Jurnal Freeport
Jurnal Freeport
PENDAHULUAN
Kepentingan usaha pertambangan dan pelestarian lingkungan tak ubahnya bagaikan sebuah
paradoks. Di satu sisi pertambangan dibutuhkan demi pembangunan, tetapi di sisi lain lingkungan menjadi rusak
akibat aktivitas pertambangan yang tidak menerapkan teknologi yang ramah lingkungan bersamaan dengan
pengelolaan lingkungan yang baik.
Dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan salah satunya adalah
pembuangan tailing ke perairan atau daratan. Ketika tailing dari hasil pertambangan dibuang di badan air atau
daratan limbah unsur pencemar kemungkinan tersebar di sekitar wilayah tersebut dan dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan.
Bahaya pencemaran lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) mungkin
terbentuk jika tailing yang mengandung unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat. Terutama di wilayah
tropis dimana tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi
unsur-unsur berpotensi racun. Salah satu akibat yang merugikan dari arsen bagi kehidupan manusia adalah apabila
air minum mengandung unsur tersebut melebihi nilai ambang batas; dengan gejala keracunan kronis yang
ditimbulkannya pada tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel.
Salah satu perusahaan tambang di Indonesia yang banyak memberikan kerusakan bagi lingkungan akibat
limbah tailing-nya adalah PT. Freeport yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur
kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua.
Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun
ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT.
Freeport Indonesia akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk
menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang
lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan
234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung
dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
PT. FREEPORT
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya
dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia
dan merupakan perusahaan penghasil konstentrat emas dan tembaga terbesar di dunia melaluitambang Grasberg.
Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masingtambang Erstberg (dari 1967)
dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dalam melakukan eksplorasi di dua tempat tersebut PT. Freeport melakukan perjanjian kontrak sebanyak
dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan II adalah pada kontrak karya I luas arena
kawasan pertambangan adalah 27.000 acres (11 ribu Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967
sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain, pajak hariannya selama 3 tahun setelah berproduksi dan tidak ada
royalti sampai tahun 1986. Kewajiban fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35%
dan pada tahun 1983-kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk
tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Kepemilikannya sebesar 100% oleh pihak asing sejak
tahun 1967-1986 dan 0,5% oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5 FCX pada tahun 1986 sampai masa kontrak
berakhir.
Sedangkan pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres (26 juta Ha)
dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai 2021 dan kemudian diperpanjang 20 tahun hingga
tahun 2041. Dalam kontrak karya II tidak ada fasilitas fiskal, namun kewajiban fiskalnya antara lain, pajak
penghasilan 35%, pajak dividen dan interest 15%, iuran tetap untuk wilayah KK, pajak penghasilan karyawan, PPn
dan pajak barang mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan
lainnya. Kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak.
Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh pemerintah Indonesia dan 9,36% oleh PT. Indocopper
Investama.
Dalam sejarah dan perkembangannya, PT. Freeport Indonesia (PTFI) memulai operasional
penambangannya setelah diresmikan melalui penanda tanganan Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia, yang
lalu berkembang hingga konstruksi skala besar yang lalu dilanjutkan hingga ekspor perdana konsentrat emas dan
tembaga yang pada saat itu operasional penambangan masih dilakukan di areal bijih Ertsberg. Berkembangnya
industri penambangan PTFI ini semakin melejit setelah ditemukannya cadangan – cadangan bijih baru kelas dunia
seperti Grasberg oleh para geologist.
Namun PT. Freeport Indonesia secara langsung telah memberikan nilai plus dalam devisa Negara
Indonesia, dalam bentuk dividend dan royalty yang besar melalui pembayar pajaknya. PTFI juga memberikan
manfaat yang tidak langsung dalam bentuk upah, gaji, dan tunjanngan serta reinvestasi dalam negeri, pembelian
barang dan jasa, serta pembangunan daerah donasi. Berikut adalahpemegang saham yang berada di PT. Freport:
· Freeport-McMog Ran Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28%
· Pemerintah Indonesia - 9,36%
· PT. Indocopper Investama - 9,36%
A. OPERATIONAL PERUSAHAAN
Dalam operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia diterapkan 2 sistem motde penambangan yaitu
Penambangan Terbuka (Surface Mining) dan Pertambangan Bawah Tanah (Undergroun Mining).
· OPERASIONAL TAMBANG TERBUKA GRASBERG
Tubuh bijih Grasberg ditambang dengan menggunakan cara penambangan terbuka, yang cocok untuk Grasberg
karena keberadaannya yang dekat dengan permukaan. Dengan penambangan terbuka, maka dimungkinkan
pengerahan peralatan berat untuk pekerjaan tanah yang sangat besar, yang mampu mencapai tingkat penambangan
yang tinggi pada biaya satuan yang paling rendah.
Pada tambang terbuka Grasberg digunakan peralatan shovel dan truk besar untuk menambang bahan. Bahan
tersebut termasuk klasifikasi bijih atau limbah, tergantung dari nilai ekonomis bahan tersebut.
Alat shovel menggali bahan pada daerah-daerah berbeda di dalam tambang terbuka, dan memuat bahan ke atas truk
angkut untuk dibawa keluar tambang terbuka. Bijih ditempatkan ke dalam alat penghancur bijih dan diangkut ke
pabrik pengolahan (mill) untuk diproses. Batuan limbah (overburden) dibuang dengan truk ke daerah-daerah
penempatan yang telah ditentukan, atau ke dalam alat penghancur OHS pada jalan HEAT untuk ditempatkan di
Wanagon Bawah di samping alat penimbun (stacker).
Sarana-sarana utama yang ada pada lokasi tambang terbuka termasuk operasional kereta gantung, bengkel-
bengkel perawatan, tambang batu gamping dan pabrik pemrosesan, serta fungsi pendukung lainnya dan perkantoran.
· OPERASIONAL TAMBANG BAWAH TANAH
PTFI menggunakan teknik ambrukan pada sistem tambang bawah tanah (Underground Mining) , metode ini
biasa disebut dengan metode Block Caving. Block Caving adalah metode penambangan yang bertujuan untuk
memotong bagian bawah dari blok bijih pada level undercut sehingga blok bijih tersebut mengalami keruntuhan.
Metode ini diterapkan terutama pada blok badan bijih yang besar karena tingkat produksinya yang lebih tinggi.
Bidang pada massa batuan dengan ukuran yang sudah di tentukan di ledakan pada tahap level Undercut sehingga
massa batuan yang berada diatasnya akan runtuh. Penarikan bijih hasil runtuhan pada bagian bawah kolom bijih
menyebabkan proses runtuhan akan berlanjut keatas sampai semua bijih diatas level undercut hancur menjadi
ukuran yang sesuai untuk proses selanjutnya dikirim ke pabrik pemroses (mill). PTFI menerapkan Sistem Block
Caving ini pada zona – zona tertentu antara lain Gunung Bijih Timur (GBT), Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep
Ore Zone (DOZ), Mill Level Zone (MLZ), East Stockwork Zone (ESZ).
Analisis Limbah P.T. Freeport Indonesia
Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam
dan lingkungan sangatlah besar. Menurut perhitungan
WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang
dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton.
Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke
sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan
dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan
penampungan tailing yang sesuai dengan standar teknis
legal untuk bendungan, namun masih menggunakan tanggul
(levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport
mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai
pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai
dataran tinggi untuk memindahkan tailing.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang
(tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar
seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek.
Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang
berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga
memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai. Freeport tidak lagi menyebutkan
Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan
pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, yang melanggar standar baku mutu air
sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan
(Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun. Buangan Air Asam
Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, membahayakan air
tanah, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan.
Kandungan logam berat tembaga (Cu) yang melampaui ambang batas yang diperkenankan. Kandungan
tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara S. Ajkwa
2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi (Total
Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan.
Sistem pembuangan limbah Freeport mengancam mata rantai makanan yang terindikasi kewat kandungan
logam berat yaitu selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn), dan tembaga (Cu)
pada sejumlah spesies kunci yaitu: burung raja udang, maleo, dan kausari serta sejumlah mamalia yang
kadangkala dikonsumsi penduduk setempat. Sistem pembuangan limbah Freeport menghancurkan habitat
muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan
tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21 sampai 63 Km persegi
akan rusak.
9. Pemantauan Lingkungan
Program jangka panjang pemantauan lingkungan hidup PT FI mengevaluasi potensi dampak yang
ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, dengan secara rutin mengukur mutu air, biologi, hidrologi,
sedimen, mutu udara dan meteorologi di dalam wilayah kegiatan. Pada tahun 2005, program pemantauan
secara keseluruhan tersebut mencakup pengumpulan hampir 7.500 sampel lingkungan hidup dan
pelaksanaan lebih 52.000 analisa secara terpisah terhadap sampel-sampel tersebut, termasuk biologi
akuatik, jaringan akuatik, jaringan tumbuhan, air tambang, air permukaan, air tanah, air limbah sanitasi,
sedimen sungai, dan tailing.
10. Audit Lingkungan
Sebuah audit independen eksternal tiga tahunan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh
Montgomery Watson Harza dalam rangka memenuhi salah satu komitmen PT FI yang tertuang dalam
dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui Pemerintah Indonesia
pada tahun 1997. Audit tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan pertambangan PTFI “termasuk kegiatan
terbesar di dunia dengan tingkat tantangan dan kerumitan lingkungan yang terbesar pula” dan bahwa
“praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut masih tetap didasarkan
atas (dan dalam beberapa hal mewakili) praktik-praktik pengelolaan terbaik untuk industri internasional
penambangan tembaga dan emas.”