Anda di halaman 1dari 138

LAPORAN KAJIAN AWAL DAN SURVEY LAPANGAN

PASCA GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH


26 DESEMBER 2004

Disiapkan Oleh:
Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


Februari 2005
LAPORAN KAJIAN AWAL DAN SURVEY LAPANGAN
PASCA GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH
26 DESEMBER 2004

Tim Penyusun:
Ir. Andi Oetomo, MT : Ahli Planologi & Tata Ruang
Ir. Awal Surono, MT : Ahli Gempa Struktur
Dr. Bambang Budiono : Ahli Gempa Struktur
Prof. Dadang K. Mihardja : Ahli Kelautan dan Tsunami
Ir. Engkon Kertapati : Ahli Geologi
Dr. Hamzah Latief : Ahli Tsunami
Dr. Ketut Suantika : Ahli Geodesi Citra Satelit
Dr. Krishna S. Pribadi : Ahli Manajemen Bencana
Dr. Masyhur Irsyam : Ahli Gempa Geoteknik
Dr. Nanang Puspito : Ahli Seismilogi dan Tsunami
Ir. Aditya : Asisten Ahli Tsunami & Kelautan
Ir. Agus Himawan : Asisten Ahli Gempa
Ir. Putu Sumiartha,MT : Asisten Ahli Gempa Geoteknik

Koordinator dan Editor:


Dr. I Wayan Sengara : Ahli Gempa Geoteknik & Mitigasi Bencana

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - ii


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Lingkup Survey Rekonesans 3

BAB 2 KAJIAN AWAL GEMPABUMI DAN TSUNAMI 5


2.1. Tectonic Setting dan Sejarah Kegempaan Wilayah Sumatra 5
2.2 Atenuasi Gempa Aceh 26 Desember 2004 7
2.3 Sejarah Tsunami Sekitar Sumatra 10
2.4 Simulasi Awal Tsunami Akibat Gempa Aceh 26 Desember 2004 10

BAB 3 HASIL SURVEY REKONESANS 14


3.1 Kondisi dan Kerusakan Akibat Gempabumi 14
3.1.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik 14
3.1.1.1 Kondisi Geologi Umum 14
3.1.1.2 Kondisi Geologi dan Geoteknik Kota Banda Aceh 14
3.1.1.3 Kondisi Geologi dan Geoteknik Kota Meulaboh 15
3.1.2. Kejadian dan Potensi Likuifaksi 16
3.1.2.1 Kejadian dan Potensi Likuifaksi Kota Banda Aceh 16
3.1.2.2 Kejadian dan Potensi Likuifaksi Kota Meulaboh 17
3.1.3. Kondisi dan Kerusakan Bangunan 19
3.1.3.1 Kondisi dan Kerusakan Bangunan Kota Banda Aceh 19
3.1.3.2 Kondisi dan Kerusakan Bangunan Kota Meulaboh 55
3.1.4. Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur 61
3.1.4.1 Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur Kota Banda Aceh 61
3.1.4.2 Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur Kota Meulaboh 66
3.2 Kondisi dan Kerusakan akibat Tsunami 70
3.2.1 Kerusakan Bangunan dan Rumah Tinggal akibat Tsunami 72
3.2.2. Kerusakan Infrastruktur akibat Tsunami 83

BAB 4 PETA-PETA AWAL HAZARD DAN KONSEP 84


PENANGGULANGAN & MITIGASI BENCANA
4.1 Peta Microzonasi Awal 84
4.2 Peta Potensi Likuifaksi Awal 85
4.3 Peta MMI Awal 87
4.4 Peta Hazard Tsunami Awal 90
4.5 Konsep Penggunaan Peta-Peta Hazard dalam Upaya-upaya 90
Penanggulangan dan Penataan Ruang untuk Mitigasi Bencana
Gempa dan Tsunami
4.6 Alternatif Upaya-upaya Mitigasi Bencana Tsunami 93
4.7 Prinsip-Prinsip Dasar dalam Prencanaan dan Peancangan untuk 94
Bahaya Tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - iii


4.8 Kajian Hazard 95
4.9 Kajian Kerantanan 97
4.10 Kajian Risiko 98

BAB 5 KAJIAN DAN HASIL SURVEY TATA RUANG 102


5.1 Catatan Umum Bagian Kota/Wilayah yang Terkena Gempa & 102
Tsunami
5.1.1 Banda Aceh 102
5.1.2 Meulaboh 104
5.2 Kajian Kerusakan Infrastruktur Wilayah/Kota sebagai Pembentuk 106
Struktur dan Pola Ruang akibat Gempa dan Tsunami
5.3 Dampak Tsunami dalam Pengembangan Infrastruktur Wilayah/ 109
Kota
5.4 Pembelajaran yang Dapat Dipetik untuk Penataan Ruang Kawasan 114
Bencana Tsunami

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 116

REFERENSI 121

LAMPIRAN-A : Data Gempa Aceh 26 Desember 2004 dan Gempa-Gempa


Susulan, Sumber NEIC - USGS
LAMPIRAN-B : Data Foto Udara dan Data Tsunami Banda Aceh dan
Meulaboh
LAMPIRAN-C : Data Kerusakan Bangunan di Banda Aceh & Data
Pendukung Lainnya
LAMPIRAN-D : Kajian Pemilihan Lokasi Pemindahan Fasilitas Umum
Kecamatan Samatiga - Meulaboh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - iv


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada tanggal 26 Desember 2004, pukul 00:58:50.76 (GMT) atau pukul 07.58 (WIB)
waktu setempat, telah terjadi gempabumi besar dengan Moment magnitude Mw= 8.9
atau sekitar 8.9 Skala Ritcher dengan kedalaman 30 Km dibawah laut pada posisi 3.298
Lintang Utara (LU) dan -95,778 Bujur Timur (BT), sekitar 149 km sebelah selatan
Meulaboh, dan 250 km Selatan Banda Aceh, NAD (Sumber : USGS). Gempa utama di
Aceh ini diikuti oleh gempa susulan besar di Kepulauan Nicobar (M=7.5) dan di
Kepulauan Andaman (M=6.2) seperti yang terlihat pada Gambar 1.1. (sumber: USGS).
Gempabumi ini disertai dengan tsunami dasyat yang mengakibatkan kerusakan
berbagai prasarana dan sarana fisik serta lebih dari 300 ribu korban jiwa manusia di
negara-negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Maladewa, Srilangka dan
India. Di Indonesia sendiri jumlah korban mencapai lebih dari 130.000 jiwa, dan lebih
dari 100 ribu dilaporkan hilang.

Institut Teknologi Bandung memiliki ahli-ahli di bidang bencana alam seperti


kegempaan dan tsunami perlu memberikan suatu kontribusi untuk rehabilitasi serta
rekonstruksi Aceh. Suatu program kerja mulai dari tahapan tanggap darurat, tahap
rehabilitasi serta tahapan rekonstruksi telah disusun oleh tim Satuan Tugas ITB.
Sebagai bagian dari program kerja ITB untuk memberikan suatu masukan-masukan
atau rekomendasi teknis untuk tahapan rehabilitas dan rekonstruksi, kajain-kajian
bencana gempa dan tsunami serta suatu survey rekonesans atau investigasi lapangan
pasca gempa dan tsunami telah dilakukan. Pada tanggal 26 Januari – 5 Februari 2005
telah dilakuakan survey rekonesans ke kota Banda Aceh dan kota Meulaboh. Tim
rekonesans terdiri atas ahli-ahli di bidang geologi, teknik kegempaan, tsunami, teknik
sipil, teknik arsitektur, tata-ruang, dan manajemen bencana. Ahli-ahli ITB ini telah
melakukan suatu kajian-kajian awal, pengumpulan data-data serta survey ke daerah
bencana untuk melakukan pengamatan langsung secara visual dampak-dampak dari
gempa dan tsunami yang terjadi. Kajain-kajian awal dan survey rekonesans ini

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 1


dilakukan untuk dapat memberikan suatu rekomendasi-rekomendasi teknis serta
langkah-langkah yang tepat untuk dilakukan selanjutnya dalam rangka pemulihan
(recovery), fase pembangunan kembali (rekonstruksi), serta pada jangka panjangnya fase
pencegahan (prevention) , mitigasi (mitigation) dan kesiapan (preparedness).

Gambar 1.1. Gempa utama di Aceh ini diikuti oleh gempa susulan besar di Kepulauan
Nicobar (M=7.5) dan di Kepulauan Andaman (M=6.2).

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 2


1.2. Tujuan dan Lingkup Survey Rekonesans

Secara spesifik, survey rekonesans dilakukan untuk melakukan investigasi dan


pengumpulan data-data mengenai:
a. Aspek-aspek kegempaan
b. Aspek-aspek tsunami

Hasil yang diharapkan dari survey gempabumi dan keluaran-keluarannya adalah


sebagai berikut :
1. Melakukan kajian singkat dan survey rekonesans (investigasi lapangan pasca
bencana) untuk mengkaji pengaruh dari besaran gempa yang terjadi serta
mengidentifikasi kerusakan bangunan-bangunan dan sarana prasarana akibat
baik gempa maupun tsunami. Tim rekonesans ITB terdiri atas:
ƒ Ahli geologi,
ƒ Ahli seismologi dan tsunami,
ƒ Ahli geoteknik gempa,
ƒ Ahli struktur bangunan,
ƒ Ahli teknik arsitektur,
ƒ Ahli manajemen bencana,
ƒ Ahli tata kota dan perencanaan wilayah,
Investigasi lapangan dan kajian akan memberikan rekomendasi-rekomendasi
teknis untuk rehabilitasi dan rekonstruksi kota-kota di Propinsi NAD dan Sumut.
Survey rekonesans (investigasi lapangan) tersebut dilakukan melalui kegiatan
pengumpulan data dan kajian sebagai berikut:
Kajian gempabumi, yaitu memberikan analisis gempa bumi yang terjadi dengan
pengumpulan data-data :
• Kondisi geologi
• Kondisi Kegempaan (seismisitas dan mekanisme fokus)
• Kondisi geoteknik lokal dan liquefaction
• Kondisi kerusakan bangunan dan infrastruktur akibat gempa.
Kajian Tsunami, yang meliputi:
• Tipe sumber tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 3


• Tectonic setting dan parameter-parameter seismik
• Tanah longsor dan longsoran bawah laut
• Efek dari deformasi bumi
• Konfigurasi dari daerah yang didatangi tsunami
• Kedatangan tsunami serta parameter-parameter kedatangan
• Efek tsunami, kerusakan dan jumlah korban jiwa
• Respon pemerintah lokal serta masyarakat
• Observasi tambahan, komentar dan rekomendasi, selanjutnya
• Mengambil foto dan video sesuai keperluan, serta penyebaran angket
seperti pada Lampiran yang diterjemahkan ke bahasa lokal sebelum
dilakukan survei.
2. Melaksanakan kajian awal serta kaji-cepat hasil pengumpulan data dan survey
untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi teknis terhadap langkah-langkah
yang perlu dilakukan selanjutnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi kota Banda
Aceh dan Meulaboh dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Kajian awal hasil pengumpulan data dan survey rekonesans dilakukan untuk
menyiapkan peta-peta awal seperti:
ƒ Peta bahaya tsunami
ƒ Peta microzonasi gempa
ƒ Peta intensitas gempa atau peta MMI
ƒ Peta petensi likuifaksi
3. Memberikan rekomendasi atau masukan teknis penyusunan master-plan
penataan ulang kota Banda Aceh dan Meulaboh.
4. Memberikan rekomendasi mengenai upaya yang harus dilakukan baik dalam
jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 4


BAB 2
KAJIAN AWAL GEMPABUMI DAN TSUNAMI

2.1. Tectonic Setting dan Sejarah Kegempaan Wilayah Sumatra


Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan antara empat lempung utama dunia,
yaitu: lempng Eurasian, India-Australian, Pasifik, dan Philipina. Interaksi antara
lempeng-lempeng ini mempengaruhi seismo-teknotik di kawasan Indonesia. Lempeng
India-Australia bergerak kearah Utara relatif terhadap lempeng Eurasia, serta lempeng
Pasifik bergerak kearah Selatan relatif terhadap lempeng India-Australia dan Eurasia.
Kondisi ini telah menyebabkan beberapa gempabumi dengan mekanisme subduksi
dan mekanisme patahan permukaan (surficial fault) terjadi di kawasan Indonesia.

Gambar 2.1. Peta yang menunjukkan Gambar 2.2. Seismological summary dari
elemen-elemen tektonik utama batas Sumatra dengan kawasan sumber
lempeng Sumatra (after Natawidjaya, gempa-gempa besar dari catatan historis
2002) (after Shieh and Natawidjaya, 2000)

Zona subduksi yang membentang dari bagian barat kupulauan Andaman di barat laut
dan pulau Banda di bagian timur merupakan sumber gempa yang paling aktif di
kawasan Indonesia. Tingginya seismisitas di Pulau Sumatra dipengaruhi oleh zona

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 5


sumber busur Sunda. Gambar 2.1 menunjukkan peta yang memberikan informasi
mengenai elemen-elemen tektonik utama dari batas lempeng Sumatra.

Figure 2.3. Seismisitas di sekitar Pulau Sumatra island dari tahun 1964 to 2000
(Sumber: USGS)

Sejarah Kegempaan Pulau Sumatra


Beberapa gempa besar dilaporkan telah terjadi dan dicatat yang besasal dari zona
sumber gempa subduksi sepanjang selatan-barat pulau Sumatra. Di antara gempa-
gempa besar tersebut adalah terjadi tahun 1833 (M=9.2), 1861 (M=8.2), 1907 (M=7.6),
gempa Bengkulu tahun 2000 (M=7.8), dan terakhir gempa Aceh tanggal 26 Desember
2004 (Mw=8.9). Banyak gempa sepanjang zona ini merupakan gempa yang terjadi
pada bagian interface (megathrust) dari zona subdusksi dengan kecepatan 60 mm/year
[Prawirodirdjo, 1998]. Gambar 2.2 menunjukkan ringkasan dari seismisitas Pulau
Sumatra. Dengan sumber gempa-gempa besar dari pencatatan historis (setelah Shieh
and Natawidjaya, 2000). Gambar 2.3 menunjukkan seismisitas di sekitar Pulau
Sumatra sejak tahun 1964 sampai 2000.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 6


Berdasarkan zonasi gempa Indonesia dalam Estándar Nasional Indoneisa (SNI-1726,
2002), propinsi Aceh sepanjang garis pantai Barat tergolong dalam klasifikasi 5 sampai
6 (zona 6 merupakan zona dengan nilai percepatan gempa tertinggi) di mana
percepatan gempa puncak di batuan dasar adalah sebesar antara 0.3 sampai 0.4g.

2.2. Atenuasi Gempa Aceh 26 Desember 2004

Atenuasi dari Penjalaran Gelombang Seismik

Untuk memperkirakan besarnya nilai percepatan gempa puncak di batuan dasar (peak
baserock acceleration /PBA) di bawah kota Banda Aceh, suatu analisis atenuasi dari
gelombang gempa perlu dilakukan. Suatu fungsi atenuasi yang cocok dengan kondisi
kegempaan sumber gempa Aceh ini. Gempa Aceh termasuk type dari sumber zona
subduksi, oleh karena itu, fungsi-fungsi atenuasi yang merepresentasikan sumber
gempa yang mirip perlu digunakan. Untuk kajian awal ini, fungsi-fungsi atenuasi
berikut ini dikaji:

Fungsi-fungsi Atenuasi
Suatu fungsi atenuasi mengkorelasikan intensitas gempa dengan perpindahan tanah
local (I), magnitude (M) and jarak (R) dari suatu sumber gempa di dalam suatu areal
sumber gempa. Beberapa fungsi atenuasi gempa telah dipublikasikan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan pencatatan gempa-gempa yang pernah terjadi. Fungsi
ini secara spesifik memberikan hubungan antara parameter-parameter gempa seperti
sumber gempa dan kondisi-kondisi geologi local. Secara umum, suatu fungsi atenuasi
tergantung dari faktor-faktor berikut ini:
ƒ Type mekanisme sumber gempa
ƒ Jarak epicenter
ƒ Kondisi kerak bumi di mana gelombang gempa menjalar
ƒ Kondisi geologi lokal di sekitar areal sumber gempa
Rumus atenuasi yang diturunkan dari data gempa suatu areal tertentu, belum tentu
bisa diaplikasikan untuk areal yang lain meskipun keduanya terletak pada suatu
setting tektonik yang sama.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 7


Untuk gempa Aceh, berhubung dengan tidak adanya fungsi atenuasi yang diturunkan
dari sumber gempa di daerah Aceh, maka fungsi atenuasi yang dipertimbangkan
mewakili kondisi tektonik sumber gempa subduksi Aceh digunakan dalam analisis ini.
Dalam analisis ini, 2 (dua) fungsi atenuasi, yaitu yang diusulkan oleh Crouse (1991)
dan yang diusulkan oleh Youngs et al. (1997) digunakan untuk merepresentasikan
mekanisme sumber zona subduksi gempa Aceh.

Fungsi Atenuasi Crouse (1991)


Fungsi atenuasi Crouse didasarkan pada data-data gempa dengan mekanisme
subduksi dengan data-data yang diambil dari sumber gempa mekanisme subduksi di
bagian Barat Cascadia, Pasifik Utara, dengan karakteristik percepatan horizontal dan
redaman 5%. Persamaan yang diturunkan dari analisis sumber-sumber gempa ini
adalah:
Ln (Y) = 6.36 + 1.76M – 2.73 Ln (R + 1.58 exp(0.60M)) + 0.0091 * h
σ = 0.773
di mana:
M adalah momen magnitudo
R adalah jarak sumber ke lokasi yang ditinjau dalam km
h adalah kedalaman focus dalam km
σ adalah standar deviasi dari ln a

Fungsi Atenuasi Youngs et al. (1997)


Ada dua kategori fungsi atenuasi yang merepresentasikan mekanisme subduksi, yaitu
fungsi atenuasi untuk mekanisme interface dan mekanisme intraslab. Mekanisme
interface merepresentasikan kejadian-kejadian gempa dengan sudut patahan normal
yang rendah yang terjadi dengan kedalaman lempeng laut lebih rendah dari 70 km.
Mekanisme intraslab terjadi pada sudut patahan/lempeng yang lebih besar dengan
kedalaman sumber gempa lebih besar dari 70 km. Gambar 2.4 menunjukkan zona
interface (megathrust) dan intraslab (benioff). Fungsi atenuasi yang diusulkan oleh
Youngs et al. (1997), dinyatakan dengan persamaan berikut:

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 8


ln (y) = 0.2418 + 1.414 .M + C1 + C2(10 – M)3 + C3 ln(rrup + 1.7818e0.554M) +
0.00607.H + 0.3846.ZT
Standar deviasi = C4 + C5M

Distance (km)
0 50 100 150 200 250 300
0
α
Megathrust
50
Depth (km)

β
100
Benioff
150

200

Gambar 2.4. Zona megathrust dan zona benioff dari suatu gempa mekanisme
subduksi

800

700

Youngs'97 Crouse'91

600

500
PBA (gals)

400

300

200

100

0
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Distance (km)

Gambar 2.5. Plot yang menunjukkan atenuasi PBA gempa Aceh 26 December 2004
(Sengara et al., 2005)

Gambar 2.5 menunjukkan hasil perhitungan atenuasi gempa Aceh 26 Desember 2004
dari sumber sebagai fungsi jarak dari epicenter. Ditunjukkan dalam gambar atenuasi
ini bahwa PBA kota Banda Aceh yang berlokasi sekitar 250km dari epicenter gempa
atau sekitar 107 km dari bidang rupture adalah sekitar 0.22-0.27g. Analisis atenuasi ini

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 9


juga menunjukkan PBA untuk kota Meulaboh, yang terletak sejauh 149km dari
epicenter atau seikitar 54km dari bidang rupture adalah sekitar 0.30-0.35g. Sehubungan
dengan gempa dengan skala magnitudo yang besar sekali, gempa Aceh teratenuasi
sampai jarak yang relatif jauh sekali sampai ratusan kilometer. Gempa dengan jarak
epicenter yang jauh dipertimbangkan memiliki kandungan frekwensi rendah di mana
jenis gempa seperti ini dapat teramplifikasi cukup besar untuk kondisi kawasan di atas
deposit/endapan atau tanah lunak yang tebal. Gempa Aceh telah merusak cukup
banyak bangunan-bangunan gedung yang rentan, infrastruktur, lifelines (fasilitas
penunjang vital kehidupan) di kota Banda Aceh dan Meulaboh.

2.3. Sejarah Tsunami Sekitar Sumatra


Sejarah menunjukkan, sejak tahun 1700 sedikitnya 18 kejadian tsunami telah terjadi di
sekitar kawasan Pulau Sumatra seperti ditunjukkan pada Table 2.1. Tsunami di
kawasan ini adalah akibat dari gempa-gempa yang berpusat di laut, di mana
epicenternya terletak di bagian Barat Pulau Sumatra. Sumber lain di bagian Barat-
Selatan Pulau Sumatra adalah akibat dari letusan gunung Krakatau di Selat Sunda
yang menimbulkan tsunami dasyat tahun 1883.

2.4 Simulasi Awal Tsunami Akibat Gempa Aceh 26 Desember 2004


Latief and Triyoso (2005) telah melakukan simulasi awal tsunami akibat gempa Aceh
26 Desember 2004. Profil awal sebagai sumber tsunami akibat dari deformasi crustal
dihitung menggunakan metoda Mansinha and Smylie’s (1971). Parameter patahan

adalah 400 km panjang x 80 km lebar dan momen seismic sebesar of 3.5x10 27 dyne-cm
telah diperkirakan dari analisis seismologi berdasarkan mekanisme fokal dari Harvard
CMT Solution dan Parameter Patahan ERI-Tokyo University. Simulasi numeric
preliminary memberikan hasil seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 10


Table 2.1. Daftar tsunami di kawasan Sumatra dalam periode tahun 1700 sampai 2004
(Latief et al., 2005)

Mening-
Tahun B H j m M/D Daerah Observasi
Lat. Lon. Tm H(m) gal/
p Propinsi: lokasi
Celaka
1797 02 10 0.58 100,2 Strong W. Sumatera, Padang
1799 16 Sumatera
1818 13 18 -3.5 100.5 Bengkulu
1833 01 29 9 Padang, Priaman
1833 11 24 Bengkulu
1843 01 5-6 2.08 98.23 Large N. Sumatera: Barus
Is.. G. Sitoli
1861 02 16 8.4 50 Sumatra: Batu Is.,
Nias Is.
1861 09 25 -2.04 100.6 1 Sumatra: Padang,
Indrapura
1864 W. Sumatra: Padang,
Batu
1883 08 26 -5.8 106.3 Volc 35 36000 Sumatera: Sunda St.,
Java,
1904 07 04 W. Sumatra: Siri-siri
1907 01 - Sumatra : Western
Coast
1908 02 06 -2.0 100.0 W. Sumatra
1909 06 03 18 41U - 2.5 101.5 7.3 200 Sumatra: Kerinci-
Jambi
1928 03 26 -5.8 106.3 Volc Sunda St., Lampung,
1935 12 28 -0.3 97.9 N Sumatera: Batu
Island
1936 03 01 - 7.0 110/479 Sumatra:
1967 04 12 5.3 96.5 6.5 big N Sumatera: Sigli

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 11


Gambar 2.6. [Bawah] Hasil Simulasi Awal Tsunami Aceh (Latief and Triyoso, 2005)

10 minutes 30 minutes

60 minutes 90 minutes

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 12


120 minutes 160 minutes

180 minutes 210 minutes

Dapat dilihat dari simulasi awal tsunami yang dilakukan bahwa kota Banda Aceh dan
Meulaboh terkerna hantaman tsunami 20 sampai 30 menit setelah kejadian gempa
utama. Penjalaran gelombang telah menyebabkan kejadian tsunami di kawasan pantai
Samudra Hindia di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand,
Sri Lanka, India, Bangladesh, Maldives, Somalia, Seychelis, Afrika Selatan, Kenya,
Kepulauan Cocos, Mauritius dan Reunion.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 13


BAB 3
HASIL SURVEY REKONESANS

3.1. Kondisi dan Kerusakan Akibat Gempabumi


3.1.1. Kondisi Geologi dan Geoteknik
3.1.1.1. Kondisi Geologi Umum NAD
Secara umum fisigrafi NAD dibagi dalam 3 morfologi:
a. Deretan/barisan pantai Barat dari pegunungan Barisan, merupakan perbukitan
tajam dengan ketingian mencapai 2000 meter.
b. Perdataran Banda Aceh, merupakan perdataran luas sebagian didominasi oleh
endapan aluvium dan sebagian lagi didominasi oleh sedimen Plio-Plistosin.
c. Perbukitan pantai Utara, merupakan perbukitan rendah sampai landai dengan
ketinggian mencapai 500 meter, didominasi oleh endapan tersier muda yang
bersifat lunak, pola alirannya berbentuk meandring (berliku-liku).

Penyesaran plistosin di daerah NAD dikontrol oleh batas topografi yang berarah Barat
Laut-Tenggara yang terjadi di batas antar perdataran Banda Aceh dengan barisan
perbukitan pantai Barat. Kedudukan tektonik aktif di NAD umumnya didominasi oleh
2 pola sistem sesar/patahan wilayah yang diakomodasikan oleh gerak convergent
miring (oblique-convergent motion) atara lempeng Hindia-Australia dan Lempeng
Sunda. Kedua sistem patahan tersebut meliputi:
a. Sitem pertama, yaitu Lajur penujaman Sumatra menukik ke arah Utara-Timur ke
busur Pulau Sumatra.
b. Sistem kedua, yaitu sistem sesar/patahan geser menganan (dextral) memanjang
sepanjang Pegunungan Barisan yang dikenal dengan sistem patahan Sumatra.

3.1.1.2. Kondisi Geologi dan Geoteknik Kota Banda Aceh


Pedataran Banda Aceh disebelah Barat Daya berbatasan dengan bataun-batuan yang
terdiri dari batu gamping lempungan dan silikaan berwarna gelap, berlapis tipis
setempat tersingkap batuan metamorf filit, serpih, sedimen gunung api dan turbidit.
Disebelah Timut Laut batuannya didominasi oleh batuan-bataun hasil kegiatan
gunung api yang terdiri dari batuan gunung api andesit hingga dasit, breksi berbatu

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 14


apung, tuffa, aglomerat, aliran abau dan lahar berumur plistosin sampai holosin.
Endapan-edapan holosin merupakan endapan aluvium yang terdiri dari kerikil, pasir
berbutir halus sampai sangat halus, lempug kelanauan, lumpur. Endapan-endapan
tersebut merupakan endapatan torehan sungai (river channel deposit), endapan libah
banjir (flood plan deposit), dan endapan gumuk pantai, dan endapan-endapan lumpur
rawa.

Berdasarkan pengamatan visual, kondisi tanah lokal di daerah pinggir pantai kota
Banda Aceh umumnya terdiri atas lanau pasiran dan pasir kelanauan dengan
kosistensi medium stiff sampai stiff. Ada indikasi kondisi tanah di daerah dekat pantai
lebih lunak dibandingkan daerah ke arah pegunungan. Untuk mengetahui kondisi
tanah lokal secara lebih detail, hasil pengamatan visual ini perlu ditunjang oleh data-
data geoteknik hasil penyelidikan tanah.

Gambar 3.1. Kondisi umum tanah permukaan di dearah Banda Aceh yang
terdiri dari pasir kelempungan.

Topografi kota Banda Aceh yang cukup datar menyebabkan tidak dijumpainya
kerusakan berupa landsliding yang signifikan, kecuali terputusnya beberapa ruas jalan
dan jembatan di daerah pantai akibat hempasan gelombang tsunami.

3.1.1.3. Kondisi Geologi dan Geoteknik Meulaboh


Kota Meulaboh didominasi oleh endapan aluvium pantai dan rawa yang merupakan
pasir halus, lempung pasiran, lempung lembek berumur Holosin. Kearah Utara-Timur
Laut didominasi oleh formasi Meulaboh yang berumur Plistosin yang terdiri dari
kerikil, pasir, lanau, dan lumpur dengan kosistensi sedang sampai padat.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 15


Kondisi tanah lokal di sekitar kota Meulaboh, berdasarkan pengamatan visual,
umumnya terdiri atas pasir kelempungan atau pasir kelanauan dengan kosisntensi
lepas sampai padat. Pada daerah pantai dan tepian sungai, diidentifikasi adanya
indikasi kosistensi tanah cendrung lebih lunak dan terdiri dari lempung dan lanau
kepasiran. Kondisi topografi kota Meulaboh relatif datar, dimana muka air tanah
diamati rata-rata pada kedalaman 2-4 meter.

3.1.2. Kejadian dan Potensi Likuifaksi


3.1.2.1. Kejadian dan Potensi Likuifaksi Kota Banda Aceh
Di daerah Lampulo ditemukan lapisan pasir halus kelanauan jenuh air yang
diperkirakan terjadi likuifaksi, terlihat dari adanya penurunan-penurunan lapisan
tanah pasir yang dipertimbangkan akibat dari telah terjadinya likuifaksi sebelum
adanya tsunami. Selain itu, ditemukan juga adanya peristiwa likuifaksi atau
penurunan tanah di ujung jalan Iskandar Muda ke arah pantai, seperti ditunjukkan
dalam gambar peta rawan likuifaksi. Dari hasil pengamatan visual, daerah-daerah lain
yang diperkirakan mengalami peristiwa likuifaksi adalah:
ƒ Jalan Iskandar Muda perpotongan dengan sungai Kruengdoy
ƒ Ujung jalan Habib Abdulrahman perpotongan dengan Jalan Dipenegoro dekat
sungai Krueng Aceh.

Ground settlement dan potensi likuifaksi diamati di Gedung Keuangan yang rubuh
dan sebagain mengalami kerusakan struktural parah. Kondisi tanah di daerah ini
adalah merupakan tanah urugan di atas tanah dengan kondisi yang relatif cukup
lunak, terlihat dari kondisi tanah asli di bagian belakang dari lokasi gedung. Di daerah
sekitar mesjid Raya Baiturahman kondisi tanah permukaan diidentifikasi adanya suatu
lapisan tanah yang pada lapisan yang jenuh air berpotensi mengalami likuifaksi. Pada
daerah ini, memang tidak teramati adanya kejadian likuifaksi akibat gempa Aceh,
namun daerah ini dipertimbangkan memiliki potensi likuifaksi untuk suatu besaran
getaran gempa yang lebih besar.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 16


Gambar 3.2. Kondisi tanah permukaan yang terdiri dari lapisan pasir lepas
dan berlokasi ditepi pantai yang berpotensi likufaksi.

3.1.2.2. Kejadian dan Potensi Likuifaksi Kota Meulaboh


Kejadian dan potensi likuifaksi yang diidentifiaksi di kota Meulaboh umumnya terjadi
pada embankment jalan, embankment jembatan, dan bangunan di tepi sungai yang
terletak diatas lapisan pasir lepas yang jenuh.

Gambar 3.3 menunjukkan suatu bangunan yang terletak dipinggir sungai diatas
lapisan pasir jenuh yang diidentifikasi mengalami likuifaksi yang memicu kegagalan
daya dukung pondasi sehingga bangunan roboh, hal ini didukung oleh bukti bahwa
bangunan yang sama dan terletak relatif lebih jauh dari sungai masih berdiri tetapi
dimungkinkan untuk mengalami likuifaksi jika terjadi gempabumi dengan intensitas
yang lebih besar. Gambar 3.4 menunjukkan adanya potensi likuifaksi pada lokasi-
lokasi yang terdiri dari lapisan pasir jenuh, sedangkan Gambar 3.5 menunjukkan
adanya kemungkinan likuifaksi yang terjadi pada kaki lereng ditepi pantai yang
memicu terjadinya kelongsoran lereng.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 17


Gambar 3.3. Salah satu bangunan yang terletak dipinggir sungai yang
diperkirakan rubuh karena kehilangan daya dukung pondasi akibat likuifaksi.

Gambar 3.4. Lapisan pasir lepas pada permukaan tanah dengan kondisi tanah
jenuh yang berpotensi menyebabkan likuifaksi.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 18


Gambar 3.5. Adanya likuifaksi yang diidentifikasi terjadi pada kaki lereng
yang memicu terjadi kelongsoran.

3.1.3. Kondisi dan Kerusakan Bangunan


3.1.3.1. Kondisi dan Kerusakan Bangunan Kota Banda Aceh
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa, secara umum, kerusakan pada
bangunan publik dan bangunan pemerintahan, yang selamat dari terjangan tsunami,
diakibatkan oleh goncangan tanah. Bangunan-bangunan pemerintahan yang
mengalami kerusakan, baik struktural maupun non-struktural, antara lain adalah
Kantor Gubernur Propinsi NAD, Kantor Walikota Banda Aceh, Gedung Fakultas
Teknik Universitas Syah Kuala, Kampun IAIN Ar-Raniry dan lain-lain. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan pemerintahan didirikan
dengan kurang memperhatikan kaidah-kaidah perencanaan bangunan tahan gempa
(Standard Nasional Indonesia–SNI-2847-2002) baik ditinjau dari sistim pendetilan
penulangan maupun dari sistim strukturnya sendiri.

Dari pengamatan elemen struktur yang rusak, terutama pada detil hubungan antara
kolom dan balok sistim penulangannya tidak sempurna. Tulangan utama kolom

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 19


banyak yang tidak dilindungi oleh sistim kekangan (confinement) yang memadai. Hal
yang sama juga terjadi pada baloknya. Yang menonjol dari kelemahan sistim struktur
pada hampir semua bangunan yang mengalami kerusakan adalah adanya kolom-
kolom bagian luar yang tidak dihubungkan dengan balok keliling dalam arah
horizontal yang dimaksudkan agar dapat mengakomodir penerapan arsitektur
bangunan khas Aceh yang mengekspos kolom tinggi dan langsing. Hal ini
mengakibatkan balok yang menghubungkan kolom luar dan kolom dalam menerima
beban vertikal dari balok tepi penyangga pelat yang cukup besar. Keruntuhan
umumnya terjadi pada pertemuan balok dengan kolom luar ini.

Kelemahan secara struktural yang menonjol dari konstruksi bangunan di Aceh adalah
sistim penulangan dinding list plank. Karena pembesian pengangkerannya tidak
sempurna, menyebabkan list plank runtuh dan jatuh menimpa struktur dibawahnya.
Masalah yang sama juga terjadi pada sistim pengangkeran tembok vertikal penutup
angin dari kuda-kuda. Pengangkeran yang tidak baik menyebabkan tembok penutup
runtuh akibat gaya gempa.

Hasil pengamatan pada beberapa bangunan pemerintahan dan bangunan publik


secara rinci disampaikan pada bagian berikut.

Bangunan Pemerintahan
a. Kantor Gubernur Provinsi NAD
Kantor ini terletak di Jalan Tengku Nyak Arief, bagian timur kota Banda Aceh,
berjarak sekitar 3.5 km dari pantai dan 2.5 km dari Banjir Kanal Krueng Aceh. Pada
bangunan utama (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7), ground shaking menyebabkan
kerusakan struktural di satu kolom pada bagian belakang, berupa keruntuhan geser
(Gambar 3.8). Kerusakan non struktural berupa retak geser dijumpai pada dinding
bagian depan. Sedangkan energi gelombang tsunami telah menyebabkan robohnya
beberapa dinding lantai 1 (Gambar 3.9).

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 20


Gambar 3.6. Tampak Samping Bagian Depan Kantor Gubernur

Gambar 3.7. Tampak Samping Bagian Belakang Kantor Gubernur

Gambar 3.8. Keruntuhan geser pada kolom dan dinding bangunan utama bagian
belakang

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 21


Gambar 3.9. Keruntuhan dinding lantai 1 akibat gelombang tsunami

Secara umum konstruksi bangunan utama masih kuat dan aman untuk digunakan
dengan beberapa perbaikan baik struktural maupun non struktural. Kerusakan parah
terjadi pada bangunan (masih dalam tahap konstruksi) di belakang bangunan utama.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perencanaan bangunan tidak memenuhi
kaidah-kaidah perencanaan bangunan tahan gempa. Sendi-sendi plastis terbentuk
pada kolom karena detail penulangan confinement (pengekangan) pada kolom, join
(sambungan alok dan kolom) dan penulangan geser pada balok yang tidak sempurna.
Hal ini menyebabkan runtuhnya bangunan secara keseluruhan (Gambar 3.10).

Gambar 3.10. Keruntuhan bangunan belakang (dalam tahap konstruksi) akibat


goncangan tanah

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 22


Gambar 3.11 Keruntuhan bangunan belakang (dalam tahap konstruksi) akibat
goncangan tanah (lanjutan)

b. Kantor Walikota Banda Aceh


Kantor ini terletak di Jalan Iskandar Muda, di pusat kota Banda Aceh, berjarak sekitar
0.6 km dari Krueng Aceh dan 3.0 km dari pantai (Gambar 3.12). Goncangan tanah
menyebabkan kerusakan pada Gedung Balaikota, dimana secara umum, struktur
gedung tidak mengalami kerusakan yang berarti. Sebagian besar kerusakan terjadi
pada bagian-bagian non-struktural, seperti rangka atap, kanopi, balok list plank,
dinding, dan beberapa kolom praktis (Gambar 3.13 dan Gambar 3.14). Dari reruntuhan
rangka atap, diketahui bahwa tidak terdapat cukup rangka vertikal pengaku dalam
arah memanjang yang dapat menggabungkan seluruh sistim rangka kuda-kuda
menjadi satu kesatuan sehinga akan bergerak bersama pada saat terjadi gempa.
Kualitas pengelasan pada plat buhul juga terlihat kurang sempurna (Gambar 3.15).
Secara umum konstruksi bangunan utama masih kuat dan aman untuk digunakan
setelah dilakukan perbaikan baik struktural maupun non struktural.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 23


Gambar 3.12. Gedung Balaikota Banda Aceh

Gambar 3.13. Keruntuhan pada atap, kanopi dan list plank

Gambar 3.14. Retak geser pada dinding dan kolom praktis

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 24


Gambar 3.15. Keruntuhan pada rangka atap dan kondisi pelat buhul

c. Kantor DPRD Kota Banda Aceh


Kantor ini berada di samping Gedung Balaikota Banda Aceh. Berdasarkan informasi di
lapangan diketahui bahwa struktur bangunan terdiri dari dua bangunan yang
berimpit (dibatasi dengan dilatasi), yaitu bangunan lama yang berada di depan dan
bangunan bagian belakang yang dibuat belakangan (Gambar 3.16). Pada bangunan
lama, tidak terlihat adanya kerusakan baik struktural maupun non struktural.
Kerusakan akibat goncangan tanah hanya dijumpai pada bangunan bagian belakang
dimana keseluhunan struktur bangunan dan pondasinya mengalami penurunan
kurang lebih 20.0 cm (Gambar 3.17).

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 25


Gambar 3.16. Kantor DPRD Kota Banda Aceh

Gambar 3.17. Penurunan pada bangunan belakang

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 26


Untuk bangunan lama, konstruksi bangunan masih kuat dan aman untuk digunakan.
Sedangkan untuk bangunan bagian belakang, perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
mengetahui kekuatan struktur eksisting dan tingkat penurunan serta daya dukung
sistem pondasi pasca gempa.

d. Kantor PLN Wilayah NAD


Bangunan yang menempati lokasi di Jalan Moh. Daud Beureu-eh ini sangat didominasi
arsitektur bangunan khas Aceh dengan exposing kolom-kolom langsing pada
perimeter bangunan (Gambar 3.18). Balok dan kolom dengan dinding kaca berada
terpisah dari kolom-kolom perimeter tersebut. Kerusakan bangunan yang diakibatkan
oleh goncangan tanah bersifat struktural dan non-struktural. Seperti terlihat dalam
gambar-gambar berikut ini, kerusakan struktural berupa keruntuhan geser terjadi
dengan terbentuknya sendi-sendi plastis pada seluruh balok (di daerah joint dengan
kolom luar) (Gambar 3.19). Kerusakan struktural juga dijumpai pada joint balok dan
kolom praktis bagian dalam (Gambar 3.20). Kanopi depan dan belakang mengalami
keruntuhan (Gambar 3.21).

Gambar 3.18. Kantor PLN Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 27


Gambar 3.19. Sendi-sendi plastis yang terbentuk pada balok

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 28


Gambar 3.20. Kerusakan struktural pada joint balok dan kolom bagian dalam

Gambar 3.21. Kerusakan pada kanopi depan dan belakang

Perencanaan struktur belum memperhatikan kontinuitas dari kekakuan kolom dimana


kolom atas (lantai 2) dengan dimensi sama tetapi tinggi lebih rendah. Dengan
demikian kolom lantai 2 jauh lebih kaku sehingga seluruh lantai 2 menjadi beban

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 29


inersia pada kolom lantai 1 pada saat terjadi gempa, atau dikenal dengan istilah soft
story effect. Diskontinuitas pada struktur lantai yang tidak menerus pada kolom,
dimana hanya baloknya saja yang menerus pada kolom. Hal ini menyebabkan proses
pemindahan energi terjadi pada sendi-plastis yang pendek yang menyebabkan
kerusakan seperti terlihat pada Gambar 3.19.
Secara umum, Gedung PLN ini tidak aman untuk digunakan dan diperlukan
pengetesan untuk mengetahui kekuatan struktur eksisting dan analisis perbaikan.

e. Gedung Keuangan Negara Banda Aceh


Gedung yang terletak di Jalan Tengku Cik Ditiro ini terdiri dari bangunan tengah
dengan dua bangunan sayap. Goncangan tanah menyebabkan keruntuhan total pada
bangunan tengah dan bangunan sayap kiri (Gambar 3.22 sampai Gambar 3.25).
Meskipun, menurut informasi di lapangan, bangunan ini telah mengalami beberapa
perbaikan akibat gempa pada tahun 1982, dari kerusakan yang terjadi terlihat bahwa
detail penulangan tidak memenuhi kaidah bangunan tahan gempa (Gambar 3.26).
Kerusakan terjadi pada sendi plastis yang terletak pada kolom atas lantai dasar. Hal ini
tidak dibenarkan oleh peraturan bangunan tahan gempa, dimana kolom harus lebih
kuat dari baloknya. Disamping itu kolom tidak dilengkapi dengan pengekangan
(confinement) yang cukup.

Gambar 3.22. Gedung Keuangan Negara pasca gempa

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 30


Gambar 3.23. Keruntuhan total pada bangunan sayap kiri

Gambar 3.24. Keruntuhan pada bangunan tengah

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 31


Gambar 3.25. Bangunan sayap kanan yang masih utuh

Gambar 3.26. Keruntuhan akibat tulangan geser yang minim

Secara umum, bangunan yang tersisa di sayap kanan masih aman untuk digunakan.
Sedangkan bangunan tengah dan sayap kiri harus dibongkar dan diganti dengan
bangunan baru.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 32


f. Museum Safwan Idris, IAIN Ar-Raniry

Gambar 3.27. Museum Safwan Idris, IAIN Ar-Raniry

Bangunan ini menempati satu kompleks di Kampus IAIN Ar-Raniry, bersebelahan


dengan Biro Rektorat. Bangunan tiga lantai ini terdiri dari bangunan tengah beratap
khas bangunan Aceh dan diapit oleh dua bangunan sayap beratap doom (Gambar
3.27). Pada bangunan tengah dan bangunan sayap kanan, kerusakan yang terjadi
akibat goncangan tanah bersifat non-struktural berupa retak geser pada dinding dan
kolom dalam (Gambar 3.28 dan Gambar 3.29). Sedangkan kerusakan struktural terjadi
pada bangunan sayap kiri. Penulangan yang tidak sempurna menyebabkan
terbentuknya sendi plastis pada salah satu kolom dan retak geser pada seluruh balok,
dengan penjelasan seperti yang terjadi pada Gedung PLN (Gambar 3.30). Diperlukan
perbaikan pada bangunan tengah dan sayap kanan. Sedangkan bangunan sayap kiri
harus dibongkar.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 33


Gambar 3.28. Kerusakan non struktural pada dinding luar bangunan sayap
kanan dan bangunan tengah

Gambar 3.29. Keruntuhan geser pada satu kolom dan dinding dalam pada
bangunan tengah

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 34


Gambar 3.30. Keruntuhan struktural pada bangunan sayap kiri

g. Pabrik Semen Andalas, Lhok Nga


Meskipun pabrik yang berlokasi di Pantai Lhok Nga ini mengalami kerusakan parah
akibat terjangan gelombang tsunami, secara umum struktur utama pabrik
kemungkinan masih kuat. Kerusakan parah terjadi pada elemen-elemen pendukung
seperti terputusnya conveyor, panel-panel dan instrumen, dan tangki bahan bakar.
Kerusakan struktural hanya terjadi pada bangunan rangka baja sederhana di lokasi
stock batu bara.
Untuk dapat beroperasi kembali, diperlukan investigasi dan analisis lebih lanjut untuk
perbaikan pabrik, dengan melibatkan ahli-ahli dari bidang-bidang yang terkait.
Diprlukan data terutama as-built drawing dan technical specification dari pabrik dan
diperlukan detail damage assessment untuk merencanakan kembali rehabilitasi pabrik.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 35


Gambar 3.31. Kerusakan Pabrik Semen Andalas akibat gelombang tsunami

h. Fakultas Teknik Universitas Syah Kuala


Seperti pada bangunan lain di Universitas Syah Kuala, bangunan ini telah
direncanakan sebagai bangunan tahan gempa. Pemisahan struktrur bangunan dengan
dilatasi menyebabkan tidak adanya kerusakan struktural secara menyeluruh pada saat
terjadi gempa. Kerusakan yang terjadi hanya bersifat non struktural, seperti retak geser
pada satu kolom, retak pada batas dinding dan kolom dan runtuhnya langit-langit
kelas di lantai tiga. Keruntuhan dinding di lantai tiga lebih disebabkan karena lokasi
dinding dan ring balk tidak menyatu dengan struktur utama bangunan.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 36


Kemungkinan, hal ini lebih disebabkan oleh kebutuhan ruangan, sehingga
mengabaikan keamanan struktur.

Gambar 3.32. Pergeseran pada dilatasi dan retak geser pada satu kolom

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 37


Gambar 3.33. Keruntuhan dinding dan langit-langit kelas di lantai tiga

Secara umum, bangunan ini masih kuat dan aman untuk digunakan. Perbaikan non-
struktural diperlukan untuk mengembalikan fungsi ruangan. Pemakaian dinding
dengan material ringan, seperti gypsum, perlu dipikirkan jika kebutuhan ruangan
menyebabkan diperlukannya dinding penyekat yang tidak menyatu dengan struktur
utama.

i. Kantor Bappeda Propinsi NAD


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.34. Kantor Bappeda Propinsi NAD

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 38


j. Kantor Bappeda Kota Banda Aceh
Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.35. Kantor Bappeda Kota Banda Aceh

k. Kantor Dinas Pendidikan Nasional


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.36. Kantor Dinas Diknas

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 39


l. Kantor DPRD Propinsi NAD
Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.37. Kantor DPRD Propinsi NAD

m. Kantor Pertamina Unit Pemasaran-I


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.38. Kantor Pertamina Unit Pemasaran–I, Cabang Banda Aceh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 40


n. Kantor PLN Banda Aceh
Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang berarti.

Gambar 3.39. Kantor PLN Banda Aceh

o. Gedung Stasiun RRI


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.40. Gedung RRI

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 41


p. Kantor PT. Taspen (Persero)
Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.41. Kantor PT. Taspen (Persero)

q. Markas Polda NAD


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.42. Markas Polda NAD

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 42


r. Pengadilan Negeri Banda Aceh
Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti.

Gambar 3.43. Pengadilan Negeri Banda Aceh

s. Pengadilan Tinggi Banda Aceh


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang berarti.

Gambar 3.44. Pengadilan Tinggi Banda Aceh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 43


t. Gedung Pramuka Kwartir Daerah Istimewa Aceh
Bangunan ini mengalami kerusakan struktural pada joint kolom dan balok akibat
goncangan tanah.

Gambar 3.45.a. Gedung Pramuka, Kwartir Daerah Istimewa Aceh

Gambar 3.45.b. Beberapa kerusakan pada gedung Pramuka, Kwartir Daerah


Istimewa Aceh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 44


u. Lembaga Pemasyarakatan
Hampir seluruh bangunan hancur akibat terjangan tsunami.

Gambar 3.46. Lembaga Pemasyarakatan

Bangunan Publik

a. Bangunan dan Menara Masjid Raya Baiturrahman


Tidak dijumpai kerusakan struktural akibat gempa pada struktur bangunan yang
didirikan pada jaman kolonial Belanda ini. Retak-retak dan penurunan lantai dijumpai
pada dilatasi antara bangunan lama dan bangunan baru (Gambar 3.47).

Gambar 3.47. Retak dan penurunan lantai pada dilatasi bangunan lama dan baru

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 45


Kerusakan non struktural terjadi pada menara masjid yang terletak di halaman depan.
Struktur utama menara ini, berupa kolom utama di bagian tengah, tidak mengalami
kerusakan. Kerusakan non struktural terjadi pada kolom-kolom praktis di perimeter
bangunan, dinding dan tangga.

Gambar 3.48. Kerusakan non struktural pada bagian luar menara

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 46


Gambar 3.49. Kerusakan non struktural tembok bata pada bagian dalam menara

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, direkomendasikan untuk segera


membongkar dinding dan kolom luar yang mengalami kerusakan. Diperlukan
perbaikan non struktural pada menara untuk mengembalikan fungsi dan nilai
estetikanya.

b. Hotel Kuala Tripa


Hotel yang terletak di Jalan Tengku Abdullah Luong Rimba ini runtuh akibat
goncangan tanah. Keruntuhan pada bangunan lima lantai ini diperkirakan diakibatkan
oleh kegagalan kolom lantai 1 yang tidak memenuhi konsep ”kolom kuat balok
lemah” dan kemungkinan detailing struktur kolom kurang lengkap.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 47


Gambar 3.50. Hotel Kuala Tripa pasca gempa

c. Kantor-kantor Perbankan
Seluruh bangunan kantor-kantor perbankan di Banda Aceh, yang dikunjungi, dari
tinjauan visual diperkirakan tidak mengalami kerusakan yang berarti. Hanya kantor
BNI di Lampaseh Kota yang mengalami kerusakan pada dinding akibat tsunami.

Gambar 3.51. Gedung Bank Indonesia

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 48


Gambar 3.52. Kantor Bank Rakyat Indonesia

Gambar 3.53. Kantor Bank Pembangunan Daerah

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 49


Gambar 3.54. Kantor Bank BTPN

Gambar 3.55. Kantor BNI46

d. Rumah Sakit Zainal Abidin


Dari tinjauan visual, diperkirakan bangunan ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti karena denah struktur lebih kurang simetri dengan didukung banyak kolom
struktur.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 50


Gambar 3.56. Rumah Sakit Zainal Abidin

e. Kantor Telkomsel
Kerusakan struktural akibat goncangan tanah terjadi pada kolom utama. Secara umum
bangunan ini sudah tidak dapat digunakan dan memerlukan pembangunan kembali.

Gambar 3.57. Kantor Telkomsel

Struktur Gedung Kanto Telkomsel ini belum memperhatikan aspek kontinuitas


kekakuan kolom dalam arah longitudinal dan transversal. Detil penulangan kurang
memperhatikan aturan dalam SNI.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 51


f. Mall Pantee Pirak
Kerusakan struktural akibat goncangan tanah terjadi hampir seluruh bangunan,
karena didirikan tanpa penerapan kaidah-kaidah struktur tahan gempa. Secara umum
bangunan ini sudah tidak dapat digunakan dan memerlukan pembangunan kembali.

Gambar 3.58. Mall Pantee Pirak

g. Geunta Plaza
Kerusakan non struktural akibat goncangan tanah terjadi pada dinding gedung. Secara
umum bangunan masih dapat digunakan setelah dilakukan perbaikan.

Gambar 3.59. Geunta Plaza

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 52


h. Apartment Bale Gading
Kerusakan non struktural akibat goncangan tanah terjadi pada dinding gedung. Secara
umum bangunan masih dapat digunakan setelah dilakukan perbaikan.

Gambar 3.60. Apartment Bale Gading

i. Kompleks Ruko dan Pertokoan


Kerusakan struktural akibat goncangan tanah terjadi hampir seluruh bangunan,
karena didirikan tanpa penerapan kaidah-kaidah struktur tahan gempa. Secara umum
bangunan-bangunan ini sudah tidak dapat digunakan dan memerlukan pembangunan
kembali.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 53


Gambar 3.61. Komplek ruko yang hancur akibat goncangan tanah

Data hasil survey lapangan terhadap tingkat kerusakan bangunan, yang meliputi
bangunan pemerintah dan banguna publik, untuk kota Banda Aceh dapat dilihat pada
Lampiran.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 54


3.1.3.2. Kondisi dan Kerusakan Bangunan Kota Meulaboh
Secara umum kerusakan bangunan di kota Meulaboh lebih disebabkan oleh terjangan
tsunami pada daerah-daerah pantai. Kerusakan akibat gempabumi pada bangunan
umumnya bersifat non-struktural.

a. Bangunan Sekolah
Bangunan 1 lantai umumnya bertahan dari gaocangan gempabumi, rata-rata
kerusakan yang terjadi bersifat non-stuktural seperti ditampilkan pada Gambar 3.62.

Gambar 3.62. Tidak ada kerusakan struktural pada bangunan 1 lantai

b. Bangunan Rumah Tinggal

Bangunan dan rumah tinggal 1 lantai dan 2 lantai umumnya bertahan dari gaocangan
gempabumi, rata-rata kerusakan yang terjadi bersifat non-stuktural seperti
ditampilkan pada Gambar 3.63 sampai Gambar 3.64.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 55


Gambar 3.63. Bangunan rumah tinggal 1 dan 2 lantai rata-rata tidak mengalami
kerusakan struktural akibat gempabumi

Gambar 3.64. Bangunan rumah 2 lantai rata-rata tidak mengalami kerusakan


struktural akibat gempabumi

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 56


Pada beberapa lokasi, ditemukan adanya bangunan lama 2 lantai yang mengalami
kerusakan non struktural, kerusakan struktural tersebut berupa kolom-kolom praktis
bangunan dan dinding seperti ditampilkan pada 3.65.

Gambar 3.65. Kerusakan non-struktural pada bangunan 2 lantai

c. Bangunan Pertokoan
Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum bangunan ruko 3 lantai bertahan
terhadap goncangan gempa seperti ditampilkan pada Gambar 3.66 dan 3.68. Beberapa
bangunan yang mengalami kerusakan non-struktural umumnya bangunan yang
terletak dipinggir pantai yang diidentifikasi disebabkan oleh lateral spread akibat
kondisi tanah yang lunak dan jenuh, serta topgrafi tanah yang miring.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 57


Gambar 3.66. Kawasan pertokoan yang tidak mengalami kerusakan struktural

Gambar 3.67. Bangunan 3 lantai (dalam tahap konstrukti) yang berlokasi di pinggir
pantai dan tahan terhadap goncangan gempabumi

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 58


Gambar 3.68. Bangunan 3 lantai (dalam tahap konstrukti) yang tidak mengalami
kerusakan struktural

d. Bangunan Masjid
Seperti halnya bangunan rumah tinggal 1 dan 2 lantai lantai, masjid umumnya
bertahan terhadap goncangan gempabumi dan tidak mengalami kerusakan struktural.

Gambar 3.68. Bangunan masjid dan menaramya yang tidak mengalami kerusakan
struktural

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 59


e. Bangunan Pemerintah
Pada bebrapa bangunan pemerintah atau perkantoran yang diamati, secara umum
bangunan hanya mengalami kerusakan-kerusakan non-struktural. Kerusakan non
struktural terjadi pada bangunan perkantoran dimana struktur utama bangunan
tersebut berupa kolom utama di bagian depan tidak mengalami kerusakan. Kerusakan
non-struktural terjadi pada dinding, rangka atap bagian depan, dan retakan pada
lantai seperti ditunjukkan pada Gambar 3.69.

Gambar 3.68. Bangunan perkantoran yang mengalami kerusakan non-sruktural

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 60


3.1.4. Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur
3.1.4.1. Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur Kota Banda Aceh
a. Jalan
Secara umum jalan-jalan di kota Banda Aceh tidak mengalami kerusakan akibat
adanya gempabumi. Beberapa bagian jalan yang mengalami kerusakan akibat gempa
umumnya terjadi pada timbunan embankment yang mengalami kelongsoran ke
pinggir, penurunan, lateral spread, atau likuifaksi untuk tanah pasir jenuh. Jalan-jalan
yang berada di pinggir pantai umumnya lebih banyak rusak parah malah sampai
mengelupas akibat terjangan tsunami.
Gambar 3.70 sampai Gambar 3.72 dan menunjukkan adanya lateral spread pada
embankment jalan yang menimbulkan lubang rekahan pada permukaan jalan.

Gambar 3.70. Kerusakan jalan pada timbunan embankment yang disebabkan


oleh lateral spread.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 61


Gambar 3.71. Bagian lain dari kerusakan jalan dan tembok penahan tanah
pada timbunan embankment yang disebabkan oleh lateral spread.

Gambar 3.72. Kerusakan jalan dan bahu jalan pada timbunan embankment
yang disebabkan oleh penurunan dan kelongsoran ke pinggir.

b. Jembatan
Pada umumnya kerusakan jembatan terjadi karena terjangan tsunami. Kerusakan
jembatan karena gempabumi umumnya terjadi pada oprit dan timbunan yang
mengalami kelongsoran atau lateral spread, atau likuifaksi.

c. Pelabuhan
Hampir seluruh pelabuhan di Banda Aceh hancur akibat gelombang tsunami.
Pelabuhan-pelabuhan yang sempat dikunjungi adalah Pelabuhan Ulee Lheu,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 62


Pelabuhan Lampulo dan Pelabuhan Malahayati. Gelombang tsunami di Pantai Ulee
Lheu menyebabkan hilangnya struktur pelabuhan dan hanya menyisakan bangunan-
bangunan pendukung (Gambar 3.73).

Gambar 3.73. Pelabuhan Ulee Lheu pasca gempabumi dan tsunami

Dinding penahan tanah di Pelabuhan Lampulo, di pinggir Krueng Aceh, mengalami


kerusakan parah. Beberapa segmen amblas kedalam sungai sampai menyebabkan
terputusnya jalan akses (Gambar 3.74). Direkomendasikan untuk menggunakan sistem
sheetpiling untuk rehabilitasi dinding/tepi jalan yang sekarang digunakan untuk
tambat kapal.

Gambar 3.74. Pelabuhan Lampulo pasca tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 63


Pelabuhan Malahayati adalah satu-satunya pelabuhan yang tidak hancur oleh
gelombang tsunami (Gambar 3.75). Seluruh bagian pelabuhan masih dapat
difungsikan dengan baik. Kerusakan parah terjadi pada kompleks tangki minyak milik
Pertamina di sebelah pelabuhan. Gelombang tsunami telah menyebabkan terlepasnya
3 tangki minyak (Gambar 3.76).

Gambar 3.75. Pelabuhan Malahayati pasca tsunami

Gambar 3.76. Tangki-tangki Pertamina yang terseret gelombang tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 64


d. Lifelines (Fasilitas penunjang vital kehidupan)
Kerusakan fasilitas penunjang seperti saluran air bersih, jaringan listrik, jaringan
komunikasi, dan fasilitas penunjang lainnya yang terjadi di kota Banda Aceh secara
umum disebabkan karena adanya terjangan tsunami, sedangkan kerusakan akibat
gempabumi relatif bersifat minor, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.77 dan 3.78.

Gambar 3.77. Kelongsoran embankment yang memicu kerusakan pada saluran


kabel komunikasi dan saluran/pipa air tertanam.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 65


Gambar 3.78. Jaringan (kebel) listrik yang terputus

3.1.4.2. Kondisi dan Kerusakan Infrastruktur Kota Meulaboh


a. Jalan
Secara umum jalan-jalan disekitar kota Meulaboh mengalami kerusakan akibat
terjangan tsunami pada derah-daerah pinggir pantai dan dataran rendah disekitar
bantaran sungai yang ditandai dengan pengelupasan lapisan permukaan atau
kelongsoran pada embankment akibat gerusan air gelombang tsunami.

Beberapa bagian jalan yang mengalami kerusakan akibat gempa umumnya terjadi
pada timbunan embankment yang mengalami kelongsoran ke pinggir, penurunan,
lateral spread, atau likuifaksi untuk tanah pasir jenuh seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.79. Secara umum, tingkat kelongsoran, penurunan, dan leteral spread yang
terjadi pada embankment jalan dipengaruhi oleh kondisi topografi di sekitar lokasi,
tinggi embankment, kondisi lapisan tanah, dan level muka air tanah.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 66


Gambar 3.79. Kerusakan jalan pada timbunan embankment yang disebabkan
oleh penurunan dan kelongsoran ke pinggir.

b. Jembatan
Pada umumnya kerusakan jembatan terjadi pada oprit dan timbunan yang mengalami
kelongsoran atau lateral spread, atau likuifaksi. Kerusakan dapat disebabkan oleh
adanya perbedaan pergerakan yang cukup besar pada pier dan adanya kemungkinan
kegagalan geser pada pondasi pier akibat beban gempa dan terjangan tsunami, seperti
ditampilkan pada Gambar 3.80.

Gambar 3.80. Kerusakan jembatan yang terjadi pada oprit.

c. Pelabuhan
Beberapa pelabuhan nelayan yang diamati disekitar Meulaboh umumnya mengalami
kerusakan akibat adanya terjangan tsunami. Akibat gempabumi, kerusakan umumnya
terjadi pada daerah embankment atau lereng pada kondisi tanah yang berpasir.
Kerusakan pada embankment dan lereng tersebut disebabkan oleh adanya
kemungkinan liquifaksi pada lapisan pasir jenuh sehingga tahanan geser pada lereng

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 67


menurun dan memicu terjadinya pergerakan lereng. Gambar 3.81. menunjukkan
adanya likuifaksi pada lapisan pasir jenuh ditepi pantai yang memicu terjadinya
kelongsoran lereng disekitar bangunan/masjid tersebut.

Gambar 3.81. Kerusakan pelabuhan nelayan (penggir pantai) yang disebabkan


oleh kelongsoran dan lateral spread.

d. Lifelines (Fasilitas penunjang vital kehidupan)


Kerusakan fasilitas penunjang kehidupan seperti saluran air bersih, jaringan listrik,
jaringan komunikasi, dan fasilitas penunjang lainnya yang terjadi disekitar kota
Meulaboh secara umum lebih disebabkan karena adanya terjangan tsunami.

Gambar 3.82. Kerusakan jaringan listrik karena kehilangan daya dukung dan
tahanan lateral tanah.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 68


Gambar 3.82 menunjukkan kerusakan tiang jaringan listrik akibat gempabumi
disebabkan oleh terlampauinya tahanan lateral tanah sehingga menyebabkan beberapa
tiang jaringan listrik mengalami kemiringan sampai roboh, sedangkan Gambar 3.82.
mununjukkan kerusakan pada jaringan listrik ayang disebabkan terjangan tsunami
sehingga pada beberapa jaringan mengalami kerobohan.

Gambar 3.83. Kerusakan jaringan listrik karena goncangan gempa dan


terjangan tsunami.

Dengan memperhatikan cukup banyaknya kerusakan akibat gempa dari bangunan


gedung dan jembatan (engineered structures) dan rumah tinggal (non-engineered
structures), serta fasilitas-fasiltas penunjang vital kehidupan, maka perlu evaluasi
terhadap beberapa hal berikut ini:
a. Perlunya kajian kembali mengenai besaran seismic hazard di Propinsi NAD serta
mengevaluasi zonasi gempa dalam Standar Nasional Indonesia yang berlaku
sekarang untuk Provinsi NAD.
b. Perlunya mengidentifikasi daerah-daerah di kota dengan kondisi tanah lokal
yang bervariasi, sehingga dapat dibuat suatu peta mikrozonasi kota.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 69


c. Melakukan kajian terhadap proses perijinan bangunan dan infrastruktur
pembangunan di NAD.
d. Menyiapkan dan menyusun masukan teknis kepada Pemerintah Provinsi NAD
dan Pemerintah Kota untuk memperkuat peraturan bangunan dan pedoman-
pedoman praktis design dan konstruksi bangunan tahan gempa.
e. Memperkuat kapasitas tim teknis Dinas Bangunan kota dalam memeriksa disain
bangunan dan infrastruktur untuk pemberian ijin bangunan. Bila perlu,
dibentuk suatu tim penasehat konstruksi bangunan yang terdiri atas ahli-ahli
bangunan dari Dinas Bangunan sendiri, Universitas, dan Konsultan.
f. Memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada tim teknis Dinas Bangunan,
Konsultan dan Kontraktor mengenai peraturan, disain, dan konstruksi bangunan
tahan gempa.
g. Memperkuat dan/atau memasukkan mata kuliah teknik kegempaan dalam
kurikulum Universitas jurusan Teknik Sipil di Banda Aceh.

3.2. Kondisi dan Kerusakan Akibat Tsunami


Survey tsunami oleh tim ahli ITB dilakukan mulai tanggal 20-24 Januari 2005 di kota
Banda Aceh dan Lhok Nga Kemudian survey dilanjutkan kembali oleh tim tsunami
berikutnya untuk kota Banda Aceh dan Meulaboh mulai tanggal 26-31 Januari 2005.

Materi Survey
Survey dilakukan untuk mendapatkan data-data tsunami berikut ini:
1. Tinggi gelombang tsunami
2. Waktu tiba gelombang tsunami
3. Karakteristik gelombang tsunami
4. Inundation (jarak horisontal genangan tsunami dengan garis pantai)
5. Kerusakan akibat gelombang tsunami

Hasil Survey
Kota Banda Aceh:
1. Tinggi tsunami : 6 – 15 meter dari MSL (mean sea level).
2. Waktu tiba tsunami: 15 – 50 menit setelah gempa.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 70


3. Karakteristik tsunami: gelombang datang 3 kali, yang ke-2 yang terbesar.
4. Rendaman (inundation) maksimum mencapai penetrasi ke darat 3.5 km dari
garis pantai.
5. Kerusakan: kerusakan bangunan terutama disebabkan karena tsunami
membawa debris besar.
Lhok Nga:
1. Tinggi tsunami : 15 – 30 meter dari MSL (mean sea level).
2. Waktu tiba tsunami: 15 – 40 menit setelah gempa.
3. Karakteristik tsunami: gelombang datang 2 kali, yang ke-2 yang terbesar.
4. Rendaman (inundation): maksimum 1.5 km dari garis pantai.
5. Kerusakan: kerusakan bangunan terutama disebabkan karena tsunami
membawa debris besar.
Kota Meulaboh:
1. Tinggi tsunami : 8 – 16 meter dari MSL (mean sea level).
2. Waktu tiba tsunami: 25 – 50 menit setelah gempa.
3. Karakteristik tsunami: gelombang datang 2 kali, yang ke-2 yang terbesar.
4. Rendaman (inundation): maksimum 3.0 km dari garis pantai.
5. Kerusakan: kerusakan bangunan terutama disebabkan karena tsunami
membawa debris besar.

Tsunami di Banda Aceh diperkirakan datang sekitar 50 menit setelah terjadinya


gempabumi. Dari saksi mata dilaporkan bahwa tsunami datang sebanyak 3 kali, yang
diawali dengan gelombang pertama yang kecil kemudian diikuti oleh gelombang
kedua yang sangat besar serta gelombang ketiga yang kecil. Gelombang kedua ini
memiliki tinggi sikitar 15 meter di Ulee Lheue, pantai utara Banda Aceh dan sekitar 30
meter di pantai barat Lhok Nga dan meluluhlantakkan daerah yang dilaluinya. Dari
hasil survei dan diperkuat oleh hasil photo udara diperlihatkan bahwa air melintasi
daratan dari Lhok Nga (pantai barat) menuju Banda Aceh, serta dari laut Utara Banda
Aceh menerjang Uleele dan berpropagasi menuju ke kota Banda Aceh. Dari kedua
arah penjalaran arus ini bertemu disuatu tempat yang mengakibatkan tinggi dan
olakan gelombang di tempat tersebut menjadi lebih tinggi. Kecepatan arus memasuki
perkotaan bervariasi anatara 3 sd 7 m/dt. Air tsunami berwarna hitam pekat

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 71


bercampur lumpur dan debris dari hancuran bangunan-bangunan serta pohon yang
tercerabut akar-akarnya. Gambar 3.84 menunjukkan derah rendaman, arah tsunami
serta ketinggian gelombang tsunami di pantai utara Banda Aceh dan Lhok Nga.

15 m

30 m

Gambar 3.84. Arah dan tinggi gelombang tsunami serta daerah rendaman tsunami

3.2.1 Kerusakan Bangunan dan Rumah Tinggal akibat Tsunami


Sebagian besar kehancuran dan kerusakan bangunan, rumah tinggal, dan infrastruktur
yang berbatasan dengan pantai diakibatkan oleh tsunami dengan ketinggian dan
energi yang besar dan sangat dashyat. Tsunami menyapu dan membawa benda-benda
padat, berangkal, dan pepohonan hasil sapuan di pinggir pantai dan seterusnya
menghancurkan sebagian besar bangunan dan infrastruktur yang dilalui tsunami
beberapa ratus meter kearah darat. Kerusakan bangunan dan infrastruktur akibat
tsunami ini mencapai penetrasi ke daratan sampai jarak 2 km. Daerah rendaman akibat
tsunami mencapai kira-kira 3,3 km dari garis pantai seperti diperlihatkan oleh citra

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 72


satelit pada beberapa gambar dalam laporan ini, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.85
sampai Gambar 3.89.

Gambar 3.85. Servey pasca tsunami yang menunjukkan run-up gelombang tsunami
terhadap permukan laut dan permukaan tanah

Gambar 3.86. Survey pengamatan arah dan tinggi tsunami di kota Banda Aceh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 73


Gambar 3.87. Survey pengamatan arah dan tinggi tsunami di pantai Ulhe Leu

Gambar 3.88. Survey pengamatan arah dan tinggi tsunami di Lhok Nga

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 74


Gambar 3.89. Survey pengamatan arah dan tinggi tsunami Daerah Lhok Nga

Gambar 3.90. Pabrik semen Andalas – Lhok Nga, 15 km Barat Daya Banda Aceh,
sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 75


Kerusakan-kerusakan akabiat tsunami juga dapat dilihat dari perbandingan hasil foto
udara sebelum dan sesudah kejadian tsunami. Beberapa hasil foro udara sebelum dan
sesudah tsunami untuk kawasan Banda Aceh ditunjukkan seperti Gambar 3.91 sampai
Gambar 3.94.

Gambar 3.91. Garis pantai Kawasan Banda Aceh sebelum (kiri) dan sesudah
(kanan) tsunami

Gambar 3.92. Kawasan Banda Aceh sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) tsunami

Gambar 3.93. Kawasan Mesjid Agung Banda Aceh sebelum (kiri) dan sesudah
(kanan) tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 76


Gambar 3.94. Kota Banda Aceh sebelum (kiri) dan setelah (kanan) tsunami

Kerusakan-kerusakan akabiat tsunami berdasrkan beberapa hasil foro udara sebelum


dan sesudah tsunami untuk kota Meulaboh ditunjukkan seperti Gambar 3.95 dan
Gambar 3.96.

Gambar 3.95. Kota Meulaboh sebelum (kiri) dan setelah (kanan) tsunami

Gambar 3.96. Sisi lain Kota Meulaboh sebelum (kiri) dan setelah (kanan) tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 77


Hasil foto secara lengkap pada beberapa kawasan di Banda Aceh dan Meulaboh dapat
dilihat pada Lampiran.

Besarnya energi gelombang tsunami inilah yang telah menyebabkan kerusakan paling
parah pada hampir seluruh bangunan rendah, seperti pemukiman, perkantoran, dan
pertokoan serta bangunan infrastrukur lainnya. Kerusakan ditemukan pada hampir
setengah bagian kota Banda Aceh, dengan intensitas kerusakan total pada bangunan
perumahan di daerah pantai dan disekitar alur Sungai Krueng dan Banjir Kanal.
Daerah yang mengalami kerusakan total adalah Pantai Lhok Nga, Pantai Ulee Lheu
sampai daerah Punge Blang Cut, Pelabuhan Lampulo, Tibang dan Krueng Raya
(Gambar 3.97 sampai Gambar 3.104).

Arah aliran
gelombang
tsunami

Gambar 3.97. Arah tsunami serta ketinggian gelombang tsunami di pantai utara
Banda Aceh dan Lhok Nga

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 78


Gambar 3.98. Kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh terjangan tsunami

Gambar 3.99. Komplek ruko yang hancur akibat gempabumi dan tsunami.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 79


Gambar 3.100. Sisa-sisa pemukiman yang rata dengan tanah akibat gelombang
tsunami di Pantai Lampuuk

Gambar 3.101. Sisa-sisa pemukiman yang rata dengan tanah akibat gelombang
tsunami di Pantai Lhok Nga

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 80


Gambar 3.102. Sisa-sisa pemukiman yang rata dengan tanah akibat gelombang
tsunami di Punge Blangcut

Gambar 3.103. Sisa-sisa pemukiman yang rata dengan tanah akibat gelombang
tsunami di Lampaseh Aceh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 81


Gambar 3.104. Kondisi jalanan di Lampaseh Kota yang penuh dengan puing-puing

3.2.2. Kerusakan Infrastruktur akibat Tsunami


Besarnya energi gelombang tsunami inilah juga telah menyebabkan kerusakan parah
pada pada bangunan-bangunan infrasruktur seperti jalan, pelabuhan, jembatan,
saluarn listrik, komunikasi, dan saluran. Kerusakan ditemukan hampir merata di kota
Banda Aceh, Pantai Lhok Nga, Pantai Ulee Lheu sampai daerah Punge Blang Cut,
Pelabuhan Lampulo, Tibang dan Krueng Raya, dan Meulaboh. Beberapa kerusakan
infrastruktur akibat tsunami ditunjukan seperti Gambar 3.105 dan Gambar 3.106.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 82


Gambar 3.105. Kerusakan jembatan di Pantai Lhok Nga dan Ulee Lheu yang putus
akibat hempasan gelombang tsunami

Gambar 3.106. Kondisi jalan dan jembatan yang putus akibat hempasan gelombang
tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 83


BAB 4
PETA-PETA AWAL HAZARD DAN
KONSEP PENAGGULANGAN & MITIGASI BENCANA

Berdasarkan data-data awal seperti kondisi geologi, citra satelite dan data-data
klerusakan lapangan dari hasil survey lapangan, selanjutnya dibuat suatu peta
mikrzonasi awal Kota Banda Aceh dan Kota Meulaboh untuk dapat memberikan
masukan terhadap master plan yang akan ditetapkan. Peta-peta mikrozonasi awal dan
potensi likuifaksi merupakan peta yang didasarkan pada kondisi geologi dan
kegempaan masing-masing lokasi. Secara umum, kondisi Kota Banda Aceh dan Kota
Meulaboh lebih dipengaruhi oleh gelombang tsunami, sehingga penentuan master
plan perlu lebih didasarkan pada peta tsunami.

4.1. Peta Microzonasi Awal


Peta mikrozonasi awal ditentukan berdasarkan data-data geologi dan kegempaan serta
hasil pengamatan lapangan. Secara umum daerah dengan deposit yang tebal cendrung
labih beresiko karena amplifikasi percepatan gempabumi dari batuan dasar ke
permukaan cendrung lebih besar dari pada daerah dengan kedalaman deposit yang
lebih dangkal atau kondisi tanah yang lebih keras. Peta mikrozonasi ini nantinya
harus dikaji lebih lenjut dengan pengumpulan data-data geoteknik, baik dari data-data
hasil penyelidikan tanah yang sudah ada ataupun pengumpulan data-data
penyelidikan tanah yang baru dengan pengeboran atau survey geofisik, serta seismic
downhole. Selain itu, untuk menentukan besarnya percepatan gempa untuk keperluan
disain infrastruktur kota, maka untuk sementara ini, untuk keperluan kriteria disain
infrastruktur rekonstruksi Aceh saat ini dapat digunakan besarnya percepatan gempa
di batuan dasar sesuai SNI-1726 tahun 2000. Namum demikian, dengan adanya gempa
Aceh ini, maka kajian mengenai besarnya percepatan gempa di batuan dasar Aceh
perlu dilakukan lagi untuk memberikan suatu kriteria desian seismik yang lebih baik
dan dapat dipertanggungjawabkan.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 84


= Tinggi = Menengah = Rendah

Lambroskep

Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa

Berawi
Ujong
Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
Punge Ujong
Uleelheueblang
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Bumperum Cot Mesjid
Meunasah Kaway
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima
Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Nusa Lampeu teueun
Tanjung Lhang Lambleut
Leungeu
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lamgaboh Lambatee Teubalau
CT. Trieng Grot
Turam
Lambaro Koeih
Lamtado Lamsat

Mane Bumpeeting
Biluy

LamboroBateelenteng
Naga Umbah

Gambar 4.1. Peta Mikrozonasi Awal Gempabumi Kota Banda Aceh yang
menunjukkan Distribusi Amplifikasi Seismik di Permukaan Tanah

4.2. Peta Potensi Likuifaksi Awal


Peta potensi likuifaksi didasarkan pada hasil pengamatan lapangan secara visual
terhadap kerusakan/likuifaksi yang terjadi pada bangunan, lereng, jalan, jembatan
dan infrastruktur lainnya, dimana potensi likuifaksi terjadi pada lapisan pasir lepas
yang jenuh.

Berdasarkan pengamatan tersebut dibuat peta potensi likuifaksi untuk Kota banda
Aceh dan Kota Meulaboh sepert ditampilkan pada Gambar 4.2 dan 4.3. Untuk hasil
yang lebih akurat dan detail diperlukan data-data yang mencukupi dari suatu hasil
penyelidikan tanah.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 85


= TANAH RETAK = LIKUIFAKSI

Lambroskep

Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa

Berawi
Ujong
Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
Punge Ujong
Uleelheueblang
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Cot Mesjid
Meunasah Kaway Bumperum
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Nusa Lampeu teueun
Tanjung Lhang Lambleut
Leungeu
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lamgaboh Lambatee Teubalau
CT. Trieng Grot
Turam
Lambaro Koeih
Lamtado Lamsat

Mane Bumpeeting
Biluy

LamboroBateelenteng
Naga Umbah

Gambar 4.2. Peta Likuifaksi dan Tanah Retak Kota Banda Aceh dan sekitarnya

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 86


L
NA
SIO
O
ER

NA
AN

JL .
.M
JL
SY
AH
K UA
LA
M
ES
JI
D
PA
DA

SING
NG

AHMAT
A
JL.
TEN
GKU

= Tanah Retak
Ground Fractures
= Likuifaksi
= Gedung & Lantai Roboh
= Likuifaksi & Tanah Retak

Gambar 4.3. Peta Likuifaksi dan Tanah Retak Kota Meulaboh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 87


4.3. Peta MMI Awal
Peta MMI awal ditentukan berdasarkan data-data geologi dan kegempaan spesifik
lokasi tersebut seperti ditampilkan pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5.

VII VI
VIII
Lambroskep

Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa

VI
VI
Berawi
Ujong
VIII Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
VII Uleelheueblang
Punge Ujong
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Bumperum Cot Mesjid
Meunasah Kaway
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Lampeu teueun
VI Tanjung Nusa Lhang
Leungeu
Lambleut
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lamgaboh Lambatee Teubalau
CT. Trieng Grot Turam
Lambaro Koeih
Lamtado Lamsat
VII Mane Bumpeeting
Biluy
VIII
LamboroBateelenteng
Naga Umbah

VIII
VII VI

Gambar 4.4. Peta Intensitas MMI Kota Banda Aceh dan sekitarnya

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 88


V

VI
VII
I

L
NA
SIO
O
ER

NA
AN

J L.
.M
JL

SY
AH
KU
AL
A
M
ES

I
VI
JI
D
PA

II
DA

VI
SING
NG

A HMA
TA
J L.
TE N
GKU

V = Kontur MMI

Gambar 4.5. Peta Intensitas MMI Kota Meulaboh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 89


4.4. Peta Hazard Tsunami Awal
Peta hazard tsunami awal seperti ditampilkan pada Gambar 4.6 dibuat berdasarkan
hasil pengamatan lapangan terhadap tingkat kerusakan dan tingginya gelombang
tsunami. Selainn itu, peta ini ditunjang oleh data foto udara sebelum dan sesudah
kejadian.

Lambroskep

Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa

Berawi
Ujong
Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
Punge Ujong
Uleelheueblang
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Cot Mesjid
Meunasah Kaway Bumperum
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima
Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Nusa Lampeu teueun
Tanjung Lhang Lambleut
Leungeu
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lambatee Teubalau
= LOW Lamgaboh
Lambaro Koeih
CT. Trieng Grot
Turam
Lamtado Lamsat

= MEDIUM Mane Bumpeeting


Biluy

= HIGH LamboroBateelenteng
Naga Umbah

Gambar 4.6. Zonasi Tinggi Gelombang Tsunami Banda Aceh dan sekitarnya

4.5. Konsep Penggunaan Peta-Peta Hazard dalam Upaya-upaya Penanggulangan dan


Penataan Ruang untuk Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami

Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi kota-kota Aceh, maka diperlukan suatu strategi
yang tepat untuk meminimalkan resiko bencana gempa dan tsunami. Peta bahaya
gempa dan peta bahaya tsunami merupakan informasi yang sangat penting dalam
penataan kembali kota-kota Aceh. Suatu konsep dalam upaya untuk mengurangi
resiko bencana tsunami perlu dimengerti dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan berbagai komponen dalam suatu upaya-upaya baik yang sifatnya
fisik maupun non-fisik.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 90


Aspek-aspek serta informasi yang diperlukan dalam upaya mitigasi ini dan penataan
ruang ulang diantaranya adalah:
• Peta hazard tsunami serta kemungkinan kejadiannya yang dikembangkan dari
suatu kajian dan simulasi hazard tsunami yang seksama,
• Beberapa alternatif untuk proteksi fisik dan non-fisik.
• Inventarisasi serta kondisi existing dan tingkat kerentanan infrastruktur pasca
gempa dan tsunami di daerah genangan (inundation) tsunami,
• Rencana eartly warning system.

Mempertimbangkan sangat pentingnya penyelamatan nyawa manusia, namun juga


adanya ketidakpastian yang tinggi dalam besaran dan frekuensi kejadian bahaya
tsunami ini serta akan mahalnya biaya proteksi fisik, masih adanya banyak
infrastruktur di dalam daerah genangan tsunami yang masih dapat berfungsi dan
masih memiliki nilai komersial, maka diperlukan suatu kajian resiko (risk assessment)
yang sangat seksama dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terlibat di
dalamnya secara terintegrasi untuk memberi rekomendasi yang dapat dipertanggung
jawabkan dalam upaya pengambilan keputusan rehabilitasi serta rekonstruksi kota-
kota Aceh.

Gambar 4.7 di bawah ini memberikan suatu gambaran konsep hubungan antara
kemungkinan kejadian tsunami serta proteksi baik fisik maupun non-fisik serta level
resiko yang ingin dicapai. Gambar 4.8 menunjukkan konsep dari buffer zone.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 91


Protection target for Protection target for non-physical
Occurrence
structural design disaster protection measures
probability
(external force level 2) (external force level 3)

Preventing Reducing damage Limit of disaster protection


damage
The higher the asset concentration,
the nearer to the maximum
permissible risk

Acceptable risk Maximum permissible risk

Structural based
Measures
Massive disaster
(Physical disaster
protection measure)

Information-based
measures
(Non-physical disaster
protection measure
Scale of
external
force

Extremely severe damage


No damage Serious damage

Gambar 4.7. Hubungan upaya-upaya Penanggulangan Bencana Secara Fisik dan


Non-Fisik

Gambar 4.8. Diagram Konsep dari Buffer Zone

Tsunami Aceh sangat dahsyat dengan ketinggian tsunami mencapai 25 meter di garis
pantai Banda Aceh. Tsunami Aceh ubu dengan intesitas sebesar ini dipertimbangkan

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 92


merupakan fenomena yang memiliki frekwensi kejadian yang relatif jarang sekali atau
kemungkinan kejadian yang relatif kecil sekali, yaitu 200 tahun sekali atau mungkin
lebih. Suatu langkah-langkah penanggulangan atau ‘countermeasures’ diperlukan untuk
meminimalkan kehilangan nyawa, kerusakan, dan kerugian akibat tsunami ini. Acuan
dalam penanganan bencana tsunami masih terbatas, mengingat pula bahwa tsunami
memiliki suatu karaketeristik yang sifatnya site specific. Miyano and Ro (1992)
mencoba melakukan suatu korelasi antara korban jiwa dan korban yang cedera sebagai
fungsi dari jumlah rumah yang hancur tersapu tsunami yang memberikan suatu
korelasi dengan kesimpulan bahwa langkah yang paling kritis untuk menyelamatkan
jiwa manusia adalah evakuasi.

Menurut pengalaman di Jepang (Shuto, 1998), jika periode ulang tsunami 100 tahunan
digunakan dalam disain, maka untuk mencegah tsunami ke daratan, diperlukan
dinding (seawall) yang relative tinggi sekali. Penanggulangan tsunami dengan
pembangunan seawall sangat kecil kemungkinannya untuk dapat diupayakan oleh
Pemerintah karena biayanya akan mahal sekali. Pemerintah tidak akan dapat
menyediakan suatu proteksi seawall selama 100 tahun untuk suatu kejadian tsunami
ysng nantinya berlangsung hanya katakan setengah jam saja. Selain itu, suatu seawall
dengan proteksi terhadap tsunami 100 tahunan misalnya tidak akan bisa juga bertahan
terhadap tsunami dengan intesitas yang lebih besar dari periode ulang 100 tahunan.
Oleh karena itu, cara yang baik untuk penanggulangan bahaya tsunami bukanlah
dengan hanya mengandalkan pelindung fisik seperti seawall atau tanggul, akan tetapi
adalah dengan mengkombinasikannya dengan penataan ruang kawasan (regional
planning), early warning system, dan sistem evakuasi. Suatu penganggulangan yang
sifatnya fisik dan non-fisik perlu dikombinasikan seperti yang ditunjukkan dalam
ilustrasi pada Gambar 4.7.

Suatu peraturan mengenai tata guna lahan harus dikembangkan dan diterapkan.
Kemampuan ketahanan masyarakat terhadap tsunami perlu ditingkatkan dan terus
ditingkatkan dalam menghadapi kemungkinan tsunami lagi di masa yang akan
datang.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 93


Dari pengalaman di Jepang, bangunan dengan konstruksi beton bertulang dapat
menahan tsunami dengan ketinggian tidak lebih dari 6m. Hutan/vegetasi dapat
menahan gelombang tsunami dengan ketinggian tertentu, akan tetapi, vegetasi tidak
banyak berfungsi untuk gelombang tsunami yang lebih tinggi dari 8m.

Dengan mempertimbangkan beberapa aspek dan pengalaman yang disampaikan di


atas, maka sistem peringatan dini serta penyiapan sistem evakuasi yang seksama
merupakan suatu solusi kompromi yang perlu ditingaklanjuti.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 94


4.6. Alternatif Upaya-upaya Mitigasi Bencana Tsunami
Ada beberapa alteranatif dalam upaya untuk mitigasi baik yang sifatnya fisik maupun
non-fisik terhadap bahaya tsunami, yaitu:
Upaya-upaya Proteksi Secara Fisik:
a. Buffer zone sebagai proteksi fisik yang dapat terdiri atas:
ƒ Vegetasi dengan berbagai jenis dan tumpang sari sebagai proteksi Level-1,
seperti diilustrasikan pada Gambar 4.9 (a).
ƒ Kolam yang memiliki nilai ekonomi seperti misalnya tambak sebagai
proteksi Level-2, seperti diilustrasikan pada Gambar 4.9 (b).
ƒ Tanggul (embankment) sebagai proteksi Level-3, seperti diilustrasikan pada
Gambar 4.9 (c).
b. Pembangunan pintu-pintu air.
c. Perlu dibangun lahan-lahan, jalur-jalur, dan tanda-tanda evakuasi.
d. Perlu terintegrasi dengan early warning system.
Upaya-upaya Proteksi Secara Non-Fisik:
a. Pengenalan dan pembangunan awareness terhadap bahaya gempa dan tsunami.
b. Pengenalan sistem dan cara-cara evakuasi.
c. Sosialisasi bahaya gempa dan tsunami kepada masyarakat melalui pendidikan
ekstra kulikuler serta training for trainers (TOT).
d. Peningkatan kapasitas berbagai instansi dan organisasi untuk mitigasi

Residential

Tsunami

Vegetasi

Gambar 5.9.a. Konsep tata ruang dengan opsi menggunakan vegetasi secara menyeluruh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 95


Residential

Tsunami

Tambak
Vegetasi Tambak Embankment

Gambar 5.9. b. Konsep tata ruang dengan opsi menggunaan vegetasi dan tambak

Residential

Tsunami

Vegetasi Tambak Embankment

Gambar 5.9. c. Konsep tata ruang dengan opsi menggunaan kombinasi vegetasi, tambak, dan
embankment

4.7 Prinsip-Prinsip Dasar dalam Perencanaan dan Perancangan untuk Bahaya


Tsunami
Ada beberapa prinsip dasar sebagai pedoman di dalam perencanaan dan perancangan
suatu kawasan yang potential terhadap bahaya tsunami, yaitu:
1. Mengetahui besarnya resiko (hazard, kerentanan, dan exposure) dari daerah dan
masyarakat
2. Hindari pembangunan baru di daerah-daerah yang berbahaya terhadap tsunami
untuk meminimalkan kerugian terhadap potensi tsunami di masa akan datang.
3. Pilih lokasi dan konfigurasi rencana pembangunan di daearah yang berbahaya
terhadap tsunami untuk meminimalkan kerugian terhadap potensi tsunami di
masa akan datang.
4. Disain dan kontruksi bangunan-bangunan baru untuk meminimalkan kerusakan
akibat tsunami
5. Lindungi kawasan yang ada dari kerugian yang mungkin terjadi akibat tsunami di
masa datang dengan pengembangan kembali, retrofit, dan rencana dan proyek
peruntukan lahan .

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 96


6. Harus sangat hati-hati di dalam memilih lokasi dan merancang infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas kritis untuk meminimalkan kerusakan akibat tsunami di masa
akan datang.
7. Rencanakan evakuasi dengan perangkat-perangkatnya.

Ketujuh prinsip dasar di atas dikutip dari ”Designing for Tsunamis”, National
Tsunami Hazard Mitigation Program, 2001.

4.8 Kajian Hazard


Kajian hazard selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan melakukan analisis hazard
gempabumi dan tsunami untuk kota-kota Aceh.

4.8.1. Potensi Hazard Gempabumi


Selain kajian awal terhadap gempbumi Aceh 26 Desember 2004 yang sudah dilakukan
dan disampaikan dalam laporan ini, perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk
mengevaluasi besarnya percepatan gempa untuk keperluan kriteria disain bangunan
dan infrastruktur di NAD. Kajian ini sekaligus untuk mengevaluasi kembali besarnya
percepatan gempa di batuan dasar yang saat ini digunakan di dalam SNI-1726, 2002.
Analisis hazard gempa dapat dilakukan dengan metode Probabilistik dan Deterministic
Seismic Hazards Analysis (P+DSHA).
Perkiraan besarnya percepatan maksimum dari suatu kejadian gempabumi pada suatu
lokasi tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan fungsi atenuasi tertentu. Fungsi
atenuasi ini disesuaikan dengan tipe mekanisme gempabumi yang terjadi. Untuk
mengurangi banyaknya faktor-faktor ketidakpastian yang saling mempengaruhi
dalam melakukan analisis resiko gempabumi ini, maka diperlukan pentahapan analisis
yang sistematis, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung-jawabkan.
Tahapan analisis dalam kajian awal risiko kegempaan ini dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu :
1. Pengumpulan dan evaluasi data geologi dan seismologi di sekitar lokasi studi,
yang meliputi episenter, magnituda dan mekanisme gempa,
2. Pemilihan fungsi atenuasi yang sesuai dengan mekanisme kegempaan di lokasi
yang ditinjau,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 97


3. Analisa untuk mendapatkan percepatan gempabumi di batuan dasar,
4. Analisis perkiraan faktor amplifikasi dari batuan dasar ke permukaan tanah
untuk mendapatkan percepatan maksimum gempabumi di permukaan tanah.

Pembuatan Peta Mikrozonasi dan Likuifaksi.


Kondisi tanah lokal mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan
pengaruh suatu lokasi terhadap percepatan gempabumi. Hal ini perlu dikaji sehingga
kita bisa mengantisipasi lokasi-lokasi yang rawan terhadap bahaya gempabumi. Untuk
mengembangkan peta mikrozonasi yang praktis, dapat dilakukan pengumpulan data-
data tanah dari hasil hasil penyelidikan tanah yang ada. Data-data tanah ini perlu
dievaluasi oleh seorang ahli geoteknik gempa untuk dapat dibuat klasifikasi tanah
secara sederhana. Klasifikasi tanah ini menunjukkan variasi kekakuan tanah atau
prilaku dinamik tanah yang dapat digunakan untuk mengetahui berapa besar
amplifikasi percepatan gempabumi yang dapat terjadi dari batuan dasar ke
permukaan tanah. Klasifikasi ini berdasarkan pada rata-rata nilai Test Penetrasi

Standar ( N -SPT) atau rata-rata kuat geser tak terdrainase ( s u ) untuk lapisan tanah
setempat seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Klasifikasi tanah


Klasifikasi su
Deskripsi Tanah N -SPT
Tanah (kPa)
S1 Batuan >50 -
S2 Tanah Keras > 50 > 200
S3 Tanah Sedang 15< N ≤ 50 100 < su ≤ 200
S4 Tanah Lunak < 15 < 100

Perbedaan prilaku dinamik tanah untuk suatu lokasi-lokasi yang ditinjau


mengakibatkan perbedaan besarnya percepatan gempabumi di permukaan tanah yang
nantinya dapat disajikan dalam bentuk peta mikrozonasi sederhana yang dapat
digunakan sebagai identifikasi awal terhadap daerah-daerah atau lokasi-lokasi yang
rawan terhadap bahaya gempabumi. Selain itu, akan diidentifikasi secara umum
lokasi-lokasi yang berpotensi longsor dan berpotensi mengalami bahaya likuifaksi.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 98


4.8.2. Potensi Hazard Tsunami
Potensi tsunami yang mungkin terjadi di masa yang akan datang perlu dikaji dengan
seksama baik frekuensi atau tingkat kemungkinannya maupun besarannya. Seorang
ahli tsunami perlu melakukan kajian potensi tsunami (tsunami hazard analysis) ini
berdasarkan data-data sejarah dan mekanisme kegempaan, serta data batimetri
kawasan. Selanjutnya dibuat suatu simulasi tsunami untuk mendapatkan besaran-
besaran potensi tinggi tsunami serta waktu sampai di daerah yang ditinjau (time of
arrival).

Selanjutnya, analisis beberapa alternatif penanggulangan yang mungkin


dikombinasikan dengan data-data kerentanan dari bangunan atau infrastruktur yang
masih ada setelah tsunami merupakan masukan untuk memberikan rekomendasi jenis
dan dimensi buffer serta jarak aman (sempadan) dari garis pantai.

4.9 Kajian Kerentanan


Sebagai bagian dari konsep penanganan bencana, diperlukan suatu kajian kerentanan.
Kajian kerentanan gempabumi dan tsunami (seismic & tsunami vulnerability assessment)
terhadap bangunan, prasarana umum dan prasarana vital kehidupan didasarkan pada
input dari bahaya seismik dan tsunami yang diperkirakan dan mungkin terjadi di
masa yang akan datang. Kerentanan ini akan memerlukan masukan-masukan
terhadap kondisi penduduk kota, bangunan dan prasarana yang ada.

Proses penilaian kerentanan secara menyeluruh semestinya mencakup penilaian pada


komponen-komponen utama seperti: keselamatan penduduk, struktur bangunan,
infrastruktur, aset sosial, aset budaya, aset ekonomi dan aset industri. Penilaian
kerentanan pada suatu wilayah tergantung dari ragam atau jenis bahaya yang
mungkin terjadi pada daerah tersebut. Jika suatu wilayah berpeluang terhadap ragam
bahaya, maka diperlukan penilaian kerentanan untuk setiap jenis bahaya tersebut.

Untuk kajian awal risiko gempabumi dan tsunami ini, penilaian kerentanan perlu
dilakukan berdasarkan input hasil kajian bahaya terhadap komponen-komponen

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 99


utama yang dapat terkena dampak. Kajian perlu dilakukan secara kualitatif yang
nantinya dapat memberikan indikasi penting terhadap potensi bencana. Komponen-
komponen yang akan dikaji secara kualitatif ini adalah:
ƒ Penduduk
ƒ Bangunan
ƒ Prasarana umum dan prasarana vital kehidupan

Untuk dapat melakukan penilaian kerentanan ini, maka diperlukan data-data umum
sebagai berikut:
ƒ Data kepadatan penduduk secara umum.
ƒ Data bangunan
ƒ Data prasarana dan sistem utilitas yang ada (jaringan pipa air bersih, jaringan
pipa gas, jaringan listrik, jaringan telepon dan jalan termasuk jalan kerata api,
jembatan),
ƒ Data lapangan terbang dan pelabuhan,
ƒ Data aktivitas sosial ekonomi, dan
ƒ Data-data penunjang lainnya.

Hasil dari penilaian kerentanan ini nantinya adalah gambaran tingkat resiko dari
komponen-komponen yang ditinjau, yaitu berupa gambaran umum tingkat kerusakan
bangunan, infrastruktur, fasilitas-fasilitas umum dan sosial, fasilitas-fasilitas produksi
dan perumahan penduduk. Analisis kajian kerentanan ini nantinya diharapkan
memberikan suatu pengertian tentang tingkat peluang suatu wilayah, penduduk dan
harta bendanya terhadap bahaya yang mungkin dari suatu bahaya yang
teridentifikasi. Hasil analisis dapat juga dikeluarkan dalam bentuk peta-peta dasar.

4.9. Kajian Risiko


Kajian risiko gempabumi dan tsunami (seismic & tsunami risk assessment) terhadap
bangunan, prasarana umum dan prasarana vital kehidupan didasarkan pada input
dari kajian bahaya gempabumi dan tsunami serta kajian kerentanan yang ada.

Kajian risiko menghasilkan gambaran risiko bencana yang didapatkan dari

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 100


penggabungan peta-peta dasar bencana gempabumi & tsunami dan peta-peta dasar
kerentanan, yang meliputi:
a. Gambaran risiko gempabumi & tsunami yang meliputi gambaran secara
kualitatif tingkat kerusakan yang dapat terjadi.
b. Rekomendasi mengenai rencana tindak lanjut secara umum.

Berdasarkan kajian resikom jika suatu lokasi dinyatakan rawan terhadap bencana
gempabumi dan tsunami, maka bangunan-bangunan gedung, perkantoran,
apartemen, rumah tinggal, prasarana umum dan prasarana vital kehidupan (lifelines)
yang dapat terdiri atas prasarana sistem transportasi (jalan, jembatan, pelabuhan laut
dan udara), prasarana air bersih, prasarana tenaga listrik, dan prasarana
telekomunikasi., harus didesain dengan mempertimbangkan adanya bahaya
gempabumi tersebut berkaitan dengan aspek keamanan dan aspek ekonomis.
Berkaitan dengan hal tersebut perlu kiranya dikembangkan suatu model untuk kajian
risiko kebencanaan untuk kota Banda Aceh dan Meulaboh dengan tingkat kerawanan
gempabumi dan tsunami yang relatif tinggi. Pernilaian suatu risiko bencana
gempabumi dan tsunami (seismic & tsunami risks) dapat dibuat berdasarkan kajian
bahaya gempabumi & tsunami (seismic & tsunami hazard assessment) dan hasil kajian
kerentanan gempabumi dan tsunami (seismic & tsunami vulnerability assessment) yang
perlu dimiliki suatu wilayah/lokasi itu sendiri. Penilaian risiko (risk assessment) akan
meliputi dua (2) faktor penting yang saling terkait, yaitu:
• Bahaya (hazards)
• Kerentanan (vulnerability).

Selanjtnya, Resiko ditentukan berdasarkan persamaan:


Risiko (R ) = bahaya (H) x kerentanan (V)

Resiko Element (E) menunjukkan elemen-elemen yang berisiko bencana yang


kerentanannya ditinjau. Elemen-elemen ini dapat berupa penduduk, bangunan,
infrastruktur dan lain-lain dimana tingkat kehilangan/kerusakan nantinya akan
ditinjau.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 101


Risiko Total (Rt) menunjukkan jumlah korban jiwa, jumlah korban cedera, kerusakan:
bangunan, infrastruktur atau gangguan aktifitas ekonomi akibat kejadian bahaya
gempabumi dan tsunami.
Dengan demikian, Risiko total (Rt):
R(t) = E . Rs = (E) . (H) . (V)
Secara skematis, perencanaan mitigasi bencana yang meliputi bahaya, kerentanan dan
resiko dapat digambarkan seperti Gambar 5.10 berikut.

Kondisi Alam Kondisi Sosial

•Seismisitas
ƒ Kondisi Kegempaan - Jaringan infrastruktur
ƒ Kondisi Tsunami
•Kondisi tanah - Land use
ƒ Kondisi Tanah
•Kondisi
ƒ Kondisi geologi
Geologi - Struktur penduduk
- Kerentanan penduduk

Rekomendasi, Kelanjutan Risk


Kelanjutan Mitigasi
RRA + Mitigasi Bencana
& Action plan
Assessment
Bencana
Mitigasi
&
Bencana

Gambar 5.10. Perencanaan mitigasi bencana suatu kota

Untuk pengembangan scenario gempa dapat dilakukan dengan dengan melakukan


dua tahapan yaitu melakukan kajian awal resiko bencana gempabumi dan tsunami
yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan studi yang lebih detail dengan tahap-
tahap pelaksanaannya dapat digambarkan seperti Gambar 5.11.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 102


PENGEMBANGAN SCENARIO GEMPABUMI & TSUNAMI
RRA

Evaluasi potensi dan mekanisme gempabumi & tsunami

ƒ Pengumpulan data tanah dan ƒ Pengumpulan data-data


evaluasi respon gempa dan evaluasi bahaya
ƒ Potensi liquifaksi & landslide tsunami

Pembuatan peta-peta bahaya Gempa & Tsunami

Studi Lebih Lanjut

Inventarisasi data Hubungan


bangunan dan Bahaya Gempa & Tsunami - Kerusakan
infrastruktur

Estimasi kerusakan struktur, infrastruktur dan prasarana


vital kehidupan:
ƒ Bangunan, yang meliputi: bangunan pemerintah,
bangunan pablik dan rumah tinggal.
ƒ Infrastruktur dan prasarana vital kehidupan yang
meliputi: jaringan jalan dan jembatan, jaringan air
bersih, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi,
bandara, pelabuhan, dll.

Estimasi korban jiwa, kerugian (langsung & tak


langsung) & dampak sosial

Siapkan Scenario untuk Countermeasure


& Rencana Tindak Lanjut

Gambar 5.11. Perencanaan scenario gempabumi dan tsunami

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 103


BAB 5
KAJIAN DAN HASIL SURVEY TATA RUANG

5.1. Catatan Umum Bagian Kota/Wilayah yang Terkena Gempa & Tsunami

Survei dilakukan pada tanggal 26 Januari 2005 sampai dengan 31 Januari 2005, sekitar
1 bulan dari hari kejadian bencana Gempa & Tsunami.

5.1.1 Kota Banda Aceh


Hampir 50% dari wilayah kota yang ada terkena bencana tsunami dan di luar wilayah
terjangan tsunami juga ada bangunan-bangunan yang rusak karena gempanya saja.
Keseluruhan wilayah kota yang terkena tsunami merupakan kawasan yang semula
padat penduduk dan padat bangunan, yang ternyata sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota yang ada. Hampir semua (95%) bangunan di bibir pantai
(termasuk Pelabuhan Ulee Lheu) sampai jarak 2 km ke arah pusat kota hancur dan rata
dengan tanah (khususnya di 6 Kecamatan: Meuraxa, Kutaraja, Kuta Alam, Syiah
Kuala, Jaya Baru, dan sebagian Baiturrahman), kemudian diikuti dengan wilayah
yang masih menyisakan bangunan-bangunan struktural yang bertahan dari gempa
&tsunami tetapi mengalami kerusakan terutama di lantai dasar (umumnya bangunan
bertingkat) yang berfungsi sebagai toko, ruko, dan bangunan perdagangan lainnya
termasuk Pasar Atjeh di samping & belakang Masjid Baiturahman (sebagian Kec. Jaya
Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Kuta Alam, Syiah Kuala, dan sebagian kecil Kec.
Lueng Bata dan Ulee Kareng). Batas-batas akhir terpaan tsunami adalah kawasan
perkantoran dan pendidikan tinggi dengan beberapa kawasan perumahan di
antaranya.

Wilayah yang rusak karena terjangan tsunami (sekaligus karena gempa) ini
tersambung sampai ke Lhoknga di sebelah barat kota melewati dataran rendah yang
relatif terbangun dan padat penduduk, yang membentuk celah antara 2 perbukitan.
Pada saat survei dilakukan, pembersihan puing-puing baru dapat dilakukan di jalan-

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 104


jalan untuk membuka akses saja. Prasarana dan sarana kota di separuh kota yang
merupakan wilayah terpaan tsunami hancur dan tidak berfungsi, termasuk jaringan
listrik, air bersih, dan drainase kota (seperti ditampilkan pada foto Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Kawasan kota Banda Aceh yang hancur diterjang tsunami.

Perkembangan kegiatan perekonomian kota pada saat survei telah bergeser ke


kawasan perkotaan yang aman dari tsunami yang terdapat di sekitar kota Banda Aceh
seperti Lambaro (arah tenggara, menuju Bandara), Ulee Kareng di Timur, Ketapang di
arah Barat Daya, dan kawasan-kawasan dalam kota yang tidak terkena tsunami
langsung seperti Neusu (arah barat daya). Di wilayah-wilayah tersebut terdapat
indikasi munculnya spekulan tanah, dengan adanya kenaikan harga tanah yang sangat
tinggi, dari hanya sekitar Rp 50.000,-/m2 sebelum terpaan tsunami ke Banda Aceh,
pada saat ini ditawarkan sekitar Rp 150.000,-/m2.

Dari survei juga diketahui bahwa persoalan pertanahan di kawasan yang hancur
diterpa tsunami juga akan cukup rumit karena hilangnya batas-batas fisik kapling

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 105


yang akan sulit untuk dipetakan kembali secara cermat dan cepat. Sebagian lain dari
tanah ini memang telah hilang tergerus tsunami menjadi laut.

5.1.2 Kota Meulaboh


Kawasan perkotaan Meulaboh juga hampir terbelah menjadi dua, 50% mengalami
hantaman tsunami, dan kawasan bencana merupakan kawasan-kawasan terpadat kota
(khususnya Kecamatan Johan Pahlawan) yang memang merupakan kawasan pusat
perkembangan kota Meulaboh. Jumlah penduduk tersebesar di Kabupaten Aceh Barat
adalah di Kecamatan Johan Pahlawan yang juga sekaligus dikenal dengan Kota
Meulaboh. Oleh karena dapat dimengerti bahwa korban jiwa yang terkena pun tentu
paling banyak (seperti dirampilkan pada foto Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Rekapitulasi Jumlah penduduk dan jumlah korban di Kabupaten Aceh Barat

Bangunan-bangunan berstruktur kuat terlihat masih dapat bertahan, meskipun


mengalami kerusakan terutama di lantai dasar, sedangkan kawasan perumahan di
sepanjang pantai hancur dan rata dengan tanah. Seperti juga di Banda Aceh, kawasan
yang terkena terjangan tsunami ini merupakan kawasan pelabuhan, perumahan,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 106


perdagangan, dan perkantoran. Sebagian wilayah kota yang mempunyai morfologi
dataran lebih tinggi selamat dari terjangan tsunami (khususnya yang mengarah ke
kota Tutut di sebelah utara Meulaboh) dan saat ini berkembang menjadi wilayah
kegiatan utama kota. Batas terjangan tsunami adalah sekitar 1,5 km sampai dengan 2
km ke darat dengan batas terpaan terjauh di kota adalah di sekitar kantor Bupati Aceh
Barat dan sekitar Rumah Sakit Tjut Nyak Dien.

Kawasan pelabuhan sudah dapat difungsikan lagi walaupun masih dikelola oleh TNI
Angkatan Laut. Meskipun ke arah Teunom, Calang, Banda Aceh masih terputus, jalur
darat ke arah Tapak Tuan dan Medan sudah tersambung, sehingga kegiatan
perekonomian di kawasan-kawasan kota yang tidak kena terpaan tsunami sudah
sangat berkembang. Bahkan angkutan penumpang ke Medan lewat jalan darat sudah
dapat dilayani oleh mobil-mobil kecil L-300, dari terminal kota yang masih rusak.
Meskipun demikian kegiatan nelayan masih belum pulih karena keterbatasan sarana
untuk melaut, kapal-kapal nelayan ini banyak yang rusak dan/atau terlempar ke darat
sejauh 1 km sampai 1,5 km menghantam perumahan penduduk. Sebagian besar kapal-
kapal yang terlempar ini terkumpul di sekitar terminal (bis) antar kota yang ada di
pusat kota Meulaboh (lihat foto di Gabar 5.3 berikut).

Seperti di Banda Aceh, pada saat survei dilakukan, pembersihan puing-puing masih
terbatas dilakukan di jalan-jalan untuk membuka akses ke wilayah-wilayah yang
hancur karena terpaan tsunami.

Di wilayah-wilayah yang tidak terkena tsunami, misalnya di Lapang (arah utara


Meulaboh), juga terdapat indikasi munculnya spekulan tanah, dengan adanya
kenaikan harga tanah yang sangat tinggi, antara sebelum terpaan tsunami
dibandingkan dengan pada saat ini, yang ditawarkan sekitar dua atau bahkan tiga kali
lebih tinggi per m2.

Seperti di Banda Aceh, dari survei juga diketahui bahwa persoalan pertanahan di
kawasan yang hancur diterpa tsunami juga akan cukup rumit karena hilangnya batas-
batas fisik kapling yang akan sulit untuk dipetakan kembali secara cermat dan cepat.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 107


Hal ini akan menyulitkan dalam proses konsolidasi tanah perkotaan yang nantinya
mungkin dilaksanakan.

Gambar 5.3. Terminal Bis Antar Kota di Meulaboh, yang ganti ‘disinggahi’ banyak kapal
nelayan setelah tsunami 26 Desember 2004

5.2. Kajian Kerusakan Infrastruktur Wilayah/Kota sebagai Pembentuk


Struktur dan Pola Ruang akibat Gempa dan Tsunami

Tanpa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berfungsi sebagai alat mitigasi
bencana, maka jelas tidak akan tersedia mitigasi struktural dan non-struktural
terhadap bahaya tsunami (dan gempa-nya) terhadap wilayah tersebut. Oleh karena itu,
bangunan infrastruktur wilayah akan dengan mudah rusak dan dihancurkan oleh
terjangan tsunami. Kerugian yang timbul tentu saja bukan hanya nilai dan harga dari
infrastruktur yang rusak atau hancur tersebut, tetapi juga merembet ke kerugian
berikutnya yang jauh lebih besar akibat hilangnya fungsi dari infrastruktur wilayah
tersebut. Katakanlah sebagai contoh akibat tsunami di Aceh, nilai kerusakan
infrastruktur kelautan dan perikanan saja, diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 108


sedangkan kerugian akibat tidak berfungsinya infrastruktur tersebut mencapai lebih
dari Rp 2,8 triliun akibat gagal panen tambak dan produksi perikanan tangkap.
Sementara itu Ketua Satgas Tim Rehabilitasi Sektor Kelautan dan Perikanan Pasca
Tsunami NAD-Sumut, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), pada 4 Februari
2005 memperkirakan untuk rehabilitasi lima tahun ke depan diperlukan biaya sekitar
Rp 2,4 triliun hanya untuk sektornya saja.

Angka-angka taksiran kerugian per sektor yang lebih baru tersebut kelihatannya akan
jauh membengkakkan angka-angka perkiraan jumlah dan kebutuhan setiap prasarana
di NAD & Nias yang dahulu pernah dihitung secara cepat oleh Pemerintah Indonesia
pada tanggal 3 januari 2005, yang secara keseluruhan ’hanya’ berjumlah sekitar Rp
20,165 triliun. Perhitungan tersebut dilakukan untuk merehabilitasi kerusakan 20 jenis
infrastruktur berikut: jalan, jembatan, air minum, perumahan, bangunan pemerintah,
pasar, puskesmas, rumah sakit, TK, SD, SMP, SMA, Mesjid, Pelabuhan, Bandara,
Terminal, Telekomunikasi, Kantor Pos, Ketenagalistrikan, dan Depot BBM. Sudah pasti
angka sebenarnya yang dibutuhkan akan jauh lebih tinggi mengingat untuk jaringan
jalan arteri/kolektor primer dari Meulaboh hingga Lhoknga di dekat Banda Aceh
sepanjang kurang lebih 230 km hampir dipastikan sebagian besar tidak layak lagi
untuk digunakan dan dibangun kembali, sehingga harus membuat dan membangun
jalan dengan trase baru yang akan jauh lebih mahal. Jalan lama yang menyusur pantai
terputus dan tercacah di banyak tempat, bukan hanya jembatannya yang lenyap,
bahkan badan jalan dan kawasan perkotaannya hilang tergerus tsunami menjadi laut
(misalnya jalan antara Calang – Banda Aceh, di Muara Batu Hitam terputus 300 m dan
berubah menjadi laut, serta jalan-jalan aspal di sepanjang pantai, misalnya Calang,
seluruhnya terkoyak dan berubah menjadi jalan tanah). Isolasi daerah/kawasan
karena putusnya infrastruktur ini memperparah kerugian yang jauh lebih besar,
terutama dari sisi sosial, ekonomi. Bukan hanya sangat mempersulit evakuasi korban
dan pemberian bantuan, tetapi juga memutus kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang masih tersisa di wilayah tersebut.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 109


Gambar 5.4. Jalan negara dan kawasan hunian antara Calang-Banda Aceh yang terputus
dan tergerus oleh Tsunami 26/12/2004 menjadi laut.

Dari survei yang dilakukan di Banda Aceh, Lhoknga, pantai barat dari udara
(Calang, Teunom), Samatiga, Meulaboh (Johan Pahlawan), serta Meureubo, terlihat
bahwa justru infrastruktur wilayah dan kota hancur sehingga kehilangan fungsinya
untuk memenuhi kebutuhan dasar layanan umum dan fungsi pengarah
pembangunan. Kerusakan-kerusakan terhadap aset bangunan infrastruktur tentu saja
akan menghilangkan fungsi atau setidaknya mengganggu berfungsinya infrastruktur
tersebut sesuai dengan tujuan pembangunannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan
dampak dari adanya tsunami di kawasan pesisir tertentu, selayaknya bangun-
bangunan infrastruktur wilayah tersebut dikembangkan secara ’akrab’ dengan
tsunami sehingga fungsi-fungsinya tetap dapat dijaga meskipun bahaya tsunami
terjadi di suatu wilayah. Bahkan seringkali diperlukan suatu ’infrastruktur baru’ yang
khusus dibangun untuk memitigasi bencana tsunami secara struktural, misalnya sea
wall atau tsunami wall, pintu-pintu air di muara sungai untuk menahan tsunami,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 110


embankment di pantai, dan lain-lain untuk mengurangi resiko hancurnya infrastruktur
kota dan/atau wilayah yang sudah ada.

Gambar 5.5. Tanggul dan jalan di pinggir Sungai Krueng Aceh yang hancur terkena
gempa, likuifaksi, dan tsunami 26/12/2004. Kawasan permukiman padat
disekitarnya hancur rata dengan tanah.

5.3. Dampak Tsunami dalam Pengembangan Infrastruktur Wilayah/Kota

Membahas mengenai ’dampak’ tentunya secara otomatis kita akan membandingkan


dua kondisi yang berbeda, yaitu jika tanpa ada bahaya tsunami dibandingkan dengan
jika ada bahaya tsunami. Dari survei akibat bencana tsunami di NAD dapat dengan
cukup mudah digambarkan ’dampak tsunami terhadap pengembangan infrastruktur’,
tentu saja dengan asumsi bahwa tujuan utamanya adalah menghindari terjadi korban
jiwa, harta benda, dan rusaknya infrastruktur wilayah itu sendiri.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 111


Jika penilaian resiko (risk assessment) kebencanaan menunjukkan tidak ada bahaya
(hazard) tsunami di suatu wilayah (baik yang dipicu gempa, letusan gunung api, atau
longsoran di dasar laut), maka pengembangan infrastruktur wilayah di suatu daerah
pesisir akan relatif lebih mudah, murah, dan leluasa karena relatif aman, meskipun
tetap harus memperhatikan jenis hazards lainnya seperti gempa (di darat), banjir,
gerakan tanah, atau tanah longsor. Mitigasi bencana secara struktural untuk
mengamankan fungsi infrastruktur wilayah dari hantaman tsunami menjadi tidak
diperlukan. Akan tetapi untuk kawasan-kawasan tertentu, harus diwaspadai pula
bahwa ada kecenderungan harga tanah di kawasan pantai akan meningkat sangat
tinggi karena keindahan alam pantai dan pandangan lepas ke laut dapat secara
maksimal dimanfaatkan dan dinikmati. Jika komponen harga tanah menjadi sangat
tinggi pada gilirannya akan merepotkan pengembangan infrastruktur wilayah
khususnya dari sisi pengadaan dan/atau pembebasan tanah.

Kondisi sebaliknya, jika dari risk assessment kebencanaan menunjukkan bahwa terdapat
ancaman tsunami yang signifikan, maka dapat dipastikan bahwa hampir sepanjang
pantai di pesisir tersebut (sesuai dengan jenis pantainya) harus ’dikorbankan’ untuk
direkayasa menjadi peredam dan/atau kawasan penyangga (buffer zone) terhadap
kemungkinan hantaman tsunami terhadap infrastruktur wilayah dan kawasan
dibelakangnya. Berbagai cara dapat dilakukan, baik secara alami dengan berbagai
lapisan vegetasi yang cukup tebal sebagai ”hutan tsunami” (bakau, pandan laut,
cemara laut, waru laut, dan jenis lainnya secara tumpang sari dengan kerapatan
tertentu) atau secara struktural dengan membangun tanggul (embankment), tembok laut
(sea wall atau tsunami wall), pintu-pintu air yang tinggi di muara-muara sungai untuk
menahan tsunami, dan infrastruktur khusus lainnya. Untuk vegetasi sebaiknya tidak
menggunakan tegakan kelapa di pantai, karena jenis vegetasi ini tidak pernah
direkomendasikan untuk dapat menahan tsunami, bahkan sebaliknya seringkali justru
mempertinggi kerusakan infrastruktur dan bangunan lainnya yang terjadi karena
terhantam pokok-pokok kelapa yang tercerabut bersama akarnya. Jadi justru berubah
menjadi ’collateral hazard’ (bahaya ikutan) dari tsunami-nya sendiri. Untuk
kepentingan-kepentingan ekonomi, kebun tegakan kelapa ini dapat ditanam setelah
berbagai vegetasi lainnya tersebut di atas yang cukup tebal (kira-kira 1,5 hingga 2 km),

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 112


tanggul, dan pertambakan di belakangnya hingga kira-kira sekitar 2,5 km dari pinggir
pantai yang landai (misalnya seperti Banda Aceh).

Berbagai pola penanaman vegetasi khusus yang cukup tebal dan rapat, tanggul, dan
pertambakan tersebut akan mampu meredam energi gelombang tsunami. Hal-hal ini
tentu saja akan membuat pengembangan infrastruktur wilayah dan kawasan yang
ingin dilindungi tersebut menjadi mahal dan kurang efisien. Sebaliknya, harga tanah
di sekitar pantai ini menjadi sangat rendah, karena memang dilarang untuk
dimanfaatkan untuk kegunaan lain, atau sebaiknya dikuasai negara. Pantai menjadi
tertutup dari arah darat sehingga potensi keindahan alamnya kurang dapat secara
optimal dimanfaatkan karena terhalang berbagai rekayasa buffer zone untuk meredam
tsunami tersebut di atas. Oleh karena itu pula, trase jalan negara yang melewati
kawasan rawan bahaya tsunami sebaiknya cukup jauh dari bibir pantai sehingga tidak
memutus hubungan antar wilayah ketika terjadi tsunami.

Harus dipahami pula, bahwa terdapat beberapa infrastruktur wilayah yang memang
harus dibangun di pantai, yang tentu saja tidak dapat dilindungi hanya secara alamiah
dengan vegetasi, dan jelas tidak dapat dijauhkan dari tempat dimana seharusnya
infrastruktur tersebut berada. Beberapa infrastruktur ini adalah berbagai macam
pelabuhan umum maupun khusus, baik untuk penumpang ataupun barang, atau
komoditas tertentu seperti perikanan. Dengan adanya tsunami, maka struktur
bangunan pelabuhan-pelabuhan tersebut perlu dirancang secara khusus untuk
mampu bertahan dan dilengkapi dengan berbagai infrastruktur khusus yang cukup
tinggi baik untuk pemecah gelombang maupun untuk evakuasi ketika bahaya
tsunami datang. Dalam kondisi normal sehari-hari, struktur bangunan evakuasi di atas
pelabuhan ini dapat difungsikan untuk berbagai kegiatan yang bermanfaat. Jepang
banyak memberi contoh bagaimana membangun pelabuhan yang ’akrab’ dengan
tsunami lengkap dengan tempat-tempat evakuasinya yang sangat menarik.

Bangunan infrastruktur lainnya yang harus ada di pantai misalnya adalah yang
diperuntukkan untuk sektor perikanan tangkap dan nelayan, yaitu Tempat Pendaratan
Ikan dan/atau Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang seperti pelabuhan harus dirancang

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 113


khusus struktur bangunannya anti gempa dan sekaligus anti tsunami lengkap dengan
fasilitas evakuasi yang memadai. Demikian pula dengan perumahan komunitas
nelayan yang sudah pasti tidak dapat jauh dari pantai, dan sedapat mungkin dekat
dengan TPI, harus ditata dan dirancang secara khusus (kepadatan rendah dengan
rancangan struktur bangunan khusus) dilengkapi dengan berbagai infrastruktur
pertahanan dan tempat-tempat evakuasi terhadap bahaya tsunami yang memadai.
Selain itu terdapat pula beberapa infrastruktur kepariwisataan bahari dan/atau pantai
yang perlu pula dirancang khusus untuk memiliki tempat-tempat evakuasi yang
memadai terhadap bahaya tsunami.

Pada prinsipnya, untuk pengembangan infrastruktur di zona run-up tsunami memang


harus sangat hati-hati untuk menghindari kerugian besar akibat tsunami nantinya.
Pengembangan infrastruktur wilayah lainnya yang memang tidak perlu dekat dengan
pantai harus berada di zona aman dan zona transisi.

Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur wilayah haruslah merupakan bagian


terpadu dari suatu RTRW Kabupaten/Kota yang berfungsi sekaligus sebagai alat
mitigasi bencana non-struktural. Untuk itu terdapat beberapa langkah strategis bagi
proses pelaksanaan perencanaan tapak di lokasi-lokasi yang mengandung resiko
bencana tsunami ini, diantaranya adalah:
1. Membuat suatu proses tinjauan proyek yang kooperatif, komprehensif, dan
terpadu: perencanaan tapak di kawasan pantai yang paling efektif harus
didasarkan pada kerentanan kawasan terhadap bahaya tsunami,
memperhatikan kebijakan yang lebih luas dan konteks peraturan dan
perundangan, serta merupakan bagian dari suatu strategi mitigasi yang lebih
besar.
2. Memahami kondisi-kondisi tapak setempat: perencana ruang harus
mengembangkan strategi mitigasi yang mencerminkan karakter tapak dan
konteks khususnya dengan bahaya tsunami, termasuk pemahaman bagaimana
dampak tsunami terhadap berbagai jenis perbedaan tapak geografis,
penggunaan lahan dan jenis-jenis bangunan, serta pola-pola pembangunan.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 114


3. Memilih strategi mitigasi untuk tapak: pada umumnya menempatkan solusi-
solusi untuk menghindari, melambatkan, mengarahkan, atau menghadang
’inundation’ dari tsunami. Kesemuanya dapat sekaligus dilebur dengan
perancangan dan perekayasaan bangunan untuk mengatasi bahaya tsunami.
Memperkirakan dampak tsunami bagi pengembangan infrastruktur wilayah bagi
daerah-daerah yang telah pernah dilanda bencana tsunami sebenarnya relatif lebih
mudah karena setidaknya para perencana sudah mempunyai data mengenai
karakteristik tsunami-nya sendiri seperti ketinggian dan arah terjangan gelombang,
juga kecepatan dan bahkan daya rusaknya. Hanya saja ini yang seharusnya dapat
diantisipasi terlebih dahulu, dan dihindari sehingga sebelum tsunami sempat
membawa bencana dan korban jiwa, harta benda, dan kerusakan infrastruktur dan
lingkungan, bahaya tsunami yang kemungkinan muncul dapat terlebih dahulu
diantisipasi dengan menurunkan kerentanan wilayah/kawasan pesisir tersebut dan
sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah/kawasan yang ada. Perlu ditegaskan di
sini, bahwa ’bencana’ baru akan terjadi jika ’bahaya/hazard’ (misalnya gempa,
tsunami, banjir, dsb.) bertemu dengan ’kondisi rentan’ suatu wilayah/kawasan
dimana ’kondisi ketahanan/kesiapan’ wilayah/kawasan tersebut rendah dalam
menghadapi bahaya (lihat gambar berikut ini)

KETAHANAN/
BAHAYA/ KEMAMPUAN
BENCANA KERENTANAN MENANGGULANGI
HAZARDS (-) (+)
(-)

Sebagai antisipasi terhadap bencana, justru fungsi infrastruktur wilayah/kota


sebenarnya adalah untuk mengurangi kerentanan suatu wilayah dan meningkatkan
ketahanan/kemampuan menanggulangi suatu bahaya, termasuk dalam hal ini
tsunami. Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur seperti transportasi, air bersih
dan air limbah, manajemen limbah, produksi dan distribusi energi, gedung-gedung
publik, fasilitas rekreasi, dan jaringan komunikasi sudah selayaknya dilakukan untuk

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 115


sebesar-besarnya usaha meningkatkan ketahanan/kemampuan menanggulangi
bahaya dan dirancang secara khusus untuk menurunkan kerentanan
wilayah/kawasan terhadap bahaya.

1.4. Pembelajaran yang Dapat Dipetik untuk Penataan Ruang Kawasan


Bencana Tsunami

Diantara hal-hal yang ditemukan dalam survei dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran bagi penataan ruang di kawasan bencana tsunami:
a. Relatif banyak masyarakat di kawasan yang diterjang tsunami dapat terselamatkan
oleh bangunan bertingkat yang tahan gempa, dengan bertahan di lantai 2 atau 3.
b. Buffer zone yang terdiri dari vegetasi yang sangat tipis (bakau) terbukti sangat
tidak efektif meredam gelombang tsunami.
c. Pohon-pohon kelapa atau nipah tidak mampu menahan atau meredam energi
gelombang tsunami, dan untuk kasus Banda Aceh, Lhoknga, Meulaboh dan pantai
barat antara Meulaboh-Banda Aceh bahkan menjadi bahaya ikutan yang
menghancurkan bangun-bangunan karena tercerabut dan terbawa tsunami ke
daratan. Cemara laut di Lhoknga terlihat lebih tahan terhadap terpaan tsunami.
d. Kawasan-kawasan yang relatif datar dan luas di sepanjang pantai, seperti pesisir
Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhoknga, menderita hempasan yang sangat besar
dari tsunami, karena air mempunyai kesempatan mengalir cukup deras dan jauh.
e. Bangunan/Infrastruktur strategis seperti Rumah Sakit, Markas Polisi, Markas
Militer pada umumnya rusak akibat gempuran gempa dan tsunami, karena
ditempatkan di kawasan terpaan tsunami, sehingga kehilangan fungsinya pada
saat setelah tsunami untuk memberikan bantuan dan pertolongan.
f. Sistem utilitas yang terpusat, misalnya air bersih, listrik, telekomunikasi, terbukti
lumpuh secara keseluruhan selama beberapa waktu akibat terganggunya beberapa
bagian dari jaringannya. Ceritanya akan lain jika hal tersebut dilakukan secara
moduler untuk beberapa zona kawasan yang satu dengan lainnya dapat terpisah.
g. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada tidak akrab dengan bencana, atau
tidak secara inherent berfungsi sebagai alat mitigasi bencana, khususnya tsunami,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 116


sehingga korban jiwa, harta benda, dan lingkungan menjadi sangat fantastis dan
tidak terkirakan.
h. Kehidupan nelayan di kawasan bencana merupakan yang terlihat paling cepat
pulih, dan mereka cenderung kembali ke tempat asal di sekitar pantai karena
kedekatannya dengan sumber mata pencahariannya di laut. Oleh karena itu tidak
akan efektif dan bijaksana menjauhkan masyarakat nelayan dari sekitar pantai.
Tantangan bagi penataan ruang untuk mengaplikasikan berbagai infrastruktur
untuk menghindari, melambatkan, mengarahkan, atau menghadang ’inundation’
dari tsunami ini untuk kawasan terbatas di perkampungan nelayan, bangunan
perikanan, dan pelabuhan, serta berbagai infrastruktur evakuasi yang tetap dapat
dimanfaatkan sehari-hari.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 117


BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Gempa Aceh 26 Desember 2004 telah menyebabkan kerusakan dan runtuhnya


beberapa bangunan di kota Banda Aceh dan Meulaboh yang strukturnya
memiliki kerentanan yang tinggi. Namun demikian, sebagian besar bangunan
gedung dan rumah tinggal di kota Banda Aceh tidak mengalami kerusakan yang
berarti akibat gempa.
2. Analisis atenuasi gempa Aceh 26 Desember 2004 menggunakan fungsi atenuasi
gempa subduksi menunjukkan bahwa besarnya Peak Baserock Acceleration
(PBA), percepatan gempa puncak di batuan dasar, adalah sekitar 0.22-0.27g di
kota Banda Aceh, dan sebesar 0.30-0.35g di kota Meulaboh. Nilai PBA ini dekat
dengan nilai dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726 tahun 2002 mengenai
peraturan tahan gempa untuk bangunan gedung. Namun demikian, dalam
upaya rehabilitasi dan rekonstruksi NAD, yang akan melibatkan suatu investasi
yang sangat besar, maka perlu dilakukannya suatu seismic hazard assessment
untuk menentukan kriteria design seismik besarnya PBA pasca gempa Aceh
dengan suatu metoda analisis probabilistik dan deterministik sesuai dengan
metodologi standar yang digunakan baik secara nasional maupun internasional.
3. Pengamatan visual dan interpretasi data dari peta geologi menunjukkan bahwa
kondisi geoteknik di kota Banda Aceh relatif tidak bervariasi terlampau besar.
Ada indikasi kondisi tanah di daerah dekat pantai lebih lunak dibandingkan
daerah ke arah pegunungan. Tanpa data-data geoteknik hasil penyelidikan
tanah, agak sulit untuk dapat memberikan suatu variasi kondisi tanah lokal
untuk mendukung peta mikrozonasi. Namum demikian, dipertimbangkan
bahwa karena kondisi tanah di daerah dekat pantai dan pinggir-pinggir sungai
yang relatif lebih lunak atau lebih lepas, amplifikasi seismik di daerah-daerah ini
dipertimbangkan lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah lain di kota
Banda Aceh. Pengembangan peta mikrozonasi yang lebih detail yang didasarkan

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 118


pada pengumpulan data-data baik sekunder maupun primer diperlukan untuk
rehabiltasi dan rekonstruksi kota Banda Aceh dan Meulaboh.
4. Pengamatan visual dan analisis keruntuhan bangunan menunjukkan beberapa
lokasi di dekat pantai dan pinggir sungai dengan kondisi tanah berpasir jenuh,
mengalami likuifaksi akibat gempa. Kerusakan beberapa bangunan dan
abutment ataupun oprit jembatan teridentifikasi akibat terjadinya likuifaksi.
Lateral spread terjadi akibat getaran gempa untuk struktur-struktur dinding
penahan tanah di daerah dekat pantai dan sungai.
5. Walaupun dengan keterbatasan data-data geoteknik yang ada sementara ini,
pengamatan visual di site dan pola-pola kerusakan dan keruntuhan bangunan
dalam suatu peta mikrosonasi awal, peta potensi likuifaksi awal, peta MMI awal,
dan peta hazard tsunami awal. Peta-peta awal ini hanya dapat digunakan
terbatas untuk identifikasi awal hazard-hazard gema dan tsunami, dan sebagai
masukan di dalam tata-ruang penataan ulang grand design/cetak biru kota Banda
Aceh dan Meulaboh. Peta-peta seismic & tsunami hazard ini perlu ditinjau lebih
lanjut dalam suatu kajian dan studi yang lebih mendalam dengan pengumpulan
data-data sekunder yang lebih lengkap maupun pengumpulan data-data
penyelidikan primer lainnya.
6. Disarankan untuk melakukan suatu seismic & tsunami hazard analysis dan
kerentanan elemen-elemen yang beresiko untuk kota Banda Aceh, Meulaboh dan
kota-kota Aceh lainnya. Selain itu, perlu juga dilakukan kajian seismic & tsunami
hazard untuk daerah-daerah /kota-kota lain di sepanjang kawasan Barat Pulau
Sumatra yang berhadapan dengan jalur subduksi Sumatra.
7. Disarankan untuk melakukan kajian ulang terhadap Standar Nasional Indonesia
(SNI-1726 Tahun 2002) mengenai besarnya percepatan gempa di kota Banda
Aceh dan Meulaboh pasca gempa Aceh. Selain itu, perlu pula dikaji criteria
disain seismik bangunan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berdasarkan
karakteristik gerakan tanah baik akibat gempa subduksi seperti gempa Aceh,
maupun pertimbangan terhadap gempa-gempa dangkal dari patahan-patahan di
sekitar kota NAD.
8. Untuk sementara ini terlalu dini untuk bisa memberikan rekomendasi yang
definitif mengenai jarak pertahanan dari garis pantai, mengingat banyaknya

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 119


ketidakpastian dan aspek-aspek yang terkait dengan keputusan ini. Dari hasil
survey dan data-data awal, direkomendasikan untuk menghindari kawasan dari
pengembangan pembangunan baru selebar tidak lebih dari 2000m dari garis
pantai. Kawasan selebar 2000m ini bisa terdiri atas pertahanan (buffer) vegetasi
dari jenis yang tinggi, kuat akar , batang, cabang/ranting, serta memiliki daun
yang lebar dan kuat. Vegetasi ini perlu disusun tumpang sari dari jenis yang
tinggi dan rendah dengan susunan yang nanti bisa direkomendasikan lebih
lanjut setelah ada studi yang lebih detail.
9. Jika lebar 2000 meter ini diinginkan untuk dikurangi, maka alternatif yang
disarankan adalah membangun kawasan tambak dan tanggul (embankment) di
belakang pertahanan vegetasi dengan suatu dimensi lebar dan ketinggian
tertentu tergantung dari sempadan (set- back) yang diinginkan dan ketebalan
vegetasi.
10. Dengan mempertimbangkan beberapa aspek ketidakpastian yang adanya tingkat
resiko tertentu yang nanti perlu diambil, serta dari pengalaman penanggulangan
bencana tsunami di negara-negara lain, maka kombinasi solusi yang sifatnya fisik
(seperti buffer vegetasi dan/atau tanggul) dan solusi yang sifatnya non-fisik
seperti adanya sistem informasi peringatan dini (early warning system) yang
terintergarasi dengan sistem evakuasi yang seksama, merupakan suatu solusi
kompromi yang perlu ditingaklanjuti. Dengan pertimbangan bahwa periode
ulang tsunami dahsyat yang diperkirakan lebih dari 200 tahunan, maka solusi
kombinasi fisik dan non-fisik ini bisa dan perlu dikaji lebih lanjut dalam suatu
risk-assessmen.t. Risk assessment ini perlu meliputi kajian bahaya (hazards),
kerentanan elemen-elemen kota (vulnerability of element at risk), kajian kapasitas
(kapasitas suatu daerah/kota untuk menghadapi bencana) yang
terintegrasi/holistik yang mempertimbangkan berbagai aspek teknis,
lingkungan, termasuk juga sosial dan budaya untuk dapat memberikan
rekomendasi-rekomendasi sistem pertahanan yang optimal dalam penataan
ulang tata-ruang serta untuk rehabilitasi dan rekonstruksi kota-kota Aceh.
Dengan demikian, nantinya langkah-langkah mitigasi yang diperlukan dapat
dirumuskan dan diimplementasikan dengan tepat. Sistem pertahanan nantinya
dapat berupa vegetasi atau kombinasi vegetasi dengan tanggul, tambak, kawasan

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 120


rekreasi atau ruang fasilitas umum, dan lain-lain. Sistem ini, nantinya perlu
terintegrasi dengan rencana early warning system dan rencana sistem evakuasi.
11. Perlu ada suatu kajian dan simulasi tsunami untuk penyusunan dan pemasangan
”early warning system” di kawasan-kawasan rawan tsunami di NAD. Rencana
penyusunan dan pemasangan earning warning system ini nantinya akan menjadi
suatu komponen dalam suatu kajian resiko yang perlu terintegrasi dengan
skenario penataan ulang kota-kota Aceh.
12. Kalau karena kondisi tertentu, pada daerah rendaman tsunami perlu dirancang
dan bangunan-bangunan akrab tsunami serta disiapkan bangunan-bangunan
untuk evakuasi seperti elevated buildings (yang dekat dengan pantai untuk
daerah pelabuhan misalnya). Selain itu, perlu disiapkan lahan evakuasi berupa
bukit-bukit terbuka. Dalam penataan ruang perlu disiapkan jalur-jalur evakuasi
lengkap dengan tanda-tanda arah evakuasi ke areal-areal evakuasi yang telah
disiapkan, yang dapat berfungsi setiap saat.
13. Untuk jangka panjang, karena pada muara-muara sungai dan atau kanal serta
jalan akses ke pantai tidak dapat dilakukan pertahanan menggunakan vegetasi,
maka perlu disiapkan pintu-pintu air untuk pertahanan di mana pada saat akan
terjadi tsunami, pintu-pintu tersebut ditutup, dengan input yang terintegrasi
dengan early warning system.
14. Untuk mitigasi non-struktural, perlu disiapkan peta-peta hazards tsunami untuk
nantinya disosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu, perlu disiapkan
program-program untuk membangun kesiapan (awareness) masyarakat dalam
menghadapi gempabumi, dan tsunami. Beberapa rencana program yang bisa
dilakukan adalah misalnya membangun monumen-monumen tsunami, museum
dan perpustakaan. Program-program non-struktural lainnya adalah berupa
sosialisasi dan desimintasi mengenai gempabumi dan tsunami. Pendidikan mulai
dari tingkat SD sampai perguruan tinggi mengenai gempabumi dan tsunami
perlu digalakkan.
15. Selain RTRW Propinsi dan Kabupaten yang berskala kecil, dibutuhkan segera
RTRW Kota dengan skala minimal 1:10.000 atau lebih besar untuk Rencana Detail
Tata Ruang Kota (RDTRK) kawasan-kawasan yang segera akan dibangun
kembali khususnya di zona tidak aman (di kawasan terpaan tsunami tetapi

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 121


memang harus dibangun di sana – pelabuhan, fasilitas perikanan seperti TPI,
kampung/perumahan nelayan, wisata bahari), dan zona transisi (kurang aman,
tapi perlu dipertahanan dan ditata kembali).
16. Penataan ruang sebagai ’cetak biru’/’grand design’ oleh karenanya memerlukan
peta-peta yang lebih rinci seperti Peta Microzonasi Gempa, Peta Potensi
Likuifaksi, Peta MMI, Peta Hazard Tsunami, dan Hazard lainnya yang sangat
site-specific sehingga dapat dihasilkan suatu cetak biru yang lengkap yang terdiri
dari:
ƒ Struktur ruang
ƒ Pola ruang
ƒ Zonasi
ƒ Action plan
ƒ Arahan untuk Zoning Regulation
ƒ Arahan untuk Building Codes
Rencana ini akan dapat digunakan sebagai acuan untuk meletakan
bantuan/investasi atau apapun untuk wilayah Aceh dan Nias yang ditawarkan
ke Pemerintah Indonesia/Bappenas
17. Selain dari rekomendasi untuk melakukan suatu kajian bahaya gempa dan
tsunami yang lebih detail untuk mengembangkan peta-peta bahaya serta
melakukan kajian resiko bencana gempa dan tsunami, maka sebagai tindak lanjut
dari survey rekonesan dan kajian awal ini, secara umum, program jangka
menengah ITB akan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan pembangunan kembali
yang sifatnya lebih merupakan bantuan teknis bagi berbagai instansi pemerintah
maupun organisasi non-pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan
pembangunan kembali daerah bencana, antara lain :
ƒ Perencanaan Tata Ruang untuk Pembangunan Kembali Kota-kota dan
Wilayah Aceh,
ƒ Penyusunan pedoman, standar, dan pengawasan bangunan tahan gempa
untuk engineered & non-engineered structures,
ƒ Perencanaan infrastruktur wilayah dan kota,
ƒ Community based reconstruction,

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 122


ƒ Membangun kembali Unsyah dan Perguruan Tinggi lainnya di daerah
bencana
Program Jangka Panjang, anantara lain:
ƒ Early warning system,
ƒ Pelatihan-pelatihan masyarakat,
ƒ Pelatihan-pelatihan peraturan bangunan tahan gempa
ƒ Perencanaan dan pembangunan Disaster management unit,
ƒ Pelatihan pejabat/pemerintah daerah,
ƒ Kerjasama dengan jaringan universitas setempat.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 123


REFERENSI

1. Coastal Development Institute of Technology- Japan, Outline of Manual for


Tsunami and Strom Surge Hazard Maps, November 2002.

2. Indonesian Seismic Building Codes, SNI-1726, 2002, Department of Public Work.

3. Kertapati, E, K. (1999), “Probabilistic Estimates of the Seismic Ground Motion


Hazard in Indonesia”, Proceeding of National Conference on Earthquake
Engineering, Bandung.

4. Kramer, (1996),“Geotechnical Earthquake Engineering”, Prentice-Hall Inc Upper


Suddle River, New Jersey.

5. Latief, H, et al., (2005), Preliminary Report of Numerical Simulation of the 2004


Aceh Tsunami, to be published.

6. Goto, C. and Ogawa, Y. (1992), Numerical Method of Tsunami Simulation with


the Leap-frog Scheme, Disaster Control Research Center, Faculty of Engineering,
Tohoku University.

7. Imamura, F. (1995), Tsunami Numerical Simulation with the Staggered Leap-frog


Scheme (Numerical Code of TUNAMI-N1 and N2), Disaster Control Research
Center, Tohoku University, 33 pp.

8. Mansinha, L and Smylie D.E., (1971) The displecement Field of inclined Faults,
Bull. of the Seismological Society of America, Vol. 61, No.45 pp. 1443-1440.

9. Natawidjaja, D.H., (2002), Ph.D Thesis, California Institute of Technology.

10. National Tsunami Hazard Mitigation Program, ”Designing for Tsunamis, Seven
Principles for Planning and Designing for Tsunami Hazards,” March 2001.

11. Sengara, IW., Munaf, Y., Aswandi, and Susila, IG.M., (2000), “Seismic Hazard and
Site Response Analysis for City of Bandung-Indonesia”, Proceeding of
Geotechnical Earthquake Engineering Conference, San Diego, March, 2001.

12. Sengara, IW., Latief, H., Triyoso, W., Pribadi, K.S., (2005), “Preliminary Report on
Aceh 26 December 2004 Earthquake and Tsunami Disaster”, Report for
International Association of Earthquake Engieering and distributed at the World
Conference on Disaster Reduction, Kobe, January 2005.

13. Shah, H. C., Boen, T., (1996), “Seismic Hazard Model for Indonesia”.

14. Shuto, N. (1992), “Tsunami Disaster Mitigation Technology”, Japan International


Cooperation Agency (JICA).

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 124


15. USGS, earthquake information.

16. SNI 03-1726-2002, (2002), “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Banguan Gedung”, Badan Standarisasi Naisonal – Indonesia.

17. Youngs, R. R., Chiou, S. J., Silva, W. J., Humphrey, J. R., (1997), “Strong Ground
Motion Attenuation Relationship for Subduction Zone Earthquake”, Bulletin of
Seismological Society of America Vol. 68, No. 1.

18. Teddy Boen and Engkon Kertapati, Personnel communication.

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 125


LAMPIRAN - A

Data Gempa Aceh 26 Desember 2004 dan Gempa-Gempa Susulan,


Sember: NEIC - USGS

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 126


LAMPIRAN - B

Foto Udara Kerusakan Tsunami Banda Aceh dan Meulaboh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 127


LAMPIRAN - C

Data Kerusakan Bangunan Banda Aceh & Dokumen Penunjang


Lainnya

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 128


LAMPIRAN - D

Kajian Pemilihan Lokasi Pemindahan Fasilitas Umum


Kecamatan Samatiga - Meulaboh

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh - ITB Halaman - 129


Before tsunami Before tsunami

After tsunami After tsunami

Anda mungkin juga menyukai