Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Gempabumi terjadi Selasa, 23 Januari 2018, pukul 13:34:53 WIB pada jarak 43 km
arah selatan Kota Muarabinuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dengan
berkekuatan M=6,1 SR dengan koordinat episenter pada 7,23 LS dan 105,9 BT pada
kedalaman 61 km (Gambar.1).

Gambar 1. Peta lokasi episenter gempabumi Lebak tanggal 23 Januari 2018

Dampak gempabumi yang digambarkan oleh peta tingkat guncangan (shakemap)


BMKG menunjukkan bahwa guncangan gempa dirasakan di daerah Jakarta, Banten,
Lampung, Banten, dan Jawa Tengah. Intensitas gempa dirasakan di Jakarta, Tengerang
Selatan, Bogor IV-V MMI; Bandung, Purwakarta II-III MMI, Kebumen II-III MMI,
Lampung II MMI. Hal ini sesuai dengan laporan masyarakat yang diterima BMKG bahwa
Jakarta, Tangerang Selatan, dan Bogor II SIG-BMKG (IV-V MMI), Bandung dan Lampung
II SIG-BMKG (III MMI), Bantul dan Kebumen I SIG-BMKG (II MMI). Gempabumi
dirasakan cukup kuat di daerah Cimandiri, Panggarangan-Lebak, Cikande-Serang,
Sawarna, Ujung Genteng, Curug Kembar, Kota Sukabumi, Megamendung dengan skala
intensitas III-IV SIG-BMKG (VI-VIII).

1
Gambar.2 Peta tingkat guncangan (Shake map) gempabumi lebak M = 6.1 SR
Berdasarkan laporan dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Provinsi
Banten per-tanggal 2 5 J a n u a r i 2 0 1 8 menunjukan bahwa gempabumi Lebak telah
mengakibatkan kerusakan fisik bangunan rumah tinggal sebanyak 4527 unit (rusak ringan
2690 unit, rusak sedang 1176 unit, rusak berat 661 unit) dan fasilitas umum/sosial sebanyak
142 yang tersebar di 9 Kabupaten/Kota di Banten dengan rincian sebagai berikut:
(A.). Kab. Lebak (Total kerusakan 1231 unit , 1125 unit rumah rusak berat 106
unit rusak ringan)
Dengan perincian kerusakan sebagai berikut
1. Bayah 118 rumah rusak ringan dan 24 rusak berat
2. Wanasalam 61 rumah rusak ringan dan 2 rusak berat
3. Panggarangan 92 rumah rusak ringan
4. Cilograng 107 rumah rusak ringan dan 42 rusak berat
5. Lebak Gedong 49 rumah rusak ringan
6. Sobang 2 rumah rusak ringan
7. Cimarga 5 rumah rusak ringan
8. Sajira 1 rumah rusak ringan
9. Cirinten 6 rumah rusak ringan dan 1 rusak berat
10. Cihara 1 rumah rusak ringan dan 4 rusak berat
11. Bojong Manik 15 rusak rusak ringan
12. Cijaku 140 rusak ringan dan 2 rusak berat
13. Cigemblong 9 rumah rusak ringan

2
14. Cibadak 1 rumah rusak ringan
15. Cibeber 4 sekolah rusak ringan
16. Malingping 518 rusak ringan dan 31 rusak berat

(B.). Kab. Bogor (Korban terdampak 656 kk , 2532 jiwa dengan rincian rumah
rusak sebanyak 421 unit rumah rusak ringan, 163 unit rusak sedang dan 48 unit
rusak berat serta 16 unit fasilitas umum rusak ) .
Informasi mengenai indeks kerentanan seismic di wilayah masih terbatas. Oleh karena
itu, perlu diadakan penelitian untuk meminimalisir kerusakan-kerusakan pada bangunan yang
diakibatkan oleh gempabumi. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan mengetahui nilai indeks kerentanan seismic merupakan indeks yang menggambarkan
tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan terhadap deformasi tanah saat terjadi
gempabumi. Daerah yang memiliki nilai indeks kerentanan seismic tinggi berarti daerah
tersebut rentan terhadap kerusakan saat terjadi gempabumi, sebaliknya daerah yang memiliki
nilai indeks kerentanan seismic rendah berarti kerentanan terhadap gempabumi kecil.
Data indeks kerentanan seismic ini diperoleh dari pengukuran mikrotremor dan
dianalisis dengan menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR).
Pengukuran mikrotremor merupakan salah satu cara untuk mengetahui besarnnya tingkat
kerentanan seismic terhadap bencana gempabumi dan mengetahui struktur permukaan lapisan
tanah. Mikrotremor merupakan simpangan getaran yang sangat kecil dipermukaan bumi yang
berlangsung terus menerus akibat adannya sumber getar seperti yang disebabkan oleh
aktifitas manusia, lalu lintas kendaraan, angin atau hujan, mesin industry dan lain sebagainya
(Daryono, 2009). Metode HVSR merupakan metode yang memperlihatkan hubungan
perbandingan antara rasio spekrum fourier dari sinyal mikrotremor komponen horizontal
terhadap komponen vertical. Parameter penting yang dihasilkan dalam metode HVSR adalah
frekwensi predominan dan factor amplifikasi (Nakamura, 1989).
I.2. Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditentukan
rumusan maslah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa nilai factor amplifikas dan frekwensi predominan dilokasi
penelitian dengan menggunakan metode HVSR.
2. Berapa nilai indeks kerentanan seismic di lokasi penelitian
3. Bagaimana mikrozonasi indeks kerentanan seismic di lokasi penelitian.
3
I.3. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan yang harus dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan nilai factor amplifikasi dan frekwensi predominan di daerah penelitian
dengan mengacu kurva HVSR.
2. Menentukan indeks kerentanan seismic di daerah penelitian.
3. Membuat indeks kerentanan seismic di daerah penelitian
4. Survey gempabumi signifikan bertujuan untuk

5. Penyampaian informasi tentang gempabumi kepada


masyarakat di sekitar lokasi kerusakan.

6. Verifikasi akurasi episenter gempabumi berdasarkan lokasi


kerusakan.

7. Mengumpulkan data tingkat intensitas dan karakteristik bangunan.

8. Mengumpulkan data data aftershock.

9. Memperkirakan waktu berakhirnya aftershock.

10. Mengumpulkan data klasifikasi tanah (site class) di sekitar lokasi


kerusakan.
I.4. Batasan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka batasan penelitian ini adalah:
Lokasi survey didasarkan pada sumber informasi BMKG yang menunjukkan
parameter lokasi episenter dan informasi awal tingkat kerusakan yang diperoleh dari instansi
terkait dan media. Lokasi survey yaitu di wilayah Sawarna, Cimandiri, Panggarangan,
Sukasari dan Bayah di Kabupaten Lebak. Sedangkan survey pada hari ketiga tanggal 25
Januari 2018 di Desa Kuta Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor.

I.5. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi Pemerintah dan Masyarakat.


Dapat memberikan informasi tentang bahaya seismic di kawasan penelitia yang dapat
digunakan sebagai Mitigasi bencana gempabumi di masa yang akan datang.
2. Manfaat bagi bidang PMG BMKG
4
Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan di
bidang Kegempaan.

BAB II PEMBAHASAN

II.1 Tiori dasar Microtremor


5
Mikrotremor adalah vibrasi tanah yang disebabkan oleh aktivitas lalulintas,
industri, dan aktivitas manusia lain di permukaan Bumi. Sumber-sumber vibrasi tanah
yang disebabkan oleh faktor alam dapat berupa interaksi angin dan struktur bangunan, arus
dan gelombang laut periode panjang juga mempengaruhi vibrasi mikrotremor (Motamed et
al., 2007; Petermans et al., 2006). Contoh tampilan data mikrotremor dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Tampilan mikrotremor pada perangkat lunak (Mirzaoglu & Dykmen,


2003)
Metode analisis HVSR yang dikembangkan oleh Nakamura (1989) menghitung
rasio spektrum fourier dari sinyal mikrotremor komponen horizontal terhadap komponen
vertikalnya. Hasil analisis HVSR akan menunjukkan suatu puncak spektrum pada
frekuensi predominan (Nakamura, 1989). Frekuensi resonansi (fo) dan faktor amplifikasi
(A) yang menggambarkan karakteristik dinamis tanah dihasilkan dari analisis HVSR
(Nakamura et al., 2000).
Metode analisis HVSR diakui secara luas sangat handal dalam mengestimasi
frekuensi resonansi lapisan tanah permukaan lokal (Molnar et al., 2007; Jensen, 2000).
Panou et al. (2004) mengkaji hubungan antara spektrum HVSR dengan data kerusakan
gempabumi, hasilnya menunjukkan adanya korelasi antara data kerusakan dengan pola
spektrum HVSR tertentu. Nilai intensitas kerusakan yang tinggi terjadi pada zona
frekuensi resonansi rendah dengan faktor amplifikasi yang tinggi, sebaliknya tingkat
kerusakan rendah terjadi pada zona frekuensi resonansi yang tinggi dengan faktor
amplifikasi rendah.
Penelitian Qaryouti & Tarazi (2007) menunjukkan bahwa faktor amplifikasi
spektrum HVSR meningkat pada formasi ketebalan sedimen yang lebih tebal dan halus.
Hasil penelitian HVSR yang dilakukan Singh et al. (2003) di kawasan bekas rawa Mexico
6
juga menginformasikan hal yang serupa, dimana faktor amplifikasi meningkat pada daerah
yang tersusun oleh lapisan sedimen halus bekas rawa. Mucciarelli et al. (1996)
menyatakan bahwa Metode HVSR mampu memprediksi persebaran kerusakan gempabumi
masa lampau dan masa yang akan datang.
II.2. Horizontal to vertical spectrum ratio (HVSR)
Nakamura (1989) menyatakan bahwa efek sumber dapat dihilangkan dari data
mikrotremor dengan membandingkan spektrum horisontal terhadap spektrum vertikal dari
data rekaman mikrotremor pada satu stasiun pengukuran seismometer tiga komponen.
Nakamura (1989) mengasumsikan bahwa hanya data mikrotremor horisontal saja yang
terpengaruh oleh tanah, sementara karakteristik spektrum sumber tetap terdapat di komponen
vertikal.
Site effect (TSITE) pada lapisan sedimen permukaan, biasanya digambarkan dengan
cara membandingkan spektrum (TH) antara komponen horisontal rekaman seismogram
pada dataran aluvial (SHS) dengan komponen horisontal rekaman seismogram pada
singkapan batuan keras (SHB).
S HS
TH = (1)
S HB
Beberapa asumsi yang digunakan dalam Metode Nakamura disajikan pada Gambar 4.
sebagai berikut :

Gambar 4. Model cekungan yang berisi material sedimen halus (Slob, 2007

1. Data Mikrotremor tersusun atas beberapa jenis gelombang, tetapi utamanya


adalah gelombang Rayleigh yang merambat pada lapisan sedimen di atas batuan

7
dasar.

2. Efek gelombang Rayleigh (TV) pada noise terdapat pada spektrum komponen
vertikal di dataran aluvial (SVS), tetapi tidak terdapat pada spektrum komponen
vertikal di batuan dasar (SVB).

SVS
TV = (2)
S VB
3. Komponen vertikal mikrotremor tidak teramplifikasi oleh lapisan sedimen di dataran
aluvial.
4. Efek gelombang Rayleigh pada rekaman mikrotremor adalah ekivalen untuk
komponen vertikal dan horisontal. Untuk rentang frekuensi lebar (0,2-20,0 Hz), rasio
spekrum antara komponen horisontal dan vertikal di batuan dasar mendekati nilai
satu.
SVB
=1 (3)
S HB
5. Pada kondisi tersebut (Rumus 1.3), rasio spektrum antara komponen horisontal dan
vertikal dari mikrotremor yang terrekam di permukaan memungkinkan
efek Gelombang Rayleigh (ERW) untuk dieliminasi, menyisakan hanya
efek yang disebabkan oleh kondisi geologi lokal. Inilah konsep dasar Metode
Horizontal to Vertical Spectrum Ratio atau yang populer disebut sebagai Metode
HVSR:
T H S HS . SVB
T SITE = =
T V S HB . SVS
maka site effect yang terjadi adalah:
S HS
T SITE = (4)
SVS
Rumusan ini menjadi dasar perhitungan rasio spektrum mikrotremor komponen
horizontal terhadap komponen vertikalnya, atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

S HS
=
√[ ( S Utara−Selatan ) +( S Barat−Timur ) ]
2 2
(5)
SVS SVertical

8
Keterangan:
HS : Komponen horizontal.
VS : Komponen vertical
S : Sinyal.

II.3. Manfaat data Mikrotremor


Data mikrotremor sangat bermanfaat untuk:
1. Menyusun peta periode dominan.
2. Menyusun peta faktor amplifikasi.
3. Menyusun peta indeks kerentanan seismic.
4. Menprediksi ketebalan lapisan sedimen secara kualitatif.
II.3.A. Pemetaan Frekuensi Resonansi (fo)
Untuk keperluan mitigasi bencana alam gempabumi, analisis data mikrotremor
dapat memberi informasi nilai fo suatu tempat untuk perencanaan bangunan tahan
gempabumi (Tuladhar et al., 2004). Struktur bangunan yang memiliki nilai fo sama dengan
nilai fo site akan mengalami resonansi jika terjadi gempabumi. Efek resonansi akan
memperkuat getaran gempabumi sehingga menyebabkan bangunan roboh saat terjadi
getaran gempabumi kuat. Sehingga informasi data mikrotremor member petunjuk agar
dalam membangunan bangunan tidak sama dengan frekuensi resonansi site guna
menghindari terjadinya efek resonansi saat gempabumi terjadi (Daryono et al., 2009a;
Daryono et al., 2009b). Selain bahaya resonansi getaran gempabumi, karekteristik dinamik
tanah dengan fo sangat rendah sangat rentan terhadap bahaya vibrasi periode panjang yang
dapat mengancam gedung-gedung bertingkat tinggi (Tuladhar, 202). Dengan mengetahui
persebaran frekuensi resonansi dan memanfaatkannya dalam merencanakan bagunan,
diharapkan akan dapat mengurangi risiko bahaya gempabumi yang mungkin terjadi pada
masa yang akan datang.
II.3.B. Pemetaan Faktor Amplifikasi (A)
Penggunaan faktor amplifikasi untuk pengkajian bahaya gempabumi hingga saat
ini masih dalam pro dan kontra. Menurut Bard (1999), puncak spektrum HVSR memberikan
estimasi amplifikasi dalam batas “tingkat rendah”, namun demikian beberapa peneliti lain
seperti Mucciarelli et al. (1998), Nakamura et al. (2000) dan Cara et al. (2006) menyatakan
adanya korelasi yang jelas antara faktor amplifikasi dengan persebaran kerusakan
gempabumi. Panou et al. (2004) membandingkan nilai frekuensi resonansi dan faktor
9
amplifikasi dengan data kerusakan gempabumi. Hasil pengamatan menyeluruh
menunjukkan adanya korelasi, dimana pada intensitas kerusakan tinggi terjadi pada zona
frekuensi resonansi rendah dengan nilai faktor amplifikasi yang tinggi.

II.3.C. Pemetaan Indeks Kerentanan Seismik (Kg)


Menurut Nakamura (2008), indeks kerentanan seismik merupakan indeks yang
menggambarkan tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan terhadap deformasi saat terjadi
gempabumi. Indeks kerentanan seismik bermanfaat untuk memprediksi zona lemah saat
terjadi gempabumi (Saita et al., 2004; Gurler et al., 2000). Indeks kerentanan seismik
berdasarkan mikrotremor juga bermanfaat untuk memprediksi zona rawan likuefaksi (Huang
dan Tseng, 2002), dan rekahan tanah akibat gempabumi (Daryono, 2011). Indeks
kerentanan seismik diperoleh dengan mengkuadratkan faktor amplifikasi dibagi dengan
frekuensi resonansinya (Nakamura et al., 2000). Indeks kerentanan seismik bersama-sama
dengan percepatan basemen berguna untuk menghitung nilai regang-geser lapisan tanah
permukaan (Nakamura, 2000). Gempabumi merusak terjadi bilamana batas regangan geser
terlampaui sehingga terjadi deformasi lapisan tanah permukaan (Nakamura, 2008).
II.3.D. Memprediksi Ketebalan Lapisan Sedimen
Menurut Wenzel dan Achs (2007), Fah et al. (2001), Yasui dan Noguchi (2004),
dan Ai-Lan et al. (2006) Metode Nakamura dinilai sangat ekonomis dan efektif untuk
mengkaji karakteristik dinamik lapisan tanah permukaan penyebab terjadinya local site
effect saat gempabumi. Penelitian Roberta dan Asten (2004), Arai dan Tokimatsu (2008),
Arai dan Tokimatsu (1998), dan Nguyen et al. (2004) yang menggunakan metode HVSR
mampu memetakan ketebalan material sedimen secara kualitatif.
II.4. Survey Mikrotremor
Survei data primer berupa pengukuran mikrotremor secara langsung di lapangan,
sebanyak lokasi yang diinginkan. Setiap lokasi dilakukan pengukuran mikrotremor
minimal selama 30 menit dengan frekuensi sampling 100 Hz. Contoh peralatan dan
pengambilan data mikrotremor di lapangan disajikan pada Gambar 5. Survei mikrotremor
yang dilakukan mengacu kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh SESAME
European Research Project (2004) (Tabel 1dan 2).

10
Gambar 5. Seperangkat peralatan penunjang survei mikrotremor: Digitizer TDL-303 (3
komponen), solar panel, kompas, GPS, dan kabel data
Hasil pengukuran mikrotremor di lapangan mendapatkan data getaran tanah fungsi
waktu. Data ini tercatat dalam 3 komponen, yaitu komponen vertikal, utara-selatan, dan
barat-timur. Data mentah ini tidak dapat langsung diolah karena dalam
format hexadecimal. Data ini harus diubah ke format ASCII menggunakan perangkat lunak
DATAPRO dan menghasilkan empat file, yaitu file komponen vertikal, utara-selatan,
barat-timur, dan file header. Agar keempat file data ini dapat diolah perangkat lunak
GEOPSY, harus dalam format SAF.
Proses selanjutnya adalah mengolah data mikrotremor menggunakan perangkat lunak
GEOPSY. Saat pengolahan dalam perangkat lunak GEOPSY, data dibagi dalam beberapa
window. Untuk data yang cukup besar dapat dilakukan pemilahan window secara otomatis,
yaitu pemilahan antara sinyal tremor atau event transient (sumber spesifik). Fungsi
pemilahan ini untuk menghindari pengolahan transient dalam analisis. Cara untuk
mendeteksi transient dengan membandingkan short term average (STA) dan long term
average (LTA). STA merupakan rata-rata amplitude jangka pendek (0,5-2,0 detik),
sedangkan LTA merupakan nilai rata-rata amplitudo jangka panjang (>10 detik). Ketika
perbandingan STA/LTA melebihi ambang batas, maka dapat disebut sebagai ”event”
(Koller et al., 2004). Setelah transient terdeteksi maka data selain transient dibagi dalam
beberapa window (20-50 detik). Berdasarkan SESAME European Research Project (2004),
disarankan pada penentuan panjang window memiliki minimal persyaratan lw=10/fo, dalam

11
hal ini lw adalah panjang window dan fo adalah frekuensi resonansi, sehingga memiliki
minimal 10 cycle signifikan pada masing-masing window.
Masing-masing window dikenai transformasi fourier sehingga diperoleh spektrum
fourier untuk masing-masing komponen. Spektrum fourier komponen horizontal (barat-
timur dan utara selatan) dirata-ratakan menggunakan akar rata-rata kuadrat, selanjutnya
dibagi dengan spektrum fourier komponen vertikal dalam kawasan frekuensi hingga
diperoleh rata-rata spektrum H/V.
Prosedur pengolahan data mikrotremor menggunakan metode analisis HVSR
hingga diperoleh indeks kerentanan seismik (Kg) digambarkan pada Gambar 9. Hasil
keluaran perangkat lunak GEOPSY berupa rara-rata spektrum mikrotremor. Dari spektrum
ini dapat diketahui nilai frekuensi resonansi (fo) dan faktor amplifikasi (A) di lokasi
pengukuran. Indeks kerentanan seismik (Kg) diperoleh dengan membagi kuadrat faktor
amplifikasi (A) dengan frekuensi resonansi (fo),
Setelah survei pencatatan mikrotremor di lapangan dilakukan sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan, selanjutnya data mikrotremor dipersiapkan untuk dilakukan
pengolahan dengan metoda analisis HVSR menggunakan perangkat lunak
GEOPSY yang diawali dengan tahapan kerja dalam urutan di bawah ini.
1. Buka geopsy

2. Ambil signal yang akan di analisis

- File

- Import Signals

- File

12
3. Memulai analisis signal

- Waveform

- Filter

- Isikan Filter yang diinginkan

4. Kemudian lakukan proses analisis sebagai berikut

- Tools

- H/V

- Isikan parameter yang diinginkan pada Time,

- Processing dan Output sesuai dengan yang dikendaki

- Pada option select dipilih auto

- Pada option View dipilih nama file yang akan dianalisis

- Kemudian klik start untuk mendapatkan hasilnya

13
5. Setelah di klik tombol start akan muncul seperti gambar berikut

6. Kemudian cursor diarahkan pada gambar untuk mendapatkan nilai F0.

7. Setelah mendapatkan nilai f0

1 A2
Maka nilai Tdom : , kerentanan seismic k = dapat dihitung.
fo f

II.5. Pengukuran dan pengolahan data


14
II.5.A. Pengambilan data
Sensor TDS telah ditempatkan di 6 lokasi yang berbeda pada daerah terdampak
untuk pengukuran di daerah tersebut (Gambar 6).

Gambar 6. Peta episenter gempabumi Lebak (bintang warna merah) dan lokasi sensor
mobile TDS (segitiga terbalik warna cokelat)
II.5.B. Pengolahan Data
1. Analisis Data Site Class berdasarkan kurva HVSR
Dalam pelaksanaan survey gempabumi merusak Lebak, tim survey
melaksanakan pengukuran passive seismic untuk menganalisis site class atau site
amplifikasi. Pengukuran dilakukan di 6 lokasi, dengan lama pengukuran rekaman
noise masing-masing selama 30 menit. Metoda yang digunakan untuk analisis site
amplifikasi adalah perbandingan spectral noise horizontal terhadap spectral noise
vertical, metoda ini dikenal sebagai Horizontal Vertical Spectral Ratio (HVSR).
Dalam metoda ini spectral noise vertical dianggap unity (amplitude = 1.0)
disepanjang range frekuensi. Metoda ini dipopurlerkan oleh Nakamura dan

15
merupakan metoda analisis site amplifikasi yang praktis dan efisien. Site amplifikasi
merupakan parameter fisis suatu lokasi/site terkait informasi penguatan atau
perlemahan amplitude getaran gempa karena kondisi geologi permukaan. Semakin
lunak tanah disuatu lokasi akan terjadi penguatan getaran gempa beberapa kali lipat.
Selanjutnya, penentuan klasifikasi site dilakukan berdasarkan natural period /
periode dominan, seperti dijelaskan pada table berikut ini.

Tabel 3. Site class untuk penentuan klasifikasi jenis tanah permukaan (BSSC, 2000)
Berdasarkan Table 3 di atas, berikut adalah hasil pengolahan data pada 6 lokasi
menunjukan site class yang berbeda, mulai dari soft soil sampai stiff soil.
Hasil pengolahan diperoleh.

2. Analisis Sebaran Gempa

Penyebab gempabumi Lebak adalah aktivitas subduksi Lempeng Indo-


Australia ke bawah Lempeng Eurasia dengan laju 61 mm/tahun dan
menyebabkan deformasi/patahan batuan di zona Benioff. Gempabumi ini
termasuk dalam klasifikasi gempabumi berkedalaman menengah dengan

16
magnitudonya cukup besar (M = 6.1), sehingga hampir seluruh pulau Jawa
merasakan guncangan gempabumi ini.

Sampai dengan tanggal 25 Januari 2018, gempabumi susulan (aftershocks)


yang tercatat dan bisa ditentukan lokasinya 43 event (magnitudo 2.7 sampai 4.9)
pada kedalaman 10 sampai 58 km (Gambar 7). Kalau kita perhatikan pada Gambar 7
terlihat bahwa aftershocks terkelompok (ter-cluster) di Barat Daya dan di Timur
Laut dari gempa utama (mainshock), sehingga terlihat ada gap diantara keduanya,
hal ini mungkin salahsatunya disebabkan karena jaringan stasiun yang kurang rapat,
sehingga tidak bisa merekan gempa-gempa kecil dari aftershocks ini, mengingat
aftershocks-nya berada pada kedalaman menengah. Penyebab lain mungkin karena
berkaitan dengan sifat fisis batuan yang unique di daerah tersebut .

Gambar 7. Gempabumi susulan (aftershocks) dari gempabumi Lebak M6.1 (2018).


II.5.C. Interpretasi

Berdasarkan tinjauan ke beberapa lokasi terdampak, kerusakan bangunan tempat


tinggal dan fasilitas umum/sosial sebagian besar tidak signifikan, banyak kerusakan yang

17
seharusnya tidak terjadi (kesalahan bahan, desain, dan pemasangan) dalam pebuatan
bangunan tersebut, terutama karena kesalahan desain bangunan yang tidak menggunakan
kolom, campuran semen yang terlalu sedikit, dll. Sebagian besar kerusakan bangunan pada
bagian arsitektural (tempelan semen di tembok yang lepas, genting yang yang lepas dari
atap, dll). Selain itu sebaran kerusakan di suatu tempat relatif jarang, misalnya satu rumah
rusak berat sedangkan rumah di sekitarnya hanya mengalami kerusakan ringan. Dengan kata
lain, seharusnya bangunan-bangunan di daerah tersebut tidak perlu rusak “separah” itu jika
mengikuti kaidah bangunan dengan baik. Hal itu dibuktikan dari hasil pengukuran site-
class yang menunjukan bahwa sebagian besar lokasi terdampak yang diukur berada pada
kisaran tanah keras (stiff soil) hingga tanah lunak (soft soil). Artinya bahwa faktor
kerusakan bangunan disini lebih kepada “kesalahan” pada bangunan itu sendiri kecuali
untuk daerah tertentu dengan kategori tanah lunak (soft soil).

18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka ada beberapa kesimpulan terkait dengan
data mikrotremor.
a. Karakteristik spektrum mikrotremor berubah mengikuti karakteristik kondisi
geologis/geomorfologis.
b. Data persebaran frekuensi resonansi hasil pengukuran mikrotremordapat
menggambarkan profil kedalaman batuan dasar graben/cekungan secara kualitatif.
c. Hasil analisis data mikrotremor bermanfaat untuk menyusun peta frekuensi
resonansi, peta faktor amplifikasi, dan peta indeks kerentanan seismik.
d. Persebaran spasial indeks kerentanan seismik berdasarkan mikrotremor bermanfaat
untuk memprediksi zona lemah yaitu kawasan yang berpotensi mengalami kerusakan
rumah, likuefaksi, dan rekahan tanah akibat gempabumi

IV.2 Saran-saran
1. Adapun saran terhadap peneltian ini adalah pengamatan menggunakan mikrotremor
merupakan pengamatan fisis yang dilakukan diatas permukaan tanah oleh karena itu
data yang didapat perlu di validasi dengan pengamatan menggunakan bor dalam. Oleh
karena itu penelitian ini masih langkah awal dan nantinya akan dilanjutkan kedalam
penelitian lebih lanjut.
2. Perlunnya maintenance peralatan secara berkala agar data pembacaan dan hasil
Analisa mendapatkan data yang baik.
3. Perlunya koordinasi didaerah berdampak bencana alam.

DAFTAR PUSTAKA
19
1. Marjiyono. 2010. Estimasi Karakteristik Dinamika Tanah Dari Data Mikrotremor
Wilayah Bandung. Thesis ITB. Bandung.
2. Nakamura, Y., 1989. A Method For Dynamic Characteristics Estimation of Subsurface
Quarterly Reports Of The Railway Technical Research Institute. Tokyo.
3. Nakamura, Y., 2000. Clear Indentification of Fundamental Idea of Nakamura’s
Technique and Its Application. Tokyo University. Japan.
4. Parwatiningtyas, D.,2008. “Perbandingan Karakteristik Lapisan Bawah Permukaan
Berdasarkan Analisis Gelombang Mikrotremor Dan Data Bor”.Jurnal Ilmiah Universitas
Indraprasta PGRI.
5. Prager, E. J., 2006. Furious Earth : The Science and Nature of Earthquakes, Volcanoes
and Tsunamis. Bandung : Penerbit Buku Pakar Raya.
6. Ramdani, R. N., 2011. Pemetaan Mikrozonasi Gempabumi Di Daerah Jepara Jawa
Tengah Dengan Metoda HVSR. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
7. Sheriff, R. E., dan Geldart, L. P., 1995. Exploration Seismology 2nd Edition. Cambridge
University Press : New York. USA.
8. Wiradisastra. 2002. Geomorfologi dan Analisis Landskap. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

20
LAMPIRAN

TABEL 1

21
TABEL 2

22
Hasil pengukuran di lokasi Gambar hasil pengolahan
1. Sukasari

23
Lat: 06⁰ 54’ 33.0” – Lon 106⁰ 11’ 52.5”
H = 21 msl
FO (Filter) = 8.87403 +/- 1.41372
To = 0.11268837
AO = 1.25691(1.07984,1.46302)

2. Sawarna

Lat: 06⁰ 58’ 45.0” – Lan 106⁰ 18’ 53.0”


H = 6 msl
FO = 9.7912 +/- 1.49048
AO = 0.401919 (0.38327,0.42148)

3. Panggarangan

Lat: 06⁰ 54’ 24.1” – Lan 106⁰ 11’ 28.9”


H = 0,2 msl
FO(Filter) = 0.60807 +/- 0.0680369
AO = 0.637598 (0.345769,1.17579)

4. Cimandiri

24
Lat: 06⁰ 51’ 43.9” – Lan 106⁰ 10’ 47.0”
H = 237 msl
FO(Filter) = 0.613388 +/- 0.0464287
AO = 3.45249 (1.64952,7.2264)

5. Bayah

Lat: 06⁰ 55’ 59.6” – Lan 106⁰ 14’ 57.0”


H = 28 msl
FO(Filter) = 7.31002 +/- 0.154613
AO = 0.859649 (0.720741,1.02534)

6. Bogor

Lat: 06⁰ 00’ 00.0” – Lan 106⁰ 00’ 00.0”


H = 00 msl
FO(Filter) = 12.3505 +/- 0.831073
AO = 0.728518 (0.466125,1.139)

25
Dokumentasi

Struktur bangunan tanpa plester roboh Genting rumah warga rusak parah

Dapur rumah warga yang roboh Retak pada dinding bangunan

Dinding rumah warga retak

26

Anda mungkin juga menyukai