Anda di halaman 1dari 55

REFLEKSI KASUS

ODS KATARAK GLAUKOMA DAN MIOPIA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat


Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
Di Rumah Sakit Umum Tidar Kota Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Esti Mahanani, Sp.M

Disusun Oleh :
Arifin Nugroho
20174011053

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
REFLEKSI KASUS

A. PENGALAMAN
Seorang laki-laki berusia 52 tahun mengeluhkan kedua mata kabur saat melihat
jauh selain itu mata kiri juga berkabut, silau saat terkena cahaya, penglihatan tidak jelas
saat malam hari, dan penglihatan tampak double.
Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan serupa ± 1 tahun yang lalu.
Beberapa bulan setelah keluhan tersebut muncul pasien mengatakan sering merasakan
nyeri pada mata hingga dahi, mata merah, penglihatan menjadi semakin kabur dan silau,
keluhan juga disertai nyeri kepala cekot cekot, mual saat beraktifitas yang semakin
memberat saat pasien tidur. Setelah itu pasien memutuskan untuk memeriksakan
keluhan di RS Mata Dr. YAP Yogyakarta dan dilakukan operasi glaucoma pada bulan
januari 2018. Setelah dilakukan operasi pasien mengatakan keluhan berangsur-angsur
berkurang namun pandangan masih kabur dan berkabut. Pasien memutuskan untuk
memeriksakan keluhannya di poli mata RSUD Tidar Kota Magelang. Setelah dilakukan
pemerisaan pasien dianjurkan untuk menjalani operasi katarak. Pasien menjalani
operasi katarak mata kanan pada bulan agustus 2018 di RSUD Tidar Kota Magelang.
Saat ini pasien mengatakan kalau mata kiri masih terasa tebal, mengganjal dan berkabut,
nyeri kepala terutama saat tidur yang berkurang dengan konsumsi anti nyeri, serta tidak
bias melihat jauh meski sudah memakai kaca mata. Pasien sudah menggunakan
kacamata tersebut sejak ± 1 tahun terakhir dan belum pernah mengganti setelah
menjalani operasi glaucoma dan katarak mata kanan.

B. MASALAH YANG DIKAJI

1. Bagaimana cara penegakkan diagnosis pada pasien tersebut?

2. Bagaimana penatalaksaan pada pasien tersebut?

C. PEMBAHASAN
Anatomi dan Fisiologi
1. Kornea
Merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan
difokuskan ke dalam pupil . Bentuk kornea cembung dengan sifat yang
transparan dimana kekuatan pembiasan sinar yang masuk 80 % atau 40 dioptri
,dengan indeks bias 1, 38 .
2. Iris

Iris merupakan bagian yang memberi warna pada mata, warna coklat
pada iris yang akan menghalangi sinar masuk kedalam mata,iris juga mengatur
jumlah sinar yang masuk kedalam pupil melalui besarnya pupil.

3. Pupil
Pupil berwarna hitam pekat yang mengatur jumlah sinar masuk kedalam
bola mata. Pada pupil terdapat m.sfinger pupil yang bila berkontraksi akan
mengakibatkan mengecilnya pupil (miosis) dan m.dilatator pupil yang bila
berkontriksi akan mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis)

4. Corpus Siliaris
Berperan untuk akomodasi dan menghasilkan humor aquaeus
5. Lensa
Lensa dapat membiaskan sinar 20 % atau 10 dioptri dan berperan pada
saat akomodasi. 65 % lensa mengandung air dan 35 % protein
6. Retina
Retina akan meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan
benda sebagai rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal. Pada
Retina terdapat sel batang sebagai sel pengenal sinar dan sel kerucut yang
mengenal frekuensi sinar.
7. Nervus Optikus
Saraf penglihatan yang meneruskan rangsangan listrik dari mata ke
korteks visual untuk dikenali bayangannya

Tinjauan Pustaka
1. Definisi Katarak
Katarak adalah Kelainan pada lensa berupa kekeruhan lensa yang
menyebabkan tajam penglihatan penderita berkurang. Kata katarak berasal dari
Yunani “katarraktes” (air terjun) karena pada awalnya katarak dipikirkan
sebagai cairan yang mengalir dari otak ke depan lensa.

2. Etiologi Katarak
a. Penyebab paling banyak adalah akibat proses lanjut usia/ degenerasi, yang
mengakibatkan lensa mata menjadi keras dan keruh (Katarak Senilis)
b. Dipercepat oleh faktor lingkungan, seperti merokok, sinar ultraviolet,
alkohol, kurang vitamin E,radang menahun dalam bola mata, polusi asap
motor/pabrik karena mengandung timbal
c. Cedera mata, misalnya pukulan keras, tusukan benda, panas yang tinggi,
bahan kimia yang merusak lensa (Katarak Traumatik)
d. Peradangan/infeksi pada saat hamil, penyakit yang diturunkan (Katarak
Kongenital)
e. Penyakit infeksi tertentu dan penyakit metabolik misalnya diabetes mellitus
(Katarak komplikata)
f. Obat-obat tertentu (misalnya kortikosteroid, klorokuin , klorpromazin,
ergotamine, pilokarpin)

3. Patofisiologi Katarak
Dengan bertambah lanjut usia seseorang maka nucleus lensa mata akan
menjadi lebih padat dan berkurang kandungan airnya, lensa akan menjadi keras
pada bagian tengahnya (optic zone) sehingga kemampuan memfokuskan benda
berkurang.
Dengan bertambah usia lensa juga mulai berkurang kebeningannya.
(Katarak Senilis)
Penderita kencing manis (diabetes mellitus) yang gagal merawat
penyakitnya akan mengakibatkan Kandungan gula dalam darah menjadikan
lensa kurang kenyal dan bisa menimbulkan katarak (Katarak Komplikata)

4. Klasifikasi Katarak
a. Katarak Perkembangan/Pertumbuhan
Katarak Kongenital dan juvenil disebut juga katarak
perkembangan/pertumbuhan karena secara biologik serat lensa masih dalam
perkembangannya. Kekeruhan sebagian pada lensa yang sudah didapatkan
pada waktu lahir umumnya tidak meluas dan jarang sekali mengakibatkan
keruhnya seluruh lensa. Letak kekeruhan tergantung pada saat mana terjadi
gangguan pada kehidupan janin.
Katarak kongenital tersbut dapat dalam bentuk katarak lamelar atau
zonular, katrak polaris posterior (piramidalis posterior, kutub posterior),
polaris anterior (piramidalis anterior, kutub anterior), katrak inti (katarak
nuklearis), dan katrak sutural.
 Katarak Lamelar atau Zonular
Di dalam perkembangan embriologik permulaan terdapat
perkembangan serat lensa maka akan terlihat bagian lensa sentral yang
lebih jernih. Kemudian terdapat serat lensa keruh dalam kapsul lensa.
Kekeruhan berbatas tegas dengan bagian perifer tetap bening. Katarak
lamelar ini mempunyai sifat herediter dan ditransmisi secara dominan,
katarak biasanya bilateral.
Katarak zonular terlihat segera sesudah bayi lahir. Kekeruhan
dapat menutupi seluruh celah pupil, bila tidak dilakukan dilatasi pupil
sering dapat mengganggu penglihatan.
Gangguan penglihatan pada katarak zonular tergantung pada
derajat kekeruhan lensa. Bila kekeruhan sangat tebal sehingga fundus
tidak dapat terlihat pada pemeriksaan oftalmoskopi maka perlu
dilakukan aspirasi dan irigasi lensa.
 Katarak Polaris Posterior
Katarak polaris posterior disebabkan menetapnya selubung
vaskular lensa. Kadang-kadang terdapat arteri hialoid yang menetap
sehingga mengakibatkan kekeruhan pada lensa bagian belakang.
Pengobatannya dengan melakukan pembedahan lensa.
 Katarak Polaris Anterior
Gangguan terjadi pada saat kornea belum seluruhnya melepaskan
lensa dalam perkembangan embrional. Hal ini juga mengakibatkan
terlambatnya pembentukan bilik mata depan pada perkembangan
embrional. Pada kelainan yang terdapat di dalam bilik mata depan yang
menuju kornea sehingga memperlihatkan bentuk kekeruhan seperti
piramid. Katarak polaris anterior berjalan tidak progresif.
Pengobatan sangat tergantung keadaan kelainan. Bila sangat
mengganggu tajam penglihatan atau tidak terlihatnya fundus pada
pemeriksaan oftalmoskopi maka dilakukan pembedahan.
 Katarak Nuklear
Katarak semacam ini jarang ditemukan dan tampak sebagai
bunga karang. Kekeruhan terletak di daerah nukleus lensa. Sering hanya
merupakan kekeruhan berbentuk titik-titik.
Gangguan terjadi pada waktu kehamilan 3 bulan pertama.
Biasanya bilateral dan berjalan tidak progresif, biasanya herediter dan
bersifat dominan. Tidak mengganggu tajam penglihatan.
Pengobatan, bila tidak mengganggu tajam penglihatan maka
tidak memerlukan tindakan.
 Katarak Sutural
Katarak sutural merupakan kekeruhan lensa pada daerah sutura
fetal, bersifat statis, terjadi bilateral dan familial.
Karena letak kekeruhan ini tidak tepat mengenai media
penglihatan maka ia tidak akan mengganggu penglihatan. Biasanya tidak
dilakukan tindakan.
b. Katarak Juvenil
Katarak juvenil merupakan katarak yang terjadi pada anak-anak sesudah
lahir yaitu kekeruhan lensa yang terjadi pada saat masih terjadi
perkembangan serat-serat lensa sehingga biasanya konsistensinya lembek
seperti bubur dan disebut sebagai soft cataract. Biasanya katarak juvenil
merupakan bagian dari suatu gejala penyakit keturunan lain.
Pembedahan dilakukan bila kataraknya diperkirakan akan menimbulkan
ambliopia.
Tindakan untuk memperbaiki tajam penglihatan ialah pembedahan.
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan seduah mengganggu
pekerjaan sehari-hari. Hasil tindakan pembedahan sangat bergantung pada
usia penderita, bentuk katarak apakah mengenai seluruh lensa atau sebagian
lensa apakah disertai kelainan lain pada saat timbulnya katarak, makin lama
lensa menutupi media penglihatan menambah kemungkinan ambliopia.
c. Katarak Senil
Perubahan yang tampak ialah bertambah tebalnya nukleus dengan
berkembangnya lapisan korteks lensa. Secara klinis, proses ketuaan lensa
sudah tampak sejak terjadi pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat
mulai terjadinya sklerosis lensa yang timbul pada usia dekade 4 dalam benuk
keluhan presbiopia.
Dikenal 3 bentuk katarak senil, yaitu katarak nuklear, kortikal, dan
kupuliform.
 Katarak Nuklear
Inti lensa dewasa selama hidup bertambah besar dan menjadi
sklerotik. Lama kelamaan inti lensa yang mulanya menjadi putih
kekuningan menjadi cokelat dan kemudian menjadi kehitaman. Keadaan
ini disebut katarak brunesen atau nigra.
 Katarak Kortikal
Pada katarak kortikal terjadi penyerapan air sehingga lensa
menjadi cembung dan terjadi miopisasi akibat perubahan indeks refraksi
lensa. Pada keadaan ini penderita seakan-akan mendapatkan kekuatan
baru untuk melihat dekat pada usia yang bertambah.
 Katarak Kupuliform
Katarak kupuliform dapat terlihat pada stadium dini katarak
kortikal atau nuklear. Kekeruhan dapat terlihat di lapis korteks posterior
dan dapat memberikan gambaran piring. Makin dekat letaknya terhadap
kapsul makin cepat bertambahnya katarak. Katarak ini sering sukar
dibedakan dengan katarak komplikata.

Katarak Senil dapat dibagai atas 4 Stadium

1) Katarak Insipien
Kekeruhan yang tidak teratur seperti bercak-bercak yang
membentuk gerigi dasar di perifer dan daerah jernih
membentuk gerigi dengan dasar di perifer dan
daerah jernih di antaranya. Kekeruhan biasanya
teletak di korteks anterior atau posterior. Kekeruhan
ini pada umumnya hanya tampak bila pupil
dilebarkan.
Pada stadium ini terdapat keluhan poliopia karena indeks refraksi
yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bila dilakukan uji
bayangan iris akan positif.
2) Katarak Imatur
Pada stadium yang lebih lanjut, terjadi kekeruhan yang lebih
tebal tetapi tidak atau belum mengenai seluruh lensa
sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih
pada lensa.
Pada stadium ini terjadi hidrasi korteks yang
mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung.
Pencembungan lensa ini akan memberikan perubahan indeks refraksi
dimana mata akan menjadi miopik. Kecembungan ini akan
mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga bilik mata depan
akan lebih sempit.
Pada stadium intumensen ini akan mudah terjadi penyulit
glaukoma. Uji bayangan iris pada keadaan ini positif.
3) Katarak Matur
Bila proses degenerasi berjalan terus maka akan terjadi
pengeluaran air bersama-sama hasil
disintegrasi melalui kapsul. Di dalam stadium
ini lensa akan berukuran normal. Iris tidak
terdorong ke depan dan bilik mata depan akan
mempunyai kedalaman normal kembali.
Kadang pada stadium ini terlihat lensa berwarna sangat putih akibat
perkapuran menyeluruh karena deposit kalsium. Bila dilakukan uji
bayangan iris akan terlihat negatif.
4) Katarak Hipermatur
Marupakan proses degenerasi lanjut
lensa sehingga korteks mengkerut dan
berwarna kuning. Akibat pengeriputan
lensa dan mencairnya korteks, nukleus
lensa tenggelam ke arah bawah (katarak
morgagni). Lensa yang mengecil akan mengakibatkan bilik mata
menjadi dalam. Uji bayangan iris memberikan gambaran
pseudopositif.
Akibat masa lensa yang keluar melalui kapsul lensa dapat
menimbulkan penyulit berupa uveitis fakotoksik atau glaukom
fakolitik.

Perbedaan Stadium Katarak Senilis

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut Bilik Mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow Test Negatif Positif Negatif Pseudopositif
Penyulit - Glaukoma - Uveitis + Glaukoma
d. Katarak Komplikata
Penyakit intraokular atau penyakit di bagian tubuh yang lain dapat
menimbulkan katarak komplikata. Penyakit intraokular yang sering
menyebabkan kekeruhan pada lensa ialah iridosiklitis, glukoma, ablasi
retina, miopia tinggi dan lain-lain. Biasanya kelainan terdapat pada satu
mata.
Pada uveitis, katarak timbul pada subkapsul posterior akibat gangguan
metabolisme lensa bagian belakang. Kekeruhan juga dapat terjadi pada
tempat iris melekat dengan lensa (sinekia posterior) yang dapat berkembang
mengenai seluruh lensa.
Glaukoma pada saat serangan akut dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan cairan lensa subkapsul anterior. Bentuk kekeruhan ini berupa
titik-titik yang tersebar sehingga dinamakan katarak pungtata subkapsular
diseminata anterior atau dapat disebut menurut penemunya katarak Vogt.
Katarak ini bersifat reversibel dan dapat hilang bila tekanan bola mata sudah
terkontrol.
Ablasio dan miopia tinggi juga dapat menimbulkan katarak komplikata.
Pada katarak komplikata yang mengenai satu mata dilakukan tindakan bedah
bila kekeruhannya sudah mengenai seluruh bagian lensa atau bila penderita
memerlukan penglihatan binokular atau kosmetik.Jenis tindakan yang
dilakukan ekstraksi linear atau ekstraksi lensa ekstrakapsular.
Iridektomi total lebih baik dilakukan dari pada iridektomi perifer.
Katarak yang berhubungan dengan penyakit umum mengenai kedua mata,
walaupun kadang-kadang tidak bersamaan. Katrak ini biasanya btimbul pada
usia yang lebih muda. Kelainan umum yang dapat menimbulkan katarak
adalah diabetes melitus, hipoparatiroid, miotonia distrofia, tetani infantil dan
lain-lain.
Diabetes melitus menimbulkan katarak yang memberikan gambaran
khas yaitu kekeruhan yang tersebar halus seperti tebaran kapas di dalam
masa lensa.
Pada hipoparatiroid akan terlihat kekeruhan yang mulai pada dataran
belakang lensa, sedang pada penyakit umum lain akan terlihat tanda
degenerasi pada lensa yang mengenai seluruh lapis lensa. Pengobatan pada
katarak komplikatan dilakukan bila sudah mengganggu pekerjaan sehari-
hari.
Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu:
- Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia yang nyata.
Pada lensa akan terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa
berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan
akan hilang bila terjadi rehidrasi dan kadar gula normal kembali.
- Pasien diabetes juvenille da tua tidak terkontrol. Katarak akanterjadi
serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau
bentuk piring subkapsuler.
- Katarak pada pasien diabetes dewasa. Gambaran secara histologik dan
biokimia sama dengan katarak pasien non diabetik.

Katarak Diabetes Sejati

Pada diabetes juvenillis yang parah kadang-kadang timbul


katarak bilateral secara akut. Lensa mungkin menjadi opak total selama
beberapa minggu.Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran salju
subkapsuler yang sebagian jernih dengan pengobatan.

Katarak Senillis pada Pasien Diabetes

Pada pengidap diabetes, skelosis nuklear senillis, kelainan


subkapsuler posterior, dan kekeruhan korteks terjadi lebih sering dan
lebih dini.Terapi yang diberikan pada pasien diabetes melitus dengan
komplikasi katarak adalah kontrol kadar gula darah dan bedah katarak.
Bedah katarak bertujuan untuk mengangkat lensa dengan prosedur
intrakapsular dan ekstrakapsular
e. Katarak Sekunder
Katarak sekunder atau sering disebut after cataract yaitu katarak yang
timbul beberapa bulan setelah ekstraksi katarak ekstakapsular atau setelah
emulsifikasi fako; berupa penebalan kapsul posterior proliferasi sel-sel
radang pada sisa-sisa korteks yang tertinggal. Bila mengganggu tajam
penglihatan penebalan tersebut dibuka dengan sayatan sinar laser, memakai
alat Nd. YAG laser.
f. Katarak Trauma
Kekeruhan lensa akibat ruda paksa atau katarak traumadapat terjadi
akibat ruda paksa tumpul atau tajam. Ruda paksa ini dapat mengkibatkan
katarak pada satu mata atau monokular katarak.
Pengobatan pada katarak trauma bila tidak terdapat penyulit dapat
ditunggu sampai mata menjadi tenang. Penyulit yang dapat terjadi dapat
dalam bentuk glaukoma lensa yang mencembung atau uveitis akibat lensa
keluar melalui kapsul lensa.
5. Gejala Klinis Katarak
Katarak berkembang secara perlahan dan tidak menimbulkan nyeri disertai
gangguan penglihatan yang muncul secara bertahap.

a) Penglihatan kabur dan berkabut


b) Fotofobia
c) Penglihatan ganda
d) Kesulitan melihat di waktu malam
e) Sering berganti kacamata
f) Perlu penerangan lebih terang untuk membaca
g) Seperti ada titik gelap didepan mata
Gejala Klinis katarak menurut tempat terjadinya sesuai anatomi lensa :

a. Katarak Inti/Nuclear
 Menjadi lebih rabun jauh sehingga mudah melihat dekat ,dan untuk
melihat dekat melepas kaca mata nya
 Penglihatan mulai bertambah kabur atau lebih menguning , lensa akan
lebih coklat
 Menyetir malam silau dan sukar
b. Katarak Kortikal
 Kekeruhan putih dimulai dari tepi lensa dan berjalan ketengah sehingga
mengganggu penglihatan
 Penglihatan jauh dan dekat terganggu
 Penglihatan merasa silau dan hilangnya penglihatan kontra
c. Katarak Subscapular
 Kekeruhan kecil mulai dibawah kapsul lensa, tepat jalan sinar masuk
 Dapat terlihat pada kedua mata
 Mengganggu saat membaca
 Memberikan keluhan silau dan ”halo” atau warna sekitar sumber cahaya
 Mengganggu penglihatan.

6. Penatalaksanaan Katarak
a) Katarak Kongenital
Katarak kongenital merupakan katarak yang terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan segera dapat terlihat sesudah bayi lahir. Korteks dan nukleus
lensa mata bayi mempunyai konsistensi yang cair. Bila kekeruhan lensa
sudah demikian berat sehingga fundus bayi sudah tidak dapat dilihat pada
funduskopi maka untuk mencegah ambliopia dilakukan pembedahan
secepatnya. Katarak kongenital sudah dapat dilakukan pembedahan pada
usia 2 bulan pada satu mata. Paling lambat yang lainnya sudah dilakukan
pembedahan bila bayi berusia 2 tahun.
Sekarang dilakukan pembedahan lensa pada katarak kongenital dengan
melakukan di sisi lensa. Di sisi lensa ialah menyayat kapsul anterior lensa
dan mengharapkan masa lensa yang cair keluar bersama akuos humor atau
difagositosis oleh makrofag. Biasanya sesudah beberapa waktu terjadi
penyerapan sempurna masa lensa sehingga tidak terdapat lensa lagi, keadaan
ini disebut afakia.

Penyulit di sisi lensa


Masa lensa yang telah keluar dari kapsulnya merupakan benda asing
untuk jaringan mata sehingga menimbulkan reaksi radang terhadap masa
lensa tubuh sendiri yang disebut uveitis fakoanafilaktik. Kadang-kadang
massa lensa yang keluat ini mengakibatkan penyumbatan jalan keluar akuos
humor pada sudut bilik mata sehingga terjadi pembendungan akuos humor
di dalam bola mata yang akan mengakibatkan naiknya tekanan bola mata
yang disebut glaukoma sekunder. Bila sisa lensa tidak diserap seluruhnya
dan menimbulkan jaringan finrosis akan terjadi katarak sekunder. Katrak
sekunder yang kecil walaupun terletak di depan pupil dapat tidak akan
mengganggu tajam penglihatan. Kadang-kadang katarak sekunder ini sangat
tebal sehingga mengganggu perlihatan maka dalam keadaan demikian dapat
dilakukan di sisi lensa.
b) Pembedahan Katarak Senil
Pengobatan pada katarak adalah pembedahan. Untuk menentukan waktu
kapan katarak dapat dibedah ditentukan oleh keadaan tajam penglihatan dan
bukan oleh hasil pemeriksaan.
Digunakan nama insipien, imatur, dan hipermatur didasarkan atas
kemungkinan terjadinya penyulit yang dapat terjadi. Bila pada stadium
imatur terjadi glaukoma maka secepatnya dilakukan pengeluaran lensa
walaupun kekruhan lensa belum total. Demikian pula pada katarak matur
dimana bila masuk ke dalam stadium lanjut hipermtur maka penyulit
mungkin akan tambah berat dan sebaiknya pada stadium matur sudah
dilakukan tindakan pembedahan.
Ekstraksi lensa sebenarnya suatu tindakan yang sederhana, namun
resikonya berat. Kesalahan pada tindakan pembedahan atau terjadinya
infeksi akan mengakibatkan hilangnya penglihatan tanpa dapat diperbaiki
lagi. Pembedahan biasanya dengan anestesi lokal. Hanya orang-orang yang
tidak tenang, neurosis atau takut dilakukan dalam narkosa umum.
Pembedahan katarak senil dikenal 2 bentuk yaitu intrakapsular atau
ekstrakapsular. Ekstraksi katarak intrakapsular merupakan tindakan umum
pada katarak senil karena bersamaan dengan proses degenerasi lensa juga
terjadi degenerasi zonula Zinn sehingga dengan memutuskan zonula ini
dengan menarik lensa, maka lensa dapat keluar bersama-sama dengan kapsul
lensa.
Katarak ekstraksi ekstrakapsular dilakukan dengan merobek kapsul
anterior lensa dan mengeluarkan dilakukan pada katarak senil bila tidak
mungkin dilakukan intrakapsular misal pada keadaan terdapatnya banyak
sinekia posterior bekas suatu uveitis sehingga bila kapsul ditarik akan
mengkibatkan penarikan kepada iris yang akan menimbulkan perdarahan.
Ekstrakapsular sering dianjurkan pada katarak dengan miopia tinggi
untuk mencegah mengalirnya badan kaca yang cair keluar, dengan
meninggalkan kapsul posterior untuk menahannya. Pada saat ini
ekstrakapsular lebih dianjurkan pada katarak senil untuk mencegah
degenerasi makula pasca bedah.
Cara lain mengeluarkan lensa yang keruh adalah yang keruh adalah
dengan terlebih dahulu menghancurkan masa lensa dengan gelombang suara
frekuensi tinggi (40.000 MHz), dan masa lensa yang sudah seperti bubur
dihisap melalui sayatan yang lebarnya cukup 3.2 mm. Untuk memasukkan
lensa intraokular yang dapat dilipat (foldable IOL) lubang sayatan tidak
selebar sayatan pada ekstraksi katarak ekstrakapsulat. Keuntungan bedah
dengan sayatan kecil ini adalah penyembuhan yang lebih cepat dan induksi
terjadinya astigmatismat akan lebih kecil.

Pesiapan bedah katarak


Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan, Uji Anel, Tonometri dari ada
atau tidak adanya infeksi di sekitar mata.
Pemeriksaan keadaan umum penderita sebaiknya sudah terkontrol gula
darah, tekanan darah selain penderita sudah diperiksa paru untuk mencegah
kemungkinan batuk pada saat pembedahan atau pasca bedah.

7. Definisi Glaukoma
Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan
pencekungan “cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang
disertai dengan peningkatan tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko
terjadinya glaukoma. Mekanisme peningkatan tekanan intraokuler pada
glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar humor aquos.

8. Fisiologi Humor Aquos


Tekanan intraokuler ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor
aquos dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor aquos merupakan
cairan jernih yang mengisi kamera okuli anterior dan posterior. Volume humor
aquos sekitar 250 µL, dan kecepatan pembentukannya 2,5 µL/menit. Komposisi
humor aquos hampir sama dengan komposisi plasma, yaitu mengandung
askorbat, piruvat, laktat, protein, dan glukosa.
Humor aquos merupakan media refrakta jadi harus jernih. Sistem
pengeluaran humor aquos terbagi menjadi 2 jalur, yaitu sebagian besar melalui
sistem vena dan sebagian kecil melalui otot ciliaris.
Pada sistem vena, humor aquos diproduksi oleh prosesus ciliaris masuk
melewati kamera okuli posterior menuju kamera okuli anterior melalui pupil.
Setelah melewati kamera okuli anterior cairan humor aquos menuju trabekula
meshwork ke angulus iridokornealis dan menuju kanalis Schlemm yang
akhirnya masuk ke sistem vena. Aliran humor aquos akan melewati jaringan
trabekulum sekitar 90 %. Sedangkan sebagian kecil humor aquos keluar dari
mata melalui otot siliaris menuju ruang suprakoroid untuk selanjutnya keluar
melalui sklera atau saraf maupun pembuluh darah. Jalur ini disebut juga jalur
uveosklera (10-15%).
9. Patofisiologi Glaukoma
Penurunan penglihatan pada glaukoma terjadi karena adanya apoptosis
sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan lapisan
inti dalam retina serta berkurangnya akson di nervus optikus. Diskus optikus
menjadi atrofi disertai pembesaran cawan optik.Kerusakan saraf dapat
dipengaruhi oleh peningkatan tekanan intraokuler. Semakin tinggi tekanan
intraokuler semakin besar kerusakan saraf pada bola mata. Pada bola mata
normal tekanan intraokuler memiliki kisaran 10-22 mmHg.
Tekanan intraokuler pada glaukoma sudut tertutup akut dapat mencapai 60-80
mmHg, sehingga dapat menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang
disertai dengan edema kornea dan kerusakan nervus optikus.

10. Klasifikasi Glaukoma


a. Glaukoma Primer
 Glaukoma Sudut Terbuka Primer
Glaukoma sudut terbuka primer terdapat kecenderungan familial
yang kuat. Gambaran patologi utama berupa proses degeneratif
trabekular meshwork sehingga dapat mengakibatkan penurunan
drainase humor aquos yang menyebabkan peningkatan takanan
intraokuler. Pada 99% penderita glaukoma primer sudut terbuka
terdapat hambatan pengeluaran humor aquos pada sistem
trabekulum dan kanalis schlemm.
 Glaukoma Sudut Tertutup Primer
Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan
predisposisi anatomis tanpa ada kelainan lainnya. Adanya
peningkatan tekanan intraokuler karena sumbatan aliran keluar
humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork oleh iris perifer.
b. Glaukoma Sekunder
Peningkatan tekanan intraokuler pada glaukoma sekunder merupakan
manifestasi dari penyakit lain dapat berupa peradangan, trauma bola mata
dan paling sering disebabkan oleh uveitis.
c. Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi akibat
gangguan perkembangan pada saluran humor aquos. Glaukoma kongenital
seringkali diturunkan. Pada glaukoma kongenital sering dijumpai adanya
epifora dapat juga berupa fotofobia serta peningkatan tekanan intraokuler.
Glaukoma kongenital terbagi atas glaukoma kongenital primer (kelainan
pada sudut kamera okuli anterior), anomali perkembangan segmen anterior,
dan kelainan lain (dapat berupa aniridia, sindrom Lowe, sindom Sturge-
Weber dan rubela kongenital).

11. Penilaian Glaukoma


a. Tonometri
Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang
menggunakan alat berupa tonometer Goldman. Faktor yang dapat
mempengaruhi biasnya penilaian tergantung pada ketebalan kornea masing-
masing individu. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan intraokuler
yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya, semakin tipis
kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah.
Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena
cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat mudah
dan tanpa komponen elektrik.
Penilaian tekanan intraokuler normal berkisar 10-22 mmHg. Pada usia
lanjut rentang tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg. Pada
glaukoma sudut terbuka primer, 32-50% pasien ditemukan dengan tekanan
intraokuler yang normal pada saat pertama kali diperiksa.
b. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus yang normal memiliki cekungan di bagian tengahnya.
Pada pasien glaukoma terdapat pembesaran cawan optik atau pencekungan
sehingga tidak dapat terlihat saraf pada bagian tepinya.
c. Pemeriksaan Lapangan Pandang
Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30 derajat
lapangan pandang bagian central. Cara pemeriksaan lapangan pandang
dapat menggunakan automated perimeter.
d. Gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan
lensa khusus untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari
gonioskopi secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut yang
abnormal dan menilai lebar sudut kamera okuli anterior.

12. Penatalaksanaan Glaukoma


a. Supresi Pembentukan Humor Aqueus
 Golongan β-adrenergik Bloker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dengan kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan β-
adrenergic bloker misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol
0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lain-lain.
Timolol maleat merupakan β-adrenergik non selektif baik β1 atau
β2. Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik, sehingga apabila
diteteskan pada mata dapat mengurangi tekanan intraokuler. Timolol
dapat menurunkan tekanan intraokuler sekitar 20-30%.15,16 Reseptor β-
adrenergik terletak pada epitel siliaris, jika reseptornya terangsang
aktifitas sekresinya akan meningkatkan inflow humor aquos melalui
proses komplek enzim adenyl cyclase-reseptor sehingga menurunkan
produksi humor aquos.
Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker dengan cara
menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler dapat
turun. Sedangkan farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik
oleh usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah , dan memiliki
kadar puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam. Kebanyakan
golongan β-adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara 3 sampai 10
jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk mengeluarkan obat
golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah
yang menuju ke hati atau hambatan enzim hati.
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat
mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik.
Indikasi pemakaian diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka
sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi dengan
miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma inflamasi,
hipertensi okuler dan glaukoma congenital.

 Golongan α2-adrenergik Agonis


Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu
selektif dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif
misalnya apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor
aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui trabekula
meshwork dengan menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga
meningkatkan aliran keluar uveosklera.
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu 1
jam dapat menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat
paling sedikit 20% dari tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari
apraklonidin dalam menurunkan tekanan intraokuler dapat terjadi sekitar
3-5 jam setelah pemberian terapi.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol peningkatan
akut tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan kontraindikasi
pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono amin oksidase (MAO)
dan trisiklik depresan karena mempengaruhi metabolisme dan uptake
katekolamin.
 Penghambat Karbonat Anhidrase
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan karena
dapat menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-60%. Bekerja
efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila konsentrasi obat
bebas dalam plasma ±2,5 µM.16,18 Apabila diberikan secara oral,
konsentrasi puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah
pemberian dapat bertahan selama 4-6 jam dan menurun dengan cepat
karena ekskresi pada urin.
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan
intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan tekanan
introkuler pada pseudo tumor serebri. Kontraindikasi relatif untuk sirosis
hati, penyakit paru obstruktif menahun, gagal ginjal, diabetes
ketoasidosis dan urolithiasis.
Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan inisial
diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila digunakan
dalam jangka lama antara lain metalic taste, malaise, nausea, anoreksia,
depresi, pembentukan batu ginjal, depresi sumsum tulang, dan anemia
aplastik.
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak
sehingga bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif
rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi melalui
kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris sehingga dapat
menurunkan produksi humor aqueus dan HCO3- dengan cara menekan
enzim karbonik anhidrase II. Penghambat karbonik anhidrase topikal
seperti dorsolamid yang bekerja efektif menurunkan tekanan intraokuler
karena konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10µM.17 Penghambat
karbonat anhidrase topikal (dorsolamid) dapat menurunkan tekanan
intraokuler sebesar 15-20%.
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka
pendek maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi.
Indikasi lain untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah
intraokuler. Efek samping lokal yang dijumpai seperti mata pedih,
keratopati pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek samping sistemik
jarang dijumpai seperti metalic taste, gangguan gastrointestinal dan
urtikaria.
b. Fasilitasi Aliran Keluar Humor Aqueus
 Parasimpatik
Golongan obat parasimpatomimetik dapat menimbulkan efek
miosis pada mata dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan
kontraksi muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos
dapat keluar.

 Analog prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang efektif
digunakan pada terapi glaukoma misalnya, latanopros. Latanopros
merupakan obat baru yang paling efektif katena dapat ditoleransi dengan
baik dan tidak menimbulkan efek samping sistemik.
Farmakokinetik latanopros mengalami hidrolisis enzim di kornea
dan diaktifkan menjadi asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler
dapat dilihat setelah 3-4 jam setelah pemberian dan efek maksimal yang
terjadi antara 8-12 jam.
Cara kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya humor
aqueus melalui uveosklera. Obat ini diindikasikan pada glaukoma sudut
terbuka, hipertensi okuler yang tidak toleran dengan antiglaukoma lain.
Kontrandikasi pada pasien yang sensitif dengan latanopros.

 Penurunan Volume Vitreus


Obat yang digunakan dalam menurunkan volume vitreus dapat
menggunakan obat hiperosmotik dengan cara mengubah darah menjadi
hipertonik sehingga air tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan
pengecilan vitreus sehingga terjadi penurunan produksi humor aquos.
Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam pengobatan glaukoma
sudut tertutup akut dan maligna yang menyebabkan pergeseran lensa
kristalina ke anterior yang menyebabkan penutupan sudut (glaukoma
sudut tertutup sekunder).
13. Definisi Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata
sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada
retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina atau tidak terletak pada satu
titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan
kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang
sumbu bola mata.

14. Etiologi Kelainan Refraksi


Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola
mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di
depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial, fokus akan terletak di depan
retina karena bola mata lebih panjang. Sedangkan pada hipermetropia aksial,
fokus bayangan terletak di belakang retina.

Ametropia indeks refraktif adalah ametropia akibat kelainan indeks


refraksi media penglihatan. Sehingga walaupun panjang sumbu mata normal,
sinar terfokus di depan (miopia) atau di belakang retina (hipermetropia).
Kelainan indeks refraksi ini dapat terletak pada kornea atau pada lensa
(cembung, diabetik).

Ametropia kurvatur disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang


tidak normal sehingga terjadi perubahan pembiasan sinar. Kecembungan kornea
yang lebih berat akan mengakibatkan pembiasan lebih kuat sehingga bayangan
dalam mata difokuskan di depan bintik kuning sehingga mata ini akan menjadi
mata miopia atau rabun jauh. Sedangkan kecembungan kornea yang lebih
kurang atau merata (flat) akan mengakibatkan pembiasan menjadi lemah
sehingga bayangan dalam mata difokuskan dibelakang bintik kuning dan mata
ini menjadi hipermetropia atau rabun dekat.
15. Patofisiologi Kelainan Refraksi

Bagan 1. Mekanisme Patofisiologi Kelainan Refraksi.

16. Klasifikasi Kelainan Refraksi


Kelainan refraksi terbagi dalam bentuk:

a. Ametropia
Merupakan keadaan dimana mata dalam keadaan tanpa akomodasi
memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada
retina.
b. Miopia
Miopia atau nearsightedness terjadi bila bayangan benda yang terletak
jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi.

Gambar 2. Miopia.

Miopia dibagi berdasarkan beberapa karakteristik:

1) Menurut kelainannya
a) Miopia aksial, yaitu bila diameter antero-posterior dari bola
mata lebih panjang dari normal.
b) Miopia kurvatura, yaitu apabila terdapat unsur-unsur
pembiasan lebih refraktif dibandingkan dengan rata-rata. Juga
disebut miopia refraktif.
2) Menurut perjalanan penyakit
a) Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
b) Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia
dewasa akibat bertambahnya panjang bola mata
c) Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, yang
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan
miopia permisiosa = miopia degeneraf.
3) Berdasarkan derajat beratnya
a) Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 3 dioptri
b) Miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 dioptri
c) Miopia berat atau tinggi, dimana miopia antara 6-9 dioptri
d) Miopia sangat berat, dimana miopia lebih daripada 9 dioptri.
c. Hipermetropia
Hipermetropia atau farsightedness adalah keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga
titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia ini sinar
sejajar difokuskan di belakang macula lutea.

Gambar 3. Hipermetropia.
Hipermetropia dibagi berdasarkan beberapa karakteristik:
1) Berdasarkan penyebab:
a) Hipermetropia aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata
pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek
b) Hipermetropia kurvatural, dimana kelengkungan kornea atau lensa
kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina
c) Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang
pada sistem optik mata.
2) Berdasarkan kemampuan akomodasi:
a) Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia
(atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi
seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat
diukur bila diberikan sikloplegia.
b) Hipermetropia manifes, dibagi menjadi:
- Hipermetropia manifes fakultatif : kelainan hipermetropik yang
dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya atau dengan lensa
sferis positif
- Hipermetropia manifes absolut : kelainan hipermetropik yang tidak
dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya
- Hipermetropia total: Hipermetropia yang ukurannya didapatkan
sesudah diberikan sikloplegia
d. Astigmatisme
Astigmatisme adalah suatu keadaan dimana titik fokus dalam bentuk satu
titik. Yang dimaksudkan dengan astigmatisma atau silindris adalah
terdapatnya variasi kurvatura atau kelengkungan kornea atau lensa pada
meridian yang berbeda yang akan mengakibatkan sinar tidak terfokus pada
satu titik.
Astigmatisma dibagi berdasarkan beberapa karakteristik:
1) Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina :
a) Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya
dua bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga
pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada
bidang yang lain.
- Astigmatisme with the Rule
Bila pada bidang vertikal mempunyai daya bias yang lebih kuat
dari pada bidang horizontal
- Astigmatisme against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat
dari bidang vertikal
- Astigmatisme oblique
Adalah astigmatisma regular yang meridian-meridian utamanya
tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal
b) Astigmatisme Irreguler
Di mana daya atau orientasi meridian-meridian utamanya
berubah di sepanjang lubang pupil.
2) Berdasarkan letak titik vertikal dan horizontal pada retina
a) Simple Astigmatism:
- Simple Astigmatisma Myopia: garis fokus pertama adalah di depan
retina, sedangkan yang kedua adalah pada retina.
- Simple Astigmatisma Hiperopia : Garis fokus pertama adalah pada
retina, sedangkan yang kedua terletak di belakang retina
b) Compound Astigmatism:
- Compound Myopia Astigmatism: kedua jalur fokus ini terletak di
depan retina. Compound Hyperopia Astigmatism: kedua jalur fokus
ini terletak di belakang retina
c) Astigmatisma campuran : garis fokus berada di kedua sisi retina

Gambar 4. Tipe Astigmatisma Reguler.

e. Presbiopia
Merupakan gangguan akomodasi pada usia lanjut akibat kelemahan otot
akomodasi, bisa juga akibat lensa mata tidak kenyal atau berkurang
elastisitasnya.
17. Manifestasi Klinis Kelainan Refraksi
a. Miopia
 Penglihatan jauh kabur, lebih jelas ketika melihat dekat
 Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh
 Sakit kepala jarang dikeluhkan
 Rasa tidak enak saat melihat (astenopia akomodatif = eye strain)
terutama bila melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan
penglihatan yang jelas pada jangka waktu yang lama
b. Hipermetropia

 Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau


lebih biasanya pada orang tua
 Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan
cetakan kurang terang atau karena penerangan kurang
 Sakit kepala oleh karena seseorang dengan hipermetropia harus
terus berakomodasi untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik,
keluhan ini disebut astenipia akomodatif
 Rasa tidak enak saat melihat
c. Astigatisma
 Melihat ganda pada suatu obyek
 Sulit membedakan 2 titik yang berdekatan
 Cenderung memicingkan mata
 Sakit kepala
 Rasa tidak enak saat melihat
d. Presbiopia
 Sulit membaca dengan jarak dekat huruf dengan cetakan kecil
 Penderita cenderung menegakkan punggung atau menjauhkan
obyek yang dibacanya suupaya obyek dapat dibaca dengan jelas
 Penderita memberi keluhan setelah membaca seperti mata lelah,
terasa pedas dan kadang berair

18. Diagnosis Kelainan Refraksi


Ada 2 macam pemeriksaan kelainan refraksi secara garis besar, meliputi:

a. Obyektif
Pemeriksaan ini sangat diperlukan pada pasien yang tidak kooperatif
untuk pemeriksaan refraksi biasa.
1. Retinoskopi
Seberkas cahaya yang dikenal sebagai intercept, diproyeksikan ke
mata pasien untuk menghasilkan pantulan berbentuk sama atau disebut
refleks retinoskopik di pupil. Kesejajaran antara intercept dan refleks
retinoskopik menandakan hanya ada kelainan sferis, atau terdapat
kelainan silinder tambahan dengan intercept yang bersesuaian dengan
salah satu meridian utama.

Gambar 5. Gambaran Intercept.

Intercept kemudian disapukan melintasi pupil pasien, dan efeknya


pada refleks retinoskopik dicatat. Bila efek tersebut bergerak dalam arah
yang sama (mengikuti gerakan), ditempatkan lensa plus di depan mata
pasien; dan bila bergerak dalam arah berlawanan (melawan gerakan),
ditambahkan lensa minus sampai refleks pupil mengisi seluruh lubang
pupil dan tidak lagi terdeteksi adanya gerakan (titik netralisasi) . Bila titik
netralisasi telah tercapai, kelainan refraksi pasien telah terkoreksi dengan
suatu koreksi tambahan yang berkaitan dengan jarak antara pasien dan
pemeriksa (jarak kerja).
Gambar 6. Interpetasi Intercept.

2. Autorefraktometer
Auto refraktometer adalah salah satu instrumen untuk pemeriksaan
refraksi secara obyektif yang digunakan pada pemeriksaan secara
monokuler (satu mata). Autorefraktometer tidak memeriksa kedua mata
secara bersamaan, melainkan bergantian antara mata kanan dan mata kiri.
Hasil yang diperoleh berupa sferis, silinder, axis dan pupillary distance.

Ukuran yang dihasilkan oleh periksaan mata dengan


autorefraktometer sebenarnya kurang valid jika langsung diaplikasikan
untuk ukuran lensa kacamata. Maka dari itu perlu pemeriksan secara
subjektif untuk mencapai validitas ukuran lensa kacamata yang nyaman
digunakan pasien.

Gambar 7. Autorefraktometer.

Pemeriksaan objektif dapat dilakukan dengan: Refraksionometer


merupakan alat pengukur anomali refraksi mata atau refraktor automatik
yang dikenal pada masyarakat alat komputer pemeriksaan kelainan
refraksi. Alat yang diharapkan dapat mengukur dengan tepat kelainan
refraksi mata, retinoskopi adalah Retinoskopi merupakan alat untuk
melakukan retinoskopi, guna menentukan kelainan refraksi seseorang
secara objektif. Retinoskopi dimasukkan ke dalam mata atau pupil
pasien. Pada keadaan ini terlihat pantulan sinar dari dalam mata, dan
dikenal 2 cara retinoskopi yaitu Spot retinoscopy dengan memakai
berkas sinar yang dapat difokuskan dan Streak retinoscopy dengan
memakai berkas sinar denagn bentuk celah atau slit.

b. Subyektif
Menggunakan metode “Trial and Error"

1. Pemeriksaan tajam penglihatan (visus)


 Pasien duduk menghadap diagram Snellen dengan jarak 6
meter

Gambar 8. Snellen Chart.

 Pasangkan gagang lensa coba (trial frame) pada pasien.


Sesuaikan ukuran gagang lensa coba dengan jarak pupil
(pupillary distance) pasien. Jarak pupil diukur dengan
menggunakan penggaris. Letakkan angka 0 pada titik pusat
pupil pasien dan hitung jarak antara titik pusat pupil kanan
dengan pupil kiri
Gambar 9. Trial Frame Set.

 Mata yang tidak diperiksa ditutup terlebih dahulu. Biasanya


pemeriksaan dikerjakan pada mata kanan terlebih dahulu atau
mata yang dikeluhkan
 Pasien diminta untuk membaca huruf yang tertulis pada diagram
Snellen dari yang paling besar. Kemudian setelah satu baris
terbaca maka minta pasien membaca baris dibawahnya.
 Catat tajam penglihatan terbaik pada pasien, yaitu baris
terbawah yang dapat dibaca dengan benar oleh pasien.
 Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada
diagram Snellen, lanjutkan uji hitung jari. Jarak antara jari yang
dilihat pasien dengan tempat pasien duduk diinterpetasikan
dalam bilangan per 60. Contohnya, pasien dapat menghitung
jari pada jarak 2 meter, maka diinterpetasikan sebagai tajam
penglihatan 2/60
 Apabila pasien gagal pada uji hitung jari, dkerjakan uji lambaian
tangan dengan jarak 1 meter, apabila pasien dapat mengenali
gerakan lambaian dalam jarak 1 meter, dicatat sebagai 1/300.
Apabila gagal, dilanjutkan dengan uji persepsi cahaya, apabila
pasien mengenali cahaya diinterpetasikan sebagai 1/῀ (1/tidak
terhingga)
 Bila pasien sama sekali tidak mengenal adanya sinar, maka
dikatakan penglihatannya adalah nol (0) atau buta total.
2. Pemeriksaan refraksi
1) Tahap awal:
a) Urutan pemeriksaan dikerjakan setelah pemeriksaan tajam
penglihatan
b) Pada gagang lensa coba dipasangkan pinhole pada mata yang
sedang diuji
c) Pasien diminta membaca huruf terakhir yang masih dapat
dibaca sebelumnya
d) Bila tidak terjadi perbaikan penglihatan maka mata tidak dapat
dikoreksi lebih lanjut karena mungkin terdapat “kelainan
organik” seperti terdapat kelainan pada retina atau saraf optik
e) Bila terjadi perbaikan penglihatan maka ini berarti terdapat
“kelainan refraksi” pada mata tersebut yang masih belum dapat
dikoreksi
2) Tahap lanjutan:
Setelah diketahui pasien menderita kelainan refraksi, maka
dilakukan pemeriksaan refraksi sesuai dengan jenis kelainan refraksi

a) Miopia
- Pada gagang lensa uji pasien dipasangkan lensa sferis +0.50 D.
Apabila dengan lensa sferis positif pasien merasa penglihatannya
semakin kabur, gunakan lensa negatif terkecil pada gagang lensa
uji
- Tambahkan minus lensa sferis negatif hingga pasien dapat
membaca huruf pada baris 6/6
- Pada pasien dengan miopia, maka derajat miopia yang dicatat
adalah “lensa sferis negatif terkecil yang memberikan tajam
penglihatan terbaik”
b) Hipermetropia
- Pada gagang lensa uji pasien dipasangkan lensa sferis +0.50 D.
Tambahkan kekuatan lensa sferis positif hingga pasien dapat
membaca huruf pada baris 6/6
- Apabila huruf pada baris 6/6 sudah tercapai, maka kekuatan lensa
ditambahkan +0.25 D dan tanyakan apakah masih dapat melihat
huruf tersebut
- Apabila dengan penambahan +0.25 D masih dapat terlihat jelas
huruf pada baris 6/6 maka tambahkan lagi kekuatan lensa hingga
pandangan menjadi kabur
- Pada pasien dengan hipermetropia , maka derajat hipermetropia
yang dicatat adalah “lensa sferis positif terbesar yang memberikan
tajam penglihatan terbaik”
c) Astigmatisma
- Pemeriksaan ini disebut cara pengkaburan (fogging technique of
refraction)
- Apabila dengan lensa sferis perbaikan tajam penglihatan tidak
mencapai 6/6 dan pasien merasa tajam penglihatan membaik
dengan pemasangan pinhole, maka dapat dicurigai pasien
mengalami astigmatisma
- Periksa pasien dengan lensa sferis positif atau negatif sampai
tercapai ketajaman penglihatan terbaik
- Pada mata yang diperiksa pasang lensa sferis positif yang cukup
besar (misal +3.00 D) pada mata yang diperiksa untuk memberikan
refraksi miopik
- Pasien diminta untuk melihat juring astigmat dan diminta untuk
menentukan garis juring astigmat yang paling jelas
- Bila belum terlihat perbedaan tebal garis juring astigmat maka
lensa sferis +3.00 D diperlemah sedikit demi sedikit sehingga
pasien dapat menentukan garis mana yang terjelas dan mana yang
terkabur
- Lensa silindris negatif diperkuat sedikit demi sedikit dengan
sumbu hingga pada suatu saat tampak garis yang mula-mula
terkabur sama jelasnya dengan garis yang sebelumnya terlihat
terjelas
- Bila sudah tampak sama jelas garis pada juring astigmat, dilakukan
tes melihat kartu Snellen
- Bila penglihatan belum 6/6 sesuai kartu Snellen, maka mungkin
lensa sferis positif yang diberikan terlalu berat, sehingga perlu
secara perlahan-lahan dikurangi kekuatannya atau di tambah lensa
negatif
- Pasien diminta membaca kartu Snellen pada saat lensa sferis
negatif ditambah perlahan - lahan sampai tajam penglihatan
menjadi 6/6
d) Presbiopia
- Pasien dikoreksi kemungkinan adanya kelainan refraksi ametropia
dengan metode trial and error” hingga visus 6/6
- Pasien diminta membaca kartu Jaeger pada jarak 30-40 cm ( jarak
baca )
- Berikan lensa sferis +1.00 D yang dinaikkan perlahan hingga
tulisan terkecil pada kartu Jaeger terbaca.

19. Diagnosis Banding Kelainan Refraksi


a. Katarak
Katarak adalah terjadinya kekeruhan lensa yang bisa terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat dari
keduanya. Pasien katarak biasanya mengeluh tajam penglihatan menurun
secara progresif, melihat kabut/asap dan tidak membaik walaupun sudah
dikoreksi dengan kaca mata. Penyebab katarak bermacam-macam seperti
karena usia, genetik, gangguan perkembangan, penyakit predisposisi, fisik
dan kimia.

b. Glaukoma
Glaukoma ditandai dengan melemahnya fungsi penglihatan, kerusakan
anatomi degenerasi papil saraf optik dan dapat berakhir dengan kebutaan.
Penyakit ini ditandai dengan peningkatan tekanan intra okuler yang terjadi
karena bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar dan karena
berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata/celah
pupil. Glaukoma dapat disebabkan karena penyakit sekunder dan dapat pula
idiopatik.

c. Retinopati
Retinopati merupakan kelainan retina yang tidak disebabkan oleh radang.
Gejalanya berupa penurunan tajam penglihatan yang bisa disebabkan karena
anemia, diabetes mellitus, hipotensi, hipertensi dan leukimia.

20. Penatalaksanaan Kelainan Refraksi


1. Cara optik
a. Kacamata
1) Miopia
Pada penderita miopa, mata tidak mampu melihat objek yang
jauh karena titik jauh penderita kurang dari titik jauh mata normal
sehingga bayangan terbentuk di depan retina. Kacamata yang tepat
yaitu berlensa negatif (cekung) terkecil yang memberikan tajam
penglihatan maksimal. Prinsip kerja lensa cekung yaitu membuat
obyek yang berjarak tak berhingga (jarak titik jauh mata normal) dapat
dibentuk bayangannya pada jarak terjauh yang dapat dilihat oleh
seseorang yang rabun jauh.

Gambar 10. Lensa Cekung.


2) Hipermetropia
Pada penderita hipermetropia, mata tidak mampu melihat objek
dalam jarak dekat karena titik dekat penderita ini lebih besar dari titik
dekat mata normal sehingga bayangan terbentuk di belakang retina.
Kacamata yang tepat yaitu berlensa positif (cembung) terbesar yang
memberikan tajam penglihatan maksimal. Prinsip lensa positif disini
digunakan untuk memindahkan (memundurkan) obyek pada jarak
baca normal menjadi bayangan di titik dekat mata.
Gambar 11. Lensa Cembung.
3) Astigmatisma
Pada penderita astigmatisma, mata tidak mampu melihat garis
vertikal dan horizontal bersama-sama karena kornea lebih
melengkung ke satu arah sehingga berbentuk oval. Sinar yang masuk
ke mata sedikit menyebar sehingga bayangan tidak fokus pada retina.
Kacamata yang cocok bagi penderita yaitu kacamata silinder.
4) Presbiopia
Untuk membantu kekurangan daya akomodasi pada presbiopia
maka dapat dipergunakan lensa positif untuk menambah kekuatan
lensa yang berkurang sesuai usia. Pada pasien presbiopia ini
diperlukan kacamata baca atau adisi untuk membaca dekat yang
berkekuatan tertentu sesuai usia:
- +1,0 D untuk usia 40 tahun
- +1,5 D untuk usia 45 tahun
- + 2,0 D untuk usia 50 tahun
- + 2,5 D untuk usia 55 tahun
- + 3,0 D untul usia 60 tahun

Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3,0 dioptri


adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada
keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada
jarak 33 cm, karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa +
3,0 dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar.

b. Lensa kontak
Lensa kontak bahan kaca atau plastik yang cara pemakaiannya
diletakkan dipermukaan depan kornea. Lensa ini tetap ditempatnya
karena adanya lapisan tipis air mata yang mengisi ruang antara lensa
kontak dan permukaan depan mata. Sifat khusus dari lensa kontak adalah
menghilangkan hampir semua pembiasan yang terjadi dipermukaan
anterior kornea, penyebabnya adalah air mata mempunyai indeks bias
yang hampir sama dengan kornea sehingga permukaan anterior kornea
tidak lagi berperan penting sebagai dari susunan optik mata. Sehingga
permukaan anterior lensa kontaklah yang berperan penting.
Tetapi perlu diperhatikan kebersihan dan ketelitian pemakaiannya.
Selain daripada masalah pemakaiannya dengan lensa kontak perlu
diperhatikan masalah lama pemakaian, infeksi dan alergi terhadap bahan
yang dipakai.
2. Cara operatif
a. Radial keratotomi
Melakukan sayatan pada kornea dengan panjang 8 mm untuk
mengkoreksi bentuk kornea disesuaikan dengan idealnya.
b. Keratomileusis
Sebagian dari ketebalan kornea diambil dengan mikro keratome.
kornea yang diambil dilakukan penipisan sehingga sesuai dengan bentuk
kornea idealnya.
c. Keratofaki
Membuang epitel kornea resipien, kemudian membuat sayatan
pada membrana bowman. memasang kornea donor yang telah diatur
kekuatan refraksinya.
d. Photorefraktif Keratektomi (PRK)
Epitel kornea dikerok (dibuang sebagian), kemudian stroma
kornea diablasi dengan argon fluoride (af) dan krypton fluoride (krf),
sehingga kekuatan refraksi kornea sesuai yang diinginkan.
e. Laser Issisted InSitu Keratomileusis (LASIK)
Membuat flap (lapisan) pada kornea dengan menggunakan
mikrokeratom. setelah flap dibuka, mesin laser langsung bekerja pada
kornea mata. sebagian flap masih menempel pada kornea. setelah
tindakan laser, flap akan dikembalikan pada posisi semula dan akan
melekat erat tanpa perlu penjahitan.

21. Komplikasi Kelainan Refraksi


1. Ablasio retina
Lepasnya retina sensoris dari epitel berpigmen. Ada 2 jenis ablasi
retina yaitu non rematogen (tanpa robekan retina) dan regmatogen (dengan
robekan retina. Komplikasi ini sering terjadi pada miopia yang cukup tinggi,
hal tersebut menyebabkan sclera meregang. Meregangnya sklera
menyebabkan masuknya cairan dari badan kaca ke ruang sub retina,
sehingga retina terdorong lepas dari epitel pigmen yang mengakibatkan
ablasi retina regmatogen.
2. Ambliopia
Ambliopia merupakan keadaan dimana tajam penglihatan tidak
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensi walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya. Hal ini disebabkan karena kurangnya
ransangan untuk meningkatkan perkembangan penglihatannya biasanya
karena kelainan refraksi yang lama tidak terkoreksi, seperti ametropia dan
anisometropia.
3. Strabismus
Komplikasi yang sering terjadi pada kelainan refraksi,
patofisiologinya disebabkan karena syarat-syarat penglihatan binokuler
tidak terpenuhi. Strabismus divergen atau exotropia, yaitu penyimpangan
posisi bola mata ke arah temporal, sering terjadi pada miopia yang lama
tidak dikoreksi. Sedangkan strabismus konvergen atau esotropia yaitu
penyimpangan posisi bola mata ke arah nasal lebih sering terjadi pada pasien
hipermetropia yang lama tidak dikoreksi.

22. Prognosis Kelainan Refraksi


Prognosis baik untuk kelangsungan tajam penglihatan apabila kelainan
refraksi dapat segera dikoreksi. Prognosis buruk bila kelainan refraksi terlambat
dikoreksi sehingga menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan.
DOKUMENTASI

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Usia : 52 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tukang Las

Pendidikan : SD

Agama : Islam

Alamat : Mertoyudan Kab. Magelang

II. Anamnesis
 Keluhan Utama
Kedua mata kabur.
 Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang laki-laki berusia 52 tahun mengeluhkan kedua mata kabur saat melihat
jauh selain itu mata kiri juga berkabut, silau saat terkena cahaya, penglihatan tidak
jelas saat malam hari, dan penglihatan tampak double.

Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan serupa ± 1 tahun yang lalu.


Beberapa bulan setelah keluhan tersebut muncul pasien mengatakan sering
merasakan nyeri pada mata hingga dahi, mata merah, penglihatan menjadi
semakin kabur dan silau, keluhan juga disertai nyeri kepala cekot cekot, mual saat
beraktifitas yang semakin memberat saat pasien tidur. Setelah itu pasien
memutuskan untuk memeriksakan keluhan di RS Mata Dr. YAP Yogyakarta dan
dilakukan operasi glaucoma pada bulan januari 2018. Setelah dilakukan operasi
pasien mengatakan keluhan berangsur-angsur berkurang namun pandangan masih
kabur dan berkabut. Pasien memutuskan untuk memeriksakan keluhannya di poli
mata RSUD Tidar Kota Magelang. Setelah dilakukan pemerisaan pasien
dianjurkan untuk menjalani operasi katarak. Pasien menjalani operasi katarak
mata kanan pada bulan agustus 2018 di RSUD Tidar Kota Magelang. Saat ini
pasien mengatakan kalau mata kiri masih terasa tebal, mengganjal dan berkabut,
nyeri kepala terutama saat tidur yang berkurang dengan konsumsi anti nyeri, serta
tidak bias melihat jauh meski sudah memakai kaca mata. Pasien sudah
menggunakan kacamata tersebut sejak ± 1 tahun terakhir dan belum pernah
mengganti setelah menjalani operasi glaucoma dan katarak mata kanan.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat HT : disangkal

Riwayat DM : sejak 2 tahun yll dan tidak terkontol

Riwayat trauma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan sama : disangkal

Riwayat trauma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat HT : disangkal

Riwayat DM : disangkal

 Riwayat Personal Sosial


Pasien bekerja sebagai tukan las sejak muda, tanpa pengamanan yang memadai
saat melakukan pekerjaan. Tempat kerja pasien juga terbuka sehingga langsung
terpapar dengan sengatan sinar matahari. Pasien merupakan perokok aktif yang
bias menghabisakan 1 bungkus rokok dalam sehari.

III. Status Generalis


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik
OD/OS:
IV. Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan Oculli dextra (OD) Oculli sinistra (OS)


Visus Jauh 6/21 6/18
Refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Koreksi S -0.75 C -0.75 AX 11º S -0.75
Visus Dekat +2.25 +2.25

V. Pemeriksaan Objektif

Pemeriksaan OD OS
1. Sekitar mata Kedudukan alis baik, Kedudukan alis baik,
(supersilia) scar (-) scar (-)
2. Kelopak mata
- Pasangan N N
- Gerakan N N
- Lebar rima 10 mm 10 mm
- Kulit N N
- Tepi kelopak N N
3. Apparatus Lakrimalis
- Sekitar glandula N N
lakrimalis
- Sekitar sacus N N
lakrimalis
- Uji flurosensi - -
- Uji regurgitasi - -
- Tes Anel - -
4. Bola Mata
- Pasangan N N
- Gerakan N N
- Ukuran N N
5. TIO
Palpasi N N
Tonometer 8,7 6,7
6. Konjungtiva
- Palpebra superior N N
- Forniks Tenang Tenang
- Palpebra inferior N N
- Bulbi Hiperemis (-) Hiperemis (-)

7. Sklera Ikterik (-), perdarahan (-) Ikterik (-),


perdarahan (-)
8. Kornea
- Ukuran Ø 12 mm Ø 12 mm
- Kecembungan N N
- Permukaan N N
- Uji Flurosensi - -
- Placido - -
- Arcus senilis + +
9. Camera oculi anterior
- Ukuran N N
- Isi Jernih, fler (-), hifema Jernih, fler (-),
(-), hipopion (-) hifema (-), hipopion
(-)
10.Iris
- Warna Coklat Coklat
- Bentuk Bulat Bulat
11. Pupil
- Ukuran Ø 3 mm Ø 3 mm
- Bentuk Bulat Bulat
- Tempat Sentral Sentral
- Tepi Reguler Reguler
- Reflek direct + +
- Reflek indirect + +
12. Lensa
- Ada/tidak Ada Ada
- Kejernihan Jernih Tampak keruh, putih

- Letak Sentral, belakang iris Sentral, belakang iris


- IOL (+) (-)
- Shadow Test (-) (+)

VI. Kesimpulan Pemeriksan


OD OS

- Mata Tenang - Mata tenang


- Visus 6/21 - Visus 6/18
- TIO 8,7 - TIO 6,7
- IOL (+) - IOL (-)
- Shadow Test (-) - Shadow Test (+)

VII. Diagnosis

Diagnosis Banding

 Katarak Traumatik
 Katarak Diabetika
 Glaukoma Primer Sudut Tertutup
 Hipermetropia

Diagnosis Kerja
OD : Glaukoma Sekunder Akut Sudut Tertutup post Trabekulektomi + Iridektomi,
Katarak Senilis Imatur post Fakoemulsifikasi + IOL, Astigmatisma Miopia
Kompositus dengan Presbiopia.
OS : Glaukoma Sekunder Akut Sudut Tertutup post Trabekulektomi + Iridektomi,
Katarak Senilis Imatur, Myopi Simpleks dengan Presbiopia.

VIII. Terapi

Pengobatan definitif pada pasien dengan glaucoma dan katarak adalah dengan
melakukan tindakan operasi, sedangkan pada kelainan refraksi dapat diberikan kaca
mata maupun lensa kotak atau dapat juga dilakuukan tindakan operasi.

IX. Prognosis

ad Visum : bonam
ad Sanam : bonam
ad Vitam : bonam
ad Comesticam : bonam
PEMBAHASAN

Glaukoma sekunder sudut tertutup merupakan komplikasi dari katarak. Dhawan


(2005) dalam tulisanya mengemukakan timbulnya glaukoma sekunder akibat katarak
dapat melalui empat cara, yaitu:

1. Glaukoma fakomorfik  lensa dapat membengkak (intumesen) dengan menyerap


cukup banyak cairan dari kamera anterior yang menimbulkan sumbatan pupil dan
pendesakan sudut sehingga jalinan trabekular terblok serta menyebabkan glaukoma
sudut tertutup.

2. Glaukoma fakolitik  pada katarak stadium hipermatur terjadi kebocoran protein


lensa dan masuk ke dalam kamera anterior dan ditelan oleh makrofag. Makrofag
menjadi membengkak dan menyumbat jalinan trabekular yang memacu peningkatan
TIO. Glaukoma yang terjadi adalah glaukoma sudut terbuka.

3. Glaukoma fakotopik  lensa hipermatur dapat mengalami dislokasi dan


menyebabkan peningkatan TIO dengan memblok pupil atau sudut secara mekanis,
atau dispalsia korpus vitreus yang menyebabkan blok. Dislokasi korpus vitreus
sebagai penyebab glaukom akibat katarak meskipun mekanismenya belum jelas.

4. Glaukoma fakoantigenik yang dahulu dikenal sebagai glaukoma fakoanafilaktik 


katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran kapsula lensa anterior, dan
memungkinkan protein-protein lensa yang mencair masuk ke dalam bilik mata
depan, terjadi akibat tersensitisasi protein lensa nya sendiri, sehingga menyebabkan
terjadinya inflamasi reaksi peradangan di bilik mata depan, anyaman trabekular
menjadi edema. Protein lensa memiliki keistimewaan secara imunologi, yaitu dapat
mulai sentisisasi secara imunologi apabila memasuki aqueous humor.

Sowka (2008) menjelaskan penebalan lensa selama kataraktogenesis dapat


menghasilkan pupil blok, dengan iris bombae dan akibatnya terjadi glaukoma sudut
tertutup. Lensa menjadi intumesensi pada katarak senilis imatur. Intumesensi
merupakan proses terjadinya hidrasi kortek yang mengakibatkan lensa menjadi
cembung sehingga indeks refraksi berubah, karena daya biasnya bertambah maka mata
menjadi miopia. Pada intumesensi, pembengkakan lensa membuat sumbu anterior-
posterior lensa makin panjang sehingga mengakibatkan resistensi pupil pada pengaliran
humor aqueous ke depan (blokade pupil).

Akibat blokade pupil ini akan terjadi pendorongan iris sehingga pangkal iris
akan menutup saluran trabekulum yang mengakibatkan bertambahnya bendungan
cairan mata dan tekanan intraokuler meninggi dan timbul glaukoma. Bilik mata depan
terlihat dangkal akibat bertambah cembungnya lensa disertai adanya iris bombe. Sowka
(2008) mengemukakan ini dapat terjadi secara umum pada pasien dengan sudut bilik
mata yang memang sudah dangkal, dan kataraktogenesis memperparah terjadinya
penutupan sudut. Meskipun demikian penutupan sudut selama proses kataraktogenesis
juga dapat terjadi pada pasien dengan miopia maupun pasien dengan sudut bilik mata
yang dalam.

Efek peningkatan TIO mengakibatkan penurunan penglihatan pada glaukoma


dengan mekanisme utamanya adalah atrofi sel ganglion difus yang menyebabkan
penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di
saraf optikus. Selanjutnya diskus optikus menjadi atrofi, disertai pembesaran cekungan
optikus. Iris dan korpus siliaris juga menjadi atrofi.

Neuron-neuron mengalami kerusakan oleh peningkatan TIO yang menimbulkan


tekanan segala arah pada bola mata dan menghasilkan tegangan, selanjutnya
menyebabkan regangan yang menyebabkan kerusakan neuron.

Sedangkan patogenesis terjadinya glaukoma sudut tertutup akut primer pada


dasarnya sama dengan glaukoma fakomorfik, hanya saja tidak ada penyakit (kondisi)
yang mendasari terjadinya penutupan sudut. Glaukoma primer terjadi pada mata dengan
sudut bilik anterior yang dangkal (sering pada hipermetropia).

Glaukoma fakolitik berkembang pada saat terjadi kebocoran protein lensa dari
katarak matur yang menyubat jalinan trabekular dan mencegah aliran humor aqueous.
Dengan usia tua dan progresi katarak, jumlah protein BM tinggi dalam lensa menigkat.
Pada katarak imatur, protein ini ditemukan dalam nukleus lensa. Dengan matangnya
katarak dan akumulasi protein, peningkatan jumlah protein BM tinggi ditemukan pada
cairan korteks lensa. Pada akhirnya, protein keluar dari lensa dan masuk ke dalam
humor aqueous. Adanya protein lensa dalam kamera anterior memacu inflamasi dan
respon makrofag. Akumulasi makrofag yang membengkak karena menelan
protein lensa sebagai penyebab utama obstruksi jalinan trabekular. Selain makrofag,
protein lensa juga dapat menyebabkan obstruksi.

Katarak senilis imatur merupakan salah satu stadium katarak senilis, dimana
pada stadium ini kekeruhan lensa belum terjadi disemua bagian lensa. Kekeruhan pada
stadium ini utamanya terjadi di bagian posterior dan belakang nukleus lensa. Pada
katarak imatur, volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik
bahan degeneratif lensa. Pada keadaan ini, lensa akan mencembung dan dapat
menimbulkan hambatan pupil sehingga terjadi glaukoma sekunder

Penyebab katarak senilis sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti dan diduga
multifaktorial. Beberapa penyebab katarak diantaranya adalah:
- Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik
- Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat sehingga mempunyai efek
buruk terhadap serabu-serabut lensa
- Faktor imunologik
- Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari.
- Gangguan metabolisme umum

Menurut letak fokusnya terhadap retina, astigmatisme regular dibedakan dalam 5 jenis,
yaitu :

1. Astigmatismus Myopicus Simplex.


Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat
pada retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y
atau Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama.
2. Astigmatismus Hypermetropicus Simplex.
Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di
belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl
+Y atau Sph +X Cyl -Y di mana X dan Y memiliki angka yang sama.

3. Astigmatismus Myopicus Compositus.


Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di antara
titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph -X Cyl -
Y.

4. Astigmatismus Hypermetropicus Compositus


Astigmatisme jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A berada di
antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph
+X Cyl +Y.

5. Astigmatismus Mixtus.
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di
belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X Cyl -
Y, atau Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak dapat ditransposisi hingga nilai
X menjadi nol, atau notasi X dan Y menjadi sama - sama + atau -.
KESIMPULAN

Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang diotandai


pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapang pandang dan biasanya
disertai peningkatan intra okuler.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-
duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun
dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama.
Kedua keadaan ini, baik glaukoma ataupun katarak memiliki insidensi yang
sangat tinggi, terutama pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun dan menyebabkan
insidensi kebutaan yang sangat tinggi seiring dengan perkembangan penyakitnya dan
penatalaksanaan nya.
Glaukoma dan katarak mempunyai hubungan dimana pada kasus katarak dapat
menyebabkan terjadinya glaukoma fakomorfik, glaukoma fakolitik, glaukoma
fakotopik, dan laukoma fakoantigenik.
Gejala yang ditimbulkan dapat beraneka ragam, antara lain nyeri akut periorbita,
mata hiperemis, pandangan kabur, sensasi halo, mual, muntah dan pasien umumnya
memiliki penurunan penglihatan sebelum episode akut karena riwayat katarak.
Untuk penatalaksanaan dapat diberikan terapi medikamentosa hingga metode
operatif sesuai dengan indikasi pada pasien.
Prognosis untuk glaukoma yang disebabkan oleh katarak sesuai kontrol tekanan
intraokuler yang jelek akan menyebabkan semakin rusaknya nervus optik dan semakin
menurunnya visus sampai terjadinya kebutaan. Oleh karena itu semakin dini deteksi
glaukoma maka akan semakin besar tingkat kesuksesan pencegahan kerusakan mata.
DAFTAR PUSTAKA

1. Putri C.F., 2007. Makalah Penugasan Blok Keterampilan Belajar dan Teknologi
Informasi. (Diakses 8 September 2015)
2. Ilyas S., 2005. Penuntutan Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3 . Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, hlm 128.
3. Ilyas S., 2008. Ilmu Penyakit Mata, edisi ke 3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
4. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2007, Ofalmologi Umum, Edisi ke -17, Widya
Medika, Jakarta.
5. Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke Tiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

6. James, B., New , & Bron Anthon. 2005. Lecture Notes Oftalmologi Edisi Sembilan .

Jakarta: Erlangga

7. Khurana AK. Khurana . 2005. Anatomy and Physiology of Eye. India : CBS

Publishers & Distributros

8. Kuswandari, Yulianti. 2015. Slide Share (Kelainan Refraksi). Surabaya: FK UWKS

9. Marieb, E.N. & Hoehn, K. 2007. Human Anatomy and Physiology Edisi ke Tujuh.

San Francisco: Pearson

10. Nurwasis, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata.

Surabaya: FK Universitas Airlangga.

11. Pambudy, I. & Irawaati, Yunia. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke Enam

(Oftalmologi: Kelainan Refraksi). Jakarta Pusat: Media Aesculapius

12. Riordan-Eva, P., dan Whitcher, J.P. 2014. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum

Edesi ke Tujuh Belas. Jakarta: EGC

13. Resnikoff, dkk. 2004. Global Magnitude of Visual Impairment Caused by

Uncorrected Refractive Errors in 2004. Bulletin World Health Organisation. Diambil

dari http://search.ebscohost.com
14. Renstranas, PGPK. 2005. Materi Rencana Strategi Nasional Penangulangan

Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Diambil tanggal tanggal 30 September 2016,

dari http://www.vision2020australia.org.au/

assetscontent/2168/Indonesia%20%20National20StrategicPlan.pdf

15. Tsan, R. 2010. World Sight Day dan Vision 2020 di Indonesia. Diambil tanggal 26

September 2016, dari http://health.kompas.com/indexphp/read/2010/10/19/

World.Sight.Daydan Vision.2020.di.Indonesia-12

16. Thulasiraj, dkk. 2001. Vision 2020: The Global Initiative for Right to Sight. Diambil

tanggal 26 September 2016, dari http://laico.org/v2020resource /files/vision2020_jul-

sep01.pdf

Anda mungkin juga menyukai