Apendisitis Kronis
Apendisitis Kronis
Appendicities
Disusun oleh :
Ahmad Ali Zulkarnain 20070310070
Charlie A Gunawan 20080310016
Ahmad Ramadhan 20080310002
Diajukan kepada :
Dr. Nurul Jaqin Sp.B, M.Kes
Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Keadaan sadar, pusing (-), demam(-).
Sistem Kardiovaskular : Berdebar-debar(-), nyeri dada(-).
Sistem Respiratorius : Sesaknafas(-), batuk(-).
Sistem Gastrointestinal : Mual (+), flatus (+), muntah (-), BAB (-).
Sistem Urogenital : BAK tidak ada keluhan, warna kuning, nyeri saat
BAK (-).
Sistem Integumentum : tidak ada keluhan
Sistem Muskuloskeletal : tidak ada udem, deformitas maupun fraktur.
Review Anamnesis
Seorang laki-laki usia 80 tahun mengeluh nyeri perut kanan bawah sudah sejak
3 hari yang lalu, keluhan ini berulang sekitar 2 minggu yang lalu. Mual (+), muntah (-
), riwayat Hipertensi (+), Diabetes Melitus (+), Penyakit jantung (+).
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik,
Kesadaran : Compos mentis,
Vital Sign
a. Suhu : 36º C per aksila
b. Nadi : 76x/menit, teratur, kuat angkat, isi dan tegangan cukup
c. Pernafasan : 24 x/menit
d. Tekanan darah : 160/90 mmHg
Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri tidak anemis
Sklera : Mata kanan dan kiri tidak ikterik
Pupil : Isokor kanan-kiri, reflek cahaya (+ /+)
Palpebra : Tidak oedem
JVP : tidak meningkat
Kelenjar tiroid : tidak membesar
Kelenjar limfonodi : tidak membesar
Pemeriksaan Thoraks
a. Paru-paru
(*) Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi(-), ketinggalan gerak (-).
(*) Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
(*) Perkusi : Sonor pada lapang parukiri dan kanan
(*) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+)/(+), Ronkhi (+)/(+).
Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra
Pemeriksaan Abdomen (Status Lokalis)
a. Inspeksi : Sikatrik bekas operasi (-), benjolan (-), venektasi (-), tanda radang(-),
distensi (-),
b. Auskultasi : Bunyi peristaltik (+)normal
c. Perkusi : Timpani (+), pekak hepar (-),
d. Palpasi : Nyeri tekan (+)region inguinalis dextra (titik Mc. Burney), lien tidak
teraba, hepar tidak teraba, Rovsing Sign (+), Psoas Sign(-), Obturator
Sign (-) defans muscular (-),
Pemeriksaan Ekstremitas
a. Superior : deformitas (-), edem (-), akral hangat, nyeri otot (-), nyeri sendi (-).
b. Inferior : deformitas (-), edema (-), akral hangat, nyeri otot betis(-), nyeri
sendi (-).
ASSESMENT
Observasi nyeri tekan abdomen regio inguinal dextra titik mc. Burney
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi.(2)
I. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin.(2) Appendiks adalah suatu struktur
kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum.
Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula
Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis
(Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal.(1) Appendiks terletak di kuadran kanan bawah
abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera,
taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada
pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak
1/3 dari SIAS kanan.(3)
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileosekal. (5)
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada
usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.(2)
Jenis posisi:
Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus
besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa
maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Appendiks
terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan
bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka
appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.
Histologis:
- Tunika serosa : memiliki struktur yang tidak berbeda dengan yang terdapat
pada intestinum tenue. Kadang pada potongan melintang dapat
diikuti pula mesoappendiks yang merupakan alat penggantung
sebagai lanjutan peritoneum viseral
II. Fisiologi
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena
jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.(2)
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian
berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di
apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit. (5)
III. Definisi
IV. Etiologi
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.(2)
V. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.(9)
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi.
Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks
normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.(5)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.(9)
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. (9)
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.(9)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.(9)
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (2)
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan
bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(2)
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya.
Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi
perforasi. (2)
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. (2)
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah.
Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual
dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
(2)
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai
1C.
1. Inspeksi
2. Palpasi
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang
ada nyeri pinggang.
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada
appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. (2)
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis
pelvika akan menimbulkan nyeri. (2)
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul /
pangkal paha kanan. (11)
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot
psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan). (11)
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (11)
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan otot obturator
internus yang meregang saat dilakukan manuver. (11)
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Abdominal X-Ray
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram
memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk
menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak
pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga
sumbatan usus oleh fekalit.
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan
komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
6. Laparoscopi
7. Histopatologi
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran
klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum
mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada
umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka
perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan
cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen
skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan
mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado
tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai
derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko
meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran
kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih
dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam
sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah
skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999). Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
1–4 : observasi
5–6 : antibiotic
7 – 10 : operasi dini
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut
yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-
muntah.
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang anorexia,
mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi insidental diindikasikan
utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni, rumple leed
(+), hematokrit meningkat.
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini
sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya
disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa
nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan
pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Diverticulitis
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
X. Penatalaksanaan
Appendiktomi
§ Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang
dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak
masalah.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi
untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan
ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah
menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka
harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.(12)
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. (13)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (2)
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular
infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan
bedah.(4,2)
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam
gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi)
setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila
massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera
dibuka dan didrainase.(4)
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana
nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal,
bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi
sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan
karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase
dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa
drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat
diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses
tiap hari penderita di RT. (4)
LED
Jumlah leukosit
Massa
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,
operasi tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi
adalah drainase.(4)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney
(Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan
penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990;
Mantu, 1994; Ein, 2000).
1. Cutis 6. MOI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang
terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(2)
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.(4)
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat
menyebabkan kegagalan organ dan kematian.(14)
XII. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak
diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
2. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR.
Surabaya.
3. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-
Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
4. Kartika, Dina, 2005. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta.
5. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines. http://www.patholoyoutlines.com
6. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis
Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara.http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.
7. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
8. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
9. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy
of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple,
Texas .http://www.aafg.org
10. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
11. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
12. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004.
www.digestive.niddk.nih.gov