ABSTRACT
It is a widely accepted fact that severe fluid loss is the greatest problem faced
following major burn injuries. The life expectancy of patients with severe burn wounds
has significantly increased in the last 30 years, mostly because of improved fluid
management methods. Therefore, effective fluid resuscitation is one of the cornerstones
of modern burn treatment. The aim of this article is to review the current approaches
available for modern trends in fluid management for major burn patients. As these
current approaches are based on various experiences all over the world, the knowledge
is essential to improve the status of this patient group.
ABSTRAK
Ini adalah fakta yang diterima secara luas bahwa kehilangan cairan yang parah
adalah masalah terbesar yang dihadapi mengikuti luka bakar utama. Angka
kelangsungan hidup pada pasien yang menderita luka bakar luas telah meningkat secara
signifikan selama 30 tahun terakhir yang sebagian besar disebabkan oleh kemajuan
dalam manajemen cairan. Oleh karena itu, resusitasi cairan yang efektif merupakan
salah satu tonggak sejarah pengobatan luka bakar modern. Tujuan artikel ini adalah
untuk meninjau pendekatan saat ini tersedia untuk tren modern dalam manajemen cairan
untuk pasien luka bakar utama. Sebagai pendekatan saat ini didasarkan pada berbagai
pengalaman di seluruh dunia, pengetahuan sangat penting untuk meningkatkan status
dari kelompok pasien ini.
____________________________________________________________________
1
PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi yang memerlukan penatalaksanaan yang khusus sejak awal (fase syok)
sampai fase lanjut. Luka bakar pada dasarnya merupakan fenomena pemindahan panas,
meskipun sumber panasnya dapat bervariasi, akibat akhir yang timbul selalu berupa
kerusakan jaringan, paling nyata pada kulit, tetapi pada cedera multisistemik yang nyata
dapat menyebabkan gangguan yang serius pada paru-paru, ginjal dan hati. Efek-efek
sistemik dan mortalitas akibat cedera luka bakar berhubungan langsung dengan luas dan
dalamnya kulit yang terkena.1
Pada umumnya pasien luka bakar datang akan mengalami ancaman gangguan
airway (jalan napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terjadi trauma, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi
dalam 48–72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama
penderita pada fase akut. Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa
perawatan (masalah jangka pendek). Sementara sisa kasus yang bertahan hidup
menghadapi masalah tersendiri, antara lain lamanya masa perawatan yang berkisar
antara 40–14 hari rawat dan dengan penyulit yang timbul (masalah jangka panjang),
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS (Systemic Inflammatory Response
Syndrome), infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.1,2
Hampir semua kasus luka bakar disebabkan oleh api atau tersiram air panas.
Dengan menentukan sumber panas (misalnya, agen yang menyebabkan luka bakar)
akan membantu kita dalam memperkirakan luas dan dalamnya cedera. Perkiraan ini
sangat penting dalam merencanakan terapi cairan intravena yang tepat. Dengan
memperhatikan prinsip-prinsip dasar resusitasi pada trauma dan penerapannya pada saat
yang tepat, diharapkan akan dapat menurunkan sekecil mungkin angka morbiditas dan
mortalitas tersebut. Prinsip-prinsip dasarnya meliputi kewaspadaan akan terjadinya
gangguan jalan nafas pada penderita yang mengalami trauma inhalasi, mempertahankan
hemodinamik dalam batas normal dengan resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati
penyulit-penyulit yang mungkin terjadi akibat luka bakar tersebut.1
EPIDEMIOLOGI
Luka bakar menjadi masalah oleh karena angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Di Amerika dilaporkan sekitar 2 – 3 juta penderita setiap tahunnya dengan
jumlah kematian sekitar 5 – 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai saat ini
belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka
kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 1998
dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, 62 % dari jumlah tersebut
merupakan luka bakar derajat II – III ( >40 %) dengan angka kematian 37,38%. Angka
ini lebih kurang sama dengan tahun berikutnnya, di tahun 1999 jumlah kasus yang
dirawat adalah 88 kasus, 75 % dari jumlah tersebut merupakan luka bakar derajat II – III
dan dengan angka kematian >40 % dengan masa rawat terpanjang antara 32 – 38 hari.1
Insiden puncak luka bakar pada orang dewasa muda terdapat pada umur 20-29
tahun, diikuti oleh anak umur 9 atau lebih muda. Luka bakar jarang terjadi pada umur
80 tahun ke atas. Sekitar 80% luka bakar terjadi di rumah. Pada anak di bawah umur 3
tahun, penyebab luka bakar paling umum adalah kecelakaan jatuh pada kepala. Pada
umur 3-14 tahun, penyebab paling tersering adalah nyala api yang membakar baju.2
ETIOLOGI
3
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada
tubuh melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik. Berikut ini adalah beberapa
penyebab luka bakar, antara lain :3
2. Arus listrik
3. Petir, ledakan
4. Sinar matahari
5. Kimia
Bahan kimia yang dapat menyebabkan luka bakar adalah asam kuat atau basa kuat.
Luka bakar akibat bahan kimia umumnya disebabkan karena sifat kimiawi bahan
tersebut yang tajam dan dapat membakar kulit, seperti sodium hidroksida, asam
sulfur ataupun asam nitrat. Asam hidroflorik dapat menyebabkan kerusakan tulang,
namun jenis kerusakan yang terjadi sulit dibuktikan.3
6. Radiasi
7. Laser
Kulit merupakan barrier yang kuat untuk transfer energi ke lapisan di bawahnya.
Area luka di bagian kulit terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona koagulasi, zona stasis dan
zona hiperemia.3,4
2. Zona statis
4
Merupakan daerah yang langsung berada di luar atau di sekitar zona koagulasi. Di
daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit
dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), diikuti
perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung
selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemia
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi
akibat inflamasi tanpa banyak melibatkan reaksi seluler. Tergantung keadaan umum
dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau
berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama.3,4
PATOFISIOLOGI
1. Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terkena suhu tinggi rusak, sel darah yang di dalamnya ikut
rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan
edema dan menimbulkan bula dengan membawa serta elektrolit. Hal ini
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Tubuh kehilangan cairan
antara ½ % - 1 %, “Blood Volume ” setiap 1 % luka bakar. Kerusakan kulit akibat
luka bakar menyebabkan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang
berlebih (insensible water loss meningkat). Bila luka bakar lebih dari 20 % akan
terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas yaitu : gelisah, pucat dingin
berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urine
menurun (kegagalan fungsi ginjal).4
2. Respon kardiovaskuiler
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume darah
terlihat dengan jelas. Karena berlanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya
volume vaskuler, maka curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan
tekanan darah. Keadaan ini merupakan awitan syok luka bakar. Sebagai respon,
sistem saraf simpatik akan melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi
5
perifer (vasokontriksi) dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokontriksi
pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung.
3. Respon Pulmoner
Pada luka bakar yang berat, konsumsi oksigen oleh jaringan akan meningkat dua
kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme dan respon lokal. Cedera
pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu cedera saluran
napas atas terjadi akibat panas langsung, cedera inhalasi di bawah glotis terjadi
akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya
seperti karbon monoksida, sulfur oksida, nitrogen oksida, senyawa aldehid, sianida,
amonia, klorin, fosgen, benzena, dan halogen. Gejala yang timbul adalah sesak
nafas, takipneu, stridor, suara serak, sedangkan CO akan mengikat hemoglobin
dengan kuat sehingga tak mampu mengikat oksigen lagi.
4. Respon Renalis
Respon umum pada luka bakar > 20 % adalah penurunan aktivitas gastrointestinal.
Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolemik dan neurologik serta
respon endokrin terhadap adanya perlukan luas. Pemasangan NGT mencegah
terjadinya distensi abdomen, muntah dan aspirasi.
6. Gangguan Imunologi
6
Gambar 1. Patofisiologi luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no 5)
7
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas
sumber, penyebab, dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Klasifikasi dari derajat
luka bakar yang banyak digunakan di dunia medis adalah jenis "Superficial Thickness",
"Partial Thickness" dan "Full Thickness" dimana pembagian tersebut didasarkan pada
sejauh mana luka bakar menyebabkan perlukaan apakah pada epidermis, dermis ataukah
lapisan subcutaneous dari kulit. Pengklasifikasian luka tersebut digunakan untuk
panduan pengobatan dan memprediksi prognosis. Pembagiannya terdiri atas 3 derajat,
yaitu :4,5
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai
proses eksudasi, terdapat bula, nyeri karena terangsangnya nosiseptor dan
tereksposnya ujung saraf bebas akibat kerusakan jaringan dermis yang berguna
sebagai pelindung, dasar luka berwarna merah pucat, sering terletak lebih tinggi di
atas kulit normal. Luka ini dibedakan atas dua bagian, yaitu :
8
a. Derajat II dangkal atau Partial thickness superficial (IIA) : Kerusakan mengenai
bagian epidermis dan lapisan atas dari dermis. Organ-organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea masih utuh. Penyembuhan terjadi
secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
b. Derajat II dalam atau Partial thickness deep (IIB) : Kerusakan mengenai hampir
seluruh bagian dermis dan sisa-sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ
kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea tinggal
sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung epitel yang tersisa, biasanya
penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan, dan disertai parut
hipertrofi.
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam sampai
mencapai jaringan subkutan, otot, dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan
dan tidak ada lagi sisa elemen epitel, tidak dijumpai bula. Kulit yang terbakar
berwarna abu-abu sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada
epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Sensasi hilang dan tidak dijumpai
rasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama
karena tidak terjadi epitelisasi spontan dari dasar luka.4,5
9
Gambar 4. Luka bakar derajat III (dikutip dari daftar pustaka no 5)
Luka bakar juga harus diklasifikasikan sesuai dengan TBSA ( total body surface
area ), dengan mempertimbangkan daerah dengan luka bakar jenis partial thickness
atau full thickness (luka bakar jenis superficial thickness tidak banyak digunakan).5
Ada 3 metode yang umum digunakan dari perkiraan luas daerah luka bakar, dan
masing-masing metode memiliki peran dalam keadaan yang berbeda. Eritema tidak
10
boleh disertakan ketika menghitung luas daerah yang terbakar. Adapun metode tersebut
yaitu :6
Permukaan tangan pasien (termasuk jari) kira-kira 0,8% dari total luas permukaan
tubuh. Permukaan palmar dapat digunakan untuk memperkirakan luka bakar yang
relatif kecil (<15% dari total luas permukaan) atau luka bakar yang sangat luas
(>85%). Untuk luka bakar berukuran sedang, metode ini tidak akurat.
Metode ini sangat baik, dan umumnnya dipakai dalam memperkirakan persentase
luas permukaan luka bakar (total body surface area - TBSA). Cara perkiraan sangat
cepat untuk perkiraan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa. Wallace
membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 yang dikenal dengan
rule of nine atau rule of Wallace. Luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang
dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri,
tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1%
adalah daerah genitalia.6
Metode ini jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat. Metode
ini mengkompensasi variasi tubuh bentuk dengan usia sehingga dapat memberikan
penilaian yang daerah luka bakar yang akurat pada anak-anak.
Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak
dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia : anak di bawah usia 1
tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya sama
dengan dewasa. Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.6
11
Gambar 6. Wallace’s rule of nines (dikutip dari daftar pustaka no 6)
Tabel 1. Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the
percentage of body surface area affected by burns in children (dikutip dari daftar
pustaka no 6)
12
KLASIFIKASI LUKA BAKAR
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association yaitu :7
Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia atau perineum
Berdasarkan kritieria di atas dimana pasien memiliki luka bakar derajat II dengan luas
luka bakar ± 70 %, maka pasien termasuk dalam kriteria luka bakar berat (mayor burn).7
Terjadi kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas.
Luka yang terjadi menyebabkan proses inflamasi disertai eksudasi protein plasma
dan infeksi yang dapat menimbulkan sepsis.
3. Fase Lanjut
Terjadi setelah penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah yang timbul adalah
jaringan parut, kontraktur dan deformitas akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama.8,9
Luka bakar derajat II lebih dari 15% pada dewasa dan lebih dari 10% pada anak.
Luka bakar derajat II pada muka, leher, genitalia,perineum, dan ekstremitas.
Luka bakar derajat III lebih dari 2% pada orang dewasa dan setiap derajat III pada
anak.
Luka bakar yang disertai trauma visera, tulang dan jalan nafas.9
PENATALAKSANAAN
A – (Airway) : Jalan nafas, adalah sumbatan jalan atas (laring, faring) akibat cedera
inhalasi yang ditandai kesulitan bernafas atau suara nafas yang berbunyi (stridor
hoarness). Kecurigaan dibuat bila ditemukan oedem mukosa mulut dan jalan nafas,
14
ditemukan sisa-sisa pembakaran di hidung atau mulut dan luka bakar mengenai
muka atau leher. Cedera ini harus segera ditangani karena angka kematiannya sangat
tinggi.
PENANGANAN
b) Dinginkan tubuh
Panas akan menetap pada kulit selama 15 menit dan akan menjalar ke bagian
yang lebih dalam, menyiram dengan air dingin 20° - 30 °C dan bersih sangat
menolong, karena menurunkan suhu, sehingga mengurangi dalamnya luka,
mengurangi nyeri, mengurangi oedem, dan mengurangi kehilangan protein.10
15
4) Jalan nafas
Jalan nafas diperiksa, bila dijumpai obstruksi jalan nafas, lakukan pembersihan
dan pemberian O2.
5) Mencegah syok
Pemasangan infus dilakukan untuk mencegah syok. Luka bakar kurang dari 30%
diberikan 500 ml RL/jam, luka bakar lebih dari 30% diberikan 100 ml RL/jam.
Pada luka bakar > 30% biasanya fungsi usus menjadi tidak baik sehingga cairan
tidak diserap dan mengakibatkan perut menjadi kembung.
6) Mencegah infeksi
Luka bakar sebaiknya jangan diberi bahan-bahan yang kotor dan sukar larut
dalam air seperti mentega, kecap, telur atau bahan yang lengket misalnya kapas.
Luka ditutup dengan kain bersih. Jika ada bula, jangan dipecahkan karena
merupakan pelindung sementara sebelum dilakukan perawatan luka di rumah
sakit.
b) Bila dijumpai obstruksi, jalan nafas dibuka dengan pembersihan, bila perlu
tracheostomi atau intubasi.
d) Pasang IV line untuk resusitasi cairan, berikan cairan RL untuk mengatasi syok.
f) Pasang pipa lambung untuk mengosongkan lambung selama ada ileus paralitik.
16
RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar memerlukan resusitasi volume cairan yang besar segera
setelah trauma. Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak adekuat merupakan
faktor resiko yang independent terhadap tingkat kematian pada pasien dengan luka
bakar yang berat. Tujuan dari resusitasi pasien luka bakar adalah untuk tetap menjaga
perfusi jaringan dan meminimalkan edema interstisial. Idealnya sedikit cairan
dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu diberikan. Pemberian volume cairan
seharusnya secara terus menerus dititrasi untuk menghindari terjadinnya resusitasi yang
kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada pasien luka bakar
ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga perfusi jaringan.
Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinnya edema
dan terjadinya sindroma kompartemen pada daerah abdomen dan ekstremitas. Mengutip
dari Pruitt, “Paru-paru dan kompartemen jaringan akan dikorbankan untuk
meningkatkan fungsi ginjal, yang bermanifestasi sebagai edema post resusitasi,
kebutuhan fasciotomi pada ektremitas bawah yang tidak terbakar, dan kejadian strong
kompartement pada abdomen”.11
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus
digunakan untuk resusitasi luka bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan
mempunyai keuntungan dan kerugian masing masing pada berbagai macam kondisi.
Akan tetapi yang paling penting adalah apaun jenis cairan yang diberikan, volume
cairan dan garam yang adekuat harus diberikan untuk menjaga perfusi jaringan dan
memperbaiki homeostatis.
Kristaloid merupakan cairan isotonik yang aman dan efektif digunakan untuk tujuan
resusitasi kasus hipovolemia, karena cairan ini memiliki osmolariras sesuai dengan
cairan tubuh dan tidak mempengaruhi efek osmotik cairan, dan cenderung
meninggalkan kompartemen intravaskular ( mengisi kompartemen interstisial ).
Berdasarkan hal tersebut, maka partisi cairan dan kadar elektrolitnya serupa dengan
cairan tubuh 75 % cairan ekstravaskuler dan 25 % cairan intravaskuler. Sehingga
secara prinsipal, cairan kristaloid digunakan untuk melakukan terapi cairan pada
kompartemen ekstravaskuler.
17
Cairan koloid adalah larutan dengan berat molekul tinggi, sehingga mempengaruhi
efek osmotiknya. Karena hanya jumlah kecil koloid diperlukan dalam memelihara
volume cairan di kompartemen intravaskuler. Sehingga, secara prinsipil, cairan
koloid ditujukan untuk melakukan terapi cairan pada kompartemen intravaskuler.12
Terapi cairan diindikasikan pada luka bakar derajat II atau III dengan luas > 25%, atau bila pasien tidak dapat minum. Terapi cairan
dihentikan bila masukan oral dapat menggantikan parenteral. Tiga cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada penderita luka
Baxter 4 cc/kgBB/%LB
( R.L )
Tabel 2. Formula perkiraan resusitasi cairan pada luka bakar (dikutip dari daftar pustaka
no 12)
Dextrose untuk penggantian insensible water loss (IWL), cairan diberikan dalam
tetes merata. Cara menghitung tetes, dipakai rumus :
g=
Qx3
Keterangan :
24 jam I :
18
Separuh kebutuhan jumlah cairan 24 jam pertama diberikan dalam 8 jam
pertama (dihitung mulai saat kejadian luka bakar).
24 jam II :
Dewasa : Baxter
RL 4 cc × BB × % LB / 24 jam
: 2 cc × BB ×% LB / 24 jam
Kebutuhan faal :
1 – 3 tahun : BB × 75 cc
3 – 5 tahun : BB × 50 cc
19
Formula Resusitasi
Banyak formula telah dirancang untuk menentukan jumlah cairan yang tepat
untuk diberikan pada pasien luka bakar, dan semuanya berasal dari studi eksperimental
tentang patofisiologi syok pada luka bakar. Kebanyakan unit luka bakar umumnnya
menggunakan formua Parkland atau yang mirip dengannya. Formula Parkland yang
menggunakan larutan kristaloid Ringer Laktat (RL) 4 cc/kg/% luka bakar. Setengahnya
diberikan dalam 8 jam pertama dan sisanya diberikan dalam 16 jam kemudian. Formula
Ini merupakan pedoman untuk resusitasi langsung dari jumlah cairan yang diperlukan
untuk mempertahankan perfusi yang memadai.13
Selain dari jumlah cairan di atas, pada anak-anak menerima cairan pemeliharaan
dengan perhitungan perjamnya :
Hari II :
Bervariasi
ditambahkan
koloid
Evans Larutan saline 50% volume 50 % volume Hari 1
ml / kg % BB cairan 24 jam cairan 24 jam Hari 2
pertama + pertama
2000ml D5W
2000ml D5W
Koloid 1 ml /
kg / % LB
Pemantauan
diuresis ( ˃ 50
ml / jam )
Brooke RL 1,5 50% volume 50% volume Hari 1
ml / kg % cairan 24 jam cairan 24 jam I Hari 2
LB I + 2000ml
D5W
Koloid 0,5
ml/ kg %
LB
2000ml
D5W
Pemantauan
: diuresis
(30 – 50
ml/jam)
Modified RL 2 ml /
brooke kg % LB
Kristaloid saat ini merupakan cairan terpilih dan paling sering digunakan dalam
resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar. Sebagian besar studi tidak
memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada pasien yang mendapatkan cairan
kristaloid. Holm dkk dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian besar pasien
luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler paru setelah trauma
dan insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian intravaskuler
dipertahankan dalam batas normal.13
Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari 24 jam pertama
setelah trauma luka bakar. Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding
kristaloid pada awal terapi cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk
edema formasi pada awal terjadinya luka bakar. Hal ini oleh karena 8 – 24 jam setelah
terjadinya luka bakar, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga koloid
mengalami influks masuk ke dalam interstitium sehingga memperburuk edema.13
Keberhasilan pemberian cairan dapat dilihat dari diuresis normal yaitu sekurang-
kurangnya 1 ml/kgBB/jam.
22
1. Berikan analgetik. Analgetik yang efektif adalah morfin atau petidin, diberikan
secara iv. Hati-hati dengan pemberian IM (akibat sirkulasi yang terganggu akan
terjadi penimbunan di dalam otot).
2. Lakukan pencucian luka setelah sirkulasi stabil. Pencucian luka dilakukan dengan
melakukan debridemen dan memandikan pasien menggunakan cairan steril dalam
bak khusus yang mengandung larutan antiseptik.
3. Pemberian antibiotika pasca pencucian luka dengan tujuan untuk mencegah dan
mengatasi infeksi yang terjadi pada luka. Silver nitrate 0,5%, mafinide asetate 10%,
silver sulfadiazin 1%, atau gentamisin sulfat.
PERAWATAN LUKA
23
dicuci dengan sabun atau antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi eskar atau
debridement.14
TINDAKAN BEDAH
Tindakan bedah selanjutnya pada penderita luka bakar yang dapat melewati fase
aktif adalah eksisi dan penutupan luka. Hal ini sangat penting bila ingin menghindarkan
kematian oleh sepsis dan akibat hipermetabolisme yang sulit diatasi. Eksisi eskar
dilakukan secara tangensial. Seluruh jaringan nekrotik dibuang, bila perlu sampai fascia
atau lebih dalam.
TERAPI SUPORTIF
50 – 60% karbohidrat
30 – 30% lemak
KOMPLIKASI
1. Infeksi
Infeksi merupakan masalah utama. Bila infeksi berat, maka penderita dapat
mengalami sepsis. Berikan antibiotika berspektrum luas, bila perlu dalam bentuk
kombinasi. Kortikosteroid jangan diberikan karena bersifat imunosupresif (menekan
daya tahan), kecuali pada keadaan tertentu, misalnya pada edema laring berat demi
kepentingan penyelamatan jiwa penderita.
Ini merupakan komplikasi serius, biasanya muncul pada hari ke 5–10. Terjadi ulkus
pada duodenum atau lambung, kadang-kadang dijumpai hematemesis. Antasida
harus diberikan secara rutin pada penderita luka bakar sedang hingga berat. Pada
endoskopi 75% penderita luka bakar menunjukkan ulkus di duodenum.
Paling dini muncul dibandingkan komplikasi lainnya, muncul pada hari pertama.
Terjadi karena inhalasi, aspirasi, edema paru dan infeksi. Penanganan dengan jalan
membersihkan jalan nafas, memberikan oksigen, trakeostomi, pemberian
kortikosteroid dosis tinggi dan antibiotika.
4. Konvulsi
25
Komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak adalah konvulsi. Hal ini disebabkan
oleh ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, infeksi, obat-obatan (penisilin,
aminofilin, difenhidramin) dan 33% oleh sebab yang tak diketahui.
5. Kontraktur
PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas penderita luka bakar berhubungan dengan luas luka
bakar, derajat luka bakar, umur, tingkat kesehatan, lokalisasi luka bakar, cepat
lambatnya pertolongan yang diberikan dan fasilitas tempat pertolongannya.15
KESIMPULAN
Mengingat kasus luka bakar merupakan suatu cidera berat yang memerlukan
penanganan dan penatalaksanaan yang sangat komplek dengan biaya yang cukup tinggi
serta angka morbiditas dan mortalitas karena beberapa faktor penderita, faktor
pelayanan petugas, faktor fasilitas pelayanan dan faktor cideranya. Untuk penanganan
luka bakar perlu diketahui fase luka bakar, penyebab luka bakar, derajat kedalaman luka
bakar, luas luka bakar. Pada penanganan luka bakar seperti penanganan trauma yang
lain ditangani secara teliti dan sistematik. Penatalaksanaan sejak awal harus sebaik –
baiknya karena pertolongan pertama kali sangat menentukan perjalanan penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
2. Tim Bantuan Medis 110 [Online]. 2011 Feb 10 [cite 2011 Nov 14]; Available from :
URL: http://www.tbm110.org/artikel-medis/manajemen-luka-bakar.
26
3. Arif SK. Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif: terapi cairan pada luka
bakar berat. Jakarta : PP IDSAI; 2010: 193-205.
4. Burn surgery.org: Educating the burn care professionals worldwide [Online]. [cite
2011 Feb 10]; [10 screens]. Available from: URL: http://www.burnsurgery.org/
5. Wolf S, Herndon DN. Burn care. Texas (USA): Landes Bioscience; 1999: 245-61.
8. Mlcak RP, Suman OE, Herndon DN. Respiratory management of inhalation injury.
Burns Journal 2006 Jul 26; 33: 2-13.
12. Kinsella J, Rae CP. Clinical pain management – acut pain. In : Macintyre PE, editor.
Akut pain management in burns. 2nd rd. London: Hodder & Stoughton Limited ;
2008: 399-405.
13. Rab H. Agenda gawat darurat (Critical Care) : pengetasan kritis pada intergumenter-
luka bakar. Bandung : PT. Alumni; 1998: 963-73.
14. Allman KG, Mclndoe AK, Wilson IH. Emergencies in anesthesia. New York:
Oxford University Press; 2006: 334-37.
15. Gallagher JJ, Herdon DN. Controversy in inhalation injury and burn resuscitation.
Emergency Medicine & Critical Care Review,2007: 1-3.
27