Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

Trauma tumpul Abdomen yang dapat mencederai organ-organ intra


abdominal merupakan suatu masalah serius dan memerlukan penanganan segera
khususnya di Instalasi Gawat Darurat. Faktor kecepatan dan ketepatan diagnosis
memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan. Keterlambatan suatu
diagnosis dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Pada trauma tumpul abdomen dengan cedera organ akan menyebabkan
terjadinya perdarahan (hemoperitoneum) atau rupture pada organ berongga
(perforasi saluran cerna) baik dengan hemodinamik stabil maupun tidak stabil.
Untuk mendiagnosa keadaan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode
diagnostik penunjang seperti : DPL, CT scan abdomen, USG “FAST” (Focused
Assesement Sonography for Trauma), atau Laparatomi. Dimana metode-metode
ini mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan
trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi
yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang
penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang berhubungan dengan
cidera tusuk
Ultrasonografi (US) merupakan salah satu alat diagnostik yang hampir
selalu ada di semua Rumah Sakit namun pemanfaatannya belum menjangkau pada
pemeriksaan pasien trauma tumpul abdomen secara langsung di UGD pada saat
pasien datang. FAST (Focused Assessment Sonography for Trauma) adalah teknik
penggunaan Ultrasonografi (US) pada kasus trauma abdomen dengan menilai
adanya cairan bebas pada ruang potensial pada abdomen, yaitu Morisson’s pouch/
Hepatorenal recess, splenorenal recess, paracolic gutter, perivesical space atau
kavum Dauglas pada wanita, dan termasuk pericardium. Selain itu juga dapat
menilai adanya laserasi dari organ-organ solid abdomen.
2

Kita ketahui bahwa keunggulan dari US yaitu metode imejing bedside


yang cepat yang dapat diintegrasikan dalam resusitasi, serta US bersifat non-
ionisasi dan tidak menggunakan kontras nefrotoksik sehingga merupakan
prosedur tindakan yang aman.
Namun, US mempunyai keterbatasan antara lain dalam prosedur
pemeriksaan, yaitu dari faktor pengalaman pemeriksa/operator, faktor kondisi
pasien, pasien terlalu gemuk, emfisema subkutis atau banyak udara usus pada
lapangan abdomen yang akan diobservasi, dan pasien yang tidak sadar sehingga
sulit diposisikan. Selain itu, penggunaan US semata tidak direkomendasikan
untuk menentukan grading cedera organ solid intraabdomen.
Untuk mengurangi penggunaan modalitas imejing yang kurang tepat dan
meningkatkan efektivitas waktu yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
adanya cedera organ pada trauma tumpul abdomen, diperlukan algoritma yang
sistematis yang disesuaikan dengan kondisi hemodinamik dan faktor prediktor
cedera pasien tersebut.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Trauma Tumpul Abdomen


Definisi trauma tumpul abdomen adalah suatu trauma pada abdomen oleh
karena benda tumpul yang didasarkan hasil autoanamnesa atu alloanamnesa baik
adanya jejas maupun tanpa jejas, tetapi didapatkan tanda klinis berupa rasa
ketidaknyamanan sampai rasa nyeri pada abdomen oleh karena perlukaan atau
kerusaan organ dalam abdomen. Istilah yang sering dipakai di dalam buku ilmiah
yaitu “Blunt Abdominal Trauma”.
Trauma tumpul abdomen sering disertai cedera intra abdomen baik dengan
hemodinamik stabil maupun tidak stabil. Trauma tumpul abdomen dengan
hemodinamik tidak stabil atau dengan tanda-tanda peritonitis generalisata, dan
jelas tanda hemoperitoneum, dapat langsung dilakukan laparatomi eksplorasi.
Sedangkan pada trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil tanpa
disertai adanya tanda-tanda peritonitis, maka harus ditentukan apakah ada cedera
intra abdomen atau tidak.

Trauma Hepar
A. Etiologi
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cidera, baik trauma tumpul penetrasi dapat menyebabkan
cidera. Trauma hepatik dapat menyebabkan kehilangan banyak darah
kedalam peritoneum.
Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien
dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi
cidera tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi
berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih
besar dari insiden yang berhubungan dengan cidera tusuk.

B. Patomekanisme
Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi
trauma tajam dan trauma tumpul. Mekanisme yang menimbulkan
kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek kompresi dan deselerasi.
4

Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui


diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar.
Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus
hepar satu sama lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-
vena hepatik. Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata tajam atau oleh
peluru. Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma,
penyebab, kekuatan, dan arah trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih
besar dan letaknya lebih dekat pada tulang costa, maka lobus kanan hepar
lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar trauma
hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini
dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang
belakang atau dinding posterior abdomen. Adanya trauma tumpul langsung
pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah kanan bawah dari tulang
costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada permukaan
superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup
biasanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau
bokong yang pertama kali mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek
pecahan pada penampang sagital hepar dan kadang-kadang terjadi
pemisahan fragmen hepar.
Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti :
I. Subcapsular atau intrahepatic hematom,
II. Laserasi,
III. Kerusakan pembuluh darah hepar, dan

IV. Perlukaan saluran empedu. Saat ruptur hepar mengenai kapsul


Glissoni maka akan terjadi ekstravasasi darah dan empedu ke
dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan
darah di antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada
permukaan superior dari hepar. Ruptur sentral meliputi
kerusakan parenkim hepar.
5

American Association for the Surgery (AAST) telah mengklasifikasikan


luka trauma hati sebagai berikut :
1. Grade I : Hematoma: subkapsular <10% luas permukaan; laserasi:
robekan kapsular <1 cm kedalaman parenkim.
2. Grade II : Hematoma: permukaan subkapsular 10-50%; diameter
intraparenchymal <10 cm; laserasi: robekan kapsular 1-3 cm kedalaman
parenkim, <10 cm.
3. Grade III : Hematoma: subkapsular> 50% luas permukaan hematoma
kolaps subcapsular atau parenkim; hematoma intraparenkimal> 10 cm atau
meluas; laserasi:> kedalaman 3 cm parenkim.
4. Grade IV : Laserasi: gangguan parenkim yang melibatkan 25-75% lobus
hepar atau 1-3 segmen Couinaud.
5. Grade V : Laserasi: gangguan parenkim yang melibatkan> 75% lobus
hepar atau> 3 segmen Couinaud dalam satu lobus; vaskular: cedera vena
juxtahepatic (yaitu vena cava retrohepatic / vena hepatika utama).
6. Grade VI : Avulsi hati.

World Society of Emergency Surgery (WSES) telah menyajikan klasifikasi


berikut dengan menggunakan sistem penilaian AAST :
1. Grade I (cedera hati minor): AAST grade I-II hemodinamik stabil baik
lendir tumpul atau menembus.
2. Grade II (cedera hati moderat): AAST grade III hemodinamik stabil baik
lepuh tumpul atau menembus.
3. Grade III (cedera hati berat): AAST grade IV-VI hemodinamik stabil baik
lendir tumpul atau menembus.
4. Grade IV (cedera hati berat): AAST grade I-VI hemodinamik tidak stabil
baik yang menumpulkan atau menembus lesi.

Sebelum penggunaan luas Ultrasonografi dan Computed Tomography


(CT) telah meningkatkan pendekatan diagnostik yang akurat untuk pasien dengan
kecurigaan perlukaan abdominal dan pelvis dan telah menggantikan Peritoneal
Lavage dalam pendekatan diagnostik trauma tumpul abdomen.
6

US juga banyak diterima sebagai modalitas pertama dalam menilai


radiologis dalam menentukan perlunya eksplorasi bedah pada pasien terindikasi
perdarahan intraperitoneal yang tidak stabil secara hemodinamik. Di beberapa
center trauma dilaporkan tentang sensitifitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan
US baik sebagai sarana diagnostik inisial trauma tumpul abdomen di TRIAGE
maupun sebagai alat monitor di area resusitasi.
Penggunaan US pada trauma tumpul abdomen terutama untuk mendeteksi
adanya hemoperitoneum dan ini dilakukan berkaitan dengan didapatkannya hasil
sensitifitas yang tinggi pada berbagai penelitian. “FAST” telah dikembangkan
sebagai protokol di berbagai center trauma, pemeriksaan US bergerak (driven
ultrasound) bertujuan untuk mendeteksi dini adanya hemoperitoneum dan
hemopericardium dan manfaatnya ialah telah banyak dilaporkan.
Hampir semua penelitian tentang “FAST” mendapatkan hasil sensitifitas,
spesifisitas, dan akurasi yang tinggi, tingkat akurasi yang tinggi tergantung pada
praktisi mana yang melakukannya baik oleh seorang ahli bedah, dokter
emergency, teknisi USG, maupun ahli radiologi semua mendapatkan hasil yang
hampir sama.

Tabel 1. perbandingan berbagai metode diagnostik untuk mengevaluasi trauma tumpul

abdomen.
Perbandingan berbagai Metode Diagnostik untuk mengevaluasi Trauma tumpul dan Tajam Abdomen
Test Waktu Kelebihan Kekurangan Sens/spes % penulis kegunaan
Cepat, sangat Invasif, 97/99. tt Alyono Sensitif untuk
sensitive, alat keliru jika 85/93. Tj Alyono keduanya, tidak
yang cedera retro 99/43. Tj Oreskovi spesifik,
5-15
DPL dibutuhkan peritoneal, 99/86. Tj ch sens,spes sangat
menit
sedikit, dapat diafragma 100/84. Tt Merlotti tergantung pada
dilakukan 96,9/88,1 tt Liu kriteria hitung
dimana saja Arsiyanto sel yang dipakai.
CT- 30-50 Sangat spesifik Tak dapat 85/100. Tt Fabian Sens/spes baik
Abdomen menit dengan sens digunakan 99/100. Tt Peitzman pada trauma
yang baik pada 97/95. Tt Liu tumpul dan juga
untuk evaluasi sebagian pada
cedera besar kebanyakan
retroperitoneal trauma trauma tembus
dapat menilai tembus. post. Tidak
derajat cedera Butuh sensitive untuk
organ untuk waktu dan trauma tembus
NOM transport anterior
pasien. Bisa
keliru pda
7

cedera
tumpul usus,
operator
dependen
Cepat , Tidak dapat 92/95 Liu Sensitif dengan
sensitive untuk digunakan 83/100 McKenne temuan klinik
hemoperitoneu pada trauma 95/95 y yang signifikan
m oleh yang tembus. 97/97 Yoshii pada trauma
trampil trauma Perlu 82/99 Singh tumpul. Kurang
invasif dan pelatihan Rozycki sensitive pada
USG trauma dan trauma tembus
5-10
Abdomen membutuhkan pengalaman
menit
FAST kontras dapat khusus,
dilakukan sangat
dimana saja tergantung
kepada
operator.
Nonkuantita
tif
Sangat baik Invasif, Sens. Ortega Sensitivitasnya
untuk sensifitasny 88 % Ortega baik pada trauma
mendiagnosa a kurang hepar/lien Ortega tembus
cedera baik pada 83 % Ortega peritoneum,
diafragma, beberapa diafragma Sosa hemoperitoneum
baik untuk cedera. 50 % Ivantury dan cedera
diagnosis. Dibutuhkan Pangkreas/li diafragma sens.
Hemoperitone keahlian dan en 25 % Kurang baik
Laparoskopi 20-60 um alat khusus. Organ pada cedera GI
diagnostik menit nonkuantitatif, Nonkuantita berongga dan cedera retro
baik untuk tif dan 100 % peritoneal.
menentukan sangat Peritoneum
cedera tembus tergantung tembus
peritoneal pada pada 18 % cedera
luka tusuk / operator. GI
luka tembak DIbutuhkan
anastesi
umum.

Tabel 2. Perbandingan data berdasarkan perbedaan cara dan teknik pencitraan pada
trauma tumpul abdomen.
8

ULTRASONOGRAFI – FAST
A. Definisi
Ultrasonografi (US) pertama kali digunakan pada pasien trauma di
Eropa tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an di Amerika, penggunaan US
pada trauma telah digunakan secara luas dan banyak menggantikan
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) di kebanyakan trauma center.
Pemeriksaan FAST (Focused Assessment Sonography for Trauma) telah
dimasukkan dalam bagian dari Advanced Trauma Life Support sejak tahun
1997.
Tujuan pemeriksaan FAST adalah untuk mendeteksi cairan bebas
intraperitoneal dan pericardial dalam kasus trauma. DPL lebih sensitif
dalam mendeteksi adanya darah intraperitoneal dibanding US (100.000 sel
darah merah/mm3 dianggap positif dengan perbandingan 20 cc dari 1 liter
cairan lavase), namun DPL mempunyai kelemahan yaitu bersifat invasif
yang dapat mempunyai komplikasi pada pasien hamil, pembedahan
sebelumnya, dan operator yang kurang berpengalaman, serta tidak sensitif
untuk trauma yang melibatkan organ retroperitoneal. Dibanding DPL, US
merupakan pemeriksaan yang murah, cepat dan dapat diulang, seta
mempunyai spesifisitas lebih tinggi untuk laparotomi terapeutik. US dapat
mendeteksi minimal 250 mL cairan bebas Morisson’s pouch. Sensitifitas
FAST untuk mendeteksi cairan bebas intraperitoneal dari berbagai
penelitian adalah 64-98%, sedangkan spesifisitasnya 86-100%. Variasi
yang besar dalam hasil tersebut disebabkan adanya perbedaan tingkat
pengalaman operator (sonografer berpengalaman, ahli radiologi, ahli
bedah dan residen) dan standar referensi yang digunakan. Walaupun FAST
umumnya digunakan untuk metode imejing diagnostik pada pasien dengan
trauma abdomen, namun diagnosis cedera organ solid abdomen sangat
terbatas. Kecepatan sangat penting karena jika perdarahan intraabdominal
ada, probabilitas kematian akan meningkat sekitar 1% tiap 3 menit
penundaan dilakukannya intervensi. Tempat akumulasi cairan jika ada
cedera organ solid, adalah : Hepatorenal recess (Morisson’s pouch),
9

Splenorenal recess, Paracolic gutter, Retrovesical pouch (pada pria) dan


Pouch of Dauglas (pada wanita). Ultrasonografi FAST juga dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya cedera pada jantung dan pericardium,
namun kurang tepat untuk mendeteksi cedera usus, mesenterium, dan
vesika urinaria, dimana CT merupakan modalitas yang tepat.
Keuntungan FAST yang paling penting yaitu US merupakan
metode imejing bedside yang cepat dan dapat diintegrasikan dalam
resusitasi. Kemampuan ini sangat membantu terutama pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil dimana ahli bedah traumatologi dapat
membuat keputusan klinikyang cepat. Sebagai tambahan, US bersifat non-
ionisasi dan tidak menggunakan kontras nefrotoksik sehingga merupakan
prosedur tindakan yang aman. DPL juga memiliki peranan dalam
diagnosis trauma abdomen pada pasien hemodinamik yang tidak stabil
yang tidak dapat dimobilisasi ke scanner CT, namun tidak banyak
dilakukan lagi karena prosedur invasif memiliki angka kekerapan terjadi
komplikasi antara 0,6-2,3% dan dikontraindikasikan pada pasien post-
surgical, terlalu gemuk, atau sedang hamil, serta memakan waktu.

B. Teknik Pemeriksaan
1. Posisi pasien
Posisi pasien sebaiknya diperiksa dalam posisi supine. Posisi lain
(Trendelenburg, dan dekubitus) dapat memfasilitasi penyatuan cairan di
daerah tergantung, sehingga berpotensi meningkatkan hasil deteksi, dan
harus dipertimbangkan jika izin skenario klinis.

2. Transduser (Probe)
Pemilihan Probe tergantung pada ukuran pasien. Untuk orang
dewasa yang khas, penetrasi gelombang suara harus minimal 20 cm, oleh
karena itu digunakan 2,5-5 MHz, bentuk melengkung pada Probe ini
memungkinkan medan pandang jauh lebih luas tetapi memiliki resolusi
yang terbatas. Pada pasien anak, Probe curvilinier dengan frekuensi tinggi
memiliki resolusi yang lebih baik dan masih dapat menghasilkan
gelombang suara dengan penetrasi kedalaman yang memadai.
10

Gambar 1. Jenis Transuder / Probe

C. Daerah Pemeriksaan
FAST scan terdiri dari 6 posisi dasar dalam mendeteksi ada atau
tidaknya cairan pada rongga peritoneum dan pericardium. Mampu
mendeteksi lebih dari 100-250 ml cairan bebas. CT scan sebagai
pembandingnya mampu mendeteksi lebih dari kira-kira 100 ml cairan
bebas dalam rongga abdomen. Untuk mencari cairan abnormal
“transduser” ditempatkan pada :
1. Subcostal atau Subxiphoid
2. Right Upper Quadrant (kuadran kanan atas)
3. Left Upper Quadrant (kuadran kiri atas)
4. Right lateral (Paracolic gutter)
5. Left lateral (Paracolic gutter)
6. Regio Pelvis
11

Gambar 2. Daerah pemeriksaan FAST pada abdomen


12

Gambar 3. Regio abdomen pada pemeriksaan FAST dan


Posisi Transduser pada Pemeriksaan dasar FAST

FAST view pada abdomen


1. Right Upper Quadrant view (Kuadran kanan atas) menilai
Hepatorenal recess ( Morisson’s pouch )
Pasien diposisikan dalam keadaan supine. Probe diposisikan di
garis axilaris anterior kanan pada intercosta 7-9, posisi probe marker
kearah kepala, sagital terhadap tubuh. Tampilannya harus menunjukkan
hati, ginjal dan diafragma. Hepatorenal recess (Morisson’s pouch) adalah
ruang potensial yang terletak d kuadran kanan atas diantara kapsul Glisson
dari hepar dan fascia Gerota dari ginjal kanan. Dalam keadaan normal,
tidak terdapat cairan diantara organ tersebut, dan fascia tampak sebagai
garis hiperekhoik yang memisahkan hepar dan ginjal.
13

Gambar 4. US FAST Normal pada Hepatorenal recess (Morisson’s pouch) pada kuadran kanan
atas.

Gambar 5. US FAST Abnormal pada Hepatorenal recess: adanya celah berwarna hitam
yang berada diantara dua organ menunjukkan adanya cairan bebas dalam rongga
peritoneum.
14

2. Left Upper Quadrant view (Kuadran Kiri Atas) menilai Splenorenal


recess
Pasien diposisikan dalam keadaan supine. Probe diposisikan di
garis aksilaris anterior kiri pada intercosta 10 dan 11 bidang sagital
terhadap tubuh untuk melihat splenorenal recess, marker ke arah kepala.
Tampilannya harus menunjukkan limpa, ginjal dan diafragma. Probe
diputar untuk mendapatkan tampilan longitudinal dan menunjukkan
adanya suatu cairan antara limpa dan ginjal. Pandangan ini dapat dirusak
oleh proyeksi dari bayangan akustik di atas gambaran dari costa.
Splenorenal recess adalah ruang potensial di kuadran kiri atas
abdomen antara Spleen dengan facia Gerota’s dari Renal kiri. Normalnya
tidak terdapat cairan bebas, dan fascia tampak sebagai garis hiperekhoik
yang memisahkan kedua organ.

Gambar 6. US FAST Normal pada Splenorenal recess pada kuadran kiri atas.
15

Gambar 7. US FAST Abnormal pada Saplenorenal recess : Adanya bercak


kehitaman diantara dua organ menunjukkan adanya cairan bebas di dalam
rongga peritoneum. Cedera pada organ terkadang dapat terlihat.

3. Paracolic Gutter view


Paracolic gutter kanan terbentang dari Morisson’s pouch sampai ke
pelvis. Sedangkan paracolic gutter kiri tidak sedalam yang kanan, dan
ligamentum phrenocolic menghambat pergerakan cairan ke paracolic gutter
kiri, sehingga mengalir secara bebas ke kanan.

Gambar 8. Paracolic gutter kanan, tampak adanya bayangan berwarna


gelap yang diduga adanya cairan bebas.
16

4. Suprapubik view menilai Pelvis


Pasien diposisikan dalam keadaan supine. Probe ditempatkan
longitudinal di garis tengah abdomen sekitar 4 cm dari simfisis pubis dan
mengarah ke bawah kesudut panggul . Tampilan USG menunjukkan
kandung kemih. Probe ini kemudian diputar 90 derajat untuk
memindahkan tampilan pada posisi sagital yang mana memberikan
pandangan dari rektum, kandung kemih dan cavum Dauglass.
Retrovesical pouch erbentuk dari lipatan peritoneum dari rektum
ke vesika urinaria (laki-laki), sedangkan pouch of Dauglas adalah kantung
yang terbentuk dari lipatan peritoneum dari rektum ke dinding belakang
uterus (wanita).

Gambar 9. US FAST Pelvis normal


17

Gambar 10. US FAST pelvis Abnormal : adanya cairan pada Cavum Dauglass

5. Subkostal view menilai Pericardium


Pasien dalam posisi supine, pemeriksaan dilakukan dari sisi kanan
pasien. Transduser yang ditempatkan di daerah subxiphoid pada thorax
dengan berkas pancaran USG memproyeksikan pada bidang koronal.
Sedikit agak menekan terhadap dinding abdomen dengan seluruh
transduser mungkin diperlukan untuk mengarahkan berkas pancaran
retrosternally untuk mendapatkan gambar. Ini menunjukkan gambaran
pergerakan jantung, dalam 4 tampilan ruang. Jantung mudah dikenali,
karena geraknya yang karakteristik. Jantung akan dikelilingi oleh lapisan
echogenic perikardium.
18

Gambar 11. FAST Subcostal Normal

Gambar 12. FAST Subcostal Abnormal : tampak adanya celah hitam di berada diantara
lapisan dinding jantung yang diduga cairan dalam kantung pericardial.
19

D. Keunggulan Pemeriksaan USG FAST


1. Pemeriksaan USG bisa dikerjakan oleh dokter “emergency” maupun
residen bedah.
2. Pemeriksaan cepat hanya berkisar 2 menit.
3. Tidak mahal, non-invasif, dan sangat portabel.
4. Bersifat non-ionisasi dan tidak menggunakan kontras.
5. Dapat menilai toraks, dan rongga retro peritoneal disamping rongga
peritoneum.
6. Pemeriksaan serial dapat mendeteksi perdarahan yang terus
berlangsung dan meningkatkan ketepatan diagnostik.

E. Kekurangan Pemeriksaan USG


1. Untuk mendapatkan hasil positif diperlukan cairan intraperitoneal
minimal 70 cc dibandingkan DPL yang hanya 20 cc.
2. Akurasinya tergantung pada kemampuan operator atau pembaca hasil
dan turun akurasinya bila pernah operasi abdomen.
3. Secara teknik sulit pada pasien yang tidak suportif/ gelisah, pada
pasien yang terlalu gemuk atau adanya emfisema subkutis yang masif,
dan pada pasien dengan kehamilan dari trimester 3.
4. Sensitifitasnya rendah untuk perforasi usus halus dan cedera pancreas.
5. Tidak dapat mendeteksi secara langsung adanya perdarahan aktif dan
asal perdarahan tersebut.
6. Meskipun bekuan darah memberikan gambaran yang khas, tapi FAST
tidak dapat dengan tepat menentukan jenis cairan bebas intraperitoneal.

F. Algoritma Pada Trauma Tumpul Abdomen


FAST merupakan teknik yang dilakukan pada kondisi emergensi
untuk mempersempit target organ yang akan dievaluasi sehingga waktu
pemeriksaan lebih efektif. FAST tidak ditujukan untuk menentukan
grading cedera organ solid intraabdomen, namun hanya untuk
mendiagnosis adanya cedera organ tersebut dari tanda langsung yaitu
adanya laserasi organ solid, maupun tanda tidak langsung yaitu adanya
cairan bebas pada ruang potensial rongga abdomen dan retroperitoneal.
Berikut adalah algoritma imejing yang diajukan dalam diagnosis
trauma tumpul abdomen yang disesuaikan dengan kondisi pasien pada saat
admisi ke emergensi, dan bila fasilitas MDCT tidak terintegrasi dalam
ruang emergensi.
20

Gambar 13. Algoritma Trauma Tumpul Abdomen

Algoritma yang diusulkan bila fasilitas CT/MDCT tidak


terintegrasi dalam ruang emergensi untuk pasien dengan trauma tumpul
abdomen.
Pasien dengan hemodinamik tidak stabil dilakukan skrining dengan
US bersamaan resusitasi. Jika temuan US/FAST positif dan hemodinamik
pasien dapat distabilkan, maka CT dapat dilakukan. Jika temuan US/FAST
positif dan hemodinamik pasien tidak dapat distabilkan, maka Laparatomi
eksplorasif harus segera dilakukan. Jika FAST negatif, maka harus dicari
kemungkinan lain selain cedera abdomen.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil yang diketahui adanya
faktor prediktor yaitu hematuria dan/atau fraktur tulang aksial dan juga
pasien tidak sadar atau dalam anestesi dimana pemeriksaan fisik tidak
dapat dipercaya atau harus segera dilakukan pemeriksaan CT-scanning.
Sedangkan pasien dengan tidak ada resiko tinggi atau pasien sadar dan
21

dapat dilakukan pemeriksaan fisik bisa dilakukan skrining dengan US


dahulu.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur
kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda
1. Syok,
2. Iritasi peritoneum dan
3. Nyeri pada epigastrium kanan.
22

Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu :


1. Hipotensi, takikardi,
2. Penurunan jumlah urine,
3. Tekanan vena sentral yang rendah, dan
4. Adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hepar.
Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran
saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai
mual dan muntah.

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti
dengan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan
leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hepar akibat
trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah
menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hepar, meskipun juga dapat
disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hepar
lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari
ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma.

2. Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan
CT scan, terutama CT scan dengan kontras, akurat dalam
melokalisasi situs dan tingkat kerusakan hati dan trauma yang terkait,
memberikan informasi penting untuk pengobatan pada pasien.
Pemindaian CT spiral adalah teknik pemindaian yang lebih
disukai, jika tersedia. Pemindaian CT multidetektor-baris menawarkan
keuntungan lebih lanjut dari waktu pemindaian cepat (memungkinkan
pemindaian selama fase tertentu peningkatan kontras intravena) dan
perolehan bagian tipis di atas area yang luas (memungkinkan rekonstruksi
multiplanar berkualitas tinggi).
23

CT scan tanpa peningkatan kontras intravena adalah nilai yang


terbatas pada trauma hepatik, tetapi dapat berguna dalam mengidentifikasi
atau menindaklanjuti hemoperitoneum. CT scan dapat digunakan untuk
memantau penyembuhan. Trauma ke hati dapat menyebabkan hematoma
subkapsular atau intrahepatik, kontusio, cedera vaskular, atau gangguan
empedu.

Kriteria CT scan untuk pementasan trauma hati berdasarkan skala


cedera hati AAST meliputi hal-hal berikut:

a. Grade I - Hematoma subkapsular kurang dari 1 cm pada ketebalan


maksimal, avulsi kapsuler, laserasi parenkim superfisial kurang dari 1
cm, dan pelacakan darah periportal terisolasi
24

Gambar 14. Cedera hati tingkat 1 pada pria 21 tahun dengan cedera tikaman pada
kuadran kanan atas perut. Axial, kontras-enhanced computed tomography (CT) scan
menunjukkan hematom subkapsular dan parenkim kecil berbentuk bulan sabit kurang
dari 1 cm.
25

Gambar 15. Cedera hati tingkat 1 pada pria 21 tahun dengan cedera tikaman pada kuadran
kanan atas perut. Diagram CT scan pada gambar sebelumnya.
b. Grade 2 - Laserasi parenkim kedalaman 1-3 cm dan hematom
parenkim / subkapsular setebal 1-3 cm

Gambar 16. Seorang pria berusia 20 tahun dengan lupus eritematosus sistemik, mengalami
kerusakan hati tingkat 2 setelah trauma abdomen kecil tumpul. Scan CT aksial nonselor pada
level vena hepatika menunjukkan hematoma subkapsular setebal 3 cm.
26

Gambar 17. Seorang pria berusia 20 tahun dengan lupus eritematosus sistemik, mengalami
kerusakan hati tingkat 2 setelah trauma abdomen kecil tumpul. Diagram CT scan pada gambar
sebelumnya.

c. Grade 3 - Laserasi parenkim lebih dari 3 cm kedalaman dan


hematoma parenkim atau subkapsular lebih dari 3 cm

Gambar 18. Grade 3 cedera hati pada wanita berusia 22 tahun setelah trauma tumpul perut. CT
scan aksial ditingkatkan-kontras melalui perut bagian atas menunjukkan hematom subdapsular 4-
cm yang berhubungan dengan hematoma parenkim dan laserasi pada segmen 6 dan 7 dari lobus
kanan hati. Cairan bebas terlihat di sekitar limpa dan lobus kiri dari hati yang konsisten dengan
hemoperitoneum.
27

Gambar 19. Grade 3 cedera hati pada wanita berusia 22 tahun setelah trauma tumpul perut.
Diagram CT scan pada gambar sebelumnya.
d. Grade 4 - Hematoma parenkim / subkapsular berdiameter lebih dari
10 cm, destruksi lobar, atau devascularization (lihat gambar di bawah)

Gambar 20. Gambar diperoleh di tukang pukul laki-laki berusia 35 tahun setelah cedera perut
tumpul. Scan CT aksial non-formal dari perut menunjukkan hematom subkapsular besar
berukuran lebih dari 10 cm. Area yang melemahkan tinggi di dalam lesi melambangkan
darah. Cedera itu diklasifikasikan sebagai kerusakan hati kelas 4.
28

Gambar 21. Gambar dalam bouncer laki-laki 35 tahun setelah cedera perut tumpul (pasien yang
sama seperti pada gambar sebelumnya).

e. Grade 5 - Penghancuran global atau devaskularisasi hati

Gambar 22. Cedera kelas 5 pada pria berusia 36 tahun yang terlibat dalam kecelakaan
kendaraan bermotor menunjukkan cedera global pada hati. Pendarahan dari hati dikontrol
dengan menggunakan Gelfoam.
29

Gambar 22. Cedera kelas 5 pada pria 36 tahun yang terlibat dalam kecelakaan kendaraan
bermotor. Diagram CT scan pada gambar sebelumnya.

ULTRASONOGRAFI
Ultrasonogram dapat menunjukkan sejumlah lesi traumatik, seperti hematoma,
kontusio, bilomas, dan hemoperitoneum.
30

Gambar 29. Sonogram hati pada wanita 62 tahun dengan riwayat biopsi hati baru-baru
ini. Pemindaian menunjukkan koleksi anechoic yang ditemukan di hati; apakah temuan ini
merupakan biloma atau hematoma tidak jelas pada pemindaian ini.

Gambar 30. Sonogram perut pada laki-laki yang berusia 35 tahun setelah cedera tumpul pada
perut menunjukkan koleksi hyperechoic berbentuk bulan sabit sepanjang aspek lateral kanan dari
hati yang konsisten dengan hematoma subcapsular.

KESIMPULAN

Telah jelas bahwa USG memandu penilaian trauma dengan cepat, menjadi
suatu standar perawatan dan telah diterima secara internasional di bagian
Kegawatdaruratan. Untuk melakukan pemeriksaan FAST dapat dilakukan oleh
dokter IGD atau ahli Bedah, dengan penilaian pasien cepat, akurat, dan alatnya
murah, dan yang dapat dengan mudah diintegrasikan ke jalur trauma saat ini.
Teknik ini mudah dipelajari dan telah dibuktikan, di tangan yang tepat, untuk
menjadi sensitif dan spesifik untuk menilai adanya cairan bebas intraperitoneal.
Seperti halnya modalitas pencitraan, USG memiliki keterbatasan sendiri, dan
perlu pelatihan yang adekuat dan pengawasan mutu adalah sangat penting. USG
pada bidang kegawatdaruratan memiliki potensi untuk secara signifikan
meningkatkan pemberian perawatan pada pasien dengan trauma, tumpul dan
menyelamatkan banyak nyawa dengan melakukannya.
31

American Association for the Surgery (AAST) telah mengklasifikasikan


luka trauma hati sebagai berikut : Grade I : Hematoma : subkapsular <10% luas
permukaan; laserasi: robekan kapsular <1 cm kedalaman parenkim. Grade II :
Hematoma : permukaan subkapsular 10-50%; diameter intraparenchymal <10
cm; laserasi : robekan kapsular 1-3 cm kedalaman parenkim, <10 cm. Grade III :
Hematoma : subkapsular> 50% luas permukaan hematoma kolaps subcapsular
atau parenkim; hematoma intraparenkimal> 10 cm atau meluas; laserasi:>
kedalaman 3 cm parenkim. Grade IV : Laserasi: gangguan parenkim yang
melibatkan 25-75% lobus hepar atau 1-3 segmen Couinaud. Grade V : Laserasi :
gangguan parenkim yang melibatkan> 75% lobus hepar atau> 3 segmen Couinaud
dalam satu lobus; vaskular: cedera vena juxtahepatic (yaitu vena cava retrohepatic
/ vena hepatika utama). Grade VI : Avulsi hati.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tua B, Ellus.dr,dkk. Peranan Radiologi pada Trauma Tumpul Abdomen


in : Laporan Kasus Cedera Tumpul Hepar dan Ginjal. PPDSR FK UI,
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. 2009. Jakarta.

2. Logan Peter, Lewis David. Emergency Ultrasound UK : FOCUSED


ASSESSMENT WITH SONOGRAPHY FOR TRAUMA (FAST). 2004.
http//:www.emergencyultrasound.org.uk/resources/EDUC+Pre-
Course+Reading.pdf

3. E.Kenedy. ULTRASONOGRAFI TRAUMA TUMPUL ABDOMEN.


2003. Bag. Ilmu Bedah FK UNDIP/SMF BEDAH.
http//: www.eprints.undip.ac.id/14798/1/2003 FK667.pdf
32

4. McGahan JP, Wang L, Richards JR. From the RSNA Refresher Courses :
Focused Abdominal US fpr Trauma. RadioGraphics 2001; 21: S191- S199.
http//: www.radiographics.rsna.org/

5. McGahan JP, Richards J, Gillen M. The Focused Abdominal Sonography


for Trauma Scan: Pearls and Pitfalls. J Ultrasound Med 2002; 21: 789-800.
http//: www.ultrasoundmed.org/

6. Lingawi SS. FOCUSED ABDOMINAL SONOGRAPHY IN TRAUMA.


Department of Radiology, University Hospital, King Abdulaziz University,
Jeddah, Saudi Arabia. J HK Coll Radi 2001; 4: 222-225
http//: www.222-225Focused.pdf

7. Patel Nirav Y, Riherd Jody M. FOCUSED ASSESSMENT WITH


SONOGRAPHY FOR TRAUMA : Methods, Accuracy, and Indications
http//: www.surgical.theclinics.com
8. Chaundhry CR. FOCUSED ABDOMINAL SONOGRAPHY IN
TRAUMA (FAST)
MJAFI 2007; 63 : 62-63
http//: www.medind.nic.in/maa/t07/i1/maat07i1p62.pdf

9. Ali Nawaz Khan, MBBS, FRCS, FRCP, FRCR. Liver Trauma Imaging.
American Association for the Advancement of Science, American Institute
of Ultrasound in Medicine, British Medical Association, Royal College of
Physicians and Surgeons of the United States, British Society of
Interventional Radiology, Royal College of Physicians, Royal College of
Radiologists, Royal College of Surgeons of England
https://emedicine.medscape.com/article/370508-overview#showall

Anda mungkin juga menyukai