Anda di halaman 1dari 7

Manajemen Antepartum

1. Evaluasi Awal
Pada saat telah didiagnosis, pasien dengan preeklampsia harus telah menjalani pemeriksaan darah
lengkap dengan jumlah trombosit dan evaluasi kadar serum hepar dan serum kreatinin. Pasien juga
harus menjalani urinalisis untuk mengevaluasi kadar protein dalam urin (menggunakan urin
tamping 24 jam atau rasio protein/kreatinin), dan selalu ditanyakan mengenai gejala-gejala dari
preeklampsia berat. Evaluasi terhadap janin harus meliputi pemeriksaan USF untuk menilai berat
janin dan indeks cairan amniotic, nonstress test, dan profil biofisik bila nonstress test tidak reaktif.
Beberapa hal yang mengindikasikan rawat inap dan persalinan pada pasien apabila terdapat tanda-
tanda berikut:
- Gestasi 37 0/7 minggu atau lebih
- Suspek abrupsio plasenta
- 34 0/7 minggu atau lebih gestasi, disertai adanya hal-hal berikut: a) Persalinan progresif
atau adanya ruptur membrane, b) estimasi berat janin berdasarkan USG kurang dari
persentil lima, c) oligohidramnion (indeks cairan amnion kurang dari 5 cm yang persisten),
dan d) profil biofisik 6/10 atau kurang (normalnya 8/10-10/10)
2. Evaluasi Lanjutan
Evaluasi lanjutan diperuntukkan pada wanita yang belum pernah melahirkan dan memiliki
preeklampsia tanpa adanya gejala berat, evaluasi meliputi:
- Evaluasi janin meliputi hitungan tendangan per hari, USG untuk menilai perkembangan
janin setiap 3 minggum dan penilaian cairan amnion setidaknya setiap 1 kali seminggu.
Nonstress test juga dapat dilakukan setiap sekali seminggu.
- Pemeriksaan tekanan darah pada setiap pemeriksaan antenatal, dan pemeriksaan
proteinuria pada setiap wanita dengan hipertensi gestasional.
- Pemeriksaan laboratorium maternal meliputi pemeriksaan darah lengkap, enzim hepar, dan
kadar serum kreatinin sedikitnya satu kali seminggu.
- Pasien dianjurkan menjalani menu diet normal tanpa restriksi garam
- Pada saat mendiagnosis, seluruh pasien diinstruksikan untuk melaporkan gejala
preeklampsia berat (sakit kepala hebat, gangguan visual, nyeri epigastrium, dan sesak
nafas). Mereka juga diminta untuk segera ke rumah sakit apabila terdapat gejala persisten,
nyeri abdominal, kontraksi, vaginal spotting, rupture membrane, dan penurunan gerak
janin.
- Pemeriksaan janin, meliputi pergerakan dan perkembangan tinggi fundus yang abnormal
(kurang dari 3 cm dari usia gestasi) harus menjalani pemeriksaan dengan nonstress test dan
pengukuran cairan amnion. Adanya tanda dan gejala baru akan preeklampsia berat atau
bukti restriksi pertumbuhan janin membutuhkan penanganan rawat inap di rumah sakit,
termasuk juga dengan adanya peningkatan konsentrasi enzim hepar dan trombositopenia.
Pemberian Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan - sedang (tekanan darah
140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial. European Society of Cardiology (ESC)
guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa
proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau
kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian
antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg. Dari penelitian yang ada,
tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi dapat mengurangi insiden pertumbuhan janin
terhambat, solusio plasenta, superimposed preeklampsia atau memperbaiki luaran perinatal.
Meskipun demikian, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25%
penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah
uteroplasenter

a. Calcium channel blocker


Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi
dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer
akibat pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya
pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan
efek samping maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema
tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan. Nifedipin merupakan salah
satu calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah
persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
b. Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan
P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan
untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama,
sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak
cukup efektif untuk mengontrol tekanan darah.
c. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat
antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety margin yang luas (paling
aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga
memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah
arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek
samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural,
anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis." Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-
500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat
maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum
diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-
500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa
dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.

Pemberian Magnesium Sulfat

Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya
adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah
perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-
D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan
masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10 menit,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang
terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan
saat memberikan magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi
kejang berulang. Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor yang
lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah, kelemahan otot, rasa kantuk, dan
iritasi dari lokasi injeksi.

Manajemen Intrapartum
Tatalaksana Preeklampsia Berat dengan Gestasi < 34 minggu
1. Manajemen Ekspektatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Manajemen ekspekstatif terutama dilakukan pada preeklampsia dengan usia
gestasi < 34 minggu.
Figure 1 Manajemen Ekspektatif Preeklampsia dengan Masa Gestasi <34 Minggu
2. Indikasi Terminasi Kehamilan

Anda mungkin juga menyukai