FIFIN NOPIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
iii
Fifin Nopiansyah
NIM E361110081
v
RINGKASAN
Kata kunci: kelembagaan lokal, Suku Mentawai, Cagar Biosfer Pulau Siberut
vii
SUMMARY
Utilization of natural resources for the livelihood has been done since the
beginning of human life. Natural resources are open access which can be easily
degraded, it is similarly with communal ownership that is likely to the occurrence
of "the tragedy of the commons" as stated by Hardin in 1968. Meanwhile, further
development of institutional knowledge, it is found that communal ownership can
avoid the occurrence of "the tragedy of the commons". This situation is shown by
Ostrom (1990) that there are various agreements in the form of law which are
respected by all members of society and it could be exist in the society for a long
time. One of the traditional communities in Indonesia who live communally is
Mentawai tribe who settled in Siberut Island Biosphere Reserve (CBPS). The
objective of the study was to formulate strategies to local institutional
strengthening of natural resources management for livelihood of the Mentawai
tribe in CBPS.
We conducted the study in three villages, namely Matotonan, Saibi
Samukop, and Sagulubbek, Mentawai Islands Regenncy, West Sumatra Province,
Indonesia. We conducted the study from August 2014 to May 2015.We used a
qualitative approach for the research. Data were collected by literature study,
interview and observation. Data were analyzed by using descriptive analysis,
stakeholders analysis for the influence and interests, local institutional
sustainability analysis, and review the content of the legislations.
Forest and field are the main sources of livelihood of the Mentawai tribe in
CBPS. Traditionally, Mentawai tribe has their own land tenure system. Currently,
there are three regimes ownership land in CBPS; common property based on the
uma property, private property and state property. Most of the land in CBPS
(91.36 %) controlled by the state; in the form of conservation forest, production
forest and protected forest.
We identified 19 stakeholders involve in the management of natural
resources in CBPS, there are two key players; i.e Siberut National Park Authority
and District/Province Forest Service. Each of these stakeholders have different
interests and influences and always changing all the time. In an interaction among
stakeholders, there is potential for cooperation, complementary and conflict.
Overall, among stakeholders, there is potential for mutual cooperation and
complementary. This potential is an opportunity to conduct collaborative
management in CBPS. Analysis of institutional sustainability showed that the
traditional institution of Mentawai Tribe meets the six criterias of a strong
institutional in managing natural resources in CBPS. It means that the traditional
institution has the capacity to manage natural resources in a sustainable way.
However, traditional institutions of Mentawai Tribe until now has not received the
recognition yet from the government. While the formal institutions were not able
to manage natural resources effectively and efficiently in CBPS, and even tend to
ignore local institutions. In addition to formal rules are not in line with the
informal rules, there are also changes of the behavior of the Mentawai people in
managing the natural resources which do not comply with the informal rules.
These changes caused by the influence of the market economy, technology, and
implementation of local government policy.
In the institutional management of natural resources in CBPS there are
several issues, namely: (1) uncertainty of land tenure and natural resources
between Mentawai Tribe with government; (2) there is a transfer of land rights
from communal ownership (Uma land) to private ownership through the
certification process; (3) the development of rice cultivation in sago swamp
ecosystem. These issues have an impact on the sustainable use of natural
resources in the Mentawai Tribe in CBPS.
Based on our findings, the strategy of strengthening institutional local to
management of natural resources as a source of livelihood in the Mentawai Tribe
in CBPS, as follows: First; formally recognize the rights of communal ownership
of the Mentawai Tribe in CBPS to manage their natural resources. The recognition
should be done in production and protected forest through the determination of
customary law communities (Masyarakat Hukum Adat), and forming the
Management Units (KPHP and KPHL). Meanwhile, the recognition should be
done in conservation forest through revising the zoning of Siberut National Park,
and set the HSAW Teluk Saibi Sarabua as on of nature conservation area (both as
a the KPA or as a the KSA in Indonensia term). The arrangement of blocks or
zones as the operational rules in production forest, protected forest and
conservation forest should be collaborated with life and traditional land use of
Mentawai Tribe. Secondly, involving the Mentawai people in all decision-making
processes, such as planning, implementation, monitoring and evaluation of
activities in the management of natural resources in CBPS, and forming CBPS
organizing structure that agreed by the stakeholders in CBPS.
Key words: local institusional, Mentawai Tribe, Siberut Island Biosphere Reserve
ix
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xi
FIFIN NOPIANSYAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Mei
2015 ini ialah penguatan kelembagaan lokal, dengan judul Penguatan
Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku
Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS, Prof Dr Ir Y. Purwanto, DEA, dan Dr Ir Nandi
Kosmaryadi, MSc Forest Trop. selaku komisi pembimbing atas segala
bimbingan dan arahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
2. Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc dan Dr Drs Satyawan Sunito selaku penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka atas review-nya terhadap disertasi
ini.
3. Kepala Balai Taman Nasional Siberut beserta staf di Padang dan di SPTN
Wilayah atas fasilitasi dan kerjasamanya.
4. Para narasumber di lapangan, Bapak Hasan Sagaileppak, Jon Effendi, Ajomar
Satoko, Sai-Saik Sakeru Sakeru, Lauren Sagoilok, Alcide Sabulat, Jasmardi
Satoleuru, Sudarmanto Satoleuru, Hariadi Sabulat, Nasir Satoleuru, Sulaiman,
Dalen atas informasi dan pertemanannya.
5. Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Sumber Daya Manusia Lingkungan
Hidup dan Kehutanan beserta staf atas kesempatan dan fasilitasinya selama
menempuh studi.
6. Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Subdit Pengendalian Pengelolaan
Kawasan Konservasi beserta staf atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Ayahanda Almarhum H. Muhammad Ayib Kenawas, ibunda Hj. Siti Rohma,
Ayunda Nesi Novita dan Urip Burlian, Kakanda Malhanzaldi dan Meisya
Karyawati, Adinda Rispa Medya Sari dan Muhammad Tiara Budi, Adinda
Luk Medi Pazli dan Rika Feranita yang senantiasa memberikan dukungan dan
doa.
8. Mertua saya Bapak Zainul dan Ibu Miswarni, Adinda Liswar Hendri, Adinda
Yudistira, dan Adinda Ade Saputra.
9. Istri dan anak saya tercinta Saridayani, Muhammad Gilbran Firdiansyah dan
Lintang Madiniansyah atas kasih sayang, pengertian, dan dukungannya.
10. Sahabat saya N. Qomar (Pak Wo), Asvic H (Uni), Kaniwa B (Mami), Liza N
(Acil), Toto S (Akang), Toto Sri (Pak Le), Iing N (Abah), Tuah MB (Abang),
A. Rosyid, Zeth P (Pak Ce), Alm. Hotnida S (Madam Hot), dan semua teman-
teman S3 dan S2 atas dukungan dan kerjasamanya selama menempuh
perkuliahan di SPs IPB.
11. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung sejak penyusun proposal, pengambilan data hingga
tersusunnya disertasi ini.
Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat pahala
dari Allah Subhanahu Wata‟ala. Amin ya Robal Alamin. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat “Masura Bagata”.
Fifin Nopiansyah
xvii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut 138
2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak 140
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan
3 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di 143
daerah Saibi Samukop
4 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di 144
daerah Matotonan
5 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di 145
daerah Sagulubbek
6 Jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan di lokasi penelitian 146
7 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan 147
sekitar Desa Saibi Samukop
8 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan 148
sekitar Desa Matotonan
9 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan 149
sekitar Desa Sagulubbek
10 Nilai kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan sumber 150
daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
11 Bentuk organisasi pengelolaan beberapa Cagar Biosfer di 151
Indonesia
12 Hutan adat yang berikan pemerintah pada Acara Pencanangan 152
Pengakuan Hukum Adat Tahun 2016
13 Riwayat Hidup 153
xxiii
DAFTAR ISTILAH
1 PENDAHULUAN
Sumatera (WWF 1980). Alasan lain adalah kerentanan Pulau Siberut karena curah
hujan yang tinggi dan secara geologis muda, bertanah lempung dengan tingginya
runoff, serta lebih dari 45% tanah berkategori sensitivitas I dengan kemiringan
lebih dari 25 persen (WWF 1980; PHPA 1995), juga keunikan kebudayaan
tradisional Suku Mentawai di Pulau Siberut yang mampu mempertahankan alam
dan lingkungannya selama berabad-abad serta tingginya ketergantungan dan
keterkaitan masyarakat tersebut dengan sumber daya alamnya (BTNS 2010).
Keseimbangan hubungan antara manusia dan alam menjadi isu internasional
yang penting hingga saat ini. IUCN pada Kongres Taman Sedunia (World Park
Congress/WPC) ke empat tahun 1992 di Venezuela mulai mengadopsi gagasan
tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi termasuk mendukung konsep cagar biosfer. Hasil Konferensi
Internasional Cagar Biosfer di Seville, Spanyol, menghasilkan Seville Strategy
yang menjadi konsep pengelolaan cagar biosfer juga menekankan pentingnya
kearifan tradisional dan masyarakat lokal dalam pengelolaan cagar biosfer.
Begitupula WPC ke lima tahun 2003 di Durban, Afrika Selatan, menghasilkan
Durban Accord yang terkait dengan penghormatan hak-hak atas masyarakat asli,
tradisional dan berpindah (indigenous, traditional and mobile people) yang berada
dalam kawasan yang dilindungi. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2008
dilaksanakan Kongres Dunia Cagar Biosfer di Madrid, Spanyol, yang
mengidentifikasi tiga tantangan utama dan serius yang harus diselesaikan oleh
masyarakat dunia, salah satunya adalah hilangnya keanekaragaman hayati dan
keragaman budaya yang cepat di berbagai belahan dunia dan berdampak pada
kemampuan ekosistem untuk menyediakan layanan penting bagi kesejahteraan
manusia (UNESCO 2008).
Strategi Seville memuat berbagai rekomendasi untuk mewujudkan
pengelolaan cagar biosfer yang efektif. Upaya perlindungan yang dilakukan selain
untuk melindungi keanekaragaman hayati juga untuk melindungi nilai-nilai
budaya masyarakat. Hal ini termaktub dalam sasaran kedua, yakni menggunakan
cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan
berkelanjutan. Beberapa rekomendasi yang terkait dengan masyarakat lokal,
diantaranya yakni melibatkan masyarakat sebagai stakeholders dalam proses
perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan cagar biosfer,
stakeholders memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan merata dari
pemanfaatan SDA, membangun mekanisme kelembagaan dan jaringan konsultasi
lokal yang mengakomodir stakeholders di suatu situs cagar biosfer (UNESCO
1996).
Di Indonesia dengan keragaman suku dan budayanya, terdapat banyak bukti
bahwa kearifan dan kelembagaan masyarakat lokal dapat mengelola SDA secara
berkelanjutan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi masyarakat lokal dengan
SDA dan lingkungannya berkesesuaian dengan berbagai prinsip pengelolaan SDA
secara berkelanjutan. Di beberapa kawasan konservasi, pola interaksi yang terjalin
antara masyarakat dengan lingkungannya memberikan dampak yang cenderung
positif terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, seperti pada perladangan
tradisional Suku Dayak, sistem Sasi di Pulau Haruku, dan atau sistem irigasi di
Bali (Wiratno et al. 2002). Beberapa penelitian di daerah Jawa (Iskandar 1992), di
Kalimantan (Anau et al. 2000), dan di Timor (Sirait 2005), membuktikan juga
bahwa komunitas lokal melalui kelembagaan adat yang dimilikinya mampu
3
Tabel 1.1 Pengetahuan dan kelembagaan lokal, suku, komunitas, daerah dan
deskripsinya dalam mengelola SDA secara berkelanjutan di Indonesia
Suku,
Pengetahuan dan
komunitas, Deskripsi
kelembagaan lokal
daerah
Pronoto mongsoa Jawa Pengaturan waktu (musim) yang digunakan
para petani pedesaan untuk mengolah lahan
pertanian
Nyabuk gununga Jawa Sistem bercocok tanam dengan membuat teras
sawah yang dibentuk menurut arah garis
kontur
Mengelola hutana Karampuang, Adanya norma adat dalam mengelola hutan,
Sulawesi seperti tidak menyadap enau di kala senja dan
petang hari karena akan mengganggu
kehidupan (aktivitas) hewan lain
Pikukuh karuhuna Baduy, Banten Mengelola SDA sesuai aturan adat, seperti
tidak boleh menebang pohon secara
sembarangan
Ganop-ganop banuab Pakpak, Pengelolaan berbasis lansekap
martano rura Sumatera Utara
Sasic Malind-anim, Aturan dalam pemanfaatan SDA agar terjaga
Papua keseimbang alam
„Dusun‟ Rumahkay, Sistem pengaturan alokasi dan penggunaan
Maluku SDA dalam bentuk „dusun‟ (tipe lahan
berdasarkan komposisi tumbuhannya)
Menjaga halom Orang Rimba, Menjaga hutan sebagai tempat tinggal agar
Jambi tidak rusak dan habis
Mahintuwu Toro, Sulawesi Melindungi kehidupan dan sumber daya
mampanimpu Tenggara lingkungan yang dianugerahkan oleh Tuhan
katuwua toiboli
topehoi
Pumoneand Mentawai, Pengelolaan lahan budidaya secara
Sumatera Barat agroforestri yang prosesnya tidak dilakukan
pembakaran lahan
a
Suhartini (2009), bHidayat (2011), cKosmaryandi (2012), dDarmanto (2006).
4
Susetyo 2014), tetapi belum pernah dilakukan di cagar biosfer di Indonesia. Cagar
biosfer di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri karena bukan hanya
terdiri atas kawasan konservasi, melainkan terdapat kawasan produksi dan
kawasan fungsi lindung, areal penggunaan lain, serta lahan milik.
Hubungan yang selaras antara masyarakat setempat dengan pengelola
kawasan hutan dalam mengelola SDA yang sama dapat dicapai melalui kepastian
hak kepemilikan yang tepat atas SDA dan meningkatkan kapasitas masyarakat
untuk membangun diri secara terus menerus. Penataan hak kepemilikan yang tepat
dan peningkatan kapasitas masyarakat diyakini mendorong tindakan bersama dan
rasa kepedulian masyarakat setempat untuk menjaga keberlanjutan SDA. Untuk
itu, penelitian secara komprehensif antara kelembagaan formal dan informal
dalam mengelola SDA penting dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan
lokal. Prijono dan Pranarka (1996) menyatakan bahwa penguatan mengandung
pengertian, yakni memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas, dan memberikan kemampuan atau keberdayaan ke pihak
lain. Dengan demikian, penguatan kelembagaan lokal yang dimaksud disini
adalah melimpahkan kewenangan pengelolaan SDA ke masyarakat setempat
secara tepat melalui kelembagaan informal mereka. Harapannya adalah agar
kelembagaan formal dan informal dapat saling melengkapi sehingga SDA di
CBPS dapat berkelanjutan.
Salah satu kelembagaan lokal yang dikenal dalam mengelola SDA secara
tradisional adalah kelembagaan Suku Mentawai di CBPS. Kelembagaan tersebut
didasarkan pada kepercayaan tradisional mereka yang disebut arat sabulungan,
yang mempercayai bahwa semua benda mempunyai jiwa/roh (simagre/bajou).
Oleh karena itu, segala bentuk aktivitas masyarakat perlu menjaga harmonisasi
semua jiwa/roh yang ada. Dalam menjaga harmonisasi tersebut, banyak tabu atau
pantangan (kei-kei) yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari termasuk
dalam mengelola SDA.
Suku Mentawai menghuni Kepulauan Mentawai, yang terdiri atas Pulau
Siberut, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Walaupun suku mereka
sama, tetapi kondisi SDA di tiap pulau sangat berbeda. Tutupan lahan berupa
hutan di Pulau Siberut paling luas (sekitar 65%) dibandingkan ketiga pulau
lainnya (Nopiansyah 2008). Kondisi ini dipengaruhi oleh praktek-praktek
pengelolaan SDA yang diterapkan masyarakat dan pemerintah di tiap pulau. Di
Pulau Siberut, masyarakat Mentawai masih menerapkan berbagai praktik
pengelolaan SDA secara tradisional, sedangkan di pulau lain berbagai kearifan
lokal dalam mengelola SDA sudah ditinggalkan. Selain itu, di Pulau Siberut masih
terdapat kawasan berhutan yang belum dieksploitasi oleh konsesi kayu, yakni
kawasan Taman Nasional Siberut, sedangkan di pulau lain hampir semua kawasan
berhutan telah dieksploitasi. Kondisi SDA yang masih relatif baik tersebut juga
dipengaruhi oleh adanya kearifan lokal yang melembaga dan diterapkan oleh
masyarakat Mentawai di Siberut (BTNS 2010) serta adanya keterikatan yang kuat
antara masyarakat Siberut dengan hutan (Munazar 2004).
6
Mentawai di CBPS. Untuk mencapai tujuan umum tersebut perlu dicapai tujuan
khusus, yaitu:
1. Menganalisis SDA yang menjadi sumber penghidupan Suku Mentawai di
CBPS.
2. Menganalisis situasi pengelolaan SDA di CBPS.
3. Menganalisis kepentingan, pengaruh, hubungan, partisipasi, dan perilaku
stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS.
4. Menganalisis aturan informal dan aturan formal dalam pengelolaan SDA di
CBPS.
5. Menyintesis penguatan kelembagaan lokal Suku Mentawai dalam pengelolaan
SDA di CBPS.
Sumber daya alam di CBPS dapat dikategorikan sebagai sumber daya milik
bersama atau common pool resources (CPRs). Istilah CPRs merujuk kepada suatu
SDA, sumber daya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari
satu orang dan merupakan objek yang cenderung terdegradasi sebagai akibat
kecenderungan pemanfaatan yang berlebihan (Ostrom 1990). Menurut McKean
(2000) menyatakan bahwa CPRs adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa
saja, sehingga sangat sulit untuk mengontrol sumber daya tersebut dan
menyebabkan sumber daya menjadi sangat mudah terdegradasi. SDA yang
bercirikan CPRs memiliki dua sifat utama, yaitu sifat substractibility yang
merupakan kondisi dimana setiap pemanfaatan seseorang atas sumber daya akan
mengurangi kemampuan atau jatah orang lain untuk memanfaatkan sumber daya
tersebut sehingga sulit untuk membagi rata suatu sumber daya atau keuntungan
dari sumber daya. Sifat ini mengindikasikan terjadinya persaingan (rivalness)
dalam pemanfaatan sumber daya. Selanjutnya, sifat excludibility yang merupakan
kondisi kesulitan untuk mengeluarkan pengguna lain dalam pemanfaatan sumber
daya yang dimiliki seseorang, kelompok, atau lembaga. Sifat ini berkaitan dengan
adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi pihak lain dalam
memanfaatkan (beneficiaries) dari suatu sumber daya. Tjitradjaja (2008)
menyatakan bahwa pada CPRs dengan akses yang bebas (open access) melekat
situasi ketiadaan jaminan kepastian.
Dalam mengelola SDA, seseorang, kelompok atau lembaga, sangat
dipengaruhi oleh sudut pandangnya. Misal, dari sudut pandang ekonomi, SDA
adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan
jasa dalam kegiatan ekonomi (Fauzi 2006), sedangkan dari sudut padang ekologi
8
1
Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat
selama berabad-abad. Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji
penggunaannya selama berabad-abad, telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan
setempat, serta bersifat dinamis dan berubah-ubah (Mathias 1995 dalam Setyowati et al. 2008).
2
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini 2004).
10
bukan hanya satu individu atau kelompok, bahkan bukan hanya untuk satu tujuan
sehingga pengelolaan SDA biasanya berhubungan dengan konflik kepentingan
dari berbagai stakeholders. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami
berbagai keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan SDA (Reed et al. 2009).
Freeman dan Reed (1983) mendefinisikan stakeholders sebagai kelompok atau
individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu.
Pada dasarnya SDA dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang
terbatas, untuk itu perspeksif Malthusian memandang pemanfaatan SDA perlu
kehati-hatian. Untuk mencapai pengelolaan SDA yang berkelanjutan dibutuhkan
sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Sardjono 2004).
Salah satu cara untuk menjamin keberlanjutan SDA dengan melakukan
konservasi, yang menurut World Conservation Strategy tahun 1980 bahwa upaya
konservasi diarahkan pada tiga tujuan pokok, yaitu memelihara proses-proses
ekologi esensial dan sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman
genetik, dan terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari.
Kelembagaan lokal yang berada di suatu komunitas selalu berubah, dapat
menguat maupun melemah, hal ini disebabkan karena kelembagaan bersifat
dinamis (Hidayat 2007). Kelembagaan dikatakan kuat (more institutionalized) jika
dapat berjalan dengan baik, dapat ditegakkan (well enforeced), dihormati
(respected), dan efektif, tetapi jika menunjukan keadaan sebaliknya, maka
kelembagaan dapat digolongkan sebagai kelembagaan yang melemah atau kurang
melembaga (less institutioalized). Melemahnya kelembagaan lokal dalam
pengelolaan suatu SDA dapat disebabkan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan
lokal tersebut akibat tekanan berbagai faktor eksternal, seperti aturan formal dan
atau situasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Schimd (1987) bahwa rendahnya
kapasitas kelembagaan menjadi akar penyebab ketidak mampuan sebuah
organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dalam rangka mendukung misi organisasi.
Kelembagaan lokal dalam mengelola SDA yang melemah perlu dikuatkan
agar tujuan pengelolaan SDA yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Penguatan
sendiri mengandung dua pengertian, yaitu memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan memberikan
kemampuan atau keberdayaan (Prijono dan Pranarka 1996). Penguatan dimaknai
juga sebagai upaya memberdayakan masyarakat lokal yang menjadi sebuah
konsep pembangunan yang merangkum nilai-nilai sosial (Kartasasmita 2003).
Pemberdayaan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni berpusat pada
masyarakat, partisipasi, menguatkan, dan keberlanjutan (Chambers 1995).
Sumber daya alam menjadi salah satu aspek penting untuk menjamin
kelangsungan kehidupan manusia. Di CBPS, SDA menjadi sumber kehidupan
utama masyarakat Mentawai, yang diambil dari berbagai ekosistem alami dan
buatan. Dalam mengelola SDA-nya, masyarakat sebagai salah satu stakeholder di
CBPS sangat dipengaruhi oleh stakeholders lain yang mempunyai kepentingan
terhadap SDA yang sama. Hal ini menciptakan suatu situasi pengelolaan SDA di
12
CBPS dengan karakteristik yang khas. Pengelolaan SDA oleh masyarakat tidak
terlepas dari aturan informal (kelembagaan lokal) yang berlaku di masyarakat
Mentawai, dan dipengaruhi pula oleh aturan formal (peraturan perundang-
undangan) yang ada. Kombinasi antara situasi dan kelembagaan yang ada,
membentuk perilaku dalam pengelolaan SDA yang berdampak pada ketiga aspek
kelestarian, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial.
Perilaku dari masyarakat yang negatif, seperti tidak menanam kembali pohon
yang ditebang setelah meramu hasil hutan atau menggunakan racun dalam
menangkap ikan, akan merusak atau mengurangi nilai dari SDA. Demikian pula
sebaliknya, perilaku masyarakat yang positif akan menjamin kelestarian SDA.
Perilaku negatif dari masyarakat mengindikasikan ketidak mampuan atau
melemahnya kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan SDA, sehingga
diperlukan penguatan kelembagan pengelolaan SDA di CBPS agar masyarakat
Mentawai dapat memanfaatkan SDA sekarang dan generasi mendatang.
Dengan asumsi bahwa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
teknologi tidak berubah selama proses penelitian, maka fokus peneliti dapat
diarahkan pada perbaikan kelembagaan (Pakpahan 1989). Kerangka pikir
penelitian penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS
disajikan pada Gambar 1.1.
Penulisan disertasi ini disusun dalam delapan bab. Bab pertama menyajikan
pendahuluan yang berisi latar belakang, kerangka teoritis, kerangka fikir,
perumusan masalah, tujuan, manfaat, dan novelti penelitian. Bab kedua
menjelaskan karakteristik CBPS. Bab ketiga menjelaskan aset-aset penghidupan
Suku Mentawai di CBPS. Bab keempat menjelaskan kepemilikan dan penggunaan
lahan secara tradisional di CBPS. Bab kelima menjelaskan tentang stakeholders
dalam pengelolaan SDA di CBPS. Bab keenam menjelaskan tentang aturan
informal dan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS. Bab ketujuh merupakan
sintesis penelitian yang menjelaskan keberlanjutan dan strategi penguatan
kelembagaan lokal pengelolaan SDA di CBPS. Terakhir bab kedelapan yang
berisikan simpulan dan saran.
13
Situasi SDA di
CBPS
Perilaku stakeholders
dalam pengelolaan SDA
Kota Padang
P. Siberut
P. Sipora
P. Pagai Utara
P. Pagai Selatan
3
Luas Pulau Siberut berbeda dalam beberapa literatur, yaitu 4 030 km² (BTNS 2010), 3 858 km²
(Dishut Kab. Kep. Mentawai 2013), dan 3 838 km² (BPS Kab. Kep. Mentawai 2014). Perbedaan
ini dapat terjadi karena penggunaan alat dan peta yang berbeda.
15
dan 146 dusun (Lampiran 1). Kecamatan yang ada di Pulau Siberut, yaitu Siberut
Utara beribukota di Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Selatan beribukota di
Muara Siberut, Kecamatan Siberut Barat beribukota di Betaet, Kecamatan Siberut
Tengah beribukota di Saibi Samukop, dan Kecamatan Siberut Barat Daya
beribukota di Teileleu.
Pulau Siberut beriklim khatulistiwa yang panas dan lembab dengan curah
hujan yang tinggi dan tidak ada musim kemarau yang berkepanjangan. Rata-rata
curah hujan per tahun sekitar 3 320 mm. Curah hujan paling lebat turun pada
bulan April hingga Oktober, sedangkan bulan-bulan yang relatif kering pada
Februari hingga Juni. Suhu dan kelembaban relatif konstan dengan kelembaban
berkisar antara 81-85 %, sementara rata-rata suhu minimum dan maksimumnya
adalah 22ºC dan 31ºC tiap harinya.
Pulau Siberut merupakan pulau sedimen yang didominasi oleh serpihan,
endapan dan marmer berumur relatif muda. Terdapat beberapa daerah kecil yang
terdiri atas konglomerasi pra-Miocene yang mengandung lapisan karang tipis
(sista), kwarsa dan sedikit karang kapur yang mungkin terbentuk pada masa
Miocene, serta beberapa batuan vulkanis yang bersebaran yang mungkin berasal
dari ledakan gunung api di Sumatera pada masa Meiocene. Sebagian besar dari
bentukan geologis muncul pada masa Pliocene, Pleistocene dan Holocen.
Topografi Pulau Siberut dicirikan mendatar hingga berbukit dengan puncak
tertinggi 384 mdpl (meter di atas permukaan laut). Perbukitan tersebut memiliki
variasi kemiringan lereng mulai dari kemiringan 25% hingga melebihi 75%.
Daerah dataran umumnya berada pada kemiringan lereng 0-15% dengan
ketinggian mulai dari 0-50 m.
Sistem pola aliran di Pulau Siberut menunjukkan sistem pola aliran yang
komplek, umumnya membentuk pola aliran paralel sampai sub-trellis. Hal ini
diakibatkan karena kondisi medan yang non-resisten, sehingga seringkali terjadi
erosi yang menyebabkan perkembangan bentang lahan (landscape) yang
terpotong-potong dan tidak rata dengan sungai dan aliran air, serta kondisi
kawasan yang berbukit-bukit. Sistem pola aliran sungai di Pulau Siberut yang
sangat rumit menyebabkan proses regenerasi hutan sangat lambat. Peranan hutan
menjadi sangat penting mengingat fungsinya sebagai pengontrol hidrologi seluruh
pulau. Ditinjau dari batuan dasar pembentuk tanah Pulau Siberut, umumnya
berfraksi halus/debu atau berbentuk lempungan, mudah tererosi dan sifat
infiltrasinya cenderung rendah. Bukti adanya erosi yang kuat terlihat dari kondisi
air sungai yang menjadi keruh akibat adanya pengupasan pada lapisan atas tanah
khususnya lapisan humus atau rombakan organik. Infiltrasi yang rendah terlihat
dari respon aliran sungai yang kuat terhadap presipitasi. Pada saat terjadi hujan,
air sungai akan cepat naik. Hal ini disebabkan air hujan tidak sempat meresap ke
dalam tanah dan langsung mengalir menjadi air limpasan permukaan (run off),
tetapi akan cepat turun beberapa saat setelah hujan berakhir.
Di Pulau Siberut banyak mengalir sungai-sungai yang menjadi sumber air
minum, mencuci, dan media transportasi bagi masyarakat. Sungai, lokasi, dan
luasan daerah aliran sungainya (DAS) disajikan pada Tabel 2.1. Hampir semua
16
semua hulu sungai besar ini berasal dari area inti CBPS (kawasan TNS).
Sementara itu, sumber daya air dalam bentuk danau (danau gopgip) hanya
terdapat di Siberut Barat Daya seluas 200 ha.
Tabel 2.1 Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Siberut a
Lokasi Lokasi Luas DAS
Nama sungai Luas DAS (ha) Nama sungai
(kecamatan) (kecamatan) (ha)
Buga Siberut Selatan 7 068 Cimpungan Siberut Utara 13 153
Tomiang Siberut Selatan 1 501 Siberut Selatan 4 998
Kalea Siberut Selatan 15 993 Simatalu Siberut Utara 35 547
Laplap Siberut Selatan 1 469 Siberut Selatan 6 059
Mabosoa Siberut Selatan 3 383 Gurukna Siberut Utara 3 190
Maileppet Siberut Selatan 1 197 Labuhan Siberut Utara 3 535
Bajau
Makatowal Siberut Selatan 841 Murak Siberut Utara 7 396
Makerumonga Siberut Selatan 971 Puran Siberut Utara 1 274
Mangeungeu Siberut Selatan 6 180 Saibi Siberut Utara 2 158
Mapinang Siberut Selatan 3 287 Sigapokna Siberut Utara 1 265
Noinan Siberut Selatan 24 988 Sigep Siberut Utara 25 765
Pulau Masokut Siberut Selatan 1 661 Sikabaluan Siberut Utara 30 963
Putapiri Siberut Selatan 532 Sikamomui Siberut Utara 6 430
Sagulubek Siberut Selatan 14 332 Simalegi Siberut Utara 27 217
Saibi Siberut Selatan 19 647 Sirilogui Siberut Utara 5 389
Sarabua Siberut Selatan 5 673 Takungan Siberut Utara 13 526
Siberut Siberut Selatan 49 821 Tiniti Siberut Utara 3 281
Silotok Siberut Selatan 1 060 Tobekat Siberut Utara 10 553
Siribakbak Siberut Selatan 9 606
a
BPDAS Agam Kuantan (2011).
Dari aspek ekologi, ekosistem Pulau Siberut dari pantai Timur ke pantai
Barat sangat berbeda (Gambar 2.2). Di bagian pantai timur memiliki garis pantai
yang tidak beraturan dan terdapat banyak kelompok hutan mangrove, muara
sungai yang lebar, dan terumbu karang. Sedangkan, di pantai barat yang
menghadap Samudera Indonesia memiliki kelompok hutan baringtonia, pantai
yang lurus dengan tebing-tebingnya yang tinggi. Secara umum terdapat lima
ekosistem daratan yang terdapat di Pulau Siberut, yaitu hutan dipterocarp primer,
hutan campuran, hutan rawa, hutan mangrove dan hutan baringtonia. Di
lingkungan perairan juga terdapat beberapa ekosistem, yaitu terumbu karang,
padang lamun, dan estuarin.
17
endemik pada tingkat genus, jenis, dan subjenis. Di antara mamalia tersebut,
kelompok primata menjadi perhatian utama karena bersifat endemik 100% untuk
Pulau Siberut. Primata yang menjadi flagship tersebut, yaitu bilou (Hylobates
klosii), bokkoi (Macaca siberu), joja (Presbitys potenziani), dan simakobu (Simias
concolor). Selain itu, terdapat 173 jenis burung, 77 jenis herpetofauna, 120 jenis
serangga, dan 32 jenis ikan air tawar (Nopiansyah et al. 2016).
Berdasarkan karakteristik pulau-pulau yang ada di Indonesia, Pulau Siberut
dikategorikan sebagai ekosistem pulau kecil menurut kategori Kementerian
Kelautan dan Perikanan, yaitu:
1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10 000 km2, dengan
jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200 000 orang. Pulau Siberut
memiliki luas 4 030 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 37 416 jiwa.
2. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki
batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat
insular. Secara ekologis, Pulau Siberut telah terpisah dari Pulau Sumatera
sebagai pulau induk selama lima ratus ribu tahun yang lalu, memiliki batas
fisik yang jelas, dan bersifat insular karena terisolasi dari habitat pulau induk.
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal
dan bernilai tinggi. Pulau Siberut memiliki keanekaragaman jenis yang
bersifat endemik dan empat jenis primatanya menjadi jenis flagship.
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar
aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. Pulau Siberut memiliki
daerah tangkapan air yang relatif kecil akibat jenis tanahnya yang sebagian
besar bertekstur liat. Sebagian besar air hujan langsung menjadi aliran air
permukaan (run off) yang bersama dengan sedimen masuk ke laut.
5. Sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya. Masyarakat Mentawai memiliki
kekhasan sosial dan budaya yakni hidup dalam kelompok sosial berbasiskan
pada uma. Uma merupakan satuan sosial maupun politik di masyarakat
Mentawai yang egaliter. Secara ekonomi masyarakat masih tergantung dari
perladangan (pumonean) dan hutan (leleu).
Pulau Siberut sebagai besar berstatus hutan negara, yakni 91.36% dari
luasan pulau mempunyai fungsinya sebagai hutan konservasi (HK), hutan
produksi (HP), dan hutan lindung (HL), sedangkan sisanya merupakan areal
penggunaan lain (APL) seluas 8.64 %. Luas Pulau Siberut berdasarkan fungsi
lahan disajikan pada Tabel 2.2. Luasan tersebut berdasarkan hasil perhitungan
planimetris Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatera Barat atas Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut)
No. 304/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di
Provinsi Sumatera Barat. Walaupun Keputusan Menhut tersebut telah diubah
dengan Keputusan Menhut No. SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013,
perubahan tersebut tidak mengubah luasan kawasan hutan di Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
19
Asal usul orang Mentawai4 sampai saat ini masih belum jelas. Terdapat dua
kelompok pendapat tentang asal usul ini, yaitu kelompok Duyvendak yang
berpendapat bahwa orang Mentawai termasuk ras Proto-Melayu dan kelompok
kedua berdasarkan pendapat Stibbe dan Graaff yang berpendapat bahwa orang
Mentawai berasal dari Polinesia (Coronese 1986). Nenek moyang orang Mentawai
pertama kali datang ke Pulau Siberut diperkirakan sekitar 3 000 tahun yang lalu.
Kebudayaan orang Mentawai diperkirakan sezaman dengan kebudayaan Dongson
di Asia Tenggara. Asumsi ini didasarkan dari pola hias benda-benda seni dari
kayu yang coraknya mirip dengan corak benda-benda perunggu dari wilayah
Dongson, seperti bentuk segitiga pada pola geometrik di nekara. Walaupun
demikian, peradaban lama Suku Mentawai tidak mengenal logam. Kebudayaan
Mentawai sarat dengan kebudayaan yang dikenal pada masa prasejarah dengan
ditemukannya kapak batu di Pulau Siberut. Kebudayaan tradisional di Kepulauan
Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius masih menampakkan
wujud neolitik atau zaman batu muda (Schefold 1991).
Menurut orang Mentawai, mereka satu keturunan yang berasal dari daerah
Simatalu yang terletak di bagian Barat Pulau Siberut, kemudian menyebar ke
4
Masyarakat Siberut yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Suku Mentawai yang berdiam di
Pulau Siberut dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
20
5
Uma mempunyai beberapa makna, yaitu uma adalah unit ekonomi dan politik orang Mentawai,
terdiri dari 2-10 keluarga inti atau 10-60 individu yang juga menjadi unit kepemilikan lahan/tanah.
Uma juga merujuk pada nama rumah adat tradisional yang dijadikan sebagai tempat berkumpul
dan melakukan ritual (Darmanto dan Setyowati 2012). Selain itu, Hernawati (2007) menyatakan
bahwa uma mempunyai tiga konsep, yaitu sebagai konsep pola pemukiman tradisional, konsep
rumah tradisional, dan sistem kekerabatan orang Mentawai.
21
Program Man and the Biosphere (MAB) Indonesia dimulai sejak tahun 1972
setelah terbentuknya Program MAB-UNESCO (The United Nation Educational
Scientific and Cultural Organization) pada tahun 1968. Program MAB dibentuk
untuk meningkatkan kualitas hubungan antara manusia dengan lingkungannya
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu dibentuk untuk
mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya alam yang dampaknya
menimbulkan degradasi keanekaragaman hayati (biodiversity lost), kemunduran
kualitas lingkungan dan tidak terencananya tataguna lahan. Hal ini dipicu karena
tujuan pemanfataan keanekaragaman sumber daya hayati lebih mementingkan
kepentingan ekonomi dibandingkan dengan kepentingan sosial budaya dan
konservasi. Oleh karena itu, pembentukan Program MAB mempunyai misi untuk
menyeimbangkan tujuan yang tampaknya bertentangan antara konservasi
lingkungan dengan pembangunan sosial ekonomi serta memelihara nilai-nilai
luhur budaya suatu bangsa. Secara singkat Program MAB adalah untuk
mempromosikan dan mendemontrasikan keseimbangan hubungan antara manusia
dengan alam melalui pendekatan bio-regional (LIPI 2004).
Dalam melaksanakan misinya, pada tahun 1974, Program MAB-UNESCO
mengembangkan konsep yang diperkenalkan sebagai biosphere reserve (cagar
biosfer). Dalam konsep ini tujuan Program MAB didemontrasikan,
diimplementasikan, diuji, dan diperbaiki. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) sebagai pemegang otoritas ilmiah ditunjuk mewakili Indonesia
melaksanakan misi yang diemban Program MAB-UNESCO di Indonesia. LIPI
membentuk Komite Nasional Program MAB-UNESCO Indonesia (KN MAB)
untuk melaksanakan program tersebut, khususnya untuk mengembangkan cagar
biosfer. Dalam mengimplementasikan dan mengembangkan konsep cagar biosfer
di Indonesia, KN MAB Indonesia didukung oleh Direktorat Jenderal Konservasi
dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Ditjen KSDAE) Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta pemerintah daerah tempatan cagar
biosfer. Sejak tahun 1977, Indonesia telah mengadopsi konsep cagar biosfer
dengan mulai mendeklarasikan empat kawasan konservasi sebagai cagar biosfer
dan hingga sekarang telah dideklarasikan sebelas cagar biosfer (Tabel 2.3).
Pelaksanaan Program MAB Indonesia meliputi tiga rencana aksi yang terdiri
atas: pertama mengelola kawasan melalui pendekatan ekosistem dalam
memadukan pengelolaan daratan, air, dan keanekaragaman hayati untuk
konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use) secara adil. Kedua,
memberdayakan institusi dan kemampuan sumber daya manusia agar
mempromosikan pemanfaatan SDA (daratan, air dan keanekaragaman hayati)
yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas interaksi antara manusia dengan
22
konservasi dan pembangunan. Oleh karena itu, Strategi Seville dibuat lebih
terarah pada beberapa prioritas di tingkat internasional, nasional dan lokal,
berupa memanfaatkan cagar biosfer untuk konservasi SDA dan budaya,
memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dengan
pendekatan untuk pembangunan yang berkelanjutan, memanfaatkan cagar
biosfer untuk penelitian, monitoring, pendidikan dan pelatihan, serta
mengimplementasikan konsep cagar biosfer.
Main Line of Action (MLA). MLA merupakan Program MAB Internasional
dihasilkan dari pertemuan The International Coordianting Council MAB
(ICC-MAB) ke-17 pada bulan Maret 2002. Pertemuan ini menyetujui bahwa
Jaringan Cagar Biosfer Dunia atau World Network of Biosphere Reserve
(WNBR) merupakan perangkat utama mengimplementasikan kegiatan MAB.
WNBR dikelompokkan menjadi dua, yaitu MLA-1 mengenai pengelolaan
SDA dan masalah pembangunan, serta MLA-2 mengenai usaha untuk
memajukan dasar ilmiah, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan
komunikasi. MLA-1 menekankan penggunaan konsep cagar biosfer untuk
pembangunan berkelanjutan (Biosphere reserve: approaches to sustainable
development). Dalam konsep ini cagar biosfer dipakai sebagai tempat untuk
menguji dan membangun cara untuk hidup yang berkelanjutan melalui
program terpadu pengelolaan SDA dan konservasi keanekaragaman hayati,
dengan sasaran untuk memberikan sumbangan kepada upaya pengentasan
kemiskinan, dan peningkatan kondisi kehidupan terutama masyarakat
pedesaan. Cagar biosfer menjadi tempat untuk memperagakan pendekatan
ekosistem seperti yang disarankan dan sedang dikembangkan oleh CBD, dan
merupakan komponen kunci dalam implementasi WSSD (World Summit on
Sustainable Development). MLA-2 dirancang untuk membantu mengurangi
kehilangan keanekaragaman hayati (reduce biosdiversity lost) melalui ilmu
pengetahuan dan pembangunan kapasitas dalam konteks memberi layanan
bagi keberlanjutan ekologi (sciences and capacity building in the service of
ecological sustainability) yang merupakan implementasi WSSD untuk
mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati pada tahun 2010. Penelitian
dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia pada tingkat lembaga dan
individu akan merupakan kontribusi untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengamanan partisipasi masyarakat lokal untuk melestarikan dan mengelola
ekosistem serta menjamin pemeliharaan ekologi yang baik masih merupakan
doktrin MAB.
Madrid Action Plan (MAP periode 2008-2013). Pada kongres MAB pada
Februari 2008 di Madrid telah dihasilkan MAP yang mengamanahkan bahwa
cagar biosfer harus mampu menjawab tantangan berupa perubahan iklim
secara global (global climate change), mendapatkan layanan ekosistem
(ecosystem services) yang lebih baik, dan mengantisipasi urbanisasi. Selain
itu, dalam kongres tersebut telah dikukuhkan kembali “Seville Strategy”
bahwa cagar biosfer yang berpotensi sebagai tempat pembelajaran untuk
menghadapi permasalahan memudarnya pengetahuan tradisional dan
keragaman budaya, kependudukan, antisipasi terhadap perubahan lingkungan
baik dalam tindakan adaptasi maupun mitigasi. Kesepakatan ini menjadi
sangat penting karena cagar biosfer merupakan wilayah perpaduan antara
kepentingan konservasi ekosistem dan pembangunan berkelanjutan melalui
24
Kawasan CBPS meliputi Pulau Siberut dan pulau-pulau kecil yang berada di
sekitarnya (Gambar 2.4). Penerapan konsep zonasi cagar biosfer di CBPS
berdasarkan Rencana Pengelolaan Terpadu tahun 2013-2022, dijelaskan berikut:
Area inti
Zona Penyangga
Area Transisi
Dalam konsep zonasi cagar biosfer, area inti merupakan kawasan untuk
pelestarian. Untuk itu, kawasan tersebut harus mempunyai perlindungan hukum
26
Tabel 2.4 Ekosistem utama di tiap zona di Cagar Biosfer Pulau Siberut a
Zona
Ekosistem
Area inti Zona penyangga Area transisi
Hutan primer dipterocarpaceae √ √ -
Hutan primer campuran √ √ √
Hutan sekunder √ √ √
Hutan pantai √ √ √
Rawa air tawar - √ √
Mangrove - √ √
Rawa sagu - √ -
a
Diolah dari data Ditjen KSDAE (2013).
27
Satwa dan tumbuhan yang ada di area inti CBPS hampir dapat ditemukan di
zona lain tergantung habitat atau ekosistemnya. Namun yang membedakan adalah
kuantitasnya, dimana satwa dan tumbuhan di area inti lebih melimpah
dibandingkan zona lain. Hal ini dapat dilihat dari tutupan hutan di area inti yang
masih baik, sehingga masih menyediakan habitat yang ideal bagi berkembang
biaknya hidupan liar, khususnya satwa yang dilindungi. Perkiraan ukuran populasi
primata endemik di area inti CBPS dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Perkiraan ukuran populasi primata endemik di Taman Nasional Siberut
Jumlah individu (ekor) pada tahun
Primata
2005a 2015b
Hylobates klossii (bilou) 10 484 (6 206-17 713) 19 500 (18 000-21 000)
Simias concolor (simakobu) 14 112 (8 252- 24 133) 10 750 (6 000-15 500)
Presbytis siberu (joja) 17 384 (11 014-27 439) 5 550 (1 600- 9 500)
Macaca siberu (bokkoi) 9 248 (4 639-18 438) 23 500 (17 000-30 000)
a
Whittaker (2005) dalam Quinten et al. (2015); bQuinten et al. (2015).
bagian utara, merupakan wilayah kerja IUPHHK-HA PT. SSS seluas 48 420 ha
yang beroperasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 413/Menhut-
II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 yang sampai saat ini masih beroperasi.
Sedangkan di bagian tengah dan selatan dahulunya terdapat konsesi kayu PT.
KAM dan telah berhenti beroperasi tahun 2007. Di areal eks PT. KAM tersebut,
saat ini terdapat IUPHHK-RE PT. Global Green. Pengelolaan di HP dan HL
mengikuti aturan dari Kementerian LHK melalui Dinas Kehutanan Kabupaten/
Provinsi.
Topografi di zona penyangga bagian tengah tidak jauh berbeda dengan area
inti yang didominasi oleh perbukitan, sedangkan di bagian pantai Timur lebih
landai. Terdapat punggung-punggung bukit yang tajam dengan anak-anak sungai
disela-selanya. Di bagian Selatan terdapat banyak pulau-pulau kecil.
Ekosistem di zona penyangga merupakan ekosistem yang paling lengkap
(Tabel 2.4). Ekosistem yang terdapat pada zona penyangga, yaitu hutan primer
dipterocarpaceae, hutan primer campuran, hutan sekunder, hutan pantai, hutan
rawa air tawar, mangrove dan rawa sagu. Satwa dan tumbuhan di zona penyangga
hampir sama dengan area inti. Namun kuantitas satwa dan tumbuhan di area inti
lebih melimpah dibandingkan zona penyangga, hal ini disebabkan oleh tekanan
terhadap habitat satwa di zona penyangga lebih berat baik dibandingkan area inti
dari pembukaan areal perladangan oleh masyarakat maupun dengan adanya
keberadaan konsesi kayu.
Di zona penyangga terdapat tiga permukiman, yaitu Desa Matotonan,
Bojakan, dan Sigapokna dengan jumlah penduduk sebanyak 4 096 jiwa.
Masyarakat di zona penyangga masih sangat bergantung pada sumber daya hutan,
seperti masyarakat di area inti.
berada di Teluk Katurai, Teluk Saibi Sarabua, Teluk Cimpungan, Teluk Subeleng,
dan Teluk Pokai. Terdapat pula ekositem hutan sekunder yang dahulunya
merupakan bekas areal penebangan konsesi kayu di era 1970-an hingga 1980-an,
dan di era 1990-an merupakan areal izin penebangan kayu (IPK).
Di dalam area transisi ini terdapat 14 desa dalam 4 wilayah kecamatan
dengan jumlah penduduk sebanyak 25 019 jiwa. Desa dan jumlah penduduknya di
area transisi dapat dilihat pada Tabel 2.6. Beberapa pemukiman di area ini
merupakan pusat ekonomi di Pulau Siberut seperti Desa Muara Siberut dan Muara
Sikabaluan. Di kedua desa ini, sarana prasarana lebih memadai dibandingkan desa
lain dan mempunyai pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Pulau Siberut.
3.1 Pendahuluan
mengejar tujuan mata pencaharian mereka yang terdiri atas: (1) jaringan dan
keterhubungan masyarakat, baik vertikal atau horizontal yang dapat meningkatkan
kepercayaan dan kemampuan untuk bekerja bersama dan memperluas akses ke
lembaga yang lebih luas; (2) keanggotaan dari kelompok yang lebih diformalkan
yang sering membutuhkan kepatuhan terhadap aturan, norma dan sanksi yang
disepakati bersama atau umumnya diterima; serta (3) hubungan kepercayaan,
timbal balik dan pertukaran yang memfasilitasi kerjasama, mengurangi biaya
transaksi dan dapat memberikan dasar untuk jaring pengaman informal di antara
masyarakat.
Dalam menjalani kehidupannya Suku Mentawai di CBPS membutuhkan
sumber daya yang ada di sekitarnya. Keberadaan sumber daya ini membuat
masyarakat Mentawai mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan
masyarakat lain. Oleh karena itu, sangat penting melihat gambaran kenyataan
yang lebih utuh tentang realitas penghidupan masyarakat Mentawai di CBPS
untuk mengelola SDA mereka dalam bentuk aset-aset penghidupan yang mereka
miliki.
3.2 Metode
Legenda:
Area inti
Zona penyangga
Area transisi
Lokasi penelitian
Desa Saibi
Samukop
Desa
Matotonan
Desa
Sagulubbek
1. Komposisi Penduduk
Penduduk di CBPS pada tahun 2014 berjumlah 37 416 jiwa dengan rasio
jenis kelamin sebesar 107.61 (BPS 2015a) yang meningkat sekitar 7 400 jiwa
33
sejak tahun 2002 (Tabel 3.1). Demikian pula, dengan jumlah penduduk di tiga
lokasi penelitian menunjukkan peningkatan, yakni sebanyak 13.98% hingga
18.67% (Tabel 3.2). Pertambahan yang cukup signifikan disebabkan tingkat
mortalitas yang rendah dan migrasi penduduk dari luar pulau (BPS 2015a).
Kepadatan penduduk di Pulau Siberut sebesar 9.75 orang/km2 dan dengan
kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Siberut Selatan dan Siberut Utara
(Tabel 3.3). Kedua kecamatan tersebut lebih banyak penduduknya karena
kecamatan tertua di CBPS. Ketiga kecamatan lain merupakan kecamatan baru,
yang dibentuk setelah pemekaran kabupaten pada tahun 1999. Di tiga lokasi
penelitian juga menunjukkan peningkatan kepadatan penduduk (Tabel 3.2)
terutama di Saibi Samukop yang menjadi ibukota Kecamatan Siberut Tengah.
Selain Suku Mentawai, terdapat pendatang dari Suku Minang, Batak, Jawa, Nias,
dan beberapa pendatang berasal dari Palembang, Sulawesi, dan Etnis Tionghoa.
Pendatang ini umumnya terkonsentrasi di ibukota kecamatan.
Tabel 3.3 Jumlah penduduk dan komposisi usia di Cagar Biosfer Pulau Siberuta
Jumlah penduduk per kecamatan
Kelompok usia Siberut
Siberut Siberut Siberut Siberut Total %
(tahun) Barat
Selatan Tengah Barat Utara
Daya
0-14 3 452 2 787 2 563 2 926 3 158 14 886 39.79
15-64 5 592 3 512 3 723 3 887 5 129 2 184 58.38
65 > 162 124 82 99 220 687 1.84
Jumlah 9 206 6 423 6 368 6 912 8 507 37 416 100
Kepadatan
penduduk 18.11 9.81 8.68 10.42 6.14 9.75
(orang/km2)
a
Diolah dari BPS Kab. Kep. Mentawai (2015a).
2. Keterampilan Penduduk
4.1% atau 16 462 ha. Perubahan luasan tutupan lahan berupa hutan ini
diidentifikasi menjadi areal perladangan (BTNS 2010). Keadaan ini
mengindikasikan masyarakat Mentawai di CBPS membutuhkan lahan berladang
untuk penghidupan mereka.
3.3.3 Infrastruktur
1. Infrastruktur Umum
Infrastruktur umum yang terdapat di ketiga lokasi penelitian
menggambarkan infrastruktur di desa-desa lain di CBPS (Tabel 3.6). Setiap desa
telah mempunyai kantor desa, kantor Dewan Permusyawaratan Desa, balai
pertemuan, rumah ibadah, dan infrastruktur dasar bagi masyarakat.
2. Kesehatan
Tabel 3.7 Bangunan fasilitas kesehatan di Pulau Siberut pada tahun 2013a
Bangunan fasilitas kesehatanb
Kecamatan Jumlah
Puskesmas Pustu Poskesdes Posyandu Polindes
Siberut Selatan 1 - 6 16 2 25
Siberut Barat Daya 1 2 2 19 3 27
Siberut Tengah 1 2 7 33 3 46
Siberut Utara 1 3 8 24 2 38
Siberut Barat 1 - 7 11 - 21
Total 5 7 30 103 10 155
a
Diolah dari data BPS Kab. Kep. Mentawai (2015a); bPuskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat,
Pustu: Puskesmas Pembantu; Poskesdes: Pos Kesehatan Desa, Posyandu: Pos Layanan Kesehatan
Terpadu, Polindes: Poliklinik Desa.
Pustu dan polindes belum memiliki tenaga dokter, tetapi sudah tersedia
tenaga bidan dan atau perawat. Pelayanan dapat dilakukan setiap saat, karena
tenaga medis biasanya tinggal di rumah dinas yang berdekatan dengan fasilitas
kesehatan. Di Saibi Muara, sudah tersedia satu orang dokter umum dan satu orang
dokter gigi di puskesmas. Tabel 3.8 memperlihatkan bahwa tenaga medis di Pulau
Siberut masih sangat kurang, begitupula tenaga perawat dan bidan yang masih
39
minim bila dibandingkan dengan jumlah dusun (146 dusun). Di setiap desa rata-
rata hanya dilayani oleh dua orang tenaga medis untuk melayani semua penduduk
dan kadangkala mereka tinggal di dusun-dusun yang jauh dari pusat desa.
3. Pendidikan
memilikinya karena harga mesin dan sampannya yang mahal serta boros bahan
bakar. Selain speedboat, kendaraan air lainnya yang sedang digandrungi
masyarakat adalah pompong (perahu yang dipasang mesin 3-8 PK). Menurut
masyarakat, pompong mempunyai keunggulan yakni dapat membawa banyak
penumpang/ barang, penggunaan bahan bakarnya jauh lebih irit dibandingkan
speedboat, biaya pembuatan yang murah (sampan hanya diberi dudukan mesin),
dan dapat mengarungi sampai hulu sungai di Pulau Siberut yang dangkal. Di sisi
lain, pompong mempunyai kelemahan yakni memakan waktu tempuh yang relatif
lama, hampir dua kali lipat dibandingkan speedboat.
Perahu motor tersebut, selain untuk mengangkut barang dagangan, juga
sebagai sarana transportasi penduduk desa ke desa lain atau ke ibukota kecamatan
yang menjadi pusat ekonomi. Selain perahu motor, perahu sampan masih menjadi
moda transportasi tradisional yang dimiliki hampir seluruh masyarakat. Perahu
sampan umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke ladang
atau untuk mencari ikan. Seiring dengan tersedianya jalan desa yang terbuat dari
semen, maka banyak penduduk yang memiliki sepeda motor. Sepeda motor ini
mulai mengganti fungsi perahu sampan sebagai moda transportasi jarak dekat,
khususnya ke ladang. Di Desa Matotonan, ketika jalan menuju ibukota kecamatan
masih baik, intensitas masyarakat ke pasar cukup tinggi.
1. Mata Pencaharian
7
Harga barang adalah harga toko di lokasi penelitian. Pengeluaran tidak termasuk beras karena
dianggap masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok.
43
1. Tradisional
dihormati di suatu uma dan dipilih karena memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang banyak dan baik tentang tradisi dan adat istiadat. Selain itu, Sikebukat uma
harus orang yang arif, bijaksana, sabar, rela berkorban dan adil dalam memimpin
sipuuma dalam mengambil suatu keputusan. Sikebukat uma mempunyai tugas dan
peran memimpin punen (pesta) dan berbagai upacara adat. Walaupun berperan
sebagai pemimpin atau kepala uma, Sikebukat uma tidak mempunyai kekuasaan
dalam pengambilan suatu keputusan. Ketika Sikebukat uma sedang berhalangan
hadir pada suatu pertemuan karena sesuatu halangan, Sikebukat uma dapat
menunjuk salah seorang Sipuuma untuk menggantikan posisinya. Hernawati
(2007) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan punen, Sikebukat uma dapat
dibantu oleh seseorang yang disebut Sipangunan dan di luar punen dibantu oleh
Sirimata dan Sikamuri.
Tabel 3.10 Uma-uma di Muara Saibi, Desa Matotonan, dan Desa Sagulubbek
Nama desa Nama uma
Saibi Samukop Satoko, Saririkak, Sakairinggi, Sakatsilak, Sakerebau, Salakkau, Sakeru,
(Muara Saibi) Sagara-gara, Sagaileppak, Sanene, Sakiloat, Salabi, Saguruk, Sangaimang ,
Sauddeinuk, Sabettiliakek, Siritoitet
Matotonan Satoleuru, Sakobou, Samoan mutei, Satototnakek, Sarereiket, Saegekoni,
Sabulat, Sasagairigi, Sarubei, Sabaggalet, Sagoilok, Samonganpora,
Samongandagi, Sabulau, Siritoitet, Samalei, Saporak, Saguluw, Satoutou,
Samoanbaeloi, Sagainang, Salakkirat
Sagulubbek Sapokai, Sabajak, Sabaguang, Saruruk, Sateppu, Samairap Koan, Saroro,
Saegek Oni, Sabeleake
Sirubeiteteu/Uma Sabeu
Uma yang ada saat ini merupakan bagian dari uma yang lebih besar atau
uma sabeu (Gambar 3.2). Gambar tersebut menjelaskan bahwa sirubei teteu atau
uma sabeu merupakan kumpulan dari uma, faksi uma, dan juga rak-rak (garis
keturunan) yang berbeda-beda, tetapi memiliki klaim leluhur dan sekaligus
memiliki klaim sumber daya alam yang sama, secara sederhana dapat diwakili
dengan kata “leluhur yang sama” (Reeves 2004). Lalep merupakan keluarga inti
yang menjadi unit produksi di Mentawai. Satu uma dapat terdiri atas dua hingga
puluhan lalep dan mencakup 4-100 individu. Variasi jumlah lalep dan individunya
mencerminkan tingkat solidaritas, perkembangan sejarah, dan migrasi (Darmanto
dan Setyowati 2012). Selanjutnya, Darmanto dan Setyowati (2012) menyatakan
walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara anggota uma, kesatuan-
kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa tersebut.
2. Modern
3.4 Simpulan
4.1 Pendahuluan
Sumber daya alam (SDA) berupa lahan merupakan sumber daya penting
bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat perdesaan yang umumnya
memanfaatkan lahan sebagai sumber mata pencaharian. Lahan bukan hanya terdiri
atas tumpukan tanah dan tumbuhan atau satwa yang berada di atasnya, lebih jauh
dari itu lahan menyangkut aspek sosial terkait hak kepemilikannya.
Hak kepemilikan (property rights) dapat didefinisikan sebagai sebuah paket
dari hak yang mendefinisikan siapa pemilik hak, hak istimewa, dan batasan
terhadap penggunaan sumber daya alam (Bromely 1991). Hak kepemilikan
menentukan jenis klaim kita terhadap sumber daya dengan menentukan apa yang
bisa dan tidak bisa lakukan dan siapa yang berhak. Mereka menentukan insentif
jangka panjang dalam berinvestasi, mempertahankan, dan meningkatkan sumber
daya. Naguran (2002) menyatakan bahwa terdapat empat jenis hak kepemilikan
yang biasanya terdapat dalam literatur, yaitu kepemilikan negara (state property),
dimana negara memiliki hak untuk menentukan aturan penggunaan atau akses dan
individu yang memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan tersebut. Kepemilikan
pribadi/swasta (private property), dimana individu memiliki hak untuk melakukan
pemanfaatan yang diterima secara sosial dan memiliki kewajiban untuk menahan
perilaku sosial yang tidak dapat diterima. Kepemilikan komunal (common
property), dimana kelompok manajemen (pemilik) memiliki hak untuk
mengeluarkan individu yang bukan anggota dan individu tersebut berkewajiban
untuk mematuhi. Tidak ada kepemilikan (nonproperty), dimana 'pemilik' tidak
terdefinisikan sehingga aliran manfaat tersedia untuk siapapun, sehingga aset
tersebut dianggap sebagai sumber daya akses terbuka atau open access resources
(Bromley 1991).
Hak kepemilikan harus ditegakkan atau dihormati pihak lain. Di dalam Hak
kepemilikan terdapat norma-norma dan aturan main dalam pemanfaatannya dan
menjadi alat pengatur hubungan antar individu. Oleh karena itu, hak kepemilikan
merupakan suatau kelembagaan. Dalam menegakkan hak kepemilikan tersebut
diperlukan badan/organisasi yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut
(North 1990).
Bagi masyarakat Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS) hak
kepemilikan menjadi sangat penting karena berkaitan dengan kepastian pengusaan
faktor-faktor produksi. Salah satu faktor produksi dari SDA adalah lahan/tanah.
Lahan ini menjadi input atau faktor penting dalam proses produksi, termasuk
dalam berbagai kegiatan kehutanan dan pertanian di CBPS, karena berbagai
kegiatan tersebut membutuhkan lahan yang luas (land based). Selain sebagai
faktor produksi dalam ekonomi, lahan juga berperan penting sebagai faktor sosial
dalam kehidupan suatu masyarakat. Sebagai contoh, manusia membutuhkan lahan
untuk permukiman yang lebih baik sebagai dampak dari berkembangnya
penduduk. Begitupula, di atas lahan-lahan tersebut masyarakat berinteraksi secara
sosial dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban mereka. Untuk itu
pemahaman tentang situasi pengelolaan berupa hak kepemilikan dan penggunaan
49
4.2 Metode
laggai atau Sibakat porak) untuk suatu kebutuhan, tetapi tidak boleh menjual
lahan tersebut. Pemanfaatan lahan ini biasanya melalui suatu perjanjian lisan.
Orang atau kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan uma lain disebut
Sitoi. Sitoi bukannya tidak memiliki lahan, melainkan lahan mereka jauh dari
permukiman saat ini. Hak pakai ini terkait dengan migrasi lokal masyarakat
Mentawai karena konflik-konflik internal di uma yang tidak terselesaikan,
sehingga uma pecah dan salah salah satu uma menyingkir ke wilayah lain untuk
menghindari konflik terbuka. Selanjutnya, kebutuhan lahan yang lebih subur dan
landai untuk berbudidaya tanaman komersil. Adanya konsep hak pakai ini
menunjukkan adanya konsep berbagi di antara uma di Mentawai.
Konsep hak pakai ini dapat dilihat dari kepemilikan lahan perkampungan
yang dihuni banyak uma, serta lokasi perladangan dan hutan yang menjadi
sandaran hidup masyarakat, yang lahannya hanya dimiliki oleh beberapa uma saja.
Contoh, perkampungan di Desa Matotonan yang dihuni oleh dua puluh dua uma,
tetapi pemilik lahannya hanya lima uma (Uma Sabulat, Saguluw, Salakkirat,
Sarubei, dan Sabaggalet), sedangkan di Muara Saibi lahan di sekitar
perkampungan kebanyakan lahannya dimiliki oleh uma Satoko. Begitupula di
lokasi perladangan dan hutan di Matotonan umumnya dimiliki oleh uma
Satoleuru, Satoutou, Sabaggalet, Sagoilok, dan Salakkirat. Adanya konsep hak
pakai ini membuat kepemilikan sumber daya di atas suatu lahan berbeda dan
rumit. Dapat ditemukan suatu lahan dimiliki oleh satu uma, tetapi tanaman di atas
dimiliki oleh beberapa orang yang berlainan uma. Walaupun lahan milik uma,
tetapi ladang dan tanamannya merupakan milik individu yang menanam.
Dalam konsep bundles of the right, hak kepemilikan Sitoi atas lahan
dikategorikan sebagai authorized user karena memiliki hak acces dan withdrawal.
Sedangkan uma pemilik lahan merupakan pemilik hak penuh (full owner) karena
memiliki hak yang lengkap meliputi hak acces, withdrawal, management,
exclusion, dan alienation. Sebaliknya, hak kepemilikan Sitoi atas tanaman yang
ditanamnya di lahan uma lain bersifat full owner karena Sitoi dapat menentukan
siapa yang memanfaatkan tanaman hingga menjadi alat transaksi seperti
membayar denda (tulou) dan memperjual belikannya. Sedangkan sibakat polak
tidak mempunyai hak atas tanaman yang ditanam Sitoi. Walaupun demikian, hak
kepemilikan atas lahan lebih tinggi dari hak kepemilikan. Sehingga Sitoi rentan
terhadap pengusiran bila berkonflik dengan uma pemilik lahan (sibakat polak).
Kepemilikan lahan secara private ini masih jarang di CBPS dan terjadi di
pesisir timur Pulau Siberut. Hal ini sebagai dampak dari berkembangnya
permukiman dan lebih terbukanya akses masyarakat di pesisir timur terhadap
dunia luar. Lahan-lahan yang berada di dekat pemukiman dan jalan menjadi lebih
bernilai karena diminati pendatang sebagai lokasi tempat tinggal, berjualan, dan
berladang. Eksternalisasi ini, membuat pemilik lahan menjual lahan kepada
pendatang. Pendatang yang telah membeli lahan mulai melakukan proses
sertifikasi agar memantapkan kepemilikan mereka. Begitupula masyarakat
Mentawai yang memiliki lahan, turut melakukan sertifikasi agar nilai lahan
menjadi lebih mahal.
Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) dari Kementerian Sosial berupa
pembangunan permukiman baru juga memicu sertifikasi lahan komunal. Contoh
Program KAT tahun 2009 di Matotonan, para pemilik lahan tidak menginginkan
kompensasi berupa uang atas hibah lahan, melaikan mereka menginginkan
sertifikat lahan bagi penghuni permukiman. Menurut informan dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Mentawai, di Pulau Siberut terdapat sertifikat tanah
walaupun masih sedikit, terutama untuk tanah perkantoran pemerintah.
Proses sertifikasi tanah ini juga didorong oleh pemerintah daerah dan BPN,
terutama sejak tahun 2005 (Darmanto dan Setyowati 2012). Beberapa generasi
muda, terutama di pesisir timur Pulau Siberut antusias dengan proses sertifikasi
lahan karena memandang sertifikasi sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas
lahan mereka, menghindari konflik lahan antar uma yang berlangsung turun
temurun, dan menjadi modal usaha (dianggunkan), artinya pembangunan di
pesisir timur dianggap membawa eksternalisasi positif. Sebaliknya, kebanyakan
53
generasi yang lebih tua tidak setuju dengan sertifikasi karena akan berdampak
semakin berkurangnya lahan uma, prosesnya yang rumit, dan adanya konsekuensi
pembayaran pajak atas lahan private yang akan menambah beban mereka.
Program sertifikasi pada lahan komunal perlu kehati-hatian karena dampaknya
dapat merusak kelembagaan masyarakat setempat. Pokharel et al. (2007)
menyatakan bahwa sertifikasi lahan bisa jadi memperbaiki pengelolaan hutan,
tetapi mungkin juga menyebabkan hancurnya kelembagaan adat setempat yang
mampu mengelola sumber daya dengan lebih baik.
Ladang baru atau tinungglu merupakan ladang yang terbentuk setelah hutan
ditebang, dibersihkan, dan ditanami. Pembukaan tinungglu dapat dilakukan
bersama oleh sebuah uma, satu keluarga, atau perseorangan. Dalam proses
pembuatan tinungglu, kayu yang berguna (seperti untuk membuat rumah, pondok,
atau sampan) tidak ditebang, dan tidak dilakukan kegiatan pembakaran bekas
tebasan tumbuhan. Kegiatan pembakaran tidak dilakukan karena ada harapan
berbagai benih yang tersimpan di tanah cepat tumbuh, dan tumbuh bersama
dengan tanaman yang dibudidayakan (Darmanto 2006). Tinungglu ditanami
dengan tanaman sumber penghasil pangan (seperti keladi, pisang, ubi kayu, ubi
jalar, sayuran, buahan), tanaman komersil (seperti nilam, kakao, pinang, manau,
gaharu, meranti, cengkeh), tanaman bahan memasak (kayu bakar, bambu), dan
tumbuhan obat. Umumnya sistem penanaman di tinungglu ini serupa pola
agroforestri (polikultur). Ladang tua atau pumonean merupakan kelanjutan dari
tinungglu yang ekosistem hampir menyerupai hutan sekunder. Pumonean dapat
dibedakan dari hutan melalui komposisi tegakannya yang didominasi oleh
tanaman dari pohon buah. Walaupun demikian, terdapat pula pohon-pohon yang
dianggap bermanfaat oleh masyarakat, seperti dari jenis meranti atau keruing.
Selain bermanfaat secara ekonomi, pumonean dan tinungglu berguna secara sosial
bagi masyarakat, yakni menjadi alat tukar di masyarakat, alat penyelesaian
konflik, (pembayaran denda), harta waris, dan menjadi ukuran kekayaan
seseorang. Gambar perladangan dapat dilihat pada Gambar 4.1.
54
(
b)
u Pumonean
sebagai makanan10, pakan ternak (durian yang masak), bahan obat untuk ibu
hamil, bahan bangunan, mas kawin (alak toga), alat tukar, dan pohon tempat
dibuatnya kirekat11. Pohon yang berstatus kirekat akan disakralkan, dan denda
yang besar bila merusaknya. Terdapat tiga varietas durian di Siberut, yaitu doriat,
toktuk, dan sipusinoso. Musim berbuah tiap varietas durian jarang bersamaan.
Biasanya masa berbuah tiap varietas selama dua bulan. Setelah musim buah
durian, dilanjutkan oleh musim buah langsat (tiat) dan rambutan hutan (babaet).
10
Masyarakat Siberut lebih suka mengkonsumsi buah durian yang masih mengkal daripada yang
masak karena yang masak sudah dianggap busuk.
11
Kirekat adalah sebuah benda untuk mengenang seseorang yang meninggal. Kenang-kenangan ini
dipahatkan ke pohon durian membentuk alur tubuh orang yang meninggal atau dipahatkan ke
sebuah papan.
56
Pugettekat Pusaguat
Pusaguat mengacu pada ladang sagu di ekosistem rawa sagu alami yang
sudah dijadikan lokasi mengambil sagu (Metroxylon sagu) atau ladang sagu yang
tanaman sagunya sudah ditanam oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang
mengambil tunas vegetatif tersebut untuk ditanam ke lokasi lain guna memulihkan
lokasi yang terlalu banyak dipanen atau untuk memudahkan pengolahan saat di
panen. Penanaman sagu dilakukan di dataran rendah berpaya di dekat
perladangan. Dataran rendah dipilih karena lebih subur dibandingkan di dataran
yang lebih tinggi, dimana pupuk alami dari longsoran tanah humus dari lereng-
lereng bukit terkumpul di lokasi ini. Pusaguat seperti ini dapat membentuk
ekosistem seperti rawa, karena kemampuan jaringan perakarannya untuk menahan
air. Pusaguat dapat bertambah luas dengan sendirinya, karena sagu dapat
berkembang biak secara vegetatif.
Secara morfologi, tumbuhan sagu di Pulau Siberut tumbuh lebih besar dan
tinggi dibandingkan di daerah Malaya (Whitmore 1973 dalam WWF 1980). Sagu
juga mempunyai multi manfaat, yang hampir seluruh bagiannya dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sari pati dari empelur sagu dijadikan tepung
sebagai bahan makanan. Empelur batang yang dikupas atau dipotong kecil-kecil
59
12
Di Siberut dikenal beberapa bangunan tempat tinggal (tradisional), yaitu uma berupa bangunan
berbentuk rumah panggung dengan ukuran besar dan memanjang ke belakang. Uma dapat dihuni
oleh beberapa keluarga yang bertalian darah. Lalep, rumah yang lebih kecil yang dibangun di
sekitar uma. Lalep dihuni oleh satu keluarga. Rumah yang berada di permukiman (desa/dusun)
biasanya juga disebut lalep. Sapou sainak, pondok di perladangan berbentuk panggung yang di
bagian bawahnya digunakan untuk memelihara babi. Sapou sainak biasanya dihuni sementara
ketika merawat tanaman dan ternak.
62
Tabel 4.5 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon dengan indeks nilai penting
tertinggi di hutan sekitar desa di lokasi penelitian
Nama Parametera (%)
Nama ilmiah Pemanfaatan
lokal KR FR DR INP
Desa Saibi Samukop
Koka Dipterocarpus sp. 14.706 10.345 30.930 55.981 Papan, kayu
bakar
Boklo Shorea sp. 11.765 13.793 23.472 49.030 Papan
Tapeiki Artocarpus lanceifolius 8.824 10.345 16.897 36.065 Papan,
sandang
Kapot Vitex sp. 8.824 10.345 2.718 21.886 Kayu bakar
Leituak
Buluk Elaeocarpus obtusus 8.824 6.897 3.114 18.834 Papan
Surak
Desa Matotonan
Sikokkok - 4.167 4.545 24.493 33.206 Kayu bakar
Papat Garcinia sp. 12.500 9.091 8.400 29.991 Papan
Darubei - 8.333 9.091 3.223 20.648 Papan
Sitairak Quercus argentea 4.167 4.545 9.825 18.537 Papan
Kurau - 8.333 4.545 4.321 17.200 Papan
Desa Sagulubbek
Ribbu Eugenia cymosa 18.182 12.500 11.124 41.806 Papan
Ngalo Knema laurina 6.818 7.500 8.838 23.156 Kayu bakar
patadekat
Uru kulit Chrysophyllum 6.818 7.500 6.727 21.045 Kayu bakar
roxburghii
Beliu Aporosa sp. 6.818 7.500 6.678 21.034 Papan
Logau Cannarium rufum 6.818 7.500 6.438 20.756 Kayu bakar
Saba
a
KR: Kerapatan Relatif, FR: Frekuensi Relatif, DR: Dominasi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting.
Rotan merupakan produk hutan yang terkenal dari Pulau Siberut. Selain
bernilai ekonomis, rotan secara tradisional juga dijadikan bahan pembuatan
peralatan rumah tangga. Berbagai jenis rotan dan pemanfaatannya di Pulau
Siberut disajikan pada Tabel 4.6. Dari semua jenis rotan tersebut, beberapa rotan
menjadi komoditas unggulan dari Pulau Siberut, seperti Calamus manan, C.
63
ulat pohon keruing (tutube). Beberapa jenis burung diburu dan dijual masyarakat
ke pendatang karena harganya yang cukup mahal. Burung dan harga jualnya
disajikan pada Tabel 4.9.
Kehidupan masyarakat Mentawai tidak terlepas dari air. Hal ini dapat dilihat
dari pola permukiman tradisional (uma) masyarakat Mentawai yang umumnya
terletak di tepi sungai. Begitupula dengan pondok perladangan (sapou sainak)
biasanya terletak di dekat sungai.
Masyarakat Mentawai di CBPS memanfaatkan sungai sebagai media
transportasi utama. Secara tradisional, masyarakat menggunakan sampan untuk
berpergian dari perkampungan menuju kampung lain atau mengangkut hasil bumi
dari perladangan. Walaupun, saat ini sudah tersedia jalan darat dari semen di
desa/dusun, terbatasnya jalan darat yang dapat dilalui oleh kendaraan beroda
dua/empat, membuat transportasi air masih menjadi andalan masyarakat Siberut.
Hal ini menggambarkan nilai penting sungai-sungai dan sampan sebagai media
penghubung antar masyarakat yang berbeda permukiman dan menjadi
penghubung masyarakat dengan pusat ekonomi produktif mereka (tinungglu/
pumonean).
Air sungai juga dimanfaatkan sebagai air minum dan mencuci. Air minum
umumnya diambil masyarakat dari sungai-sungai kecil yang berair jernih yang
banyak melewati permukiman, sedangkan air sungai besar tidak digunakan untuk
air minum karena berair keruh. Air sungai juga dimanfaatkan masyarakat untuk
13
Terdapat empat jenis primata di Siberut, yaitu bokkoi atau beruk siberut (Macaca siberu), bilou
atau siamang kerdil (Hylobates klossii), joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), dan
simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), semua primata tersebut merupakan primata
endemik untuk Pulau Siberut dan Kepulauan Mentawai.
66
mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga. Selain itu, ekosistem sungai dan
rawa juga dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan, kerang, udang, dan
katak. Dalam menjaga kebersihan sungai, terdapat aturan informal di masyarakat
yang melarang membuang hajat dan sampah ke sungai.
Pantai dan pulau-pulau kecil disebut nusa. Nusa yang relatif luas banyak
dimanfaatkan masyarakat untuk berladang dengan menanam tanaman seperti
kelapa, cengkeh, pala, dan nilam. Namun, produk utama dari nusa adalah kelapa.
Kelapa umumnya diolah menjadi kopra, tetapi di waktu-waktu tertentu kelapa
bulat dikirim ke beberapa daerah di Pulau Sumatera hingga Pulau Jawa.
Masyarakat memanfaatkan ekosistem ini untuk menangkap ikan, mencari kerang
dan siput, berburu dugong, serta mencari rumput laut. Dalam kurun satu
dasawarsa belakangan, nusa menjadi objek wisata bahari yang cukup ramai
dikunjungi wisatawan mancanegara untuk berselancar karena ombak yang besar
di sekitar nusa. Berkah ini memacu pembangunan banyak resort wisata di nusa.
Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas pengembangannya di
Siberut disajikan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas
pengembangannya di Siberut a
Daerah tujuan wisata Kecamatan Potensi wisata Prioritas
Pulau Karangbajat Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Nyang-nyang Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Mainuk Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Roniki Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 2
Teluk Sarabua Siberut Tengah Wisata Bahari Prioritas 2
Masilok Siberut Selatan Wisata Bahari Prioritas 2
Tanjung Malilimok Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 2
Madobag Siberut Selatan Wisata Budaya Prioritas 2
Simatalu Lubaga Siberut Barat Wisata Budaya Prioritas 2
Teluk Sarabua Siberut Tengah Wisata Bahari Prioritas 2
Muntei Siberut Selatan Wisata Budaya Prioritas 2
Lobajou (teluk) Siberut Barat Flora dan Fauna Prioritas 3
Teluk Pokai Siberut Utara Panorama Alam Prioritas 3
Pulau Botik Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 3
a
Diolah dari data BAPPEDA Kab. Kep. Mentawai (2011).
7. Permukiman (Barasi)
8. Persawahan (Puberakat)
Hutan (leleu)
Perkampungan (barasi)
Lahan
Ladang keladi (pugettekat)
Sawah (puberakkat)
Gambar 4.4 Transformasi lahan menjadi lingkungan yang lebih khas dan
bermanfaat bagi masyarakat Siberut
4.4 Simpulan
5.1 Pendahuluan
5.2 Metode
b. Sumber kekuatan
1) Personality power dan property power, yaitu pengaruh stakeholders yang
diperoleh berdasarkan kepribadian, kepemimpinan seseorang (kharisma,
kekuatan fisik, kecerdasan mental atau pesona), kepemilikan, dan atau
kekayaan.
2) Organisation power, yaitu pengaruh stakeholders dari suatu organisasi
dikarenakan memiliki massa, jejaring kerja, kesesuaian bidang tugas, dan
atau berkontribusi pada suatu fasilitas.
Penempatan stakeholders ke dalam matriks kepentingan–pengaruh
didasarkan pendeskripsian pernyataan informan yang kemudian dikuantifikasi
melalui nilai dan skor. Penetapan skor mengacu pada model yang dikembangkan
oleh Abbas (2005), yakni pengukuran data berjenjang lima seperti disajikan pada
Tabel 5.1. Penilaian tinggi dan rendahnya skor dilakukan oleh peneliti. Skor tinggi
diberikan kepada stakeholders yang kepentingannya yang relevan dengan fungsi
ekosistem, serta stakeholders yang menentukan keberhasilan pengelolaan fungsi
ekosistem dari suatu SDA. Sebaliknya, nilai rendah diberikan kepada stakeholders
yang kepentingannya tidak relevan dengan fungsi ekosistem, serta stakeholders
yang tidak menentukan keberhasilan pengelolaan fungsi ekosistem dari suatu
SDA. Nilai dari lima pertanyaan dijumlahkan dan dipetakan dalam matriks
kepentingan dan pengaruh. Hasil penentuan nilai pada setiap indikatornya
disandingkan satu sama lainnya sehingga membentuk koordinat. Koordinat
tersebut dimasukkan dalam grids yang dibuat menggunakan bantuan program
Microsoft Excel.
Pengaruh stakeholders
5 21-25 Sangat tinggi Sangat mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
4 16-20 Tinggi Mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
3 11-15 Cukup tinggi Cukup mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
2 6-10 Kurang tinggi Kurang mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
1 0-5 Rendah Tidak mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
Tabel 5.2 Stakeholders dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Stakeholders Keterangan
Masyarakat Siberut (Suku Mentawai) Masyarakat
Balai Taman Nasional Siberut (BTNS) Pemerintah Pusat
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Pemerintah Pusat
Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi (Dishutkab/prov) Pemerintah Daerah
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Pemerintah Daerah
Kabupaten
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten (Disparbudkab) Pemerintah Daerah
Dinas Pertanian Kabupaten (Distankab) Pemerintah Daerah
Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM-M) Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat LSM
Yayasan Kirekat LSM
Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mentawai (IPMEN) LSM
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kab. Mentawai Pemerintah Pusat
Flora Fauna International Indonesia (FFI-I) LSM
Komite Nasional MAB (KN MAB) Indonesia Pemerintah
Universitas Andalas (UNAND) Lembaga Pendidikan
Universitas Muhamaddiyah Sumatera Barat (UMSB) Lembaga Pendidikan
Institut Pertanian Bogor (IPB) Lembaga Pendidikan
Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Lembaga Penelitian
Kehutanan (Balitbang Kemen. LHK)
PT. Salaki Summa Sejahtera (IUPHHK) Swasta
Posisi kuadran II (key players) ditempati oleh kelompok yang paling kritis
karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi, yakni BTNS
dan Dishutkab. BTNS memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi berkenaan
dengan otoritas dan tanggung jawabnya untuk mengelola kawasan (46.80% dari
luas pulau) dan merealisasikan program kerja di kawasannya yang mencakup
kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan evaluasi.
Keberadaan resor pengelola TNS di daerah pedalaman dan intensistas kerja yang
cukup tinggi di Pulau Siberut membuat organisasi ini mempunyai pengaruh tinggi
di masyarakat. Hal ini lazim ditemui pada setiap kegiatan pengelolaan SDA,
pengelola yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai
pemangku kepentingan utama (Sembiring et al. 2010; Maguire et al. 2012).
Dishut Kab. Kep. Mentawai mempunyai kepentingan yang tinggi karena hampir
sebahagian pulau (44.55% dari luas pulau) merupakan hutan produksi dan hutan
produksi yang dikelola oleh Dishut. SKPD merupakan wakil pemerintah daerah
yang memiliki otoritas pengembangan wilayah. Era otonomi daerah memberikan
wewenang lebih besar pada setiap daerah dalam memanfaatkan potensi SDA dan
82
sebagai PHPAL di area IUPHHK PT. SSS sudah tidak berlanjut karena PT. SSS
sudah bekerjasama dengan konsultan lain. Begitupula dengan kerjasama dengan
SCP yang sudah tidak berlanjut, karena SCP sudah tidak melakukan aktivitas
penelitian di Siberut. BPN menyelenggarakan tata ruang dan administrasi
pertanahan di Indonesia di luar kawasan hutan negara. Tanah milik di CBPS
sangat kecil sehingga tidak banyak dan dimiliki oleh uma-uma (komunal)
sehingga belum banyak lahan yang disertifikatkan di Pulau Siberut. Walaupun
demikian, BPN mendorong masyarakat untuk mencatatkan lahan pribadi untuk di
sertifikatkan.
Kepentingan dan pengaruh stakeholders akan selalu berubah sesuai dengan
dinamika berbagai parameter penyusunnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Reed
et al. (2009) bahwa kepentingan dan pengaruh stakeholders dapat berubah
sepanjang waktu, dan dampak perubahan tersebut perlu dijadikan pertimbangan
bagi pengelola suatu kawasan. Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan saat
ini, pengelolaan suatu CBPS mutlak ditangani multi stakeholders yang dapat
dibangun melalui suatu kemitraan.
memperoleh PAD dari SDA yang ada, dan kadangkala tanpa mempertimbangkan
dampak negatif yang ditimbulkannya. Walaupun kedua belah pihak
memperhatikan aspek ekonomi, tetapi pengelolaan kawasan konservasi lebih
cenderung berorietasi pada aspek ekologi, sedangkan SKPD lebih berorietasi pada
aspek ekonomi. BTNS seringkali dianggap beberapa pejabat Pemkab dan anggota
DPRD sebagai penghambat pembangunan, karena melarang berbagai aktivitas
pembangunan di Siberut, seperti pembangunan jalan raya dan pemukiman.
Tabel 5.4 Actor-linkage dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Stake- Keterkaitan antar stakeholdersb
holdera 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1 - A,C A A,C C C C C C C C C C C C C C C A,C
2 A,C - B,C A,C A,C C C C C C C C C B,C C C C C C
3 A B,C - A,C A,C C C C C C C C C C C C C C C
4 A,C A,C A,C - C C C C A,C C A,C C C C C C C C C
5 C A,C A,C C - C C C - C C C C C C C C C C
6 C C C C C - C C - C C C C C C C C C C
7 C C C C C C - C - C C C C C C C C C C
8 C C - A,C C C C - B,C C C C C C C C C C A,C
9 C C C A,C - - - B,C - C C C C C C C C C A,C
10 C C C C C C C C C - C C C C C C C C C
11 C C C A,C C C C C C C - C C C C C C C C
12 C C C C C C C C C C C - C C C C C C C
13 C C C C C C C C C C C C - C C C C C C
14 C B,C C C C C C C C C C C C - C C C C C
15 C C C C C C C C C C C C C C - C C C C
16 C C C C C C C C C C C C C C C - C C C
17 C C C C C C C C C C C C C C C C - C C
18 C C C C C C C C C C C C C C C C C - C
19 A,C C C C C C C A,C A,C C C C C C C C C C -
a
Stakeholders 1: Masyarakat Suku Mentawai di Siberut, 2: BTNS, 3: BKSDA Sumatera Barat, 4:
Dishutkab, 5: BAPPEDA Kab., 6: Disparbudkab, 7: Distankab, 8: YCM, 9: WALHI, 10: Kirekat,
11: IPMEN, 12: BPN, 13: FFI-I, 14: KN-MAB, 15: UNAND, 16: IPB, 17: UMSB, 18:
Balitbanghut, 19: PT SSS. bKeterkaitan antar stakeholder A: conflict, B: complementary, C:
cooperation.
16
Manajemen kolaborasi adalah suatu bentuk manajemen yang mengakomodir kepentingan-
kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai
entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan
bersama (Tadjudin 2000).
87
Tabel 5.5 Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan Cagar Biosfer Pulau Siberut
Aspek
Stakeholders Aktivitas
Konservasi
Dishutkab Perlindungan - Penyuluhan (Pengamanan dan perlindungan hutan berbasis
masyarakat/PPHBM, kebakaran hutan, prosedur dan proses
pemanfaatan kawasan hutan)
- Patroli kawasan (pengamanan dan pemantauan peredaran hasil
hutan, patroli simpatik, pemeriksaan batas blok tebangan
IUPHHK)
- Pengendalian produksi dan peredaran hasil hutan serta
pengelolaan iuran sektor kehutanan
Pengawetan - Pembibitan tanaman hutan
Pemanfaatan - Pengendalian kewajiban pokok IUPHHK PT. SSS
- Pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) IUPHHK PT. SSS
- Kegiatan tebang pilih tanam indonesia (TPTI) IUPHHK PT.
SSS
- Promosi peluang investasi usaha bidang kehutanan
TNS Perlindungan - Patroli rutin dan gabungan
- Identifikasi penggunan lahan dalam kawasan
Pengawetan - Inventarisasi keanekaragaman hayati (flora dan fauna)
- Pembibitan tumbuhan hutan dan tanaman bernilai ekonomis
Pemanfaatan - Pengembangan ekonomi
- Penyusunan Review Zonasi TNS
- Penyuluhan konservasi
- Pengembangan daerah kunjungan ekowisata
Unand Pengawetan - Pengenalan jenis dan herbarium tumbuhan dan satwa di
Siberut oleh mahasiswa dan kerjasama dengan BTNS
- Mengidentifikasi pemanfaatan lahan di masyarakat kerjasama
dengan BTNS
- Menyusun Review Zonasi TNS
UMSB Pengawetan - Melakukan inventarisasi primata di kawasan TNS kerjasama
dengan BTNS
Walhi - Penguatan kelembagaan desa di Salappak bekerjasama dengan
YCM
YCM - Melakukan peningkatan kapasitas organisasi masyarakat adat
(OMA) Mentawai
- Meningkatkan partisipasi masyarakat adat Mentawai dalam
memperjuangkan hak-haknya
- Menyusun konsep-konsep pelibatan masyarakat adat
Mentawai dalam sistem politik, hukum dan PSDA yang adil
dan berkelanjutan, serta membuat rekomendasi produk-produk
hukum yang berpihak pada masyarakat adat Mentawai
- Melakukan relasi dan dialog dengan Pemkab Mentawai
- Membangun aliansi strategis dan dukungan para pihak dalam
perjuangan Masyarakat Adat Mentawa
PT. SSS - Memanfaatkan kayu di areal izin
- Penjagaan kawasan (patroli rutin dan gabungan dengan aparat)
- Melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat
88
Tabel 5.5 Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan Cagar Biosfer Pulau Siberut
(lanjutan)
Aspek
Stakeholders Aktivitas
Konservasi
Yayasan - Membangun data base tentang konservasi jenis, habitat,
Kirekat dan ekosistem di Siberut.
- Melakukan kajian sosial ekonomi dan budaya di Siberut
- Melakukan kajian dan pemantauan populasi serta sebaran
satwa endemik di Siberut.
- Melakukan pemetaan partisipatif dan analisis perubahan
tutupan ekosistem di Siberut.
- Memberikan rekomendasi/solusi atas permasalahan
pengelolaan wilayah di Siberut
Masyarakat Ikut serta dalam berbagai kegiatan stakeholder
5.4 Simpulan
6.1 Pendahuluan
Salah satu unit analisis kelembagaan adalah aturan yang digunakan (rule in
use). Berdasarkan atas bentuknya North (1990) membagi kelembagaan menjadi
dua, yakni informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang
keberadaannya di masyarakat dan umumnya tidak tertulis, seperti adat istiadat,
tradisi, pamali, kesepakatan dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan.
Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis, seperti perundang-
undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang
ekonomi, bisnis, politik, kehutanan, dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang
berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke
dalam kelembagaan formal. Kedua jenis kelembagaan ini mempengaruhi perilaku
manusia terhadap sumber daya alam (SDA), karena aturan menyediakan struktur
kehidupan yang memandu interaksi manusia atau untuk menciptakan tingkat
kepastian antara interaksi manusia, untuk mengarahkan perilaku manusia ke arah
yang diharapkan anggota masyarakat, untuk mengurangi perilaku oportunis, biaya
koordinasi, dan untuk membatasi dan atau menyelesaikan konflik (North 1990,
Ostrom 1990, Kasper dan Streit 1998).
Sebagian besar (91.36%) lahan di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS)
merupakan kawasan hutan negara yang pengelolaan SDA-nya mengikuti
ketentuan dari peraturan perundangan bidang kehutanan. Di lain pihak, lahan-
lahan tersebut secara tradisional dimiliki oleh uma-uma pengelolaannya
tergantung pada kesepakatan anggota uma. Terlihat dalam satu kawasan hutan
bahwa terdapat dua sistem kelembagaan antara masyarakat dan pemerintah.
Seharusnya kedua tipe kelembagaan ini dapat sejalan dan saling mendukung
(Larson 2013). Namun pada kenyataannya, pengelolaan SDA yang dilakukan oleh
masyarakat seringkali dipandang sebagai “masalah” bagi pemerintah karena
pengelolaan SDA yang mereka lakukan tidak selalu sejalan dengan aturan-aturan
formal (Tadjudin 2000). Sedangkan pengelolaan oleh pemerintah belum mampu
mengelola SDA yang dikuasakan negara karena terkendala sumber daya yang
terbatas (Soekmadi 2002; Basuni 2003; Susetyo 2015). Oleh karena itu, analisis
terhadap kelembagaan informal dan formal dalam pengelolaan SDA sangat
penting dilakukan agar strategi penguatan kelembagaan Suku Mentawai dalam
pengelolaan SDA di CBPS dapat dirumuskan.
6.2 Metode
Data yang dikumpulkan berupa data primer berupa aturan informal yang
berlaku di masyarakat Mentawai di CBPS dan aturan formal yang diberlakukan
pemerintah dalam pengelolaan SDA di CBPS. Aturan formal yang kumpulkan,
meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang terkait
dengan pengelolaan SDA. Aturan dipilih secara purposive sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Data sekunder merupakan data yang berasal dari beberapa
dokumen untuk mendukung data primer. Data tersebut terkait ciri-ciri
kelembagaan pada aturan informal dan formal yang terdiri atas hak kepemilikan,
batas yuridiksi, dan aturan representasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu studi dokumen,
wawancara mendalam, dan pengamatan langsung. Studi dokumen dilakukan
dengan menelaah peraturan perundangan dan dokumen terkait lainnya.
Wawancara mendalam dilakukan kepada 16 (enam belas) orang, dengan kriteria
orang Mentawai dan mengetahui aturan adat yang berlaku di Siberut. Pengamatan
langsung dilakukan untuk melihat aktualisasi aturan dalam aktivitas keseharian
masyarakat dalam mengelola SDA.
Aturan informal dan formal dinilai menggunakan delapan prinsip desain
kelembagaan Ostrom (1990) yang menyatakan bahwa terdapat berbagai kondisi
atau faktor penting yang diperhitungkan dalam suatu kelembagaan lokal yang
dapat bertahan lama untuk mengelola CPRs, yaitu:
1) Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas (clearly defined boundaries).
Individu atau kelompok yang mempunyai hak memanfaatkan unit sumber
daya CPRs harus terdefinisikan dengan jelas, termasuk batas-batas fisik CPRs.
Bila pengguna dan batas sumber daya CPRs tidak terdefinisi dengan jelas,
maka pemilik sumber daya akan menghadapi resiko pemanfaatan sumber daya
oleh orang yang tidak ikut dalam usaha penyediaan dan pemeliharaan CPRs.
Hal ini menyebabkan tidak adanya insentif bagi pengguna sumber daya lokal
untuk melakukan kerjasama dan tindakan bersama dalam penyediaan dan
pemeliharaan CPRs.
2) Kesesuaian (congruence) aturan dengan kondisi setempat. Kesesuaian antara
aturan pemanfaatan, seperti pembatasan waktu, lokasi, teknologi, dan atau
jumlah unit sumber daya dengan kondisi setempat, serta sesuai dengan aturan
penyediaan, seperti kebutuhan tenaga, material dan atau uang.
3) Pengaturan pilihan kolektif (collective choice arrangements). Berbagai pihak
yang dipengaruhi oleh aturan main, khususnya pada tingkat operasional
berhak untuk berpartisipasi secara luas dalam memodifikasi aturan.
4) Pengawasan (monitoring). Terdapat pengawasan yang secara aktif mengaudit
kondisi sumber daya dan perilaku pengguna serta bertanggung jawab kepada
pengguna dan atau anggota pengguna tersebut.
5) Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan (graduated sanctions). Pengguna
yang melanggar aturan operasional harus mendapat sanksi yang tegas,
tergantung pada keseriusan dan konteks pelanggarannya, dari pengguna
lainnya dan atau petugas yang bertanggung jawab kepada pengguna atau
keduanya.
6) Mekanisme penyelesaian konflik (conflict resolution mechanism). Para
pengguna dan para petugas memiliki akses cepat dan murah untuk
menyelesaikan konflik antar pengguna atau antara pengguna dengan petugas.
7) Pengakuan hak untuk mengelola (minimal recognation of the rights to
94
17
Uma merupakan organisasi sosial orang Mentawai di Siberut (Schefold 1991). Reeves (2004)
menyatakan bahwa uma digunakan untuk mengklaim hak atas „sesuatu‟ (sumber daya) yang telah
diusahakan atau dimiliki secara eksklusif atas nama uma maupun hak bersama yang mereka warisi
sebagai bagian dari keturunan dari leluhur yang sama.
96
Selain memuat aturan tentang hal-hal yang baru, Perdes juga memuat
perubahan sanksi berupa besaran denda (tulou) terkait aturan adat (informal).
Besaran denda yang dahulunya berdasarkan kesepakatan atau negoisasi antara
pihak yang berkonflik, saat ini ditetapkan besarannya dalam Perdes. Perdes ini
mendapat dukungan dari masyarakat karena dianggap lebih adil. Salah seorang
pemuka masyarakat Matotonan, Sukarmanto Satoleuru menyatatakan bahwa “…
Perdes dibuat untuk meringankan beban bagi orang yang di-tulou, karena tidak
semua orang mempunyai kemampuan (kekayaan) untuk membayar tulou …”.
Begitupula menurut Lukas Samalei (mantan kepala dusun di Matotonan)
menyatakan bahwa “…tulou selain membatasi perbuatan yang melanggar hak
orang juga membatasi kerusakan lingkungan…”. Perdes merupakan satu bentuk
transformasi aturan informal ke aturan formal. Transformasi aturan ini memberi
ruang partisipasi bagi individu atau anggota masyarakat dalam menyusun dan atau
merevisi aturan pada tingkat operasional18.
Terkait dengan kumpulan hak kepemilikan, masyarakat Mentawai hanyalah
berposisi sebagai authorized user, yakni hanya memiliki hak access dan
withdrawal hanya di lahan uma mereka. Di sisi lain, karena sebahagian besar
kawasan CBPS merupakan hutan negara, maka hak management, exclusion, dan
alienation berada di tangan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pendapat Naguran
(2002) bahwa masyarakat tanpa hak pilihan kolektif, pada dasarnya, telah menjadi
'authorised user' daripada proprietors atau owners.
4. Pengawasan
Terdapat dua cara pengawasan SDA milik uma di Suku Mentawai, yakni
melalui pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal, pengawasan
atas SDA milik uma dilakukan oleh semua sipuuma, artinya semua Sipuuma
bertanggung jawab atas memantau kondisi SDA milik uma. Pengawasan internal
ini biasanya dilakukan terhadap SDA yang berada di sekitar permukiman
sipuuma. Pengawasan Eksternal, pengawasan atas SDA milik uma dilakukan
oleh uma lain. Pengawasan eksternal ini dilakukan terhadap SDA yang lokasinya
jauh dari permukiman sipuuma, karena SDA milik suatu uma di Siberut jarang
berada dalam satu hamparan lahan dan jarak antar satu SDA ke SDA lain
seringkali berjauhan. Pengawasan eksternal ini biasanya melalui suatu
kesepakatan. Isi kesepakatan yakni bahwa uma yang menjaga (sipasijago) akan
menjaga lahan serta SDA di atasnya, dan akan melaporkan apabila ada
pemanfaatan SDA tanpa izin. Sebagai kompensasi, sipasijago dapat
memanfaatkan SDA di lahan tersebut, tetapi tidak boleh menjual lahannya.
Tabel 6.2 Jenis pelanggaran dan denda dalam pengelolaan sumber daya alam
(SDA) di Siberut
SDA Jenis pelanggaran Sanksi
Hasil hutan Mencuri, merusak Denda dua kali lipat dari SDA yang diambil
Lahan (tanah) Merusak Denda sesuai dengan kesepakatan antara pihak berkonflik
Menjual Diusir dari uma
Air Mencemari Denda sesuai dengan kesepakatan antara pihak berkonflik
Penyebab konflik dalam pengelolaan SDA di Siberut dapat dibagi dalam dua
kelompok. Pertama, konflik yang terjadi karena seseorang/pihak memanfaatkan
SDA milik orang atau uma lain tanpa izin pemilik, seperti seseorang mengambil
tanaman di ladang atau buah di hutan/pumonean yang biasanya terjadi ketika SDA
sedang menipis, atau pihak IPK atau IUPHHK mengambil SDA tanpa koordinasi
dengan uma pemilik lahan. Kedua, konflik lahan yang umumnya terjadi antara
dua uma atau lebih dan atau antara uma dengan pemerintah yang mengklaim
penguasaan lahan yang sama seperti BTNS dan Dinas Kehutanan.
Penyelesaian konflik dilakukan antara kedua pihak atau uma yang berkonflik
melalui musyawarah. Pihak yang berkonflik bernegoisasi dalam menentukan
besaran denda yang dikenakan. Pada kasus-kasus besar, seperti perselingkuhan,
pembunuhan, atau konflik lahan yang melibatkan dua uma atau lebih, biasanya
ditunjuk perantara (Sipasuili)19. Apabila konflik tidak terselesaikan antar dua uma
di dusun, penyelesaian konflik dilakukan lewat jalur kepemerintahan baik di
tingkat dusun, desa, atau kecamatan.
Terdapat beberapa kasus, pelaku tidak mau mengakui perbuatannya, maka
akan diambil kesepakatan untuk melakukan ritual “belah rotan” (tippu sasa).
Tippu sasa adalah sumpah yang dilakukan oleh tersangka kepada arwah-arwah
nenek moyang bahwa dia memang tidak berbuat seperti yang dituduhkan.
Masyarakat percaya bahwa jika tersangka berbohong, dia akan mengalami
kemalangan hingga kematian baik ke dirinya maupun keluarganya. Apabila sudah
dilakukan tippu sasa, permasalahan dianggap selesai.
Jarang sekali konflik pengelolaan SDA dibawa ke aparat kepolisian.
Menurut anggota kepolisian sektor Muara Siberut, setiap tindakan pelanggaran
19
Sipasuili adalah seorang perantara dalam menyelesaikan suatu permasalahan antara pihak yang
berkonflik. Tugasnya adalah menjembatani keinginan pihak/uma yang dirugikan (biasanya terkait
dengan nilai denda) kepada pelaku dan memberi saran-saran kepada pihak/uma yang dirugikan
tentang kesanggupan pelaku membayar denda. Sipasuili sekaligus menjadi saksi pembayaran
denda dan akan dilibatkan kembali dalam konflik yang menyangkut harta hasil pendendaan di
kemudian hari. Sipasuili dipilih oleh pihak/uma yang dirugikan dan berasal dari uma yang tidak
terkait dengan konflik, tetapi biasanya mempunyai hubungan baik dengan pihak/uma yang
dirugikan. Sipasuili yang dipilih adalah orang yang mahir bernegosiasi, mengetahui sejarah SDA
dan aturan adat. Beberapa daerah di Siberut menyebutnya dengan Sipatalaga dengan peran
mediator seperti Sipasuili.
99
hukum formal yang ringan, seperti pencurian SDA, perselingkuhan, atau konflik
lahan diupayakan diselesaikan secara adat di tingkat masyarakat, dusun, atau desa.
Namun, pelanggaran hukum yang berat, seperti pembunuhan tetap akan diproses
melalui hukum formal walaupun sudah diselesaikan melalui hukum adat.
Tabel 6.4 Luas zona dan status/fungsi hutan di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Zonasi Luasan (ha)a Persentase (%) Status/fungsi kawasan b
Area inti 190 500 47.27 HK (Taman Nasional Siberut)
Zona penyangga 128 277 31.83 HP, HL, HK (HSAW Teluk Saibi Sarabua)
Area transisi 84 223 20.90 HPK, APL, lahan milik
a b
PHKA (2013); HK: Hutan Konservasi, HP: Hutan Produksi, HPK: Hutan Produksi Konversi,
HL: Hutan Lindung, APL: Areal Penggunaan Lain, HSAW: Hutan Suaka Alam dan Wisata.
Batas antara kawasan hutan negara di CBPS belum jelas. Kawasan Taman
Nasional Siberut (TNS) sampai saat ini belum selesai di tata batas (temu gelang).
Kawasan TNS yang sudah di tata batas sekitar 98.38 km dari panjang 205 km
(BTNS 2014). Begitupula dengan kawasan HSAW Teluk Saibi Sarabua belum
pernah di tata batas. Hingga saat ini HSAW Teluk Saibi Sarabua belum jelas
apakah tergolong KSA atau KPA. Kawasan hutan produksi masih banyak yang
belum di tata batas, batas kawasan HP yang jelas hanya pada kawasan yang
dikelola IUPHHK. Demikian pula dengan batas HL tidak jelas karena belum
pernah di tata batas.
Kawasan hutan yang tidak atau belum selesai di tata batas belum dapat
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Penetapan kawasan harus melalui proses
pengukuhan sesuai UU No. 41/1999 Pasal 15 butir 1 yang meliputi proses
penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan. Itu itu,
kawasan hutan seharusnya mempunyai batas jelas sesuai UU No. 41/1999 Pasal
14 butir 2 bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan
kepastian hukum atas kawasan hutan. Selanjutnya pada Pasal 15 butir 2
dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan tersebut dengan memperhatikan rencana
tata ruang wilayah. Menurut staf BTNS, proses pengukuhan kawasan ini melalui
proses yang cukup lama dan rumit karena harus memperoleh kesepakatan dengan
masyarakat yang lahannya di tata batas dan konsultasi publik, sedangkan jangka
waktu anggaran hanya satu tahun. Selain itu, penataan batas membutuhkan dana
yang besar yang dapat mengorbankan kegiatan prioritas lain.
103
kesejahteraannya (Pasal 37). Pengakuan atas hak masyarakat hukum adat untuk
mengelola SDA mereka juga diperkuat oleh serangkaian keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 bahwa pengusahaan
hutan oleh negara harus memperhatikan dan menghormati hak-hak atas tanah
masyarakat, Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus segera dituntaskan untuk menghasilkan kawasan hutan yang
berkepastian hukum dan berkeadilan, dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
bahwa bahwa hutan adat bukan hutan negara. Namun sampai saat ini belum ada
aturan formal yang menyatakan bahwa masyarakat Mentawai sebagai masyarakat
adat yang berhak mengelola hutan hak.
Dari uraian di atas, terdapat fakta bahwa batas wilayah antar kawasan hutan
belum jelas, kecuali di areal kerja di IUPHHK. Dalam UU No.5/1990 dan UU No.
41/1999 beserta aturan turunannya telah diatur batasan apa dan siapa yang dapat
memanfaatkan SDA, tetapi aturan ini di lapangan belum terimplementasi karena
pengakuan hak kepemilikan secara formal atas MHA Mentawai belum dilakukan.
Batas wilayah yang tidak jelas ini berakibat pada tidak jelasnya batas status
kawasan di lapangan dan ketidakpastian ruang pengelolaan bagi stakeholders.
Ostrom (1990) menyatakan bahwa bila pengguna dan batas sumber daya CPRs
tidak terdefinisi dengan jelas, pemilik sumber daya akan menghadapi resiko
pemanfaatan sumber daya oleh orang yang tidak ikut dalam usaha penyediaan dan
pemeliharaan CPRs.
Tabel 6.5 Penataan blok Kesatuan Pengelolaan Hutan dan pemanfaatan hutan
Kesatuan Pengelolaan
Blok pengelolaan a Pemanfataan hutan a
Hutan (KPH)
KPH Lindung Blok Inti Karbon dan wilayah tertentu20
Blok Pemanfaatan Izin pemungutan, HKm, HD, dan wilayah
tertentu
Blok Khusus KHDTK dan wilayah tertentu
KPH Produksi Blok Perlindungan Karbon dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan HHK- IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, HTR, dan
HT wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan HHK- IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, Izin
HA Pemanfaatan HHBK, dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan IPPKH, Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan,
Kawasan, Jasa Izin Usaha Jasa Lingkungan, Izin
Lingkungan, dan HHBK Pemanfaatan HHBK, dan wilayah tertentu
Blok Khusus KHDTK dan wilayah tertentu
Blok Pemberdayaan Izin Pemanfaatan, HKm, HD, dan wilayah
Masyarakat tertentu
a
HHK-HT: Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, HHK-HA: Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Alam, HHBK: Hasil Hutan Bukan Kayu, HKm: Hutan Kemasyarakatan, HD: Hutan Desa, HTR:
Hutan Tanaman Rakyat, KHDTK: Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus, IUPHHK: Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
20
Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak
ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya, sehingga pemerintah perlu menugaskan
KPH untuk memanfaatkannya.
106
Zona inti
Zona rimba
Gambar 6.1 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan SK Dirjen PHKA
No. 14/ Kpts/DJ-V/2001
108
Zonasi :
Zona inti
Zona rimba
Zona pemanfaatan
Zona tradisional
Zona khusus
Gambar 6.2 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan Keputusan Dirjen
PHKA No. 32/Kpts/VI-SET/2015
109
Tabel 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut a
Pedoman kegiatan
Zona/Fungsi
Boleh Tidak boleh
Zona inti
Untuk perlindungan ekosistem, • Perlindungan dan • Wisata alam dan
pengawetan flora dan fauna khas pengamanan budaya
beserta habitatnya yang peka terhadap • Inventarisasi dan • Pembangunan fasilitas
gangguan dan perubahan, sumber monitoring sumber daya pengelolaan
plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan hayati (SDAH) dengan • Pembinaan habitat
satwa liar untuk kepentingan penelitian ekosistemnya • Pemanfaatan jasa
dan pengembangan ilmu pengetahuan, • Penelitian dan lingkungan
pendidikan, dan penunjang budidaya pengembangan, ilmu • Pengembangan
pengetahuan, demplot budidaya
pendidikan, dan atau • Pembinaan populasib
penunjang budidaya • Pengembangan potensi
• Sarana dan prasarana hidrologis
tidak permanen dan
terbatas untuk kegiatan
penelitian dan
pengelolaan
Zona rimba
Untuk pengawetan dan pemanfaatan • Perlindungan dan • Pengembangan
SDA dan lingkungan alam bagi pengamanan demplot budidaya
kepentingan penelitian, pendidikan • Inventarisasi dan • Pengembangan potensi
konservasi, wisata terbatas, habitat monitoring SDAH hidrologis
satwa migrasi, menunjang budidaya dengan ekosistemnya • Pengembangan
dan mendukung zona inti • Pengembangan budidaya
penelitian, pendidikan,
wisata alam terbatas,
pemanfaatan jasa
lingkungan dan kegiatan
penunjang budidaya
• Pembinaan habitat dan
populasi dalam rangka
meningkatkan
keberadaan populasi
hidupan liar
• Pembangunan sarana
dan prasarana sepanjang
untuk kepentingan
penelitian, pendidikan,
dan wisata alam terbatas
Zona pemanfaatan
Untuk pengembangan pariwisata alam • Perlindungan dan • Kegiatan pemanfaatan
dan rekreasi, jasa lingkungan, pengamanan yang berpotensi
pendidikan, penelitian dan • Inventarisasi dan mengganggu keutuhan
pengembangan yang menunjang monitoring SDAH populasi, habitat,
pemanfaatan, serta kegiatan penunjang dengan ekosistemnya ekosistem dan
budidaya • Penelitian dan kawasan
pengembangan
pendidikan, dan
penunjang budidaya
110
Tabel 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut a
(lanjutan)
Pedoman kegiatan
Zona/Fungsi
Boleh Tidak boleh
• Pengembangan potensi • Pengembangan wisata
dan daya tarik wisata yang tidak sesuai
alam dengan panduan
• Pembinaan habitat dan pengelolaan jasa
populasi wisata alam
• Pengusahaan pariwisata
alam dan pemanfataan
kondisi/jasa lingkungan
• Pembangunan sarana dan
prasarana pengelolaan,
penelitian, pendidikan,
wisata alam dan
pemanfataan kondisi/jasa
lingkungan
Zona tradisional
Untuk pemanfaatan potensi tertentu • Perlindungan dan • Pembinaan populasib
dari taman nasional (TN) oleh pengamanan • Inventarisasi potensi
masyarakat setempat secara lestari • Inventarisasi dan SDAH dan
melalui pengaturan pemanfaatan dalam monitoring potensi jenis ekosistemnyab
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. yang dimanfaatkan oleh • Monitoring SDAH
masyarakat dan ekosistemnyab
• Pembinaan habitat dan
populasi
• Penelitian dan
pengembangan
• Pemanfaatan potensi dan
kondisi SDA sesuai
dengan kesepakatan dan
ketentuan yang berlaku
Zona khusus
Untuk kepentingan aktivitas kelompok • Perlindungan dan • Inventarisasi sumber
masyarakat yang tinggal di wilayah pengamanan daya hutan dan
tersebut sebelum ditunjuk atau • Pemanfaatan untuk ekosistemnyab
ditetapkan sebagai TN dan sarana menunjang kehidupan • Monitoring sumber
penunjang kehidupannya, serta masyarakat daya hutan dan
kepentingan yang tidak dapat dihindari • Rehabilitasi ekosistemnyab
b
berupa sarana telekomunikasi, fasilitas • Monitoring populasi dan • Pembinaan habitat
b
transportasi dan listrik. aktivitas masyarakat • Pembinaan populasi
serta daya dukung
wilayah
a
BTNS (2014), bKegiatan yang tidak boleh tetapi seharusnya boleh dilakukan di TNS.
4. Pengawasan
21
Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, yang selanjutnya disebut hak ulayat,
adalah hak milik bersama masyarakat hukum adat yang diakui oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. (Pasal 1 Permenhut No.
32/2015).
116
karena tidak adanya pengaturan ruang di HP, HL, dan HSAW Teluk Saibi
Sarabua, sedangkan di TNS aturan zonasi tidak terdefinisi dengan jelas oleh
BTNS dan belum tersosialisasi di tingkat masyarakat. Ketiga, aturan formal yang
ada masih bersifat sentralistik dan Pemerintah berposisi sebagai pemilik (owners),
sehingga belum memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam memodifikasi
aturan operasional. Keempat, pengawasan SDA dilakukan oleh petugas yang
jumlah dan dengan anggaran yang terbatas, sehingga tidak mampu memantau
SDA dan perilaku pemanfaatnya. Kelima, adanya sanksi yang tegas dalam aturan
formal belum dapat diterapkan karena kebijakan pengelola/pemangku kawasan
yang menghormati pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Keenam, mekanisme penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui pendekatan
hukum atau pengadilan dan melalui di luar pengadilan dan seringkali
membutuhkan biaya yang mahal. Ketujuh, aturan formal membuka peluang
masyarakat Mentawai untuk mengatur SDA mereka untuk mulai diakui
pemerintah. Kedelapan, aturan formal dalam mengelola SDA terhubungan dengan
aturan yang lebih tinggi. Dari uraian di atas terlihat bahwa adanya ketidak
sesuaian (incompatibility) antara aturan informal dan formal dalam pengelolaan
SDA di CBPS
6.4 Simpulan
7 PEMBAHASAN UMUM:
KEBERLANJUTAN DAN PENGUATAN
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
(private) melalui proses sertifikasi, dan budidaya padi sawah pada ekosistem rawa
sagu. Kedua permasalahan akan mempengaruhi keberlanjutan pemanfaatan SDA
bagi Suku Mentawai di CBPS.
Kelembagaan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS yang ada saat ini
tidak bersesuaian dengan kelembagaan informal. Terdapat gap (Tabel 7.1) antara
kelembagaan formal dengan kelembagaan informal yang menimbulkan
permasalahan dalam pengelolaan SDA CBPS. Permasalahan tersebut adalah
pertama ketidakpastian hak kepemilikan atau penguasaan (property right) lahan
(termasuk sumber daya di atasnya) antara Suku Mentawai dengan pemerintah.
119
Berdasarkan adat Suku Mentawai, semua lahan dapat dikelola oleh uma-uma
secara turun temurun. Di lain pihak, pemerintah menunjuk hutan seluas 91.36 %
di Pulau Siberut sebagai hutan negara, yang pengelolaan SDA-nya oleh
pemerintah pusat dan daerah yang mengikuti dua undang-undang utama, yakni
UU No. 41/1999 dan UU No. 5/1990 beserta aturan turunannya.
Tabel 7.1 Gap antara aturan formal dengan informal dalam pengelolaan sumber
daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Ciri-ciri kelembagaan
Aturan Aturan
Hak kepemilikan Batas yuridiksi
representasi
Informal Sumber daya alam • Pemanfaat SDA milik uma adalah • Keputusan
(kelembagaan (SDA) dikelola oleh anggota uma. ditentukan
adat) uma-uma secara • Pemanfaat SDA di luar anggota oleh semua
turun temurun uma harus melalui izin dan anggota uma.
membayar uang imbalan (pulajuk • Tidak
monei) mengenal
• Cara pemanfaatan SDA perwakilan di
tergantung kesepakatan anggota luar uma.
uma.
Formal (UU SDA (hutan dan • Pengguna SDA perorangan, Pemerintah
No. 5/1990 dan kekayaan alam yang koperasi, badan usaha milik sebagai
UU No. terkandung di swasta Indonesia, badan usaha pengelola
41/1999) dalamnya) di milik negara atau badan usaha kawasan/
kawasan hutan milik daerah pengambil
negara dimiliki, • Pemanfatan SDA melalui proses keputusan.
dikuasai, dikelola perizinan
oleh negara. • Pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat setempat melalui
kegiatan pemungutan hasil hutan
bukan kayu, budidaya tradisional,
serta perburuan tradisional
terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi (di zona tradisional
dan zona khusus KPA serta blok
pemanfaatan KSA)
aturan formal, tetapi tidak diakui oleh masyarakat Mentawai dalam mengelola
SDA di CBPS.
Kedua, menurut kelembagaan masyarakat Mentawai, yang dapat
memanfaatkan SDA adalah anggota uma (sipuuma). Pemanfaatan di luar uma
harus meminta izin dan membayar imbalan (pulajuk monei) kepada uma pemilik
SDA (sibakat laggai). Sedangkan menurut aturan formal pemanfaatan SDA di
kawasan hutan negara harus melalui proses perizinan, seperti IUPHHK, IUPPA,
HKm HTR, HPHD, dan kemitraan kehutanan. Izin dapat dilakukan oleh
perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah. Pemanfataan tradisional oleh masyarakat
setempat dimungkinkan di zona tradisional dan zona khusus KPA serta blok
pemanfaatan KSA melalui kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya
tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi
dapat dilakukan. Adanya permasalahan pada batas yuridiksi ini, membuat
pemangku kawasan selalu sulit mengalokasi sumber daya sesuai tujuan organisasi
karena selalu ada penolakan dari masyarakat. Begitupula, masyarakat sulit
mengalokasi sumber daya mereka karena pembatasan-pembatasan oleh aturan
formal.
Dalam pengelolaan SDA masyarakat Mentawai di CBPS, keputusan diambil
melalui kesepakatan internal secara bersama dalam uma terkait dengan sifat
keegaliterian di masyarakatnya. Pengambilan keputusan seperti ini mempunyai
kelemahan yakni sulitnya memperoleh kesepakatan atas suatu hal. Namun, bila
keputusan sudah diambil keputusan bersama tersebut akan dijalankan, walaupun
ada sebagian kecil anggota lain tidak sepakat. Ketidaksepakatan kadangkala
menyebabkan perpecahan uma, dimana beberapa keluarga anggota suatu uma
akan membentuk uma baru. Selain itu, pengambilan keputusan di masyarakat juga
dapat dipengaruhi oleh orang yang lebih kekayaan, pandai berbicara, dan
berpendidikan. Keputusan yang salah dapat menimbulkan biaya yang ditanggung
oleh seluruh sipauma.
Ketiga, masyarakat Mentawai di CBPS tidak mengenal perwakilan di luar
uma. Untuk itu sangat sulit membuat kesepakatan terkait pengelolaan SDA di luar
uma, terutama memadukan kesepakatan antar uma atau dengan organisasi
eksternal (modern). Dari aspek biaya dalam pengambilan keputusan, ketiadaan
perwakilan dalam pembuatan keputusan berdampak pada biaya rendah. Namun,
untuk permasalahan yang lebih kompleks seperti SDA yang lokasinya jauh dari
uma, ketiadaan perwakilan di luar uma membuat ongkos membuat kesepakatan,
memperoleh informasi, dan pemantauan menjadi tinggi sehingga nilai SDA
menjadi berkurang. Pakpahan (1989) menyatakan bahwa ongkos transaksi yang
tinggi akan menurunkan nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan.
Hasil analisis kelembagaan pengelolaan SDA yang dapat bertahan lama
berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom (lihat Bab 6), memperlihatkan
bahwa prinsip-prinsip kelembagaan yang keberlanjutan dalam mengelola SDA
dimiliki oleh kelembagaan masyarakat Mentawai di CBPS. Keberlanjutan tersebut
secara kasat mata dapat juga dilihat dari eksistensi kelembagaan tersebut hingga
saat ini. Artinya kelembagaan masyarakat Mentawai di CBPS mempunyai
kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya secara lestari.
Di lain pihak, aturan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS belum mampu
mengatur pengelolaan SDA secara efektif dan efisien, karena tidak mendapatkan
121
legitimasi dari masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya
tutupan lahan berhutan di CBPS.
dikolaborasikan22 sesuai dengan ruang dan fungsi tata guna lahan tradisional
masyarakat Mentawai (Tabel 7.3). Kolaborasi perlu dilakukan karena adanya
sistem kepemilikan lahan yang kuat di Suku Mentawai dan kapasitas penguasaan
lahan oleh pemerintah yang juga kuat. Nurrochmat et al. (2010) menyatakan bila
modal sosial yang miliki oleh masyarakat kuat dan kapasitas pemerintah kuat
pula, maka pengelolaan kawasan hutan dapat dikolaborasikan.
Tabel 7.3 memperlihatkan bahwa kolaborasi tata guna lahan tradisional
terhadap zonasi TNS dapat dilakukan pada empat zona, yakni zona inti, zona
rimba, zona tradisional, dan zona khusus. Kemampuan tata ruang tradisional
dalam mengakomodir fungsi zona-zona membuktikan bahwa pengelolaan wilayah
oleh masyarakat Mentawai dapat digunakan sebagai suatu sistem pengelolaan
SDA. Oleh karena itu, pengembangan zonasi TNS yang berada dalam wilayah
adat dilakukan dengan cara dikolaborasikan dengan kebutuhan zona-zona yang
diperlukan TNS sebagai unit-unit kelola. Melalui kolaborasi seperti ini, maka
zonasi yang dihasilkan dapat bersesuaian (compatible) dan dapat diterapkan
(applicable) karena terjadi sinkronisasi atau harmonisasi antara kepentingan
konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan kehidupan masyarakat
adat.
Saat ini, TNS memiliki lima zona, yakni zona inti, zona rimba, zona
tradisional, zona khusus, dan zona pemanfaatan. Jika disandingkan antara zonasi
TNS dengan fungsi ruang pada tata guna lahan tradisional masyarakat Mentawai
(Tabel 7.3), zona pemanfaatan belum diperlukan di TNS. Zona pemanfaatan yang
ada di TNS saat ini merupakan daerah tepian pantai dan terdapat banyak
permukiman. Zona pemanfaatan ini dibentuk untuk mengakomodir potensi wisata
alam yang berada di permukiman masyarakat sesuai Permenhut P.56/2006, karena
di Permenhut tersebut aktivitas wisata di zona tradisional dan khusus tidak dapat
dilakukan. Dalam aturan zonasi taman nasional terbaru yakni Permenhut
P.76/2015, wisata alam secara terbatas dapat dilakukan di semua zona kecuali
zona inti, dan skema pemanfaatan dalam zona pemanfaatan tersebut dilakukan
dengan perizinan. Untuk itu, zona pemanfaatan yang pengelolaan dengan skema
perizinan belum diperlukan di TNS. Selanjutnya, aturan di tiap zona sebagai
aturan tingkat operasional dalam memanfaatkan sumber daya di TNS belum
bersesuaian dengan kondisi setempat (lihat Tabel 6.7) serta belum terdesiminasi
ke pemerintah daerah ke masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi
zonasi TNS yang mengakomodir ruang-ruang pada tata guna lahan tradisional
masyarakat Mentawai yang melibatkan masyarakat setempat dalam proses
penyusunannya serta mendesiminasikan ke pemerintah daerah ke masyarakat.
Penguatan kelembagaan harus juga dilakukan di HSAW Teluk Saibi
Sarabua. Penguatan kelembagaan di kawasan hutan ini dalam bentuk penetapan
kawasan sebagai KPA atau KSA. Kepastian jenis kawasan akan memperjelas jenis
pengelolaan yang akan dilakukan dalam bentuk pengaturan blok pengelolaan yang
berfungsi sebagai aturan operasional. Pengaturan blok pengelolaan pada HK, HP,
dan HL, hendaknya dikolaborasikan dengan ruang kehidupan dan fungsi lahan
masyarakat (tradisional) Suku Mentawai seperti dicontohkan pada Tabel 7.3.
22
Kolaborasi merupakan tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk
menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi bukan
sekedar untuk mengakomodasi kepentingan, lebih daripada itu melalui proses klarifikasi
perbedaan yang ada (Marshall 1995 dalam Tadjudin 2000).
125
Tabel 7.3 Kolaborasi ruang kehidupan dan fungsi lahan masyarakat (tradisional)
Suku Mentawai dalam zonasi Taman Nasional Siberut
Ruang kehidupan dan fungsi lahan masyarakat Zonasi TNS utk mengkomodasi ruang
Suku Mentawai kehidupan Suku Mentawai
Perubahan terhadap zonasi TNS
Ruang Fungsi Zona
saat ini
Lahan Budidaya tanaman dan hewan Tradisional Zona tradisional TNS saat ini
budidaya dan berguna untuk pemenuhan belum mengakomodir semua
pemanfaatan kebutuhan sehari-hari dengan ruang budidaya dan pemanfaatan
sumber daya kondisi lanskap ladang SDA. Ruang pemanfaatan
alam (SDA) muda/tinungglu, ladang dimaksud, saat ini masih banyak
tua/pumonean, ladang keladi/ berada dalam zona pemanfaatan
pugettekat, ladang TNS. Oleh karena itu, disarankan
sagu/pusaguat, sungai dan untuk mengubah ruang hidup
rawa/bat oinan, pantai dan masyarakat yang saat ini berada di
pulau-pulau kecil/nusa, zona pemanfaatan menjadi zona
sawah/puberakat tradisional.
Lahan Tempat tinggal, interaksi sosial, Khusus Zona khusus TNS saat ini belum
permukiman dan sistem pewarisan tradisi mengakomodir semua
serta pelestarian tanaman dan permukiman yang ada Siberut.
hewan berguna dengan kondisi Dusun Masi, Siribakbak, Kalea,
lanskap kampung tradisional Pusaregat, Pupailiat, Mapinang,
(laggai), dusun, atau desa Lumago (Desa Sagulubbek);
(barasi) Dusun Muara Simatalu,
Simalibek, Pokuku, Bojo,
Sesasea, Limu, Simokko,
Simukmuk, Limau (Desa
Simatalu); Simalegi Muara,
Simalegi Tengah (Desa Simalegi).
Dusun-dusun dimaksud masih
berada dalam zona pemanfaatan.
Oleh karena itu, disarankan untuk
mengubah ruang permukiman
masyarakat yang saat ini berada di
zona pemanfaatan menjadi zona
tradisional.
Hutan dan Bernilai kultural/spritual dengan Inti Zona Inti telah mengakomodir
bukit berhutan kondisi lanskap hutan yang hutan yang berlereng curam dan
berlereng curam dan tinggi, tinggi dan hulu-hulu sungai, tetapi
dikeramatkan, hulu-hulu sungai perlu juga mengakomodir hutan-
hutan yang dikeramatkan oleh
masyarakat
Hutan dan Bernilai kultural/spritual dengan Rimba Zona Rimba TNS masih terdapat
bukit berhutan kondisi lanskap hutan yang permukiman masyarakat
bertopografi relatif datar (Sakuddei dan Attabai).
Disarankan permukiman ini untuk
dimasukkan ke dalam zona
permukiman dan dikelilingi oleh
zona tradisional.
126
Dewan Pengarah
Ketua Forum
Majelis Ilmiah
Wakil Ketua Forum
Lembaga
Pengalangan Dana Sekretariat Forum
Gambar 7.1 Forum Koordinasi dan Komunikasi Cagar Biosfer Pulau Siberut
Forum terdiri atas dewan pengarah, ketua dan wakil ketua, majelis ilmiah,
sekretariat, bidang pengembangan, dan lembaga penggalangan dana. Dewan
pengarah bertugas memberikan arahan umum tentang pengelolaan CBPS yang
disinergikan dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Mentawai. Ketua bertugas membangun kesepahaman visi, misi dan tujuan
pengelolaan CBPS, mengintegrasikan kegiatan stakeholders dalam wilayah
CBPS, membuat rencana dan prioritas kegiatan pengelolaan CBPS,
menyelesaikan solusi terhadap perbedaan kepentingan dan konflik dalam
pengelolaan SDA di CBPS. Wakil ketua bertugas membantu ketua dalam
merumuskan kebijakan umum. Ketua dan wakil ketua didampingi oleh Majelis
128
8.1 Simpulan
8.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bromley DW. 1991. Environment and Economy: Property Rights and Public
Policy. Oxford (GB): Basil Blackwell.
Bryson JM. 2004. What to do when stakeholders matter: stakeholder identification
and analysis techniques. Public Management Review. 6(1):21-53.
[BTNS] Balai Taman Nasional Siberut. 2010. Rencana Strategis Balai Taman
Nasional Siberut Tahun 2010-2014. Padang (ID): BTNS.
[BTNS] Balai Taman Nasional Siberut. 2014. Penataan Zonasi Taman Nasional
Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014. Padang (ID): BTNS.
Chambers R. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?. Kirdar U,
Silk L, editor. New York (US): New York University Pr.
Coronese S. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta. PT Grafidian Jaya.
Daliyono, Imron M, Wahyono A. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di
Lokasi Coremap II: Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma Kabupaten
Kepulauan Mentawai. Jakarta (ID): Coremap LIPI.
Darmanto. 2006. Studi ekologi perladangan hutan tradisional masyarakat
Mentawai (Pumonean) di Pulau Siberut, Sumatera Barat. Di dalam: Soedjito
H, editor. Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding
Piagam MAB 2005 untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di
Indonesia. Jakarta (ID): Komite Nasional MAB Indonesia. LIPI.
Darmanto, Setyowati AB. 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,
Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Jakarta (ID): Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG).
Darusman D, Widada. 2004. Konservasi dalam Perspektif Ekonomi
Pembangunan. Jakarta (ID): JICA-Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.
Davey AG. 1998. National System Planning for Protected Areas. IUCN, Gland,
Switzerland, Cambridge (GB): IUCN.
David E, Wollenberg E, Dachang L. 2003. Introduction in Local Forest
management, The Impacts of Devolution Policies. London (GB): Earthscan
London.
[DFID] Departement for International Development. 1999. Sustainable
Livelihoods Guidance Sheets. London (GB): DFID.
[Dishut] Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2013. Statistik
Kehutanan 2012. Tua Peijat (ID): Dishut Kabupaten Kepulauan Mentawai.
[Ditjen KSDAE] Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem. 2013. Rencana Pengelolaan Terpadu dan rencana Aksi Cagar
Biosfer Pulau Siberut Tahun 2013-2022. Jakarta (ID): Direktorat KKBHL
dan Komite Nasional MAB Indonesia.
Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford
(GB): Oxford University Pr.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Febrianto A, Fitriani E. 2012. Orang Mentawai: Peladang tradisional dan ekonomi
pasar. Humanus. 11(2):119-133.
Fisher RJ. 1999. Devolution and decentralization of forest Management in Asia
and the Pacifik. Unasylva. 50(4):3-5.
133
Larson AM. 2013. Hak Tenurial dan Akses ke Hutan: Manual pelatihan untuk
penelitian. Bogor (ID): CIFOR.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Pedoman Pengelolaan Cagar
Biosfer di Indonesia. Soedjito H, editor. Jakarta (ID): Panitia Nasional MAB
Indonesia, LIPI.
Lynch O, Talbott K. 1995. Balancing acts: community-bases forest management
and antional law in Asia and the Pacific. Washington DC (US): World
Resources Institute.
Maguire B, Potss J, Fletcher S. 2012. The role of stakeholders in the marine
planning process-stakeholder analysis within the Solent, United Kingdom.
Marine Policy. 36:246 257.doi:10.1016/j.marpol.2011.05.012.
McCracken JR, Narayan D. 1998. Participation and Social Assessment: Tools and
Techniques. Washington DC (US): The International Bank for
Reconstruction and Development.
McKean MA. 2000. Common Property: What is it? What is it good for and what
makes it work?. Di dalam: Gibson CC, McKean MA, Ostrom E, editor.
People and Forests. London (GB): MIT Press.
Mehring M, Stoll-Kleemann S. 2008. Evaluation of major threats to forest
biosphere reserves: A Global view. GAIA 17/S1:125–133.
Meyers KJM, Pio D, Rachmania S, Hernandez A. 2006. 25 Years of Siberut
Biosphere Reserve: Saving Siberut and Its Unique Culture and Natural
Heritage. Jakarta (ID): UNESCO.
Meyers KJM. 2003. The Changing cultural and ecological rules of Siberut people
in the management and conservation of their natural resources [tesis].
Belgia (BE). Departement Antropology, Anterpen University.
Muliyawan MB, Basuni S, Kosmaryandi N. 2013. Kearifan Tradisional
Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Oleh Suku Kanume di
Taman Nasional Wasur. Media Konservasi. 18(3):142-151.
Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development.
World Bank Environmental Paper Number 2.
Munazar R. 2004. Cagar Biosfer Pulau Siberut. Panduan Cagar Biosfer di
Indonesia. Soedjito H, penyunting. Jakarta (ID): LIPI.
Naguran R. 2002. Property Rights and Protected Areas: The case of Ndumo
Game Reserve. South Africa (ZA):University of Durban-Westville.
Nopiansyah F. 2008. Analisis perubahan tutupan lahan di Pulau Siberut. Bulletin
Bilou. Padang (ID): BTNS.
Nopiansyah F, Basuni S, Purwanto Y, Kosmaryandi N. 2016. Forest resource
utilization by the Siberut community and its implications for the Siberut
Island Biosphere Reserve policy. Jurnal Manajemen Hutan Tropika.
22(2):94-104.
North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge (US): Cambridge University Press.
Nurrochmat DR, Hasan MF, Suharjito D, Budiaman A, Hadianto A, Ekayani M,
Sudarmalik, Purwawangsa H, Mustaghfirin, Ryandi ED. 2010. Ekonomi
Politik Kehutanan: Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan.
Nurrochmat DR, Hasan MF, editor. Jakarta (ID): INDEF.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
135
Lampiran 1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut a
Lampiran 1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut a
(lanjutan)
Lampiran 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan
Nama Lokasi
Kelompok Keterangan
Ilmiah Indonesia Lokal pemanenana
Penghasil Metroxylon sagu Sagu Sagu LS, Pm, Pl MP
karbohidrat Rottb.
Oryza sativa L. Padi Berak Ps Pengganti
MP
Colocasia esculenta Keladi Gette‟ LK, Pm, Pl Pengganti
(L.) Schott MP
Musa spp. Pisang Mago‟ HB, Pm, Pl Pengganti
MP
Ipomea spp. Ubi jalar Gobik Pm, Pl Pengganti
siputeteket MP, Ek
Manihot spp. Ubi kayu Gobik Pm, Pl Pengganti
sipukaju/ MP, Ek
Laikket
Penghasil Durio zibethinus L. Durian Doriat Pl
buah Durio carinatus Durian Toktuk Pl
Mast.
Durio malaccensis Durian Siposinoso Pl
Planch. ex Mast
Lansium Duku Tiat/ Pl, Pm, HB
domesticum Siamong
(Osbeck) K.C.
Sahni & Bennet
Aglaia aquaea Langsat Tiat Sibulu/ Pl, Pm, HB
(Jacq.) Kosterm. Siamong
Aglaia sp. Langsat Tiat Turu Pl, Pm, HB
Goukgouk
Aglaia sp. Langsat Tiat Setcet Pl, Pm, HB
Radermachera Langsat Tiat Elak Pl, Pm, HB
gigantea (Blume) Mata
Miq.
Nephelium sp. Rambutan Babaet Pl, Pm, HB
hutan
Nephelium Rambutan Bairabbit Pl, Pm Ek
lappaceum L. sareu
Psidium guajava L. Jambu biji Sabbui Pl, Pm, HB
Eugenia sp. Jambu air Karakau Pl, Pm, HB
Syzygium Jambu bol Ailuluppa' Pl, Pm, HB
malaccense (L.)
Merr. & L.M.Perry
Eugenia sp. Jambu air Karakau Pl, Pm, HB Ek
sasareu
Carica spp. Pepaya Sakkoile Pl, Pm
Flacourtia rukam - Pattara Pl, HB
Zoll. & Moritzi
Mangifera sp.1 Mangga Abangan Pl, Pm, HB
Mangifera sp.2 Mangga Bailoi Pl, Pm, HB
Syzygium sp. Mangga Sibeu/Sileu Pl, Pm, HB
Horsfieldia sp. Mangga Latco Pl, Pm, HB
Baccaurea sp. Kapundung Sileu Pl, Pm, HB
141
Lampiran 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan (lanjutan)
Nama Lokasi
Kelompok Keterangan
Ilmiah Indonesia Lokal pemanenana
Artocarpus elasticus Terap Baiko Pl, Pm, HB
Reinw. ex Blume
Artocarpus integer Nangka Peigu Pl, Pm Ek
(Thunb.) Merr. sareu
Artocarpus Cempedak Peigu Pl, Pm, HB
heterophyllus Lam.
Annona muricata L. Sirsak Doriat Pl, Pm Ek
sareu
Ananas comosus (L.) Nanas Asit Pl, Pm Ek
Merr.
Citrus sp.1 Jeruk Muttei Pl, Pm
Citrus sp.2 Jeruk Kairinggi Pl, Pm
Citrus sp.3 Jeruk nipis Rimau Pl, Pm Ek
Penghasil Dendrocalamus asper Bambu Emut Pl, Pm
sayur mayur (Schult.) Backer (rebung) metuk
Gnetum gnemon L. Melinjo Tojet Pl, Pm, HB
Diplazium asperum Pakis Phaku Pl, Pm
Blume.
Diplazium esculentum Pakis Phaku Pl, Pm
(Retz.) Sw.
Parkia speciosa Pete Petai Pl, Pm Ek
Hassk.
Pithecellobium jiringa Jengkol Jariang Pl, Pm Ek
(Jack) Merr.
Oncosperma Nibung Ariribuk Pl, Pm, HB
tigillarium (Jack) (umbut)
Ridl.
Saccharum Tebu Kole Pl, Pm
officinarum L.
Zea mays L. Jagung Jagung Pm Ek
Capsicum sp.1 Cabe merah Daro Pl, Pm Ek
simabo'o
Capsicum sp.2 Cabe rawit Daro Pl, Pm Ek
siboitok
Solanum Tomat Tomat Pm EK
lycopersicum L.
Solanum melongena Terong Taruang Pm Ek
L.
Solanum sp. Rimbang Rimbang Pl, Pm
Cucumis sp. Mentimun Pakku Pm Ek
Arachis hypogaea L. Kacang Pm Ek
tanah
142
Lampiran 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan (lanjutan)
Nama Lokasi
Kelompok Keterangan
Ilmiah Indonesia Lokal pemanenana
Penghasil Sus scrofa Babi Sainak Pl, HB
protein Bos taurus Sapi Jawi Pl Ek
hewani Gallus gallus Ayam Gouk-gouk Pl, Pm Ek
domesticus
Capra aegagrus Kambing Pl EK
Macaca siberu Beruk Bokkoi HB
mentawai
Presbytis Lutung Joja HB
potenziani mentawai
Simias concolor Monyet ekor Simakobu HB
babi
Hylobates klossii Siamang Bilou HB
kerdil
Rusa unicolor Rusa Sileleuk-leuk/ HB
Sabeutubu
Manis javanica Treggiling HB
- Udang Silolo‟oinan SR
Rhynchoporus Lava Tamra LS, Pm, Pl
ferrugineus kumbang
sagu
- Lava Tutube HB
kumbang
keruing
- Tupai Sosak Pl, HB 3 jenis
Varanus salvator Biawak Batek Pl, HB
- Katak Teilek SR, Pl, Ps 3 jenis
- Burung Pl, HB 10 jenis
Kura-kura Lokipat HB, Pl, SR
- Ikan Iba SR, PN 29 jenis
Angguila Belut/Moa Lojo SR
bicolour
a
LS: ladang sagu, LK: ladang keladi, Pl: perladangan (tinungglu dan pumonean), SR: sungai dan
rawa, PN: pantai dan pulau-pulau kecil, HB: hutan dan bukit, Pm: permukiman, Ps: persawahan,
MP: makanan pokok, Ek: eksotik.
143
Lampiran 7 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan sekitar
Desa Saibi Samukop
KR FR DR NP
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana
(%) (%) (%) (%)
Koka Dipterocarpus sp. 14.706 10.345 30.930 55.981 Pa, Kb
Boklo Shorea sp. 11.765 13.793 23.472 49.030 Pa
Tapeiki Artocarpus lanceifolius 8.824 10.345 16.897 36.065 Pa, Sd
Kapot Leituak Vitex sp. 8.824 10.345 2.718 21.886 Kb
Buluk Surak Elaeocarpus obtusus 8.824 6.897 3.114 18.834 Pa
Katu Kecat Eugenia papilosa 5.882 6.897 1.869 14.648 Pa
Lakut Masabi Carallia sp. 5.882 3.448 3.764 13.095 Pa, Kb
Ribbu Eugenia leneata 5.882 3.448 1.993 11.323 Pa, Kb
Alibakbak Endospermum malacense 2.941 3.448 3.834 10.223 Pa
Parabatti Shorea sp. 2.941 3.448 3.256 9.645 Pa
Palak Bangi - 2.941 3.448 1.416 7.806 Pa, Kb
Katuka Shorea pauciflora 2.941 3.448 1.327 7.716 Pa
Tegeiluk - 2.941 3.448 1.240 7.629 Ok
Anitu
Manegat Shorea sp. 2.941 3.448 1.156 7.545 Pa
Peileggut Dillenia indica 2.941 3.448 0.996 7.386 Pa
Beliu Drypetes polyneura 2.941 3.448 0.780 7.169 Pa
Karai Shorea elongatus 2.941 3.448 0.650 7.039 Pa
Surugi Litsea sp. 2.941 3.448 0.590 6.979 Pa
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
148
Lampiran 8 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan sekitar
Desa Matotonan
KR FR DR NP
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana
(%) (%) (%) (%)
Sikokkok - 4.167 4.545 24.493 33.206 Kb
Papat Garcinia sp. 12.500 9.091 8.400 29.991 Pa
Darubei - 8.333 9.091 3.223 20.648 Pa
Sitairak Quercus argentea 4.167 4.545 9.825 18.537 Pa
Kurau - 8.333 4.545 4.321 17.200 Pa
Toilat Drypetes polyneura 4.167 4.545 7.560 16.272 Pa
Siputuddukat - 4.167 4.545 7.560 16.272 Pa
Sususrut Bobro Goniothalamus sp. 4.167 4.545 4.838 13.550 Pa
Sipulaiket Rhodamnia cinerea 4.167 4.545 4.838 13.550 -
Temei - 4.167 4.545 4.838 13.550 Kb
Toktuk Geta Durio graveolens 4.167 4.545 3.704 12.416 Pa, OK, Kb
Soi-soi - 4.167 4.545 2.721 11.434 -
Buluk Surak Eugenia longiflora 4.167 4.545 2.371 11.083 -
Kekeinek Lithocarpus histrix 4.167 4.545 2.044 10.756 -
Kara-kara Dipterocarpus sp. 4.167 4.545 1.890 10.602 Kb
Gegebak - 4.167 4.545 1.890 10.602 Pa
Ribbu Eugenia leneata 4.167 4.545 1.600 10.312 Pa, Kb
Suksuk teilek - 4.167 4.545 1.464 10.176 -
Atipet - 4.167 4.545 1.210 9.922 Pa
Mataret Mallotus leucodermis 4.167 4.545 1.210 9.922 -
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
149
Lampiran 9 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan sekitar
Desa Sagulubbek
KR FR DR NP
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana
(%) (%) (%) (%)
Ribbu Eugenia cymosa 18.182 12.500 11.124 41.806 Pa
Ngalo patadekat Knema laurina 6.818 7.500 8.838 23.156 Kb
Uru kulit Chrysophyllum roxburghii 6.818 7.500 6.727 21.045 Kb
Beliu Aporosa sp. 6.818 7.500 6.678 21.034 Pa
Logau saba Cannarium rufum 6.818 7.500 6.438 20.756 Kb
Macemi Hopea sp. 4.545 5.000 7.251 16.797 Pa
Popok pok Baccaurea brevipes 4.545 5.000 6.617 16.162 -
Buk-buk Swintonia sp. 4.545 5.000 4.314 13.859 -
Sipeuk peuk Eugenia claviflora 4.545 5.000 4.193 13.738 Kb
Kalumanang Knema sp. 4.545 2.500 4.457 11.502 Kb
Toktuk geta Durio graveolens 2.273 2.500 6.039 10.811 Pa, OK, Kb
Katuka Parashorea plicata 2.273 2.500 5.655 10.428 Pa
Reggeu Horsfieldia sp. 2.273 2.500 3.041 7.814 -
Tebengen - 2.273 2.500 2.771 7.544 -
Sibelacit - 2.273 2.500 2.268 7.041 -
Tupe lekak - 2.273 2.500 2.151 6.923 -
Tapeiki Artocarpus sp. 2.273 2.500 2.036 6.809 Pa, Sd
Bahlo Drypetes sp. 2.273 2.500 2.036 6.809 Pa
Taima titi Elateriospermum tapos 2.273 2.500 1.609 6.381 -
Roat Horsfieldia irya 2.273 2.500 1.609 6.381 -
Deret mainong Syzygium sp. 2.273 2.500 1.232 6.004 Kb
Onga Knema hookeriana 2.273 2.500 1.145 5.918 Kb
Lacco Polyalthia sp. 2.273 2.500 0.905 5.678 -
Poilak bangi Pometia pinnata 2.273 2.500 0.831 5.604 Kb
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
150
Kepentingan Pengaruh
a Instrumen dan sumber
Stakeholders Fungsi ekosistem
kekuatana
a b c d e Jumlah f g h i j Jumlah
Masy. Siberut 5 5 5 4 4 23 5 1 2 2 1 11
BTNS 5 5 3 5 5 23 3 3 3 3 4 16
BKSDA 5 5 3 5 5 23 2 2 1 1 3 9
Dishut Kab 3 3 5 3 3 17 3 3 3 3 3 15
Bappeda Kab 2 2 3 2 3 12 2 3 3 2 3 13
Disparbud Kab 2 2 2 2 4 12 2 2 2 2 2 10
Distan Kab 2 2 3 2 3 12 2 2,5 2 2 2 10,5
YCM 2 2 2 2 2 10 3 2 5 3 5 18
WALHI 3 3 3 3 3 15 2 2 3 2 3 12
Yay. Kirekat 2 2 2 3 2 11 2 2 2 2 2 10
IPMEN 2 2 2 3 2 11 2 2 2 2 3 11
BPN 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 3 7
FFI Indonesia 3 3 2 3 3 14 2 3 2,5 2 2,5 12
Komite Nasional
MAB-Indonesia 3 3 3 3 3 15 2 2,5 2,5 2 2,5 11,5
UNAND 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 3 11
IPB 2 2 2 2 2 10 1 1 1 1 1 5
UMSB 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 2,5 10,5
Balitbang 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 2 10
PT. SSS 2 2 5 2 2 13 2 4 2 2 2 12
a
Kepentingan dan pengaruh stakeholder a: pengaturan, b: habitat, c: produksi, d: informasi, e:
carrier, f: condign power, g: compensatory power, h: conditioning power, i: personality power dan
property power, j: organisation power.
151
Luas
Hutan Adat Lokasi Kabupaten Provinsi
(ha)
Ammatoa Desa Tanah Towa, Desa Bulukumba Sulawesi 313.99
Kajang Pattiroang, Desa Malleleng Selatan
dan Desa Bonto Baji
Marga Serampas Desa Rantau Kermas Merangin Jambi 130
Wana Posangke Desa Taronggo, Morowali Sulawesi 6.212
Utara Tengah
Kasepuhan Desa Jagaraksa Lebak Banten 486
Karang
Bukit Desa Air Terjun Kerinci Jambi 39.04
Sembahyang dan
Padun
Gelanggang
Bukit Tinggai Desa Sungai Deras Kerinci Jambi 41.27
Tigo Luhah Desa Pungut Mudik Kerinci Jambi 276
Permenti Yang
Berenam
Tigo Luhah Desa Kemantan Kabalai, Desa Kerinci Jambi 452
Kemantan Kemantan Tinggi, Desa
Kemantan Darat, Desa
Kemantan Mudik, Desa
Kemantan Raya, Desa
Kemantan Agung,
Tombak Desa Padumaan Sipituhuta Humbang Sumatera 5,172
Haminjon Hasundutan Utara
(Kemenyan)
153
RIWAYAT HIDUP