Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus
1
KLASIFIKASI
Gambar 1. Spektrum dari hemostasis glukosa dan diabetes. Spektrum dari toleransi
glukosa yang normal menjadi diabetes type 1, diabetes tipe 2, diabetes tipe lain, dan
diabetes gestasional terlihat dari kiri ke kanan. Kebanyakan tipe dari diabetes,
penderita mengalami perubahan dari toleransi glukosa yang normal menjadi toleransi
glukosa terganggu menjadi diabetes yang sebenarnya. Anak panah menunjukan secara
arah bolak-balik perubahan toleransi glukosa pada beberapa tipe dari diabetes.
Contohnya, penderita DM tipe 2 dapat kembali berubah dari tipe 2 menjadi toleransi
glukosa terganggu dengan berkurangnya berat badan, pada diabetes gestasional,
diabetes juga dapat berubah menjadi toleransi glukosa terganggu atau bahkan toleransi
2
glukosa normal setelah persalinan. Glukosa darah puasa (GDP) dan glukosa darah 2
jam post prondial, setelah pemberian glukosa pada setiap kategori tolerasi glukosa,
terlihat pada bagian bawah gambar. Nilai-nilai tersebut tidak digunakkan untuk
mendiagnosa diabetes gestasional.beberapa tipe dari diabetes dapat perlu atau tidak
perlu insulin. (diambil dari American Diabetes Association, 2004)
Pada DM tipe 2 yang terjadi adalah adanya resistensi insulin, gangguan sekresi
dari insulin, dan peningkatan produksi dari insulin. DM tipe 2 didahului oleh suatu
gangguan homeostasis glukosa sebelumnya yaitu terdiri dari yang dikenal dengan
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT/ Impaired Fasting Glucose/ IFT) dan
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT/ Impaired Glucose Tolerance/ IGT).2
Berdasarakan patofisiologi dan etiologinya maka DM diklasifikasikan
berdasarkan tabel 1. Walaupun semua bentuk dari DM menunjukan keadaan
hiperglikemia, namun mekanisme patologis terjadinya hiperglikemia berbeda-beda.
Beberapa bentuk dari DM terkarakteristik oleh defisiensi insulin yang absolut, atau
defek genetik yang menyebabkan sekresi insulin yang defektif, dan beberapa bentuk
lain dari DM yang terjadi adalah resisitensi dari insulin.
Klasifikasi dari DM saat ini berbeda dengan klasifikasi sebelumnya.
Klasifikasi yang terdahulu dibagi menjadi dua bentuk yaitu insulin-dependent
diabetes mellitus (IDDM) dan noninsulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM).
Maka sebenarnya terdapat perbedaan anatara klasifikasi yang sekarang dan dulu.
Perbedaan yang pertama yaitu, pada DM tipe 1 (dahulu IDDM) mutlak membutuhkan
insulin dalam pengobatannya, sdangkan pada DM tipe 2 (dahulu NIDDM) tidak
membutuhkan insulin scara mutlak untuk mencegah terjadinya ketoasidosis. Namun
karena penderita DM tipe 2 sebenarnya juga membutuhkan insulin untuk mengontrol
kadar gula galam darahnya maka pernyataan diatas sepantasnya mengundang suatu
kebingungan. Perbedaan yang kedua yaitu, usia tidak lagi menjadi patokan atau dasar
pengelompokan/ klasifikasi saat ini. Walaupun DM tipe 1 sering terjadi pada usia
kurang dari 30 tahun, namun proses dari destrukksi dari sel beta dapat terjadi kapan
saja pada setiap umur. Malahan diperkirakan bahwa 5 dan 10% penderita yang
mendapatkan DM setelah usia 30 tahun merupakan DM tipe 1A. Sebaliknya,
walaupun DM tipe 2 secara tipikal terjadi seiring dengan bertambahnya usia, namun
tipe ini juga terjadi pada anak-anak, khususnya pada remaja dengan obesitas.
.
3
Tipe lain dari DM
Beberapa etiologi dari DM yaitu termasuk defek genetik yang spesifik dalam
sekresi tau kerja dari insulin, gangguan metabolik yang menyebabkan gangguan dari
sekresi insulin, abnoramlitas dari mitokondria dan kondisi-kondisi yang menyebabkan
gangguan dari toleransi glukosa. Maturity onset diabetes of the young (MODY)
adalah subtipe dari DM yang terkarakteristik oleh kelainan bawaan secara autosomal
dominan, early onset hyperglicemia , dan gangguan dari sekresi insulin. Mutasi dari
reseptor insulin mengakibatkan beberapa gangguan yang terkarakteristik dalam
resistensi insulin berat. DM dapat muncul sebagai akibat dari gangguan eksokrin dari
pankreas yaitu bila sel-sel islets pankreas (>80%) rusak. Hormon yang bekerja
sebagai antagonis dari insulin dapat meyebabkan DM. DM sering secara klinis
menunjukan adanya endokrinopati, seperti akromegali, Cushing’s disease. Infeksi
viral dihubungkan dengan kerusakan sel islet di pankreas, namun merupakan
penyebab DM yang jarang. Rubela kongenital yang sangat besar mengakibatkan
peningkatan resiko dari DM, namun kebanyakan dari penderita ini juga memiliki
marker imunologik yang menandai adanya destruksi dari sel beta secara otoimun.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi DM di dunia telah meningkat secara dramatis dalam dua dekade terakhir
ini. Begitu pula terjadi peningkatan dari GDPT. Walaupun prevalensi dari kedua tipe
DM, tipe 1 dan 2, sama-sama meningkat namun tampaknya DM tipe 2 akan lebih lagi
4
meningakat pada masa yang akan datang bersamaan dengan bertambahnya kasus
obesitas dan berkurangnya tingkat aktivitas. Prevalensi antara wanita dan laki-laki
sama namun pada usia > 60 tahun, laki laki prevalensinya lebih besar.
DIAGNOSIS
5
memiliki resiko tinggi untuk mengalami DM tipe 2 (40% muncul setelah 5 tahun) dan
penyakit kardiovaskular. Kriteria diagnostik DM yang telah diperbaharui menyatakan
bahwa GDP merupakan tes yang cocok digunakan untuk mendiagnosis penderita DM
yang tidak bergejala. Kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl ditambah dengan adanya
gejala klasik dari DM (poliuri, polidipsi, penurunan berat badan) mampu atau cukup
dapat mendiagnosis DM (tabel 2). Tes toleransi glukosa oral, walaupun masih
merupakan cara yang valid untuk mendiagnosis DM, namun tidak dianjurkan menjadi
bagian dari pemeriksaan rutin. Beberapa penemu menyatakan bahwa haemoglobin
A1c dapat digunakan untuk mendiagnosis DM. Walaupun terdapat korelasi yang kuat
anatar peningkatan kadar glukosa darah dengan HbA1c, hubungan antara GDP dan
A1c pada individu dengan toleransi glukosa yang normal atau toleransi glukosa yang
sedang masih kurang jelas, karena itu A1c sampai sekarang belum dipakai untuk
mendiagnosa DM.
Kriteria diagnosis DM yang terbaru tidak membuat atau memunculkan
penderita DM yang baru namun membuat diagnosa DM lebih mudah dilakukan pada
penderita yang belum terdiagnosa melalui kadar GDP daripada tes glukosa oral.
Contonya; prevalensi total DM di Amerika serikat (dewasa) pada usia 40-47 tahun
adalah 14,26%. Penderita DM yang belum terdiagnosa dapat terdeteksi dari gula
darah 2 jam setelah pemberian (GD 2 jam Post Prondial), glukosa darah ≥ 200 mg/dl,
adalah sebesar 6,34%. Dan hampir dua per tiga dari mereka (4,35%) terdeteksi
melalui kadar GDP ≥ 126 mg/dl. Hanya 1/3 dari mereka (2,35%) terdeteksi melalui
kadar GDP ≥ 140 mg/dl.
Tabel 2
6
II. Diabetes Melitus Tipe 2
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
(ADA 2004)
7
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis
DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium
klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara
teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan
hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Pemeriksaan penyaring
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko DM. Serangkain uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnostik
definitif.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sbb:
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2
3. Hipertensi ( 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram
6. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl
8
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya
(mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biayanya mahal, rencana tindak
lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan
untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya
pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat
dianjurkan.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT,
sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan
GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Sweetelah 5-10 tahun kemudian
1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya
kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada
kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi
dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi
DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat
segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.
Tabel Kadar glukosa darah sewaktu & puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dl)
9
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik
kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.
10
11
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
o 3 (tiga ) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
o Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
o Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan minum,
minum air putih diperbolehkan.
o Diperiksa kadar glukosa darah puasa
o Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kg BB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
o Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
o Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti
ketoasidosis, gejala klasik: poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.
*** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian
epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa
darah puasa dan 2 jam pasce pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan
kriteria diagnostik yang sama.
12
Gambar 1: Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
13
PATOGENESIS
DM tipe 1
Muncul sebagai hasil dari kerja yang sinergis dari faktor genetic, lingkungan dan
faktor imunologis yang akhirnya akan merusak sel beta pankreas. Individu yang secara
genetik memiliki sel beta yang normal pada saat lahir, namun akan kehilangan sel-sel
beta sekunder karena destruksi secara autoimun yang dapat muncul setelah beberapa
bulan sampai tahun. Proses autoimun ini dianggap dicetuskan oleh stimulus yang
infeksius/lingkungan dan memiliki molekul spesifik.
Pada sebagian besar individu, marker imunologis muncul setelah dipicu oleh suatu
kondisi namun sebelum DM secara klinis telah muncul sel-sel beta kemudian mulai
dan sekresi insulin secara progresif mulai rusak, walaupun toleransi glukosa ditangani
tingkat penurunan dari sel beta bervariasi pada setiap individu. Sebagian ada yang
secara cepat menjadi penderita DM namun sebagian ada pula yang berjalan lebih
lambat.
Secara klinis DM tidak terlihat bila sel-sel beta telah rusak sebagian besar (80%). Ini
berarti bahwa fungsi dari sel-sel beta yang sisa masih ada, namun tidak mampu
mengontrol toleransi glukosa. Peristiwa yang memicu terjadinya diabetes sering
diasosiasikan dengan kebutuhan insulin yang meningkat, yang muncul pada saat
infeksi atau pubertas. Setelah gejala awal dari DM tipe, fase ‘Honeymoon’ dapat
muncul selama kadar gula dalam darah terkontrol dan dalam dosis insulin yang
rendah atau jarang sekali saat insulin negatif dibutuhkan.
Namun fase dimana insulin endogen ini masih diproduksi oleh sel-sel beta yang
tersisa akan menghilang seiring proses kerusakan dari sel-sel beta tersebut dan
individu ini akan benar-benar mengalami defisiensi insulin.
14
15
DM tipe 2
Keadaan resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal merupakan penyebab
utama dari DM tipe 2. Walaupun masih kontroversional keadaan mana yang lebih
awal muncul namun resistensi insulin akan menyebabkan defeksekresi dari insulin
yang kemudian diabetes akan timbul apabila sekresi insulin tidak adekuat.
DM tipe 2 terkarakteristik oleh 3 patofisiologi; Sekresi insulin yang abnormal,
resistensi insulin perifer dan produksi glukosa oleh hepar yang berlebihan.
Obesitas, baik viseral atau sentral (berdasarkan rasio hip-waist) sangat umum pada
DM tipe 2. Sel adiposa mensekresi sejumlah produk (leptin, TNF-, Free fatty acids,
resilin dan adinopecilin) yang memodulasi sekresi insulin, kerja dari insulin dan berat
badan dan berkontribusi terjadinya resistensi insulin. Pada stadium awal dari
gangguan ini, toleransi glukosa masih tetap normal, resistensi insulin karena pada saat
ini sel beta berkompensasi dengan menambah pengeluaran insulin.
Saat resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensasi terjadi sel-sel tangerhans
(islet) pada beberapa individu tidak dapat menghadapi keadaan hiperinsulinemia
tersebut. Toleransi glukosa terganggu yang terkarakteristik oleh elevasi, setelah
pemberian glukosa (fost prondial) kemudian muncul. Penurunan yang lebih jauh dari
sekresi insulin dan penambahan dari produksi insulin oleh hepar dapat menyebabkan
diabetes dengan hiperglikemi pada saat puasa. Dan pada akhirnya, kegagalan dari sel
sel beta muncul marker dari inflamasi sperti IL-6 dan protein (reactive sering
meningkat pada DM tipe 2).
Insulin Resisten
Penurunan kemampuan dari insulin untuk bekerja secara efektif di target organ perifer
(khususnya otot dan hati) adalah kondisi yang utama pada DM tipe 2 dan muncul dari
kombinasi F genetic dan obesitas. Resistensi insulin adalah relatif, karena kadar
supernormal dari insulin dalam darah akan ‘menormalkan glukosa darah’.
Resistensi insulin merusak penggunaan dari glukosa oleh jaringan yang sensitif
terhadap insulin dan meningkatkan output dari glukosa oleh hepar, kedua efek
tersebut disebut Hiperglikemia. Peningkatan dari produksi glukosa oleh hepar
menyebabkan penempatan dari kadar glukosa dara puasa, yang menyebabkan
16
penurunan penggunaan glukosa di perifer dan menyebabkan Hiperglikemia
postprandial.
PENGELOLAAN
A. Tujuan Pengelolaan
Tujuan pengelolaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup pasien diabetes
Tujuan jangka pendek: hilangnya keluhan & tanda DM & mempertahankan rasa
nyaman & sehat
Tujuan jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhir turunnya
morbiditas dan mortalitas dini DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian hiperglikemia, tekanan darah, berat badan dan lipid, melalui
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan perilaku.
17
B. Langkah-langkah yang perlu dilakukan pada pengelolaan pasien DM
1. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan jasmani lengkap
2. Evaluasi medis khusus diabetes pada pertemuan awal:
o Anamnesis keluhan hiperglikemia dan komplikasi
o Pemeriksaan jasmani pada setiap kali pertemuan:
TB,BB,TD (diperiksa pada 2 posisi, berbaring & duduk atau berdiri),
lingkar pinggang
Tanda neuropati
Mata (ketajaman penglihatan/visus, katarak)
Gigi mulut
Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku
o Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan:
Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED
Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
Urinalisis rutin
o Pemeriksaan laboratorium tambahan yang disarankan, tergantung fasilitas
yang tersedia:
A1C
Albuminuri mikro
Kreatinin
Albumin/Globulin dan SGPT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
EKG
Fibrinogen
Foto sinar-X dada
Funduskopi
o Edukasi singkat mengenai:
Apakah penyakit DM itu
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi
18
o Menurut kebutuhan: pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam
sesudah makan. Tiap 3 (tiga) bulan: A1C
o Tiap tahun:
Pemeriksaan jasmani lengkap
Albuminuri mikro
Kreatinin
Albumin/globulin dan SGPT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
EKG
Fibrinogen
Foto sinar-X dada
Funduskopi
C. Pilar pengelolaan DM
PERENCANAAN MAKAN
Dari berbagai penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa latihan jasmani yang
teratur bersama dengan perencanaan makanan yang tepat dan penurunan BB
merupakan penatalaksanaan diabetes yang dianjurkan terutama bagi penyandang DM
tipe 2.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
19
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan
insulin.
o Edukasi
20
Masalah khusus yang dihadapi
Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
o Perencanaan Makan
Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan diabetes, meski sampai
saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien.
Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing individu.
Yang dimaksud dengan karbohidrat yaitu gula, tepung dan serat. Faktor yang
berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan
makanan dan bentuk makanan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak dan
protein). Jumlah masukan kalori makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting
daripada sumber atau macam karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap
diijinkan. Pada keadaan glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk
mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai dengan 5 % kebutuhan kalori.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
Karbohidrat 60 – 70 %
Protein 10 – 15 %
Lemak 20 – 25 %
Makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% masih memberikan hasil yang
baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid),
dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah
kandungan serat 25 g/hari, diutamakan serat larut. Pasien diabetes dengan hipertensi
perlu mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya.
Pemanis buatan yang tak bergizi yang aman dan dapat diterima untuk digunakan
pasien diabetes termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartam, acesulfame
potassium dan sucralose. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,
umur, ada tidaknya stres akut dan kegiatan jasmani.
Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) dan rumus
Broca.
21
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengasn rumus IMT = BB(kg) / TB (m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18.5
BB Normal 18.5 – 22.9
BB Lebih 23.0
Dengan resiko 23.0 – 24.9
Obes I 25.0 – 29.9
Obes II 30
*Klasifikasi Asia Pasifik
Untuk menghitung kebutuhan kalori, dapat dipakai rumus Broca, yaitu:
Berat Badan Idaman (BBI) = (TB – 100) – 10%
Status gizi: BB aktual x 100 %/TB(cm) – 100
BB Kurang bila BB < 90 % BBI
BB Normal bila BB 90 – 110 % BBI
BB Lebih bila BB 110 – 120 % BBI
Gemuk bila BB > 120 %
Untuk menghitung kebutuhan kalori dapat juga digunakan cara-cara
penghitungan lainnya.
o Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali/minggu selama ± 30
menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani
dapat menurunkan berat abdan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud adalah
jalan, bersepeda santai, jogging, berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki
ke pasa, menggunakan tangga, berkebun tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu
lama kegiatan yang kurang gerak seperti menonton televisi.
o Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
22
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 3 golongan:
o Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
o Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
o Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Obat ini mempuyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang seperti klorpropamid
2. Glinid
Merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati.
2. Tiazolidindion
23
Tiazolidindion (contoh; rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR γ), suatu reseptor inti
di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah pentranspor glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema
/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.
o Penghambat Glukosidase
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak mengakibatkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Tabel Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap penurunan
A1C
Diare, dispepsia,
Metformin Menekan produksi glukosa 1.5 – 2.5 %
asisdosis laktat
Penghambat Flatulens,
Menghambat absorpsi glukosa 0.5 – 1.0 %
glukosidase alfa tinja lembek
Menambah sensitivitas terhadap
Tiazolidindion Edema 1.3 %
insulin
Menekan produksi glukosa hati, Hipoglikemia,
Insulin Potensi normal
stimulasi pemanfaatan glukosa BB naik
24
Daonil
Glibenklamid 2.5 – 5 2,5 - 15 12 - 24 1-2
Euglucon
Minidiab 1-2
Glipizid 5 – 10 5 - 20 10 - 16
Glucontrol-XL** 1
Diamicron
Gliklazid 80 80 - 240 10 - 20 1-2
Diamicron-MR**
2,
3,
1,
Bersama
Penghambat
Acarbose Glucobay 50 – 100 100 -300 3 suapan
Glukosidase
pertama
Biguanid Metformin Glucophage 500 – 850 250 - 3000 6 - 8 1-3
Bersama /
Kombinasi
sesudah
Metformin + Gluconvance*
makan
Glibenklamid
25
Metformin: sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat (sesuai
toleransi)
Penghambat glukosidase α (Acarbose): bersama suapan pertama
Tiazolidindion: tiada bergantung pada jadwal makan
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, bisa sampai dosis hampir maksimal
INSULIN
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asisdosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistematik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan pencernaan makanan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
TERAPI KOMBINASI
26
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan
OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua
kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Untuk memulai
terapi kombinasi tidak perlu menunggu sampai dosis maksimal. Dapat pula diberikan
kombinasi ketiga kelompok OHO bila belum juga tercapai sasaran yang diinginkan,
atau ada alasan klinis insulin tidak memungkinkan untuk diberikan.
Kalau dengan OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri-sendiri ataupun secara
kombinasi, sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya kegagalan
pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, insulin kerja sedang dapat diberikan pada pagi hari
atau malam hari. Yang banyak digunakan adalah kombinasi OHO dan insulin malam
hari, mengingat walaupun dapat diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama,
tetapi jumlah insulin yang diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin
kerja sedang malam hari. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 5 unit yang
diberikan antara jam 22.00 – 24.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Peningkatan dosis 2 - 4
unit dilakukan tiap 3 - 4 hari. Bila dengan cara tersebut kadar glukosa darah sepanjang
hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan
insulin saja.
Tabel Jenis dan lama kerja insulin
Manusia
Analog
27
Efek Puncak
Macam Insulin Buatan Lama Kerja (jam)
(jam)
Cepat 2-4 6–8
Novo-Rapid* Novo (U-40 dan U-100)
Humalog Eli Lilly (U-100)
Pendek
Actrapid Novo (U-40 dan U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4 - 12 18 – 24
Insulatard Human Novo (U-40 dan U-100)
Monotard Human Novo (U-40 dan U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1-8 14 – 15
Mixtard 30/70 Novo (U-40 dan U-100)
Humulin 30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang Tanpa puncak 24
Lantus* Aventis
* Belum beredar di Indonesia
28
(untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), dan
ketika mengalami gejala seperti “hypoglicemic spells” atau penyakit lain.
4. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung dan
kurang akurat , dan hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak
mau memeriksa kadar glukosa darah. Ekskresi glukosa renal rata-rata -/+ 180
mg/dl, namun dapat bervariasi pada beberapa pasien dan bahkan pada pasien
yang sama dalam jangka waktu lama. Glukosa urin normal tidak dapat
membedakan hipoglikemia, euglikemia, atau hiperglikemia sedang.
5. Penentuan Benda Keton
Pemantauan benda keton baik dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada pasien diabetes tipe 2 terkendali buruk (kadar glukosa darah >
300 mg/dl) dan dengan penyulit akut serta bila ada gejala-gejala KAD (keto
asidosis diabetik) seperti mual, muntah atau nyeri abdominal. Pemeriksaan
benda keton juga diperlukan pada pasien diabetes tipe 2 yang sedang hamil.
Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang
penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dimungkinkan
pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung
dengan alat pengukur glukosa darah dengan menggunakan strip kusus. Kadar
benda keton darah < 0.6 mmol/L dianggap normal, diatas 1 mmol/L disebut
ketosis dan melebihi 3 mmol/L indikasi adanya KAD.
6. Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian
DM yang baik. Diabetes terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa
darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah,
status gizi, tekanan darah, kadar lipid dan A1C seperti pada tabel di bawah ini.
29
Trigeliserida < 150 150 – 199 200
IMT (kg/m2) 18.5 - 22.9 23 – 25 > 25
Tekanan Darah < 130/80 130-140 / 80-90 > 140/90
Keterangan:
Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena
Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi
dari biasa (puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan < 200 mg/dl). Demikian pula kadar
lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian
sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pada pasien usia lanjut dan
juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat. ADA
menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed time) jam 22.00.
PENYULIT
Penyulit akut :
1. ketoasidosis diabetik
2. hiperosmolar non ketotik
3. hipoglikemia
Penyulit kronik :
1. makroangiopati :
- pembuluh darah jantung
- pembuluh darah tepi
- pembuluh darah otaks
2. mikoroangiopati :
- pembuluh darah kapiler retina mata
- pembuluh darah kapiler ginjal
3. neuropati
30
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk
mendapat DM. Edukasi sangat penting dalam upaya pencegahan primer.Pemerintah
melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen
Pendidikan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam
programpenyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah, hendaknya
telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan
jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan resiko
merokok bagi kesehatan.
31
Pencegahan Sekunder
Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun kegiatan
tersebut memerlukan biaya yang besar. Memberikan pengobatan sejak awal sudah
harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit
menahun. Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan
primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-langkah
tersebut, diharapkan dapat diperoleh hasil yang optimal.
Pencegahan Tersier
Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola harus
berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini
mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat
diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin
ilmu seperrti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli dari disiplin lain
seperti pada bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medis, gizi, podiatri dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Kasper, Braunwald et. al,. Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA.
16th edition, volume II;McGraw-Hill;2005
2. Lebovitz, HE. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. USA. 14th
edition:American Diabetes Association;2004
33
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
DIAGNOSIS
DAN
PENATALAKSANAAN
Disusun oleh :
Fiona Mauria Tambunan (0061050061)
Pembimbing :
Dr. YUNUS TANGGO, Sp.Pd
34
JAKARTA
2006
35