Anda di halaman 1dari 7

Manajemen Resiko PT.

Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) dengan Implementasi “Triple Bottom


Line”

Demas Sabatino

Abstrak

Meningkatnya kemudahan akses informasi saat ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat – sebagai
pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan – akan pentingnya peran suatu perusahaan di
lingkungan sosial dan alam sekitar. Baik-buruk pandangan masyarakat terhadap praktek bisnis
perusahaan tersebut akan berdampak pada kinerja finansial perusahaan. Karena itulah perlu dibuat
manajemen resiko, dimana diharapkan dapat menurunkan tingkat ketidakpastian dalam pengambilan
keputusan, untuk dapat mengamankan keberlanjutan suatu perusahaan.

Peran perusahaan di lingkungan sosial dan alam sekitar dapat dikelola dengan menggunakan framework
Triple Bottom Line dengan memadukan kinerja financial (profit), kinerja sosial (people) dan kinerja
lingkungan (planet). Ketiga kinerja tersebut dirangkum dalam Laporan Keberlanjutan (Sustainability
Report) Perusahaan yang mana sudah menjadi laporan standar bagi perusahaan di beberapa negara maju.
Pentingnya framework TBL dan pelaporannya, beserta kekurangan dan kelebihannya dapat menjadi
masukan bagi perusahaan yang mengimplementasikan TBL ini.

PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) adalah perusahaan penyedia menara telekomunikasi, dimana alat
produksinya yaitu berupa menara, berada di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu salah satu
pemegang kepentingan yang cukup dominan adalah kondisi masyarakat sekitar, dengan
mengimplementasikan TBL dalam praktek bisnisnya diharapkan Mitratel dapat menjadi pemimpin
industri sebagai penyedia menara telekomunikasi di Indonesia.

1. Pendahuluan
Manajemen resiko disebut sebagai salah satu kunci keberhasilan dari organisasi, dimana resiko
merupakan suatu kemungkinan terjadinya peristiwa yang membawa akibat yang tidak diinginkan atas
tujuan atau strategi suatu organisasi [1]. Banyaknya resiko yang saling bergantung dan tak kasat mata
akan menyebabkan tingginya tingkat ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Sumber-sumber
resiko dapat ditemui di banyak bidang dalam suatu perusahaan seperti financial, SDM, hukum, peristiwa
alam, kegiatan operasi, masyarakat, dan lain sebagainya. Walaupun manajemen resiko memiliki satu
framework besar, namun setiap bidang dapat memiliki bermacam cara untuk mengelola resiko yang
ditimbulkan dari bidang itu sendiri.

Salah satu resiko adalah mengenai keberlanjutan (sustainability) perusahaan, karena saat ini ketersediaan
dan akses informasi sangat mudah didapat sehingga praktek-praktek bisnis perusahaan juga dengan
mudah diakses oleh pelanggan. Sehingga reputasi perusahaan – yang didapat dari praktek bisnisnya –
akan mempengaruhi minat pelanggan terhadap produk perusahaan tersebut, hal inilah yang
mempengaruhi keberlanjutan (sustainability) dari suatu perusahaan.

Untuk mengelola resiko keberlanjutan perusahaan, maka kinerja perusahaan tersebut perlu dilihat
melalui Triple Bottom Line (TBL) framework. Framework TBL memiliki 3 bagian yaitu kinerja finansial
(profit), kinerja sosial (people), dan kinerja lingkungan (planet).
Mitratel sebagai perusahaan penyedia menara telekomunikasi memiliki alat produksi yang tersebar di
seluruh Indonesia dan berada di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan. Sebagai revenue generator,
alat produksi berupa menara telekomunikasi sangat tergantung pada kondisi masyarakat dan lingkungan
di sekitar alat produksi. Maka sangat penting memantau keberlanjutan perusahaan melalui framework
TBL ini.

2. Triple Bottom Line Framework


Istilah Triple Bottom Line diperkenalkan oleh John Elkington pada tahun 1994, karena memiliki 3 bagian
yang sering disebut profit, people, dan planet, maka konsep TBL sering juga disebut dengan 3P.
a. Kinerja Sosial (People)
Dalam mengelola resiko sosial, dengan kompleksitas masalahnya, program Corporate Social
Responsibility (CSR) merupakan strategi yang sangat baik diterapkan untuk kepentingan perusahaan.
Program CSR merupakan elemen yang dibutuhkan perusahaan dengan skala global karena mereka
memiliki framework keterlibatan masing-masing pemangku kepentingan, menyediakan banyak
informasi mengenai permasalahan masyarakat saat ini maupun yang akan datang, dan tentu saja
berguna untuk pengambilan keputusan terkait resiko sosial.
Di Indonesia sendiri program CSR diatur Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007.
Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan.” Sanksi-sanksi, diatur dalam Pasal 34, berupa sanksi administratif dan
sanksi lainnya, diantaranya: (a) Peringatan tertulis; (b) pembatasan kegiatan usaha; (c) pembekuan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal. Ke depannya CSR akan diatur secara spesifik dalam Undang-undang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang sampai dengan saat ini masih berbentuk Rancangan Undang
Undang (RUU). Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa perusahaan wajib memiliki program dan
mengalokasikan dana CSR sebesar 2-3% dari keuntungan perusahaan [2].
Selain itu “People” tidak hanya berbicara mengenai orang-orang yang ada di luar perusahaan,
melainkan juga orang-orang yang ada di dalam perusahaan atau dengan kata lain karyawan
perusahaan tersebut. Karena kinerja karyawan secara langsung akan berpengaruh kepada kinerja
perusahaan, oleh karena itu kesejahteraan karyawan menjadi penting bagi perusahaan dalam
mencapai keberlanjutan usahanya.
b. Kinerja Lingkungan (Planet)
Pada tahun 2007 industri ICT (Information and Communication Technology) diukur menyumbang 2%
dari total emisi karbon di dunia, walaupun terlihat kecil dibanding total, namun presentasi tersebut
diprediksi naik menjadi 6% di tahun 2020. Oleh karena itu pada saat menghadiri G20 Summit di
Pittsburgh (2009), Indonesia menyetujui komitmen untuk menurunkan emisi karbon di semua
industrinya sebesar 26% sampai dengan tahun 2020 [3]. Untuk menindaklanjuti komitmen tersebut
pemerintah mengadakan konferensi dan workshop yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran
pada level eksekutif khususnya di bidang ICT.
Regulasi yang secara khusus mengatur terdapat pada UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pemanasan global yang meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga menurunkan kualitas lingkungan hidup, untuk itu perlu
dilakukan pengelolaan lingkungan hidup dan setiap orang berhak untuk terlibat di dalamnya. Lebih
jelas lagi disampaikan dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang berisi rencana kerja untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
sesuai dengan target pembangunan nasional.
c. Kinerja Finansial (Profit)
Tentu saja keberlanjutan suatu perusahaan tergantung pada kinerja finansialnya, dengan
menggunakan berbagai rasio dan trend pertumbuhannya. Hal inilah yang menunjang kedua kinerja
lainnya dalam TBL, sehingga semuanya dapat berjalan secara berkesinambungan.

3. Kelebihan dan Kekurangan Framework TBL


Framework TBL sebagai pelaporan kinerja perusahaan telah diterapkan di beberapa negara maju seperti
Amerika Serikat dan Jepang yang dinamakan dengan Sustainability Report [4]. Dinamakan demikian
karena tidak hanya keberlanjutan perusahaan saja yang dipotret dalam laporan tersebut, namun juga
keberlanjutan sosial dan lingkungan sekitar juga turut dipotret di dalamnya. Adapun kelebihan laporan
dengan framework TBL adalah sebagai berikut:
• Pada dasarnya TBL merupakan bentuk transparansi keseimbangan antara aspek sosial, ekologikal
dan finansial dari perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Dengan transparansi ini maka akan
meningkatkan tingkat akuntabilitas perusahaan dan kepercayaan pemangku kepentingan.
Sehingga TBL dapat menjaga dan meningkatkan harapan dari perusahaan bersangkutan untuk
memperbaiki “pengaruh” global [5].
• Kesadaran masyarakat saat ini akan penggunaan sumber daya terbatas (finite resources) untuk
keperluan industri dan pengaruhnya kepada generasi-generasi selanjutnya. Oleh karena itu
industri terkait perlu mengubah bisnis proses dan kebijakan perusahaan untuk mengoptimalkan
penggunaan sumber daya terbatas. Keberhasilan bisnis proses dan kebijakan perusahaan akan
menghasilkan kinerja positif dalam TBL.
• Semua pihak yang telibat dalam proses TBL termasuk karyawan dan pihak-pihak eksternal dapat
meningkatkan pengetahuannya mengenai perusahaan dan dapat saling mengenal lebih banyak
pemangku kepentingan lain di perusahaan tersebut.

Dari kelebihan-kelebihan tersebut, masih terdapat perdebatan mengenai framework TBL sebagai standar
laporan suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena terdapat juga kekurangan dari laporan dengan
framework TBL, yaitu:

• Terdapat keraguan karena dimungkinkan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan bersangkutan
tidak sesuai dengan tujuan mereka. Yaitu saat suatu perusahaan berkomitmen untuk
meningkatkan tanggung jawab sosial dan ecological, namun kenyataannya bukti-bukti komitmen
tersebut hanya sebatas kertas dan plakat penghias dinding perusahaan [6].
• Laporan TBL untuk dapat berjalan dengan efektif membutuhkan pembongkaran dan penataan
kembali lingkungan perusahaan, dan banyak perusahaan menjadi bimbang untuk melakukan
perubahan secara besar-besaran tersebut. Karena implementasi dari suatu peraturan baru
memiliki dampak yang besar terhadap operasional perusahaan tersebut.
• Jika TBL ditambahakan pada laporan proses perusahaan maka waktu tambahan yang dibutuhkan
untuk membuatnya dapat berdampak pada karyawan. Sistem penilaian, pemenuhan target
terhadap operasi, pemakaian prosedur baru, pelatihan karyawan mengenai prosedur tersebut
dapat memakan banyak waktu dan biaya. Termasuk dampak berupa kenaikan tingkat stress
karyawan yang akhirnya berdampak pada kebahagiaan karyawan.
4. Implementasi TBL di Top Tower Company
Di India perusahaan penyedia infrastruktur menara telekomunikasi (Tower Company) yang telah
menerapkan framework TBL adalah Indus Tower Ltd. Dalam Sustainability Report tahun 2016-2017 [7],
Indus Tower Ltd mendeskripsikan sustainability seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Deskripsi Sustainable menurut Indus Tower Ltd.

Dalam laporan tersebut dijelaskan implementasi beserta hasil kinerja sesuai dengan TBL framework yaitu
terkait profit, people, dan planet di Indus Tower Ltd. Terkait profit, laporan tersebut menunjukkan kinerja
perusahaan dalam jumlah menara yang dimiliki beserta total dan rasio tenancy dari menara tersebut,
detail dari laporan kinerja finansial terdapat pada laporan tahunan perusahaan. Sedangkan deskripsi
untuk people dan planet adalah sebagai berikut:
a. People
Pembahasan terkait people menjelaskan tentang kinerja sosial baik dari dalam maupun luar
perusahaan. Dari internal, lingkungan kerja Indus Tower Ltd merupakan salah satu dari top 30 India’s
Best Companies to Work for in 2017. Sebagai bentuk dukungan terhadap kesetaraan gender, Indus
Tower Ltd dari tahun ke tahun meningkatkan persentase karyawan wanita di perusahaan tersebut.
Sedangkan untuk menunjukkan kepedulian terhadap kualitas karyawannya, maka Indus Tower Ltd
menampilkan lama waktu pelatihan rata-rata tiap karyawan.
Dari segi eksternal Indus Tower Ltd memiliki komunitas-komunitas binaan yang disebutkan dengan
judul “Our Communities”. Indus Tower Ltd tidak sendirian dalam membagun komunitas tersebut
melainkan melakukan kerjasama dengan beberapa LSM dengan berbagai bidang kemanusiaan.
Beberapa kegiatan sosialnya antara lain menyediakan toilet bersih, pemberdayaan perempuan, dan
berbagai edukasi termasuk edukasi digital dan energi hijau.
b. Planet
Kinerja terkait lingkungan lebih banyak menitik beratkan pada pengurangan emisi karbon dari operasi
Indus Tower Ltd. Salah satu strateginya adalah “Shut AC – Shut DG”, atau penghapusan penggunaan
pendingin ruangan dan diesel generator. Shut AC selama 5 tahun terakhir berhasil menghapus
penggunaan 70.000 perangkat pendingin ruangan, dan diperkirakan setara dengan pengurangan
emisi CO2 sebesar 10 juta ton. Shut DG diterapkan melalui pencanangan target bebas bahan bakar
diesel pada 2021, dengan pencapaian saat ini yaitu sebanyak pengurangan 50% konsumsi diesel
selama 5 tahun terakhir.
Indus Tower Ltd menerapkan pengelolaan limbah elektronik berbahaya seperti baterai, Air
Conditioner (AC), Switch-mode Power Supply (SMPS), dan lain sebagainya. Dan dapat disimak dalam
trend tahunannya, bahwa jumlah perangkat yang dikelola semakin banyak.

5. Implementasi TBL di Mitratel


Seperti telah disebutkan, untuk membuat pelaporan sesuai framework TBL maka terdapat penataan
kembali lingkungan maupun prosedur kerja perusahaan. Penataan yang dibutuhkan oleh Mitratel adalah
penataan terhadap rencana program-program terkait kinerja lingkungan dan sosial. Karena pada dasarnya
Mitratel telah melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak positif pada lingkungan dan sosial,
namun kegiatan-kegiatan tersebut belum terkelola dengan baik.
Berikut adalah beberapa program yang telah dilakukan oleh Mitratel yang terkait dengan kinerja
lingkungan (planet):
• Program penghijauan bersama Pemerintah Provinsi Bali dengan menanam 200 pohon Trembesi
• Pembangunan Solar Panel System di site Golomori

Sementara program lain yang terkait dengan kinerja sosial (people) yang telah dilakukan oleh Mitratel
antara lain:

• Sumbangan 81 Unit laptop sebagai perangkat edukasi kepada Universitas Sriwijaya, Palembang
• Bantuan 100 paket sembaku dan uang tunai 25 juta rupiah kepada warga yang ditimpa bencana
alam di sekitar site Mitratel
• Pemasangan CCTV untuk keperluan surveillance di kota/kawasan sebagai berikut
o DKI Jakarta 832 titik
o TMII 9 titik
o UGM 10 titik
o Makassar 34 titik.
o Binjai 10 titik
o Maros 5 titik
o Karawang 18 titik
• Program Safari Ramadhan yang dilakukan oleh BoD Mitratel ke 4 panti asuhan di 4 area yang
berbedadan diikuti oleh ±600 anak.

Masih banyak yang bisa ditingkatkan dari implementasi framework TBL di Mitratel, antara lain misalnya
dari segi kinerja lingkungan (planet):

• Program pengurangan emisi gas rumah kaca (emissions reduction) dalam kegiatan
operasionalnya
• Program pengolahan limbah (waste management) dari industri

Sedangkan peningkatan yang dapat di lakukan dari kinerja sosial (people) antara lain:

• Program desa binaan di daerah tertinggal, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis suatu
daerah
• Bekerja sama dengan Lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk mengadakan program-
program sosial secara kontinyu.

Diantara program-program tersebut yang paling penting adalah adanya pengukuran terhadap dampak
dari program-program tersebut. Misalnya berapa banyak emisi karbon yang berhasil dikurangi, kepuasan
penduduk yang terlibat dalam program, berapa banyak efisiensi perusahaan dari program-program
tersebut dan lain sebagainya. Selain digunakan untuk melakukan penulisan laporan keberlanjutan
(Sustainability Report) pengukuran tersebut berguna bagi perusahaan sebagai penilaian keberhasilan dan
bahan evaluasi program TBL.

6. Kesimpulan

Walaupun belum menjadi kewajiban di Indonesia, Pelaporan Kinerja Keberlanjutan (Sustainability Report)
Perusahaan mulai tenar di perusahaan-perusahaan dari berbagai jenis pasar sehingga standar dari kinerja
sosial dan lingkungan yang diharapkan dari suatu perusahaan makin tinggi. Terlebih lagi bagi Mitratel,
dengan alat produksi berupa menara yang tersebar di seluruh Indonesia, salah satu cara menjaga
keberlanjutan perusahaan adalah dengan menjaga kinerja sosial (people) dan lingkungan (planet) di
sekitar menara berada. Namun saat ini Mitratel belum mengelola dan mengukur dampak program-
program sosialnya dengan menggunakan framework TBL.

Program-program yang dapat meningkatkan kadar implementasi TBL telah dipaparkan pada bab
sebelumnya. Dampak yang diharapkan dari program implementasi TBL ini akan sangat terasa oleh Mitratel
karena alat produksinya berada di tengah-tengah masyarakat, yaitu dapat mempercepat proses
pembangunan menara karena menurunnya jumlah community issue. Dengan kata lain tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap Mitratel meningkat sebagai perusahaan penyedia menara
telekomunikasi yang aman, ramah lingkungan, dan memiliki dampak positif terhadap warga sekitar.
7. Daftar Pustaka

[1] Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. (2016) Manajemen Resiko. [online]
http://itjen.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/04/Manajemen-Risiko_Ristekdikti.pdf

[2] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2017) RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
[online] http://www.peraturan.go.id/ruu-tentang-tanggung-jawab-sosial-perusahaan.html

[3] Yuniarti, Diah & Ariansyah, Kasmad (2011). Evaluasi Implementasi Green ICT Pada Penyelenggara
Telekomunikasi di Indonesia. Buletin Pos dan Telekomunikasi, vol. 9, no. 4, hh. 429-448.

[4] Jackson, A., Boswell, K., & Davis, D. (2011). Sustainability and Triple Bottom Line Reporting – What is
it all about?. International Journal of Bussiness, Humanities and Technology, vol. 1, no. 3, hh. 55-59.

[5] Ho, L.-C. J., & Taylor, M. E. (2007). An Empirical Analysis of Priple Bottom-line Reporting and its
Determinants: Evidence from the United States and Japan. Journal of International Financial Management
and Accounting 18(2), 123-150.

[6] Mitchell, M., Curtis, A., & Davidson, P. (2008). Evaluating the Process of Triple Bottom Line Reporting;
Increasing the Potential for Change. Local Environment, 13(2), 67-80.

[7] Indus Tower Limited. (2016) Sustainability Report 2016-17. [online]


http://www.industowers.com/uploaded_files/pdf_files/Indus-Towers-Sustainability-Report-2017.pdf

Anda mungkin juga menyukai