PENDAHULUAN
Latar Belakang
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun.Trauma abdomen penyebab signifikans
morbiditas dan mortalitas pasien. Sekitar 75-78%berupa trauma tumpul dengan kematian sekitar
5-9%. Trauma tembus akibat peluru (80-95%) dengan kematian 5%. Kematian berkaitan dengan
waktu yaitu triple peak death time (mendadak, segera, dan lambat ). Penanganan yang cepat dan
tepat, kondisi pasien praoperasi dan derajat operasi akan mempengaruhi keluaran pasien.1
Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat
tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait.
Pelaksanaan Pembedahan pada trauma abdomen pun biasanya dilakukan dengan pembedahan
darurat, sehingga memerlukan penanganan khusus dalam bidang anestesi karena terdapat
perbedaan mencolok untuk persiapan pre operasi darurat dengan elektif.2
Operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu berhari-hari untuk pemeriksaan klinik
dan laboratorik, serta persiapan operasinya sehingga teknik Anestesi dapat direncakan dalam
keadaan tidak terburu-buru. Jalan dan luasnya operasi sudah dapat direncanakan. Pada bedah
gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan
kepada tugas dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga
harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal dan kondisi anestesi optimal yang dapat
diberikan untuk menunjang intervensi bedah gawat darurat ini.1
Untuk diagnosis yang belum jelas, Ahli Anestesi dapat menyiapkan cara-cara anestesi untuk
kebutuhan bedah. Dengan kata lain waktu untuk operasi elektif terdapat di pihak ahli anestesi.1,5
Penundaan resusitasi dan persiapannya lebih sering menguntungkan, walaupun demikian
penundaan hanya diperbolehkan untuk memperbaiki keadaan penderita. Seperti contoh, jika
terjadi perdarahan masif yang kontinu seperti pada ruptur lien, ketika tranfusi tidak dapat
berlomba dengan kehilangan darah, dan bahkan jika tekanan darah meningkat maka kehilangan
darah dapat meningkat lebih lanjut sehingga lebih baik menghentikan perdarahan organ
pembedahan dan setelah itu baru tranfusikan darah.1,5
Tujuan
Tindakan bedah darurat yang kecil dapat membawa risiko anestesi besar yang tidak terlihat
dengan jelas pada permulaan. Oleh karena itu penilaian klinis yang baik, serta kemampuan untuk
mengenal dan mempersiapkan diri untuk situasi - situasi yang berbahaya adalah sangat
berharga. Oleh sebab itu pada penulisan refrat ini akan membahas tentang
penatalaksanaan anestesi pada kegawat daruratan trauma abdomen.
DEFINISI
Trauma adalah cedera / rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional.
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional
yang hebat.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja .3
ETIOLOGI
Ada bermacam-macam penyebab trauma abdomen, diantaranya akibat lukatusuk, luka tembak,
pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, dan kompresi pada penggunaan sabuk pengaman.3
KLASIFIKASI
Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi.
Kontusio
Dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat
cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.2
Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi
atau terjadi karena trauma penetrasi. Trauma Abdomen adalah terjadinya kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme,kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.2
PATOFISIOLOGI
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma
tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu
organ. Sedangkan trauma tumpul velisitas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel,
seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga.2,3
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah
menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan
adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala
yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui
dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-
buli terlebih dahulu.
Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan
garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium.8
Hipoksia
Hipoksia pada sering trauma pada umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan napas, apneu,
cidera thorax, dan status sirkulasi yang buruk. Sianosis kadang sulit untuk dideteksi pada pasien
yang anemis, hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap. Pulse oxymetri sering
diperlukan untuk menilai oksigenasi dan analisis gas darah arterial harus didapatkan secara dini
jika terdapat keraguan. Oksigen supplemental harus diberikan, dan intervensi jalan napas
definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. 6
Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi, sekresi, benda asing, fraktur, atau laksitas
jaringan pada pasien yang tidak sadar. Intrervensi awal meliputi oksigen supplemental, chin lift
dengan jaw thrust, pembersihan orofaring dan pamasangan jalan napas oral atau nasal. Ventilasi
harus dibantu jika diperlukan dengan menggunakan kantung yang dapat mengembag sendiri
serta imobilisasi spinal cervical. 6
Resiko Aspirasi
Aspirasi isi lambung sewaktu induksi anestesi atau sewaktu akan sadar kembali harus sejauh
mungkin dicegah. Waktu pengosongan memanjang oleh makanan berlemak tinggi (810 jam),
gangguan emosionil, dan obat narkotik. Interval waktu makan terakhir dengan awal sakit Sangat
penting sebab lambung berhenti bekerja waktu timbulnya nyeri.9,10
Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan penderita menelan udara sehingga
timbul perut kembung, yang memudahkan regurgitasi atau muntah.Sekalipun telah dipasang
maagslang, pengosongan lambung secara lengkap melalui slang tidak dapat dijamin.
Rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung. Isi perut terdorong ke arah
kepala, menekan sfingter kardia dan memudahkan regurgitasi atau muntah. Pasien dalam
keadaan coma atau setengah sadar, mudah aspirasi. Bila akan menguras lambung maka jalan
pernafasan harus diamankan dulu dengan tube endotrakeal yang memakai cuff. Sekalipun ada
reflek batuk, hal ini tidak menjamin perlindungan terhadap aspirasi.10,11
Teknik anestesi pasien yang dicurigai mempunyai lambung penuh. Intubasi dalam keadaan
sadar. Dilakukan Crash induction, dengan cara seperti di bawah ini :
1. Posisi Trendelenburg dalam, sehingga isi lambung akan turun ke farings dari pada ke
paru-paru.
2. Oksigenasi minimal 5 menit
3. Tubokurarin 3 mg atau pankuronium 1 mg disuntikkan secara intravena untuk mencegah
fasikulasi yang menaikkan tekanan intragastrik dan menimbulkan regurgitasi.
4. Obat induksi anestesi disuntikkan dengan cepat, diikuti oleh suksinilkolin (bila tidak ada
kontra indikasi).
5. Jangan diventilasi, dan pembantu harus menekan trakhea secara keras terhadap esofagus
segera setelah pasien tidur.
6. Segera setelah otot lemas maka tube endoktrakheal harus dimasukkan ke dalam, dan
balonnya segera ditiup.
7. Syarat penting bahwa alat pengisap disiapkan setiap saat.6
Paling aman jika kita beranggapan bahwa setiap penderita yang akan menjalani anestesi darurat
mempunyai lambung yang terisi dan bertindak dengan tepat.
Beberapa kewaspadaan yang dapat dilakukan :
1. Pipa nasogastrik (NGT; ukuran 16 untuk orang dewasa) dapat dimasukkan.
Sesungguhnya NGT berguna dalam mengeluarkan cairan atau gas. Jika dibiarkan
ditempatnya, NGT tersebut dapat menyebabkan inkompetensi sfingter esofagus bagian bawah
dan menaikkan resiko aspirasi. Pemakaian pipa orogastrik dengan lubang berukuran besar
mungkin dapat ditoleransi oleh penderita yang mabuk atau tidak sadarkan diri.
2. Metoklopramid (10 mg intramuskular atau intravena) akan meningkatkan motilitas
lambung dan meningkatkan tonus sfingter esofagus inferior, tetapi keefektifannya berkurang
karena pemberian atropin sebelumnya. Disritmia dapat terjadi jika suntikan intravena terlalu
cepat.
3. Sekresi asam dalam cairan lambung dapat dikurangi oleh penghambat reseptor histamin
H2. Kerusakan paling buruk terhadap jaringan paru berasal dari inhalasi isi lambung dengan
pH kurang dari 2,5. Obat yang paling memuaskan adalah ranitidin 150 mg intramuskular, atau
melalui mulut sekurang-kurangnya dua jam sebelum pembedahan. Simetidin 300 mg
(intravena secara lambat, intramuskular atau melalui mulut), yang mula kerjanya lebih cepat
tetapi lama kerjanya singkat, dapat juga digunakan, tetapi kurang begitu efektif. Penghambat
reseptor H2 ini mengurangi volume dan keasaman cairan lambung yang disekresikan setelah
obat tersebut diberikan tetapi jelas tidak akan mempunyai pengaruh pada asam lambung yang
telah disekresikan.
4. Antasid dapat diberikan tetapi harus dipilih dengan cermat. Magnesium trisiklat telah
digunakan sejak dulu, tetapi bercampur secara buruk dalam cairan lambung, dan
menimbulkan kerusakan paru jika teraspirasi, dan walaupun bekerja sebagai dapar yang baik,
kefektifannya dapat rusak bila disimpan lama. Antasid ini dicampur dengan natrium sitrat (20-
30 ml larutan 0,3 molar yang diberi zat rasa mint dan sakarin). Natrium sitrat bekerja dengan
cepat tetapi hanya sementara, zat ini relatif tidak menggangu jika teraspirasi ke dalam paru
dan paling baik diberikan dalam waktu 20 menit sebelum induksi anestesi. 20 ml natrium
bikarbonat 8,4% (larutan yang selalu tersedia karena zat tersebut digunakan untuk resusitasi
jantung) juga efektif.10,11
Perhatian Pada Penanganan lambung penuh harus lebih difokuskan pada keamanan dan
penetalaksanaan yang cepat untuk jalan napas, dibandingkan dengan kepentingan untuk
menurunkan resiko aspirasi secara farmakologis.
Denitrogensi paru dengan pemberian oksigen 100% harus diberikan. Penekanan cricoid yang
sesuai (manuver Sellick), dengan stabilisasi satu garis pada spinal cervical, dapat menurunkan
resiko aspirasi pulmoner. Jalan napas dengan masker laryngeal dapat digunakan untuk
menjembatani selama dilakukannya intubasi sulit sebelum usaha pemasangan fiberoptik atau
trakheotomi.10
Tekanan cricoid diperlukan untuk menurunkan resiko aspirasi. Scope fiberoptik dapat disisipkan
lelalui jalan napas masker laryngeal, yang dapat membantu mengidentiifikasi plica vokalis dan
mempertahankan ventilasi masker. Intubasi cepat dengan agen hipnotik dan relaksan otot
merupakan teknik yang lebih disukai pada pasien stabil tanpa cidera oral, maksilofasial atau
cervical yang parah.11,12
Adapun Tehnik yang biasanya digunakan pada pasien dengan risiko yang mengalami aspirasi
lambung dan risiko terjadinya intubasi sulit yaitu dengan Rapid Sequence Induction (RSI).
Reflek jalan nafas yang ditumpulkan dengan pemberian obat anestesia, pada pasien lambung
penuh sangat berisiko mangalami aspirasi lambung (asam atau makanan yang belum tercerna)
akan menghasilkan morbiditas dan mortalitas. Risiko aspirasi asam berkaitan dengan volume ( >
0,4 ml/kg) dan keasaman ( pH < 2,5) dari cairan lambung. Aspirasi dari material partikel
menyebabkan obstruksi jalan napas.11
Pemilihan agen hipnotik untuk intubasi didasarkan pada status hemodinamik pasien. Propofol
atau thiopental dapat diterima pada pasien euvolemik dimana depresi myokardial dan
vasodilatasi bisanya dapat ditoleransi dengan baik. Etomidate dan ketamin lebih disukai pada
pasien dengan hipovolemia sedang dan parah. Penggunaan relaksan otot tergantung pada kondisi
klinis pasien. Suksinilkolin merupakan pilihan yang jelas karena onset aksinya yang cepat namun
harus dihindari pada pasien dengan luka bakar atau cidera medulla spinalis lebih dari 24 jam dari
cidera karena potensi terjadinya respon hiperkalemia massif. Rocuronium (1-1,5 mg/kg)
memberikan kondisi intubasi pada 60-90 detik dan dapat diberikan jika suksinilkolin
dikontraindikasikan. Diskusi lebih lanjut tentang agenagen ini akan dibahas dalam induksi
anestesi.
Penggunaan obat-obat hipnosis dan opioid untuk RSI serta penggunaan premedikasi, dipengaruhi
oleh pemilihan obat pelumpuh otot. Obat anestesi mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap kualitas intubasi ketika RSI dicapai tanpa menggunakan pelumpuh otot. Premedikasi
sangat penting, selama penggunaan propofol dosis besar (2,5mg/kgbb atau lebih) dan opioid aksi
pendekseperti alfentanil (30-40
g/kgbb) atau remifentanil (sampai 4 g/kgbb). Juga diperlihatkan bahwa lidokain intravena
dapat menghasilkan kondisi intubasi. 10,11,12
Ketika pelumpuh otot digunakan pemilihan dari obat anestesi tergantung dari onset aksi dari obat
pelumpuh otot. Dengan komponen aksi cepat seperti recuronium pada dosis 0,6 mg/kgbb, obat
hipnosis diperlukan sebagai suplemen dan hanya dengan dosis kecil opioid. Misal afentanil 10-
20 g/kgbb. Ketika suksinil 1,5 mg/kgbb, recuronium 0,6mg/kgbb atau rapacuronium
1,5mg/kgbb digunakan, kondisi intubasi yang optimal mungkin dicapai dengan dosis yang relatif
lebih rendah dari obat anestesi meski tanpa opioid. Bagaimanapun juga hemodinamik dan
perubahan tekanan intraokuler lebih baik dikontrol dengan pemberian dosis kecil opioid.3
Pencegahan regurgitasi dan aspirasi selama anestesi. Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah
regurgitasi dan aspirasi.
1. Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan penderita dimiringkan.
Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode yang baik untuk dicoba dan masih berguna,
terutama jika penderita dalam keadaan mendekati ajal. Cara ini banyak digunakan sebelum
dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan bahaya regurgitasi pasif.
2. Intubasi secara sadar dibawah anestesi lokal. Cara ini dahulu banyak digunakan di
Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman bagi penderita yang tidak ditolong oleh seorang
pakar.
3. Induksi cepat secara berurutan, metode yang hampir secara universal dipraktikkan di
Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena, relaksasi dengan suksametonium, intubasi. Induksi
berurutan cepat, sekarang kadang-kadang disertai (sebuah cara yang tepat) dengan penekanan
krikotiroid (perasat Selick) untuk menghalangi esofagus.11
Risiko yang paling banyak dari RSI yaitu terjadinya paralisis atau hilangnya kontrol dari jalan
nafas (seperti cerebral iskemik,dan jalan nafas pada saat pembedahan).
Meskipun tidak ada kontraindikasi absolut pada RSI, ada sedikit penanganan secara klinis yang
berbeda. RSI seharusnya digunakan secara hati-hati pada pasien tergantung dengan gerakan otot-
otot jalan nafas untuk menjaga patensi jalan nafas pada kondisi seperti obstruksi parsial jalan
nafas.
Paralisis dapat terjadi pada hilangnya gerakan otot-otot fisiologis, dan obstruksi parsial jalan
nafas dapat berkembang menjadi obstruksi total jalan nafas. Pada pasien dengan kondisi ini
sebaiknya pemberian sedasi dilakukan secara hati-hati, dan yang lebih disukai yaitu intubasi
sadar. Sehingga alat-alat untuk pengganti kontrol jalan nafas seperti kit pembedahan atau alat-
alat fiberoptik harus tersedia. RSI tidak diperlukan pada pasien dengan cardiac arrest atau suatu
keadaan koma yang berat atau yang tidak respon
terhadap laringoskop dan dengan penggunaan sedasi serta paralisis yang berlebihan. Pada pasien
ini dibutuhkan segera endotrachel tube dan selanjutnya dilakukan resusitasi.8,9,10
C. MANAJEMEN VENTILASI
Jika jalan napas telah diamankan, maka perhatian selanjutnya difokuskan pada ventilasi dan
oksigenasi. Hampir semua pasien yang mengalami cidera yang kritis membutuhkan bantuan
ventilasi atau ventilasi mekanis. Alat masker/ kantung yang dapat mengembang sendiri yang non
breathing digunakan pada pasien yang bernapas spontan dan dapat dipasangkan pada selang
endotrakhal pada pasien yang terintubasi. Jika
keparahan cidera tidak begitu akut dan jalan napas intak, pengangkutan oksigen melalui kanula
nasal atau masker terbuka dalah mencukupi selama pasien sadar, dengan refleks protektif positif.
Kerika terintubasi, ventilasi tekanan positif harus diberikan hanya jika posisi selang telah
diferifikasi dengan CO2 tidal akhir, pengembangan dada bilateral, dan auskultasi. Pemeriksaan
gas darah arterial dapat membantu menentukan adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. 1
Adanya fraktur pada sekurangnya tiga costae yang berurutan, dengan fraktur sternal atau
pemisahan costochondral, merupakan tanda sugestif untuk flail chest.
Pergerakan dada paradioksikal dapat terlihat dan kombinasi dengan radiografi dapat memastikan
diagnosis. Kontusi pulmoner yang berhubungan dengannya dan hemothorax dapat memperbutuk
insufisiensi respirasi yang disebabkan oleh pergerakan dada paradoksikal.4,5
Penilaian kembali psien-pasien tersebut secara sering dan seksama diperlukan untuk
menyingkirkan insufisiensi ventilasi yang bermakna, namun flail chest bukan semata-mata
indikasi untuk diberikannya ventilasi mekanis. Penggunaan ventilasi mekanis yang tidak sesuai
dapat meningkatkan resiko komplikasi pulmoner dan morbiditas pasien tersebut. Analgesia yang
adekuat dapat menunda atau membatalkan diperlukannya ventilasi mekanis dengan mengurangi
tahanan dan kesulitan napas.
Analgesia epidural thoraksik merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki ventilasi sebab dapat
menurunkan resiko depresi respirasi seperti jika digunakan opioid parenteal.
Profil koagulasi harus diukur sebelum dilakukan pemsangan anestesi epidural. Observasi klinis,
analisis gas darah arterial secara serial, dan penilaian kapasitas vital dan daya inspirasi
menentukan keutuhan dari intubasi endotrakheal.
Bagian terbesar penderita bedah darurat (Trauma abdomen) mengalami gangguan hemodinamik
berupa perdarahan atau fluid loss.4,5,6
Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa
perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB), anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan
> 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer
Laktat adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8 gr%. Jumlah
cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi begini bukan untuk menggantikan
tempat transfusi darah, tetapi untuk :
Tindakan sementara, sebelum darah datang.
Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai.
Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya pemberian
transfusi perlahanlahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik kalau-
kalau terjadi reaksi transfusi)
Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada waktu
perdarahan/shock.Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat
akibatnya pada tubuh penderita, jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sbb. :
preshock : kehilangan s/d 10%
shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi
dingin, basah, pucat.
Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg.
Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan Darah sampai tak terukur, nadi
sampai tak teraba
Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan
pedoman Berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda interssisial
yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya
volume plasma menyebabkan terjadinya "tanda-tanda plasma" yaitu : takhikardia, oli-guria,
hipotensi,shock.
Akses Intravena
Penempatan segera kanula intravena berlumen lebar sangat penting. Sekurangnya digunakan
jarum intravena dengan ukuran gauge-14 atau 16 yang idealnya dipasangkan di atas atau di
bawah diafragma pada cidera yang berat untuk memberikan volume pada keajadian cidera vena
cava superior atau inferior. Pemasangan monitor infasif telah sebatas dilakukan selama resusitasi
awal dan tidak boleh menunda terapi suportif. Kateter vena jugularis interna, vena subclavia atau
vena femoralis memberikan akses yang
sempurna, terutama pada keadaan perdarahan yang masif dimana pemasangan kanula sulit
dilakukan. Monitoring tekanan vena sentralis di ruang operasi juga bermanfaat untuk membantu
memperkirakan status volume secara umum.
Monitoring arterial invasive harus dipasang sesegera mungkin pada keadaan perdarahan yang
terus berlangsung atau ketidakstabilan hemodinamik. Kateter arteri pulmoner jarang
diindikasikan pada resusitasi awal pada pasien trauma. Penempatan selanjutnya untuk monitor
ini berguna pada keadaan cidera myocardial, sepsis, atau ketidakstabilan hemodinamik yang
parah dimana pengukuran tekanan pengisisian jantung, curah jantung dan saturasi oksigen vena
dapat mempengaruhi penatalaksanaannya.1,5
Pemilihan Cairan
Kontroversi masih berlangsung dalam hal apakah cairan kristaloid ataukah koloid yang lebih
dipilih untuk resusitasi awal. Tidak ada konsensus yang jelas mengenai hal ini.
Banyak dokter yang meyakini bahwa koloid tidak memiliki manfaat yang besar pada keadaan
akut. Resusitasi cairan awal harus dimulai dengan larutan garam seimbang seperti ringer laktat,
sementara itu dilakukan pemerikasaan golongan darah dan reaksisilang. Normal saline pada
volume yang sangat beasr berhubungan dengan kelebihan beban klorida dan dapat memperparah
asidosis intraseluler. Terdapat penelitian yang membandingkan antara penggunAan larutan
garam hipertonik saja dengan larutan garam dikombinasikan dengan latrutan kooloid, meskipun
penggunaannya sudah banyak dipakai.5,7
Pada umumnya, infus 2.000 mL ringer laktat dalam 15 menit harus mengembalikan tanda vital
pada pasien yang kehilangan 10-20% volume darahnya. Jika normalisasi ini transient, maka
kemungkinan 20-40% atau lebih darah yang hilang akan terjadi. Tidak ada perbaikan dengan
bolus kristaloid pada awal jika perdarahan yang terjadi melebihi 40% dari volume daarah total.
Pada keadaan ini, darah, koloid dan kristaloid harus diberikan untuk mengisi kembali
komparteman interstitial secara cepat dan efisien. Jika tersedia koloid, albumin 5% dan
hidroxyetyl starch merupakan larutan yang paling direkomendasikan. Larutan starch harus
dibatasi sebesar 20 mL/kg karena kewaspadaan terjadinya disfungsi perdarahan transient.
Keberhasilan penggantian cairan ditunjukkan dengan penurunan denyut jantung di bawah 100
kali/menit, tekanan nadi lebih besar dari 30 mmHg, urine output lebih dari 1 mL/kg/jam,
perbaikan status mental dan minimlnya sidosis metabolic.7
Pengangkutan Oksigen
Penentuan kadar hematokrit serum harus dilakukan segera pada saat pasien datang dan dilakukan
secara frekuen jika dicurigai terjadi perdarahan. Interpretasi hematokrit serum harus
mempertimbangkan sudah atau belum dilakukannya resusitasi cairan sebelum pengukuran
diambil. Hematokrot serum dapat meningkat palsu sebelum diberikan resusitasi yang mencukupi,
sedangkan perdarahan terus berlangsung secara bermakna, yang pengukuran postresusitasi
sangat diperlukan.5,6
Pada keadaan perdarahan yang berat, terapi sel darah merah harus dimulai untuk
mempertahankan kapasitas pengangkutan oksigen yang optimal. PRC golongan O negative
diberikan jika keadaan tidak memungkinkan untuk memberikan darah yang spesifik pada kasus
dimana 50-70% volume sel darah merah pasien telah digantikan dengan darah golongan O
negative, pemberian lanjutan direkomendasikan untuk mencegah terjadinya hemolisis
intravaskuler dari antibody anti A atau anti B jika darah jenis spesifik diberikan. Selalu
diutamakan untuk pemberian setidaknya golongan darah yang sesuai untuk mencegah keadaan
ini. Selanjutnya disarankan untuk diberikan sel darah merah dengan jenis spesifik dan telah
disaring, dimana serum disaring untuk antibody kelompok darah utama (membutuhkan waktu 15
menit). Reaksi silang lengkap memakan waktu 45 menit dan terdiri atas pencampuran sel donor
dengan serum resipien untuk menyingkirkan adanya reaksi antigen-antibodi.5
Nilai ambang yang pasti untuk tranfusi tergantung dari ada atau tidaknya kehilangan darah yang
masih teraus beralangsung, umur pasien, dan komorbiditas, termasuk penyakit jantung atau
vaskuler yang besar. Pasien usia lanjut dan mereka yang mempunyai penyakit kardiovaskuler
yang parah harus dipertahankan pada atau di atas 30%, sedangkan pada pasien muda dan sehat
dapat mentoleransi kadar serendah 20%, selama hemostasis masih dapat dipertahankan.7
Koagulasi
Ketika volume darah yang besar telah diganti, trombositopeni delusional dan kadar faktor
pembekuan yang rendah dapat terlihat. Penggantian cairan harus dipandu dengan evaluasi
laboratorium yang sesuai. Trombosit umumnya diperlukan jika angka trombosit kurang dari
50.000 dengan bukti kliniis terjadinya perdarahan mikrovaskuler.
Fresh frozen plasma diberikan untuk iregularitas pada prothrombin time (PT) atau Partial
Thromboplastin Time (PTT), ketika telah mencapai 1,5 kali nilai normal. Cryoprecipitate, yang
mengandung factor VII, fibrinogen, fibronectin dan factor XIII diindikaiskan untuk mengkoreksi
defisiensi factor koagulasi tertentu atau kadar fibrinogen di bawah 80-100 mg/dL. Dengan
transfusi yang massif dan bukti-bukti adanya perdarahan mikrovaskuler, maka penggantian
faktor dapat dimulai sebelum dilakukannya pemeriksaan waktu perdarahan. Penggantian kalsium
diindikasikan jika kadar kalsium terion menurun sekunder dari chelasi sitrat, atau jika hipotensi
terjadi meskipun telah dilakukan penggantian cairan yang mencukupi.8,9
Elektrolit
Gangguan kalium sering terjadi pada psien trauma. Hipoklemia terjadi jika alkalosis metabolic
atau respiratorik (biasanya iatrogenic dari resusuitasi) menyebabkan perpindahan kalium ke
dalam sel yang bertukar dengan ion hidrogen dan atau ketika katekolamin endogen dilepaskan
sebagai respon terhadap shock yang diaktivasi oleh pompa Na+K+ yang mentransfer kalium ke
dalam sel. Hiperkalemia dapat terlihat pada hubungannya dengan disritmia pada keadaaan shock
hipovolemik dengan asidosis metabolic dan harus diterapi secara agrsif selama resusitasi.
Hiperkalemia juga merupakan perhatian teoritis pada tranfusi yang massif, meskipun kalium juga
memasuki sel darah merah ketika mereka dihangatkan oleh suhu tubuh. Manajemen lanjut dari
elektrolit harus difokuskan pada normalisasi kadar glukosa, kalsium dan magnesium, terutama
pada trannsfusi multipel.8,9
b. Etomidate
Deskripsi : Obat induksi non barbiturat yang kurang memiliki analgesik yang baik. Etomidate
mempunyai efek minimal terhadap kardiovaskular dan menjaga tekanan dara. Juga memiliki efek
depresi pernapasan yang poten. Etomidate dilaporkan menurunkan hormon steroid adrenal.
Myoklonus(kontraksi otot) mungkin terlihat setelah pemberian etomidate. Etomidate mempunyai
onset cepat dengan durasi aksi pendek.
Indikasi : Induksi, terutama berguna pada pasien hipovolemik dengan penyakit jantung atau
hipertensi.
Peringatan: pasien dengan hipertensi, hipovolemia, atau pasien tua mungkin memerlukan
pengurangan dosis.
Dosis : 0,1-0,4mg/kgbb,
Rute: intravena
c. Ketamine
Deskripsi : ketamine adalah turunan phencyclidine yang menghasilkan aksi cepat anestesia
disosiatif, dengan sedasi, amnesia, menghasilkan analgesia dan immobilitas.
Mempunyai efek minimal depresi jantung dan meningkatan denyut nadi dan tekanan darah
melalui stimulasi sentral simpatis. Induksi dengan ketamine menyebabkan peningkatan hampir
25% tekanan darah arteri. Ketamin merupakan bronkodilator dan mempunyai efek minimal
depresi pernapasn. Mempunyai karakteristik meningkatkan sekresi saliva. Ketamine mempunyai
efek analgesik
Indikasi: obat induksi, analgesik.
Indikasi: obat induksi, analgesia
Kontraindikasi : pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Perhatian : Hipotensi mungkin tampak pada pasien yang bergantung pada symphatetic drive-nya,
pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung, halusinasi dan reaksi emergence biasa terjadi
Dosis: 1-2mg/kgbb, Rute: intravena
d. Propofol
Deskripsi : putih seperti susu, emulsi alkohol yang menghasilkan onset cepat dengan tanpa
analgesik. Dimetabolisme dan diredistribusikan secara cepat sehingga memberikan durasi aksi
yang pendek. Propofol merupakan vasodilator poten depresi jantung dengan hipotensi yang
tampaksetelah pemberian. Propofol menghasilkan penurunan arterisistemik hampir 30 % pada
orang sehat dan lebih drastis lagi pad hipovolemia. Juga pendepresi pernapasan yang poten.
Indikasi : agen induksi, sedatif
Kontraindikasi : pasien dengan alergi telur atau susu kedelai.
Perhatian: pasien tua, hipovolemia, hipertensi kurangi dosis jika diperlukan, mungkin
menyebabkan iritsi vaskular jika diberikan pada vena kecil, campuran emulsi memicu
pertumbuhan bakteri dan dianjurkan untuk sekali pemakain
Dosis : 1-2mg/kgbb. Rute:intravena
b. Recuronium
Deskripsi : mempunyai onset cepat (60 detik). Onset dan durasi tergantung dosis. Secara umum
antara 15-20 menit untuk durasinya. Efek recuronium dilawan dengan pemberian
antikolinesterase dimana akan meningkatkan sejumlah asetilkolin pada resptor untuk kompetisi
dengan rocuronium. Efek kardiovaskular minimal, mungkin terlihat takikardi. Recuronium
mempunyai onset yang diharapkan sehingga menjadi obat pilihan untuk obat RSI ketika
suksinilkolin menjadi kontrainsikasi. Jika intubasi gagal dilakukan dan ini menghasilkan keadaan
tidak dapat intubasi dan tidak bisa ventilasi, maka hal ini mengapa suksinil tetap menjadi pilihan
untuk RSI pada pasien trauma.
Indikasi : pelumpuh otot.
Perhatian : digunakan dengan perhatian, jika sama sekali, pada pasien dengan kemungkinan
intubasi sulit.
Dosis: intubasi pada RSI 1mg/kgbb, pemeliharaan 0,1mg/kgbb. Rute: Intravena
b. Fentanyl
Deskripsi : merupakan analgesik opioid dengan potensi sangat tinggi. 100 kali lebih poten dari
morphin. Mempunyai onset cepat dan durasi aksi pendek. Pengaruh pada kardiovaskular relatif
stabil dan mendukung tekanan darah. Tidak bersifat mengeluarkan histamin seperti morphin.
Biasa terjadi depresi nafas dan tergantung dosis. Memiliki efek sedasi. Efek fentanyl dapat
dilawan dengan nalokson.
Indikasi: analgesik/sedasi, premedikasi sebelum dilakukan intubasi.
Perhatian : Pasien tua, hipovolemia atau pasien dengan obat sedatif lain harus ada pengurangan
dosis.
Dosis : 25-100mcg titrasi untuk memperoleh efek 3-5 mcg/kgbb 3-5 menit sebelum dilakukan
intubasi.
Rute :intravena.
c. Lidokain
Deskripsi: merupakan anestesi lokal golongan amida. Mekanisme aksi dengan stabilisasi
membran dari jaringan saraf melalui penghambatan jalur natrium yang diperlukan untuk
penjalaran impuls. Juga digunakan sebagai obat antidisritmia terutama untuk aritmia ventrikel.
Indikasi: anestesi lokal, menumpulkan respon hemodinamik pada intubasi, pengobatan aritmia
ventrikel.
Perhatian : pasien dengan blokade jantung, hipovolemia berat, gagal jantung kongestif.
Dosis : 1-2mg/kgbb 3-5 menit sebelum dilakukan intubasi
Rute : intravena, endotracheal.
Perawatan Post OP dilakukan hingga pasien bernafas spontan dan pulih kembali.
Pasien yang sudah di recovery harus terus mendapatkan suplai oksigen, harus terus di monitor
airway, breathing dan circulation nya, dan diberikan analgesik yang dibutuhkan. Masalah utama
post Op adalah rasa sakit setelah operasi, sehingga harus terus diawasi karena kebanyakan pasien
mengalami mual muntah yang hebat, harus dipikirkan penggantian cairan dan memulai
mobilisasi awal dan merujuk pada fisioterapi untuk mencegah adanya komplikasi seperti
atelektasis, pneumonia dan deep vena trombosis.
KESIMPULAN
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun.Trauma abdomen penyebab signifikans
morbiditas dan mortalitas pasien. Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal.
Pelaksanaan Pembedahan pada trauma abdomen pun biasanya dilakukan dengan pembedahan
darurat, sehingga memerlukan penanganan khusus dalam bidang anestesi karena terdapat
perbedaan mencolok untuk persiapan pre operasi darurat dengan elektif.
Penanganan awal dimulai dari primary survey (Airway, Breathing,Circulation,Disability,
Exposure) hingga secondary survey yang juga meliputi penanganan pada komplikasi kegawat
daruratan trauma abdomen yaitu berupa perforasi, perdarahan, syok dan juga peningkatan resiko
regurgitasi lambung pada kasus pembedahan darurat abdomen.
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan
pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor pembedahan. Sehingga dapat
dipertimbangkan pemekaian tehnik anestesi tersebut menurut indikasi karena pada pembedahan
darurat trauma abdomen tersebut pemakaian anestesi umum memberikan risiko lebih besar dari
pada anestesi lokal dan risiko anestesi spinal tidak lebih kecil daripada anestesi umum.
REFERENSI
1. Zuchradi,TB,dr. Anestesi Untuk Pembedahan Darurat Abdomen. Available From:
http://www. kalbe.co.id /files/cdk/files/cdk_033_masalah_anestesi.pdf.
2. Bagus, Ide,dr. Gawat Abdomen. Available From : http://www.indoskripsi.com
3. Irfandi,Mochtar.TraumaAbdomen.Available From
:http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/1 2/23/trauma-abdomen/
4. Marurt,Ukht. Bedah abdomen trauma dan nontrauma.Available From :
http://www.scribd.com/doc/4535626/BEDAH-ABDOMEN-TRAUMA-DANNONTRAUMA
5. Ghozali,Imam.Anestesi untuk pembedahan darurat. Available From :http://
www.docstoc.com/ docs/ 3536165/ Anestesi-Untuk-Pembedahan-Darurat
6. Prasetijo,Tjatur Budi,Dr, SpAn. Tindakan Perioperatif.Available From
:http://209.85.175.132/search?q=cache:U8YMT14BAmAJ:202.57.9.147/elib/Arsip/Departem
en/Anaestesi/peri operatif.pdf+premedikasi+bedah+darurat&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
7. Marwan, Rustam.Komplikasi Trauma Abdomen. Available Fromwww.medicastore.com
8. Marwati, Said. Akut abdomen fk unmul 2004. Available From: http:// fkunmul04.
files.wordpress.com/ 2008/ 10/ akut-abdomen.pdf
9. Lafferty A.K., Rapid Sequence Induction, HONcode Principles of the Health On the Net
Foundation, June, 2006.
10. Stettner T., Rapid Sequence Induction and Pretreatment Medication, HONcode Principles
of the Health On the Net Foundation, Februari, 2006.
11. Darmawan,Iyan,Dr. Analgesi Umum dan Spinal dalam anestesiologi Edisi 9. Jakarta :
EGC, 1991. Hal : 171 -189.
12. Oswari, Jonatan,Dr. Kegawat daruratan bedah abdomen dalam Anestesiologi Edisi 10.
Jakarta: EGC,1994.Hal : 179 184.
Diposkan oleh Ivan-Atjeh Anestesi Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: analgesik, analgetik, anestesi, Anestesi pada Trauma Abdomen, Anestesi untuk Pembedahan
Darurat, anestesia, anestetik, anesthesia
B. STABILISASI HEMODINAMIK
Bagian terbesar penderita bedah darurat mengalami gangguan hemodinamik berupa
perdarahan atau fluid loss misalnya pada : peritonitis, ileus, diare, kombusio.
1. Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir
tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB, anakanak < 2 th
80 cc/kg BB). 1, 2 Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat.
Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai kehilangan 20% EBV
atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8 gr%. 1,3,4 Jumlah cairan masuk harus 2-
4 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi begini bukan untuk menggantikan tempat
transfusi darah, tetapi untuk :
Tindakan sementara, sebelum darah datang.
Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai.
Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya :
pemberian transfusi perlahanlahan/ postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi
lebih baik kalau-kalau terjadi reaksi transfusi).
Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi
pada waktu perda-rahan/ shock.
Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya
pada tubuh
penderita, jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sbb. :
Preshock : kehilangan s/d 10%.
Shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi
dingin, basah, pucat.
Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg.
Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan darah sampai tak terukur,
nadi sampai tak teraba.
2. Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan
pedoman 5,6
Berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda
interssisial yaitu : turgor
kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering.
Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya "tanda-tanda plasma"
yaitu : takhikardia, oliguria,
hipotensi, shock.
Berdasarkan tanda-tanda itu maka perkiraan besarnya defisit adalah sebagai berikut :
Tanda-tanda intersisial minimal : defisit 4% dari berat badan.
Tanda-tanda intersisial dan tanda plasma sedang : defisit 7% dari berat badan.
Tanda-tanda intersisial dan plasma berat : defisit 10% dari berat badan.
Shock : defisit 15% dari berat badan.
Perkiraan defisit itu tidak harus tepat. Yang penting adalah berdasar perkiraan tersebut
terapi mulai dapat dilakukan dan monitoring yang ketat keadaan penderita selama
terapi dilakukan.
III. ANESTESI
1. PENCEGAHAN ASPIRASI 1,7,8
Posisi head down selama trakhea tidak di intubasi. Posisi head down juga
setelah trakhea di intubasi, kecuali bila ada trauma kapitis atau kenaikan tekanan
intrakranial.
Tube nasogastrik diisap bersih lalu dilepas sebelum induksi, dipasang kembali
setelah intubasi dan cuff terpasang.
Siap suction yang kuat, bekerja baik dan kateter besar.
Induksi : head up crash intubation (40) untuk tenaga yang sudah trampil
intubasi. Penderita dengan trauma maksilofasial yang sukar jalan nafasnya dan berdarah
terus menerus
jangan memakai cara ini.
Periode head up diusahakan sependek mungkin karena :
Jarang hemodinamiknya penderita mampu bertahan pada posisi securam ini.
Perfusi otak sangat terganggu.
Tujuan utama adalah kenaikkan tekanan intragastrik oleh suksinilkolin (bisa
mencapai 20 cm H2O).
Bila fasikulasi selesai; cepat periksa relaksasi rahang, cepat intubasi; pasang cuff;
kembali head down; nafas buatan. Selama intubasi dan cuff belum terpasang, jangan
berikan nafas buatan kecuali intubasi gagal, segera robah head down dan beri nafas
buatan untuk mengatasi hipoksia.
Intubasi head down merupakan pilihan lainnya jika cara head up tidak dapat dilakukan.
Ingat bila perlu penderita tidur miring dulu, baru ditelentangkan waktu akan laringoskopi.
Ada yang muntah dan aspirasi masif baik pada cara head down maupun head up. Tak
satupun cara yang aspiration-proof.
Pada trauma maksilofasial atau kesulitan jalan nafas, pertimbangkan intubasi sadar.
Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika vocalis.
Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres penderita dan
memudahkan intubasi.
B. Anestesi Regional
Bila teknik telah dikuasai dengan baik, anestesi regional merupakan pilihan yang baik.
Bila dilakukan tanpa sedasi, bahaya aspirasi jauh berkurang. Flerniotomi scderhana
(tenpa reseksi usus), fraktura kaki dan tangan seksio cesaria, apendektumi dapat
dilakukan dengan blok.
Kontra indikasi cara ini adalah hemodinamik yang tidak stabil anemia berat dan ketidak
pastian jenis dan lamanya prosedur pembedahan. Kenaikan tekanan intrakranial,
hipertensi yang tidak diregulasi, dan kelainan anatomis tulang belakang juga
merupakan kontra indikasi.
Brachial plexus block, axillary block dan intravenous regional dapat dipakai untuk
operasi sampai setinggi 12 lengan atas.
Spinal subaraknoid atau epidural untuk perut dibawah umbilikus kebawah.
Subarachnoid block tidak diberikan pada penderita yang akan dirawat jalan/segera
dipulangkan karena resiko spinal headache. Demikian juga supra clavicular brachial
plexus block karena risiko pneumotoraks.
Untuk anestesi regional pilihan kami adalah Lidocain 1-2% untuk nerve block dan
Lidokain 5% (Lidodex) larutan hiperbarik untuk subaraknoid.