Anda di halaman 1dari 3

7.

Diagnosa Banding dari Hipersensitivitas Tipe I


Diagnosa banding dari hipersensitivitas tipe 1 adalah Rinitis Alergi,
yaitu suatu kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan immunitas
humoral yang dimediasi oleh igE (Hipersensitivitas tipe 1) dan terjadi sebagai
respon terhadap antigen lingkungan yang mengakibatkan inflamasi saluran
nafas. (Yaqin MAN, et al. 2017)

8. Pemeriksaan Hipersensitivitas Tipe 1

8.1 Skin test

Dipakai pada sejumlah obat: Penisilin, insulin, kimopopain.


Pembacaan tes kulit setelah 15-20 menit dalam reaksi cepat dan
setelah 24 jam reaksi lambat.

a. Test tusuk (Prick Test), untuk memeriksa alergi terhadap


allergen hirup dan makanan.
b. Test Tempel (Patch Test), untuk mengetahui alergi kontak
terhadap bahan kimia, dan jika ada kecurigaan terhadap obat
topical.
8.2 ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay) & RAST (Radio
Allergo Sorbent Test)
Digunakan pada alergi obat melalui reaksi tipe I. Pemeriksaan
ini dapat mengukur kadar Ig E dalam sirkulasi sehingga dapat dipakai
untuk identifikasi penyebab. (Pandapatan, 2016)
9. Perbedaan Alergi dan Hipersensitivitas
Alergi merupakan suatu kondisi terjadinya reaksi tubuh yang
berlebihan terhadap suatu zat (misalnya : material, makanan dan obat-obatan),
sedangkan hipersensitivitas merupakan respon imun dari sistem imun yang
berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit
serius. Jadi, alergi itu merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut
reaksi hipersesitivitas. (Ireland R, 2015)
10. Sitokin yang dihasilkan dalam reaksi vaskularisasi pada hipersensitivitas tipe I

Berbagai sitokin dilepas sel mast dan basophil seperti; IL-3, IL-4, IL-
5, IL-6, IL-10, IL-13, GM-CSF dan TNF-α. Beberapa diantaranya berperan
dalam manifestasi klinis reaksi Tipe I. Sitokin-sitokin tersebut mengubah
lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrophil dan
eosinophil. IL-4 dan IL-3 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5
berperan dalam pengarahan dan aktivasi eosinophil. Kadar TNF-α yang tinggi
dan dilepas sel mast berperan dalam reaksi anafilaksis. (Baratawidjaja, 2016)

11. Mengapa Gugus Amida Lebih Aman dibandingkan dengan Gugus Ester.

Di masa lalu, anestesi ester sering menyebabkan reaksi alergi. Analog


PABA yang muncul selama degradasi anestesi ester bertanggung jawab untuk
ini. Dengan penggunaan anestesi amida saat ini, reaksi alergi sangat jarang.
Mempertimbangkan struktur biokimia adrenalin dan keberadaannya di dalam
tubuh, reaksi alergi terhadap vasokonstriktor ini tampaknya tidak mungkin.
Felypressin adalah peptida asing, yang, setidaknya secara teoritis, dapat
menyebabkan reaksi alergi. Reaksi hipersensitivitas setelah pemberian
anestesi lokal biasanya dikaitkan dengan bahan pengawet dan antioksidan
yang ditambahkan. Sejak saat ini pengawet methylparaben dan propylparaben
hampir tidak digunakan lagi dalam kartrid anestesi lokal, antioksidan
bisulphite mungkin merupakan penyebab alergi yang paling sering terjadi
setelah pemberian anestesi lokal. Pada dasarnya, dua jenis reaksi alergi
mungkin timbul: reaksi hipersensitivitas langsung (reaksi tipe I) dan reaksi
hipersensitivitas tertunda (reaksi tipe IV). (Baart, 2008)

Sumber :

 Yaqin MAN, et al. Perbandingan Perubahan Kadar Gula Darah sebelum


Pembedahan 30 menit saat Pembedahan dengan Anastesi Umum dan
Anastesi Spinal. Jurnal e-Clinic (ecl); 2017 Jul-Des; 5(2).
 Ireland R. Kamus Kedokteran Gigi. 2015; Jakarta; EGC.
 Baart JA. Brand HS.2008. Local anesthesia in dentistry 1 edition. WA:
Wiley Blackwell.
 Baratawidjaja KG, Rengganis. 2016. Imunologi Dasar Edisi ke-11.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
 Pandapatan RA, Iris R. 2016. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana
Alergi Obat. J Peny Dalam Ind. 31(1): 45-52.

Anda mungkin juga menyukai