Anda di halaman 1dari 12

B.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Kajian Teori
1.1 Tinjauan tentang Metakognisi
1.1.1 Pengertian Metakognisi
Kemampuan metakognisi adalah salah satu hal yang mempengaruhi
dalam memecahkan masalah oleh masing-masing individu (Matlin, 2005
dalam Thohari, 2010). Metakognisi tersebut didefinisikan sebagai "thinking
about thinking." Kesadaran akan keberadaan metakognisi memungkinkan
seseorang berhasil sebagai pelajar, dan hal itu berkaitan dengan kecerdasan
atau inteligensi. Mengetahui dan menyadari bagaimana kita belajar dan
mengetahui strategi kerja mana yang terbaik adalah sebuah kecakapan
berharga yang membedakan pebelajar ahli (expert learners) dari pebelajar
pemula (novice learners) (Thohari, 2010).
Menurut Flavell (1979) bahwa metakognisi meliputi dua komponen
utama, yaitu pengetahuan metakognisi yang terdiri dari: (1) pengetahuan
deklaratif, (2) pengetahuan prosedural, dan (3) pengetahuan kondisional, dan
pengalaman atau regulasi metakognisi yang terdiri dari kemampuan (1)
planning, (2) information management strategies, (3) comprehension
monitoring, (4) debugging strategies, dan (5) evaluation.
Menurut Ridley, Schutz, Glanz, & Weinstein (1992), mengenai kecakapan
metakognisi adalah bahwa "Metacognitive skills include taking conscious
control of learning, planning and selecting strategies, monitoring the
progress of learning, correcting errors, analyzing the effectiveness of
learning strategies, and changing learning behaviors and strategies when
necessary." Jadi keterampilan metakognisi adalah kemampuan seseorang
dalam mengontrol proses belajarnya, mulai dari tahap perencanaan, memilih
strategi yang tepat sesuai masalah yang dihadapi, kemudian memonitor
kemajuan dalam belajar dan secara bersamaan mengoreksi jika ada kesalahan
yang terjadi selama memahami konsep, menganalisis keefektifan dari strategi
yang dipilih, dan mengubah kebiasaan belajar dan juga strateginya jika
diperlukan, karena mungkin hal itu tidak cocok lagi dengan keadaan tuntutan
lingkungannya.
1.1.2 Keterampilan Metakognisi
Metakognisi terbagi menjadi dua rangkaian keterampilan yang
berhubungan, sebagai berikut:
1. siswa harus memahami keterampilan, strategi dan sumber daya apa saja
yang dibutuhkan oleh sebuah tugas. Termasuk dalam kelompok ini adalah
menemukan ide-ide utama, mengungkapkan informasi, membentuk
asosiasi atau citra, penggunaan teknik memori, pengorganisasian material,
penggunaan catatan atau penekanan, dan penggunaan teknik uji (tes).
2. siswa harus tahu bagaimana dan kapan menggunakan keterampilan-
keterampilan dan strategi ini guna menjamin tugas yang diselesaikan
dengan berhasil. Aktivitas monitoring ini termasuk level pengecekan
pemahaman, memprediksi hasil, mengevaluasi keefektifan usaha,
perencanaan aktivitas, memutuskan bagaimana mengatur waktu, dan
memperbaiki atau berganti ke aktivitas lain untuk mengatasi kesulitan.
Secara kolektif, aktivitas metakognisi merefleksikan aplikasi strategi
pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional pada tugas (Schraw &
Dennison, 1994) berargumentasi bahwa keterampilan metakognisi adalah
kunci pada perkembangan berpikir kritis (Utami, 2011).
Keterampilan metakognisi merupakan keterampilan mental yang
digunakan untuk memonitor pemahaman, mengontrol proses kognitif, dapat
juga diartikan apa yang mereka tahu dan tidak. Keterampilan metakognisi
merupakan salah satu komponen yang dapat menunjang kemampuan berpikir.
Pemberdayaan kemampuan berpikir selama pembelajaran sangat penting
untuk dilakukan. Keterampilan metakognisi memungkinkan siswa untuk
memahami proses mereka berpikir dan konsep (Dekoranti, 2011).
Metakognisi merujuk kepada tingkat pemikiran yang melibatkan
kontrol yang aktif selama proses berpikir yang digunakan dalam situasi
belajar. Perencanaan cara mendekati tugas belajar, pemantauan pemahaman,
dan mengevaluasi kemajuan terhadap penyelesaian tugas merupakan
keterampilan metakognisi. Demikian pula, mempertahankan motivasi untuk
melihat tugas untuk penyelesaian juga merupakan keterampilan metakognisi
(Utami, 2011).
Menurut Rivers & Schraw (Corebima, 2006 dalam Astri, 2012),
keterampilan kognitif dan metakognisi, sekalipun berhubungan tetapi
berbeda. Keterampilan kognitif dibutuhkan untuk melaksanakan tugas,
sedangkan keterampilan metakognisi diperlukan untuk memahami bagaimana
tugas itu dilaksanakan. Keterampilan metakognisi adalah keterampilan
berpikir, mengetahui apa yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui,
belajar bagaimana caranya belajar dan mengembangkan proses berpikir
berkesinambungan di mana hal ini dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan. Keterampilan metakognisi mengacu kepada keterampilan
perencanaan (planning skills), keterampilan monitoring (monitoring skills),
dan keterampilan evaluasi (evaluation skills) (Astri, 2012).
Menurut Winn dan Snyder (1998) dalam Astri (2012), yang termasuk
dalam keterampilan metakognisi adalah monitoring kemajuan belajar,
mengoreksi kesalahan, strategi perencanaan dan selektivitas, menyeleksi dan
mengorganisasi serta mengintegrasi informasi, menganalisis strategi belajar
yang efektif, serta mengubah tingkah laku dan strategi belajar ketika
dibutuhkan. Menurut Brown, proses atau keterampilan metakognisi
memerlukan operasi proses mental khusus yang dengan proses ini individu-
individu memeriksa, merencanakan, mengatur atau mengorganisasi,
memantau, memprediksi, dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri
(Haryani, 2010).

1.1.3 Peranan Keterampilan Metakognisi


Keterampilan metakognisi diyakini memegang peranan penting pada
banyak tipe aktivitas kognitif. Keterampilan metakognisi berkaitan dengan
keterampilan merencanakan, keterampilan monitoring, dan keterampilan
mengevaluasi (Aprilia & Sugiarto, 2013).
Beberapa manfaat dari keterampilan metakognisi yang dikemukakan oleh
para ahli (Corebima, 2006 dalam Astri, 2012) :
1. Eggen & Kauchak (1996) menyatakan bahwa pengembangan kecakapan
metakognisi pada para siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang
berharga, karena kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-
regulated learners. Self-regulated learners bertanggung jawab terhadap
kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya
mencapai tuntutan tugas.
2. Marzano (1988), manfaat metakognisi bagi guru dan siswa adalah
menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri
merupakan kecakapan berpikir tinggi).
3. Susantini dkk. (2001) menyatakan melalui metakognisi siswa mampu
menjadi pebelajar mandiri, menumbuhkan sikap jujur dan berani
melakukan kesalahan serta akan meningkatkan hasil belajar secara nyata.
4. Howard (2004) menyatakan bahwa keterampilan metakognisi diyakini
memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk
pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan
pemecahan masalah. Sejumlah peneliti yakin bahwa penggunaan strategi
yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar.
5. Peters (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognisi
memungkinkan para siswa berkembang sebagai pebelajar mandiri, karena
mendorong mereka menjadi manajer atas dirinya sendiri serta menjadi
penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri.
Selain itu, keterampilan metakognisi siswa penting dikembangkan
dengan tujuan agar siswa memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan.
Menurut Flavell, Gardner dan Alexander, pengembangan keterampilan
metakognisi siswa ditujukan agar siswa dapat memantau perkembangan
belajarnya sendiri (Saraswati, 2011).
Berdasarkan manfaat yang telah dikemukakan, maka pemberdayaan
keterampilan metakognisi sangatlah penting dalam pembelajaran. Dengan
memiliki keterampilan metakognisi, siswa akan mampu untuk menyelesaikan
tugas belajarnya dengan baik karena mereka mampu untuk merencanakan
pembelajaran, mengatur diri, dan mengevaluasi pembelajarannya. Manfaat
besar yang diperoleh dengan mengembangkan keterampilan metakognisi
siswa melalui pembelajaran di kelas tidak dapat disangkal lagi. Kemampuan
intelektual memiliki hubungan dengan keterampilan metakognisi sebagai
prediktor belajar yakni keterampilan metakognisi merupakan manifestasi dari
kemampuan intelektual, atau sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kemampuan intelektual. Adanya peningkatan keterampilan metakognisi
diharapkan siswa mampu memecahkan masalah, mengambil keputusan,
berpikir kritis, dan berpikir kreatif sehingga hasil belajar siswa dapat juga
ditingkatkan (Dekoranti, 2011).

1.2 Tinjauan Tentang Gender


1.2.1 Pengertian Gender
Gender dipahami sebagai suatu konsep mengenai peran laki-laki dan
perempuan. Berikut beberapa pandangan dari para ahli mengenai pengertian
gender :
1. Gender memiliki pengertian perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan
perempuan yang bukan pada tataran biologis dan kodrat Tuhan,
melainkan dalam tataran sosial budaya (Muawanah, 2009).
2. Menurut Santrock (2007), Gender adalah dimensi psikologis dan
sosiokultural yang dimiliki karena seseorang adalah laki-laki atau
perempuan. Ada dua aspek penting dari gender, yaitu identitas gender dan
peran gender. Identitas gender adalah perasaan menjadi laki-laki atau
perempuan yang biasanya dicapai ketika anak berusia 3 tahun, sedangkan
peran gender merupakan sebuah pandangan yang menggambarkan
bagaimana pria atau wanita seharusnya berfikir dan bertingkah laku.
Dari kedua pandangan diatas, dapat dinyatakan bahwa secara umum
gender merupakan perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari dimensi psikologis dan sosialnya.
1.2.2 Persamaan dan Perbedaan Gender
Gender di sekolah dibedakan menjadi dua yaitu laki-laki dan
perempuan. Perbedaan antara dua jenis kelamin, persamaan dan perbedaan
antara perempuan dan laki-laki dilihat dari beberapa sudut pandang, antara
lain:
1. Persamaan dan perbedaan fisik
Mulai dari pembuahan, perempuan memiliki harapan hidup yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan laki-laki lebih mungkin memiliki
kelainan fisik dan mental dibandingkan dengan perempuan. Estrogen
menguatkan sistem kekebalan tubuh, sebagai contoh, membuat perempuan
lebih tahan terhada infeksi. Hormon perempuan juga mendorong liver
untuk memproduksi lebih banyak kolesterol “baik”, yang menyebabkan
pembuluh darah perempuan lebih elastis dibandingkan laki-laki.
Testosteron memicu produksi lipoprotein yang memiliki kerapatan rendah,
yang akan menghambat pembuluh darah. Laki-laki memiliki risiko
penyakit jantung 2 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Tingginya kadar hormon stres menyebabkan penggumpalan darah yang
lebih cepat pada laki-laki, tetapi juga menyebabkan tekanan darah yang
lebih tinggi pada perempuan. Laki-laki tumbuh 10 persen lebih tinggi
dibanding perempuan.
Otak manusia pada dasarnya sama, terlepas apakah dia laki-laki
atau perempuan. Goldstein dan Kimura dalam Santrock (2007)
menyatakan dalam penelitian menemukan perbedaan pada otak laki-laki
dan otak perempuan yaitu adanya perbedaan pada daerah lobus parietal
yang berfungsi untuk kemampuan visuospasial lebih besar pada laki-laki
dibandingkan pada perempuan. Sehingga, hal ini memungkinkan adanya
perbedaan kemampuan visuospasial antara laki-laki dan perempuan.
2. Persamaan dan perbedaan kognitif
Janet Shibley Hyde (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa
perbedaan kognitif pada laki-laki dan perempuan adalah hal yang terlalu
dilebih-lebihkan, sebagai contoh Hyde menunjukkan adanya tumpang
tindih yang cukup besar pada distribusi nilai antara laki-laki dan
perempuan dalam tugas matematika dan visuospasial. Meskipun begitu,
penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kmeampuan visospasial
yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam pembahasan klasik mengenai perbedaan gender, Eleanor
Maccoby dan Carol Jacklin dalam Santrock (2007) menyimpulkan bahwa
laki-laki memiliki kemampuan matematika dan visuospasial (kemampuan
yang dibutuhkan arsitek untuk mendesain sudut dan dan dimensi
bangunan) yang lebih baik, sedangkan perempuan lebih baik dalam
kemampuan verbalnya.
Pernyataan yang lain dikemukakan oleh Diane Halpern, beliau
melaporkan bahwa anak perempuan lebih sukses dalam seni bahasa,
pemahaman membaca, dan komunikasi tulis dan lisan, sementara anak
laki-laki tampaknya sedikit lebih unggul dalam ilmu matematika dan
pemikiran matematis.
Dalam sebuah penelitian nasional oleh departemen pendidikan AS
tahun 2000, anak laki-laki sedikit lebih baik dibandingkan perempuan
dalam matematika dan sains.
Dari ketiga pernyataan diatas dapat dilihat bahwa dari segi
kognitif, anak laki-laki lebih baik dalam bidang matematika sedangkan
anak perempuan lebih baik dalam kemampuan verbal.
3. Persamaan dan perbedaan Sosioemosional
Lima area perkembangan yang sudah diteliti mengenai gender
adalah hubungan interpersonal, agresi emosi, perilaku prososial, dan
prestasi.
a. Hubungan Interpersonal
Tannen (Santrock, 2007) menyatakan bahwa anak laki-laki dan
perempuan tumbuh dalam dinamika berbicara yang berbeda-beda.
Orangtua, saudara, teman sebaya, guru, dan oranglain berbicara pada anak
perempuan dan laki-laki dengan cara yang berbeda. Permainan anak laki-
laki dan perempuanpun juga berbeda. Anak laki-laki cenderung bermain
dalam kelompok yang besar yang terstruktur secara hierarkis, dan
kelompok mereka biasanya memiliki pemimpin yang mengatur apa yang
akan mereka perbuat dan bagaimana mereka melakukannya. Permainan
anak laki-laki biasanya memiliki pemenang dan pecundang yang bisa
menjadi subjek dalam sebuah argumen. Anak laki-laki sering pamer
mengenai keahlian mereka dan sering berdebat siapa yang terbaik.
Sebaliknya, anak perempuan lebih mungkin bermain dalam kelompok
kecil atau berdua, dan seringkali pusat dunia dari anak perempuan adalah
sahabat baiknya. Dan pada waktu-waktu tertentu, anak perempuan hanya
duduk-duduk dan mengobrol satu sama lain, lebih memikirkan apakah
mereka disukai atau tidak oleh anak yang lain daripada berpacu untuk
mencapai status dengan cara yang lain. Secara singkat, Tannen
menyimpulkan bahwa perempuan lebih memiliki orientasi hubungan
interpersonal dibanding laki-laki.
b. Agresi
Menurut Dodge Coie dan Lynam (2006) dalam Santrock (2007),
salah satu perbedaan gender yang paling konsisten adalah bahwa anak
laki-laki lebih agresi secara fisik dibandingkan dengan perempuan.
Anak laki-laki secara konsisten lebih agresif secara fisik dibanding
anak perempuan, hal itu memunculkan pertanyaan apakah anak perempuan
menunjukkan agresi verbal, seperti berteriak yang sama dengan laki-laki.
Menurut Eagly dan Steffen, (Santrock, 2007), ketika agresi verbal ikut
diteliti, perbedaan gender menjadi tidak ada atau kadang-kadang
menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada perempuan.
Bahkan dalam teori lain, Eagly dan Hyde mengatakan bahwa
dibandingkan wanita, anak laki-laki dan pria secara verbal dan fisik lebih
agresif. Perbedaan agresi ini terlihat jelas ketika anak diprovokasi.
c. Emosi dan Pengaturannya
Semenjak awal masa SD, anak laki-laki akan lebih mungkin untuk
menyembunyikan emosi negatif yang dirasakannya, misalnya kesedihan.
Jika diamati, anak laki-laki lebih jarang menangis untuk menunjukkan
kesedihannya dibandingkan anak perempuan. Sedangkan anak perempuan
lebih tidak mungkin untuk mengekspresikan emosi yang bisa menyakiti
orang lain.
Einsberg, Spinrad, dan Smid (2004) dalam Santrock (2007)
menyatakan bahwa salah satu ketrampilan yang penting adalah bagaimana
mengatur dan mengontrol emosi dan perilaku diri sendiri. Anak laki-laki
biasanya menunjukkan pengaturan diri yang lebih rendah dibandingkan
dengan anak perempuan. Kontrol diri yang lebih rendah ini dapat berubah
menjadi masalah perilaku. Dalam sebuah penelitian, rendahnya pengaturan
diri pada anak berhubungan dengan tingginya agresi, menggoda anak lain,
reaksi berlebihan terhadap frustasi, kerjasama yang rendah, serta
ketidakmampuan untuk menunda pemuasan kebutuhan (Block & Block,
1980) dalam (Santrock, 2007).
d. Perilaku Prososial
Menurut Eisinberg (Santrock, 2007), Perempuan memandang diri
mereka lebih prososial, lebih empatik, dan mereka juga lebih banyak
terlibat dalam perilaku prososial dibanding laki-laki. Perbendaan gender
terbesar terjadi pada perilaku ramah dan memperhatikan orang lain,
sedangkan perbedaan terkecil pada perilaku berbagi.
e. Prestasi
Meskipun perempuan sudah membuat banyak kemajuan yang pesat
dalam pencapaian status yang tinggi di berbagai bidang, mereka masih
kurang memiliki perwakilan di bidang teknologi, matematika, dan sains
(Wigfield, 2006) dalam (Santrock, 2007)

2. Hipotesis Penelitian
H0: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan metakognisi
dengan mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan Pendidikan
Kimia ULM.
H1: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan metakognisi
dengan mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan Pendidikan
Kimia ULM.
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, F. & B. Sugiarto. (2013). Keterampilan Metakognitif Siswa Melalui


Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Pada Materi
Hidrolisis Garam. Unesa Journal of Chemical Education. II (33), 36-41.
Astri, W. (2012). Studi Korelasi Keterampilan Metakognisi Siswa XI IPA dengan
Kemampuan Pemecahan Masalah Termokimia pada SMA Negeri 1
Banjarmasin Tahun Pelajaran 2011/2012. Skripsi Sarjana. Banjarmasin:
Universitas Lambung Mangkurat. Tidak dipublikasikan.
Dekoranti, R. (2011). Implementasi Model Konstruktivisme Needham Lima Fase
untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Metakognitif pada
Konsep Laju Reaksi Siswa Kelas XI-IPA 4 SMA Negeri 2 Banjarmasin.
Skripsi Sarjana. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Tidak
dipublikasikan.
Haryani, S. (2010). Pengembangan Mahasiswa Model Praktikum Kimia Analitik
Instrumen Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Metakognisi
Mahasiswa Calon Guru. Disertasi doktor. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Muawanah, E. (2009). Perbedaan Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:
Penerbit Teras.
Ridley, D., Schutz, P., Glanz, R., & Weinstein, C. (1992). Self-Regulated
Learning: The Interactive Influence Of Metacognitive Awareness And
Goal-Setting. Journal of Experimental Education, LX (4), 293-306.
Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Saraswati, A.R. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran PBL (Project Based
Learning) Berbantuan E-Module terhadap Keterampilan Metakognitif
dan Hasil Belajar Gambar 2D Siswa Kelas X SMK. Proposal Skripsi
Sarjana. Malang: Universitas Negeri Malang. Tidak dipublikasikan.
Schraw, G. & R.S. Dennison. (1994). Assessing Metacognitive Awareness.
Contemporary Educational Psychology, XIX, 460-475.
Thohari, K. (2010). Peningkatan Kemampuan Problem Solving Melalui
Peningkatan Kemampuan Metakognisi. Retrieved Juni 21, 2010, from
http://bdksurabaya.kemenag.go.id.
Utami, W.M. (2011). Teori Metakognisi dan Problem Solving. Retrieved Agustus
18, 2013, from http://wahyumurtiutami.wordpress.com.

Anda mungkin juga menyukai