Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KUALITATIF SENYAWA BAHAN ALAM

Dewi Septianingsih (K1A016013)

PENDAHULUAN
Saat ini, penggunaan bahan alam sebagai bahan obat di kalangan masyarakat semakin
meningkat seiring dengan berkembangnya bahan-bahan alam yang berkhasiat sebagai obat.
Pemanfaatan bahan alam atau tanaman obat tersebut meliputi pengobatan maupun pencegahan
terhadap suatu penyakit serta perlindungan kualitas kesehatan. Untuk menunjang hal tersebut,
perlu dilakukan skrining atau analisis secara kualitatif terkait senyawa-senyawa yang terdapat
dalam bahan alam yang berkhasiat sebagai obat. Skrining atau analisis kualitatif terhadap
kandungan senyawa dalam bahan alam ini umumnya disebut skrining fitokimia.
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian bahan alam
yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam
bahan alam tersebut. Metode skrining fitokimia ini dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna terhadap sampel tumbuhan.
Tumbuhan umumnya menghasilkan berbagai macam senyawa kimia organik, senyawa
kimia ini bisa berupa metabolit primer maupun metabolit sekunder. Salah satu contoh produk
metabolit primer yang terdapat dalam tumbuhan adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan
suatu polihidroksildehida yang tersusun oleh unsur karbon, hidrogen dan oksigen dengan rumus
umum Cn(H2O)n. Senyawa karbohidrat memiliki gugus fungsi polihidroksil dan gugus aldehid
atau keton dengan perbandingan atom H dan O yaitu dua berbanding satu (Lehninger, 1982;
Poedjiadi, 2005). Berdasarkan jumlah monomer penyusunnya, karbohidrat diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu monosakarida, disakarida dan polisakarida. Monosakarida adalah karbohidrat
yang sederhana, dalam arti molekulnya hanya terdiri atas beberapa atom karbon saja dan tidak
dapat diuraikan dengan cara hidrolisis menjadi karbohidrat lain. Disakarida adalah produk
kondensasi dari dua unit monosakarida. Sedangkan polisakarida adalah polimer yang tersusun
atas lebih dari lima belas monosakarida (Poedjiadi, 2005; Fessenden, 1982).
Selain metabolit primer, kebanyakan tumbuhan juga menghasilkan metabolit sekunder
atau dikenal sebagai hasil alamiah metabolisme. Hasil dari metabolit sekunder ini lebih
kompleks dibandingkan dengan metabolit primer. Berdasarkan asal biosintetiknya, metabolit
sekunder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yakni terpenoid (triterpenoid, steroid, dan
saponin) alkaloid dan senyawa-senyawa fenol (flavonoid dan tanin) (Simbala, 2009).
Glikosida adalah zat aktif yang termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Senyawa
glikosida terdiri atas gabungan dua bagian senyawa yaitu gula bukan gula. Keduanya
dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen (O – glikosida, dioscin),
jembatan nitrogen (N – glikosida, adenosine), jembatan sulfur (S – glikosida, sinigrin), maupun
jembatan karbon (C – glikosida, barbaloin). Bagian gula biasa disebut glikon sedangkan bagian
bukan gula disebut sebagai aglikon (Untara, 2014).
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung larut dalam air karena
umumnya mereka seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat pada
vakuola sel (Putra, 2007).
Flavonoid adalah suatu kelompok yang termasuk ke dalam senyawa fenol yang terbanyak
di alam, senyawa-senyawa flavonoid ini bertanggung jawab terhadap zat warna ungu, merah,
biru dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Berdasarkan strukturnya senyawa
flavonoid merupakan turunan senyawa induk “flavon” yakni nama sejenis flavonoid yang
terbesar jumlahnya dan lazim ditemukan, yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan
primula. Sebagian besar flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula
sebagai glikosida dan dalam bentuk campuran dan jarang sekali dijumpai berupa senyawa
tunggal (Putri, 2011). Senyawa flavonoid mempunyai 15 atom karbon yang tersusun dalam
konfigurasi C6 - C3 - C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh 3 atom karbon yang
dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan
hijau sehingga dapat ditemukan pada setiap ekstrak tumbuhan (Markham, 1988).
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada semua jenis
tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat
basa dan membentuk cincin heterosiklik (Harborne, 1984). Alkaloid dapat ditemukan pada biji,
daun, ranting dan kulit kayu dari tumbuh-tumbuhan. Kadar alkaloid dari tumbuhan dapat
mencapai 10-15%. Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna
dalam pengobatan. Alkaloid merupakan senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik aktif,
kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada
suhu kamar (Sabirin, et al., 1994).
Semua terpenoid berasal dari molekul isoprena, CH 2=C(CH3)-CH=CH2 dan kerangka
karbonya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Walaupun demikian, secara
biosintesis senyawa yang berperan adalah isopentil pirofosfat, yang terbentuk dari asetat melalui
asam mevalonate. Isopentil piropospat terdapat dalam sel hidup dan berkesinambungan dengan
isomernya, dimetilalil piropospat. Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan
terdapat didalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya diekstraksi memakai petrolium eter, eter
atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel dengan pelarut ini
(Harborne, 1987).
Steroid adalah terpenoid yang kerangka dasarnya terbentuk dari sistem cincin
siklopentana prehidrofenantrena. Steroid merupakan golongan senyawa metabolik sekunder
yang banyak dimanfaatkan sebagai obat. Hormon steroid pada umumnya diperoleh dari
senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Djamal, 1988).
Menurut Harborne (1978), saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel
darah merah. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan baku pembuatan
hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan keracunan pada ternak
(Robinson, 1991).
Untuk mampu melakukan analisis dan identifikasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam
bahan alam tersebut, telah dilakukan percobaan analisis kualitatif metabolit primer
(karbohidrat) dan metabolit sekunder (glikosida, fenolik, flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid
dan saponin) pada sampel simplisia yang telah dibuat pada percobaan sebelumnya.

MATERIAL DAN METODE PRAKTIKUM


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sampel simplisia jahe (Zingiber
officinale), aquadestilata, pelarut organic (metanol, kloroform, etanol 96%), reagen molisch dan
benedict, asam sulfat, larutan iodium, isopropanolol, natrium sulfat anhidrat, larutan timbal (II)
asetat 0,4 N, pereaksi (AlCl3, Mayer, Dragendorf, Bouchardat, Sudan III), asam klodrida dan asam
asetat anhidrat.
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan meliputi alat-alat gelas, pipet volum 10 mL,
corong pisah, penangas air, hotplate, pipet tetes, cawan petri, timbangan analitik, kertas saring,
sonikator, bejana elusi KLT, dan lemari asam.
Metode Praktikum
a. Deteksi Karbohidrat
Dalam percobaan deteksi karbohidrat, dilakukan 3 buah pengujian yang berbeda yaitu uji
molisch, uji benedict dan uji yodium. Pada uji molisch, serbuk simplisia sebanyak 1-gram
dicampur dengan 10 mL campuran etanol 96% dan aquadest (7:3) lalu dipanaskan diatas
penangas air. Setelah itu didinginkan dan disaring. Sebanyak 1 mL fitrat dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan 2 tetes reagen Molisch lalu dikocok. Ditambahkan 1 mL asam
sulfat pekat dan diamati hasilnya.
Pengujian yang kedua yaitu uji benedict, serbuk simplisia sebanyak 1-gram dimasukkan
ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 tetes reagen Benedict lalu dikocok. Diamati warna
yang terbentuk, selanjutnya campuran dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit dan
diamati perubahan warnanya.
Pada uji yodium, serbuk simplisia ditempatkan diatas plat tetes lalu ditambahkan 1 tetes
larutan yodium dan diamati perubahan warna yang terjadi.

b. Deteksi Glikosida
Pada analisis senyawa glikosida, serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3-gram lalu disari
dengan 30 mL campuran etanol 96% dan aquadestilata (7:3), kemudian direfluks selama 10
menit. Campuran didinginkan terlebih dahulu lalu disaring. Pada 20 mL filtrat ditambahkan 25
mL timbal (II) asetat 0,4 N lalu dikocok dan didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Hasil
saringan kemudian disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran kloroform dan
isopropanolol (3:2). Lapisan kloroform diambil, kemudian ditambahkan natrium sulfat anhidrat
secukupnya lalu disaring. Setelah itu campuran diuapkan dengan temperatur tidak lebih dari
500C.
Sisa dari campuran kemudian dilarutkan dengan 2 mL metanol, kemudian diambil 0,1 mL
dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu diuapkan dalam penangas air. Sisa larutan
kemudian ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molish lalu dikocok. Ditambahkan 2 mL
asam sulfat pekat secara perlahan-lahan lalu diamati reaksi yang terjadi.

c. Deteksi Alkaloid
Serbuk simplisia sebanyak 0,5-gram ditambahkan 1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL
aquadestilata. Setelah itu dipanaskan selama 2 menit dan didinginkan lalu disaring. Filtrat hasil
saringan kemudian dibagi dalam 2 tabung reaksi, pada tabung pertama ditambahkan 2 tetes
pereaksi Mayer dan pada tabung kedua ditambahkan 2 tetes pereaksi Dargendrof lalu diamati
reaksi yang terjadi pada masing-masing tabung.

d. Deteksi Minyak Atsiri


Diambil potongan tipis sampel dan diletakkan diatas plat tetes lalu ditambahkan 3 tetes
larutan Sudan III. Setelah itu diamati perubahan warna yang terjadi.

e. Deteksi Saponin
Sebanyak 0,5-gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 mL
air suling panas lalu didingikan. Setelah dingin, campuran dikocok kuat-kuat selama 10 detik
hingga terbentuk buih atau busa. Kemudian ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N dan
diamati apakah buih hilang atau tidak.

f. Deteksi Steroid
Sebanyak 1-gram sampel disonikasi dengan 20 mL n-heksana selama 10 menit lalu
disaring. Filtrat kemudian diuapkan dalam cawan porselen dan pada sisa filtrat ditambahkan 2
tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat lalu diamati reaksi yang terjadi.

g. Deteksi Fenolik, Flavonoid dan Alkaloid


Sebanyak 2-gram serbuk sampel disonikasi dengan 20 mL metanol selama 5 menit
kemudian disaring. Setelah itu, diulangi lagi proses ekstraksi sebanyak 2 kali. Ekstrak kemudian
dipekatkan diatas penangas air menggunakan cawan petri. Hasilnya kemudian ditotolkan pada
plat KLT dan dikembangkan dengan fase gerak. Setelah itu, plat disemprot dengan pereaksi AlCl 3
untuk deteksi flavonoid dan pereaksi folin ciocalteu untuk deteksi fenolik.
Pada percobaan ini, untuk deteksi fenolik digunakan fase gerak etil asetat, metanol dan air
dengan perbandingan 100:13,5:10 sedangkan untuk deteksi flavonoid digunakan fase gerak
kloroform, metanol dan air dengan perbandingan 28:12:1.

PEMBAHASAN HASIL PRAKTIKUM


Skrining fitokimia dilakukan untuk menentukan golongan senyawa aktif dari ekstrak
tumbuhan. Skrining fitokimia yang sering dilakukan yaitu uji fenol, glikosida, alkaloid, steroid,
saponim dan flavonoid. Menurut Harbone (1987), fitokimia adalah suatu teknik analisa
kandungan kimia didalam tumbuhan. Analisis ini bersifat kualitatif sehingga data yang
dihasilkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu dengan metode fitokimia dapat diketahui secara
kualitatif kandungan kimia dalam suatu jenis tumbuhan. Secara umum kandungan kimia
tumbuhan dapat dikelompokkan kedalam golongan senyawa alkaloid, steroid, saponin, flavonoid,
fenolik, dan minyak atsiri. Senyawa-senyawa tersebut tersebar luas didalam tumbuhan. Untuk
menentukannya maka digunakan pereaksi-pereaksi khusus dan spesifik, misalnya pereaksi
Dragendrof, Mayer, Bouchardat untuk alkaloid atau pereaksi Sudan III untuk minyak atsiri.
Pada percobaan kali ini, uji fitokimia dilakukan terhadap sampel simplisia yang telah
dibuat sebelumnya yaitu simplisia jahe (Zingiber officinale). Uji fitokimia ini secara umum
dilakukan dengan menggerus simplisia terlebih dahulu sehingga ukuran partikel sampel menjadi
sangat kecil sehingga memudahkan kandungan kimia dari bahan atau sampel tersebut untuk
dapat tersaring dengan baik. Pengujian yang dilakukan diantaranya adalah deteksi karbohidrat
dengan uji molisch, uji benedict dan uji yodium, deteksi glikosida, deteksi alkaloid, deteksi
minyak atsiri, deteksi saponin, deteksi steroid dan deteksi fenolik serta flavonoid.

a. Deteksi Karbohidrat
Karbohidrat merupakan produk pertama yang terbentuk dalam fotosintesis tumbuhan.
Senyawa karbohidrat merupakan suatu polihidroksildehida yang tersusun oleh unsur karbon,
hidrogen dan oksigen dengan rumus umum Cn(H2O)n. Dalam mengidentifikasi keberadaan
karbohidrat pada simplisia jahe, dilakukan 3 pengujian yaitu uji molisch, uji benedict dan uji
yodium. Pada uji molisch, 1-gram serbuk simplisia jahe dicampur dengan 10 mL campuran
etanol 96% dan aquadest (7:3) lalu dipanaskan diatas hotplate. Tujuan dari pemanasan ini
adalah untuk mempercepat reaksi pada sistem. Setelah itu, campuran didinginkan dan disaring
dengan kertas saring. Tujuan dari penyaringan ini yaitu agar meminimalisir jumlah partikel
simplisia yang masih terdapat dalam campuran agar benar-benar bersih. Kemudian dari filtrat
tersebut, diambil 1 mL dan dimasukkan dalam tabung reaksi lalu diberikan 2 tetes reagen
molisch. Setelah ditambahkan reagen, pada filtrat kemudian terbentuk cincin hijau dan hitam
pada bagian tengah larutan (Gambar 3.1). Hasil ini menunjukkan bahwa pada sampel simplisia
jahe negatif mengandung monosakarida. Hal tersebut sesuai dengan literatur menurut
Sumardjo (2008), uji Molisch adalah uji yang memiliki prinsip hidrolisis karbohidrat menjadi
monosakarida, selanjutnya monosakarida jenis pentosa akan mengalami dehidrasi dengan asam
tersebut menjadi furfural, sementara golongan heksosa menjadi hidroksi-multifurfural
menggunakan asam organik pekat. Pereaksi Molisch yang terdiri dari α-naftol dalam alkohol
akan bereaksi dengan furfural tersebut membentuk senyawa kompleks berwarna ungu. Uji ini
bukan uji spesifik untuk karbohidrat. Warna ungu kemerah-merahan menyatakan reaksi positif,
sedangkan warna hijau adalah negatif.

Gambar 3.1 Cincin Hijau dan Hitam yang terbentuk pada sampel (uji Molisch)

Selanjutnya, untuk lebih memastikan kandungan karbohidrat pada sampel, dilakukan juga
uji benedict atau identifikasi gula pereduksi dengan reagen benedict. Reagen benedict
merupakan larutan tembaga alkalis yang akan direduksi oleh gula dengan gugus aldehid atau
keton bebas membentuk kupro oksida yang berwarna. Gula pereduksi bereaksi dengan pereaksi
menghasilkan endapan merah bata (Cu2O). Pada gula pereduksi terdapat gugus aldehid dan OH
laktol. OH laktol adalah OH yang terikat pada atom C pertama yang menentukan karbohidrat
sebagai gula pereduksi atau bukan (Sudarmadji Slamet, et al., 1996). Pengujian dilakukan dengan
menambahkan campuran etanol 96% dan aquadest (7:3) pada 1-gram serbuk simplisia lalu
dipanaskan diatas hotplate lalu setelah dingin campuran disaring. Setalah itu, diambil 2 mL dari
filtrat dan ditambahkan 5 tetes reagen benedict yang berwarna biru lalu dikocok. Dari perlakuan
tersebut, diperoleh hasil filtrat yang sebelumnya berwarna kuning kecoklatan berubah menjadi
warna orange. Selanjutnya campuran kembali dipanaskan selama 5 menit. Dari hasil pemanasan
tersebut diperoleh warna campuran mula-mula berubah warna menjadi hijau lalu merah bata
dan tidak terbentuk endapan (Gambar 3.2). Hasil ini menandakan bahwa sampel simplisia jahe
negatif mengandung gula pereduksi. Reaksi yang terjadi yaitu sampel tidak mampu mereduksi
senyawa dan membentuk endapan tembaga oksida (Cu2O) karena sampel tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif seperti yang dimiliki gula pereduksi.

Gambar 3.2 Warna merah bata yang terbentuk pada sampel (uji Benedict)
Uji terakhir untuk deteksi karbohidrat yaitu uji yodium. Uji yodium ini merupakan uji yang
bertujuan untuk mendeteksi adanya pati dalam sampel. Pertama-tama pada serbuk simplisia
diambahkan 1 tetes larutan yodium lalu diamati perubahan warnanya. Pada percobaan ini,
diperoleh hasil bahwa sampel menunjukkan warna biru yang menandakan sampel simplisia jahe
positif mengandung pati.

b. Deteksi Glikosida
Serbuk simplisia dilarutkan dengan campuran etanol 96% dan aquadest, hal ini
dikarenakan glikosida merupakan senyawa yang dapat larut dalam pelarut polar sehingga
digunakan pelarut tersebut. Kemudian campuran direfluks selama 10 menit untuk mengambil
sari berdasarkan perbedaan titik didihnya yaitu dengan cara menguapkan sampel. Dari
perlakuan ini diperoleh warna sampel berubah menjadi orange pekat. Setelah itu, campuran
didindingkan beberapa saat lalu disaring untuk membersihkan campuran. Dari filtrat tersebut
kemudian ditambahkan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 N, lalu dikocok dan didiamkan selama 5
menit untuk menurunkan endapannya. Tujuan dari penambahan timbal (II) asetat ini adalah
untuk mengendapkan klorofil yang telah larut dalam alkohol. Setelah itu campuran disaring.
Hasil filtrat tersebut kemudian disari menggunakan pelarut organik yaitu 20 mL campuran
kloroform dan isopropanolol (3:2). Proses penyarian ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk
mendapatkan kualitas sari yang baik. Setelah itu, lapisan kloroform diambil dan ditambahkan
natrium sulfat anhidrat secukupnya. Tujuan dari penambahan ini adalah untuk mengikat
kemungkinan air yang masih ada dalam glikosida. Kemudian setelah itu larutan disaring dan
diuapkan.
Sisa sampel kemudian dilarutkan dengan 2 mL methanol dan diambil 0,1 mL untuk
diuapkan kembali diatas penangas air. Dari proses penguapan kedua ini, sisanya ditambahkan 2
mL air dan 5 tetes pereaksi molisch kemudian dikocok. Dari perlakuan ini, diperoleh pada
campuran terbentuk 2 lapisan, yang mana pada bagian atas berwarna orange dan bawah
berwarna putih. Kemudian, secara hati-hati ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding
tabung. Penambahan asam sulfat pekat ini bertujuan untuk dapat menghidrolisis larutan
sehingga dapat menghasilkan cincin warna ungu. Namun, diperoleh pada campuran terbentuk 3
lapisan dengan lapisan atas berwarna putih keruh, lapisan tengah berwarna hijau dan lapisan
bawah berwarna bening. Hasil ini menunjukkan bahwa pada sampel negatif mengandung gula
adeoksi dari kardenolida (glikosida jantung).

c. Deteksi alkaloida
Deteksi alkaloida dilakukan dengan melarutkan serbuk simplisia dengan 1 mL asam
klorida dan 9 ml aquadest lalu dipanaskan selama 2 menit. Penambahan asam klorida ini
berfungsi untuk membentuk garam alkaloid, karena alkaloid yang bersifat basa dapat larut
dalam pelarut yang bersifat asam. Sedangkan pemanasan dalam uji alkaloid bertujuan untuk
membentuk garam alkaloid yang stabil. Setelah itu, didinginkan beberapa saat lalu disaring.
Filtratnya kemudian dibagi menjadi 2 dan diberikan pada masing-masing tabung reagen yang
berbeda yaitu reagen Mayer dan Dragendrof.
Pereaksi mayer digunakan untuk mendeteksi alkaloid dimana pereaksi ini berikatan
dengan alkaloid melalui ikatan koordinasi antara atom N alkaloid dan Hg pereaksi mayer
sehingga menghasilkan senyawa kompleks merkuri yang non-polar mengendap berwarna putih.
Pada tabung yang diteteskan reagen Mayer, diperoleh hasil warna larutan menjadi bening dan
terdapat endapan putih sehingga memberikan hasil yang positif.
Pereaksi dragendorff dapat mengendapkan alkaloid karena dalam senyawa alkaloid
terdapat gugus nitrogen yang memiliki satu pasang elektron bebas menyebabkan senyawa
alkaloid bersifat nukleofilik (basa). Maka dari itu, senyawa alkaloid mampu mengikat ion logam
berat (Dragendorff) yang mempunyai muatan positif sehingga terbentuk endapan jingga. Pada
tabung yang diteteskan reagen dragendrof, diperoleh hasil larutan berwarna jingga yang
memberikan hasil yang positif.
Dari kedua hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dalam sampel simplisia jahe positif
terkandung senyawa alkaloida.

d. Deteksi Minyak Atsiri


Potongan tipis sampel ditempatkan pada cawan porselen lalu diteteskan 3 tetes larutan
Sudan III. Pada perlakuan ini sampel menunjukkan perubahan warna dari putih kekuningan
menjadi merah. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam sampel simplisia jahe
positif mengandung minyak atsiri.

e. Deteksi Saponin
Sebanyak 0,5-gram sampel dilarutkan dalam 100 mL air suling panas lalu didinginkan.
Setelah dingin kocok kuat-kuat selama 10 detik hingga terbentuk buih lalu tambahkan 1 tetes
larutan HCl 2 N untuk melihat apakah buih hilang atau tidak. Berdasarkan hasil pengamatan,
diperoleh bahwa pada saat penambahan HCl 2 N menunjukkan buih hilang. Hal ini berarti pada
sampel simplisia jahe negatif mengandung saponin karena untuk hasil positif adanya saponin
akan menyebabkan buih tidak hilang pada saat penambahan HCl (Depkes, 1995).

f. Deteksi Steroid
Sampel disonikasi dengan 20 mL n-heksana selama 10 menit lalu disaring. Berdasarkan
literatur, sonikasi adalah suatu teknologi yang memanfaatkan gelombang ultrasonik, dimana
gelombang ini dapat merambat dalam medium padat, cair, dan gas. Proses sonikasi ini mengubah
sinyal listrik menjadi getaran fisik yang dapat diarahkan untuk suatu bahan dengan
menggunakan alat yang bernama sonikator. Sonikasi biasanya dilakukan untuk memecah
senyawa atau sel untuk pemeriksaan lebih lanjut. Getaran ini memiliki efek yang sangat kuat
pada larutan, menyebabkan pecahnya molekul dan putusnya sel (Suslick, 1989).
Setelah disaring, filtrat diuapkan dan pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat
dan 1 tetes asam sulfat pekat. Tujuan penambahan asam asetat anhidrat adalah untuk menyerap
air dan membantu pengoksidasian asam oleh asam sulfat, karena reaksi pengoksidasian asam
tersebut tidak akan berlangsung jika masih terkandung air didalamnya. Pada perlakuan ini,
diperoleh hasil bahwa pada campuran terbentuk warna coklat dan terdapat endapan. Dari hasil
ini, dapat dikatakan bahwa dalam sampel simplisia jahe negatif mengandung steroid karena
menurut teori, hasil positif ditunjukkan dengan timbulnya warna ungu atau merah kemudian
berubah menjadi hijau biru (Harbone, 1978).

g. Deteksi Fenolik dan Flavonoid


Serbuk sampel disonikasi dengan 20 mL metanol selama 5 menit kemudian disaring.
Proses ekstrasi ini diulangi sebanyak 2 kali untuk memberikan hasil ekstraksi yang berkualitas
baik. Ekstrak kemudian dipekatkan diatas penangas air dan hasilnya ditotolkan pada plat KLT
dan dikembangkan dengan fase gerak. Hasil pengembangan plat KLT kemudian dibaca
menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm (Gambar 3.3) dan panjang gelombang
366 nm (Gambar 3.4).

Gambar 3.3 Hasil pembacaan plat KLT menggunakan UV Gambar 3.4 Hasil pembacaan plat KLT menggunakan UV
panjang gelombang 254 nm untuk uji Fenolik (kiri) dan panjang gelombang 366 nm untuk uji Fenolik (kiri) dan
Flavonoid (kanan) Flavonoid (kanan)
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
pada pembacaan dengan gelombang UV 254 nm dan telah disemprot dengan pereaksi AlCl 3
dihasilkan bahwa simplisia jahe positif mengandung flavonoid karena menghasilkan warna
hitam, begitu juga pada pembacaan dengan gelombang UV 366 nm menujukkan hasil yang positif
karena sesuai teori bahwa menurut Marlina (2005), reaksi positif ditunjukkan dengan
terbentuknya noda berwarna kuning cokelat setelah pada pengamatan dengan sinar 366 nm
menegaskan adanya kandungan flavonoid. Kemudian untuk uji fenolik, dari hasil pengamatan
tersebut dapat dikatakan bahwa sampel simplisia jahe juga positif mengandung fenolik.
Keseluruh hasil uji tersebut kemudian dibandingkan dengan literatur dimana kandungan
senyawa metabolit sekunder pada ekstrak jahe (Zingiber officinale) adalah alkaloid, saponin,
flavonoid, gula adeoksi dari kardenolida, terpenoid dan fenolik. Sedangkan uji steroid
menunjukkan hasil yang negatif (Kaban, 2016; Hamad, 2017). Diperoleh hasil bahwa seluruh
hasil uji menunjukkan hasil yang sesuai dengan teori kecuali untuk uji saponin dan uji glikosida.
Hal ini dapat disebabkan karena kesalahan dalam pelaksanaan prosedur pengujian atau
kontaminasi dari faktor luar.

KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada pengujian
terhadap simplisia jahe (Zingiber officinale) diperoleh hasil bahwa simplisia jahe positif
mengandung pati, alkaloid, minyak atsiri, fenolik dan flavonoid serta negatif mengandung
saponin, steroid dan glikosida. Hasil ini sesuai dengan teori kecuali untuk uji saponin dan uji
glikosida yang mana berdasarkan teori dikatakan bahwa kedua senyawa ini terkandung dalam
sampel simplisia jahe namun dalam praktikum diperoleh hasil yang negatif.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Djamal, R., 1988. Tumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Universitas Negeri Andalas: Pusat
Penelitian.
Fessenden & Fessenden., 1982. Kimia Organik Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Hamad, A., Wiwin, A. dan Dwi, H., 2017. Potensi Infusa Jahe (Zingiber officinale R) sebagai Bahan
Pengawet Alami pada Tahu dan Daging Ayam Segar. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.
6(4): 179.
Harbone JB., 1978. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung:
ITB Presss.
Kaban, A. N., Daniel dan Chairul S., 2016. Uji Fitokimia, Toksisitas Dan Aktivitas Antioksidan
Fraksi N-Heksan Dan Etil Asetat Terhadap Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinale var.
amarum.). Jurnal Kimia Mulawarman. 14(1): 27
Lehninger., 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Penerjemah Maggy Thenawijaya. Jakarta:
Erlangga.
Markham, K. R., 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Penerjemah Kosasih Padmawinata.
Bandung: ITB Press.
Marlina, S. D., Suryanti, V., Suyono., 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis
Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol.
Surakarta: FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS).
Poedjiadi, Anna., 2005. Dasar-Dasar Biokimia Edisi Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putri, D. U., 2011. Identifikasi Senyawa Organik Bahan Alam pada Tumbuhan Urang-aring (Tridax
procumbens L.). Jurnal Kimia. 1(2): 9.
Robinson, T., 1991. The Organic Constituen of HigherPlants. 6th Edition. University of
Massachusetts: Department of Biochemistry.
Sabirin, M., Hardjono S., dan Respati S., 1994. Pengantar Praktikum Kimia Organik II. Yogyakarta:
UGM Press.
Simbala, H.E.I., 2009. Analisis Senyawa Alkaloid Beberapa Jenis Tumbuhan Obat Sebagai Bahan
Aktif Fitofarmaka. Pasific Journal. 1(4): 489-494
Sumardjo, 2006. Pengantar Kimia. Jakarta: EGC.
Sudarmadji Slamet, et al., 1996. Prosedur Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta:
Penerbit Liberty.
Untara, W., 2014. Kamus Sains. Jakarta: KAWAHmedia.

Anda mungkin juga menyukai