Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KEGIATAN

F.2 Upaya Kesehatan Lingkungan

UPAYA PENINGKATAN ANGKA BEBAS JENTIK UNTUK PENCEGAHAN


DEMAM BERDARAH

Disusun Oleh:
dr. Antonius Setyo Wibowo

Pembimbing:
Dr. Galuh Ajeng Hendrasti

Puskesmas Cebongan
Program Internsip Dokter Indonesia Kota Salatiga
Periode Agustus 2018 – November 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM)


F.2 Kesehatan Lingkungan

Topik:
JUMANTIK

Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internsip sekaligus sebagai
bagian dari persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di Puskesmas Cebongan

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal Oktober 2018

Mengetahui,
Dokter Internsip, Dokter Pendamping

dr. Antonius Setyo Wibowo dr. Galuh Ajeng Hendrasti


NIP. 19821014 201001 2 017
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Juru Pemantau Jentik (jumantik) merupakan warga masyarakat setempat yang dilatih untuk
memeriksa keberadaan jentik di tempat-tempat penampungan air. Jumantik merupakan salah
satu bentuk gerakan atau partisipasi aktif dari masyarakat dalam menanggulangi penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang sampai saat ini masih belum dapat diberantas tuntas.
Dengan adanya jumantik yang aktif diharapkan dapat menurunkan angka kasus DBD melalui
kegiatan pemeriksaan jentik yang berulang-ulang, pelaksanaan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), serta penyuluhan kepada masyarakat. Dengan adanya pemberdayaan
masyarakat melalui jumantik, diharapkan masyarakat dapat secara bersama-sama mencegah
dan menanggulangi penyakit DBD secara mandiri yakni dari, oleh, dan untuk masyarakat
(Depkes RI, 2010: 3).

Jumlah penderita penyakit DBD dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan
penyebarannya semakin luas. Berdasarkan data Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
(P2B2), jumlah kasus DBD di Indonesia tahun 2010 ada 150.000 kasus. Pada tahun 2010
jumlah kematian akibat DBD di Indonesia sekitar 1.317 orang. Indonesia menduduki urutan
tertinggi kasus DBD di Association of South East Asian Nations (ASEAN). Potensi penyebaran
DBD di antara negara- 2 negara anggota ASEAN cukup tinggi karena banyak wisatawan keluar
masuk dari satu negara ke negara lain (Kompas, 19 Februari 2011)

B. PERMASALAHAN

Masih banyak orang masih belum memahami bahwa hal terpenting dalam pencegahan demam
berdarah adalah memperhatikan kesehatan lingkungan sekitar yang ada, misalnya dengan
mengendalikan pertumbuhan jentik sampai ke nilai nol.
C. PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Cara yang paling mudah untuk mensosialisakan gerakan bebas jentik adalah evalusi secara
langsung dari rumah ke rumah dan mengajarkan masyarakat cara untuk menghitung jentik.

D. PELAKSANAAN

Pelaksanaan dilakukan dalam rangkaian Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) di


kelurahan Noborejo pada tanggal 26 Agustus 2018. Diadakannya edukasi tentang cara
menghitung jentik dan cara menjaga kesehatan lingkungan yang benar dengan kunjungan
rumah secara langsung agar terhindar dari jentik dan mencegah timbulnya penyakit demam
berdarah.

E. MONITORING DAN EVALUASI

Setelah dilakukan pelatihan maka warga masyarakat diberikan stiker untuk mengontrol jumlah
jentik yang ada di rumah dan dilakukan evaluasi tiap bulan secara berkala oleh kader jumantik
yang sudah dilatih oleh petugas puskesmas guna menanggulangi dan mencegah terjadinya
penyakit demam berdarah dan meningkatkan adanya kesadaran terhadap kesehatan lingkungan
sekitar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEMAM BERDARAH DENGUE


1. Pengertian
Demam dengue adalah demam virus akut yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes Albopictus, disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang,
penurunan jumlah sel darah putih dan ruam-ruam. Demam berdarah dengue/dengue
hemorrhagic fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan
manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi
darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan
ini disebut dengue shock syndrome (DSS) (Depkes RI Ditjen P3M, 1981).
2. Penyebab
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus
yang berbeda antigen. Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap
serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat
mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah
tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah
yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah serotipe
virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis.
Masa inkubasi nyamuk ini terjadi selama 4-6 hari (Depkes 1, 2004).
3. Gejala
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus
nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada
umur penderita. Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai ruam-
ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai
dengan demam ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan
berlangsung selama 2 - 7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri
sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering
terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan konjungtiva.
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di
tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41
derajat C dan terjadi kejang demam pada bayi.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa
penderitanya, ditandai oleh :
a. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
b. Manifestasi perdarahan
c. Hepatomegali/pembesaran hati
d. Kadang-kadang terjadi syok
Manifestasi perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif
dan bintik-bintik perdarahan di kulit (petekie). Petekie ini bisa terlihat di seluruh
anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi. Juga bisa terjadi perdarahan hidung,
perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin.
4. Kriteria Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria WHO 1997 yang memenuhi:
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini:
 Uji tourniquet positif ( > 20 petekie dalam 2,54 cm2).
 Petekie, ekimosis, atau purpura.
 Perdarahan mukosa, saluran cerna, atau tempat lain.
 Hemetemesis atau melena.
c. Trombositopenia (  100.000/mm3).
d. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda plasma leakage:
 Hematokrit meningkat  20 % dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis
kelamin, dan populasi yang sama.
 Hematokrit turun hingga  20 % dari hematokrit awal, setelah pemberian
cairan.
 Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia.
5. Tingkat Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:
a. Derajat I :
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Derajat II :
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III :
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV :
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa. Fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. Setelah
demam selama 2-7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda
gangguan sirkulasi darah. Penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya
dingin, dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi.
6. Penularan
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti / Aedes
albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari
penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan
Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. Orang yang
beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15
tahun, dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran
kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim
penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta
perilaku manusia.
Vektor penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, namun Aedes aegypti lebih berperan. Hal ini karena nyamuk Aedes
albopictus hidup dan berkembang biak di kebun atau semak-semak, sehingga
jarang kontak dengan manusia dibandingkan dengan nyamuk Aedes aegypti
(Hadinegoro et al., 2002).
Nyamuk dewasa secara umum ditandai dengan garis-garis putih keperakan
dan hitam berselang-seling. Arahnya longitudinal di daerah cutum (pertemuan
kedua sayap) dan transversal pada daerah abdomen. Sayapnya juga berbintik-bintik
bewarna gelap dan terang. Tempat perkembang-biakan nyamuk (breeding place)
berupa genangan air yang tidak berhubungan dengan tanah, misalnya :
a. Tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan oleh penduduk sehari-hari,
seperti bak mandi, wc, tempayan, drum,
b. Tempat Penampungan Air yang bukan dipakai untuk keperluan penduduk
sehari-hari. (non TPA), misalnya genangan air pada kaleng bekas, botol, ban,
vas bunga, dan tempat minum burung,
c. Tempat Penampungan Air Alamiah, misalnya lubang pohon, lubang batu,
pangkal pelepah pohon pisang, potongan bambu (Hadinegoro et al., 2002)
Kebiasaan menggigit (feeding habit) adalah pada siang hari antara jam 09.00
- 10.00 dan jam 16.00-17.00. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak menggigit di
dalam rumah. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah
manusia. Sedangkan nyamuk yang jantan tidak bisa menggigit/menghisap darah,
melainkan hidup dari sari bunga dan tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk Aedes
agypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata - rata 1,5 bulan,
tergantung dari suhu kelembaban udara di sekelilingnya. Kemampuan terbangnya
berkisar antara 40-100 meter dari tempat perkembangbiakannya.
Telur nyamuk Aedes ini diletakan sedikit di atas permukaan air yang jernih,
pada tempat penampungan air yang terbuka lebar dan terletak di tempat yang
teduh, terhindar dari sinar matahari. bentuk telurnya oval, tidak menggerombol
melainkan terpencar. Apabila terkena air, telur akan menetas menjadi jentik setelah
5-10 hari. Dua hari kemudian akan berubah menjadi pupa, akhirnya akan menjadi
nyamuk dewasa. Dalam keadaan optimum diperlukan waktu 10-14 hari untuk
perkembangan telur menjadi nyamuk dewasa

7. Pencegahan
Untuk memantapkaan upaya penanggulangan penyakit DBD tahun yang
akan datang, pengelola DBD di Puskesmas, Kota, dan Provinsi perlu menganalisis
data kasus DBD tahun sebelumnya. Berdasarkan data kasus DBD 3 atau 5 tahun
terakhir akan dapat diperoleh informasi kapan kasus DBD di suatu wilayah akan
mulai meningkat dan kapan puncak kasus terjadi sehingga upaya penanggulangan
sebelum musim penularan dapat dilakukan sebaik-baiknya (Hadinegoro et al.,
2002).

a. Penanggulangan fokus
Semua kasus DBD ditindak lanjuti dengan penyelidikan
epidemiologis, yaitu kunjungan ke rumah kasus DBD dan rumah sekitarnya
dalam radius 100 meter, serta di sekolah jika kasus DBD adalah anak sekolah.
Kegiatan penyelidikan epidemiologis dilakukan oleh Puskesmas, dan
kegiatannya meliputi: pencarian kasus/tersangka DBD lainnya dan
pemeriksaan jentik nyamuk yang menjurus kepada KLB DBD, penyelidikan
epidemiologis ini dimaksudkan pula untuk mengetahui adanya kemungkinan
penularan lebih lanjut sehingga perlu dilakukan penyemprotan insektisida
(Hadinegoro et al., 2002).
Penyemprotan insektisida dilakukan jika ditemukan penderita atau
tersangka penderita DBD lain atau sekurang-kurangnya 3 penderita panas
tanpa sebab jelas dan ada jentik nyamuk di lokasi tersebut. Penyemprotan
dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Penyemprotan insektisida ini
harus diikuti dengan penyuluhan dan gerakan PSN DBD oleh masyarakat
(Hadinegoro et al., 2002).
b. Pemberantasan vektor intensif
 Fogging fokus
Dalam keadaan krisis ekonomi sekarang ini, dana terbatas maka
kegiatan fogging hanya dilakukan bila hasil penyelidikan epidemiologis
telah memenuhi kriteria (Hadinegoro et al., 2002).
 Abatisasi
Dilaksanakan di desa/kelurahan endemis terutama di sekolah dan
tempat umum. Semua tempat penampungan air di rumah dan bangunan
yang ditemukan jentik nyamuk ditaburi dengan bubuk abate sesuai dengan
dosis 1 sendok makan peres (10 gram) abate untuk 100 liter air (Hadinegoro
et al., 2002).
 Penyuluhan dan penggerakkan masyarakat dalam PSN DBD (gerakan 3M)
Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dilakukan dengan kerja
sama lintas sektor yang dikoordinasikan oleh kepala wilayah/daerah
setempat melalui wadah Pokjanal/Pokja DBD. Kegiatan ini dilakukan
selama 1 bulan, pada saat sebelum perkiraan peningkatan jumlah kasus
yang ditentukan berdasarkan data kasus bulanan DBD dalam 3–5 tahun
terakhir (Hadinegoro et al., 2002).
 Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan tentang penyakit DBD dan pencegahannya melalui
media massa, sekolah, tempat ibadah, kader PKK dan kelompok
masyarakat yang lainnya. Kegiatan ini dilakukan setiap saat pada beberapa
kesempatan (Hadinegoro et al., 2002).
Sekarang, yang sedang giat digalakkan adalah gerakan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (Tim Pembina UKS Pusat, 1993). Secara rinci Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
 Fisik
Cara ini dilakukan dengan gerakan 3M (seperti telah tersebut di atas), yaitu
dengan menguras bak mandi, WC, menutup tempat penampungan air seperti
tempayan, drum, dll, serta mengubur atau menyingkirkan barang bekas
seperti kaleng bekas, ban bekas, dan sebagainya. Pengurasan TPA perlu
dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali sebab daur
hidup nyamuk Aedes aegypti adalah 7 - 10 hari.
 Biologi
Dengan cara memelihara ikan pemakan jentik nyamuk (ikan kepala timah,
ikan gupi, ikan nila merah, dll).
 Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan racun
pembasmi jentik (larvasida) yang dikenal dengan abatisasi . Larvasida yang
biasa digunakan adalah temphos. Formulasi temphos yung digunakan adalah
berbentuk butiran pasir (sand granules). Dosis yang digunakan I ppm atau
10 gram (kurang lebih 1 sendok makan) untuk setiap 100 liter air. Abatisasi
dengan temphos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Racun pembasmi jentik
ini aman meskipun digunakan ditempat penampungan air (TPA) yang aimya
jernih untuk mencuci atau air minum sehari-hari. Selain itu dapat digunakan
pula racun pembasmi jentik yang lain seperti : Bacillus thuringiensis var
israeiensis (Bti) atau Altosid golongan insect growth regulator.
c. Pemantauan jentik berkala (PJB)
Pemantauan jentik berkala dilakukan setiap 3 bulan di rumah dan
tempat-tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala di rumah dilakukan
pemeriksaan sebanyak 100 rumah sampel untuk setiap desa/kelurahan. Hasil
PJB ini diinformasikan pihak kesehatan kepada kepala wilayah/daerah
setempat sebagai evaluasi dan dasar penggerakkan masyarakat dalam PSN
DBD. Diharapkan angka bebas jentik (ABJ) setiap kelurahan / desa dapat
mencapai > 95% akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD. Selain itu
juga dilakukan pemeriksaan jentik pada semua rumah sakit dan puskesmas.
Sedangkan untuk sekolah dan tempat umum lainnya dilakukan secara
sampling bila tidak dapat diperiksa seluruhnya (Hadinegoro et al., 2002).
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah
dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”,
yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus
seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala,
dll (Thomas Suroso dkk, 2003).
LAMPIRAN
FOTO KEGIATAN
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, F. 2005. Sikap Manusia dan Pengaturanny aedisi ke 2. Yogyakarta: Pustaka Keluarga

Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-
2003

Boyle, J.T., 2000. Diare Kronis. In : Behrman, Kliegman & Alvin, Nelson, ed. Ilmu
Kesehatan Anak Vol.2 Edisi 15. Jakarta : EGC, 1354-1361

Depkes. RI, Ditjen P3M 1981, "Demam Berdarah Diagnosa dan Pengelolaan Penderita

Depkes RI, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi
Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta

Depkes RI, 2003, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue, Ditjen PPM & PLP, Jakarta.

Depkes, 2004 Kebijaksanaan Program P2DBD dan Situasi Terkini DBD di Indonesia

Depkes RI. 2006. Pedoman Pelatihan Pembinaan PHBS di Rumah Tangga. Pusat Promosi
Kesehatan Depkes RI. Jakarta

Departemen Kesehatan Repubik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana Diare. Available


from:
http://dinkessulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20tatalaksana%20diare.p
df

Depkes RI, 2007. Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

Depkes RI, 2008. Pedoman Pengelolaan Promosi Kesehatan : Dalam Pencapaian PHBS.
Jakarta

Dinkes. 2006. Profil Kesehatan Sumatera Utara. http://www.depkes. go. id.

Dinkes Lampung. 2003. Pengembangan PHBS di 5 tatanan. Lampung. http://dinkes-


lampung.go.id/blogspot.com.

DinKes, 2009. Perbaikan Gizi Masyarakat. Pemda Kabupaten Luwu Utara. Available from:
http://www.luwuutara.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i
d=784&Itemid=229

Direktorat Jenderal PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI dan Indonesia, Pedoman Teknis
Penilaian Rumah sehat. Jakarta,2002.

Erlien. (2008). Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka


Fauzi, Y. 2008. Kelapa Sawit Budidaya, Pemanfaatan Hasil Limbah, Analisa Usaha dan
Pemasaran. Edisi Revisi. Jakarta : Penebar Swadaya

Hadinegoro et al. (2001). Tatalaksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Jakarta:


Depkes RI

Hasan, Bisri. (1995). Remaja Berkualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hurlock, E. B. (1993). Perkembangan Anak Jilid 2. Terjemahan oleh Thandrasa. Jakarta: PT.
Erlangga

Juffrie, M., et al, 2010. Buku Ajar Gastroenterologi - Hepatologi Jilid 1. Jakarta : Balai
Penerbit IDAI.

Kartasasmita, B. (2003). Catatan Pengembangan e-learning dalam Budaya Belajar Kini.


Makalah Seminar pada tanggal 8 Desember 2003 di ITB Bandung

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Situasi Diare di Indonesia. Buletin


Jendela, Data dan Informasi Kesehatan

Lubis Pandapotan. Perumahan Sehat, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes


RI.Jakarta,1999

Notoatmodjo, s, 2005, Promosi kesehatan teori dan Aplikasi, Jakarta : PT Rineka Cipta

Simadibrata, M., Daldiyono. 2006. Diare Akut. In: Sudoyo, Aru W, et al, ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 408-413

Suraatmaja, S., 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta : Sagung Seto.

Thomas Suroso. 2003. Pencegahan Dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue Dan
Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Diterbitkan atas kerjasama Word Health
Organization Dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Undang Undang Republik Indonesia No. : 4 Tahun 1992, Tentang Perumahan dan
Pemukiman

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Erlangga Medical Series (EMS). Semarang

Anda mungkin juga menyukai