Hipo Neo
Hipo Neo
Disusun Oleh :
Ichwan Zuanto
107103003842
Pembimbing :
JAKARTA
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
KATA PENGANTAR
Penyusun,
Ichwan Zuanto (107103003842)
iv
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
II.1. Definisi dan Klasifikasi ..………………………….….................... 3
II.1.1. Definisi ……………………………………………………. 3
II.1.2. Klasifikasi …………………………………………………. 5
II.2. Epidemiologi .………………..…………………………………… 7
II.3. Morbiditas dan Mortalitas ………………………………………... 9
II.4. Etiologi …….................................................................................... 10
II.5. Patofisiologi ……………………………………………………… 14
II.6. Manifestasi Klinis ………………………………………………... 18
II.7. Penegakan Diagnosis …………………………………………….. 18
II.7.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik ………………………... 20
II.7.2. Pemeriksaan Laboratorium ……………………………….. 20
II.7.3. Pencitraan …………………………………………………. 22
II.8. Penatalaksanaan ………………………………………………….. 22
II.9. Prognosis ……………..…………………………………………... 25
BAB III. KESIMPULAN ………………...................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
kadar glukosa darah rendah, sel-sel dalam tubuh terutama otak, tidak menerima cukup glukosa
dan akibatnya tidak dapat menghasilkan cukup energi untuk metabolisme. Sel-sel otak dan saraf
dapat rusak dan menyebabkan palsi serebral, retardasi mental, dan lain-lain6. Hipoglikemia pada
manifestasi klinisnya yang ekstrim selain dapat mengarah pada terjadinya sekuele yang
permanen juga dapat menyebabkan kematian7.
Penyebab hipoglikemia seringkali sangat kompleks4. Hipoglikemia terjadi pada beberapa
macam kondisi neonatus antara lain prematuritas, retardasi pertumbuhan, dan diabetes
gestasional5. Hipoglikemia dapat berdiri sendiri atau disertai oleh kelainan endokrin misalnya
diabetes melitus1. Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut yang paling sering terjadi
pada diabetes tipe I7. Penyebab hipoglikemia pada neonatus sedikit berbeda daripada bayi dan
anak-anak. Hiperinsulinisme atau persistent hyperinsulinemic hypoglycemia of infancy (PHHI),
adalah penyebab tersering dari hipoglikemia pada 3 bulan pertama kehidupan (ini biasa terjadi
pada bayi dengan ibu yang menderita diabetes). Penyebab lainnya mencakup sepsis, syok, inborn
error of metabolism, defisiensi hormon, puasa, kelaparan,dan lain-lain8.
Oleh karena hipoglikemia mungkin saja asimptomatik, pemeriksaan yang rutin terhadap
kondisi ini pada situasi yang berisiko tinggi direkomendasikan5. Penilaian yang teliti terhadap
catatan glukosa darah akan membantu prognosis untuk kejadian hipoglikemia setidaknya sekitar
50 persen7.
Pemberian ASI dengan supervisi dapat saja menjadi salah satu pilihan terapi pada
hipoglikemia yang asimptomatik. Akan tetapi, hipoglikemia simptomatik harus selalu diterapi
dengan preparat dextrose parenteral5.
Pada neonatus, prognosis tergantung dari berat, lama, adanya gejala-gejala klinik dan
kelainan patologik yang menyertainya, demikian pula etiologi, diagnosis dini dan pengobatan
yang adekuat6.
Dalam referat ini dibicarakan mengenai masalah hipoglikemia pada bayi dan anak,
beberapa penyebabnya, evaluasi dan pengobatannya, serta prognosis sesuai dengan morbiditas
dan mortalitasnya sehingga dapat memberikan sumbangan pada pendekatan klinis untuk
penatalaksanaan hipoglikemia pada bayi dan anak.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
prematur maupun genap bulan yang diberikan minum susu seawal mungkin sangat jarang kadar
gula darahnya kurang dari 40 mg/dL4.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli dapat dikemukakan angka-angka nilai kadar
glukosa darah/plasma atau serum untuk diagnosis hipoglikemia pada berbagai kelompok anak
seperti terlihat pada tabel 11.
Berdasarkan tabel di atas, sebagai batasan hipoglikemia pada bayi aterm dengan berat
badan 2500 gram atau lebih, kadar glukosa plasma darah lebih rendah dari 30 mg/dl dalam 72
jam pertama dan 40 g/dl pada hari berikutnya, sedangkan pada berat badan lahir rendah di bawah
25 mg/dl1,9.
Banyak penulis menganjurkan kriteria hipoglikemia untuk bayi dan anak bila kadar gula
darah kurang dari 40 mg/dL, beberapa penulis dengan kriteria yang lebih tinggi, 47 mg/dL.
Sehingga pendekatan yang aman pada bayi dan anak dengan kadar glukosa kurang dari 50
mg/dL harus dipantau dengan baik, bila kadar glukosa kurang dari 40 mg/dL, maka harus
dimulai tindakan untuk menegakkan diagnosis dan mulai diberikan terapi. Bila pengukuran kadar
glukosa digunakan glukometer, maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan yang lebih akurat,
karena kadar glukosa pada whole blood lebih rendah 15% bila dibandingkan kadar dalam serum
atau plasma4.
Pada neonatus, tidak selalu terdapat korelasi yang jelas antara konsentrasi glukosa darah
dan manifestasi klinis klasik dari hipoglikemia. Tidak adanya gejala bukan mengindikasikan
bahwa konsentrasi glukosa normal dan bukan berarti pula nilainya kurang dari nilai optimal yang
diperlukan untuk mempertahankan metabolisme energi di otak. Terdapat bukti bahwa
hipoksemia dan iskemia dapat meningkatkan potensi hipoglikemia dalam kerusakan otak yang
9
permanen. Karena kekhawatiran terhadap kemungkinan sekuele neurologik, intelektual, atau
psikologis pada tahun-tahun berikutnya, banyak praktisi/klinisi yang menetapkan nilai glukosa
darah kurang dari 50 mg/dL pada neonatus harus dicurigai dan ditatalaksana dengan agresif.
Nilai ini dapat diterapkan setelah 2-3 jam pasca kelahiran, ketika glukosa secara fisiologis
mencapai titik nadir. Untuk selanjutnya, tingkat glukosa mulai meningkat dan mencapai nilai 50
mg/dL atau lebih setelah 12-24 jam. Pada bayi yang lebih besar dan anak-anak, konsentrasi
glukosa whole blood kurang dari 50 mg/dL (10-15% lebih tinggi pada serum/plasma)
menunjukkan kondisi hipoglikemia10.
Di samping itu, belum ada kesepakatan mengenai definisi hipoglikemia pada anak
dengan diabetes. Namun demikian, nilai glukosa darah kurang dari 3,3 – 3,9 mmol/L (60 – 70
mg/dL) dianggap dapat menempatkan seorang individu berisiko mengalami hipoglikemia berat
oleh karena glukosa darah pada rentang ini berhubungan dengan gangguan pada mekanisme
umpan balik hormon yang esensial untuk menekan kondisi hipoglikemia. Untuk kepentingan
klinis, nilai kurang dari 3,6 mmol/L (65 mg/dL) seringkali dipakai sebagai nilai untuk
menggambarkan kondisi hipoglikemia pada anak. Namun, American Association (ADA) Working
Group, merekomendasikan nilai 3,9 mmol/L (70 mg/dL) sebagai nilai batas pada semua
kelompok usia untuk tujuan penelitian dalam mengevaluasi terapi yang dilakukan dalam
manajemen hipoglikemia. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mencegah hipoglikemia dan
mempertahankan konsistensi dalam pelaporan kasusnya, nilai 3,9 mmol/L (70 mg/dL)
merupakan nilai yang direkomendasikan sebagai batas minimum glukosa darah bagi anak-anak
dan dewasa dengan diabetes yang tergantung insulin7.
Kadar glukosa plasma pada bayi, anak, dan dewasa normalnya 70 – 100 mg/dL,
ditemukan tanda hipoglikemia neurofisiologik pada kadar 50 – 70 mg/dL, definisi hipoglikemia
berat bila kadar kurang dari 40 mg/dL, dan terapi berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60
mg/dL4.
II.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan patofisiologi dapat dikelompokkan dalam 4 golongan anak dengan risiko
terjadinya hipoglikemia. (1) bayi dari ibu diabetes atau diabetes waktu hamil, dan bayi dengan
eritroblastosis fetalis berat; bayi demikian cenderung menderita hiperinsulinisme. (2) bayi berat
badan lahir rendah yang mungkin mengalami malnutrisi intrauterin; pada golongan ini dapat
10
terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak tubuh; BBLR yang termasuk rawan adalah
bayi kecil menurut kehamilan, salah satu bayi kembar yang lebih kecil (berat badan berbeda 25%
atau lebih, berat badan lahir kurang dari 2000 g), bayi yang menderita polisitemia, bayi dari ibu
toksemia, dan bayi dengan plasenta yang abnormal. Faktor lain yang menyebabkan hipoglikemia
pada golongan ini adalah respon insulin yang abnormal, glikoneogenesis yang terganggu, asam
lemak bebas yang rendah, rasio berat otak: hati yang meningkat, kecepatan produksi kortisol
yang rendah, mungkin kadar insulin yang meningkat, serta respon keluaran epinefrin yang
menurun. (3) bayi sangat kecil atau sakit berat yang mengalami hipoglikemia karena
meningkatnya kebutuhan metabolisme yang melebihi cadangan kalori, dan bayi berat badan lahir
rendah dengan sindrom gawat napas, asfiksia perinatal, polisitemia, hipotermia dengan infeksi
sistemik, dan kelainan jantung bawaan sianotik yang menderita gagal jantung. Penghentian
mendadak infus glukosa terutama yang hipertonik dapat menimbulkan hipoglikemia. (4) bayi
dengan kelainan genetik atau gangguan metabolik primer (jarang terjadi) seperti galaktosemia,
penyakit cadangan glikogen, intoleransi fruktosa, asidemia propionik, asidemia metilmalonik,
tirosinemia, penyakit sirup mapel, sensitivitas terhadap leusin, insulinoma, nesidioblastosis sel
beta, hiperplasia sel beta fungsional, panhipopituitarisme, sindrom Beckwith, dan bayi raksasa9.
Hipoglikemia dapat dibagi menurut usia yaitu hipoglikemia neonatus dan hipoglikemia
pada balita atau anak yang lebih besar2.
Hipoglikemia pada neonatus
1. Bersifat sementara.
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir, misalnya karena masukan glukosa yang kurang
(starvasi, kelaparan), hipotermia, syok, dan pada bayi dari ibu diabetes.
2. Bersifat menentap atau berulang.
Terjadi akibat defisiensi hormon, hiperinsulinisme, serta kelainan metabolisme
karbohidrat dan asam amino, gangguan metabolisme yang bersifat herditer (misalnya, glycogen
storage diseases, disorders of gluconeogenesis, fatty acid oxidation disorders).
Hipoglikemia pada balita atau anak yang lebih besar
Hipoglikemia dapat terjadi karena akibat starvasi terutama bila cadangan glikogen
rendah, pre diabetes, obat-obatan misalnya insulin pada pasien diabetes mellitus tipe 1, penyakit
sistemik berat, dan pada gangguan endokrin dan metabolisme.
11
Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia Pada Bayi dan Anak2,4
II.2. Epidemiologi
Frekuensi hipoglikemia pada bayi/anak belum diketahui pasti. Di Amerika dilaporkan
sekitar 14000 bayi menderita Hipoglikemia. Gutberlet dan Cornblath melaporkan frekuensi
hipoglikemia 4,4 per 1000 kelahiran hidup dan 15,5 per 1000 BBLR. Hanya 200 – 240 penderita
hipoglikemia persisten maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk rumah sakit. Angka ini
berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 2 – 3 per 1000 anak yang masuk
rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat berjumlah 80.000 pertahun1. Sedangkan di Indonesia
masih belum ada data4.
Perkiraan insidensi hipoglikemia pada neonatus bergantung pada definisi operasional dan
metode pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan. Insidens secara umum diperkirakan antara 1-
5 per 1000 kelahiran hidup, namun angka tersebut meningkat pada populasi dengan risiko tinggi.
12
Sebagai contoh, sebesar delapan persen dari bayi besar masa kehamilan (umumnya bayi dari ibu
dengan diabetes) dan lima belas persen dari bayi prematur serta bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterin dilaporkan mengalami hipoglikemia. Angka kejadian baru dari total
seluruh total populasi bayi dengan risiko tinggi sebesar 30%3.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus yang lahir pada kurang dari 37 minggu
dan lebih dari 40 minggu usia kehamilan, dengan tingkat kejadian 2,4% pada neonatus lahir
pada 37 minggu usia kehamilan, 0,7% pada neonatus lahir pada 38-40 minggu dari usia
kehamilan. Selain itu, 1,6% dan 1,8% pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan 41 dan 42
minggu10.
Insiden dari hipoglikemia simptomatik pada neonatus bervariasi dari 1.3-3/1000
kelahiran. Prematur, hipotermia, hipoksia, ibu yang menderita diabetes/gestasional diabetes
(1:1000 wanita hamil menderita diabetes insulin-dependen dan gestasional diabetes muncul pada
2% wanita hamil), dan pertumbuhan janin terhambat meningkatkan insidens hipoglikemia.
13
II.3. Morbiditas dan Mortalitas
Hipoglikemia, merupakan suatu keadaan kegawatan pada anak, walaupun banyak studi
menunjukkan jaringan otak dapat melepaskan substrat selain glukosa, khususnya pada periode
baru lahir dan pada saat puasa, namun tidak ada satupun substrat yang berhasil memperbaiki
sekuele neurofisiologik akibat kurangnya glukosa pada sistem saraf pusat. Efek neurologik ini
menetap dan berhubungan dengan lamanya jaringan otak kekurangan glukosa, sehingga
diagnosis dan pengobatan dini sangat penting2.
Gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan hipoglikemia neonatal yaitu dilaporkan
dua dari delapan neonatus dengan hipoglikemia simptomatis berat menjadi spastik dan retardasi
mental. Dilaporkan dalam penelitian jangka panjang, 35 persen hipoglikemia simptomatik dan
20 persen hipoglikemia asimptomatik pada bayi baru lahir meninggalkan gejala sisa. Singh, dkk
(1991) dalam penelitiannya pada 107 bayi, menekankan bahwa hipoglikemia simptomatik
cenderung meninggalkan sisa dibanding asimptomatik. Koivisto, dkk (1972) dalam penelitiannya
pada 151 bayi yang diperiksa pada usia satu tahun dan empat tahun, mendapatkan bayi yang
hipoglikemia asimptomatik dan euglikemia tidak ada perbedaan yang bermakna pada keluaran
neurologiknya, namun pada yang hipoglikemia simptomatik apalagi yang disertai kejang,
insidens kelainan neurologiknya 50%. Pildes RS, dkk (1974) dalam penelitiannya mendapatkan
hipoglikemia masa neonatus setelah usia 5-7 tahun, tinggi badan dan berat badan tidak berbeda
dengan kontrol, namun lingkar kepala lebih kecil dibandingkan dengan kontrol. Pada
pemeriksaan EEG tidak didapatkan perbedaan bermakna dengan kontrol, namun didapatkan
kelainan neurologik yang bermakna dibanding kontrol. Penelitian Caraballo RH, dkk (2004)
selama 13 tahun, mendapatkan 15 pasien hipoglikemi neonatal, 12 tahun (80%) didapatkan
kejang fokal dan kelainan pada EEG yang dapat diatasi dengan baik, sisanya dengan kejang
refrakter, 13 pasien (87%) pada pencitraan neuroradiologik didapatkan lesi parieto-oksipital.
Pada bayi dan anak dengan hipoglikemia asimptomatik didapatkan defek neurokognitif, antara
lain gangguan pendengaran dan respon “sensory evoke” dan gagalnya tes kinerja. Konsekuensi
jangka panjang antara lain: ukuran kepala kecil, IQ rendah, dan pada pemeriksaan MRI terlihat
kelainan spesifik2.
Karena banyaknya etiologi hipoglikemia yang mempunyai konsekuensi sama, maka
untuk menetapkan penyebab sekuele sangat sulit. Penelitian di Kenya oleh Osier, dkk (2003),
14
kematian karena hipoglikemia pada non neonatus 20,2% sebagian besar karena penyakit berat
dan malnutrisi, pada neonatus kematian karena hipoglikemia 45,2%. Wysocki T, dkk (2003)
meneliti 142 pasien diabetes tipe I pada anak sekolah berusia antara 6 – 15 tahun, 41% dengan
episode hipoglikemia berat dengan kejang dan koma, setelah 18 bulan terdapat penurunan IQ
dibanding kontrol. Wintergerst, KA (2006) dalam penelitiannya di rumah sakit anak Packard
Universitas Stanford selama satu tahun mendapatkan kematian di PICU yang berhubungan
dengan hipoglikemia 68%. Penelitian Melis D, dkk (2004) pada pasien glikogen storage disease
tipe I, yang terjadi hipoglikemia berat berulang, terjadi kerusakan otak yang bermakna, dengan
hasil tes IQ rendah, kelainan gambaran EEG, visual, somatosensorik, dan pendengarannya yang
berhubungan dengan seringnya masuk rumah sakit karena hipoglikemia2.
II.4. Etiologi
Secara garis besar, etiologi hipoglikemia dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan
yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan dan produksi glukosa kurang.
Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan
1. Hiperinsulinisme (bayi dari ibu penderita diabetes, hipoglikemia hiperinsulinisme
menetap pada bayi, tumor yang memproduksi insulin dan child abuse). Hiperinsulinisme
menyebabkan pemakaian glukosa yang berlebihan terutama akibat rangsang ambilan
glukosa oleh otot. Pada bayi, hiperinsulinemia dapat terjadi karena defek genetik yang
menyebabkan aktivasi reseptor sulfonylurea akibat sekresi insulin yang menetap.
Kelainan ini diketahui sebagai hipoglikemia hiperinsulin endogen menetap pada bayi
yang sebelumnya disebut sebagai nesidioblastosis. Bayi dari penderita diabetes juga
mempunyai kadar insulin yang tinggi setelah lahir karena tingginya paparan glukosa in
utero akibat jeleknya kontrol glukosa selama kehamilan, hal ini yang menyebabkan
hiperinsulinemia pada bayi. Pada anak, hiperinsulinemia jarang terjadi, penyebabnya
tumor yang memproduksi insulin. Penggunaan insulin eksogen atau pemberian obat yang
menyebabkan hipoglikemia kadang dapat terjadi karena kecelakaan atau salah
penggunaan, sehingga hal ini pada anak harus dipertimbangkan.
Ditemukan sebanyak 50% dari semua kasus hipoglikemia pada bayi. Diagnosis
hipoglikemia dicurigai bila serangan cenderung berulang. Diagnosis hiperinsulinisme
ditegakkan bila didapatkan suatu keadaan hipoglikemia yang disertau kadar insulin yang
15
tinggi. Pada keadaan normal, penurunan kadar gula darah disertai dengan penurunan
kadar insulin yang sesuai. Kadar insulin >10 µU/ml pada keadaan hipoglikemia adalah
abnormal, bahkan pada beberapa kasus kadar yang lebih kecil mungkin tidak sesuai
dengan keadaan hipoglikemia yang ada dan menunjukan adanya sekresi otonom.
Banyak pasien yang pada saat bayi dikenal mengalami hipoglikemia idiopatik ternyata
mengalami hiperinsulinisme. Hiperinsulinisme sebagai penyebab hipoglikemia berat,
pada umumnya muncul pada bayi baru lahir sampai usia 3 bulan. Adanya
hiperinsulinisme, hipoglikemia simptomatik timbul setelah puasa 36 jam dan disertai
dengan rendahnya kadar beta-hidroksibutirat (benda-benda keton), FFA dan
hiperinsulinemia relatif (> 12 mikro unit/ml). Respons hiperglikemia terhadap glukagon
meningkat. Uji toleransi tolbutamid memberikan hasil reaksi yang hebat.
Hiperinsulinisme, ada dua .(3) :
a. Hiperinsulinisme neonatal transien
Hiperinsulinisme sering didapatkan pada neonatus. Hal ini mungkin merupakan
gambaran dari imaturitas regulasi sekresi insulin. Keadaan ini dapat terjadi pada bayi
sakit, tetapi lebih jelas pada bayi yang asfiksia waktu lahir dan bayi-bayi kecil untuk
masa kehamilan karena cadangan glikogennya lebih terbatas. Walaupun hiperinsulin ini
hanya berlangsung sementara, namun penanganan yang cepat dan tepat harus segera
diberikan agar tidak menimbulkan cacat otak yang menetap. Masalah ini sering terjadi
sehingga pemantauan kadar glukosa darah pada jam-jam pertama harus selalu dilakukan
untuk semua bayi dengan resiko.
Pemberian minum harus segera dimulai, bila perlu dengan glukosa intravena.
Pada saat pemulihan, pemberian glukosa intravena dikurangi secara bertahap. Walaupun
jarang, perlu diketahui hiperinsulinisme persisten yang memerlukan penanganan yang
intensif.
b. Hiperinsulinisme persisten
Hiperinsulinisme persisten pada umumnya disebabkan oleh adanya defek dalam
perkembangan sel beta yang menyebabkan timbulnya gangguan fungsi dan abnormalitas
struktur insulin.
16
2. Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs, defek respiratory chain). Kelainan ini
sangat jarang, mengganggu pembentukan ATP dari oksidasi glukosa, disini kadar laktat
sangat tinggi.
3. Defek pada produksi energi alternative (defisiensi carnitine acyl transferase, defisiensi
HMG CoA, defisiensi rantai panjang dan medium acyl-CoA dehydrogenase, defisiensi
rantai pendek acyl-CoA dehyrogenase). Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak
sebagai energi, sehingga tubuh sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan
menyebabkan masalah bila puasa dalam jangka lama yang seringkali berhubungan
dengan penyakit gastrointestinal.
4. Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk hipertiroidisme.
17
Beberapa bayi memperlihatkan gejala hipoglikemia berat, asidosis, sedangkan yang
lainnya dengan gejala gangguan pertumbuhan terutama pada bayi dan anak kecil. Adanya
hepatomegali yang hebat menjadi penting untuk diagnostik, selain itu terjadi pembesaran
ginjal. Bayi dan anak terlihat pendek yang disertai hipotoni. Meningkatnya jaringan
lemak pada muka dan ekstremitas memberikan gambaran anak tersebut seolah-olah gizi
baik.
Pada bayi baru lahir, penyebab hipoglikemia persisten atau berulang bisa didapat
melalui anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan temuan laboratorium.
Hipoglikemia yang berhubungan dengan intake makanan bisa dicurigai adanya kelainan
pada salah satu glukoneogenesis. Apabila gejala terjadi ≥ 6 jam setelah makan dan
apabila gejala terjadi segera setelah makan, kemungkinan adalah adanya galaktosemia
atau intoleransi fruktosa, terdapatnya substansi yang tereduksi pada urin berulang kali
memperkuat diagnosis ini.
18
4. Toksin dan penyakit lain (etanol, salisilat, propanolol, malaria). Etanol menghambat
glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat menyebabkan hipoglikemia. Hal ini
khususnya pada pasien dengan diabetes yang diobati insulin yang tidak dapat mengurangi
sekresi insulin sebagai respon bila terjadi hipoglikemia. Intoksikasi salisilat dapat
menyebabkan hipoglikemia ataupun hiperglikemia. Hipoglikemia karena bertambahnya
sekresi insulin dan hambatan pada glukoneogenesis.
II.5. Patofisiologi
Sebenarnya, pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat
dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil adalah dari penelitian binatang
percobaan. Walaupun demikian pada anak dan dewasa mempunyai substrat dan pengaturan
metabolisme hormonal yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda.
Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak akan terjadi
glukoneogenesis dan ketogenesis.
Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah: glukosa, asam
amino, dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang dibutuhkan. Glukosa ibu masuk
melalui plasenta ke janin dengan difusi karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan
plasma janin, kadar glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke
janin dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang dibutuhkan janin dengan
kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan kecepatan produksi glukosa endogen setelah
lahir. Sistem enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam
hepar janin namun tidak aktif, kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan. Pada
hewan aktivitas enzim untuk glukoneogenesis sangat penting, pada janin manusia tidak ada atau
bila ada sangat rendah dan tidak meningkat sampai periode perinatal yang akan mencapai kadar
dewasa hanya dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk
mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi glukosa oleh janin manusia,
namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis telah dibuktikan ada dalam beberapa jam
setelah lahir, kecuali pada bayi yang prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan
sintesis glikogen sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.
Hanya pada anak dengan penyakit glycogen storage, dalam 3-4 minggu terakhir kehamilan,
terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai kadar saat lahir.
19
Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar glukosa vena ibu. Pada
bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam pertama setelah lahir, kadar glukosa
darahnya tidak pernah di bawah 40 mg/dL, pada usia 4-6 jam berkisar antara 45-80 mg/dL.
Kadar glukosa dipertahankan segera setelah lahir dengan pemecahan glikogen hepar
(glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glucagon, difasilitasi oleh turunnya kadar insulin.
Namun dalam waktu 8-12 jam pertama glikogen berkurang, setelah itu kadar glukosa
dipertahankan oleh sintesis glukosa dari laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah
mendapat makanan dan masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi.
Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau meningkatnya konsumsi
glukosa. Karena euglikemia pada mulanya tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis,
bayi yang kekurangan substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia.
Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap dipertahankan dalam rentang yang
sempit, antara 60-100 mg/dL. Setelah makan maka kadar glukosa akan meningkat sementara
antara 120-140 mg/dL, setelah itu kembali ke kadar semula biasanya sekitar 2 jam setelah
absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon merupakan dua hormon yang sangat penting
dalam sistem umpan balik glukosa, bila gula darah meningkat setelah makan, maka sekresi
insulin meningkat dan merangsang hepar untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel
(khususnya hepar dan otot) kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai lemak.
Bila kadar glukosa turun, fungsi sekresi glukagon adalah meningkatkan kadar glukosa dengan
merangsang hepar untuk melakukan glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam
darah. Pada keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar glukosa melalui glukoneogenesis.
20
Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan gliserol yang
merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan glikogen dan memecah protein otot
menjadi asam amino yang merupakan substrat untuk glikoneogenesis dalam hepar. Asam lemak
dalam sirkulasi di katabolisme menjadi keton, asetoasetat dan beta hidroksi butirat yang dapat
digunakan sebagai pembantu bahan bakar untuk sebagian besar jaringan, termasuk otak.
Hipotalamus merangsang sistem saraf simpatis dan epinefrin yang disekresi oleh adrenal
menyebabkan pelepasan glukosa oleh hepar. Bila hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa
jam atau hari, maka hormone pertumbuhan dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan
glukosa oleh sebagian besar sel tubuh. Insulin merupakan hormone pengatur utama, bila tidak
bekerja atau kurang maka terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi insulin mempertahankan
euglikemia post absorbsi. Pada orang normal bila dibuat hipoglikemia dengan diberikan insulin,
maka pertama kali hepar yang berperan secara fisiologis terjadi respon untuk mengatasi
hipoglikemia dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan sebagai glikogen dari sel hepatosit
dan merubah laktat, gliserol, dan asam amino menjadi glukosa (glikoneogenesis), bila kadar
glukosa darah tetap tidak mencukupi maka tubuh meningkatkan kadar glukagon, epinefrin,
hormon pertumbuhan, dan kortisol. Glukagon yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila
gagal, maka yang kedua adalah epinefrin, bila glukagon dapat mengatasi hipoglikemia, maka
epinefrin tidak diperlukan, namun bila tidak ada glukagon maka epinefrin memegang peranan
penting. Hormon pertumbuhan dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya lebih lambat.
Otak merupakan organ target khusus yang menggunakan glukosa dan atau keton sebagai sumber
energi utama. Namun pada kenyataan glukosa merupakan sumber energi tunggal, pada organ ini
masuknya glukosa ke dalam sel diperantarai oleh “glut3 transporter” yang mempertahankan
suplai glukosa yang tetap pada sel otak sampai kadar glukosa sangat rendah. Sehingga untuk
mempertahankan kadar gula darah normal tergantung pada: 1. sistem endokrin yang normal
untuk integrasi dan modulasi mobilisasi substrat, interkonversi dan utilisasi. 2. Enzim untuk
glikogenolisis, sintesis glikogen, glikolisis, glukoneogenesis, dan utilisasi bahan bakar metabolik
lain dan penyimpanan yang berfungsi baik. 3. Suplai lemak endogen, glikogen, dan substrat
glukoneogenik potensial (asam amino, gliserol, dan laktat) yang adekuat. Orang dewasa normal
mampu mempertahankan kadar gula darah normal atau mendekati normal, kira-kira sampai
seminggu, bahkan bila obesitas dapat sampai sebulan. Sebaliknya pada neonatus dan anak sehat,
tidak dapat mempertahankan kadar gula darah normal bila dipuasakan dalam jangka pendek (24-
21
36 jam), setelah itu terjadi penurunan kadar glukosa plasma yang progresif sampai ke kadar
hipoglikemia. Kelainan sekresi hormone, interkonversi substrat dan mobilisasi bahan bakar
metabolik menyebabkan kelainan produksi dan utilisasi glukosa yang berakibat hipoglikemia
pada anak.
Dalam keadaan normal tubuh mengatasi hipoglikemia dengan menurunkan sekresi
insulin dan meningkatkan sekresi glukosa, epinefrin, hormone pertumbuhan, dan kortisol.
Perubahan hormonal tersebut dikombinasi dengan meningkatnya keluaran glukosa hepar, bahan
bakar alternative yang ada dan penggunaan glukosa menurun. Respon pertama kali yang terjadi
adalah peningkatan produksi glukosa dari hepar dengan pelepasan cadangan glikogen hepar
disertai penurunan insulin dan peningkatan glukagon. Bila cadangan glikogen habis maka terjadi
peningkatan kerusakan protein karena kortisol meningkat, glukoneogenesis hepar diganti dengan
glikogenolisis sebagai sumber produksi utama glukosa. Kerusakan protein tersebut digambarkan
dengan meningkatnya kadar asam amino glukonegenik, alanin, dan glutamine dalam plasma.
Penurunan kadar glukosa perifer pada keadaan awal menurunkan kadar insulin, yang kemudian
diikuti peningkatan kadar epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Ketiga kejadian di atas,
meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam plasma, yang dapat digunakan sebagai
bahan bakar alternative tubuh dan menghambat penggunaan glukosa. Kenaikan keton urin dan
plasma menunjukkan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Asam lemak bebas plasma juga
merangsang produksi glukosa.
22
Hipoglikemia terjadi bila satu atau lebih mekanisme keseimbangan di atas gagal, atau
penggunaan glukosa yang berlebihan seperti pada hiperinsulinisme, atau produksi yang kurang
seperti pada penyakit glycogen storage, atau kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan atau
kortisol.
23
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi.
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia asimtomatik lebih sulit, walaupun juga sebagai
penyebab kerusakan otak. Dengan teknik pemeriksaan mikro untuk mengukur kadar hormon dan
substrat dalam plasma, maka menjadi mungkin untuk memperluas definisi dan pengembangan
protokol hipoglikemia dan mencari mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula
darah. Jadi yang diukur adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia antara
lain epinefrin, hormon pertumbuhan, kortisol, dan glukagon, bersama dengan substrat antara lain
asam lemak bebas, gliserol, dan badan keton.
Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat mengarahkan pada
inborn error of metabolism seperti galaktosemia, penyakit maple syrup urine dan intoleransi
fruktosa. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong kea rah hiperinsulinisme. Kolestasis dan
mikropenis pada hipopituitarisme. Hepatomegali seringkali terjadi pada glycogen storage
disease.
24
II.7.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa, penurunan gula darah kurang
dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin
yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah, gelisah, keringat dingin, gemetar, dan takikardi.
Gejala adrenergik cenderung terjadi pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada
hipoglikemia karena kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan gejala
neuroglikopenia. Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu:
berasal dari sistem saraf otonom dan berhubungan dengan kurangnya suplai glukosa pada otak
(neuroglikopenia). Gejala akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat, gemetar, gelisah,
dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala,
dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk, dan
lemah. Pada neonatus tidak spesifik antara lain tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia,
sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat, dan pucat. Namun hal ini juga
dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, misalnya kelainan bawaan pada susunan saraf
pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi akibat
hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress pernapasan, asfiksia,
anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimtomatik
misalnya pada glycogen storage disease tipe I.
25
Skrining hipoglikemia tidak direkomendasikan pada bayi aterm yang sesuai dengan masa
kehamilan dan sedang menyusu ASI. Namun, bayi aterm dengan intake sulit, terdapat tanda-
tanda laktasi yang inadekuat atau tanda-tanda hipotermia harus dilakukan pemeriksaan
hipoglikemia3.
Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain pengukuran glukosa
oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran glukosa dengan cara strip
reagen walaupun digunakan secara umum, akan tetapi tidak akurat khususnya pada saat level
glukosa darah kurang dari 40-50 mg/dL. Pengukuran dengan cara ini berguna untuk tujuan
skrining, namun jika nilainya rendah harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium
sebelum diagnosis hipoglikemia ditegakkan3.
Metode lainnya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini merupakan
metode yang paling akurat. Dalam pemeriksaan laboratorium, glukosa darah diukur dengan cara
kalorimetrik atau dengan cara elektroda (glucose electrode method)3.
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat penting untuk
menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah pertama yang diambil pada
saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi
butirat, asam laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk melihat
anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal
hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam amino (kuantitatif).
Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimtomatik, maka
dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka pasien dipuasakan dan
dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada indikasi puasa dapat diperpanjang.
Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap, dipasang akses intravena dan diberikan heparin pada
jalur intravenanya untuk pengambilan sampel darah dan bila perlu untuk pemberian dextrose
25% bila timbul gejala hipoglikemia. Diambil plasma darah secara sekuensial untuk pemeriksaan
glukosa plasma, beta hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16, dan 20, kemudian diberikan
glukagon 30-100 pg/kgBB intramuskuler. Sampel diambil setiap jam sampai pemeriksaan
berakhir. Sampel pertama dan terakhir harus diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol.
Bila dicurigai defek pada enzim tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam organik
plasma dan atau urin.
26
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes toleransi leucine
untuk menemukan diet dikemudian hari dilakukan setelah pasien euglikemi, tes toleransi
tolbutamide nilainya kurang untuk menemukan adenoma pankreas, pemeriksaan fungsi adrenal.
II.7.3. Pencitraan
Pada persisten hipoglikemi hiperinsulinisme, maka dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, CT Scan, dan MRI untuk membantu dalam membedakan bentuk fokal dan difus. Bila
dicurigai hipopituitarisme, tumor pada hipofisis atau hipotalamus, atau mungkin ada kelainan
bawaan, maka dilakukan MRI kepala. Bilamana pemeriksaan non-invasif tidak berhasil maka
dapat dilakukan pemeriksaan invasif dengan endoskopi ultrasonik, namun hasilnya bergantung
pada operatornya. Bila masih belum berhasil untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan
transhepatic venous sampling.
II.8. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin mengembalikan kadar
gula darah kembali normal, menghindari hipoglikemia berulang sampai homeostasis glukosa
normal dan mengkoreksi penyakit yang mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus
diketahui status klinis dan penyebab hipoglikemia.
Medikamentosa
Bila pasien tidak ada kelainan neurologik yang mengganggu proses menelan,
hipoglikemia simtomatik diberikan karbohidrat oral dengan hasil yang memuaskan dan tidak ada
perbedaan bermakna dengan yang diberikan dextrose intravena. Bila tidak dicurigai intoleransi
fruktosa herediter dapat diberikan sari jeruk ditambah sukrosa (dua sendok the setiap gelas)
biasanya efektif. Bila perlu dapat diberikan dextrose 15-20% intravena secara cepat, dengan
dosis 0,25-0,5 gram/kgBB. Karena dapat terjadi rebound hipoglikemia maka harus dilakukan
pemberian rumatan dextrose 4-6 mg/kgBB/menit sampai pasien stabil euglikemia.
Pada neonatus, bila hipoglikemia terjadi pada bayi aterm simtomatik, berikan larutan
glukosa atau susu formula, bila memungkinkan minum ASI, bila tidak dapat minum jangan
berikan dengan pipa nasogastrik, berikan akses intravena. Terapi pertama yang dianjurkan adalah
pemberian infuse glukosa intravena 1 gram/kgBB (glukosa 50% 2 mL/kgBB), diikuti dengan 10
mg/kgBB/menit (glukosa 30%, 50 mL/kgBB/24 jam). Dosis ini merupakan dosis perkiraan
27
sehingga glukosa darah harus dipantau terus menerus paling sedikit selama 24 jam setelah gula
darah stabil, walaupun umumnya hipoglikemia pada bayi baru lahir sebagian besar transient.
Kemudian infus glukosa diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan meningkatnya kemampuan
minum peroral. Bila glukosa dihentikan secara mendadak mungkin dapat terjadi hipoglikemia
berulang. Infus jangka lama dengan glukosa tersebut dapat menyebabkan komplikasi trombosis
dan masukan cairan yang berlebihan, sehingga pemberian cairan juga harus diperhatikan. Bila
dengan terapi diatas tidak berhasil, banyak penulis menganjurkan diberikan hidrokortison 5
mg/kgBB/24 jam dalam dosis terbagi, dapat pula diberikan glukagon secara intramuskuler 50
µg/kgBB setiap 4 jam karena dapat meningkatkan enzim phosphoenolpyruvate carboxykinase.
Bila terjadi hipoglikemia akut, diberikan bolus intravena dextrose 10%, 2,5 mL/kgBB,
diikuti dengan pemberian infus intravena sesuai dengan produksi glukosa hepar. Pada bayi, kira-
kira 5-8 mg/kgBB/menit, pada anak 3-5 mg/kgBB/menit. Dengan cara ini dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma di atas 2,5 mmol/L. Anak dengan hiperinsulinemia
kebutuhannya lebih tinggi. Pengobatan jangka panjang pada anak hipoglikemia bervariasi
tergantung etiologinya.
Hipoglikemia ketotik, kelainan glycogen storage, defek pada metabolisme asam lemak
bebas, dan hiperinsulinisme ringan, hipoglikemia dapat dicegah dengan pemberian makan yang
berkala dengan diet yang dirancang khusus dan dapat diberikan dextrose parenteral yang dapat
memberikan respon cepat bila makan kurang adekuat atau problem gastrointestinal atau penyakit
yang lain. Untuk defisiensi fructose diphosphatase, hindarkan diet yang mengandung fruktosa.
Pendekatan bertahap digunakan dalam penatalaksanaan hipoglikemia pada
hiperinsulinisme. Tahap pertama biasanya dengan pemberian makan yang sering. Tahap
selanjutnya dengan diberikan diazoxide (15-20 mg/kgBB/hari). Octreotide (25-100
µg/kgBB/hari) merupakan obat pilihan kedua. Nifedipine juga dapat digunakan. Pembedahan
direkomendasikan jika pengobatan gagal atau dicurigai adanya tumor yang memproduksi insulin.
Hormon pertumbuhan dan atau kortisol merupakan pengobatan spesifik untuk anak hipoglikemia
dengan hipopituitarisme atau insufisiensi adrenal. Bayi yang lahir prematur dan kecil masa
kehamilan harus diberikan secara intravena atau peroral segera setelah lahir untuk mencegah
hipoglikemia.
Untuk pasien hipoglikemia dan diabetes, pengobatan tergantung dari kesadaran penderita.
Jika pasien dalam keadaan sadar, berikan 15 gram karbohidrat dengan tambahan protein (roti,
28
biskuit, dll) mungkin dapat membantu. Bila kesadaran pasien menurun, maka harus hati-hati
terjadi aspirasi, pengobatan tergantung pada keadaan pasien.
Bila di rumah, glukagon intramuskuler merupakan pengobatan pilihan, keluarga atau
orang terdekat dengan pasien diabetes yang diberikan insulin harus dapat melakukan hal ini. Bila
di rumah sakit, maka diberikan larutan dextrose 25%. Dextrose tidak menyebabkan mual dan
muntah seperti pada pemberian glukagon. Glukagon harus diberikan ketika akses intravena
mengalami kesulitan. Setelah pengobatan hipoglikemia maka perlu diperhatikan diet dan pola
aktivitas untuk menentukan penyebabnya agar tidak terjadi hipoglikemia berulang.
Pengobatan hormonal diberikan untuk terapi pengganti bilamana defisiensi hormonal,
kortisol, hormon pertumbuhan, atau untuk menekan produksi hormon yang berlebihan, yaitu
dengan somatostatin (Octreotide). Octreotide merupakan peptida yang memiliki kerja
farmakologik sama dengan somatostatin yaitu menghambat sekresi insulin. Nifedipine, salah satu
calcium channel blocker, mempunyai efek menurunkan sekresi insulin.
Pembedahan
Pembedahan untuk hiperinsulinisme biasanya dilakukan bilamana terapi medikamentosa
gagal atau bilamana pasien anak dengan kemungkinan tumor yang memproduksi insulin.
Biasanya angka keberhasilan operasi pankreatektomi pada bayi dengan persistent hypoglycemia
hyperinsulinism sekitar 89-95%. Jika dengan operasi tidak berhasil, maka ditambahkan dengan
obat-obatan atau dengan cara pengangkatan pankreas total. Pada anak dengan tumor yang
memproduksi insulin, hanya tumor saja yang diangkat.
Dietetik
Terapi dietetik pada pasien hipoglikemia tergantung pada etiologinya. Pada pasien
dengan penyakit metabolik, hindari bahan spesifik yang dapat menyebabkan hipoglikemia. Pada
pasien dengan hipoglikemia ketotik, penyakit glycogen storage, dan penyakit lain yang tidak
boleh puasa, harus dihindarkan dari puasa dalam jangka waktu yang lama dan disediakan
makanan yang berbasis karbohidrat.
29
Ulang GD tiap 2-4 jam, 15 menit sebelum jadwal minum
berikut, sampai 2 kali berturut-turut normal
Hitung glucose Index rate (GIR) 6-8 mg/kg/menit untuk mencapai gula darah
maksimal, dapat dinaikan sampai 10-15 mg/kg/menit.
Bila dibutuhkan >15 mg/kg/menit, pertimbangkan obat-obatan (glukagon,
kortikosteroid konsul.
Bila ditemukan hasil GD 36 - < 47 mg/dl 2 x berturut-turut, berikan IVFD dekstrose
10% sebagai tambahan asupan per oral
II.9. Prognosis
Prognosis tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit inborn errors of
metabolism dan defisiensi hormonal membutuhkan pengobatan seumur hidup, sebaliknya pada
hipoglikemia ketotik umumnya menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan nutrisi yang
adekuat untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia tergantung pada derajat
penyakit, respon terhadap pengobatan, dan lesinya fokal atau difus. Pada lesi fokal umumnya
dapat diobati dengan pembedahan. Hiperinsulinisme ringan yang memberikan respon dengan
diazoxide membutuhkan pengobatan jangka panjang tetapi anak dapat hidup normal. Pada lesi
difus yang tidak memberikan respon dengan pengobatan, tidak sepenuhnya dapat diobati dengan
pankreatektomi dan akan timbul problem hipoglikemia dan gangguan perkembangan yang
berkelanjutan.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32