Tahun : 1981
Lukisan ini merupakan lukisan dengan gaya realisme, ekspresionisme. Dengan teknik
melukis menggunakan cat minyak di atas kanvas.
Karakteristik Karya
Hendra Gunawan adalah seorang seniman Indonesia yang berusaha mencari identitas
Indonesia melalui unsur rupa tradisional, hanya untuk kemudian menemukan identitas
dirinya. Dengan talenta sebagai seorang pelukis senior dan memiliki karakter karya lukisan
yang khas, menjadikan namanya masuk dalam daftar Pelukis Maestro Legendaris ternama
Indonesia.
Karakter lukisan Hendra sangat berani dengan ekspresi goresan cat tebal, dan ekspresi warna
kontras apa adanya, sehingga karya lukisanya banyak dikoleksi oleh para kolektor baik di
dalam maupun di luar negeri.
Perjalanan aliran lukisan karya Hendra Gunawan pada awalnya adalah realisme yang
melukiskan tema-tema tentang perjuangan sebelum kemerdekaan, namun setelah era
kemerdekaan, karya-karya lukisannya bermetamorfosa kedalam aliran lukisan
ekspresionisme, tema-tema lukisanya tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat pedesaan.
Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan
banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang
revolusioner.
Untuk merumuskan suatu gaya yang baku dari lukisan Hendra Gunawan, seorang pengamat
akan mengalami kesulitan. Hal ini lantaran perubahan dan perkembangan visual karyanya
dari masa ke masa. Perpindahan geografis yang terjadi selama masa hidupnya telah
mempertemukan Hendra dengan berbagai kondisi dan budaya masyarakat yang beragam.
Jika kita melihat sekilas karya-karya lukisan Hendra Gunawan secara kronologis, tampak dua
kecenderungan besar dalam penggambaran, yaitu: penggambaran di masa revolusi atau
perjuangan (1940-an hingga 1950-an), dan penggambaran karya setelah masa perang (dan
saat berada dalam tahanan) yang lebih berwarna.
Tema Revolusi
Tema revolusi dan perjuangan mendominasi karya-karya seniman di masa itu karena situasi
dan kondisi perang yang tidak mungkin untuk diabaikan. Hendra pada saat itu pun terlibat
langsung dengan peperangan saat tergabung dalam pelukis front (1945).
Seperti halnya warna, persoalan komposisi dan perspektif dalam lukisan Hendra Gunawan
pun sangat bernuansa ketimuran. Layaknya komposisi lukisan tradisional Cina ataupun relief
candi, banyak lukisan Hendra Gunawan yang tidak memiliki perspektif tunggal layaknya
sudut pandang lukisan naturalis barat.
Penggambaran seperti ini dapat diamati pada lukisan Pohon Beringin (1964), Antri Mandi
(1970), dan Bunga Muara (1979). Penggambaran latar belakang dan sapuan kuas banyak
kemiripan dengan lukisan tradisional Cina seperti pada Antri Mandi (1970), Dua Wanita
sedang Makan (1971), dan Panen Padi I (1974).
Cara pandang naturalis-perspektif merupakan cara melihat layaknya mata atau kamera
dimana waktu seakan-akan berhenti. Cara pandang ini berkembang dalam seni rupa barat
sejak abad 15 di Italia. Mengingat bahwa lukisan Hendra Gunawan merupakan sebuah karya
seni rupa modern, maka sudut pandang penggambaran yang ketimuran dan tradisional
menjadikannya karya yang istimewa.
Karakter Wayang
Karya-karya Hendra yang dibuat sejak tahun 1970-an menggambarkan figur secara lebih
terdistorsi (lukisan objek dengan teknik melebih-lebihkan dan menonjolkan bagian bentuk
benda yang ingin di fokuskan) layaknya penggambaran wayang.
Bentuk-bentuk wayang purwa, baik wayang kulit maupun wayang golek adalah perwujudan
bentuk sosok manusia yang telah digayakan (stilasi).
Sikap kepala mendongak memberi kesan adanya tarikan ke depan. Leher digambarkan
memanjang layaknya tampilan dari samping (tidak terhalang dagu), bagian bahu dan dada
digambarkan layaknya tampilan dari depan, dan hampir semua penggambaran kaki
ditampilkan layaknya tampilan atas.
Penggambaran “aneka tampak” seperti ini adalah ciri dari penggambaran wayang.
Teknik Ngiseni
Teknik ngiseni banyak kita jumpai di karya-karya Hendra setelah masa revolusi dan
peperangan. Ngiseni (isen = isi; ngiseni = mengisi), maksudnya mengisi bidang kosong, baik
bidang yang terbentuk oleh ragam hias pokok, maupun bidang kosong antar ragam hias.
Teknik ini tidak hanya kita jumpai di gambar pakaian atau kain (batik), tapi juga banyak
terdapat di dalam penggambaran betis, kaki, tangan, dahan pohon, dan ikan dalam objek
lukisan.
Hendra memiliki kecenderungan untuk mengisi kekosongan pada betis dan kaki dari figur
yang ia gambarkan dengan pola meliuk-liuk atau pun titik-titik. Jika dikombinasikan dengan
warna yang kuat, pola tersebut menghasilkan karakter gambar yang sangat ekspresif, seperti
pada lukisan Keluarga Nelayan (1975), Kritikus, Suwiryo (1979), dan Urbanite (1980).
(Sumber: gerakgeraksenirupa.wordpress.com)
Hendra dikenal gemar melukis dengan ukuran besar, ia pernah melukis Pangeran Cornel dan
Arjuna menyusui anaknya, keduanya berukuran 400 x 200 cm.
Lukisan Pengantin Revolusi, disebut-sebut sebagai karya dengan ukuran kanvas yang besar,
tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan
menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Tetap Berkarya dalam Penjara
Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan
menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia
belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.
Ikan baginya merupakan sumber yang tidak ada habisnya. Dari ikanlah ia dapat melihat
warna alami yang sesungguhnya. Sebelum ia meninggal, karya lukisnya tentang
tenggelamnya kapal Tampomas membuatnya terinspirasi. Hanya saja ia menggambarkan
potret diri yang diserbu ikan-ikan.
Ternyata, potret tersebut menjadi wujud terima kasih kepada ikan-ikan yang menjadi sumber
inspirasi bagi sang pelukis. Sayangnya lukisan tersebut tidak rampung dan diberi judul
“Terima Kasih Kembali Protein“. Karya lukisan ini merupakan lukisan terakhir Hendra
Gunawan sebelum tutup usia.