Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN INDIVIDU MODUL MATA

PENURUNAN TAJAM PENGLIHATAN

BLOK INDRA KHUSUS

Disusun oleh:

Nama : Afifah Idelma Makkmur


Stambuk : 16 777 025
Kelompok : 1 (Satu)
Pembimbing : dr. Tiara

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. SKENARIO
Seorang pasien laki-laki, 56 tahun, datang ke poliklinik mata dengan keluhan
penurunan ketajaman penglihatan. Tidak ada kelainan refraksi, tidak ada riwayat
mata merah dan trautama pada mata sebelumnya.

B. KATA KUNCI
1. Laki-laki 56 tahun
2. Penurunan ketajaman penglihatan
3. Tidak ada kelainan refraksi
4. Tidak ada riwayat mata merah
5. Tidak ada riwayat mata trauma

C. PERTANYAAN
1. Bagaimana Anatomi, Fisiologi, dan Histologi mata?
2. Apa saja anamnesis tambahan pada pasien ini?
3. Apakah ada hubungan usia dan jenis kelamin dengan gejala pada scenario?
4. Apa saja faktor-faktor predisposisi penurunan ketajaman penglihatan?
5. Apa saja faktor resiko penurunan ketajaman penglihatan?
6. Bagaimana posedur pemeriksaan visus?
7. Apa penanganan awal untuk pasien ini?

D. Jawaban
1. Anatomi Mata
a. Lapisan terluar yang keras pada bola mata adalh tunika fibrosa. Bagian posterior
tunika fibrosa adalah sklera opaque yang berisi jaringan ikat fibriso putih.
1. Sklera memberi bentuk pada bola mata dan memberikan tempat pelepasan pada
otot ekstrinsik.
2. Kornea adalah perpanjangan anterior yang teransparan pada skelara di bagian
depan mata. Bagian ini menstransmisikan cahaya dan mefokuskan berkas cahaya
(Ethel, 2004a).

b. Lapisan tengah bola mata disebut tunika vaskular (uvea), dan tersusun dari
koroid, badan silaris dan iris.
1. Lapisan korid adalah bagian yang sangat terpigmentasi untuk mencegah refleksi
internal berkas cahaya. Bagian ini juga sangat tervaskularisasi untuk memberikan
nutrisi pada mata, dan elastik sehingga dapat menarik ligamen suspensori
2. Badan siliaris suatu penebalan di bagian anterior lapisan koroid, mengandung
pembuluh darah dan otot silaris. Otot melekat pada ligamen suspensori, tempat
perlekatan lensa. Otot ini penting dalam akomodasi penglihatan atau kemampuan
untuk mengubah fokus dari objek berjarak jauh ke objek berjarak dekat di depan
mata.
3. Iris, perpanjangan sisi anterior koroid, merupakan bagian mata yang berwarna
bening. Bagian ini terdiri dari jaringan ikat dan otot radialis serta sirkularis,
yang berfungsi untuk mengendalikan diameter pupil.
4. Pupil adalah ruang terbuka yang bulat pada iris yang harus dilalui cahaya untuk
masuk ke interior mata (Ethel, 2004a).
c. Lensa adalah struktur bikonveks yang bening tepat di belakang pupil. Elastisitasnya
sangat tinggi, suatu sifat yang akan menuruk seiring proses penuaan (Ethel, 2004a).
d. Rongga mata
Rongga anterior tebagi menjadi duaa ruang :

1. Ruang anterior terletak di belakang kornea dan di depan iris; ruang posterior
terletak di dapan lensa dan dibelakan iris.
2. Ruang tersebut berisi aqueous humor, suatu hormon yang diproduksi prosesus
silaris untuk mencukupi kebutuhan nutrisi lensa dan kornea.
3. Lensa intraokular pada aqueous humor penting untuk mempertahankan bentuk
bola mata.
Rongga posterior terletak di antara lensa dan retina dan berisi vitreus humor,
seperti gel transparan yang juga berperan untuk mempertahankan bentuk bola mata
dan mempertahankan posisi retina terhadap kornea (Ethel, 2004a).

e. Retina, lapisan terdalam mata, adalah lapisan yang tipis dan transparan lapisan ini
terdiri dari :
1. Lapisan terpigmentasi luar pada retina melekat pada lapisan koroid. Lapisan
ini berfungsi untuk menyerap cahaya berlebih dan mencegah refleksi internal
berkas cahaya yang melalui bola mata.
2. Lapisan jaringan saraf dalam (optikal), terletak bersebelahan dengan lapisan
terpigmentasi adalah struktur kompleks yang teridi dari berbagai jenis neuron
yang tersusun sedikitnya sepuluh lapisan terpisah.
3. Bintik buta (diskus optik) adalah titik keluar saraf optik. Karena tidak ada foto
reseptor pada area ini, maka tidak ada sensai penglihatan yang terjadi saat cahaya
masuk ke area ini.
4. Lutea makula adalah area kekuningan yang terletak sedikit lateral terhadap
pusat.
5. Fovea adalah pelukukan sentral makula lukea yang tidak memiliki sel batang
dan hanya mengandung sel kerucut. Bagian ini adalah pusat visual mata,
bayangan yang terfokus di sini akan diinterpretasikan dengan jelas dan tajam
oleh otak.
6. Jalur visual ke otak (Ethel, 2004a).

2. Anamnesis tambahan
1) Onset
2) Factor genetic
3) Penyakit degeneratif
4) Progresivitas penurunan ketajaman penglihatan
5) Keluhannya bilateral/unilateran
6) Riwayat minum obat
7) Gejala sebelumnya
8) Riwayat penyakit metabolic
9) Gejala penyerta
3. Faktor predisposisi
1) Penyebab kelainan vaskuler
a. Oklusi pembuluh darah retina
b. Amaurosis vugaks
c. Penyakit eales
d. Neuropati optic akut iskemik
2) Penyebab kelainan sistemik
a. Retinopati diabetic
b. Retinopati hipertensi
3) Penyebab degenerasi retina
a. Ablation retina regmatogen
b. Degrenasi macula ssenile/disform
4. Cara pemeriksaan visus
Cara memeriksa visus ada beberapa tahap:
1) Menggunakan 'chart' => yaitu membaca 'chart' dari jarak yang ditentukan, biasanya 5
atau 6 meter. Digunakan jarak sepanjang itu karena pada jarak tersebut mata normal
akan relaksasi dan tidak berakomodasi.
Cara memeriksa :
 Kartu diletakkan pada jarak 5 atau 6 meter dari pasien dengan posisi lebih
tinggi atau sejajar dengan mata pasien.
Bila jarak 5 meter, maka visus normal akan bernilai 5/5 artinya mata normal
dapat melihat pada jarak 5 meter, pasien juga dapat melihat pada jarak 5
meter. Bila berjarak 6 m, berarti visus normalnya 6/6. Satuan selain meter
ada kaki = 20/20, ada juga log (logaritma).
 Pastikan cahaya harus cukup
 Bila ingin memeriksa visus mata kanan, maka mata kiri harus ditutup dan
pasien diminta membaca kartu.
 Cara menilai visus dari hasil membaca kartu :
 Bila pasien dapat membaca kartu pada baris dengan visus 5/5 atau 6/6,
maka tidak usah membaca pada baris berikutnya => visus normal
 Bila pasien tidak dapat membaca kartu pada baris tertentu di atas visus
normal, cek pada 1 baris tersebut
 Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti visusnya terletak pada
baris tersebut dengan false 1.
 Bila tidak dapat membaca 2, berarti visusnya terletak pada baris tersebut
dengan false 2.
 Bila tidak dapat membaca lebih dari setengah jumlah huruf yang ada,
berarti visusnya berada di baris tepat di atas baris yang tidak dapat
dibaca.
 Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya terdapat pada baris
di atasnya.
 Bila terdapat penurunan visus, maka cek dengan menggunakan pinhole (alat
untuk memfokuskan titik pada penglihatan pasien)
 Bila visus tetap berkurang => berarti bukan kelainan refraksi
 Bila visus menjadi lebih baik dari sebelumnya => berarti merupakan kelainan
refraksi
 Snelleen chart yang yang digunakan dalam ukuran kaki = normalnya 20/20.
Misal, pasien dapat membaca semua huruf pada baris ke 8. Berarti visusnya
normal
 Bila hanya membaca huruf E, D, F, C pada baris ke 6 => visusnya 20/30
dengan false 2.
Artinya, orang normal dapat membaca pada jarak 30 kaki sedangkan pasien
hanya dapat membacanya pada jarak 20 kaki.
 Bila pasien membaca huruf Z, P pada baris ke 6 => visusnya 20/40
 Bila tidak dapat membaca huruf pada baris ke 6, cek baris ke 5 dengan
ketentuan seperti di atas.

2) Bila tidak bisa membaca kartu, maka dilakukan penghitungan jari.


Penghitungan jari di mulai pada jarak tepat di depan Snellen Chart => 5 atau 6 m

o Dapat menghitung jari pada jarak 6 m => visusnya 6/60


o Bila tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 m, mka maju 1 m dan lakukan
penghitungan jari. Bila pasien dapat membaca, visusnya 5/60.
o Begitu seterusnya, bila tidak dapat menghitung jari 5 m, di majukan jadi 4 m, 3 m,
sampai 1 m di depan pasien.

3) Bila tidak bisa menghitung jari pada jarak tertentu, maka dilakukan pemeriksaan
penglihatan dengan lambaian tangan.
Lambaian tangan dilakukan tepat 1 m di depan pasien.
Dapat berupa lambaian ke kiri dan kanan, atau atas bawah. Bila pasien dapat
menyebutkan arah lambaian, berarti visusnya 1/300

4) Bila tidak bisa melihat lambaian tangan, maka dilakukan penyinaran, dapat
menggunakan 'pen light' Bila dapat melihat sinar, berarti visusnya 1/~. Tentukan
arah proyeksi :
 Bila pasien dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang,berarti
visusnya 1/~ dengan proyeksi baik
Proyeksi sinar ini di cek dari 4 arah. Hal tersebut untuk mengetahui apakah
tangkapan retina masih bagus pada 4 sisinya, temporal, nasal, superior, dan
inferior.
 Bila tak dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang, berarti visusnya
1/~ dengan proyeksi salah.
5) Bila tidak dapat melihat cahaya, maka dikatakan visusnya = 0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MAKULOPATI
A. Definisi
Maculopathy, atau degenerasi makula, adalah penyakit yang terkait dengan bagian tengah
retina, yang disebut macula. Maculopathy dicirikan oleh hilangnya penglihatan sentral yang
progresif, biasanya bilateral, yang sangat mengganggu fungsi penglihatan..

B. Epidemiologi
American Academy of Ophthalmology mengatakan Penyebab utama penurunan
penglihatan atau kebutaan di AS yaitu usia yang lebih dari 50 tahun. Data di Amerika Serikat
menunjukkan, 15 persen penduduk usia 75 tahun ke atas mengalami degenerasi makula.
Perempuan lebih beresiko terkena dari pada lelaki.

C. Etiologi
Degenerasi makula dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan dapat diperberat
oleh beberapa faktor resiko, diantaranya :
1. Umur 50 tahun keatas
2. Genetik
3. Myopia derajat tinggi
4. Merokok
5. Ras kulit putih (kaukasia)
6. Penyakit kronis seperti Hipertensi dan diabetes
7. Paparan terhadap sinar Ultraviolet

D. Klasifikasi
Makulopati dibedakan menjadi 2 :

1. Makulopati atropi, terjadi bila retina mengalami penipisan


2. Makulopati eksudatif, terjadi bila terdapat pertumbuhan pembuluh darah baru yang dapat
menyebabkan jaringan parut pada mata.
Berikut penjelasannya:

1. Makulopati atropi

š + 90% degenerasi makula terkait usia adalah tipe atropi atau disebut juga tipe kering

š Umumnya bisa memberi efek berupa kehilangan penglihatan sedang. Tipe ini bersifat
multipel, kecil, bulat, bintik putih kekuningan yang di sebut drusen dan merupakan kunci
identifikasi untuk tipe atropi. Bintik tersebut berlokasi di belakang mata pada level retina
bagian luar. Adapun lesi klasik yang bisa ditemukan adanya atrofi geografik. Terdapat
endapan pigmen di dalam retina tanpa disertai pembentukan jaringan parut , darah atau
perembesan cairan.

š Ditandai oleh atrofi dan degenerasi retina bagian luar, epitel pigmen retina, membran
Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat yang bervariasi, yang dapat dilihat secara
oftalmoskopis, drusen adalah yang paling khas.

š Drusen dapat di bagi berdasarkan klinik dan histopatologi yakni drusen keras (nodular),
diffus (konfluent), halus (granular ), dan drusen kalsifikasi . Selain drusen, dapat muncul
secara progresif gumpalan-gumpalan pigmen yang tersebar secara tidak merata di daerah-
daerah depigmentasi atrofi di seluruh makula.

2. Degenerasi Makula tipe eksudatif ( tipe basah)

š Jarang terjadi namun lebih berbahaya di bandingkan dengan tipe atropi. Kira kira
didapatkan adanya 10% dari semua degenerasi makula terkait usia dan 90% dapat
menyebabkan kebutaan.

š Tipe ini ditandai dengan adanya neovaskularisasi subretina dengan tanda-tanda degenerasi
makula terkait usia yang mendadak atau baru mengalami gangguan penglihatan sentral
termasuk penglihatan kabur, distorsi atau suatu skotoma baru.

š Pada pemeriksaan fundus, terlihat darah subretina, eksudat, lesi koroid hijau abu-abu di
makula. Neovaskularisasi koroid merupakan perkembangan abnormal dari pembuluh darah
pada epitel pigmen retina pada lapisan retina. Pembuluh darah ini bisa mengalami perdarahan
dan menyebabkan terjadinya scar yang dapat menghasilkan kehilangan pusat penglihatan.
Scar ini disebut dengan Scar Disciform dan biasanya terletak di bagian sentral dan
menimbulkan gangguan penglihatan sentral permanen.
Bentuk-bentuk maculopathy:

1) miopia maculopathy
2) maculopathy diabetes,
3) makulopati eksudatif setelah trombosis vena retina.
4) maculopathy selofan atau Pucker macula
5) age related macular degeneration

E. Patomekanisme
Degenerasi makula yang terkait usia tipe kering ditandai adanya atrofi dan
degenerasi retina bagian luar, epitel pigmen retina, membran Bruch, dan
koriokapilaris dengan derajat yang bervariasi. Dari perubahan-perubahan di epitel
pigmen retina dan membran Bruch yang dapat dilihat secara oftalmoskopi adalah
drusen. Drusen adalah endapan putih kuning, bulat, diskret, dengan ukuran
bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub
posterior. Seiring dengan waktu, drusen dapat membesar, menyatu, mengalami
kalsifikasi dan meningkat jumlahnya. Secara histopatologis sebagian besar drusen
terdiri dari kumpulan lokal bahan eosinifilik yang terletak di antara epitel pigmen dan
membran Bruch; drusen mencerminkan pelepasan fokal epitel pigmen.
Walaupun pasien dengan degenerasi makula biasanya hanya memperlihatkan
kelainan non eksudatif, sebagian besar pasien yang menderita gangguan
penglihatan berat akibat penyakit ini mengalami bentuk eksudatif akibat
terbentuknya neovaskularisasi subretina dan makulopati eksudatif terkait.
Cairan serosa dari koroid di bawahnya dapat bocor melalui defek defek kecil di
membran Bruch sehingga mengakibatkan pelepasan-pelepasan lokal epitel pigmen.
Peningkatan cairan tersebut dapat semakin menarik retina sensorik di bawahnya
dan penglihatan biasanya menurun apabila fovea terkena. Pelepasan epitel pigmen
retina dapat secara spontan menjadi datar dengan bermacam-macam akibat
penglihatan dan meninggalkan daerah geografik depigmentasi pada daerah yang
terkena. Dapat terjadi pertumbuhan pemubulu-pembuluh darah baru ke arah dalam
yang meluas ke koroid sampai ruang subretina dan merupakan perubahan
histopatologik terpenting yang memudahkan timbulnya pelepasan makula dan
gangguan penglihatan sentral yang bersifat ireversivel pada pasien dengan drusen.
Pembuluh pembuluh darah ini akan tumbuh dalam konfigurasi roda-roda pedati
datar atau sea-fan menjauhi tempat masuk ke dalam ruang sub retina.

F. Gambaranklinis

Gejala-gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita degenerasi makula antara lain :
1. Distorsi penglihatan, metamorphopsia
2. Garis-garis lurus mengalami distorsi, terutama dibagian pusat penglihatan
3. Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
4. Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan
5. Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
6. kehilangan fungsi penglihatan tanpa rasa nyeri secara tiba-tiba atau perlahan

G. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil pemeriksaan
oftalmoskopi yang mencakup ruang lingkup pemeriksaan sebagai berikut :

1. Test Amsler Grid

2. Test penglihatan warna

3. Fundus Fluoresens Angiografi

H. Diagnosis banding
1. Makroneurisme
2. Vaskulopati koroid polipoid
3. Khorioretinopati serous sentral
4. Kasus inflamasi
5. Tumor kecil seperti melanoma koroid

I. Penatalaksanaan
Sampai dengan saat ini makulopati belum ditemukan pengobatannya. Tetapi dipercaya
pemberian suplemen Zinc dapat memperlambat proses perkembangan penyakit. Pada
makulopati eksudatif, tindakan laser dapat mencegah terjadinya pertumbuhan pembuluh
darah baru.

J. Prognosis
Bentuk degenerasi makula yang progresif dapat menyebakan kebutaan total.
Prognosis degenerasi makula tipe eksudat lebih buruk di banding dengan
degenerasi makula tipe non eksudat. Prognosis berdasarkan terapi, tetapi belum
ada terapi yang efektif sehingga kemungkinan untuk sembuh total sangat kecil

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Scenario di atas sangat belum lengkap jadi kita harus banyak anamnesis lagi,
DAFTAR PUSTAKA

1) Liesegang TJ., Skuta GL, Cantor LB. Retina and Vitreous. Basic and Clinical
Course. Section 12 . San Fransisco, California : American Academy of
Ophthalmology. 2003- 2004.

5. Degenerasi Makula. IDI Online-Iptek Kedokteran. http://www.idionline.org/iptekisi.php

news_id=623

6. Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi kedua.
Jakarta : BP-FKUI. 2002

7. Hardy RA, Retina dan Tumor Intraokuler. Dalam : Vaughan D.G, Asbury T, Riordan

E.P, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. 2000.

8. Degenerasi Makula dan Mata Anda. Klinik Mata Nusantara Online. http://www.klinik

matanusantara.com/degenerasi.php (diakses tanggal 29 Desember 2010)

9. James C., Chew C., Bron A. Retina dan Koroid. Dalam : Oftalmologi Edisi Sembilan.

Erlangga. 2006

Anda mungkin juga menyukai