSES .......................................................................... 18
3.1 Pelaksanaan Kerja Praktik .................................................................... 18
3.2 Rencana Kerja Praktik .......................................................................... 18
3.3 Tahap –Tahap Pelaksanaan Kerja Praktik ............................................ 19
3.3.1 Studi Literatur ................................................................................ 19
3.3.2 Analisis Data ................................................................................. 20
3.3.3 Validasi Hasil ................................................................................ 20
3.3.4 Pembuatan Laporan ....................................................................... 21
3.4 Kendala ................................................................................................. 21
BAB IV LANDASAN TEORI ............................................................................ 22
4.1 Dinamika Terbang Pesawat Udara ....................................................... 22
4.2 Kestabilan pesawat terbang .................................................................. 25
4.2.1 Sejarah ........................................................................................... 25
4.2.2 Pendahuluan .................................................................................. 26
4.2.3 Kestabilan Statis ............................................................................ 26
4.3 Stabilizer Pesawat Terbang .................................................................. 39
4.3.1 Vertical Stabilizer .......................................................................... 39
BAB V PEMBAHASAN ..................................................................................... 40
5.1 Kestabilan Direksional Pesawat N-245 ................................................ 40
5.1.1 Pengertian Kestabilan Direksional ................................................ 40
5.1.2 Tujuan Kestabilan Direksional ...................................................... 40
5.1.3 Proses Perhitungan Kestabilan Direksional Pesawat N-245 ......... 41
5.2 Asymmetric Power Condition ............................................................... 50
5.2.1 Pengertian Asymmetric Power Condition...................................... 50
5.2.2 Tujuan Analisis Asymmetric Power Condition ............................. 51
5.2.3 Proses Perhitungan Asymmetric Power Condition ........................ 51
5.3 Crosswind Landing ............................................................................... 64
5.3.1 Tujuan Analisis Crosswind Landing ............................................. 64
5.3.2 Proses Perhitungan Crosswind Landing ........................................ 65
BAB VI PENUTUP ............................................................................................. 68
6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 68
6.2 Saran ..................................................................................................... 69
6.2.1 Saran Bagi Perusahaan .................................................................. 70
6.2.2 Saran Bagi Lembaga Pendidikan................................................... 71

viii
6.2.3 Saran Bagi Mahasiswa .................................................................. 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xiv

ix
DAFTAR SIMBOL

b Wing Span m
Cl Koefisien rolling moment /deg
ClDA Koefisien rolling moment terhadap defleksi aileron /deg
ClDR Koefisien rolling moment terhadap defleksi rudder /deg
Clβ Koefisien rolling moment terhadap sudut slideslip /deg
L lift (gaya angkat) N
CL Koefisien gaya angkat
CLDRv Koefisien gaya angkat terhadap defleksi rudder /deg
CLαv Koefisien gaya angkat terhadap α vertikal /deg
N Yawing moment Nm
Cn Koefisien yawing moment
CnDA Koefisien yawing moment terhadap defleksi aileron /deg
CnDR Koefisien yawing moment terhadap defleksi rudder /deg
Cnβ Koefisien yawing moment terhadap sudut slideslip /deg
Cnβwb Koefisien yawing moment terhadap sudut slideslip pada
konfigurasi wing body /deg
Y Sideforce N
Cy Koefisien sideforce
CyDA Koefisien sideforce terhadap defleksi aileron /deg
CyDR Koefisien sideforce terhadap defleksi rudder /deg
Cyβ Koefisien sideforce terhadap sudut slideslip /deg
Cyβwb Koefisien sideforce terhadap sudut slideslip pada
konfigurasi wing body /deg
DA Defleksi aileron deg
DR Defleksi rudder deg
g percepatan gravitasi m/s2
MLW Minimum Landing Weight N
OEW Operating Empty Weight N
q Dynamic pressure vertikal N/m2

x
S Wing area m2
Sw Luas permukaan wing m2
Sv Luas permukaan vertical tail m2
Tnet Engine thrust N
V Velocity m/s
Vapp Kecepatan approach m/s
Vr take off rotation speed m/s
Vxwind crosswind velocity m/s
V1 take off decision speed m/s
V2 engine out climb to clear obstacle m/s
VMCA minimum control speed in the air m/s
VMCG minimum control speed in the groud m/s
Vv Vertical tail volume Coefficient
lv Jarak ekor vertikal dari sayap m
W aircraft gross weight N
Yeng Jarak engine terhadap fuselage m
α Sudut serang pesawat deg
β Sudut sideslip deg
βxwind Sudut slideslip saat crosswind deg
ϕ Sudut bank pesawat deg
ρ air density kg/m3
σ Sudut sidewash deg

Sidewash

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 2 Logo PT. Dirgantara Indonesia (Persero) .......................................... 7


Gambar 2.3 Struktur Organisasi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) ................... 12
Gambar 2.4 Struktur Organisasi Direktorat Teknologi Dan Pengembangan ........ 13
Gambar 2.5 Gedung PT. Dirgantara Indonesia ..................................................... 17
Gambar 3.2 Flow Chart Pelaksanaan Kerja Praktik ............................................. 19
Gambar 3. 3 Flow Chart Melaksanakan Analisis Data......................................... 20
Gambar 5. 1 Top View Pesawat N-245 Berdasarkan Konseptual Desain ............. 42
Gambar 5. 2 Front View Pesawat N-245 Berdasarkan Konseptual Desain .......... 42
Gambar 5. 3 Right View Pesawat N-245 Berdasarkan Konseptual Desain .......... 43
Gambar 5. 4 Grafik Koefisien Side Force Wing-Body Pesawat terhadap Sideslip
Angle β .................................................................................................................. 45
Gambar 5.5 Grafik Koefisien Side Force Wing-Body-Tail terhadap Sideslip Angle
β ............................................................................................................................. 45
Gambar 5.6 Grafik Koefisien Yawing Moment Wing-Body terhadap Sideslip Angle
β ............................................................................................................................. 46
Gambar 5.7 Grafik Koefisien Rolling Moment Wing-Body-Tail Pesawat terhadap
Sideslip Angle β ..................................................................................................... 46
Gambar 5. 8 Grafik Koefisien Lift Terhadap Sideslip Angle β ............................. 50
Gambar 5.9 Flow Chart Untuk Menghitung Velocity Minimum Control Speed at
the Ground pada Asymmetric Power Condition.................................................... 53
Gambar 5. 10 Grafik Engine data Pratt and Whitney PW127 pada Pesawat N-245
............................................................................................................................... 53
Gambar 5. 11 Grafik Hubungan antara Vv terhadap VMCG ............................... 57
Gambar 5. 12 Flow Chart untuk Menghitung Velocity Minimum Control Speed at
the Air pada Asymmetric Power Condition .......................................................... 57
Gambar 5. 13 Grafik Vv vs VMCA ...................................................................... 60
Gambar 5. 14 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Sideslip Angle .................... 63
Gambar 5. 15 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Defleksi Aileron ................ 63
Gambar 5. 16 Grafik Vertical Tail Volume Coefficient terhadap Angle of Attack 64

xii
Gambar 5. 17 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Sideslip Angle Crosswind .. 67
Gambar 5. 18 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Kecepatan Crosswind ........ 67

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Jobdesk dan Timeline Kerja Praktik .................................................... 17


Tabel 5. 1 Dimensi Pesawat N-245 Buatan PT. Dirgantara Indonesia ................. 41
Tabel 5.2 Data Hasil Wind Tunnel Test variasi Pesawat Terhadap Sideslip Angle β
............................................................................................................................... 43
Tabel 5.3 Nilai Gradien dari Koefisien Sideforce, Yawing Moment dan Rolling
pada kondisi Wing-Body dan Wing-Body-Tail ...................................................... 47
Tabel 5.4 Data Koefisien Lift pada Vertical Tail Pesawat N-250 ......................... 49
Tabel 5.5 Geometri Pesawat N-245 yang Dibutuhkan untuk Mencari Nilai VMCG
dan VMCA ............................................................................................................ 51
Tabel 5. 6 Parameter Tambahan dari Data Pesawat N-250 .................................. 52
Tabel 5. 7 Iterasi Nilai untuk Menghasilkan Nilai Vf sebagai Nilai VMCG ........ 55
Tabel 5. 8 Nilai dari Perubahan VMCG terhadap Variasi Vv .............................. 56
Tabel 5. 9 Parameter Aerodinamika untuk Perhitungan VMCA .......................... 58
Tabel 5. 10 Nilai VMCA pada Variasi Vv ............................................................ 59
Tabel 5. 11 Hasil perhitungan VMCA, β dan DA ................................................ 62
Tabel 5. 12 Perhitungan Crosswind Landing pada Variasi Vv ............................. 65

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ekonomi dan teknologi yang semakin pesat membuat negara
Indonesia terus melakukan pembangunan di segala aspek kehidupan, tak
terkecuali bidang transportasi. Dalam bidang transportasi khususnya bidang
transportasi udara, Pemerintah bersama PT Dirgantara Indonesia sedang
mengembangkan rancangan pesawat N-245 yang diperkirakan dapat menjangkau
seluruh daerah di Indonesia demi terwujudnya negara Indonesia yang memiliki
konektivitas antar daerah yang erat. Sebagai sebuah industri pesawat terbang
bukanlah hal mudah bagi PT. Dirgantara Indonesia untuk merancang sebuah
pesawat yang dapat terbang dengan aman dan dapat sampai ke tujuan dengan
selamat, hal tersebut membutuhkan proses yang cukup panjang. Salah satu unsur
penting dalam proses perancangan pesawat terbang adalah pada bagian Dinamika
Terbang dan Kendali.
Menganalisis kestabilan dan merancang sistem kendali pesawat terbang
merupakan bagian dari Flight Stability. Sedangkan Control system atau sistem
kendali merupakan satu kesatuan dari kestabilan. Merancang sistem kendali
dilakukan setelah melakukan analisis dari kestabilan sehingga dapat menambah
kestabilan jika pada analisis kestabilan dikatakan kurang stabil. Sistem kendali ini
dirancang sesuai dengan kebutuhan pesawat berdasarkan peraturan-peraturan
berlaku. Flight stability dibagi menjadi 2 jenis, yaitu analisis static stability dan
dynamic stability. Salah satu analisis static stability pesawat terbang yaitu
merancang control system yang memiliki karakteristik aerodinamika seperti yang
terbaik atau yang sesuai dengan kebutuhan pesawat, hal ini merupakan project
yang dilakukan penulis selama kerja praktik.
Dalam laporan kerja praktik ini penulis akan membahas mengenai analisis
ukuran luasan yang optimum untuk kestabilan lateral pesawat terbang yaitu
Vertical Tail Plane (VTP) dan sistem kendali rudder pada pesawat N-245 dilihat

1
2

dari Vertical Tail pada pesawat buatan PT. Dirgantara Indonesia yang terdahulu
yaitu N-250. Vertical Tail Plane (VTP) Sizing berfungsi untuk memberikan
keseimbangan dalam kondisi steady flight pada kestabilan lateral/direksional,
untuk memastikan bahwa kondisi tersebut stabil dan dapat diredam dengan baik,
dan untuk menghasilkan gaya aerodinamis untuk manuver pesawat terbang. Untuk
mendapatkan ukuran luasannya digunakan Software Microsoft Excel sebagai
perhitungannya dan untuk mendapatkan parameter-parameter aerodinamika
selama perhitungan menggunakan data wind tunnel test.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jabarkan, maka rumusan
masalah yang akan diselesaikan adalah “Bagaimanakah konfigurasi pengukuran
vertical tail plane yang tepat dan sesuai untuk diaplikasikan pada pesawat N-245
dilihat dari data vertical tail pada pesawat N-250 buatan PT. Dirgantara Indonesia
(IAe) ?”.

1.3 Tujuan
Dalam pelaksanaan kerja praktik ini penulis berharap dapat mencapai
beberapa hal diantaranya:
1. Menganalisis ukuran vertical tail berdasarkan dari beberapa nilai vertical
tail volume coefficient (Vv) pada pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara
Indonesia.
2. Menentukan ukuran vertical tail berdasarkan beberapa nilai vertical tail
volume coefficient (Vv) yang sesuai dengan kebutuhan pesawat N-245
dengan beberapa kondisi.

1.4 Batasan Masalah


Dalam laporan ini, penulis memberikan batasan masalah yang meliputi:
1. Analisis hanya terfokus pada pengukuran konfigurasi vertical tail
pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara Indonesia (IAe).
2. Analisis hanya menggunakan kondisi One Engine Inoperative (OEI)
atau Failure dan kondisi Crosswind landing.
3

3. Analisis yang dilakukan hanya dalam keadaan Left Engine Inoperative


(LEI).
4. Analisis berdasarkan data desain pesawat yang telah ditetapkan untuk
pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara Indonesia.
5. Analisis dilakukan berdasarkan data aerodinamika dari hasil pengujian
Wind Tunnel dengan keadaan power off .
6. Parameter tambahan yang digunakan hanya berupa nilai CLvDR dan
CLαv dari data vertical tail yang didapatkan dari pengujian pesawat N-
250.

1.5 Manfaat Kerja Praktik


1. Bagi institusi
a. Dapat menambah referensi yang ada di perpustakaan Sekolah Tinggi
Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta
b. Sebagai bahan evaluasi kerja praktik yang telah dilaksanakan

2. Bagi perusahaan
Dengan hasil penulisan laporan kerja praktik yang dilakukan oleh
penulis pada perusahaan terkait, maka perusahaan dapat menggunakan
hasil kerja praktik ini untuk membantu proses perancangan pesawat N-
245.
3. Bagi penulis
Hasil tulisan dapat digunakan sebagai referensi dan acuan dalam
menyusun laporan serta menambah wawasan dan wacana bagi penulis.
Menambah wawasan terutama dalam menentukan ukuran untuk
perancangan vertical tail pesawat terbang.

4. Bagi pembaca
Memberikan wawasan dan referensi terutama pada menentukan ukuran
untuk perancangan vertical tail pesawat terbang.
4

1.6 Metodologi Penelitian


Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam pengerjaan laporan
kerja praktik diantaranya adalah:
1. Studi Literatur
Pada proses pelaksanaan kerja praktik ini, metode pengerjaan yang
pertama kali dilakukan adalah studi literatur. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui proses perhitungan yang telah dilakukan, batasan-batasan
yang akan dilakukan selama penelitian.
2. Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan untuk memenuhi data-data yang
kurang pada bagian flight stability and control sehingga melibatkan
berbagai pihak seperti bidang aerodinamika, performance, dan lain-lain.
3. Diskusi
Metode diskusi ini dilakukan dengan pihak-pihak terkait dengan
bahasan laporan ini. Diantaranya dengan pembimbing kerja praktik di
PT. Dirgantara Indonesia, dan beberapa ahli yang berkaitan dengan
pesawat N-245.

1.7 Sistematika Penulisan


Laporan ini terdiri dari enam bab yaitu Pendahuluan, Tinjauan Umum
Perusahaan, Deskripsi Proses, Landasan Teori, Pembahasan, serta
Kesimpulan dan Saran.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, waktu
pelaksanaan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang profil PT. Dirgantara
Indonesia, Logo perusahaan, Visi dan Misi, sejarah berdirinya
perusahaan, struktur organisasi perusahaan, orientasi bisnis,
waktu dan tempat kerja, jobdesk dan timeline, serta
5

pembimbing kerja praktik.


BAB III DESKRIPSI PROSES
Bab ini berisi tentang proses atau kegiatan produksi pada
Departemen Aerodinamika Bidang Dinamika Terbang dan
Kendali PT. Dirgantara Indonesia (IAe).
BAB IV LANDASAN TEORI
Pada bab ini berisikan tentang dasar teori yang digunakan
dalam perhitungan yaitu kestabilan statis pesawat terbang.
BAB V PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang analisis mengenai
ukuran ekor yang direkomendasikan untuk pesawat N-245
berdasarkan beberapa kasus.
BAB VI PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis menguraikan tentang kesimpulan
dan saran setelah dilakukannya analisis.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
PT. DIRGANTARA INDONESIA (IAe)

2.1 Profil Perusahaan


PT. Dirgantara Indonesia atau nama lainnya Indonesian Aerospace (IAe)
merupakan salah satu industri pesawat terbang yang berada di Asia dengan
kompetensi utamanya adalah perancangan pesawat terbang, serta pengembangan
dan produksi pesawat sipil dan versi militer regional.
Sejak didirikan pada tahun 1967 dengan nama LIPNUR (Lembaga Industri
Pesawat Terbang Nurtanio), perusahaan ini sudah sukses mengembangkan
kemampuan industrinya dalam produksi serta mempunyai keanekaragaman
produk. Seperti produk dalam bidang Information Technology, Automotive,
Maritime, Simulation Technology, Industrial Turbine, dan Engineering Service.
Dalam produksinya, PT. Dirgantara Indonesia sudah mengirim lebih dari
300 unit pesawat terbang dan helikopter, sistem pertahanan, komponen pesawat
dan layanan lainnya. Program restructuring dimulai pada tahun 2004, dan
sekarang PT. Dirgantara Indonesia sudah didukung oleh 3720 tenaga kerja.
Berikut pekerjaan yang dilakukan oleh PT. Dirgantara Indonesia, antara lain:
1. Aircraft Integration
Pekerjaan Aircraft Integration antara lain digunakan untuk jenis pesawat:
CN235-220, NC-212-200, Helikopter (NBO-150, BELL-412, NAS-
332C1), Instrumen Landing System (ILS) & Customer-Support
2. Aerostructure
Selain membuat pesawat terbang, PT. Dirgantara Indonesia juga menjadi
sub-contractor dan memproduksi komponen untuk industri pesawat
terbang berukuran besar di dunia, seperti Boeing, Airbus, Fokker, dan
lainnya.
3. Aircraft Services
PT. Dirgantara Indonesia juga menyediakan fasilitas servis pesawat

6
7

terbang, baik untuk pesawat produk PT. Dirgantara Indonesia sendiri,


maupun untuk non Produk PT. Dirgantara Indonesia diantaranya B737-
200/300/400/500, Cessna 172, Enstrom 480B, BK-117 dan Bell-212.
4. Technology & Development
Bidang Technology & Development PT. Dirgantara Indonesia merupakan
satu dari banyak direktorat yang ada di PT. Dirgantara Indonesia yang
mempunyai kapabilitas dan pengalaman pada bidang desain rekayasa dan
pengembangan produk, teknologi simulasi, integerasi sistem, dan
pemeliharaan unuk sistem pertahanan dan pengamanan di PT. Dirgantara
Indonesia.

2.2 Logo Perusahaan


Sebagai perusahaan pembuatan pesawat terbang, PT Dirgantara Indonesia
memiliki makna tersendiri dalam penciptaan logo perusahaan yang disesuaikan
dengan tujuan dan sejarah perusahaan yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Logo PT. Dirgantara Indonesia (Persero)


Sumber : www.indonesian-aerospace.com

Makna dari logo tersebut adalah :


1. Warna Biru Angkasa melambangkan langit tempat pesawat terbang
2. Sayap pesawat terbang sebanyak 3 buah, yang melambangkan fase PT.
Dirgantara Indonesia yaitu :
PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio
8

PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara


PT. Dirgantara Indonesia
3. Ukuran pesawat terbang yang semakin membesar melambangkan
keinginan PT. Dirgantara Indonesia untuk menjadi perusahaan
dirgantara yang semakin membesar di setiap fasenya.
4. Lingkaran melambangkan bola dunia dimana PT. Dirgantara Indonesia
ingin menjadi perusahaan kelas dunia.

2.3 Visi dan Misi Perusahaan


2.3.1 Visi PT. Dirgantara Indonesia
“Menjadikan perusahaan kelas dunia dalam industri dirgantara yang
berbasis pada penguasaan teknologi tinggi dan mampu bersaing dalam pasar
global, dengan mengandalkan keunggulan biaya”

2.3.2 Misi PT. Dirgantara Indonesia


1. Menjalankan usaha dengan selalu berorientasi pada aspek bisnis dan
komersil dan dapat menghasilkan produk dan jasa yang memiliki
keunggulan biaya.
2. Sebagai pusat keunggulan di bidang industri dirgantara, terutama
dalam rekayasa, rancang bangun, manufaktur, produksi dan
pemeliharaan untuk kepentingan komersil dan militer dan juga untuk
aplikasi di luar industri Dirgantara.
3. Menjadikan Perusahaan sebagai pemain kelas dunia di industri
global yang mampu bersaing dan melakukan aliansi strategi dengan
industri dirgantara kelas dunia lainnya.

2.4 Sejarah Perusahaan


PT. Dirgantara Indonesia (Indonesian Aerospace Inc.) berpengalaman dan
berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan, dan perancangan pesawat
terbang. Perusahaan ini dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. PT. DI didirikan pada
26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ
Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian
berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11
9

Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi


Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000.
PT. Dirgantara Indonesia berawal dari LAPIP (Lembaga Persiapan Industri
Penerbangan) yang didirikan berdasarkan Keputusan Menteri/Kepala Staf
Angkatan Udara No.488, 1 Aguatus 1960. LAPIP diresmikan pada 16 Desember
1961 yang mempunyai tugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan
memberikan dukungan untuk kemajuan dunia penerbangan di Indonesia.
Pada tahun 1961 LAPIP menandatangani perjanjian kerjasama dengan
CEKOP (industri pesawat terbang Polandia) untuk membangun sebuah industri
pesawat terbang di Indonesia. Kontrak LAPIP dengan CEKOP meliputi
menbangun gedung untuk fasilitas manufaktur pesawat terbang, pelatihan SDM
dan memproduksi PZL-104 Wilga under licence atau yang lebih dikenal Gelatik.
Dalam waktu yang bersamaan, tahun 1965 melalui SK Presiden RI-Presiden
Soekarno, didirikan Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat (KOPELAPIP)
Pada bulan Maret 1966, Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang,
sehingga untuk menghormati jasa beliau maka Pemerintah menggabungkan
KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari menjadi LIPNUR
kependekan dari Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio untuk menghormati
kepeloporan almarhum Nurtanio. Selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat
terbang latih dasar LT-200, membangun bengkel after-sales-service, maintenance,
repair dan overhaul.
Menyadari bahwa usaha pendirian industri tersebut tidak bisa dilakukan
sendiri, maka dengan tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil untuk
suatu saat bekerja pada pembangunan industri pesawat.
Melalui pertemuan tersebut melahirkan Divisi Advanced Technology &
Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) menjadi cikal bakal BPPT. Dan
berdasarkan Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur Pertamina
dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. September 1974, Pertamina –
Divisi Advanced Techmology menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi
dengan MBB-Jerman & CASA-Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.
10

Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya dengan nama


Industri Pesawat Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe-Jakarta, timbul
permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang berakibat pula pada keberadaan
Divisi ATTP, dalam hal ini mengenai proyek serta programnya. Akan tetapi
karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana guna pembangunan dan
untuk mempersiapkan tinggal landas bangsa Indonesia pada Pelita VI, Presiden
menetapkan untuk meneruskan pembangunan industri pesawat terbang dengan
segala konsekuensinya, maka berdasarkan Peraturan pemerintah No.12 Tanggal
15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Dengan peratuan
tersebut kemudian dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi Negara yaitu aset
Pertamina, Divisi ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri
pesawat terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR)
dan AURI, sebagai modal dasar pendirian industri pesawat terbang yang mampu
menjawab tantangan jaman.
Pada tanggal 26 April 1976 berdasarkan Akte Notaris NO.15 di Jakarta
didirikan PT. Industri Persawat Terbang Nurtanio dengan Prof. DR. ING
Bacharuddin Jusuf Habibie selaku Direktur Utama. Pada 23 Agustus 1976
Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang nurtanio ini. Dalam
perjalanannya, kemudian pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang
Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)
Selama 24 tahun IPTN relatif berhasil melakukan transformasi teknologi
sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal desain, pengembangan,
serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang. Dalam rangka
menghadapi dinamika jaman serta sistem pasar global, IPTN meredifinisi diri ke
dalam “DIRGANTARA 2000” dengan melakukan orientasi bisnis, dan strategi
baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, untuk itu IPTN
melaksanakan program restrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, serta penataan
kembali sumber daya manusia yang memfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis.
Kini dalam masa survive, IPTN menjual segala kemampuannya di area
engineering dengan menawarkan jasa design sampai pengujian, manufactur part,
11

komponen serta tool pesawat terbang dan non pesawat terbang, serta jasa
pelayanan purna jual.
Seiring dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT. DIRGANTARA
INDONESIA (Indonesian Aerospace/ IAe) yang diresmikan Presiden
Abdurrahman Wahid, 24 Agustus 2000 di Bandung. Pada awal hingga
pertengahan tahun 2000-an PT. Dirgantara Indonesia mulai menunjukkan
kebangkitannya kembali, banyak pesanan dari luar negeri seperti Thailand,
Malaysia, Brunei, Korea, Filipina dan lain-lain. Meskipun begitu, karena dinilai
tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan
jaminan hari tua kepada mantan karyawannya, PT. Dirgantara Indonesia
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada 4 September 2007. Namun pada tanggal 24 Oktober 2007 keputusan pailit
tersebut dibatalkan.

2.5 Struktur Organisasi


Secara umum bentuk organisasi PT. Dirgantara Indonesia adalah matriks,
dimana Direktur Utama di bantu oleh 2 asisten direktur (asisten dirut bidang
bisnis pemerintah dan asisten dirut sistem manajemen mutu perusahaan),
sekretariat perusahaan, satuan pengawasan intern, divisi pengamanan, divisi
perencanaan dan pengembangan perusahaan.
Budaya Organisasi PT. Dirgantara Indonesia :
1. Solid, kompak dan bersinergi sebagai tim, bersikap tulus dan terbuka
untuk mencapai tujuan perusahaan.
2. Profesional, ahli dan kompeten sesuai dengan norma profesinya.
3. Excellent, tekad untuk memperoleh keunggulan dan standar kualitas
tertinggi.
4. Enthusiast, semangat dan gairah dalam bekerja dan menghadapi
tantangan.
5. Dignity, martabat berlandaskan iman dan takwa.
Secara umum, struktur organisasi PT. Dirgantara Indonesia adalah seperti terlihat
pada Gambar 2.2.
12

DIREKTUR UTAMA

ASISTEN DIREKTUR UTAMA SEKRETARIS SATUAN PENGAWASAN UNIT BISNIS STRATEGIS


BIDANG HUBUNGAN PEMERINTAH PERUSAHAAN INTERN AIRCRAFT SERVICES

DIVISI PEMASARAN DAN


PENJUALAN AIRCRAFT
DIVISI PERENCANAAN DIVISI SERVICES
PERUSAHAAN PENGAMANAN

DIVISI PERAWATAN DAN


MODIFIKASI

DIREKTORAT DIREKTORAT UMUM &


SUMBER DAYA MANUSIA
KEUANGAN DIVISI MANAJEMEN LOGISTIK
AIRCRAFT SERVICES

DIVISI KEUANGAN DIVISI PENGEMBANGAN


SUMBER DAYA MANUSIA
PERUSAHAAN DIVISI KEUANGAN DAN
ADMINISTRASI AIRCRAFT
SERVICES

DIVISI DIVISI ADMINISTRASI


PERBENDAHARAAN SUMBER DAYA MANUSIA

DIVISI DIVISI PENGADAAN UMUM


DAN JASA FASILITAS
AKUNTANSI

DIVISI TEKNOLOGI
INFORMASI

DIREKTORAT NIAGA DAN DIREKTORAT TEKNOLOGI DIREKTORAT


DAN PENGEMBANGAN
RESTRUKTURISASI PRODUKSI

DIVISI PENGEMBANGAN DIVISI MANAJEMEN DIVISI


USAHA PROGRAM JAMINAN MUTU

DIVISI DIVISI DIVISI REKAYASA


PEMASARAN PUSAT TEKNOLOGI MANUFAKTUR

DIVISI DIVISI PUSAT DIVISI MANAJEMEN


PENJUALAN RANCANG BANGUN PROGRAM DAN
PERENCANAAN

DIVISI DIVISI PUSAT UJI DIVISI PENGADAAN


RESTRUKTURISASI TERBANG DAN LOGISTIK

DIVISI SERTIFIKASI DAN


KELANGSUNGAN LAIK DIVISI DETAIL PART
UDARA MANUFACTURING

DIVISI KOMPONEN
DAN PERAKITAN

DIVISI PERAKITAN AKHIR


DAN PUSAT DELIVERI

Gambar 2.2 Struktur Organisasi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)


Sumber : Divisi PSDM, PT. Dirgantara Indonesia
13

DIVISI TC000
PUSAT TEKNOLOGI

DEPARTEMEN TC1000 DEPARTEMEN TC5000


PENGEMBANGAN DEPARTEMEN TC2000 DEPARTEMEN TC3000 DEPARTEMEN TC4000 REKAYASA INDUSTRI
TENOLOGI & PRODUK AERODINAMIKA ANALISA STRUKTUR ANALISA SISTEM & PERANGKAT
BARU LUNAK

BIDANG TC1100 BIDANG TC2100 BIDANG TC5100


PENGEMBANGAN AERODINAMIKA BIDANG TC 3100 BIDANG TC4100
TEKNOLOGI DAN KONFIGURASI DAN DEFINISI DAN
WEIGHT & BALANCE SISTEM KELISTRIKAN
METODA ANALISIS INTEGRASI SISTEM

BIDANG TC1200 BIDANG TC5200


BIDANG TC2200 BIDANG TC3200 BIDANG TC4200
PENGEMBANGAN
DINAMIKA TERBANG PROPULSION & SISTEM PERANGKAT
PRODUK PESAWAT LOAD
DAN KENDALI RELATED SYSTEM LUNAK
TERBANG

BIDANG TC1300 BIDANG TC4300


BIDANG TC2300 BIDANG TC5300
KONFIGURASI PROUK BIDANG TC3300 AVIONIK DAN
DAN REKAYASA SISTEM PRESTASI PESAWAT SISTEM PERANGKAT
AEROELASTICITY RUANG KEMUDI
PESAWAT TERBANG TERBANG KERAS
TERBANG

BIDANG TC1400 BIDANG TC4400


BIDANG TC2400 BIDANG TC3400 BIDANG TC5400
PENGEMBANGAN SISTEM KENDALI
EKSPERIMENTAL KOMUNIKASI &
PRODUK KHUSUS STRESS TERBANG DAN
AERO JARINGAN
DAN STRATEGIS MEKANIKA

BIDANG TC3500 BIDANG TC4500 BIDANG TC5500


BIDANG TC1500
FATIGUE & FRACTURE ENVIRONMENTAL PENGAMBANGAN
REKAYASA KHUSUS
MECHANICS SYSTEM CAD/CAM

Gambar 2.3 Struktur Organisasi Direktorat Teknologi Dan Pengembangan


Sumber : Divisi PSDM, PT. Dirgantara Indonesia

2.6 Orientasi Bisnis


PT. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai pesawat tetapi
juga helikopter, senjata dan menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan
(maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat. PT. Dirgantara Indonesia juga
menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia
seperti Boeing, Airbus, Fokker dan lain sebagainya.
Pada tahun 2004 program restrukturisasi perusahaan yang mencakup
reorientasi bisnis dan penataan ulang SDM digulirkan. PT. Dirgantara Indonesia
pernah mempunyai karyawan sampai 16 ribu orang, karena krisis ekonomi banyak
karyawan yang diPHK dan karyawannya menjadi berjumlah sekitar 4000 orang.
PT. Dirgantara Indonesia memfokuskan bisnisnya dari 18 menjadi 5 satuan usaha
meliputi :
14

1. Industri pesawat (Aircraft)


Memproduksi beragam pesawat untuk memenuhi berbagai misi sipil,
militer dan juga misi khusus.
2. Aerostructure
a. Pembuatan komponen aerostructur (Machined parts, Sub-assembly,
Assembly).
b. Pengembangan rekayasa (engineering package) yaitu
pengembangan komponen aerostructure yang baru.
c. Perancangan dan pembuatan alat-alat (tooling design and
manufacturing).
3. Aircraft Service
Unit usaha aircraft service menyediakan service pemeliharaan pesawat
dan helikopter berbagai jenis, yang meliputi penyediaan suku cadang,
pembaharuan dan modifikasi struktur pesawat, pembaharuan interior,
maintenance dan overhaul.
4. Engineering Service
Dilengkapai dengan peralatan perancangan dan analisis yang canggih,
fasilitas uji berteknologi tinggi serta tenaga ahli yang berlisensi dan
berpengalaman standar internasional, satuan usaha engineering service siap
memenuhi kebutuhan produk dan jasa bidang engineering(non aircraft).
5. Defence
Bisnis utama satuan usaha defence terdiri dari: produk-produk untuk
kepentingan militer, perawatan, perbaikan, pengujian dan kalibrasi baik
secara mekanik maupun elektrik dengan tingkat akurasi yang tinggi,
integrasi alat-alat perang.

2.7 Produksi
Sejak awal berdiri, PT. Dirgantara Indonesia sudah memproduksi lebih dari
300 unit pesawat terbang, helikopter, komponen pesawat dan layanan lainnya
meliputi :
15

1. Pesawat Sayap Tetap


a. N-2130, Proyek Dihentikan karena krisis finansial Asia 1997
b. N-250 (Tahap uji terbang prototype)
c. NC-212
d. CN-235
e. N-219
f. N-245, pengembangan dari CN-235 dengan peningkatan kapasitas
pesawat
g. Sikumbang produksi era Nurtanio
h. Belalang produksi era Nurtanio
i. Kunang produksi era Nurtanio
j. Gelatik produksi era LAPIP lisensi dari CEKOP Polandia
(sekarang dikenal dengan nama PZL)

2. Komponen pesawat (sebagai sub-kontraktor pabrikan luar negeri)


a. Komponen sayap dari Boeing 737
b. Komponen sayap dari Boeing 767
c. Komponen sayap dari Airbus A320
d. Komponen sayap dari Airbus A330
e. Komponen sayap dari Airbus A340
f. Komponen sayap dari Airbus A380
g. Komponen sayap dari Airbus A350
h. Komponen ekor dari Sukhoi Superjet 100

3. Helikopter
a. NBO 105 dipergunakan secara luas di Indonesia, lisensi dari MBB
Jerman. Dihentikan sejak juli 2011.
b. NBK 117
c. NBell 412 lisensi dari Bell Helicopter, AS
d. NAS 330 Puma lisensi dari Aerospatiale, Perancis
e. Eurocopter 332 Super Puma Pengembangan dari Puma, lisensi dari
Eurocopter, Perancis
16

f. Eurocopter Fennec pengganti NBO 105.


g. Eurocopter Ecureuil pengganti NBO 105.
h. Eurocopter EC725
i. Tailboom dan fuselage dari EC 725 dan EC 225

2.8 Anak Perusahaan


Selain industri manufaktur dan perancangan pesawat terbang yang berada di
Bandung, PT. Dirgantara Indonesia juga memiliki anak perusahaan yang bergerak
dibidang maintenance, repair and overhaul maupun penjualan spare parts dan
komponen pesawat terbang lainnya. Berikut merupakan beberapa anak perusahaan
milik PT, Dirgantara Indonesia :
1. IPTN North America, Inc
Office : 1035 Andover Park West, Suite B Tukwila, Seattle,
Washington, United States
Website : http://www.iptnna.com
Products : Aerospace Parts & Services Trading Company and other High
Tech Product
2. PT. NUSANTARA TURBIN DAN PROPULSI
Office : Jalan Pajajaran 154, Kawasan Pabrik IV, Bandung 40174
Website : http://www.umcntp.co.id
Products : Maintenance & overhaul, Manufacturing of parts & component
Aero engine and industrial turbine
3. PT. GENERAL ELECTRIC NUSANTARA TURBINE SERVICES
(GENTS)
Office : Jalan Pajajaran 154, Kawasan Pabrik IV, Bandung 40174
Website : http://www.ge.com
Products : Repair & services combustion, turbine, component & spare
parts for GE and Non-GE.

2.9 Lokasi dan Waktu Kerja


Dalam melaksanakan kerja praktik, penulis perlu mengetahui lokasi dan
alamat secara spesifik dari perusahaan terkait yaitu di PT. Dirgantara Indonesia
17

harus menyesuaikan waktu kerja dari perusahaan tersebut, berikut merupakan


lokasi dan waktu kerja PT. Dirgantara Indonesia (IAe).

Gambar 2.4 Gedung PT. Dirgantara Indonesia


Sumber : www.indonesian-aerospace.com

Perusahaan : PT. Dirgantara Indonesia (IAe)


Lokasi : Jalan Padjajaran No. 154 Bandung 40174, Indonesia
Waktu Kerja : a. Senin – Kamis : Pukul 07.30 – 16.00 WIB
b. Jum‟at : Pukul 07.30 – 17.00 WIB
c. Sabtu – Minggu : Libur

2.10 Jobdesk dan Timeline Kerja Praktik


Jobdesk dan timeline kerja praktik penulis di PT. Dirgantara Indonesia(IAe)
ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Jobdesk dan Timeline Kerja Praktik

Minggu
Jobdesk
1 2 3 4 5 6
Study Literatur
Pengumpulan Data
Analisis / Pengolahan Data
Validasi Data
Pembuatan Laporan
1. BAB III
DESKRIPSI PROSES

Dalam bab ini, penulis akan mendiskripsikan mengenai kegiatan yang


dilaksanakan oleh penulis ketika Kerja Praktik (KP) di PT. Dirgantara Indonesia
mulai dari pelaksanaan Kerja Praktik, rencana Kerja Praktik hingga tahapan yang
penulis lakukan dalam kegiatan kerja praktik ini. Dalam pelaksanaan kerja paktik
ini penulis memisahkan tahapan kerja praktik menjadi beberapa bagian yaitu:
tahap Studi Literatur, tahap Analisis Data, tahap Validasi Data dan yang terakhir
tahap Pembuatan Laporan Kerja Praktik. Kerja praktik ini dilaksanakan selama 2
bulan terhitung mulai tanggal 1 Agustus 2017 sampai dengan 28 September 2017.

3.1 Pelaksanaan Kerja Praktik


Kerja praktik dilaksanakan PT. Dirgantara Indonesia, pada Direktorat
Teknologi dan Pengembangan (DIRTEK, Divisi Pusat Teknologi, Departemen
Aerodinamika (TC2000), Bidang Dinamika Terbang dan Kendali (TC2200).
Pelaksanaan kerja praktik dilakukan pada hari kerja Senin sampai Jumat pukul
07.30-16.00 WIB yang dilaksanakan oleh 11 mahasiswa dengan bagian dan
bidang yang berbeda-beda, 7 mahasiswa pada bagian Aircraft Control System
(ACS) sedangkan 4 mahasiswa pada Direktorat Teknologi (DirTek). Kerja praktik
dilaksanakan pada tanggal 2 Agustus 2017, dimulai dengan pengenalan tentang
lingkup kerja PT. Dirgantara Indonesia dan pengantar materi mengenai topik
pembahasan yang akan penulis kerjakan.

3.2 Rencana Kerja Praktik


Departemen Aerodinamika (TC2000) melakukan banyak pengujian, salah
satunya adalah mengenai pesawat N-245, pesawat ini tergolong baru dalam tahap
perancangan yaitu tahap preliminary design. Penulis diberi tugas yang
bersangkutan untuk melakukan pengecekan terhadap desain vertical tail dan
merekomendasikan desain yang sesuai kebutuhan ditinjau dari desain vertical tail
pada rancangan pesawat terdahulu yang sejenis seperti CN-235 dan N-250.

18
19

Rencana kerja praktik dibuat oleh penulis atas instruksi pembimbing guna
memudahkan pembelajaran dan mengetahui target yang dapat dicapai dalam
waktu tertentu. Jadwal kegiatan kerja praktik akan penulis lampirkan.

3.3 Tahap –Tahap Pelaksanaan Kerja Praktik

Mulai

Studi Literatur

Analisis Data

Validasi Data

Pembuatan
Laporan

Selesai

Gambar 3.1 Flow Chart Pelaksanaan Kerja Praktik

3.3.1 Studi Literatur


Studi literatur dilaksanakan sebelum penulis melakukan pengujian dan
menganalisis hasil pengujian. Tahapan ini berlangsung selama kurang lebih 2
minggu. Studi literatur merupakan sebuah proses awalan dalam memahami dasar
teori dan mempersiapkan segala sesuatunya sebelum pengujian dilaksanakan.
Pelaksanaan studi literatur dimulai dari pengenalan mengenai stabilizer, vertical
stabilizer, dan sistem kendalinya. Selain memahami tentang komponennya penulis
juga melakukan pemahaman mengenai dasar teori tentang flight stability and
automatic control khususnya vertical tail plane (VTP) sizing.
20

3.3.2 Analisis Data

Mulai

Input Geometri dan


Flight Condition

Perhitungan VMCG

Perhitungan VMCA

Perhitungan Crosswind

Nilai VMCG, VMCA, β, CL, α,


Thrust, TC, δA, βx wind, ϕ, Vx wind

Selesai

Gambar 3. 2 Flow Chart Melaksanakan Analisis Data

Analisis dilakukan hasil dilaksanakan pada minggu ke 3 sampai dengan ke


5 dari pelaksanaan kerja praktik. Dalam tahapan ini penulis melakukan beberapa
analisis untuk kasus dan beberapa asumsi yang telah disepakati bersama dengan
pembimbing.

3.3.3 Validasi Hasil


Validasi hasil dilakukan pada minggu ke 6 dari pelaksanaan kerja praktik.
Pada tahap ini penulis menampilkan hasil yang telah didapat selama melakukan
analisis ke pembimbing dan menyatakan bahwa hasil yang didapat sesuai dengan
analisis yang telah dilakukan oleh penulis.
21

3.3.4 Pembuatan Laporan


Pembuatan laporan merupakan tahap akhir yang dilakukan oleh penulis
selama melakukan kerja praktik. Laporan ini dimaksudkan sebagai bukti telah
melaksanakan kerja praktik di kawasan PT. Dirgantara Indonesia dan bukti di
kampus Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto. Selain itu laporan kerja praktik ini
dapat digunakan sebagai referensi maupun acuan bagi mahasiswa lain terutama
mahasiswa yang akan melaksanakan kerja praktik pada tahunn ajaran berikutnya.

3.4 Kendala
Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh penulis selama kerja praktik di
PT. Dirgantara Indonesia seperti sulitnya pengumpulan data yang dibutuhkan
untuk menganalisis pesawat N-245, dikarenakan pesawat yang masih baru dalam
tahapan perancangan, perubahan studi kasus yang dilakukan penulis dikarenakan
beberapa faktor berdasarkan arahan dari pembimbing, kesulitan berkonsultasi
akibat kesibukan pembimbing dan banyak hal lainnya. Namun semua dapat
diselesaikan berkat bantuan dari pihak-pihak di PT. Dirgantara Indonsesia.
22

BAB IV
LANDASAN TEORI

4.1 Dinamika Terbang Pesawat Udara


Dinamika terbang adalah cabang dari ilmu Mekanika Terbang yang
mempelajari gerak pesawat udara relatif terhadap suatu tata acuan koordinat yang
berpusat pada titik berat pesawat udara tersebut. Yang dimaksud dengan gerak
pesawat udara disini adalah sikap (attitude) serta laju perubahan sikap pesawat
udara diukur relatif terhadap tata acuan koordinat yang dipilih tersebut.
Sikap suatu pesawat udara relatif terhadap tata acuan koordinat yang dipilih
dinyatakan melalui sudut-sudut orientasi antara pesawat udara tersebut dengan
sumbu-sumbu tata acuan koordinat yang dipilih. Dengan demikian, laju
perubahan sikap dinyatakan sebagai laju perubahan sudut-sudut orientasi
tersebut.1
Agar sudut-sudut orientasi dapat didefinisikan secara konsisten, maka pada
pesawat udara didefinisikan tata acuan koordinat yang disebut tata acuan
koordinat benda. Tata acuan ini, berpusat pada titik berat pesawat udara, melekat
pada pesawat udara, dengan demikian ikut bergerak bersama gerak pesawat udara.
Jadi dengan kata lain, tata acuan koordinat benda ini mewakili geometri pesawat
udara tersebut didalam mendefinisikan sudut-sudut orientasinya terhadap tata
acuan koordinat yang dipilih secara konsisten, lihat Gambar 4.1 berikut.

1
Muhammad, Hari and Yazdi Ibrahim Jenie. 2014. Diktat Kuliah Dinamika Terbang Program
Studi Aeronautika dan Astronotika Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi
Bandung.
23

Gambar 4. 1 Sudut Orientasi Pesawat Udara Dalam Melukiskan Sikap Terbang


Sumber: Diktat Dinamika Terbang Prodi Aeronautika dan Astronautika Institut Teknologi
Bandung, (Hari Muhammad dan Yazdi Ibrahim Jenie, 2014)

Pesawat terbang memiliki tiga sumbu putar, yaitu vertikal, longitudinal dan
lateral. Gerakan pesawat pada sumbu vertikal disebut yaw, pada sumbu lateral
disebut pitch dan pada sumbu longitudinal disebut roll. Lihat gambar 4.2 berikut.

Gambar 4. 2 Sumbu Pada Pesawat Udara Dalam Melukiskan Sikap Terbang


Sumber : Vertical Tail Plane Sizing untuk Konfigurasi ITTP-TC PT. Dirgantara Indonesia
24

Gambar 4. 3 Tiga Pokok Pembahasan dalam Dinamika Terbang


Sumber: Diktat Dinamika Terbang Prodi Aeronautika dan Astronautika Institut Teknologi
Bandung, (Hari Muhammad dan Yazdi Ibrahim Jenie, 2014

Dari Gambar 4.3, dapat diketahui ada 3 pokok pembahasan gerak pesawat udara
dalam dinamika terbang yang meliputi beberapa hal antara lain:
1. Keseimbangan sikap pesawat udara. Dalam hal ini dibahas kemampuan
pesawat udara dalam menjaga kondisi seimbangnya, yaitu kondisi dimana
seluruh gaya dan momen yang bekerja pada pesawat udara tersebut saling
meniadakan. Dalam kondisi ini, pesawat udara terbang dengan sikap yang
konstan relatif terhadap tata acuan koordinat yang dipilih. Dalam istilah
penerbangan, kondisi seimbang ini disebut kondisi trim.
2. Kestabilan sikap pesawat udara. Dalam hal ini dibahas kemampuan pesawat
udara dalam mengembalikan dirinya ke sikap keseimbangan awalnya, bila
pesawat udara tersebut memperoleh gangguan luar ataupun dalam dari
kondisi seimbang atau trim tersebut. Kestabilan sikap pesawat udara ini dapat
ditimbulkan oleh karena karakteristik dinamik dari pesawat itu sendiri
ataupun karena dipaksakan oleh suatu sistem pegendalian kestabilan.
3. Keterkendalian sikap pesawat udara. Dalam hal ini dibahas kemampuan
pesawat udara dalam mengubah sikap dari satu sikap seimbang ke sikap
25

seimbang lainnya. Perubahan sikap seimbang ini dilaksanakan melalui proses


pengendalian.

4.2 Kestabilan pesawat terbang


4.2.1 Sejarah
Pada awal abad ke 20, komunitas penerbangan telah banyak memecahkan
masalah di dunia penerbangan diantaranya kebutuhan untuk membuat pesawat
yang massa nya lebih besar dibanding massa udara. Satu lagi masalah yang timbul
akibat kurangnya pengertian hubungan antara stability and control seperti
hubungan antara pilot terhadap mesin nya. Kebanyakan ide-ide mengenai stability
and control dimulai pada eksperimen untuk pesawat tipe glider oleh beberapa
orang seperti Albert Zahm berasal dari Amerika Serikat, Alphonse berasal dari
Perancis, Frederick Lanchester berasal dari Inggris yang berkontribusi untuk
untuk gagasan tentang kestabilan pesawat. Zahm membuat sebuah jurnal yang
dipresentasikan pada tahun 1893. Pada jurnalnya, ia menganalisis kondisi yang
dibutuhkan untuk memperoleh persamaan yang stabil saat pesawat terbang
melakukan descent pada kecepatan yang konstan.

Gambar 4. 4 Deskripsi Longitudinal Stability Menurut Zahm


Sumber: Flight Stability and Automatic Control 2nd, (Dr. Robert C.Nelson, 1998)

Dari Gambar 4.4, Zahm menyimpulkan bahwa letak c.g harus berada di
depan aerodynamic force dan pesawat akan membutuhkan apa yang dimaksud
dengan “longitudinal dihedral” untuk mendapatkan titik kestabilan. Untuk masa
sekarang, dapat kita lihat jika letak c.g telah berada didepan a.c, kemudian kita
butuh merefleksikan airfoil pada sudut serang positif untuk membuat pesawat
26

menjadi stabil. Pada 20 tahun sebelum Wright bersaudara berhasil menerbangkan


pesawat, banyak individu di Amerika dan Eropa telah bekerja untuk membuat
model pesawat glider tanpa pilot. Investigasi-investigasi telah dilakukan untuk
meningkatkan pesawat mereka, dengan hasil akhir ialah mampu membuat pesawat
yang dapat terbang di bawah kontrol manusia. Ada tiga orang yang berjasa dalam
pembuatan pesawa pertama kali sebelum kesuksesan dari Wright bersaudara
membuat pesawat seperti Otto Lilienthal dari Germany, Octave Chanute dan
Pierpont Langley dari Amerika Serikat.

4.2.2 Pendahuluan
Untuk membuat pesawat dapat terbang dan mudah dikontrol maka harus
mempelajari tentang aircraft stability and control. Yang dimaksud kestabilan
adalah mampu kembali ke posisi stabil setelah mengalami gangguan. Gangguan
ini dapat disebabkan oleh gerakan pilot atau berasal dari fenomena di atmosfer.
Gangguan yang terjadi di atmosfer dapat berupa wind gust, wind gradient or
turbulent air. Sebuah pesawat harus dibuat dengan memiliki kestabilan yang
cukup sehingga pilot tidak cepat lelah akibat gangguan.
Ada dua kondisi yang diperlukan agar misi pesawat dapat terpenuhi.
Pesawat harus mampu untuk mencapai penerbangan yang setimbang dan harus
memiliki kapabilitas untuk manuver pada jarak yang jauh di ketinggian dan
kecepatan. Untuk mencapai kondisi setimbang atau kemampuan manuver,
pesawat harus dilengkapi kontrol untuk aerodinamika dan propulsi.

4.2.3 Kestabilan Statis


Kestabilan merupakan sifat dari kondisi setimbang, jika sebuah pesawat
tetap dalam keadaan yang steady, maka resultan gaya sama baiknya dengan
resultan momen disekitar c.g keduanya harus bernilai nol. Sebuah pesawat yang
memenuhi syarat dikatakan berada di state of equilibrium atau terbang saat trim
condition. Sebaliknya, jika resultan gaya dan momen tidak sama dengan nol,
pesawat akan mengalami percepatan translasi dan rotasi.
Kestabilan statis adalah kecenderungan pesawat untuk kembali pada
kondisi setimbang saat terjadi gangguan. Sebagai contoh seperti Gambar 4.5.
27

Gambar 4. 5 Ilustrasi Kondisi Kestabilan Statis


Sumber: Flight Stability and Automatic Control 2nd, (Dr. Robert C.Nelson, 1998)

Jika bola telah dipindahkan dari bawah lengkungan permukaan,


kemudian dilepaskan maka pada Gambar 4.5(a), bola jatuh kembali
kebawah tidak langsung kembali kekondisi statisnya namun terjadi
perpindahan sebelum kembali keposisi setimbangnya. Pada Gambar
4.5(b), jika bola dipindahkan maka bola akan bergerak terus menerus ini
yang menyebabkan kondisi pada gambar ini menjadi tidak stabil. Namun
berbeda juga untuk Gambar 4.5(c), jika bola dipindahkan pada
permukaan datar dari satu titik ke titik lainnya, bola tersebuta akan tetap
pada posisi barunya. Ini akan diklasifikasikan sebagai titik netral saat
kondisis setimbang dan menjelaskan batasan antara static stability dan
static instability. Poin terpenting dari contoh yang sederhana, jika kita
telah mempunyai titik setimbangnya, pesawat harus mampu
menghasilkan gaya atau momen untuk mengembalikan ke kondisi
setimbang.
28

4.2.3.1 Definisi Kestabilan Statis Direksional


Kestabilan direksional merupakan kestabilan yang konsentrasinya
dengan kestabilan statis pesawat pada sumbu. Kestabilan direksional ini mengacu
pada kecenderungan untuk kembali ke kondisi setimbang ketika terkena gangguan
berupa gangguan yawing.

Gambar 4. 6 Kestabilan Statis Direksional


Sumber: Flight Stability and Automatic Control 2nd, (Dr. Robert C.Nelson, 1998)

Dilihat pada gambar 4.6, koefisien yawing moment terhadap sideslip


angle β untuk dua contoh pesawat. Untuk memiliki kestabilan statis direksional,
pesawat harus menghasilkan yawing moment yang akan mengembalikan pesawat
ke kondisi setimbang. Diasumsikan bahwa kedua pesawat diberi gangguan dengan
memiliki sideslip angel β. Maka pesawat 1 akan mampu mengembalikan ke dalam
kondisi setimbangnya, sedangkan untuk pesawat 2 yawing moment-nya
menyebabkan sideslip angel β-nya semakin besar. Dikarenakan jika sideslip angel
β (+) maka harus menghasilkan yawing moment (+) juga dan sebaliknya. Yawing
moment ini merupakan acuan untuk melihat kestabilan statis direksional peswat
terbang.
29

4.2.3.2 Kontribusi Komponen Pesawat


Pada kestabilan statis direksional pesawat, badan pesawat dan
pelindung mesin secara umum memberikan efek tidak stabil. Akibatnya, ekor
vertikal harus didesain dengan ukuran yang sesuai dengan kestabilan statis
direksional. Tujuan dari mendesain ekor ialah menghasilkan momen yang
mampu melawan dari sideforce. Sideforce yang terjadi pada ekor vertikal dapat
digambarkan melalui rumus berikut:
(4.1)

Dimana, v merupakan properti untuk ekor vertikal, sudut serang α pada ekor
vertikal dapat dirumuskan sebagai:
(4.2)
dimana :
σ = sidewash angle β = sideslip angle

Gambar 4. 7 Kontribusi Vertical Tail pada Arah Kestabilan.


Sumber: Flight Stability and Automatic Control 2nd, (Dr. Robert C.Nelson, 1998)
30

Pada gambar 4.7 dapat dilihat bagaimana sudut sideslip dan sudut
sidewash. Sidewash angle disebabkan oleh bentuk aliran udara yang acak yang
berasal dari badan dan sayap pesawat. Momen yang dihasilkan oleh ekor vertikal
dapat didapat dari persamaan berikut :

Nv  lv .Yv  lvCLv .(   ).Qv .Sv (4.3)


atau
Nv l .S Q
Cnv   v v . v .CL .(    ) (4.4)
Qv .S .b S .b Qw

Cnv  Vv .v .CLv .(   ) (4.5)

Dimana Vv = lv.Sv/(Sb) adalah rasio volume ekor vertikal dan ηv =

Qv/Qw adalah rasio dari tekanan dinamis ekor vertikal dan wing. Kontribusi dari
ekor vertikal terhadap kestabilan direksional dapat diturunkan menjadi,


Cn v  Vv .v .CL v .(1  ) (4.6)


Sehingga total dari yawing moment dan sideslip pesawat dapat menggunakan
persamaan :
CY a / c  CY WB  CY VTP (4.7)
dan
Cn a / c  Cn WB  Cn VTP (4.8)

4.2.3.3 Kontrol Direksional Pesawat Terbang


Direksional kontrol dicapai oleh sebuah permukaan kontrol yang
disebut rudder terletak di vertical tail, dapat dilihat pada Gambar 4.8. Rudder
merupakan hinge flap atau flap berengsel yang merupakan bagian belakang dari
vertical tail, gaya angkat pada permukaan ekor vertikal divariasikan untuk
membuat yawing moment disekitar c.g, ukuran rudder ditentukan oleh kontrol
direksional yang dibutuhkan. Yawing moment dihasilkan oleh rudder tergantung
31

pada perubahan gaya angkat yang terjadi di ekor vertikal berdasarkan jarak
defleksi rudder terhadap letak c.g.

Gambar 4. 8 Kontrol Direksional dengan Rudder


Sumber: Flight Stability and Automatic Control 2nd, (Dr. Robert C.Nelson,1998)

Untuk defleksi rudder positif, sideforce positif terjadi di ekor vertikal dan
menghasilkan yawing momen negatif.

N l .S Q dCLv
Cn   v v. v . r
Qw .S .b S .b Qw d r (4.9)
atau
dCLv
Cn  Vv .v . r (4.10)
d r

Efektifitas kontrol rudder merupakan rata-rata perubahan yawing moment


terhadap sudut defleksi rudder dan terhadap sideslip nya.

Sv dCLv S
CY  .  r  v .CLv (4.11)
S d r S

dCLv
Cn  Cn r . r  Vv .v .  r  Vv .CLv (4.12)
d r
atau
dCLv (4.13)
Cn r  Vv .v .
d r

4.2.3.4 Assymetric Power Condition


Assymetric power condition merupakan kondisi saat mesin penggerak
pesawat mati satu, sehingga adanya ketidakseimbangan tenaga yang dihasilkan
32

oleh mesin pesawat. Kondisi ini bisa terjadi oleh akibat kegagalan mesin ataupun
faktor cuaca, dan proses terjadi nya kegagalan bisa terjadi kapan saja, namun pada
pembahasan penulis, ada dua buah contoh assymetric power condition yaitu saat
melakukan take-off dan di udara.
Kondisi satu mesin mati ketika take-off sangat krusial, karena kondisi
pesawat harus tetap lurus dengan landasan sebelum melakukan lepas landas.
Assymetric power ini menyebabkan pesawat terjadi side slip moment sebesar
sudut β, dan kondisi satu mesin mati udara juga menjadi salah satu analisis dalam
mendesain ekor vertikal, kondisi ini menyebabkan terjadinya assymetric power
yang membuat pesawat terbang dengan memiliki sudut sideslip tidak sama dengan
nol, sehingga dibutuhkan defleksi rudder untuk menjaga agar pesawat dapat
terbang dengan lurus.
Suatu pesawat terbang dengan mesin mati satu harus memiliki
kecepatan minimal selama di darat dan udara, ini dikenal dengan VMCG dan
VMCA. VMCG adalah kecepatan minimum pesawat selama fase take-off dengan
keadaan mesin pesawat mati satu dan harus dapat dikontrol menggunakan
aerodinamika kontrol bukan menggunakan roda depan. Defleksi lateral harus
mampu menahan sampai ketinggian 30 ft untuk melakukan pemulihan, seluruh
konfigurasi pesawat selama take-off harus dipertimbangkan (FAR 25.149 (e)).
VMCA adalah kecepatan minimum pesawat di udara saat terjadi engine failure
dapat diatasi saat berat kritis dengan gaya dorong yang dihasilkan maksimal saat
terjadi engine failure (FAR 25.149 (b), (f), (g), dan (h)). Maka ada beberapa
kondisi yang harus diperhatikan:
a) Pesawat harus dipastikan selalu terbang lurus
b) Sudut bank yang diperbolehkan maksimal 5 derajat
c) Manuver pesawat tidak boleh yang terlalu berbahaya.
d) Pesawat harus mampu menghasilkan perubahan sudut serang sebesar 20
derajat
e) Gaya rudder yang dihasilkan tidak boleh melebihi 150 lbs
33

1. Perhitungan VMCG

Gambar 4. 9 Fase saat Melakukan Take-Off dengan Engine Mati Satu


Sumber : Panduan Perhitungan Vertikal Tail PT. Dirgantara Indonesia

Directional moment :
C β β C C C e g (4.14)
Untuk :

kemudian :
(4.15)

(4.16)

(4.17)

Untuk keperluan perhitungan, engine thrust data yang


bervariasi dengan kecepatan lengkung dipasang menggunakan
persamaan polinomial yaitu fungsi kecepatan dalam bentuk
. Untuk menentukan hasilnya diperlukan proses
iterasi, jadi persamaan 4.17 dibawa ke dalam bentuk berikut:

( )
( ) (4.18)
34

VMCG ditentukan dengan persamaan iterasi 4.18 oleh Metode


Newton-Raphson:

( )
(4.19)
( )

2. Perhitungan VMCA

Gambar 4. 10 Fase saat Engine Mati Satu di Udara


Sumber:Panduan Perhitungan Vertikal Tail PT. Dirgantara Indonesia

M O
ρ. x

Directional Moment :
(4.20)
Lateral Moment :
(4.21)
Side Force :

(4.22)

Asumsi :

Asumsi ini tidak selalu benar, terutama untuk propeller pesawat


dengan efek slipstream. Kemudian pada saat fase awal desain
menggunakan data aerodinamika dengan ketelitian yang lebih tinggi,
perhitungan lebih detail akan disertakan efek dari koefisien ini.
35

Kemudian dengan menggabungkan persamaan 4.20 dan 4.22,


didapatkan persamaan 4.23 seperti berikut:

untuk :

Persamaan Akhir:

( - )
(4.24)
( - )

Dimana:

( )

( )

Mirip dengan yang dilakukan pada analisis VMCG, dorong


mesin dilekatkan dengan kurva .
Untuk tujuan iterasi, persamaan 4.24 dibawa ke dalam bentuk
berikut menjadi persamaan 4.25.

( )

( ) (4.25)
36

VMCA ditentukan oleh persamaan iterasi (4.25) oleh Metode


Newton-Raphson:
( )
(4.26)
( )

Gambar 4. 11 Kestabilaan Statis ketika Rolling


Sumber:Panduan Perhitungan Vertikal Tail PT. Dirgantara Indonesia

Pada gambar 4.11 dapat dilihat bagaimana usaha pesawat untuk


kembali ke posisi setimbang setelah mengalami gangguan pada sumbu lateral
yaitu rolling.

4.2.3.5 Crosswind Landing

Gambar 4. 12 Fase Crosswind Landing


Sumber: http://flydamnit.com
37

Crosswind landing adalah kondisi saat landing terjadi gangguan oleh


angin yang berhembus dari samping sehingga approaching dilakukan dengan cara
memiringkan posisi pesawat. Berdasarkan petunjuk yang dibuat oleh perusahaan
Boeing tentang crosswind landing, diasumsikan bahwa keadaan angin adalah
steady (no gusting). Kecepatan angin diukur dari ketinggian tower 10 m (33 ft),
dan lebar landasan yang diperlukan 45 m (148 ft). Secara umum ada 3 teknik yang
digunakan untuk mengatasi crosswind landing, seperti de-crab, crab, dan sideslip.

Dalam perhitungannya tidak ada persyaratan yang mengikat tentang


maksimum crosswind landing yang terjadi, namun berdasarkan buku yang
digunakan oleh perusahaan Boeing bahwa kecepatan angin yang terjadi
diasumsikan 30 knot. Jika terjadi angin dari samping, maka pesawat akan
menghasilkan sudut sideslip, yang dapat dihitung berdasarkan persamaan 4.27
dibawah ini :
Vx  wind
 x  wind  sin 1 ((4.27)d (4.24)
Va / p

Dari persamaan di atas, Vxwind adalah kecepatan angin yang berasal dari
samping yang diasumsikan sebesar 30 knot, Va/p adalah kecepatan pesawat saat
melakukan approach. Jika pesawat terjadi sideslip maka dibutuhkan defleksi
rudder yang digunakan untuk mengubah pesawat agar tetap lurus terhadap
landasan. Dan dapat dihitung melalui persamaan berikut ini :

1. Tail Rudder Sizing

Cn r . r  Vv .CLv  Cn . xwind (4.28)

Directional Moment :
(4.29)

Lateral Moment :
(4.30)

Side Force :
(4.31)
38

untuk :

kemudian:

{ } (4.32)

Dimana:

( )

(4.33)
Karena hubungan non-linier antara rolling moment coefficient
(Cl) dan defleksi aileron, istilah ClDA.DA dalam persamaan 4.33
diatas didekati oleh ( ) yang akhirnya
memberikan persamaan 4.34 sebagai berikut:

(4.34)

Defleksi aileron (DA) ditentukan dengan iterasi oleh persamaan


4.34 dengan mengikuti metode Newton Rhapson :

( )
(4.35)
( )

, ( )- (4.36)
( )

Dimana:

( )
39

Kecepatan crosswind dapat ditentukan dengan persamaan berikut:


( ) (4.37)

4.3 Stabilizer Pesawat Terbang


Stabilizer pesawat terbang adalah sebuah komponen aerodinamis
permukaan, biasanya termasuk satu atau lebih permukaan control yang bergerak,
terdiri dari pitch, directional (yaw) stabilitas dan kontrol. Sebuah stabilizer dapat
menampilkan struktur tetap atau disesuaikan di mana setiap permukaan kontrol
bergerak seperti engsel, atau bisa sendiri menjadi permukaan sepenuhnya
bergerak seperti stabilator. Tergantung pada konteksnya, "Stabilizer" kadang-
kadang menggambarkan hanya bagian depan permukaan secara keseluruhan.
Dalam konfigurasi pesawat konvensional, stabilisator vertikal (fin) dan
horizontal (tailplane) yang terpisah membentuk empenage diposisikan di ekor
pesawat. Stabilitas longitudinal dan kontrol dapat diperoleh dengan konfigurasi
sayap lainnya, termasuk canard, sayap tandem dan pesawat berekor.

4.3.1 Vertical Stabilizer


Vertical stabilizer pada pesawat terbang biasanya dipasang di bagian
belakang dari fuselage, yang berpengaruh untuk mengurangi aerodynamic
sideslip dan meningkatkan kestabilan direksional pesawat.
Pada pesawat terbang, vertical stabilizer umum nya berada diposisi atas
yang dikenal juga sebagai ekor vertikal. Pemasangan pada posisi atas pesawat ada
dua keuntungan utama, gaya drag pada stabilizer meningkat pada kecepatan
pesawat terjadi nose up, yang menyebabkan gaya momen pesawat, stabilizer ini
berfungsi agar momen pesawat terjadi perlahan-lahan. Dan ketika pesawat
maneuver bank, stabilizer memproduksi lift yang melawan momen akibat bank
dan menjaga vertical stabilizer tetap berada di atas.
40

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Kestabilan Direksional Pesawat N-245


Pesawat N-245 merupakan salah satu pesawat sipil dengan twin turboprop
engine rancangan PT. Dirgantara Indonesia yang sedang berada pada tahap
preliminary desain. Preliminary desain adalah proses lanjutan dari konseptual
desain sebelum melanjutkan ke tahap detail desain. Pada tahap ini masih
dilakukan beberapa perubahan agar memiliki detail rancangan yang lebih
sempurna. Proses preliminary desain N-245 masih berada pada tahap wind tunnel
test pada kondisi power off. Pesawat N-245 ini merupakan pengembangan dari
pesawat CN-235 karena hampir keseluruhan bagian pesawat menggunakan
konfigurasi milik CN-235, kecuali pada bagian engine, tail dan beberapa system.
Untuk tail N-245 sendiri lebih menyerupai konfigurasi pesawat N-250,
perbedaannya hanya pada konfigurasi rudder nya saja. Pada N-245 menggunakan
konfigurasi single hinge line sedangkan pada N-250 menggunakan double hinge
line.

5.1.1 Pengertian Kestabilan Direksional


Kestabilan merupakan salah satu aspek penting dalam mendesain pesawat,
salah satunya yaitu kestabilan pada matra lateral atau dikenal dengan kestabilan
direksional. Kestabilan direksional digunakan untuk mengatasi sideslip a gle β
dan sidewash. Persyaratan yang digunakan untuk kestabilan direksional bahwa
koefisien momen beta (Cnβ) harus lebih besar dari nol.

5.1.2 Tujuan Kestabilan Direksional


Analisis kestabilan direksional digunakan untuk membutikan, apakah tail
volume coefficient yang telah ditetapkan sesuai atau tidak dengan kebutuhan
pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara Indonesia. Nilai tail volume coefficient
yang didapat akan digunakan sebagai acuan untuk analisis kestabilan direksional
pada beberapa kasus yang bisa terjadi selama penerbangan yang berhubungan
dengan vertical tail.

40
41

5.1.3 Proses Perhitungan Kestabilan Direksional Pesawat N-245


5.1.3.1 Data Pesawat N-245
Pesawat N-245 merupakan pengembangan dari pesawat CN-235, maka
bentuk nose dan bodynya pun sama tetapi untuk tail dan engine memiliki beberapa
perbedaan. Tabel 5.1 menampilkan ukuran geometri pesawat N-245 yang akan
digunakan dalam proses perhitungan.

Tabel 5. 1 Dimensi Pesawat N-245 Buatan PT. Dirgantara Indonesia

Horizontal
Geometry Wing Vertical Tail
Tail
Area (m2) 61.08 17.00 13.50
Aspect Ratio 10.906 5.299 1.5
Taper Ratio 0.40 0.63 0.714
Sweep C/4 deg. 3.86 6.78 25.01
Incidence (deg.) 3 0,00 NA
Dihedral (deg.) 3 0,00 NA
Root T/C (%) 18 12 12
Tip T/C (%) 18 12 12
Root Chord (mm) 3060 2200 3500
Tip Chord (mm) 1224 1382 2500
MAC (mm) 2604 1822 3028
Span (mm) 25810 9492 4500
Tail arm (mm) NA 12326 11020
Tail volume Coefficient NA 1,317 0.094
NACA 653-218 NACA 64- NACA 641-
Airfoil
Mod X-20 A212 INV A012

Sumber : N-245 Configuration, PT. Dirgantara Indonesia

Tabel 5.1 tersebut merupakan geometri rancangan pesawat N-245, dalam


hal ini yang penulis beri tanda hijau merupakan geometri yang akan digunakan
dalam menganalisis vertical tail plane (VTP) sizing untuk pesawat N-245. Untuk
42

three views drawing dari pesawat N-245 dapat dilihat pada Gambar 5.1, 5.2, dan
5.3.

Gambar 5. 1 Top View Pesawat N-245 Berdasarkan Konseptual Desain


Sumber : N-245 Three View Drawing Configuration, PT. Dirgantara Indonesia

Gambar 5. 2 Front View Pesawat N-245 Berdasarkan Konseptual Desain


Sumber : N-245 Three View Drawing Configuration, PT. Dirgantara Indonesia
43

Gambar 5. 3 Right View Pesawat N-245 Berdasarkan Konseptual Desain


Sumber : N-245 Three View Drawing Configuration, PT. Dirgantara Indonesia

5.1.3.1 Data Parameter Aerodinamika Pesawat N-245


Parameter aerodinamika pada pesawat N-245 ditentukan berdasarkan
geometri yang diberikan, dengan menggunakan data wind tunnel test dan data
pengujian pesawat terdahulu yang pernah di produksi oleh PT. Dirgantara
Indonesia yaitu pesawat N-250. Kemudian hasil parameter aerodinamika yang
didapatkan akan digunakan dalam menganalisis kestabilan direksional pesawat N-
245, seperti koefisien yawing moment dan sideforce yang divariasikan terhadap
sideslip angle β. Hasil dari wind tunnel test data data pengujian pesawat terdahulu
kemudian dimasukkan ke dalam software Microsoft Excel.

Tabel 5.2 Data Hasil Wind Tunnel Test variasi Pesawat Terhadap Sideslip Angle β

Beta CyWB CyWBT CnWB ClWBT


-30 0.399716 0.668598 0.035349 0.377868
-29 0.386115 0.656756 0.034081 0.37334
-28 0.372515 0.644914 0.032814 0.368813
-27 0.358915 0.633073 0.031547 0.364285
-26 0.345314 0.621231 0.030279 0.359757
-25 0.322547 0.593656 0.029455 0.348792
-24 0.29978 0.566081 0.028631 0.337826
-23 0.277013 0.538506 0.027807 0.32686
-22 0.254245 0.510931 0.026982 0.315894
-21 0.23733 0.484028 0.026669 0.305259
-20 0.220415 0.457126 0.026355 0.294623
44

Tabel 5.3 Data Hasil Wind Tunnel Test variasi Pesawat Terhadap Sideslip Angle β
(lanjutan)

-18 0.186584 0.40332 0.025728 0.273351


-16 0.214251 0.402576 0.025524 0.272211
-14 0.241918 0.401833 0.02532 0.271071
-12 0.204793 0.346885 0.01985 0.242986
-10 0.196843 0.316401 0.02246 0.205878
-8 0.162082 0.249874 0.018816 0.172117
-6 0.148302 0.214042 0.015805 0.134446
-4 0.103329 0.146088 0.01247 0.087477
-2 0.039949 0.065396 0.008949 0.040778
0 -1.2E-10 -2.4E-11 -5.1E-11 -1.1E-10
2 -0.03413 -0.05305 -0.00481 -0.03749
4 -0.08994 -0.13049 -0.00263 -0.08516
6 -0.13671 -0.19182 -0.00685 -0.1312
8 -0.15787 -0.24183 -0.01335 -0.16308
10 -0.19154 -0.2985 -0.01453 -0.20653
12 -0.20841 -0.3282 -0.01666 -0.23435
14 -0.23363 -0.36664 -0.01862 -0.26196
16 -0.14134 -0.29632 -0.01538 -0.25241
18 -0.04905 -0.22601 -0.01215 -0.24285
20 -0.17127 -0.37773 -0.016 -0.28549
21 -0.23237 -0.45359 -0.01793 -0.30681
22 -0.29348 -0.52945 -0.01986 -0.32812
23 -0.30635 -0.5514 -0.02048 -0.33663
24 -0.31921 -0.57335 -0.0211 -0.34513
25 -0.33207 -0.5953 -0.02172 -0.35364
26 -0.34494 -0.61724 -0.02235 -0.36215
27 -0.35578 -0.63037 -0.0227 -0.36649
28 -0.36663 -0.64349 -0.02305 -0.37084
29 -0.37748 -0.65662 -0.02341 -0.37518
30 -0.38833 -0.66974 -0.02376 -0.37953

Sumber : Data Wind Tunnel Test Pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara Indonesia

Dari data pada tabel 5.2, dapat dilihat nilai koefisien sideforce, yawing
moment, dan rolling moment pada pesawat N-245 yang divariasikan terhadap
sideslip a gle β pada sudut -30 sampai dengan 30 derajat. Kemudian data tersebut
digambarkan pada grafik antara koefisien sideforce, koefisien yawing moment dan

44
45

koefisien rolling moment terhadap sideslip a gle β Maka didapatkan hasil yang
dapat dilihat pada gambar 5.4, 5.5, 5.6, dan 5.7.

CYWB vs Beta
0,5
0,4
0,3
0,2
Sideslip Angle

0,1
0
-40 -30 -20 -10 -0,1 0 10 20 30 40
-0,2
-0,3
-0,4
-0,5
CyWB

Gambar 5. 4 Grafik Koefisien Side Force Wing-Body Pesawat terhadap


Sideslip Angle β

CyWBT vs Beta
0,8
0,6
0,4
Sideslip Angle

0,2
0
-40 -30 -20 -10 -0,2 0 10 20 30 40
-0,4
-0,6
-0,8
CyWBT

Gambar 5.5 Grafik Koefisien Side Force Wing-Body-Tail terhadap


Sideslip Angle β
46

CnWB vs Beta
0,04

0,03

0,02
Sideslip Angle

0,01

0
-40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40
-0,01

-0,02

-0,03
CnWB

Gambar 5.6 Grafik Koefisien Yawing Moment Wing-Body terhadap


Sideslip Angle β

ClWBT vs Beta
0,5
0,4
0,3
0,2
Sideslip Angle

0,1
0
-40 -30 -20 -10 -0,1 0 10 20 30 40
-0,2
-0,3
-0,4
-0,5
ClWBT

Gambar 5.7 Grafik Koefisien Rolling Moment Wing-Body-Tail Pesawat terhadap


Sideslip Angle β

Gambar 5.7 merupakan grafik kontribusi wing-body dan wing-body-tail


dalam mempengaruhi kestabilan pesawat terbang. Dimana Cy merupakan
koefisien sideforce pesawat dan Cn merupakan koefisien yawing moment. Pada
Gambar 5.4 dan 5.5 dapat dilihat bahwa Cy wing-body configuration (CyWB) dan
47

Cy wing-body-tail configuration (CyWBT) memiliki hasil yang tidak linear namun


juga tidak memperlihatkan hasil yang fluktuatif, saat mengalami sideslip angle
sebesar positif maka dibutuhkan defleksi rudder untuk melawan sebesar defleksi
negatif, jika mendefleksikan rudder negatif maka akan dihasilkan sideforce
negatif sehingga dapat diartikan bahwa hubungan antara besarnya sideforce dan
sideslip sebesar sudut harus berkebalikan. Pada gambar 5.6 dapat dilihat bahwa
Cn wing-body configuration (CnWB) memiliki bentuk grafik yang fluktuatif dan
cenderung menurun dari hasil yang memiliki slideslip angle negatif hingga
slideslip angle positif. Pada sideslip angle yang bernilai negatif nilai koefisien
yawing moment mengalami penurunan yang cukup konstan pada awalnya yang
kemudian menurun cukup drastis pada slideslip angle -12 deg, kemudian
mengalami peningkatan yang cukup drastis juga pada slideslip angle -11 deg
kemudian mengalami penurunan yang cukup konstan kembali dan pada sideslip
angle yang bernilai positif nilai koefisien yawing moment mengalami penurunan
dan peningkatan yang tidak teratur, nilai koefisien yawing moment mulai
mengalami peningkatan pada slideslip angle 4 deg kemudian mulai ada penurunan
kembali pada slideslip angle 6 deg hingga 14 deg. Pada slideslip angle 16 deg
nilai koefisien yawing moment mulai mengalami peningkatan dan pada slideslip
angle 20 deg nilai koefisien yawing moment mulai mengalami penurunan hingga
akhir variasi slideslip angle. Pada gambar 5.7 memiliki bentuk grafik yang
kurang lebih sama dengan grafik 5.4 dan 5.5 yaitu hasil yang ditunjukkan tidak
linear, pada slideslip angle negatif nilai koefisien yawing moment dan koefisien
rolling moment menunjukkan hasil yang positif. Dapat dilihat pula pada sideslip
angle yang bernilai negatif nilai koefisien rolling moment dapat mengalami
penurunan dan pada sideslip angle yang bernilai positif nilai koefisien rolling
moment mengalami peningkatan singkat yang tidak terlalu besar.

Tabel 5.4 Nilai Gradien dari Koefisien Sideforce, Yawing Moment dan Rolling
pada kondisi Wing-Body dan Wing-Body-Tail

CyWB CyWBT CnWB ClWBT

-0.01847 -0.02921 -0.00185 -0.01889


48

Setelah diketahui nilai gradien dari koefisien sideforce, yawing moment


dan koefisien rolling moment pada kondisi Wing-Body dan Wing-Body-Tail, maka
selanjutnya menetukan gradien koefisien lift sudut serang vertikal. Persamaan
yang digunakan untuk mencari koefisien lift pada masing-masing sudut sideslip
adalah sebagai berikut :

( )

Dari persamaan tersebut dihasilkan nilai CLαv pada setiap sudut


slideslip untuk angle of attack 0 deg dan 8 deg seperti yang ditampilkan pada
tabel 5.4. Kemudian dari data pada tabel 5.4 tersebut dicari nilai gradien dari
grafik CLαv pada gambar 5.8 dengan perintah SLOPE pada software Microsoft
Excel, maka dihasilkan CLαv = 0,05009881/deg pada α = 8 deg dan
CLαv = 0,053216987/deg pada α = 0 deg. Nilai CLαv yang digunakan adalah nilai
CLαv pada α = 0 deg, karena nilai CLαv digunakan ketika kondisi pesawat
cruising. Untuk nilai Sv atau Vertical Tail Area dan Sw atau Wing Area dapat
dilihat pada Tabel 5.1, kemudian hasilnya dibuat dalam grafik terhadap sideslip
angle β seperti Gambar 5.8.
49

Tabel 5. 5 Data Koefisien Lift pada Vertical Tail Pesawat N-250

Sumber : Data Wind Tunnel Test Pesawat N-250, PT. Dirgantara Indonesia
50

Clαv vs Beta
0,4
0,3
0,2
Slideslip Angle

0,1
0
-40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40
-0,1
-0,2
-0,3
-0,4
Clαv

Gambar 5. 8 Grafik Koefisien Lift Terhadap Sideslip Angle β

Pada Gambar 5.8, dapat dilihat bahwa hubungan antara nilai koefisien
lift yang terjadi pada vertical tail terhadap sudut serang yang mempengaruhi
vertical tail yaitu sideslip a gle β berbanding lurus dengan besar sudut sideslip β.
Pada sudut sideslip β negatif, koefisien lift yang dihasilkan juga bernilai negatif
dan untuk sudut sideslip β positif, koefisien lift yang dihasilkan akan bernilai
positif. Semakin besar sudut sideslip β maka semakin besar pula nilai koefisien lift
yang dihasilkan, hal tersebut juga berlaku sebaliknya, semakin kecil sudut sideslip
β maka akan semakin kecil pula nilai koefisien lift yang dihasilkan. Tetapi nilai
koefisien lift mulai meningkat pada sudut -27 derajat hal ini menandakan bahwa
pada sudut tersebut pesawat mulai kehilangan kestabilan dan mengalami stall.

5.2 Asymmetric Power Condition


5.2.1 Pengertian Asymmetric Power Condition
Asymmetric power condition merupakan kondisi saat terjadi kegagalan
pada satu mesin pesawat, sehingga power yang dihasilkan menjadi tidak
maksimal. Kondisi ini juga menyebabkan terjadinya yawing moment yang besar,
sehingga diperlukan desain untuk vertical tail volume coefficient dan defleksi dari
rudder yang sesuai untuk melawan yawing moment agar pesawat kembali ke
posisi setimbangnya. Pada analisis ini ada dua jenis kegagalan mesin yang terjadi
51

yaitu saat take-off dan saat di udara, dan memerlukan kondisi kecepatan minimum
pesawat saat di ground dan di udara, yang dikenal dengan VMCG dan VMCA.

5.2.2 Tujuan Analisis Asymmetric Power Condition


Dalam hal ini yang akan dianalisis oleh penulis bertujuan untuk
menganalisis vertical tail volume coefficient (Vv) yang sesuai dengan kondisi
diatas dan sesuai dengan kondisi kestabilan direksional pesawat N-245 yang telah
dibahas pada analisis kestabilan direksional. Dengan asumsi bahwa defleksi
rudder yang digunakan tidak sepenuhnya digunakan, namun sekitar 80% untuk
mengembalikan pesawat ke kondisi setimbangnya dan sisanya digunakan sebagai
kontrol jika terjadi gangguan yang mengharuskan defleksi rudder tambahan.

5.2.3 Proses Perhitungan Asymmetric Power Condition


Pada proses perhitungan Asymmetric Power Condition diperlukan
beberapa geometri tambahan yang ditunjukkan pada tabel 5.5.

Tabel 5. 6 Geometri Pesawat N-245 yang Dibutuhkan untuk Mencari Nilai


VMCG dan VMCA

GEOMETRI
PARAMETER SIMBOL NILAI SATUAN
Wing Area SW 61.08 m2
Vertical Area SV 13.5 m2
Temperature, ISA TISA 0 ˚C
Altitude H 0 ft
Air Density ρ 1.225 kg/m3
Wing Span b 25.81 m
Lateral engine position YENG -5.6 m
Panjang lengan MAC 0,25 lV0.25 11.02 m
Bank Angle ф 5 deg
Defleksi rudder DR -20 deg
Defleksi rudder saat crosswind DRx wind 15 deg
Operating Empty Weight OEW 12000 kg

Sumber : N-245 Configuration, PT. Dirgantara Indonesia


52

Untuk parameter tambahan yang diambil dari data pesawat N-250 dapat
dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5. 7 Parameter Tambahan dari Data Pesawat N-250

GEOMETRI
PARAMETER SIMBOL NILAI SATUAN
SW 65 m2
Wing Area
SV 14.7 m2
Vertical Area
Koefisien lift vertical saat
CLvDR -0,0452444 /deg
defleksi rudder
Koefisien rolling moment
Clαv -0,05321699 /deg
vertical tail pada sudut α

Sumber : N-250 Configuration, PT. Dirgantara Indonesia

Dari tabel 5.5 dan 5.6 dapat dilihat bahwa geometri pesawat N-250 dengan
N-245 sangat berbeda, tetapi untuk konfigurasi dan platform vertical tail
keduanya sama. Konfigurasi rudder pesawat N-250 menggunakan jenis double
hinge line sedangkan pesawat N-245 menggunakan jenis single hinge line rudder
maka perlu dilakukan penyesuaian agar konfigurasi vertical tail pesawat N-250
tersebut dapat diaplikasikan ke vertical tail pesawat N-245 dengan ketentuan nilai
CLvDR pesawat N-245 sebesar 65% dari nilai CLvDR pesawat N-250 yaitu sebesar
0,028741497 /deg.

5.2.3.1 Proses Perhitungan V Minimum Control Speed at Ground (VMCG)


Pada perhitungan VMCG perlu diperhatikan bahwa VMCG < V1min
dengan jangka waktu selama take off dan dengan menggunakan konfigurasi pada
saat take-off (flap, altitude, dsb), berat kritis biasanya beratnya rendah (1,25OEW)
di belakang CG. Untuk flowchart proses perhitungan VMCG dapat dilihat pada
Gambar 5.9.
53

Mulai

Variasi Vv

Hitung CnDR

Hitung VMCG

Grafik VMCG vs β

Selesai

Gambar 5.9 Flow Chart Untuk Menghitung Velocity Minimum Control Speed at
the Ground pada Asymmetric Power Condition

Diketahui :
Vstall = 96 knot dan VMCG ≤ 1,2Vstall = 115,2 knot

Gambar 5.10 merupakan grafik engine data yang digunakan oleh


pesawat N-245 yaitu engine buatan Pratt & Whitney jenis PW127 pada flight
condition altitude 0 ft dan ISA Temperature 0 deg.

ENGINE DATA
4000

3500

3000
THRUST

2500

2000
y = 0,0004x3 - 0,1002x2 - 3,6979x + 3579,5

1500
0 35 70 105 140 175
SPEED (knot)

Gambar 5. 10 Grafik Engine data Pratt and Whitney PW127 pada Pesawat N-245
54

Dari grafik engine data pada gambar 5.10, dapat ditentukan nilai A, B,
C, dan D yang akan digunakan dalam melakukan perhitungan VMCG sebagai
berikut :

A = 0,0004
B = -0,1002
C = -3,6979
D = 3579,5

Setelah didapatkan nilai A, B, C, dan D kemudian mencari nilai CnDR


(koefisien yawing moment pada saat defleksi rudder) yang didapatkan dari rumus
berikut :

Kemudian setelah mendapatkan nilai CnDR, maka langkah berikutnya


yaitu menghitung nilai Vf (Final Velocity) dengan iterasi hingga nilai Vf sama
dengan nilai Vi. Untuk nilai Vi merupakan nilai asumsi yang berapapun itu
nilainya maka akan menghasilkan nilai Vf yang sama, yang membedakan hanya
banyak atau sedikitnya iterasi yang dihasilkan, semakin mendekati nilai VMCG
maka semakin sedikit iterasi yang dihasilkan. Untuk rumus mencari nilai Vf akan
dijabarkan sebagai berikut:

( )
2

Pada perhitungan Vf ini ditentukan 2 variabel Vi. Untuk nilai Vi yang


dimasukkan ke persamaan polinomial engine data dan nilai Vi sebelum operator
pengurangan maka nilai yang digunakan berupa nilai Vi dengan satuan knot,
sedangkan untuk nilai Vi yang berada di sebelah kanan operator penjumlahan
nilai yang digunakan berupa nilai Vi dengan satuan m/s atau dalam
perhitungannya tinggal mengalikan nilai Vi pada satuan knot dengan nilai 0,5144
agar menjadi satuan m/s. Hasil iterasi dari VMCG dapat diketahui dari Tabel 5.7.
2
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
55

Tabel 5. 8 Iterasi Nilai untuk Menghasilkan Nilai Vf sebagai Nilai VMCG


VMCG
Vv = 0,06 Vv = 0,07 Vv = 0,072 Vv = 0,08
Vi VF Vi VF Vi VF Vi VF
200 163,618 140 126,625 140 126,043 140 123,983
163,618 142,471 126,625 119,919 126,043 119,639 123,983 115,639
142,471 131,303 119,919 116,784 119,639 116,658 115,639 111,624
131,303 125,892 116,784 115,382 116,658 115,326 111,624 109,793
125,892 123,423 115,382 114,769 115,326 114,744 109,793 108,982
123,423 122,335 114,769 114,503 114,744 114,493 108,982 108,628
122,335 121,864 114,503 114,389 114,493 114,384 108,628 108,474
121,864 121,661 114,389 114,340 114,384 114,338 108,474 108,408
121,661 121,575 114,340 114,318 114,338 114,318 108,408 108,379
121,575 121,537 114,318 114,309 114,318 114,309 108,379 108,367
121,537 121,522 114,309 114,306 114,309 114,305 108,367 108,362
121,522 121,515 114,306 114,304 114,305 114,304 108,362 108,359
121,515 121,512 114,304 114,303 114,304 114,303 108,359 108,358
121,51 121,51 114,303 114,303 114,303 114,303 108,358 108,358
Tabel 5. 9 Iterasi Nilai untuk Menghasilkan Nilai Vf sebagai Nilai VMCG
(lanjutan)
VMCG
Vv = 0,094 Vv = 0,1 Vv = 0,12
Vi VF Vi VF Vi VF
140 121,175 140 120,199 140 117,619
121,175 110,937 120,199 109,263 117,619 104,727
110,937 105,830 109,263 103,730 104,727 97,932
105,830 103,439 103,730 101,114 97,932 94,612
103,439 102,362 101,114 99,926 94,612 93,070
102,362 101,887 99,926 99,399 93,070 92,375
101,887 101,678 99,399 99,167 92,375 92,065
101,678 101,588 99,167 99,066 92,065 91,928
101,588 101,524 99,066 99,994 91,928 91,830
101,524 101,520 98,994 98,990 91,830 91,825
101,520 101,519 98,990 98,989 91,825 91,822
101,519 101,518 98,989 98,988 91,822 91,821
101,518 101,518 98,987 98,987 91,821 91,821
56

Dari tabel 5.7, dapat dilihat pada masing-masing variasi vertical tail
volume coefficient (Vv), menghasilkan jumlah dan nilai iterasi VMCG yang
berbeda-beda. Meskipun nilai Vi pada masing-masing variasi vertical tail volume
coefficient (Vv) berbeda, tetapi hasil akhir iterasi VMCG akan tetap menuju ke
nilai VMCG yang semestinya, yang membedakan hanya jumlah iterasi yang
dihasilkan saja. Setelah dilakukan iterasi maka didapatkanlah nilai VMCG yang
dapat dilihat pada tabel 5.8.

Tabel 5. 10 Nilai dari Perubahan VMCG terhadap Variasi Vv

Vv CnDR VMCG
(Vertical Volume) (1/deg) (knot) (m/s)
0,06 -0,0017245 121,51 62,5046

0,07 -0,0020119 114,30 58,7975

0,072 -0,0020694 114,303 58,7972

0,08 -0,0022993 108,36 55,7393

0,094 -0,0027017 101,52 52,221

0,1 -0,0028741 98,99 50,9194

0,12 -0,0034490 91,82 47,2327

Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa semakin besar nilai dari Vv nya,
semakin kecil VMCG yang dibutuhkan oleh pesawat untuk mengatasi One Engine
Inoperative (OEI). Tanda hijau adalah nilai kecepatan minimum (VMCG) pada
vertical tail volume coefficient (Vv) sesuai dengan kestabilan direksional pesawat
N-245 yaitu saat Vv 0,094. Sehingga dari tabel tersebut dapat ditampilkan hasil
berupa grafik seperti gambar 5.11.
57

Gambar 5. 11 Grafik Hubungan antara Vv terhadap VMCG

5.2.3.2 Proses Perhitungan V minimum control speed at the air (VMCA)

Mulai

Variasi Vv

Hitung Cnβ, Cyβ, CyDR, CnDR, CLαv

Hitung VMCA

Hitung β, CL, α, Clβ, TC, ClTOTAL, DA

Grafik Vv vs VMCA, Vv vs β, Vv vs DA, Vv vs α

Selesai

Gambar 5. 12 Flow Chart untuk Menghitung Velocity Minimum Control Speed at


the Air pada Asymmetric Power Condition
58

Diketahui :
CyWB CyWBT CnWB ClWBT CLαv Cyβ CyDR

-0,01847 -0,02922 -0,00185 -0,01889 0,05322 -0,02955 0,006352

Sumber : Tabel 5.3, Tabel 5.5, dan Tabel 5.6

Menghitung nilai :

( )

( ( ))

Untuk mencari nilai VMCA diperlukan nilai dari beberapa parameter


aerodinamika yang ada pada persamaan diatas dengan diketahui nilai
Cyβwb , Cnβwb , CLαv , dan CLvDR pada tabel 5.3 dan 5.4 maka didapatkan nilai

yang dapat dilihat pada tabel 5.9.

Tabel 5. 11 Parameter Aerodinamika untuk Perhitungan VMCA

Vv CnDR Cnβ Cyβ CyDR


(Vertical Volume) (1/deg) (1/deg) (1/deg) (1/deg)
0,06 -0,001725 0,0013435 -0,03024 0,006352
0,07 -0,0020119 0,0018757 -0,03024 0,006352
0,072 -0,0020694 0,0019821 -0,03024 0,006352
0,08 -0,0023 0,0024079 -0,03024 0,006352
0,094 -0,0027 0,0034722 -0,03024 0,006352
0,1 -0,00287 0,0034722 -0,03024 0,006352
0,12 -0,003449 0,0045366 -0,03024 0,006352

3
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
59

Tabel 5.9 menunjukkan hasil parameter dari perhitungan yang telah


dilakukan pada masing-masing vertical tail volume coefficient (Vv), untuk nilai
CyDR dan CnB nilainya berbeda karena dipengaruhi oleh vertical tail volume
coefficient (Vv). Sedangkan CyB dan CyDR nilainya sama karena tidak
dipengaruhi oleh Vv.
Setelah didapatkan keseluruhan parameter untuk mencari VMCA, maka
tinggal memasukan nilainya pada persamaan untuk mencari Vf sebagai berikut :

( )
( ) * +

[( ) ]

Pada umumnya perhitungan Vf pada VMCG dan VMCA sama, yang


membedakan hanya persamaannya saja. Jadi pada saat menghitung Vf pada
VMCA ini juga ditentukan 2 variabel Vi yaitu Vi dengan satuan knot dan Vi
dengan satuan m/s. Tabel 5.10 menunjukkan nilai VMCA pada setiap variasi
vertical tail volume (Vv).
Tabel 5. 12 Nilai VMCA pada Variasi Vv

Vv VMCA
CnDR CnB CnB/CyB
(Vertical Volume) (knot)
0,06 -0,00173 0,0013435 -0,04444 124,4
0,07 -0,00201 0,0018757 -0,06204 116,7
0,072 -0,002069 0,0019821 -0,06556 115,1
0,08 -0,0023 0,0024079 -0,07964 109,9
0,094 -0,0027 0,0034722 -0,10428 101,8
0,1 -0,00287 0,0034722 -0,11484 98,6
0,12 -0,00345 0,0045366 -0,15004 89,0

4
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
60

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai vertical
tail volume coefficient (Vv) maka semakin kecil nilai VMCA yang dibutuhkan
pesawat tersebut. Tanda hijau adalah nilai kecepatan minimum (VMCA) pada Vv
sesuai dengan kestabilan direksional pesawat N-245 yaitu saat Vv 0,094.
Sedangkan pada konfigurasi Vv 0,07-0,08 diantaranya terdapat nilai koefisien
yang masih dalam batas aman sesuai dengan kriteria ≤ 1,2 Vstall pesawat N-245
yaitu pada konfigurasi Vv 0,072 yang ditandai dengan tanda warna kuning.
Sehingga dari Tabel 5.9 tersebut dapat ditampilkan menjadi grafik seperti gambar
5.13.

Gambar 5. 13 Grafik Vv vs VMCA

Dari perhitungan kecepatan minimum pesawat saat di udara ketika


terjadi kegagalan mesin, maka dibutukan kontribusi dari vertical tail yang dinilai
memenuhi persyaratan tersebut. Pada Gambar 5.13 dijelaskan bahwa yang
menjadi vertical tail volume coefficient (Vv) pesawat N-245 adalah nilai yang
kecepatannya tidak melebihi batas maksimum (terletak pada bagian kiri garis
hijau) 1,2Vstall yang bernilai 115,2 knot yaitu sebesar 0,07-0,08 yang memenuhi
kriteria.
61

Setelah didapatkan nilai VMCA, maka kemudian menghitung nilai β


(BETA) dengan persamaan berikut :

( )
[ ( )]
⁄ ( 5

Setelah didapatkan nilai β selanjutnya menghitung CL atau koefisien lift


dengan persamaan sebagai berikut :

6
⁄ ( )

Dengan nilai ( ) dan nilai VMCA dengan satuan


m/s (dikalikan dengan 0,5144 m/s). Kemudian mencari nilai CL dengan
persamaan pada defleksi flap 10 degree. Untuk mengetahui
berapa prosentase thrust yang digunakan ketika terbang maka perlu mencari nilai

TC dengan persamaan .7
⁄ ( )

Selanjutnya mencari nilai ClENG, ClTOTAL dan Defleksi Aileron (DA)


dari data aerodinamika yang ada. Maka akan dihasilkan nilai-nilai perhitungan
VMCA seperti pada Tabel 5.11.

5
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
6
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
7
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
Tabel 5. 13 Hasil perhitungan VMCA, β dan DA

Vv VMCA Thrust DA
BETA CL α ClWBT.B TC ClENG ClTOTAL
(Vertical Volume) (knot) (kg) (deg)
0,06 124,4 -1,4354 0,960246 3,69 0,027117 2268,998 -0,14525 -0,006 0,021124 -6,76923

0,07 116,7 -1,0593 1,090784 5,017 0,0200122 2354,191 -0,17119 -0,0022 0,017861 -5,64988

0,072 115,2 -0,9766 1,1194957 5,329 0,0184495 2365,915 -0,17658 -0,0159 0,002595 -2,4258

0,08 109,9 -0,6556 1,2309194 6,666 0,012385 2442,139 -0,20041 -0,0114 0,000955 -0,31038

0,094 101,8 -0,070 1,4341744 9,598 0,0013224 2541,416 -0,24299 -0,0289 -0,02756 8,40187

0,1 98,6 0,2075 1,5305074 11,734 -0,003921 2582,414 -0,26349 -0,0296 -0,03352 9,90051

0,12 89,0 1,19888 1,8745992 30,105 -0,022649 2705,762 -0,33815 -0,014 -0,03665 10,0488

62 62
63

Dari data pada tabel 5.10 dapat disimpulkan bahwa semakin besar
nilai vertical tail volume coefficient (Vv) maka semakin tinggi juga nilai sideslip
a gle β, defleksi aileron, sudut angle of attack seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 5.13, Gambar 5.14 dan Gambar 5.15.

Vv vs β
0,12

0,1
Vv

0,08

0,06

0,04
-2 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
β

Gambar 5. 14 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Sideslip Angle

Vv vs DA
0,14

0,12

0,1
Vv

0,08

0,06

0,04
-10 -5 0 5 10 15
DA

Gambar 5. 15 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Defleksi Aileron


64

Vv vs Alpha
0,14

0,12

0,1
Vv

0,08

0,06

0,04
0 5 10 15 20 25 30 35
α

Gambar 5. 16 Grafik Vertical Tail Volume Coefficient terhadap Angle of Attack

5.3 Crosswind Landing


5.3.1 Tujuan Analisis Crosswind Landing
Analisa crosswind diperlukan untuk memastikan pesawat terbang aman
untuk mendarat bahkan ketika aliran angin mengalir pada arah normal ke arah run
way. Salah satu prosedurnya adalah terbang mendekati crab angle yang
menyelaraskan jalur penerbangan dengan landasan pacu dan dengan de-crab yang
dekat untuk touchdown. Tetapi untuk tujuan sizing, penggunaan crab angle ini
diabaikan. Analisis crosswind landing bertujuan untuk menentukan vertical tail
volume yang telah ditetapkan agar dapat digunakan pada batasan kecepatan untuk
crosswind landing yaitu pesawat mampu landing pada kondisi 20 kts crosswind
dengan konfigurasi landing pada 1,3 Vstall dan beban Maximum Landing Weight
(MLW).
65

5.3.2 Proses Perhitungan Crosswind Landing

Mulai

Variasi Vv

Hitung βxwind

Hitung DA

Hitung ϕ

Hitung vxwind

Grafik Vv vs βxwind

Grafik Vv vs vxwind

Selesai

Gambar 5.15 Menghitung Crosswind Landing Pesawat N-245

Selanjutnya menentukan nilai dari βxwind, DA, ϕ dan Vxwind dengan


persamaan berikut8 :

( )

8
Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing For ITTP-TC
Configuration 2A and 2B, PT. Dirgantara Indonesia dan HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.
66

( )

( )

Hasil dari perhitungan βxwind, DA, ϕ dan Vxwind pada masing-masing


vertical tail volume (Vv) yang telah ditentukan dapat dilihat pada tabel 5.12.

Tabel 5. 14 Perhitungan Crosswind Landing pada Variasi Vv

Vv Vx wind
CNDR.DR βx wind DA ϕ
(Vertical Volume) (knot)
1 2 3 4 5 6
0,06 -0,025867347 48,3387 -83,7401 86,3425 93,2365
0,07 -0,030178571 28,2757 -72,5861 46,6551 59,1196
0,072 -0,031040816 26,4463 -71,3715 42,35512 55,5807
0,08 -0,034489796 21,5633 -67,8427 32,0659 45,8676
0,094 -0,04052551 17,2853 -64,3763 23,9389 37,0818
0,1 -0,043112245 16,1844 -63,4113 21,9354 34,7856
0,12 -0,051734694 13,8768 14,6669 17,8220 29,9314

Tabel 5.12 menunjukkan hasil nilai slideslip angle crosswind, defleksi


aileron, bank angle crosswind, dan kecepatan saat crosswind. Nilai defleksi
aileron pada saat crosswind dengan koefisien verical tail volume (Vv) terlalu
besar karena nilai terkecilnya sebesar 29,9314 yang berada pada koefisien verical
tail volume (Vv) 0,12 maka perlu tambahan spoiler pada wing untuk membantu
mengurangi lift dan roll pesawat yang terlalu besar ketika pesawat mengalami
kondisi crosswind landing agar pesawat tetap mempertahankan kestabilannya.
Untuk nilai bank angle juga dinilai masih terlalu besar dengan nilai lebih dari 20
degree sedangkan kecepatan saat crosswind dinilai cukup baik dan masih
memenuhi syarat. Untuk grafik koefisien verical tail volume (Vv) terhadap
Sideslip Angle Crosswind dan grafik koefisien verical tail volume (Vv) terhadap
kecepatan saat crosswind ditunjukkan pada gambar 5.17 dan 5.18.
67

Vv vs βx wind
0,14

0,12

0,1
Vv

0,08

0,06

0,04

0,02
0 10 20 30 40 50 60
βx wind

Gambar 5. 17 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Sideslip Angle Crosswind

Vv vs Vx wind
0,14

0,12

0,1
Vv

0,08

0,06

0,04

0,02
0 20 40 60 80 100
Vx wind

Gambar 5. 18 Grafik Vertical Tail Volume terhadap Kecepatan Crosswind


68

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai perancangan Vertical Tail Plane (VTP) pesawat
N-245 yang telah penulis lakukan selama kerja praktik ini dapat ditarik
kesimpulan :
1. Dalam menganalisis ukuran vertical tail pesawat diperlukan beberapa
perhitungan yaitu perhitungan oleh beberapa kasus yang diprediksi akan
terjadi sewaktu-waktu oleh pesawat seperti asymmetric power condition
saat di darat dan di udara serta untuk kondisi crosswind landing. Pada
pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara Indonesia, untuk nilai vertical tail
volume coefficient (Vv) yang telah ditentukan yaitu 0,094. Berdasarkan
perhitungan nilai tersebut telah memenuhi persyaratan, yaitu dengan
nilai VMCG sebesar 101,52 knot atau 52,22 m/s dan VMCA 101,8 knot
atau 52,4 m/s yang memiliki nilai kurang dari sama dengan 1,2 Vstall
atau setara dengan 115,2 knot atau 59,26 m/s dan konfigurasi vertical
tail volume coefficient (Vv) ini dinilai masih dapat diperkecil hingga
nilai 0,07-0,08.
2. Untuk menentukan ukuran tail yang sesuai maka dalam hal ini penulis
melakukan dua analisis yaitu asymmetric power condition dan crosswind
landing, dan didapat nilai yang penulis rekomendasikan sesuai untuk
pesawat N-245 sebagai berikut :
a) Pada analisis kasus asymmetric power condition saat di ground dan
di udara, nilai vertical tail volume coefficient (Vv) yang sesuai
adalah 0,07-0,08. Namun penulis merekomendasikan untuk
menggunakan vertical tail volume coefficient (Vv) sebesar 0,072
dengan nilai kecepatan minimum VMCG 114,3 knot atau 58,8 m/s
dan nilai VMCA 115,2 knot atau 59,3 m/s dikarenakan pada vertical
tail volume coefficient (Vv) tersebut menghasilkan kecepatan yang

68
69

mendekati kecepatan sesuai kriteria dan masih memenuhi syarat


untuk dapat digunakan pada pesawat N-245, serta karena luas
permukaan tail akan menjadi lebih kecil dibanding vertical tail
volume coefficient (Vv) sebelumnya sehingga material yang
dibutuhkan tidak terlalu besar yang akan memberikan pengaruh berat
pesawat yang lebih ringan.
b) Pada analisis kasus crosswind landing dengan nilai vertical tail
volume coefficient sebesar 0.094 yang telah ditetapkan pada analisis
diatas telah memenuhi syarat untuk kasus crosswind landing karena
nilai kecepatan crosswind landing masih melebihi batas minimum
yaitu 20 knot, namun untuk hasil nilai defleksi aileron dinilai masih
terlalu besar dengan nilai lebih dari 20 atau -20 degree maka
diperlukan spoiler untuk membantu aileron menyetimbangkan
pesawat pada saat kondisi crosswind.
Sehingga dari semua analisis yang telah dilakukan, maka nilai
vertical tail volume coefficient (Vv) yang telah ditetapkan yaitu 0,094
dapat dikatakan aman dan untuk nilai vertical tail volume coefficient
(Vv) direkomendasikan untuk pesawat N-245 buatan PT. Dirgantara
Indonesia adalah sebesar 0,072 berdasarkan analisis yang dilakukan
dengan mempertimbangkan beban material yang akan berdampak pada
kondisi pesawat terbang dan dibutuhkan juga tambahan spoiler untuk
membantu aileron menghambat gaya roll dan mengurangi lift agar dapat
menyetimbangkan pesawat saat berada dalam kondisi crosswind
landing.

6.2 Saran
Pada laporan ini hanya dilakukan analisis terhadap kasus asymmetric power
condition dan crosswind landing. Namun pada kasus-kasus ini diasumsikan pada
kondisi yang telah disepakati oleh pembimbing di PT. Dirgantara Indonesia
sehingga profil vertical tail volume coefficient (Vv) yang didapat kurang
komprehensif. Hal ini mengakibatkan profil pesawat yang didapat hanya
70

mencakup sebagian kondisi pesawat yang terjadi. Sehingga penulis dapat


memberikan saran berupa :
1. Dalam melakukan analisis vertical tail plane sizing mulai dari
pengumpulan dan pengkajian data hingga proses perhitungan diperlukan
ketepatan, ketelitian, dan kesabaran selain itu perlu waktu yang lebih
banyak untuk mendapatkan hasil yang akurat dan optimal.
2. Melakukan analisis tambahan untuk setiap kasus dengan berbagai kondisi
agar didapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.
3. Melakukan permodelan dan analisis menggunakan software tambahan
seperti VS Aero, DATCOM atau software lain agar hasil vertical tail plane
pesawat terkait lebih akurat dan dapat diaplikasikan ke pembuatan pesawat
secara riil.

Agar kedepannya pelaksanaan kerja praktik ini dapat menjadi sarana


pembelajaran yang lebih baik, selain saran mengenai hasil kerja praktik yang telah
penulis lakukan, penulis juga menambahkan saran bagi perusahaan, lembaga dan
mahasiswa.

6.2.1 Saran Bagi Perusahaan


1. Memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk
dapat melaksanakan kerja praktik, pengambilan data untuk skripsi
maupun magang di PT. Dirgantara Indonesia.
2. Menciptakan suasana yang nyaman, hangat dan memiliki rasa
kekeluargaan yang tinggi di tempat kerja.
3. Melengkapi fasilitas dan sarana pendukung (misal : buku, referensi,
dll) guna meningkatkan semangat dan etos kerja pada masing-masing
individu setiap pekerja maupun mahasiswa kerja praktik, skripsi dan
magang.
4. Memberikan bimbingan, arahan dan motivasi bagi mahasiswa kerja
praktik, skripsi maupun magang agar dapat menimba dan menerima
ilmu dengan baik selama berada di PT. Dirgantara Indonesia.
71

6.2.2 Saran Bagi Lembaga Pendidikan


1. Bekerjasama dengan perusahaan maupun industri penerbangan yang
berkaitan dengan bidang yang diinginkan mahasiswa sehingga dapat
membantu mempermudah dan memberikan pandangan kepada
mahasiswa untuk melaksanakan kerja praktik.
2. Membantu dan mempermudah dalam pengurusan administrasi untuk
kelengkapan permohonan pengajuan maupun segala kepengurusan
mengenai kerja praktik.
3. Memberikan bimbingan, arahan, semangat dan motivasi kepada
mahasiswa dalam pelaksanaan kerja praktek sesuai dengan bidang
yang diminati agar mahasiswa lebih percaya diri dan memiliki
motivasi yang kuat dalam melaksanakan kerja praktik.

6.2.3 Saran Bagi Mahasiswa


1. Merencanakan dan menentukan perusahaan atau industri yang
diminati dan sesuai dengan kemampuan dan passion mahasiswa jauh
hari sebelum waktu pelaksanaan kerja praktik agar tidak salah
memilih dan bisa mengikuti budaya bekerja pada perusahaan atau
industri terkait.
2. Menyiapkan kemampuan diri dan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajari selama masa perkuliahan yang sesuai dengan bidang yang
diminati pada perusahaan atau indutri terkait agar lebih mudah dalam
melaksanakan pekerjaan selama kerja praktik.
3. Selalu menjaga nama baik kampus dengan cara berperilaku dan
berpenampilan yang baik, bersikap sopan santun, dan selalu menaati
peraturan yang berlaku di perusahaan atau industri tempat pelaksanaan
kerja praktik agar lembaga pendidikan tidak mendapatkan sanksi.
4. Mahasiswa yang telah dinyatakan di terima untuk melaksanakan kerja
praktik di perusahaan atau industri sebaiknya tidak membatalkan
pelaksanaan kerja praktik karena akan berdampak buruk dan
merugikan pihak kampus dan mahasiswa lain yang memiliki
72

keinginan untuk melaksanakan kerja praktik pada perusahaan atau


insutri tersebut.
5. Pada saat melaksanakan kerja praktik sebaiknya mahasiswa aktif
bertanya dan gencar menimba ilmu dari pekerja pada perusahaan atau
industri terkait agar mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang
lebih luas mengenai bidang yang diminati pada pelaksanaan kerja
praktik maupun mengenai dunia kedirgantaraan.
73

LAMPIRAN
xiv

DAFTAR PUSTAKA

Nelson, Robert C. 1942. Flight Stability and Automatic Control 2nd.

Klein, J.C. and Robert S Nelson. BOEING “Stability and Control in Transport
ircraft esig ”.

Sandraey, Mohammad. Flight Dynamic II / Flight Stability a d Co trol “chapter


6”. Daniel Webster College.

Roskam, Jan. 2001. Airplane Flight Dynamics and Automatic Flight Controls
Part 1.

Cook, Michael V. 2007. Flight Dynamics Principles 2nd.

Stengel, Robert. 2016. Aircraft Flight Dynamics.

Atashgah, M. A. Amiri dan Pribadi, Gatot M. 2003. Vertical Tail Plane Sizing
For ITTP-TC Configuration 2A and 2B kerja sama PT Dirgantara Indonesia dan
HESA Iran Aircraft Manufacturing Co.

Muhammad, Hari and Yazdi Ibrahim Jenie. 2014. Diktat Kuliah Dinamika
Terbang Program Studi Aeronautika dan Astronotika Fakultas Teknik Mesin dan
Dirgantara Institut Teknologi Bandung.

www.indonesian-aerospace.com (di akses 7 Agustus 2017)

https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Aerospace_N-245 (di akses 22 Agustus


2017 pukul 10.44)

Astoto, Yitno Dwi dkk. 2002. VERTICAL TAIL PLANE SIZING PT


DIRGANTARA INDONESIA (IAe).

Crawford, Bill. 2009. (www.flightlab.com) diakses pada 25 Agustus 2017.

xiv

Anda mungkin juga menyukai