Anda di halaman 1dari 3

Hampir semua puisi W.

S Rendra memiliki makna yang Kalau melihat apa yang terjadi pada saat perang dengan
begitu amat mendalam bagi pembacanya terutama bagi saya. Tak puisi yang disampaikan Rendra ini ada cukup pandang yang
hanya memberikan makna yang mendalam, Rendra pun sangat berbeda. Menurut saya, Rendra menyampaikan puisi sejarah warga
berhasil menyampaikan cerita-cerita yang menjadi sejarah panjang Ambon yang begitu kelam dan ironis ini sebagai suatu cara
Negara Indonesia di kemasnya di balik padatnya sebuah puisi yang alternative untuk memberikan pesan dan kesan perdamaian di
di karangnya. Bagi saya, membaca puisi-puisinya baik yang berjudul balik tragedi yang paling parah sepanjang peperangan yang terjadi
Sagu Ambon ini laksana saya disuguhkan rahasia sejarah. Hal ini di Indonesia. seperti apa yang telah di sampaikan Rendra pada bait
saya rasakan betul ketika membaca puisi yang berjudul Sagu kedua dari puisi ini yang berbunyi :
Ambon yang di buatnya pada tanggal 9 Mei 2002 ini mengangkat
“Pohon-pohon kelapa berdansa,
realita kehidupan sosial-budaya yang di sampaikan dengan
mempermainkan simbol-simbol yang begitu terasa nyata pada bait: Gitar dan tifa,
“Ombak beralun, o, mamae, Dan suaraku yang merdu,
Pohon-pohon pala di bukit sakit, O, ikan,
Burung-burung nuri menjerit, O, taman karang yang bercahaya,
Dari pada membakar masjid, O, saudara-saudaraku,
Daripada membakar gereja, Lihat, mama kita berjongkok di depan kota yang terbakar.”
Lebih baik kita bakar sagu saja.” Memang sejarah sudah menyimpan perang saudara ini
yang tidak saja kunjung selesai sampai akhir tahun 2001. Perang
Puisi pada bait tersebut melukiskan bagaimana
sudara yang tak kunjung damai ini mungkin menginspirasi Rendra
mencekamnya peperangan yang terjadi di Ambon. Meskipun
untuk memberikan pesan moral tentang perdamaian di dalamnya.
simbol tersebut membuat saya tampak sedikit kebingungan tapi
bagi saya ini cukup menarik untuk di telusuri lagi perihal sejarah Dan mengenai pemilihan kosakata “Sagu” pada judul dan
peperangan Ambon. Pada kala itu, Ambon dan pulau-pulau yang diksi yang menghiasi bait perbaitnya ini mungkin karena kita tahu
berada di sekitarnya dilanda oleh perang saudara yang berkecamuk sendiri bahwa warga Ambon itu sangat identik dengan sagu. Sagu
dengan dahsyat. Warga ambon saja menolak kejadian tersebut juga menjadi pangan pokok bagi masyarakatnya selain pisang, ubi,
sebagai suatu kerusuhan belaka melainkan mereka menyatakannya jagung, dan kacang-kacangan.
sebagai sebuah perang saudara sebagaimana apa yang ada di bait
terakhir puisi ini : 9 Mei 2002
Camoe-camoe, Jakarta
“Aku lihat permusuhan antara saudara itu percuma,Luka saudara Buku : Doa Untuk Anak Cucu
lukaku juga.”
Mengajak kita memahami kehidupan seraya selalu
mengaitkannya dengan prinsip-prinsip sosial yang digariskan Tuhan.
Menghargai, menghormati, saling menahan diri, dan tidak
mengintimidasi antar sesama. Mengingatkan kita akan kefanaan dunia,
kesementaraan segala isi jagat raya, dan ketidaksempurnaan kita yang
hanya manusia sehingga tak pantaslah membusungkan dada.—
bahwa manusia tak perlu minder dengan kemampuan dan keahlian
yang telah diberikan Tuhan pada manusia lain. Kita hanya wajib
melakukan apa yang bisa dengan optimal kita lakukan. Kecenderungan
kita ingin berbuat apa, itu yang harus kita kembangkan dan tekuni.

Dari kalam terakhir yang berbunyi, “Tuhan Memuliakanku”,


terdapat makna tersirat yang kuat menuntun kita untuk senantiasa
bersyukur. Jika dipikirkan dengan jujur dan seksama, sebagai sesosok
makhluk, apalah lagi kenikmatan yang paling besar kecuali dimuliakan
oleh Sang Pencipta. Kita seyogyanya tak perlu merasa rendah diri
dengan kemampuan matahari, bulan, angin, laut, maupun setan yang
dalam beberapa bidang melangkahi kesanggupan manusia, sebab
Tuhan sudah memberikan keistimewaan yang luar biasa pada kita.

Judul : Aku Manusia, kumpulan puisi a. mustofa bisri


Penulis : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Mata Air Publhising, Surabaya
Cetakan : I, Desember 2006
Tebal : 78 Halaman

Anda mungkin juga menyukai