Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
PENDAHULUAN
tersering terjadinya akut abdomen pada dewasa muda. Insiden tertinggi pada kelompok umur
Apendisitis secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks akibat infeksi.
Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat obstruksi. Obstruksi yang terjadi
mengganggu fisiologi dari aliran lendir apendiks, dimana menyebabkan tekanan intralumen
meningkat sehingga terjadi kolonisasi bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada daerah
tersebut.
Gejala yang ditimbulkan pada penderita appendisitis akut berupa nyeri perut muncul
mendadak dirasakan pada daerah epigastrium atau periumbilikus kemudian nyeri menjalar di
titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina iliaka anterior superior
(SIAS) dan umbilikus. Nyeri perut kanan bawah ini dapat disertai dengan adanya keluhan
mual dan muntah dan anoreksia. Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda
pasien dengan radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering
ditemukan. Pada apendisitis, tanda-tanda lain yang dapat ditemukan adalah nyeri tekan dan
nyeri lepas pada perut kanan bawah, terutama pada titik McBurney, adanya Rovsing sign,
mengenai gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas
perlu pemberian medikamentosa berupa analgetik, antibiotik dan obat simptomatik lainnya
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga
abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal.
Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan menyempit
di distal. Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang didasarkan pada letak
pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh persarafan otonom parasimpatis dari nervus vagus dan
persarafan simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan radang pada
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh Gut
2
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan
lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan
saluran cerna. Apendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran ini
akan dialirkan ke sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks.
Insidens apendisitis akut dinegara maju lebih tinggi daripada negara berkembang.
Namun, dalam 3-4 desawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga
urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis, duodenitis, dan
penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 orang. Kejadian
appendisitis di provinsi Sumatera Barat tergolong cukup tinggi (Depkes RI, 2006; Longo et
al, 2012).
3
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Pada anak < 1 tahun jarang
dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Rasio kejadian antara laki-
Etiologi terjadinya apendisitis akut adalah adanya infeksi oleh bakteri yang didukung
b) Masa fekalith
c) Striktur Fibrosis
Apendisitis akut secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks akibat
1. Stadium Kataralis
Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi
akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa,
serosa hingga peritoneum visceral. Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri
aerob dan anaerob saluran cerna. Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri. Edema
Resolusi dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotik
2. Stadium Purulent
Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi iskemia.
4
Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding apendiks dan terjadi
3. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri yang
menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan menyebabkan masa
lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi penyebaran bakteri dan melokalisir
radangnya. Masa ini disebut apendisitis infiltrate, bila masa lokal itu berisi pus maka
4. Stadium perforasi
- Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang gangren
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya
operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut
sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak dan
geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat
apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar2,3,4. Faktor risiko lain perforasi diantaranya
sebelumnya
5
Gambar 2.3 Patogenesis Apendisitis2
a) Nyeri Perut
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien dengan
apendisitis akut. Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan klinisi karena
nyeri perut pada apendisitis memiliki ciri-ciri dan perjalanan penyakit yang cukup
jelas.
Nyeri ini merupakan nyeri visceral yang dirasakan sebagai perasaan tidak nyaman
di periumbilikal. Pada saat ini terjadi proses obstruksi dan peradangan apendiks,
nyeri ini merupakan nyeri kolik yang intensitasnya lebih ringan dari kolik usus
halus. Saat kondisi ini biasanya disertai anorexia, mual dan muntah.
6
Nyeri ini terjadi akibat inflamasi yang progresif hingga mengenai peritoneum
parietal. Nyeri somatik ini terjadi 6-8 jam setelah nyeri visceral periumbilikal
Lokasi nyeri umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis
khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus.7 Nyeri somatik
dirasakan lebih tajam, dengan intesitas sedang sampai berat. Pada suatu
metaanalisis, ditemukan bahwa nyeri perut yang berpindah dan berubah dari
viseral menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat untuk menegakkan
Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut yang tidak khas
Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila pasien berjalan dan
terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal2,3. Posisi apendiks pelvic
tidka pernah menyebabkan nyeri yang pada dinding anterior abdomen, nyeri
biasanya dirasakan sebagai rasa tak nyaman pada daerah suprapubic dan
Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan atau
c) Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam
bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan
adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Diare terjadi karena
7
apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan terdapat penyakit penyerta lain.
Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan ketika
a) Keadaan Umum
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien dengan radang
umumnya sekitar 37,5 – 38,5°C. Demam yang terus memberat dan mencapai
- Pasien biasanya tidur dengan melipat sendi panggul pada kaki kanan. Jika berdiri
pasien biasanya membungkuk kedua hal ini akan merelaksasikan otot Psoas.
b) Keadaan Lokal
langsung atau tidak langsung pada peritoneum oleh apendiks. Rangsangan langsung
menyebabkan ditemukannya nyeri tekan dan nyeri lepas pada perut kanan bawah,
terutama pada titik McBurney. Selain itu pada inspeksi dan palpasi abdomen akan
mudah dilihat terdapat defans muscular sebagai respons dari nyeri somatik yang
Rangsangan tidak langsung ditunjukkan oleh beberapa tanda, antara lain Rovsing
sign yang menandakan nyeri pada perut kiri bawah apabila dilakukan penekanan pada
titik McBurney. Begitupula Blumberg sign adalah nyeri pada perut kiri bawah apabila
8
Hiperefleksia kulit iliaka kanan, pada pasien dengan klinis apendisitis yang jelas.
akan tetapi dapat cukup khas ditegakkan dengan Psoas sign dan Obturator sign.
Tanda psoas adalah nyeri timbul apabila pasien melakukan ekstensi maksimal untuk
meregangkan otot psoas. Secara praktis adalah dengan fleksi aktif sendi panggul
kanan kemudian paha kanan diberikan tahanan. Hal ini akan menimbulkan
rangsangan langsung antara apendiks dengan otot psoas sehingga timbul nyeri. Tanda
obturator muncul apabila dilakukan fleksi dan endorotasi sendi panggul yang
mengenai gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis. Anamnesis mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala
9
penyerta seperti mual-muntah-anoreksia, dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.
Menyingkirkan gejala aku abdomen lainnya juga penting bila apendisitis akut tidak khas.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga sudah
dapat mengarah ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang merupakan tanda-
tanda yang sering ditemukan. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap tahap..
Pada inspeksi, dapat ditemukan bahwa dinding perut terlihat kaku dan kemudian dikonfirmasi
dengan palpasi. Pada palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta terdapat tahanan
(deffense muscular). Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik apendisitis yaitu titik
McBurney, uji Rovsig, dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator juga dapat dilakukan
- USG abdomen : struktur aperstaltik, blind ended, keluar dari dasar caecum, massa
inflitrat abses
- CT-Scan : diameter appendix > 6cm , gambaran target, ada apendicoltih, setelah
periapendikular.
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat
bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai lebih
dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan5. Komponen Alvarado Score
adalah:
10
Skor 9-10 : hampir pasti apendisitis, operasi
Skor 7-8 : kemungkinan besar apendisitis
Skor 5-6 : mungkin, namun bukan diagnosis apendisitis
Pastikan dengan CT-scan
Skor 0-4 : Kemungkinan besar tidak namun bukan tidak mungkin apendisitis
11
Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada
apendisitis adalah Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan operasi untuk
a) Medikamentosa
dan antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien apendisitis
seringkali datang dengan kondisi yang tidak stabil karena nyeri hebat sehingga
analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk profilaksis, dengan cara diberikan
dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya. Antibiotik yang umum diberikan adalah
cephalosporin generasi 2 / generasi 3 dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah
dibuktikan mengurangi terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka dan
Waktu pemberian antibiotik juga masih diteliti. Ada laporan bahwa pada apendisitis
postoperasi.7
10 hari6.
b) Apendektomi
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus
operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam setelah nyeri dirasakan) tidak
12
jam). Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat
Teknik yang digunakan dapat berupa operasi terbuka dan dengan Laparoskopi.
Operasi terbuka dilakukann dengan insisi pada titik McBurney yang dilakukan tegak lurus
terhadap garis khayalan antara SIAS dan umbilikus. Sebelum mempersiapkan abdomen untuk
operasi, raba dulu masa periapendikular. Bila teraba massa lakukan tatalaksana terhadap
massa periapendikular berupa terapi konservatif dan dilakukan apendektomi 6-10 minggu
Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk menemukan massa yang
membesar. Setelah dilakukan insisi : gridrion, Rutherfor Marison, Lanz. Dalam beberapa
tahun terakhir insisi Lanz lebih popular digunakan karena eksposur yang lebih baik. Bila
diagnosis diragukan terutama bila ada obstruksi , insisi lower midline abdominal lebih
dipilih.7
dengan jari tarik caecum, apendiks akan terasa pada dasar caecum. Adesi inflamasi
dpidahkan hati-hati dengan jari, lalu keluarkan apeniks melalui luka insisi. Mesoapendiks
13
diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan transeksi diantara
forsep arteri dan ligasi. Benang 2/0 absorbable digunakan untuk menjahit caecum sejauh 1,25
cm dari ujung yang diamputasi. Jahitan harus melewati otot, dan meliputi tinea coli.7
Gambar 2.87
Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini walaupun
belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil operasi dan
apabila diagnosis masih belum yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat sekaligus menjadi
prosedur diagnostik. Sampai saat ini penelitian-penelitian yang dilakukan masih mengatakan
keunggulan dari metode ini adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Perbaikan infeksi
luka tidak terlalu berpengaruh karena insisi pada operasi terbuka juga sudah dilakukan
14
Gambar 2.9 Laparaskopi Apendiktomi7
Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka dan abses
inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka penanganan
segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya diawali dengan adanya masa
periapendikuler terlebih dahulu. Masa periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih
berupa penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi
oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan
penyebaran pus dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga massa periapendikuler ini adalah target
operasi apendiktomi.
15
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena selain
angka morbiditas tinggi, penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi apendisitis
dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut,
demam tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan menghilang
karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang paling
umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang dilakukan pada
kondisi berat ini adalah laparatomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada.
Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparaskopi sehingga
16
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 54 tahun
Alamat : Salimpaung
No. RM : 111376
3.2 Anamnesis
Nyeri perut bawah kanan yang menetap sejak ± 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit.
Awalnya nyeri perut dirasakan di sekitar pusar ± 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit, 8 jam kemudian nyeri terasa di perut kanan bawah, nyeri lebih kuat dan
menetap. 3 hari kemudian pasien berobat ke puskesmas dan dirawat selama 2 hari
Mual (+) sejak 1 hari yang lalu. Muntah (-). Demam (-). Penurunan nafsu makan (+)
sejak 1 minggu yang lalu. Berat badan berkurang 2 kg sejak sakit. Diare (-)
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan bawah 17 hari sebelum masuk rumah
sakit dan berobat ke puskesmas diberikan antibiotik, antinyeri pasien lupa nama
17
Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama 4 bulan yang lalu selama 5 hari.
Pasien tidak memiliki riwayat BAB berdarah. Nyeri BAK tidak ada, BAK sering
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.
- Pasien seorang petani, dan tidak memiliki riwayat kurang makan sayur dan buah.
- Riwayat kebiasaan: merokok (-) minum alkohol (-) penyalahgunaan obat (-)
Kesadaran : Komposmentis
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36.4C
18
Jantung
Perkusi, atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial LMCS RIC IV)
Paru
Perkusi, sonor
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di perut kanan bawah
Hyperestesia (+)
Perkusi : tympani
19
3.4.1 Laboratorium
3.4.2 USG : tidak tampak gambaran apendisitis akut, dan kemungkinan diagnosis
3.5 Diagnosis
3.6 Penatalaksanaan
- Informed consent
- Puasa
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Injeksi cefotaxim 2 x1 gr
- Konsul Anestesi
20
Follow up
8/6/17
S/ pasien mengeluhan nyeri di perut kanan bawah. Mual masih terasa, nafsu makan menurun.
Intake toleranisi buruk. Mual (+) Muntah (+), diare (-), demam (-)
P/ IVFD RL 8 jam/kolf
- Injeksi cefotaxim 2 x1 gr
9/6/17
S/ Nyeri perut kanan bawah berkurang. Mual masih terasa, nafsu makan menurun.
Intake toleranisi buruk. Mual (+) Muntah (-), diare (-), demam (-)
P/ IVFD RL 8 jam/kolf
- Injeksi cefotaxim 2 x1 gr
21
BAB 4
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun masuk IGD RSUD Prof. Dr. MA. Hanafiah SM
Batusangkar pada tanggal 7-juni 2017 dengan keluhan utama Nyeri perut bawah kanan yang
menetap sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Diagnosis pada pasien ini ditegakan
Keluhan nyeri perut kanan bawah ini disertai dengan, mual dan penurunan nafsu
makan. Kemungkinan diagnosis yang bisa dipikirkan dari gejala pasien saat datang ke IGD
tersebut antara lain penyakit (akut abdomen) yang yang berhubungan dengan organ-organ di
regio perut kanan bawah antara lain: appendisitis akut, Crohn’s disease, gastroentetitis, colic
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengalami diare, tidak ada BAB
berdarah dan tidak demam yang merupakan gejala tersering pada penyakit chron’s pasisen
juga tidak mengeluhkan nyeri pada sendi, konjungtivitis. Gastroentritis juga dapat
disingkirkan dengan tidak adanya riwayat diare dan muntah. Pada kolik ureter terdapat nyeri
yang khas yaitu nyeri di pinggang yang menjalar hingga ke testis, pada pasien tidak terdapat
penjalaran nyeri seperti pada kolik ureter. Nyeri kolik tidak meningkat dengan pergerakan
sehingga penderita sering gelisah sampai berguling-guling di tempat tidur, pada pasien tidak
mengeluhkan nyeri kolik, pasien lebih tenang dan nyeri bertambah oleh pergerakan. Pada
pasien nyeri ketok dan tekan CVA negatif dan tidak terdapat nyeri pinggang daerah sudut
costovertebra, yang kondisi ini terjadi pada batu ginjal. Buang air kecil juga tidak dirasakan
nyeri, frekuensi tidak sering dan tidak ada nyeri pada bagian suprapubis, sehingga tidak
memungkinkan diagnosis vesicolitiasis Diverticulitis kolon pada bagian perut kanan bawah
juga mirip dengan nyeri apendisitis, pada diverticulitis kolon terdapat gejala lain yaitu, mual,
22
muntah, kembung dan konstipasi. Limfadenitis mesentrika biasanya didahulu oleh
akut yang merupakan akut abdomen sering terjadi pada usia muda. Gejala yang ditimbulkan
pertama kali adalah nyeri perut kanan bawah yang diawali disekitar umbilikus atau
epigastrium yang kemudian menjalar ke titik Mc Burney di sepertiga lateral garis yang
menguhubungkan Spina Ischiadika Anterior Superior Dextra dan umbilikus. Hal ini sesuai
didukung oleh adanya faktor pencetus berupa hiperplasia limfoid dan obstruksi lumen
apendix oleh berbagai sebab seperti fekalit, infestasi cacing, dan lain-lain. Obstruksi yang
terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi mucus akhirnya meningkatkan
tekanan intralumen. Peningkatan tekanan intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe,
sehingga terjadi edem mukosa, submukosa, serosa hingga peritoneum visceral. Selama masa ini
terjadi nyeri visceral di periumbilikal yang disertai mual, muntah. Nyeri pada perut kanan bawah
terjadi 6-8 jam kemudian, Nyeri ini terjadi akibat inflamasi yang progresif hingga mengenai
peritoneum parietal. Lokasi nyeri umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral
dari garis khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus.
Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya nyeri tekan di titik
McBurney. Adanya nyeri tekan di titik McBurney menunjukkan bahwa pasien mengalami
apendisitis akut. Selain itu juga ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing Sign) dan nyeri saat dilepaskan
(Blumberg Sign), adanya Rovsing Sign dan Blumberg dapat membantu menegakkan
diagnosis apendisitis akut. Pada pemeriksaan lain yaitu Psoas Sign dan Obturator Sign,
23
keduanya positif ditemukan pada pasien. Hal ini dapat membantu memperkirakan
kemunkinan letak appendix retrosekal. Pasien juga mengeluhkan nyeri bila tersentuh pada
pemeriksaan USG tidak tampak gambaran apendisitis akut, dan kemungkinan diagnosis
apendisitis kronik belum dapat disingkirkan. Dari anamnesis pasien sudah mengelukan nyeri
perut nyeri perut 15 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri menetap selama 22 hari ini dan
nyeri berkurang bila diberi obat antinyeri. Nyeri perut pada apendisitis kronik merupakan
nyeri perut kanan bawah yang dirasakan lebih dari 3 minggu, hal ini sessuai dengan kondisi
pasien. Gejala pada apendisitis kronis ini dengan nyeri lebih ringan dari akut namun
berlangsung lebih lama pada lokasi yang sama, muntah jarang terjadi namun mual dan
Berdasarkan ulasan tersebut, apendisitis kronik lebih mungkin terjadi pada kondisi pasien
saat ini.
Apendiks yang meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jringan
parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya, perlengketan ini menimbulkan keluhan
yang berulang di perut kanan bawah, suatu saat organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan dengan eskaserbasi akut. Pada pasien ditegakan terjadi Apendisitis Kronik
Eksaserbasi akut. Karena klinis pasien menunjukan keadaan akut dengan nyeri tekan (+),
Pada pasien apendisitis , terapi utama yang direncakan adalah Apendektomi sesegera
mungkin. Pada penanganan kasus pasien ini, sudah dilakukan dengan benar karena
komplikasi post-operasi seperti infeksi luka dan pembentukan abses intraabdomen. Metode
24
operasi yang digunakan adalah insisi Mc Burney yang merupakan patognomik letak appendix
pada umumnya.
Untuk persiapan operasi, pada pasien diberikan analgetik dan antibiotik sprektum
luas. Ketorolac 3x30 mg ternyata telah berhasil mengurangi rasa nyeri pada pasien.
Antibiotik yang diberikan pada pasien sudah dilakukan dengan cukup tepat yaitu golongan
Cephalosporin (cefotaxim), antibiotika spektrum luas, terutama terhadap gram negatif yang
memang dikaitkan dengan infeksi pada apendisitis akut terkait flora normal kolon.
Penanganan apendisitis tetap mengacu pada antibiotik yang lebih umum digunakan terlebih
dahulu untuk mengurangi kejadian resistensi antibiotik. Injeksi Cefotaxim diberikan pre dan
post operasi dengan dosis 2x1 gr IV. Terapi cairan pada pasien ini dilakukan seperti biasa
karena tidak ada tanda-tanda gangguan sirkulasi yaitu pemberian Intravena Fluid Drip Ringer
Laktat. Terapi cairan juga diberikan karena pasien akan menjalani operasi segera sehingga
untuk memperatahankan hemodinamika pasien serta sebagai akses untuk memasukkan obat
25
Daftar Pustaka
1. Putz R Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2010.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;2011. hal
755-64.
3. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ. 2007. 333:540-34.
4. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed. Blackwell
Publishing; 2006. H. 123-27.
6. Morris PJ, Wood WC. Oxford’s Textbook of Surgery. 2nd ed. Oxford. eBook.
7. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery. 26th edition. London: Edward Arnold. 2013. p. 1199-1215.
8. Grace PA, Borley NR. Surgery at a Glance. 2nd edition. Victoria: Blackwell Science.
2002. p. 28
26