Anda di halaman 1dari 11

Reaksi Dasar Patologis Pada Kulit

Martin C. Mihm Jr., Abdul-Ghani Kibbi, George F. Murphy, & Klaus Wolf
Kulit terdiri dari beberapa kompartmen yang berbeda yang berkaitan secara anatomis
dan berinteraksi secara fungsional. Sulit untuk membayangkan fungsi epidermal
dengan sinyal dari dermis atau leukosit sebagai penumpang yang berkeliling antar
kulit. Disamping itu epidermis, dermis, dan jaringan subkutan merupakan sesuatu yang
bersifat heterogen secara alami dan proses patologis yang melibatkan kulit
dipertimbangkan dari sisi heterogenitas dan interaksinya dengan kompartmen kutan
individual; hanya dengan itu dapat dimengerti mengapa beberapa reaksi dasar
mengarah ke pola rekasi yang berlipat pada jaringan.

Secara patofisiologi, kulit bisa di bagi menjadi 3 unit reaktif yang meluas secara
anatomis; hal ini tumpang tindih dan terbagi menjadi beberaoa subunit yang
mempunyai kapasitas reaksi yang diturunkan dengan pola yang terkoordinasi.

Unit reaksi superfisial meliputi subunit epidermis, zona ikatan, subjacent loose,
membuat jaringang ikat ringkih pada jaringan kapiler, dan pleksus vaskuler superfisial.
Lapisan retikuler pada dermis mewakilkan bagian unit reaktiv kedua dan terdiri daru
jaringan ikat dan dan pleksus vaskuler dermal dalam. Unit reaktif ketiga, jaringan
subkutan, secara anatomis dan fungsional heterogen; septal dan kompartmen lobular
bisa termasuk baik secara sendir atau berbarengan. Folikel rambut dan kelenjar terbagi
menjadi 4 unit reaktif dalam 3 unit dasar.

Unit superfisial reaktif


Epidermis

Keratosit, yang mempunyai kapasitas untuk mensintesis protein keratin, berbentuk


tonjolan dari epidermis. Epidermis, merupakan epitel ektoderm, yang juga menampung
beberapa populasi sel seperti melanosit, Sel langerhans, sel Merkel dan sel migran. Sel
basal pada epidermis melewati siklus proliferasi yang membentuk epidermis yang baru
dan, ketika mereka bergerak menuju permukaan kulit, terjadi proses diferensiasi yang
menghasilkan keratinisasi pada permukaan. Dengan demikian, epidermis merupakan
jaringan dinamis di mana sel-sel secara konstan mengalami replikasi dan
berdiferensiasi secara tidak sinkron; Ini akan membentuk keseimbangan fisiologis yang
terkoordinasi antar keratinisasi progresif saat sel-sel mendekati permukaan epidermal
untuk akhirnya terjadi kematian sel yang terprogram dan menghilang, dan pengisian
terus menerus dengan sel basal yang terus membelah bertentangan dengan populasi sel
minoritas yang relatif statis sel Langerhans, melanosit, dan sel Merkel. Namun, pada
saat yang sama, keratinosit secara dinamis saling berhubungan melalui interaksi
molekuler kohesif yang memastikan kontinuitas, stabilitas, dan integritas epitelium.
Stabilitas untuk aliran sel yang terarah disediakan oleh membran basal kompleks (lihat
Bab 53), yang mengikat epidermis ke dermis, dan stratum korneum, yang membungkus
epidermis di luar. Di sinilah diferensiasi sel individu berhenti karena sel-sel keratinisasi
secara tegas saling berhubungan oleh zat yang bekerja seperti semen antar sel yang
membentuk permeabilitas penghalang (lihat Bab 47). Kekuatan kohesi ini akhirnya
hilang di permukaan epidermis di mana sel-sel kornifikasi individu dihancurkan
(dideskuamasi). Oleh karena itu, perubahan patologis dalam epidermis mungkin
berhubungan dengan replikasi kinetik sel epidermis, perbedaannya, perubahan akibat
dorongan kohesif, atau kombinasi dari faktor-faktor ini (lihat Bab 46). Faktor-faktor
utama ini juga dapat mempengaruhi stabilitas dan karakteristik migrasi sel Langerhans,
melanosit, dan limfosit bermigrasi, menjelaskan kompleksitas pola reaksi tertentu yang
timbul dari cacat patologis primer di lapisan epidermal. Misalnya, kecuali sel
Langerhans mengekspresikan reseptor kemokin CCR6, ia tidak dapat bermigrasi dari
dermis ke epidermis, dan tanpa ekspresi reseptor CCR7, migrasi ke kelenjar getah
bening tidak mungkin dilakukan. Karena sitokin yang mengatur ekspresi reseptor
tersebut disintesis dan disekresi oleh keratinosit didalam lingkungan mikro sel
Langerhans secara langsung, gangguan homeostasis keratinosit mungkin memiliki
implikasi fungsional yang berdampak jauh yang tercermin dalam kompleksitas pola
reaksi yang dihasilkan.
GANGGUAN KINETIKA SEL EPIDERMAL.

Kecepatan mitosis sel basal germinatif, tingkat deskuamasi korneosit, dan lama
generasi sel epidermis menentukan homeostasis epidermis (lihat Bab 46). Dalam
kondisi fisiologis, ada keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi, dan deskuamasi.
Peningkatan proliferasi sel disertai dengan pembesaran sel germinatif dan peningkatan
laju mitosis menyebabkan peningkatan populasi sel epidermis dan dengan demikian
terjadi penebalan epidermis (acanthosis) (Gambar 6-2A). Pergeseran rasio dari fase
istirahat ke sel yang berproliferasi seperti halnya pada psoriasis (lihat Bab 18) akan
menyebabkan peningkatan seluruh epidermis dan peningkatan yang cukup besar dari
volume sel-sel germinatif yang harus diakomodasi di daerah transisi dermal–
epidermis. Hal ini menyebabkan pelebaran dan pemanjangan dari rete ridges, yang
disertai dengan kompensasi perpanjangan papila jaringan ikat, menghasilkan perluasan
permukaan epidermal dermal dan, berakibat pada peningkatan luas permukaan
interaksi pada dermal - epidermal(lihat Gambar 6-2). Perbedaan pada acanthosis
sendiri yaitu atrofi epidermal. Meskipun ada banyak penyebab, satu etiologi utama
adalah penurunan kapasitas proliferasi epidermis, seperti yang dapat dilihat dengan
penuaan secara fisiologis atau setelah penggunaan steroid topikal atau sistemik yang
berkepanjangan. Dengan atrofi, retakan epidermal pada awalnya akan hilang, diikuti
oleh penipisan progresif dari lapisan epidermal. Tergantung pada penyebab yang
mendasari dan bagaimana mereka mempengaruhi program diferensiasi keratinosit,
mungkin juga ada hiperkeratosis atau parakeratosis (penebalan stratum korneum atau
retensi nukleus dalam stratum korneum). Sangat mungkin bahwa banyak bentuk
akantosis dan atrofi memiliki efek utama pada homeostasis dan fungsi sel induk
keratinosit, memperlambat siklus pada populasi sel epidermal yang biasanya
dihancurkan di daerah tonjolan folikel rambut dan pada ujung epidermis.
GANGGUAN DIFERENSIASI SEL EPIDERMAL.
Contoh sederhana diferensiasi epidermal yang terganggu adalah parakeratosis, di mana
kesalahan dan percepatan kornifikasi menyebabkan retensi inti pyknotic dari sel
epidermis di permukaan epidermal yang biasanya terbentuk oleh sisa sel anukleat yang
membentuk pola arsitektur “tenunan keranjang” (lihat Gambar 6-2B). Sebuah stratum
korneum parakeratotik bukanlah lembaran sel yang mengalami kornifikasi yang terus
menerus tetapi struktur yang longgar pada celah di antara sel-sel; celah ini
menyebabkan hilangnya fungsi penghalang epidermis.

Parakeratosis dapat menjadi hasil ketidak lengkapnya diferensiasi pada sel-sel


germinatif pasca-mitosis karena faktor-faktor yang mempengaruhi waktu dan integritas
kompleks dari program diferensiasi di mana pasangan keratin dengan berat molekul
yang relatif rendah secara progresif berkumpul ketika sel-sel mendekati permukaan
epidermal. Atau, parakeratosis juga bisa menjadi hasil dari kurangnya waktu transit,
yang tidak memungkinkan sel epidermis untuk menyelesaikan seluruh proses
diferensiasi, seperti misalnya pada psoriasis. Namun, "parakeratosis" dari epidermis
yang lepas dari lapisannya terlihat secara mikroskopis pada awal 1 jam setelah trauma;
di sini, parakeratosis tidak mewakili diferensiasi yang terganggu; sebaliknya,ini
merupakan hasil dari cedera seluler langsung pada epidermis yang hidup yang tidak
memiliki lapisan tanduk sebagai pelindung. Oleh karena itu, istilah marakologis
parakeratosis mungkin menandakan gangguan pada program diferensiasi dan maturasi,
perubahan pada kinetika replikasi sel, atau cedera seluler langsung.

Diskeratosis merupakan perubahan, sering dalam bentuk prematur atau


abnormal, keratinisasi, keratinosit individu tetapi juga mengacu pada presentasi
morfologis dari apoptosis keratinosit. Sel dyskeratotic memiliki sitoplasma eosinofilik
dan nukleus pyknotic dan dikelilingi dengan filamen keratin yang tersusun dalam
agregat perinuklear. Sel seperti itu akan cenderung membulat dan kehilangan
keterikatannya dengan sel di sekitarnya. Oleh karena itu, dyskeratosis sering dikaitkan
dengan acantholysis (lihat Bagian "Gangguan dari Epidermal Cohesion") namun tidak
sebaliknya (Gambar 6-3).

Pada beberapa penyakit, dyskeratosis adalah ekspresi gangguan keratinisasi


yang diprogram secara genetik seperti halnya pada penyakit Darier (lihat Bab 51).
Dyskeratosis dapat terjadi pada actinic keratosis dan karsinoma sel skuamosa.
Dyskeratosis juga dapat disebabkan oleh cedera fisik dan kimia langsung. Dalam reaksi
sengatan matahari, eosinofilik, sel-sel apoptosis — yang disebut sel-sel sunburn —
ditemukan pada epidermis yang dalam 24 jam pertama terkena radiasi dengan
ultraviolet B (UVB) (lihat Bab 90), dan setelah terapi sitotoksik sistemik dosis tinggi.
Kematian sel individu dalam epidermis adalah fenomena biasa pada reaksi graft vs
inang pada kulit (lihat Bab 28) dan pada eritema multiforme (lihat Bab 39). Penting
untuk diingat bahwa walaupun keratinisasi prematur atau abnormal dan apoptosis dapat
menghasilkan produk akhir yang disebut sebagai "dyskeratosis," awal terjadinya dan
mekanisme yang bertanggung jawab berbeda. Dimana sel-sel di awal proses
keratinisasi abnormal sering mengalami peningkatan agregat keratin eosinofilik dalam
sitoplasma dengan nuklei yang tampak-viabel, sel-sel apoptosis selama tahap awal
evolusi telah mengalami penyusutan, pyknotic, dan kadang-kadang fragmen
terfragmentasi dalam keadaan sitoplasma yang tampak normal.
GANGGUAN KOHESI PADA EPIDERMAL.
Kohesi epidermal adalah hasil dari keseimbangan dinamis dari pembentukan dan
pemisahan antar sel. Perangkat perlekatan antareluler yang spesifik (desmosom) dan
interaksi molekuler interselular bertanggung jawab dalam kohesi interseluler. Namun,
kohesi epidermal harus memungkinkan gerak sel epidermis. Desmosomes berdisosiasi
dan bereformasi pada lokasi baru dari kontak interseluler ketika sel bermigrasi melalui
epidermis dan keratinosit yang matang menuju permukaan epidermal. Kekuatan
kohesif antarseluler cukup kuat untuk menjamin keberlangsungan epidermis sebagai
epitel yang tidak terganggu tetapi, di sisi lain, cukup untuk beradaptasi jika
memungkinkan untuk pergerakan, permeabilitas ruang antar sel, dan interaksi
interseluler.

Hasil paling umum dari kohesi epidermal yang terganggu adalah vesikula
intraepidermal, sebuah rongga kecil yang berisi cairan. Klasifikasi gelembung
intraepidermal pada tingkat anatomi ditunjukkan pada Tabel 6-1. Tiga pola morfologi
dasar pembentukan vesikula intraepidermal secara klasik diakui. Spongiosis adalah
contoh kehilangan kohesi sekunder antara sel-sel epidermal karena masuknya cairan
jaringan ke dalam epidermis. Eksudat serosa dapat meluas dari dermis ke kompartemen
interselular epidermis; disaat mengembang, sel-sel epidermis tetap bersentuhan satu
sama lain hanya di lokasi desmosom, memberikan penampakan seperti bintang dan
membuat morfologi epidermis seperti spons (spongiosis). Ketika edema interseluler
meningkat, sel-sel individu pecah dan lisis, dan cavum mikro (hasil vesikel spongiotik)
(Gambar 6-4). Efek dari microcavities semacam itu mengarah ke gelembung yang lebih
besar. Sel epidermal juga dapat dipisahkan oleh leukosit yang mengganggu koherensi
intraepidermal; dengan demikian, migrasi leukosit ke dalam epidermis dan edema
spongiotik sering merupakan fenomena gabungan, paling baik diilustrasikan pada
dermatitis alergi kontak. Akumulasi leukosit polimorfonuklear di dalam epidermis,
hasil pemisahan sel epidermis, dan penghancuran oleh enzim yang diturunkan dari
neutrofil, akhirnya mengarah pada pembentukan pustul spongiform, salah satu ciri
histopatologi psoriasis (lihat Bab 18).
Acantholysis adalah kehilangan kohesi sel epidermis secara primer. Ini awalnya
ditandai dengan pelebaran dan pemisahan daerah interdesmosomal membran sel
keratinosit, diikuti oleh pemecahan dan hilangnya desmosom (lihat Bab 53). Sel-sel
utuh tetapi tidak lagi menempel; mereka kembali ke permukaan sekecil mungkin dan
berkumpul (Gambar 6-3 dan 6-5). Terbentuk celah dan celah antarseluler, dan
masuknya cairan dari dermis membentuk rongga, yang dapat terbentuk di lokasi
suprabasal (Gambar 6-6), midepidermal, atau bahkan subcorneal. Sel acantholytic
dapat dengan mudah didemonstrasikan dalam pemeriksaan sitologi (lihat Gambar 6-5)
dan dalam beberapa kondisi memiliki signifikansi diagnostik.
Acantholysis terjadi di sejumlah proses patologis yang berbeda yang tidak
memiliki etiologi umum dan patogenesis. Acantholysis mungkin menjadi peristiwa
utama yang mengarah ke kavitasi intraepidermal (acantholysis primer) atau fenomena
sekunder di mana sel-sel epidermis yang dilepaskan dari dinding gelembung
intraepidermal yang telah terbentuk (acantholysis sekunder). Akantolisis primer adalah
peristiwa patogenetik yang relevan pada penyakit kelompok pemfigus (lihat Bab 54),
di mana ia dihasilkan dari interaksi autoantibodi dan determinan antigenik pada
membran keratinosit dan berkaitam dengan protein adhesif desmosomal, dan pada
staphylococcal scalded-skin syndrome, di mana disebabkan oleh eksotoxin
staphylococcal (epidermolysin) (lihat Bab 177). Pada pemfigus jinak yang familial,
hasil dari kombinasi defek yang ditentukan secara genetik dari membran sel keratinosit
dan faktor eksogen (lihat Bab 51). Fenomena serupa, walaupun lebih terbatas pada
epidermis suprabasal, terjadi pada penyakit Darier, di mana ia dikombinasikan dengan
dyskeratosis di lapisan epidermis atas (lihat Gambar 6-3) dan proliferasi kompensasi
sel basal ke dalam badan papiler (lihat Bab 51). Ketika hasil akantolisis dari infeksi
virus, biasanya dikombinasikan dengan fenomena seluler lain seperti penggembungan,
sel raksasa, dan cytolysis (Gambar 6-7; lihat Bab 193 dan 194).

Memang, hilangnya kohesi epidermal juga menyebablan pembubaran primer


sel (yaitu, cytolysis). Dalam bentuk epidermolitik epidermolisis bulosa, sel-sel basal
yang secara genetik cacat dan dengan demikian secara struktural terganggu pecah
sebagai akibat dari trauma sehingga celah-celah terbentuk melalui lapisan sel basal
secara independen dari batas anatomi yang sudah ada sebelumnya (lihat Bab 62).
Fenomena cytolytic di stratum granulosum merupakan karakteristik untuk
hiperkeratosis epidermolitik, bullous congenital ichthyosiform eritroderma, ichthyosis
hystrix, dan beberapa bentuk keratoderma palmoplantar herediter (lihat Bab 49 dan
50).
DERMAL EPIDERMAL JUNCTION

Epidermis dan dermis secara struktural saling bertautan dengan menggunakan rete
ridges epidermal dan papilla kulit yang terkait, dan mikroproses sitoplasma
submikroskopik yang seperti kaki pada sel basal meluas ke indentasi yang sesuai dari
dermis. Keterikatan dermal-epidermal ditegakkan oleh hemidesmosom yang
menjangkar sel-sel basal ke lamina basal; dan secara bergilir, melekat pada dermis
dengan cara mengikat filamen dan mikrofibril (lihat Bab 53). Hubungan struktural ini
berkorelasi dengan interaksi molekuler kompleks yang berfungsi untuk mengikat
epidermis, membran basal, dan dermis superfisial dengan cara yang meningkatkan
resistensi terhadap pemisahan epidermis yang berpotensi membahayakan pada
pemisahan epidermis. Lamina basalis bukan struktur yang kaku atau impermeabel
diakibatkan oleh leukosit, sel Langerhans, atau sel migrasi lainnya melewatinya tanpa
menyebabkan gangguan permanen di persimpangan. Setelah dihancurkan oleh proses
patologis, lamina basal dibentuk kembali; ini merupakan fenomena penting dalam
penyembuhan luka dan proses reparatif lainnya. Secara fungsional, lamina basalis
adalah bagian dari unit yang dengan mikroskop cahaya, muncul sebagai "membran
basalis" asam-Schiff-positif periodik, dan pada kenyataannya, mewakili seluruh zona
persimpangan. Ini terdiri dari lamina lucida, yang dibentang oleh mikrofilamen, dan
fibril penahan yang terletak di bawah, serabut kolagen kecil, dan matriks ekstraseluler
(lihat Bab 53). Zona persimpangan adalah kompleks fungsional yang terutama
dipengaruhi dalam sejumlah proses patologis.
GANGGUAN KOHESI DERMAL-EPIDERMAL. Penghancuran zona persimpangan
atau komponennya biasanya bermanifestasi sebagai gangguan kohesi kulit-epidermal
dan mengarah ke pembentukan suatu lepuhan. Lepuh ini tampak subepidermal oleh
mikroskop cahaya (Gambar 6-8), tetapi kenyataannya dapat dialokasikan pada
beberapa tingkat yang berbeda dan hasil dari proses patogenesis heterogen. Klasifikasi
lepuh di junction secara anatomik ditunjukan pada Tabel 6-2. Pembentukan blister
subepidermal terjadi dalam bentuk epidermolisis bulosa (lihat Bab 62) atau dapat
merupakan hasil dari proses inflamasi kompleks yang melibatkan seluruh zona
persambungan, seperti halnya pada lupus eritematosus, eritema multiforme, atau lichen
planus; oleh karena itu, ini mungkin merupakan fenomena yang terjadi dalam
kelompok kondisi etiologi dan patogenetis yang heterogen. Pada pemfigoid bulosa
(lihat Gambar 6-8), formasi celah berjalan melalui lamina lusida dari membran basal
dan disebabkan oleh autoantibodi yang ditujukan terhadap antigen spesifik pada
sitomembran sel basal (junctional blistering) (lihat Gambar 6-8A; lihat Bab 56).
Kehadiran eosinofil yang mengandung protein dasar utama yang toksik terhadap
keratinosit juga menyebabkan keratinosit dan dapat muncul sebagai apongiosis
eosinofilik (Gambar 6-8B). Junctional blistering juga terjadi dalam bentuk junctional
epidermolysis bulosa, tetapi di sini adalah karena kelainan herediter atau ketiadaan
molekul penting untuk kohesi kulit-epidermal (lihat Bab 62; lihat Tabel 6-2).

Pada gelembung subepidermal, target pada proses patologis ini adalah di bawah
lamina basalis (dermolytic blistering) (lihat Tabel 6-2). Pengurangan filamen sebagai
pengikat dan peningkatan hasil produksi kolagenase dalam pemisahan dermolitik
dermal-epidermal pada epidermolisis bullosa resesif (lihat Bab 62); autoantibodi yang
bersirkulasi melawan kolagen tipe VII pada fibril pengikat menjadi penyebab
pelepuhan dermolitik pada epidermolisis bulosa yang (lihat Bab 60). Mekanisme
inflamasi yang diperantarai imunologik menghasilkan lepuh dermolitik pada dermatitis
herpetiformis (lihat Bab 61), dan perubahan fisik dan kimia di zona persimpangan dan
tubuh papiler adalah penyebab pembentukan celah dermolitik setelah trauma pada
porfiria kutanea tarda (lihat Bab 132).

MEKANISME MOLEKULER DAN SELULER PADA POLA REAKSI YANG


MEMPENGARUHI UNIT REAKTIF SUPERFICIAL

Meskipun Virchow membayangkan apa yang saat ini dikenal sebagai unit reaktif
superfisial sebagai lapisan sel sederhana yang terlibat dalam produksi keratin sebagai
permukaan pelindung, Kami sekarang menyadari bahwa lapisan ini adalah pembentuk
potensial dari molekul pengatur dan perangsang yang, ketika terganggu, terjadi
perubahan susunan dan sitologi yang menghasilkan perubahan pola reaksi yang
menjadikan kelainan klinis spesifik. Setelah stimulasi imunologi melalui sitokin
dengan aktivasi pengatur jalur transduksi sinyal, misalnya, keratinosit sering
memperoleh fenotipe "aktif" di mana inti membesar, nukleolus menjadi lebih
menonjol, dan sel mungkin benar-benar tampak tidak khas. Hiperproliferasi sering
menyertai aktivasi keratinosit, dan perubahan biosintesis, menghasilkan produksi
faktor tambahan, seperti sitokin yang berasal dari keratinosit, yang selanjutnya memicu
pengaktivan fenotip. Dalam kasus seperti ini, penebalan epidermal dan peningkatan
aktivitas mitosis dibuktikan oleh histologi konvensional, dan pewarnaan Ki-67 akan
memperlihatkan siklus sel suprabasal. Sangat mungkin bahwa keadaan aktif dan
hiperproliferatif seperti itu melibatkan stimulasi pada tingkat kompartemen sel punca
epidermal dan folikel, seperti juga terlihat pada respons penyembuhan luka. Dalam
keadaan seperti itu, sel induk biasanya diam diam yang biasanya terpinggirkan di ujung
retakan epidermis dan di daerah tonjolan folikel rambut mulai berproliferasi dan
berdiferensiasi, lebih lanjut mendorong penebalan epidermik acanthotic. Perubahan
dalam kinetika epidermal sering juga dibuktikan dengan kesalahan diferensiasi.
Diferensiasi prematur dapat memicu adhesi sel yang rusak, dan karenanya sel-sel
mungkin tampak keratin secara abnormal (dyskeratotic) serta terpisah (acantholytic).
Faktor-faktor lain yang mungkin mengganggu adhesi dapat memberikan korelasi yang
sangat baik antara komposisi molekuler dari unit reaktif superfisial dan morfologi pola
reaksi itu sendiri, seperti halnya dalam berbagai bentuk pemfigus, di mana tingkat
disfungsi keratinosit dan pembentukan gelembung acantholytic diikuti dengan
konsentrasi gradien dari protein perekat yang ditargetkan (desmogleins 1 dan 3) yang
membantu mengikat keratinosit pada tingkat desmosom.

Pola peradangan seluler yang mempengaruhi unit reaktif superfisial juga


didapatkan pada tingkat molekuler. Sirkulasi leukosit, seringkali sel T, mengikat
endotelium venus postkapiler pada pleksus vaskular superfisial pada aktivasi endotel
yang diinduksi oleh sitokin (lihat juga pola reaksi dermal pada Bagian “Mekanisme
Molekuler dan Seluler untuk Pola Reaksi yang Mempengaruhi Dermis”). Hal ini
menghasilkan ekspresi molekul adhesi endotel-leukosit di permukaan endotel yang
memperlambat sirkulasi leukosit untuk keluar, diikuti oleh pengikatan yang lebih aman
dan diapedesis transvascular yang terarah. Sel-sel yang ekstravasasi dapat tetap berada
di ruang perivaskular atau bermigrasi menuju lapisan epidermal terdekat sebagai
konsekuensi kemokinetik dan kemotaktik gradien. Tergantung pada imunologiknya,
leukosit yang merespon dapat menghasilkan cedera sitotoksik pada antar permukaan
dermal-epidermal, atau bermigrasi melalui membran basal ke epidermis disertai
transudat yang berkontribusi pada edema interselular yang membentuk pola
spongiosis. Dengan demikian, tergantung pada sifat stimulus provokatif serta peristiwa
molekuler kompleks yang diatur ke dalam gerakan, pola reaksi spesifik menghasilkan
bahwa, setelah pengakuan, memberikan informasi diagnostik yang penting.
REAKSI PATOLOGIS DARI SELURUH UNIT REAKTIF SUPERFICIAL

(Lihat Gambar 6-1, SRU) Sebagian besar reaksi patologis kulit superfisial melibatkan
subunit dari unit reaktif superfisial secara bersama-sama dan dengan demikian
termasuk badan papillary dermis dengan pleksus mikrovaskuler superfisial. Ini adalah
kompartemen jaringan yang sangat reaktif yang terdiri dari pembuluh kapiler, pra dan
pasca kapiler, sel mast, fibroblas, makrofag, sel dendritik, dan limfosit bergerak semua
dalam jaringan ikat longgar dan matriks ekstraseluler (Gambar 6-9). Pentingnya
keterlibatan salah satu komponen di atas yang lain dapat mengarah pada
pengembangan gambar klinis yang berbeda. Beberapa contoh interaksi semacam itu
diperinci di bawah ini.

DERMATITIS KONTAK ALERGI. (Lihat Bab 13.) Dalam dermatitis kontak alergi,
ada reaksi peradangan dari badan papillary dan pleksus mikrovaskuler superfisial dan
spongiosis epidermis (lihat Gambar 6-4) dengan tanda-tanda cedera seluler dan
parakeratosis. Limfosit menginfiltrasi epidermis pada proses awal dan agregat di
sekitar sel Langerhans, dan diikuti oleh vesikula spongiotik (Gambar 6-10).
Parakeratosis berkembang akibat konsekuensi dari cedera epidermis dan respon
proliferatif, dan peradangan pada badan papila dan di sekitar pleksus venus superfisial
menstimulasi proses mitosis di dalam epidermis, yang, pada gilirannya, menghasilkan
acanthosis dan hiperplasia epidermal pada lesi kronis.

Pola reaksi yang melibatkan pleksus pembuluh darah superfisial adalah salah satu
infiltrasi limfositik perivaskular superfisial, sering dengan eosinofil dan histiosit yang
dicampurkan. Seperti disebutkan di atas, banyak limfosit ini juga bermigrasi ke lapisan
epidermis untuk menghasilkan pola yang disebut sebagai eksositosis. Pola inflamasi
perivaskular superfisial adalah salah satu dari sejumlah pola inflamasi yang mungkin
membantu pada penekanan perluasan dalam menentukan algoritma diagnostik
diferensial awal untuk berbagai jenis dermatitis. Patofisiologi, bentuk awal dermatitis
kontak alergi (misalnya, dalam 24 jam) secara eksklusif akan melibatkan limfosit
perivaskular, influksinya yang didahului oleh degranulasi sel mast yang melepaskan
faktor yang mendorong interaksi perekat dengan endotelium dermal superfisial.
Perubahan epidermal segera menyusul sesudahnya.

PSORIAS. (Lihat Bab 18.) Lesi awal psoriatik tampaknya merupakan akumulasi
limfosit perivaskular dan elemen monocytoid dalam badan papiler dan venula
superfisial dan migrasi fokal leukosit (sering neutrofil, meskipun sel T merupakan
bagian integral dari patogenesis juga) ke dalam epidermis. Acanthosis disebabkan oleh
peningkatan proliferasi epidermal, elongasi rete ridges kadang-kadang disertai oleh
permukaan epidermal yang tidak diinginkan (papillomatosis), dan edema papillae
dermis memanjang bersama dengan vasodilatasi loop kapiler dan infiltrasi dari
inflamasi perivaskular progresif berkembang hampir secara bersamaan (lihat Gambar.
6 -2); diferensiasi sel epidermis yang terganggu menghasilkan parakeratosis, dan
agregat kecil neutrofil yang menginfiltasi epitelium dari kapiler berliku menghasilkan
pustul spongiform dan, parakeratotik stratum korneum, hingga mikroabses Munro.
Stimulus untuk peningkatan proliferasi epidermal mengikuti sinyal yang dilepaskan
pada sel T yang tertarik ke epidermis oleh ekspresi molekul adhesi pada permukaan
keratinosit dan dipelihara oleh sitokin yang dilepaskan oleh keratinosit (lihat Bab 18).
Oleh karena itu, gambaran karakteristik dari hasil psoriasis dar gabungan patologi
badan papillary dengan partisipasi pada venula superfisial, epidermis, dan sel yang
bersirkulasi.

Psoriasis adalah contoh instruktif dari terbatasnya spesifisitas dari pola reaksi
histopatologi di dalam kulit karena gambaran histologis psoriasiform terjadi pada
sejumlah penyakit yang tidak terkait dengan psoriasis.

INTERFACE DERMATITIS. Peradangan di sepanjang persimpangan dermal-


epidermal yang terkait dengan vakuolisasi atau penghancuran lapisan sel basal
epidermis menjadi ciri khas dermatitis antarpermukaan. Jenis reaksi umum ini dapat
menyebabkan papula atau plak pada beberapa penyakit kulit dan lainnya yaitu bula.

ERITEMA MULTIFORME. (Lihat Bab 39.) Terjadi Dua jenis reaksi. Pada
keduanya ada dermatitis antarmuka yang ditandai oleh limfosit yang tersebar di
sepanjang persimpangan dermal-epidermal yang terdapat vakuola.

LUPUS ERITEMATOSUS. (Lihat Bab 155.) Peradangan, edema, dan infiltrasi


limfositik dalam badan papiler dan pleksus venus superfisial, serta pada lapisan yang
lebih dalam dari dermis, merupakan ciri khas lupus eritematosus. Target utama adalah
pertemuan dermal-epidermal, di mana terjadi persebaran limfosit dan deposisi
kompleks imun mengarah ke perluasan zona membran basal PAS-positif, disertai
degenerasi hidropik dan penghancuran sel basal dan atrofi progresif (Gambar 6-11).
Badan sitoid sebagai bentuk agregat keratin anukleat yang mungkin mengalami
transformasi amiloid hasil dari apoptosis sel epidermis individu yang diinfiltrasi dan
dilapisi oleh imunoglobulin. Perubahan dalam zona junctional mencerminkan
diferensiasi epidermal yang mengakibatkan penebalan stratum korneum
(orthokeratosis) dan parakeratosis. Lupus erythematosus secara gamblang
menggambarkan heterogenitas, serta kurangnya spesifisitas serta pola reaksi kulit:
secara histologis, memungkinkan untuk membedakan antara lesi akut dan kronis tetapi
tidak antara lupus eritematosus kulit dan sistemik. Pada keadaan lesi kronis tertentu,
perubahan pada zona junctional yang awalnya terkait dengan atrofi sekunder
menghasilkan hiperplasia, hiperkeratosis, dan interdigitasi yang meningkat antara
epidermis dan jaringan ikat, sedangkan pada kasus akut, penghancuran lapisan sel basal
dapat menyebabkan gelembung subepidermal.

LICHEN PLANUS. (Lihat Bab 26.) Penyakit ini juga menunjukkan pola reaksi
junctional primer terutama karena akumulasi infiltrasi limfositik padat di jaringan
subepidermal dan badan sitoid di junction (Gambar 6-12). Limfosit mengganggu
epidermis, dengan menghancurkan sel basal, tetapi mereka tidak menginfiltrasi lapisan
suprabasal dan pembentukan gelembung jarang terjadi. Perubahan ini disertai dengan
perubahan diferensiasi epidermis — ada pelebaran stratum granulosum
(hipergranulosis) dan hiperkeratosis. Perubahan identik dapat dilihat pada tipe
epidermis penyakit graft-versus-host (lihat Bab 28). Ilmu saat ini menyiratkan reaksi
hipersensitivitas tertunda terhadap antigen keratinosit, yang sifatnya tidak jelas.
Hubungan limfosit CD8 + pada aposisi dan bahkan sekitar keratinosit apoptosis
(disebut satellitosis) mendukung pandangan ini. Ekspresi Fas / FasL juga mendukung
peran untuk apoptosis dalam patogenesis lesi ini.

HERPETIFORMIS DERMATITIS. (Lihat Bab 61.) Kondisi ini biasanya termasuk


dalam dermatosis bulosa klasik; Namun, kondisi ini menggambarkan bahwa dominan
dari satu atau beberapa pola reaksi patologis mungkin mengaburkan patogenesis
sebenarnya dari kondisi sebenarnya. Deposisi imunoglobulin A dan komplemen pada
situs fibrillar dan nonfibrillar dalam ujung papila dermis, dan aktivasi jalur alternatif
dari kaskade komplemen, menyebabkan masuknya leukosit (terutama neutrofil),
membentuk abses kecil pada papil dermal, serta peradangan dan edema (Gambar 6-
13). Ini menjelaskan mengapa lesi klinis primer pada dermatitis herpetiformis bersifat
urtikaria atau papular, karena hanya pada kasus infiltrasi neutrofil masif akan ada
kerusakan jaringan dan pembentukan celah di bawah lamina densa yang menghasilkan
vesikel yang terlihat secara klinis.

Anda mungkin juga menyukai