Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI NYERI


Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
(IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan
jaringan1,2. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan
dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual
yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada
pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada
kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada
pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan
gangguan komunikasi2,3,26,27,28.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau
paska pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena
dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR)
yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi
pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi
dan psikologi pasien itu sendiri, seperti1,2,3,29,30 :
• Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus
asa
• Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
• Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi
sehingga meningkatkan kepekaan nyeri
• Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi
• Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri
akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses
pembedahan atau trauma31.

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat


pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua
setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi,
dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin,
bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel
inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses
transduksi dari nyeri26,27,28,32.

Universitas Sumatera Utara


2.2 MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak28,33.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non
noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi28,33.

2.2.1 Sensitisasi Perifer


Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel
inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa
komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers)33,34.
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 akan mereduksi ambang
aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan
pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan
sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu
substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi
perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi33,34.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral34.

2.2.2 Sensitisasi Sentral


Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor
di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer
bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor
ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke
medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler
neuron (transcription dependent) 33.
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf,
dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan
terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan
menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non
noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri33.

Universitas Sumatera Utara


2.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab
terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas,
dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif
sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui
ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak
(skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri3,28,35,36.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal
interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang
lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik
lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri
beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu
untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan
terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi
akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi
pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi
pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit3,28,36.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas
atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia,
panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.
Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang
akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-
produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan
ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta3,28,36.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya
sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang
potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong,
membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur
viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme
viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan

Universitas Sumatera Utara


dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan
fungsi3,28,36.

2.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)


Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat
proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi,
dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di
susunan saraf pusat (cortex cerebri)1,3,30,37.

2.4.1 Proses Transduksi


Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung
saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve
ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini,
golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah
yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi
perifer1,3,30,35,37.

2.4.2 Proses Transmisi


Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses
transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis,
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus
spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih
dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan
melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya

Universitas Sumatera Utara


impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri1,3,30,35,37.

2.4.3 Proses Modulasi


Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik
endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu
posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak.
Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior
sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang1,3,30,35,37.

2.4.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada
thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik1,3,30,35,37.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4-1. Pain Pathway36.

Parasetamol

Parasetamol

Parasetamol

Ketorolak

2.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK


Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan
cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi1,3.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini
akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa
nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin

Universitas Sumatera Utara


meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri
(nosiseptif) 1,3.
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini
menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan).
Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan
constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi
COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan
platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet,
keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat
inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan
menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang
transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin
penting dalam sensitisasi sentral1,3,27.

2.6 KLASIFIKASI NYERI


Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika
cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah,
kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu
dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan
mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan,
kanker)1,3.

2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik


Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang
terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat.
Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari2. Sedangkan
nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami

Universitas Sumatera Utara


pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan
patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker,
end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan
mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan
(nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai
kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada
lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi
lebih sulit2,3,26,27.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala
sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas
cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang
menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan
gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri3,26,27.

2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik


Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri
nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik
dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif
biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid1,2,3,26,27.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan
neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf
aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan
menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang
kurang baik terhadap analgesik opioid1,2,3,26,27.

2.6.3 Nyeri Viseral


Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh
jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri.
Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral
seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan.

Universitas Sumatera Utara


Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-
otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak
dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika
organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena 3,26,27.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme
otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau
ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan
mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan
distensi berlebih dari jaringan3,26,27.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks
menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf
simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus
dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar
melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls
nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.
Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan
pleura parietal sangat sensitif pada nyeri3,26,27.

2.6.4 Nyeri Somatik


Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.
Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri
menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal
menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun,
insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum

Universitas Sumatera Utara


viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal
biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak1,3,26,27.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari
nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai
contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat
nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke
T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai
karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal
dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati
nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk
berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan
bawah3,26,27.

2.7 PENILAIAN NYERI


Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan1,2,38.

Universitas Sumatera Utara


Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini1,2,38,39,40,41,42:
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempat.

Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

2. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima
poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale

Universitas Sumatera Utara


3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan
angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale

4. Visual Analogue Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda
tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta
untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang
dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah
dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan
VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan
secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga
melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan
bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data
dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri
yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai
VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak

Universitas Sumatera Utara


nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue
analgetic).

Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale

2.8 PENANGANAN NYERI


Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui
patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga
terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi,
psikoterapi)2,29.

2.8.1 Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik
oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspinal1.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien,
prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik
yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan1,2.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri2.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.8-2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis
operasi2.
Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska
pembedahan berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita
yang direkomendasikan oleh WHO dan WFSA. Dimana terapi
analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah,
dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang
lebih tinggi.

Universitas Sumatera Utara


2.8.1.1 Analgesia Multimodal
Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang
memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang
maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan
peningkatan dosis pada satu obat saja. Dimana analgesi multimodal melakukan
intervensi nyeri secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri,
yakni1,2,29,30,43:
• Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS
• Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
• Peningkatan proses modulasi dengan opioid
Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan
dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atau
anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang
mengalami nyeri paska pembedahan ditingkat sedang sampai berat2. Analgesia
multimodal selain harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus
disertai dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan
pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation)43.

2.8.1.2 Analgesia Preemptif


Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum terjadi, terutama
ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan operasi (pre-operasi).
Pemberian analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah
sensistisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia
preemptif mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan
jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh
rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan sangat
menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa memakai
cara analgesia preemptif. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak,
maupun dikombinasikan dengan opioid atau AINS lainnya, dilakukan 20 – 30
menit sebelum tindakan operasi1,30,37,44,45,46,47.

Universitas Sumatera Utara


2.8.1.3 PCA (Patient Control Analgesia)
Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri
dengan memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang
dirasakan. PCA bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia
(IVPCA) atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara
ini memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun tindakannya1,30,44.

2.8.1.4 Parasetamol
Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan antipiretik,
dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan untuk penanganan
nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita
kanker. Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena,
efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta
waktu pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol termasuk dalam kelas
“aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid
(masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang
sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja
dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa
prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan
obat AINS lainnya pada pasien-pasien dengan sekresi asam lambung yang
berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan yang memanjang48,49,50,51,52.

Gambar 2.8-1. Rumus Bangun Parasetamol53.

N-(4-hydroxyphenyl)acetamide

Universitas Sumatera Utara


Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum
direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol aman digunakan
untuk anak-anak dan orang dewasa54,55.
Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat
siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan antipiretik
dari parasetamol sebanding dengan aspirin dan obat AINS lainnya, akan tetapi
aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh beberapa faktor, dimana
diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi di lesi inflamasi. Oleh karena itu
selektifitas akan COX-2 tidak secara signifikan menghambat produksi pro-clotting
tromboxane. Parasetamol menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang
melindungi dari pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan
menurunkan jumlah dari prostaglandin E 2 di SSP, akibatnya menurunkan batas
ambang hipotalamus di pusat termoregulasi56,57,58.
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama
bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini
hampir sama dengan enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-
inflammatory dan penghambat selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja
seperti aspirin dengan memblok siklooksigenase, dimana didalam lingkungan
inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang tinggi dan melindungi aksi kerja
parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti bahwa parasetamol tidak
memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP
dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari
parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan59,60.
Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol dimetabolisme
di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation 40%, sulfation 20-40%
dan N-hydroxylation serta GSH konjugasi 15%, dengan obat dan metabolitnya
diekskresikan melalui ginjal61,62.
Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi
lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal. Parasetamol
dipercaya aman digunakan pada wanita hamil (tidak mempengaruhi penutupan
ductus arteriosus), tidak seperti efek yang ditimbulkan oleh penggunaan obat
AINS. Tidak seperti aspirin, parasetamol tidak berhubungan dengan resiko

Universitas Sumatera Utara


penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus63,64,65. Satu-
satunya efek samping dari penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi
hepatotoksik dan gangguan gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu
diatas 20.000 mg perhari63.

2.8.1.5 Ketorolak
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti
inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic
acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin. Ketorolak
menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti
inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat
tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi
nosiseptif dari opioid3,6,11,66,67.

Gambar 2.8-2. Rumus Bangun Ketorolak66.

(±) – 5 – benzoyl - 2,3 – dihydro - 1H – pyrrolizine – 1 – carboxylic acid,


2 - amino – 2 (hydroxymethyl) - 1,3 – propanediol

Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa


prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim
siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia. Seperti AINS pada
umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX non selektif. Efek
analgesianya 200 – 800 kali lebih poten dibandingkan dengan pemberian aspirin,
indometasin, naproksen dan fenil butazon pada beberapa percobaan di hewan.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek analgesianya, dimana
efek anti inflamasinya hampir sama dengan indometasin11,66.
Setelah injeksi intramuskular dan intravena, onset analgesia tercapai dalam
waktu 10 menit dengan efek puncak 30 – 60 menit dan durasi analgesia 6 – 8
jam dengan waktu pemberian intravena > 15 detik. Bioavailibilitas dari ketorolak
100% dengan semua jalur pemberian baik intravena maupun intramuskular.
Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati.
Obat dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier
sekitar 10%66,68.
Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam, yaitu3,11,66,67:
1. Secara umum
Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal
poliposis, asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring,
anafilaksis, edema lidah, demam dan flushing.
2. Fungsi platelet dan hemostatik
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga mencetuskan
agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat meningkat pada pasien
yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien yang
mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan karena reflek status
hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stress
pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal. Dapat juga
terjadi purpura, trombositopeni, epistaksis, anemia dan leukopeni.
3. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual, muntah,
dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
4. Kardiovaskuler
Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope
5. Dermatologi
Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson, sindroma Lyell

Universitas Sumatera Utara


6. Neurologi
Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor,
halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah.
7. Pernafasan
Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk
8. Urogenital
Gagal ginjal akut dan poliuri.

2.8.2 Non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk
membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik
(dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri
kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik,
hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem
saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation)1,2.

Universitas Sumatera Utara


2.9 KERANGKA TEORI
Gambar 2.9-1. Skema Kerangka Teori

PEMBEDAHAN SEKSIO SESARIA

PERIFER
• Inhibisi transduksi neural
• Menurunkan mediator
inflamasi
• Inhibisi prostaglandin CEDERA JARINGAN
• Inhibisi aktifitas enzim STIMULUS NOKSIUS
siklooksigenase
SENTRAL
• Blokade aktifitas neural
di dorsal horn
KETOROLAK INTRAVENA • Modulasi neurotransmitter
excitatory
• Aktifasi jalur descending
PAIN PATHWAY serotoninergic inhibitory
PROSES TRANSDUKSI

Sensitisasi Perifer PARACETAMOL INTRAVENA


(Hyperalgesia) PROSES TRANSMISI

Sensitisasi Sentral
(Allodynia) PROSES MODULASI

Berat Badan, BMI,


Umur, Suku dan PERSEPSI NYERI (OTAK)
Pendidikan

ALLODYNIA
NYERI PASKA PEMBEDAHAN
HYPERALGESIA

Universitas Sumatera Utara


2.10 KERANGKA KONSEP
Gambar 2.10-1. Skema Kerangka Konsep

PEMBEDAHAN

STIMULUS NOKSIUS

ANALGESIA

NYERI PASKA BEDAH

VAS

EFEK SAMPING ANALGETIK TAMBAHAN

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai