Disiapkan Oleh:
Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Aceh
Tim Penyusun:
Ir. Andi Oetomo, MT : Ahli Planologi & Tata Ruang
Ir. Awal Surono, MT : Ahli Gempa Struktur
Dr. Bambang Budiono : Ahli Gempa Struktur
Prof. Dadang K. Mihardja : Ahli Kelautan dan Tsunami
Ir. Engkon Kertapati : Ahli Geologi
Dr. Hamzah Latief : Ahli Tsunami
Dr. Ketut Suantika : Ahli Geodesi Citra Satelit
Dr. Krishna S. Pribadi : Ahli Manajemen Bencana
Dr. Masyhur Irsyam : Ahli Gempa Geoteknik
Dr. Nanang Puspito : Ahli Seismilogi dan Tsunami
Ir. Aditya : Asisten Ahli Tsunami & Kelautan
Ir. Agus Himawan : Asisten Ahli Gempa
Ir. Putu Sumiartha,MT : Asisten Ahli Gempa Geoteknik
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Lingkup Survey Rekonesans 3
REFERENSI 121
Gambar 1.1. Gempa utama di Aceh ini diikuti oleh gempa susulan besar di Kepulauan
Nicobar (M=7.5) dan di Kepulauan Andaman (M=6.2).
Gambar 2.1. Peta yang menunjukkan Gambar 2.2. Seismological summary dari
elemen-elemen tektonik utama batas Sumatra dengan kawasan sumber
lempeng Sumatra (after Natawidjaya, gempa-gempa besar dari catatan historis
2002) (after Shieh and Natawidjaya, 2000)
Zona subduksi yang membentang dari bagian barat kupulauan Andaman di barat laut
dan pulau Banda di bagian timur merupakan sumber gempa yang paling aktif di
kawasan Indonesia. Tingginya seismisitas di Pulau Sumatra dipengaruhi oleh zona
Figure 2.3. Seismisitas di sekitar Pulau Sumatra island dari tahun 1964 to 2000
(Sumber: USGS)
Untuk memperkirakan besarnya nilai percepatan gempa puncak di batuan dasar (peak
baserock acceleration /PBA) di bawah kota Banda Aceh, suatu analisis atenuasi dari
gelombang gempa perlu dilakukan. Suatu fungsi atenuasi yang cocok dengan kondisi
kegempaan sumber gempa Aceh ini. Gempa Aceh termasuk type dari sumber zona
subduksi, oleh karena itu, fungsi-fungsi atenuasi yang merepresentasikan sumber
gempa yang mirip perlu digunakan. Untuk kajian awal ini, fungsi-fungsi atenuasi
berikut ini dikaji:
Fungsi-fungsi Atenuasi
Suatu fungsi atenuasi mengkorelasikan intensitas gempa dengan perpindahan tanah
local (I), magnitude (M) and jarak (R) dari suatu sumber gempa di dalam suatu areal
sumber gempa. Beberapa fungsi atenuasi gempa telah dipublikasikan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan pencatatan gempa-gempa yang pernah terjadi. Fungsi
ini secara spesifik memberikan hubungan antara parameter-parameter gempa seperti
sumber gempa dan kondisi-kondisi geologi local. Secara umum, suatu fungsi atenuasi
tergantung dari faktor-faktor berikut ini:
Type mekanisme sumber gempa
Jarak epicenter
Kondisi kerak bumi di mana gelombang gempa menjalar
Kondisi geologi lokal di sekitar areal sumber gempa
Rumus atenuasi yang diturunkan dari data gempa suatu areal tertentu, belum tentu
bisa diaplikasikan untuk areal yang lain meskipun keduanya terletak pada suatu
setting tektonik yang sama.
Distance (km)
0 50 100 150 200 250 300
0
α
Megathrust
50
Depth (km)
β
100
Benioff
150
200
Gambar 2.4. Zona megathrust dan zona benioff dari suatu gempa mekanisme
subduksi
800
700
Youngs'97 Crouse'91
600
500
PBA (gals)
400
300
200
100
0
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Distance (km)
Gambar 2.5. Plot yang menunjukkan atenuasi PBA gempa Aceh 26 December 2004
(Sengara et al., 2005)
Gambar 2.5 menunjukkan hasil perhitungan atenuasi gempa Aceh 26 Desember 2004
dari sumber sebagai fungsi jarak dari epicenter. Ditunjukkan dalam gambar atenuasi
ini bahwa PBA kota Banda Aceh yang berlokasi sekitar 250km dari epicenter gempa
atau sekitar 107 km dari bidang rupture adalah sekitar 0.22-0.27g. Analisis atenuasi ini
adalah 400 km panjang x 80 km lebar dan momen seismic sebesar of 3.5x10 27 dyne-cm
telah diperkirakan dari analisis seismologi berdasarkan mekanisme fokal dari Harvard
CMT Solution dan Parameter Patahan ERI-Tokyo University. Simulasi numeric
preliminary memberikan hasil seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Mening-
Tahun B H j m M/D Daerah Observasi
Lat. Lon. Tm H(m) gal/
p Propinsi: lokasi
Celaka
1797 02 10 0.58 100,2 Strong W. Sumatera, Padang
1799 16 Sumatera
1818 13 18 -3.5 100.5 Bengkulu
1833 01 29 9 Padang, Priaman
1833 11 24 Bengkulu
1843 01 5-6 2.08 98.23 Large N. Sumatera: Barus
Is.. G. Sitoli
1861 02 16 8.4 50 Sumatra: Batu Is.,
Nias Is.
1861 09 25 -2.04 100.6 1 Sumatra: Padang,
Indrapura
1864 W. Sumatra: Padang,
Batu
1883 08 26 -5.8 106.3 Volc 35 36000 Sumatera: Sunda St.,
Java,
1904 07 04 W. Sumatra: Siri-siri
1907 01 - Sumatra : Western
Coast
1908 02 06 -2.0 100.0 W. Sumatra
1909 06 03 18 41U - 2.5 101.5 7.3 200 Sumatra: Kerinci-
Jambi
1928 03 26 -5.8 106.3 Volc Sunda St., Lampung,
1935 12 28 -0.3 97.9 N Sumatera: Batu
Island
1936 03 01 - 7.0 110/479 Sumatra:
1967 04 12 5.3 96.5 6.5 big N Sumatera: Sigli
10 minutes 30 minutes
60 minutes 90 minutes
Dapat dilihat dari simulasi awal tsunami yang dilakukan bahwa kota Banda Aceh dan
Meulaboh terkerna hantaman tsunami 20 sampai 30 menit setelah kejadian gempa
utama. Penjalaran gelombang telah menyebabkan kejadian tsunami di kawasan pantai
Samudra Hindia di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand,
Sri Lanka, India, Bangladesh, Maldives, Somalia, Seychelis, Afrika Selatan, Kenya,
Kepulauan Cocos, Mauritius dan Reunion.
Penyesaran plistosin di daerah NAD dikontrol oleh batas topografi yang berarah Barat
Laut-Tenggara yang terjadi di batas antar perdataran Banda Aceh dengan barisan
perbukitan pantai Barat. Kedudukan tektonik aktif di NAD umumnya didominasi oleh
2 pola sistem sesar/patahan wilayah yang diakomodasikan oleh gerak convergent
miring (oblique-convergent motion) atara lempeng Hindia-Australia dan Lempeng
Sunda. Kedua sistem patahan tersebut meliputi:
a. Sitem pertama, yaitu Lajur penujaman Sumatra menukik ke arah Utara-Timur ke
busur Pulau Sumatra.
b. Sistem kedua, yaitu sistem sesar/patahan geser menganan (dextral) memanjang
sepanjang Pegunungan Barisan yang dikenal dengan sistem patahan Sumatra.
Berdasarkan pengamatan visual, kondisi tanah lokal di daerah pinggir pantai kota
Banda Aceh umumnya terdiri atas lanau pasiran dan pasir kelanauan dengan
kosistensi medium stiff sampai stiff. Ada indikasi kondisi tanah di daerah dekat pantai
lebih lunak dibandingkan daerah ke arah pegunungan. Untuk mengetahui kondisi
tanah lokal secara lebih detail, hasil pengamatan visual ini perlu ditunjang oleh data-
data geoteknik hasil penyelidikan tanah.
Gambar 3.1. Kondisi umum tanah permukaan di dearah Banda Aceh yang
terdiri dari pasir kelempungan.
Topografi kota Banda Aceh yang cukup datar menyebabkan tidak dijumpainya
kerusakan berupa landsliding yang signifikan, kecuali terputusnya beberapa ruas jalan
dan jembatan di daerah pantai akibat hempasan gelombang tsunami.
Ground settlement dan potensi likuifaksi diamati di Gedung Keuangan yang rubuh
dan sebagain mengalami kerusakan struktural parah. Kondisi tanah di daerah ini
adalah merupakan tanah urugan di atas tanah dengan kondisi yang relatif cukup
lunak, terlihat dari kondisi tanah asli di bagian belakang dari lokasi gedung. Di daerah
sekitar mesjid Raya Baiturahman kondisi tanah permukaan diidentifikasi adanya suatu
lapisan tanah yang pada lapisan yang jenuh air berpotensi mengalami likuifaksi. Pada
daerah ini, memang tidak teramati adanya kejadian likuifaksi akibat gempa Aceh,
namun daerah ini dipertimbangkan memiliki potensi likuifaksi untuk suatu besaran
getaran gempa yang lebih besar.
Gambar 3.3 menunjukkan suatu bangunan yang terletak dipinggir sungai diatas
lapisan pasir jenuh yang diidentifikasi mengalami likuifaksi yang memicu kegagalan
daya dukung pondasi sehingga bangunan roboh, hal ini didukung oleh bukti bahwa
bangunan yang sama dan terletak relatif lebih jauh dari sungai masih berdiri tetapi
dimungkinkan untuk mengalami likuifaksi jika terjadi gempabumi dengan intensitas
yang lebih besar. Gambar 3.4 menunjukkan adanya potensi likuifaksi pada lokasi-
lokasi yang terdiri dari lapisan pasir jenuh, sedangkan Gambar 3.5 menunjukkan
adanya kemungkinan likuifaksi yang terjadi pada kaki lereng ditepi pantai yang
memicu terjadinya kelongsoran lereng.
Gambar 3.4. Lapisan pasir lepas pada permukaan tanah dengan kondisi tanah
jenuh yang berpotensi menyebabkan likuifaksi.
Dari pengamatan elemen struktur yang rusak, terutama pada detil hubungan antara
kolom dan balok sistim penulangannya tidak sempurna. Tulangan utama kolom
Kelemahan secara struktural yang menonjol dari konstruksi bangunan di Aceh adalah
sistim penulangan dinding list plank. Karena pembesian pengangkerannya tidak
sempurna, menyebabkan list plank runtuh dan jatuh menimpa struktur dibawahnya.
Masalah yang sama juga terjadi pada sistim pengangkeran tembok vertikal penutup
angin dari kuda-kuda. Pengangkeran yang tidak baik menyebabkan tembok penutup
runtuh akibat gaya gempa.
Bangunan Pemerintahan
a. Kantor Gubernur Provinsi NAD
Kantor ini terletak di Jalan Tengku Nyak Arief, bagian timur kota Banda Aceh,
berjarak sekitar 3.5 km dari pantai dan 2.5 km dari Banjir Kanal Krueng Aceh. Pada
bangunan utama (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7), ground shaking menyebabkan
kerusakan struktural di satu kolom pada bagian belakang, berupa keruntuhan geser
(Gambar 3.8). Kerusakan non struktural berupa retak geser dijumpai pada dinding
bagian depan. Sedangkan energi gelombang tsunami telah menyebabkan robohnya
beberapa dinding lantai 1 (Gambar 3.9).
Gambar 3.8. Keruntuhan geser pada kolom dan dinding bangunan utama bagian
belakang
Secara umum konstruksi bangunan utama masih kuat dan aman untuk digunakan
dengan beberapa perbaikan baik struktural maupun non struktural. Kerusakan parah
terjadi pada bangunan (masih dalam tahap konstruksi) di belakang bangunan utama.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perencanaan bangunan tidak memenuhi
kaidah-kaidah perencanaan bangunan tahan gempa. Sendi-sendi plastis terbentuk
pada kolom karena detail penulangan confinement (pengekangan) pada kolom, join
(sambungan alok dan kolom) dan penulangan geser pada balok yang tidak sempurna.
Hal ini menyebabkan runtuhnya bangunan secara keseluruhan (Gambar 3.10).
Secara umum, bangunan yang tersisa di sayap kanan masih aman untuk digunakan.
Sedangkan bangunan tengah dan sayap kiri harus dibongkar dan diganti dengan
bangunan baru.
Gambar 3.29. Keruntuhan geser pada satu kolom dan dinding dalam pada
bangunan tengah
Gambar 3.32. Pergeseran pada dilatasi dan retak geser pada satu kolom
Secara umum, bangunan ini masih kuat dan aman untuk digunakan. Perbaikan non-
struktural diperlukan untuk mengembalikan fungsi ruangan. Pemakaian dinding
dengan material ringan, seperti gypsum, perlu dipikirkan jika kebutuhan ruangan
menyebabkan diperlukannya dinding penyekat yang tidak menyatu dengan struktur
utama.
Bangunan Publik
Gambar 3.47. Retak dan penurunan lantai pada dilatasi bangunan lama dan baru
c. Kantor-kantor Perbankan
Seluruh bangunan kantor-kantor perbankan di Banda Aceh, yang dikunjungi, dari
tinjauan visual diperkirakan tidak mengalami kerusakan yang berarti. Hanya kantor
BNI di Lampaseh Kota yang mengalami kerusakan pada dinding akibat tsunami.
e. Kantor Telkomsel
Kerusakan struktural akibat goncangan tanah terjadi pada kolom utama. Secara umum
bangunan ini sudah tidak dapat digunakan dan memerlukan pembangunan kembali.
g. Geunta Plaza
Kerusakan non struktural akibat goncangan tanah terjadi pada dinding gedung. Secara
umum bangunan masih dapat digunakan setelah dilakukan perbaikan.
Data hasil survey lapangan terhadap tingkat kerusakan bangunan, yang meliputi
bangunan pemerintah dan banguna publik, untuk kota Banda Aceh dapat dilihat pada
Lampiran.
a. Bangunan Sekolah
Bangunan 1 lantai umumnya bertahan dari gaocangan gempabumi, rata-rata
kerusakan yang terjadi bersifat non-stuktural seperti ditampilkan pada Gambar 3.62.
Bangunan dan rumah tinggal 1 lantai dan 2 lantai umumnya bertahan dari gaocangan
gempabumi, rata-rata kerusakan yang terjadi bersifat non-stuktural seperti
ditampilkan pada Gambar 3.63 sampai Gambar 3.64.
c. Bangunan Pertokoan
Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum bangunan ruko 3 lantai bertahan
terhadap goncangan gempa seperti ditampilkan pada Gambar 3.66 dan 3.68. Beberapa
bangunan yang mengalami kerusakan non-struktural umumnya bangunan yang
terletak dipinggir pantai yang diidentifikasi disebabkan oleh lateral spread akibat
kondisi tanah yang lunak dan jenuh, serta topgrafi tanah yang miring.
Gambar 3.67. Bangunan 3 lantai (dalam tahap konstrukti) yang berlokasi di pinggir
pantai dan tahan terhadap goncangan gempabumi
d. Bangunan Masjid
Seperti halnya bangunan rumah tinggal 1 dan 2 lantai lantai, masjid umumnya
bertahan terhadap goncangan gempabumi dan tidak mengalami kerusakan struktural.
Gambar 3.68. Bangunan masjid dan menaramya yang tidak mengalami kerusakan
struktural
Gambar 3.72. Kerusakan jalan dan bahu jalan pada timbunan embankment
yang disebabkan oleh penurunan dan kelongsoran ke pinggir.
b. Jembatan
Pada umumnya kerusakan jembatan terjadi karena terjangan tsunami. Kerusakan
jembatan karena gempabumi umumnya terjadi pada oprit dan timbunan yang
mengalami kelongsoran atau lateral spread, atau likuifaksi.
c. Pelabuhan
Hampir seluruh pelabuhan di Banda Aceh hancur akibat gelombang tsunami.
Pelabuhan-pelabuhan yang sempat dikunjungi adalah Pelabuhan Ulee Lheu,
Beberapa bagian jalan yang mengalami kerusakan akibat gempa umumnya terjadi
pada timbunan embankment yang mengalami kelongsoran ke pinggir, penurunan,
lateral spread, atau likuifaksi untuk tanah pasir jenuh seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.79. Secara umum, tingkat kelongsoran, penurunan, dan leteral spread yang
terjadi pada embankment jalan dipengaruhi oleh kondisi topografi di sekitar lokasi,
tinggi embankment, kondisi lapisan tanah, dan level muka air tanah.
b. Jembatan
Pada umumnya kerusakan jembatan terjadi pada oprit dan timbunan yang mengalami
kelongsoran atau lateral spread, atau likuifaksi. Kerusakan dapat disebabkan oleh
adanya perbedaan pergerakan yang cukup besar pada pier dan adanya kemungkinan
kegagalan geser pada pondasi pier akibat beban gempa dan terjangan tsunami, seperti
ditampilkan pada Gambar 3.80.
c. Pelabuhan
Beberapa pelabuhan nelayan yang diamati disekitar Meulaboh umumnya mengalami
kerusakan akibat adanya terjangan tsunami. Akibat gempabumi, kerusakan umumnya
terjadi pada daerah embankment atau lereng pada kondisi tanah yang berpasir.
Kerusakan pada embankment dan lereng tersebut disebabkan oleh adanya
kemungkinan liquifaksi pada lapisan pasir jenuh sehingga tahanan geser pada lereng
Gambar 3.82. Kerusakan jaringan listrik karena kehilangan daya dukung dan
tahanan lateral tanah.
Materi Survey
Survey dilakukan untuk mendapatkan data-data tsunami berikut ini:
1. Tinggi gelombang tsunami
2. Waktu tiba gelombang tsunami
3. Karakteristik gelombang tsunami
4. Inundation (jarak horisontal genangan tsunami dengan garis pantai)
5. Kerusakan akibat gelombang tsunami
Hasil Survey
Kota Banda Aceh:
1. Tinggi tsunami : 6 – 15 meter dari MSL (mean sea level).
2. Waktu tiba tsunami: 15 – 50 menit setelah gempa.
15 m
30 m
Gambar 3.84. Arah dan tinggi gelombang tsunami serta daerah rendaman tsunami
Gambar 3.85. Servey pasca tsunami yang menunjukkan run-up gelombang tsunami
terhadap permukan laut dan permukaan tanah
Gambar 3.86. Survey pengamatan arah dan tinggi tsunami di kota Banda Aceh
Gambar 3.88. Survey pengamatan arah dan tinggi tsunami di Lhok Nga
Gambar 3.90. Pabrik semen Andalas – Lhok Nga, 15 km Barat Daya Banda Aceh,
sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) tsunami
Gambar 3.91. Garis pantai Kawasan Banda Aceh sebelum (kiri) dan sesudah
(kanan) tsunami
Gambar 3.92. Kawasan Banda Aceh sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) tsunami
Gambar 3.93. Kawasan Mesjid Agung Banda Aceh sebelum (kiri) dan sesudah
(kanan) tsunami
Gambar 3.95. Kota Meulaboh sebelum (kiri) dan setelah (kanan) tsunami
Gambar 3.96. Sisi lain Kota Meulaboh sebelum (kiri) dan setelah (kanan) tsunami
Besarnya energi gelombang tsunami inilah yang telah menyebabkan kerusakan paling
parah pada hampir seluruh bangunan rendah, seperti pemukiman, perkantoran, dan
pertokoan serta bangunan infrastrukur lainnya. Kerusakan ditemukan pada hampir
setengah bagian kota Banda Aceh, dengan intensitas kerusakan total pada bangunan
perumahan di daerah pantai dan disekitar alur Sungai Krueng dan Banjir Kanal.
Daerah yang mengalami kerusakan total adalah Pantai Lhok Nga, Pantai Ulee Lheu
sampai daerah Punge Blang Cut, Pelabuhan Lampulo, Tibang dan Krueng Raya
(Gambar 3.97 sampai Gambar 3.104).
Arah aliran
gelombang
tsunami
Gambar 3.97. Arah tsunami serta ketinggian gelombang tsunami di pantai utara
Banda Aceh dan Lhok Nga
Gambar 3.99. Komplek ruko yang hancur akibat gempabumi dan tsunami.
Gambar 3.101. Sisa-sisa pemukiman yang rata dengan tanah akibat gelombang
tsunami di Pantai Lhok Nga
Gambar 3.103. Sisa-sisa pemukiman yang rata dengan tanah akibat gelombang
tsunami di Lampaseh Aceh
Gambar 3.106. Kondisi jalan dan jembatan yang putus akibat hempasan gelombang
tsunami
Berdasarkan data-data awal seperti kondisi geologi, citra satelite dan data-data
klerusakan lapangan dari hasil survey lapangan, selanjutnya dibuat suatu peta
mikrzonasi awal Kota Banda Aceh dan Kota Meulaboh untuk dapat memberikan
masukan terhadap master plan yang akan ditetapkan. Peta-peta mikrozonasi awal dan
potensi likuifaksi merupakan peta yang didasarkan pada kondisi geologi dan
kegempaan masing-masing lokasi. Secara umum, kondisi Kota Banda Aceh dan Kota
Meulaboh lebih dipengaruhi oleh gelombang tsunami, sehingga penentuan master
plan perlu lebih didasarkan pada peta tsunami.
Lambroskep
Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa
Berawi
Ujong
Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
Punge Ujong
Uleelheueblang
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Bumperum Cot Mesjid
Meunasah Kaway
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima
Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Nusa Lampeu teueun
Tanjung Lhang Lambleut
Leungeu
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lamgaboh Lambatee Teubalau
CT. Trieng Grot
Turam
Lambaro Koeih
Lamtado Lamsat
Mane Bumpeeting
Biluy
LamboroBateelenteng
Naga Umbah
Gambar 4.1. Peta Mikrozonasi Awal Gempabumi Kota Banda Aceh yang
menunjukkan Distribusi Amplifikasi Seismik di Permukaan Tanah
Berdasarkan pengamatan tersebut dibuat peta potensi likuifaksi untuk Kota banda
Aceh dan Kota Meulaboh sepert ditampilkan pada Gambar 4.2 dan 4.3. Untuk hasil
yang lebih akurat dan detail diperlukan data-data yang mencukupi dari suatu hasil
penyelidikan tanah.
Lambroskep
Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa
Berawi
Ujong
Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
Punge Ujong
Uleelheueblang
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Cot Mesjid
Meunasah Kaway Bumperum
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Nusa Lampeu teueun
Tanjung Lhang Lambleut
Leungeu
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lamgaboh Lambatee Teubalau
CT. Trieng Grot
Turam
Lambaro Koeih
Lamtado Lamsat
Mane Bumpeeting
Biluy
LamboroBateelenteng
Naga Umbah
Gambar 4.2. Peta Likuifaksi dan Tanah Retak Kota Banda Aceh dan sekitarnya
NA
AN
JL .
.M
JL
SY
AH
K UA
LA
M
ES
JI
D
PA
DA
SING
NG
AHMAT
A
JL.
TEN
GKU
= Tanah Retak
Ground Fractures
= Likuifaksi
= Gedung & Lantai Roboh
= Likuifaksi & Tanah Retak
VII VI
VIII
Lambroskep
Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa
VI
VI
Berawi
Ujong
VIII Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
VII Uleelheueblang
Punge Ujong
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Bumperum Cot Mesjid
Meunasah Kaway
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Lampeu teueun
VI Tanjung Nusa Lhang
Leungeu
Lambleut
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lamgaboh Lambatee Teubalau
CT. Trieng Grot Turam
Lambaro Koeih
Lamtado Lamsat
VII Mane Bumpeeting
Biluy
VIII
LamboroBateelenteng
Naga Umbah
VIII
VII VI
Gambar 4.4. Peta Intensitas MMI Kota Banda Aceh dan sekitarnya
VI
VII
I
L
NA
SIO
O
ER
NA
AN
J L.
.M
JL
SY
AH
KU
AL
A
M
ES
I
VI
JI
D
PA
II
DA
VI
SING
NG
A HMA
TA
J L.
TE N
GKU
V = Kontur MMI
Lambroskep
Lampulo
Lampate
Lamdingin
Kp. Pande Ujong Kreung
P. Jawa
Berawi
Ujong
Lampaseh Aceh Lambruk
Uleelheue
Punge Ujong
Uleelheueblang
Lambaro Cut Lambuah Lempaloh
Kp blang
Lamgurun Asoinongroi Lamjabat
Lamteui Lamaway Lamteh
Lambade Sunen
Meunasah tuha Lamjame Ateukmunyengbatoh
Lampeueng Lamme
Lampudaya Aceh
Uleu Pate
Bandajaya MESJID RAYA
Cot Mesjid
Meunasah Kaway Bumperum
Lamtrieng
Guragoip Payating Kaye Jatoi
Lam Ujong Lamteumen Penyaurat
Lamlagong Lamdong
Rinakeunurun Ajuntenbay Manaralongcut Mboh Lomseukee
keumiru Rima
Lam Ara Paya Beureubam Lamkeuba
Lampeucurut
Lampisang Lamreueng
Bineh Kreung
Lambaro Seubun Lammukae Gu Gajang
Gumpang Blanglambang
Balelempoh beut Brandeueun
Lamiham
Pume Rayeuk
Lamseke Seubeun Kutakarang Lamlagang
Lampahjaban
Mataje
Nusa Lampeu teueun
Tanjung Lhang Lambleut
Leungeu
Lamok Lambara Neuso Lambukong
Lambatee Teubalau
= LOW Lamgaboh
Lambaro Koeih
CT. Trieng Grot
Turam
Lamtado Lamsat
= HIGH LamboroBateelenteng
Naga Umbah
Gambar 4.6. Zonasi Tinggi Gelombang Tsunami Banda Aceh dan sekitarnya
Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi kota-kota Aceh, maka diperlukan suatu strategi
yang tepat untuk meminimalkan resiko bencana gempa dan tsunami. Peta bahaya
gempa dan peta bahaya tsunami merupakan informasi yang sangat penting dalam
penataan kembali kota-kota Aceh. Suatu konsep dalam upaya untuk mengurangi
resiko bencana tsunami perlu dimengerti dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan berbagai komponen dalam suatu upaya-upaya baik yang sifatnya
fisik maupun non-fisik.
Gambar 4.7 di bawah ini memberikan suatu gambaran konsep hubungan antara
kemungkinan kejadian tsunami serta proteksi baik fisik maupun non-fisik serta level
resiko yang ingin dicapai. Gambar 4.8 menunjukkan konsep dari buffer zone.
Structural based
Measures
Massive disaster
(Physical disaster
protection measure)
Information-based
measures
(Non-physical disaster
protection measure
Scale of
external
force
Tsunami Aceh sangat dahsyat dengan ketinggian tsunami mencapai 25 meter di garis
pantai Banda Aceh. Tsunami Aceh ubu dengan intesitas sebesar ini dipertimbangkan
Menurut pengalaman di Jepang (Shuto, 1998), jika periode ulang tsunami 100 tahunan
digunakan dalam disain, maka untuk mencegah tsunami ke daratan, diperlukan
dinding (seawall) yang relative tinggi sekali. Penanggulangan tsunami dengan
pembangunan seawall sangat kecil kemungkinannya untuk dapat diupayakan oleh
Pemerintah karena biayanya akan mahal sekali. Pemerintah tidak akan dapat
menyediakan suatu proteksi seawall selama 100 tahun untuk suatu kejadian tsunami
ysng nantinya berlangsung hanya katakan setengah jam saja. Selain itu, suatu seawall
dengan proteksi terhadap tsunami 100 tahunan misalnya tidak akan bisa juga bertahan
terhadap tsunami dengan intesitas yang lebih besar dari periode ulang 100 tahunan.
Oleh karena itu, cara yang baik untuk penanggulangan bahaya tsunami bukanlah
dengan hanya mengandalkan pelindung fisik seperti seawall atau tanggul, akan tetapi
adalah dengan mengkombinasikannya dengan penataan ruang kawasan (regional
planning), early warning system, dan sistem evakuasi. Suatu penganggulangan yang
sifatnya fisik dan non-fisik perlu dikombinasikan seperti yang ditunjukkan dalam
ilustrasi pada Gambar 4.7.
Suatu peraturan mengenai tata guna lahan harus dikembangkan dan diterapkan.
Kemampuan ketahanan masyarakat terhadap tsunami perlu ditingkatkan dan terus
ditingkatkan dalam menghadapi kemungkinan tsunami lagi di masa yang akan
datang.
Residential
Tsunami
Vegetasi
Gambar 5.9.a. Konsep tata ruang dengan opsi menggunakan vegetasi secara menyeluruh
Tsunami
Tambak
Vegetasi Tambak Embankment
Gambar 5.9. b. Konsep tata ruang dengan opsi menggunaan vegetasi dan tambak
Residential
Tsunami
Gambar 5.9. c. Konsep tata ruang dengan opsi menggunaan kombinasi vegetasi, tambak, dan
embankment
Ketujuh prinsip dasar di atas dikutip dari ”Designing for Tsunamis”, National
Tsunami Hazard Mitigation Program, 2001.
Standar ( N -SPT) atau rata-rata kuat geser tak terdrainase ( s u ) untuk lapisan tanah
setempat seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Untuk kajian awal risiko gempabumi dan tsunami ini, penilaian kerentanan perlu
dilakukan berdasarkan input hasil kajian bahaya terhadap komponen-komponen
Untuk dapat melakukan penilaian kerentanan ini, maka diperlukan data-data umum
sebagai berikut:
Data kepadatan penduduk secara umum.
Data bangunan
Data prasarana dan sistem utilitas yang ada (jaringan pipa air bersih, jaringan
pipa gas, jaringan listrik, jaringan telepon dan jalan termasuk jalan kerata api,
jembatan),
Data lapangan terbang dan pelabuhan,
Data aktivitas sosial ekonomi, dan
Data-data penunjang lainnya.
Hasil dari penilaian kerentanan ini nantinya adalah gambaran tingkat resiko dari
komponen-komponen yang ditinjau, yaitu berupa gambaran umum tingkat kerusakan
bangunan, infrastruktur, fasilitas-fasilitas umum dan sosial, fasilitas-fasilitas produksi
dan perumahan penduduk. Analisis kajian kerentanan ini nantinya diharapkan
memberikan suatu pengertian tentang tingkat peluang suatu wilayah, penduduk dan
harta bendanya terhadap bahaya yang mungkin dari suatu bahaya yang
teridentifikasi. Hasil analisis dapat juga dikeluarkan dalam bentuk peta-peta dasar.
Berdasarkan kajian resikom jika suatu lokasi dinyatakan rawan terhadap bencana
gempabumi dan tsunami, maka bangunan-bangunan gedung, perkantoran,
apartemen, rumah tinggal, prasarana umum dan prasarana vital kehidupan (lifelines)
yang dapat terdiri atas prasarana sistem transportasi (jalan, jembatan, pelabuhan laut
dan udara), prasarana air bersih, prasarana tenaga listrik, dan prasarana
telekomunikasi., harus didesain dengan mempertimbangkan adanya bahaya
gempabumi tersebut berkaitan dengan aspek keamanan dan aspek ekonomis.
Berkaitan dengan hal tersebut perlu kiranya dikembangkan suatu model untuk kajian
risiko kebencanaan untuk kota Banda Aceh dan Meulaboh dengan tingkat kerawanan
gempabumi dan tsunami yang relatif tinggi. Pernilaian suatu risiko bencana
gempabumi dan tsunami (seismic & tsunami risks) dapat dibuat berdasarkan kajian
bahaya gempabumi & tsunami (seismic & tsunami hazard assessment) dan hasil kajian
kerentanan gempabumi dan tsunami (seismic & tsunami vulnerability assessment) yang
perlu dimiliki suatu wilayah/lokasi itu sendiri. Penilaian risiko (risk assessment) akan
meliputi dua (2) faktor penting yang saling terkait, yaitu:
• Bahaya (hazards)
• Kerentanan (vulnerability).
•Seismisitas
Kondisi Kegempaan - Jaringan infrastruktur
Kondisi Tsunami
•Kondisi tanah - Land use
Kondisi Tanah
•Kondisi
Kondisi geologi
Geologi - Struktur penduduk
- Kerentanan penduduk
5.1. Catatan Umum Bagian Kota/Wilayah yang Terkena Gempa & Tsunami
Survei dilakukan pada tanggal 26 Januari 2005 sampai dengan 31 Januari 2005, sekitar
1 bulan dari hari kejadian bencana Gempa & Tsunami.
Wilayah yang rusak karena terjangan tsunami (sekaligus karena gempa) ini
tersambung sampai ke Lhoknga di sebelah barat kota melewati dataran rendah yang
relatif terbangun dan padat penduduk, yang membentuk celah antara 2 perbukitan.
Pada saat survei dilakukan, pembersihan puing-puing baru dapat dilakukan di jalan-
Gambar 5.1. Kawasan kota Banda Aceh yang hancur diterjang tsunami.
Dari survei juga diketahui bahwa persoalan pertanahan di kawasan yang hancur
diterpa tsunami juga akan cukup rumit karena hilangnya batas-batas fisik kapling
Gambar 5.2. Rekapitulasi Jumlah penduduk dan jumlah korban di Kabupaten Aceh Barat
Kawasan pelabuhan sudah dapat difungsikan lagi walaupun masih dikelola oleh TNI
Angkatan Laut. Meskipun ke arah Teunom, Calang, Banda Aceh masih terputus, jalur
darat ke arah Tapak Tuan dan Medan sudah tersambung, sehingga kegiatan
perekonomian di kawasan-kawasan kota yang tidak kena terpaan tsunami sudah
sangat berkembang. Bahkan angkutan penumpang ke Medan lewat jalan darat sudah
dapat dilayani oleh mobil-mobil kecil L-300, dari terminal kota yang masih rusak.
Meskipun demikian kegiatan nelayan masih belum pulih karena keterbatasan sarana
untuk melaut, kapal-kapal nelayan ini banyak yang rusak dan/atau terlempar ke darat
sejauh 1 km sampai 1,5 km menghantam perumahan penduduk. Sebagian besar kapal-
kapal yang terlempar ini terkumpul di sekitar terminal (bis) antar kota yang ada di
pusat kota Meulaboh (lihat foto di Gabar 5.3 berikut).
Seperti di Banda Aceh, pada saat survei dilakukan, pembersihan puing-puing masih
terbatas dilakukan di jalan-jalan untuk membuka akses ke wilayah-wilayah yang
hancur karena terpaan tsunami.
Seperti di Banda Aceh, dari survei juga diketahui bahwa persoalan pertanahan di
kawasan yang hancur diterpa tsunami juga akan cukup rumit karena hilangnya batas-
batas fisik kapling yang akan sulit untuk dipetakan kembali secara cermat dan cepat.
Gambar 5.3. Terminal Bis Antar Kota di Meulaboh, yang ganti ‘disinggahi’ banyak kapal
nelayan setelah tsunami 26 Desember 2004
Tanpa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berfungsi sebagai alat mitigasi
bencana, maka jelas tidak akan tersedia mitigasi struktural dan non-struktural
terhadap bahaya tsunami (dan gempa-nya) terhadap wilayah tersebut. Oleh karena itu,
bangunan infrastruktur wilayah akan dengan mudah rusak dan dihancurkan oleh
terjangan tsunami. Kerugian yang timbul tentu saja bukan hanya nilai dan harga dari
infrastruktur yang rusak atau hancur tersebut, tetapi juga merembet ke kerugian
berikutnya yang jauh lebih besar akibat hilangnya fungsi dari infrastruktur wilayah
tersebut. Katakanlah sebagai contoh akibat tsunami di Aceh, nilai kerusakan
infrastruktur kelautan dan perikanan saja, diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun,
Angka-angka taksiran kerugian per sektor yang lebih baru tersebut kelihatannya akan
jauh membengkakkan angka-angka perkiraan jumlah dan kebutuhan setiap prasarana
di NAD & Nias yang dahulu pernah dihitung secara cepat oleh Pemerintah Indonesia
pada tanggal 3 januari 2005, yang secara keseluruhan ’hanya’ berjumlah sekitar Rp
20,165 triliun. Perhitungan tersebut dilakukan untuk merehabilitasi kerusakan 20 jenis
infrastruktur berikut: jalan, jembatan, air minum, perumahan, bangunan pemerintah,
pasar, puskesmas, rumah sakit, TK, SD, SMP, SMA, Mesjid, Pelabuhan, Bandara,
Terminal, Telekomunikasi, Kantor Pos, Ketenagalistrikan, dan Depot BBM. Sudah pasti
angka sebenarnya yang dibutuhkan akan jauh lebih tinggi mengingat untuk jaringan
jalan arteri/kolektor primer dari Meulaboh hingga Lhoknga di dekat Banda Aceh
sepanjang kurang lebih 230 km hampir dipastikan sebagian besar tidak layak lagi
untuk digunakan dan dibangun kembali, sehingga harus membuat dan membangun
jalan dengan trase baru yang akan jauh lebih mahal. Jalan lama yang menyusur pantai
terputus dan tercacah di banyak tempat, bukan hanya jembatannya yang lenyap,
bahkan badan jalan dan kawasan perkotaannya hilang tergerus tsunami menjadi laut
(misalnya jalan antara Calang – Banda Aceh, di Muara Batu Hitam terputus 300 m dan
berubah menjadi laut, serta jalan-jalan aspal di sepanjang pantai, misalnya Calang,
seluruhnya terkoyak dan berubah menjadi jalan tanah). Isolasi daerah/kawasan
karena putusnya infrastruktur ini memperparah kerugian yang jauh lebih besar,
terutama dari sisi sosial, ekonomi. Bukan hanya sangat mempersulit evakuasi korban
dan pemberian bantuan, tetapi juga memutus kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang masih tersisa di wilayah tersebut.
Dari survei yang dilakukan di Banda Aceh, Lhoknga, pantai barat dari udara
(Calang, Teunom), Samatiga, Meulaboh (Johan Pahlawan), serta Meureubo, terlihat
bahwa justru infrastruktur wilayah dan kota hancur sehingga kehilangan fungsinya
untuk memenuhi kebutuhan dasar layanan umum dan fungsi pengarah
pembangunan. Kerusakan-kerusakan terhadap aset bangunan infrastruktur tentu saja
akan menghilangkan fungsi atau setidaknya mengganggu berfungsinya infrastruktur
tersebut sesuai dengan tujuan pembangunannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan
dampak dari adanya tsunami di kawasan pesisir tertentu, selayaknya bangun-
bangunan infrastruktur wilayah tersebut dikembangkan secara ’akrab’ dengan
tsunami sehingga fungsi-fungsinya tetap dapat dijaga meskipun bahaya tsunami
terjadi di suatu wilayah. Bahkan seringkali diperlukan suatu ’infrastruktur baru’ yang
khusus dibangun untuk memitigasi bencana tsunami secara struktural, misalnya sea
wall atau tsunami wall, pintu-pintu air di muara sungai untuk menahan tsunami,
Gambar 5.5. Tanggul dan jalan di pinggir Sungai Krueng Aceh yang hancur terkena
gempa, likuifaksi, dan tsunami 26/12/2004. Kawasan permukiman padat
disekitarnya hancur rata dengan tanah.
Kondisi sebaliknya, jika dari risk assessment kebencanaan menunjukkan bahwa terdapat
ancaman tsunami yang signifikan, maka dapat dipastikan bahwa hampir sepanjang
pantai di pesisir tersebut (sesuai dengan jenis pantainya) harus ’dikorbankan’ untuk
direkayasa menjadi peredam dan/atau kawasan penyangga (buffer zone) terhadap
kemungkinan hantaman tsunami terhadap infrastruktur wilayah dan kawasan
dibelakangnya. Berbagai cara dapat dilakukan, baik secara alami dengan berbagai
lapisan vegetasi yang cukup tebal sebagai ”hutan tsunami” (bakau, pandan laut,
cemara laut, waru laut, dan jenis lainnya secara tumpang sari dengan kerapatan
tertentu) atau secara struktural dengan membangun tanggul (embankment), tembok laut
(sea wall atau tsunami wall), pintu-pintu air yang tinggi di muara-muara sungai untuk
menahan tsunami, dan infrastruktur khusus lainnya. Untuk vegetasi sebaiknya tidak
menggunakan tegakan kelapa di pantai, karena jenis vegetasi ini tidak pernah
direkomendasikan untuk dapat menahan tsunami, bahkan sebaliknya seringkali justru
mempertinggi kerusakan infrastruktur dan bangunan lainnya yang terjadi karena
terhantam pokok-pokok kelapa yang tercerabut bersama akarnya. Jadi justru berubah
menjadi ’collateral hazard’ (bahaya ikutan) dari tsunami-nya sendiri. Untuk
kepentingan-kepentingan ekonomi, kebun tegakan kelapa ini dapat ditanam setelah
berbagai vegetasi lainnya tersebut di atas yang cukup tebal (kira-kira 1,5 hingga 2 km),
Berbagai pola penanaman vegetasi khusus yang cukup tebal dan rapat, tanggul, dan
pertambakan tersebut akan mampu meredam energi gelombang tsunami. Hal-hal ini
tentu saja akan membuat pengembangan infrastruktur wilayah dan kawasan yang
ingin dilindungi tersebut menjadi mahal dan kurang efisien. Sebaliknya, harga tanah
di sekitar pantai ini menjadi sangat rendah, karena memang dilarang untuk
dimanfaatkan untuk kegunaan lain, atau sebaiknya dikuasai negara. Pantai menjadi
tertutup dari arah darat sehingga potensi keindahan alamnya kurang dapat secara
optimal dimanfaatkan karena terhalang berbagai rekayasa buffer zone untuk meredam
tsunami tersebut di atas. Oleh karena itu pula, trase jalan negara yang melewati
kawasan rawan bahaya tsunami sebaiknya cukup jauh dari bibir pantai sehingga tidak
memutus hubungan antar wilayah ketika terjadi tsunami.
Harus dipahami pula, bahwa terdapat beberapa infrastruktur wilayah yang memang
harus dibangun di pantai, yang tentu saja tidak dapat dilindungi hanya secara alamiah
dengan vegetasi, dan jelas tidak dapat dijauhkan dari tempat dimana seharusnya
infrastruktur tersebut berada. Beberapa infrastruktur ini adalah berbagai macam
pelabuhan umum maupun khusus, baik untuk penumpang ataupun barang, atau
komoditas tertentu seperti perikanan. Dengan adanya tsunami, maka struktur
bangunan pelabuhan-pelabuhan tersebut perlu dirancang secara khusus untuk
mampu bertahan dan dilengkapi dengan berbagai infrastruktur khusus yang cukup
tinggi baik untuk pemecah gelombang maupun untuk evakuasi ketika bahaya
tsunami datang. Dalam kondisi normal sehari-hari, struktur bangunan evakuasi di atas
pelabuhan ini dapat difungsikan untuk berbagai kegiatan yang bermanfaat. Jepang
banyak memberi contoh bagaimana membangun pelabuhan yang ’akrab’ dengan
tsunami lengkap dengan tempat-tempat evakuasinya yang sangat menarik.
Bangunan infrastruktur lainnya yang harus ada di pantai misalnya adalah yang
diperuntukkan untuk sektor perikanan tangkap dan nelayan, yaitu Tempat Pendaratan
Ikan dan/atau Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang seperti pelabuhan harus dirancang
KETAHANAN/
BAHAYA/ KEMAMPUAN
BENCANA KERENTANAN MENANGGULANGI
HAZARDS (-) (+)
(-)
Diantara hal-hal yang ditemukan dalam survei dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran bagi penataan ruang di kawasan bencana tsunami:
a. Relatif banyak masyarakat di kawasan yang diterjang tsunami dapat terselamatkan
oleh bangunan bertingkat yang tahan gempa, dengan bertahan di lantai 2 atau 3.
b. Buffer zone yang terdiri dari vegetasi yang sangat tipis (bakau) terbukti sangat
tidak efektif meredam gelombang tsunami.
c. Pohon-pohon kelapa atau nipah tidak mampu menahan atau meredam energi
gelombang tsunami, dan untuk kasus Banda Aceh, Lhoknga, Meulaboh dan pantai
barat antara Meulaboh-Banda Aceh bahkan menjadi bahaya ikutan yang
menghancurkan bangun-bangunan karena tercerabut dan terbawa tsunami ke
daratan. Cemara laut di Lhoknga terlihat lebih tahan terhadap terpaan tsunami.
d. Kawasan-kawasan yang relatif datar dan luas di sepanjang pantai, seperti pesisir
Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhoknga, menderita hempasan yang sangat besar
dari tsunami, karena air mempunyai kesempatan mengalir cukup deras dan jauh.
e. Bangunan/Infrastruktur strategis seperti Rumah Sakit, Markas Polisi, Markas
Militer pada umumnya rusak akibat gempuran gempa dan tsunami, karena
ditempatkan di kawasan terpaan tsunami, sehingga kehilangan fungsinya pada
saat setelah tsunami untuk memberikan bantuan dan pertolongan.
f. Sistem utilitas yang terpusat, misalnya air bersih, listrik, telekomunikasi, terbukti
lumpuh secara keseluruhan selama beberapa waktu akibat terganggunya beberapa
bagian dari jaringannya. Ceritanya akan lain jika hal tersebut dilakukan secara
moduler untuk beberapa zona kawasan yang satu dengan lainnya dapat terpisah.
g. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada tidak akrab dengan bencana, atau
tidak secara inherent berfungsi sebagai alat mitigasi bencana, khususnya tsunami,
8. Mansinha, L and Smylie D.E., (1971) The displecement Field of inclined Faults,
Bull. of the Seismological Society of America, Vol. 61, No.45 pp. 1443-1440.
10. National Tsunami Hazard Mitigation Program, ”Designing for Tsunamis, Seven
Principles for Planning and Designing for Tsunami Hazards,” March 2001.
11. Sengara, IW., Munaf, Y., Aswandi, and Susila, IG.M., (2000), “Seismic Hazard and
Site Response Analysis for City of Bandung-Indonesia”, Proceeding of
Geotechnical Earthquake Engineering Conference, San Diego, March, 2001.
12. Sengara, IW., Latief, H., Triyoso, W., Pribadi, K.S., (2005), “Preliminary Report on
Aceh 26 December 2004 Earthquake and Tsunami Disaster”, Report for
International Association of Earthquake Engieering and distributed at the World
Conference on Disaster Reduction, Kobe, January 2005.
13. Shah, H. C., Boen, T., (1996), “Seismic Hazard Model for Indonesia”.
16. SNI 03-1726-2002, (2002), “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Banguan Gedung”, Badan Standarisasi Naisonal – Indonesia.
17. Youngs, R. R., Chiou, S. J., Silva, W. J., Humphrey, J. R., (1997), “Strong Ground
Motion Attenuation Relationship for Subduction Zone Earthquake”, Bulletin of
Seismological Society of America Vol. 68, No. 1.