Anda di halaman 1dari 177

i

PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
SUMBER PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI
DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

FIFIN NOPIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penguatan


Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku
Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Fifin Nopiansyah
NIM E361110081
v

RINGKASAN

FIFIN NOPIANSYAH. Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber


Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut.
Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, Y. PURWANTO dan NANDI
KOSMARYANDI .

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan hidup


manusia sudah terjadi sejak awal kehidupan manusia. SDA yang bersifat open
access dapat dengan mudah terdegradasi, begitupula dengan kepemilikan komunal
yang cenderung mengarah pada terjadinya “the tragedy of the commons” seperti
yang dinyatakan Hardin pada tahun 1968. Sementara itu, dalam perkembangan
ilmu kelembagaan selanjutnya ditemukan bahwa kepemilikan komunal dapat
menghindari terjadinya “the tragedy of the commons”. Situasi ini ditunjukkan
oleh penelitian Ostrom (1990) terhadap pranata sosial masyarakat-masyarakat
yang dapat bertahan lama, bahwa di masyarakat-masyarakat tersebut terdapat
berbagai kesepakatan bersama dalam bentuk hukum yang dihormati oleh seluruh
anggota masyarakatnya. Salah satu masyarakat tradisional di Indonesia yang
hidup secara komunal adalah Suku Mentawai yang bermukim di Cagar Biosfer
Pulau Siberut (CBPS). Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi
penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sumber penghidupan Suku
Mentawai di CBPS.
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga Mei 2015 di CBPS
pada tiga desa, yakni Desa Matotonan, Desa Saibi Samukop, dan Desa
Sagulubbek, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan metode
studi dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan (observasi) terlibat. Data
yang diperoleh dianalisis dengan mengunakan analisis deskriptif, analisis
pengaruh dan kepentingan stakeholders, analisis keberlanjutan kelembagaan lokal,
dan penelaahan isi peraturan perundang-undangan.
Sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS berasal dari lahan dalam
bentuk perladangan dan hutan. Secara tradisional Suku Mentawai memiliki sistem
penguasaan dan tata guna atas lahan dan hutan (land tenure system). Saat ini,
terdapat tiga rezim kepemilikan lahan di CBPS, yaitu kepemilikan bersama
(common property) berbasiskan pada uma, kepemilikan pribadi (private property),
kepemilikan oleh negara (state property). Penguasaan atas lahan oleh negara ini
hampir di seluruh CBPS (91.36%) dalam bentuk hutan konservasi, hutan
produksi, dan hutan lindung. Dalam pengelolaan SDA di CBPS teridentifikasi 19
stakeholders, dua diantaranya adalah key players, yaitu Balai Taman Nasional
Siberut dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi. Masing-masing stakeholders
mempunyai kepentingan dan pengaruh yang berbeda dan selalu berubah
sepanjang waktu. Dalam interaksinya, di antara stakeholders terdapat potensi
bekerjasama, saling mengisi, dan berkonflik. Secara keseluruhan di antara
stakeholders tersebut terdapat potensi untuk saling bekerjasama dan mengisi.
Potensi ini menjadi peluang untuk melakukan pengelolaan kolaboratif di CBPS.
Hasil analisis keberlanjutan kelembagaan, menunjukkan bahwa kelembagaan adat
Suku Mentawai di CBPS dalam mengelola SDA memenuhi enam kriteria
kelembagaan yang kuat, dalam artian kelembagaan tersebut sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA secara lestari. Namun,
kelembagaan adat Suku Mentawai dalam mengelola SDA-nya belum
mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sedangkan kelembagaan formal belum
mampu mengelola SDA secara efektif dan efisien di CBPS, bahkan cenderung
mengabaikan kelembagaan lokal. Selain aturan formal yang belum berkesesuaian
dengan aturan informal, terdapat pula perubahan perilaku masyarakat Mentawai
dalam mengelola SDA yang tidak berkesesuaian dengan aturan informal.
Perubahan ini disebabkan oleh pengaruh ekonomi pasar, teknologi, dan penerapan
kebijakan pemerintah daerah.
Dalam kelembagaan pengelolaan SDA di CBPS terdapat beberapa
permasalahan, yaitu: (1) ketidak pastian hak kepemilikan/penguasaan lahan dan
sumber daya di atasnya antara Suku Mentawai dengan pemerintah; (2) adanya
pengalihan hak kepemilikan lahan uma yang bersifat komunal ke kepemilikan
perseorangan melalui proses sertifikasi; dan (3) pengembangan budidaya padi
sawah di ekosistem rawa sagu. Permasalahan-permasalahan ini berdampak pada
keberlanjutan pemanfaatan SDA Suku Mentawai di CBPS.
Berdasarkan temuan penelitian, strategi penguatan kelembagaan lokal
pengelolaan SDA sebagai sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS, sebagai
berikut: pertama mengakui secara formal hak kepemilikan komunal masyarakat
Mentawai di CBPS untuk mengelola SDA-nya. Pengakuan dilakukan di HP dan
HL melalui penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan membentuk
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi serta Hutan Lindung (KPHP dan KPHL).
Sedangkan, di HK dilakukan dengan merevisi zonasi TNS, dan menetapkan
HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari KPA atau KSA. Kedua,
melibatkan masyarakat Mentawai dalam semua proses pengambilan keputusan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga evaluasi dalam aktivitas
pengelolaan SDA di CBPS, termasuk mengkolaborasikan pengaturan blok/zona
pengelolaan sebagai aturan operasional pada HK, HP, dan HL dengan ruang
kehidupan dan fungsi lahan (tradisional) masyarakat Suku Mentawai, serta
membentuk struktur pengorganisasian CBPS yang disepakati oleh stakeholders di
CBPS.

Kata kunci: kelembagaan lokal, Suku Mentawai, Cagar Biosfer Pulau Siberut
vii

SUMMARY

FIFIN NOPIANSYAH. Strengthening Local Institutional of Natural Resources


Management for Livelihood of Mentawai Tribe in Siberut Island Biosphere
Reserve. Supervised by SAMBAS BASUNI, Y. PURWANTO and NANDI
KOSMARYANDI.

Utilization of natural resources for the livelihood has been done since the
beginning of human life. Natural resources are open access which can be easily
degraded, it is similarly with communal ownership that is likely to the occurrence
of "the tragedy of the commons" as stated by Hardin in 1968. Meanwhile, further
development of institutional knowledge, it is found that communal ownership can
avoid the occurrence of "the tragedy of the commons". This situation is shown by
Ostrom (1990) that there are various agreements in the form of law which are
respected by all members of society and it could be exist in the society for a long
time. One of the traditional communities in Indonesia who live communally is
Mentawai tribe who settled in Siberut Island Biosphere Reserve (CBPS). The
objective of the study was to formulate strategies to local institutional
strengthening of natural resources management for livelihood of the Mentawai
tribe in CBPS.
We conducted the study in three villages, namely Matotonan, Saibi
Samukop, and Sagulubbek, Mentawai Islands Regenncy, West Sumatra Province,
Indonesia. We conducted the study from August 2014 to May 2015.We used a
qualitative approach for the research. Data were collected by literature study,
interview and observation. Data were analyzed by using descriptive analysis,
stakeholders analysis for the influence and interests, local institutional
sustainability analysis, and review the content of the legislations.
Forest and field are the main sources of livelihood of the Mentawai tribe in
CBPS. Traditionally, Mentawai tribe has their own land tenure system. Currently,
there are three regimes ownership land in CBPS; common property based on the
uma property, private property and state property. Most of the land in CBPS
(91.36 %) controlled by the state; in the form of conservation forest, production
forest and protected forest.
We identified 19 stakeholders involve in the management of natural
resources in CBPS, there are two key players; i.e Siberut National Park Authority
and District/Province Forest Service. Each of these stakeholders have different
interests and influences and always changing all the time. In an interaction among
stakeholders, there is potential for cooperation, complementary and conflict.
Overall, among stakeholders, there is potential for mutual cooperation and
complementary. This potential is an opportunity to conduct collaborative
management in CBPS. Analysis of institutional sustainability showed that the
traditional institution of Mentawai Tribe meets the six criterias of a strong
institutional in managing natural resources in CBPS. It means that the traditional
institution has the capacity to manage natural resources in a sustainable way.
However, traditional institutions of Mentawai Tribe until now has not received the
recognition yet from the government. While the formal institutions were not able
to manage natural resources effectively and efficiently in CBPS, and even tend to
ignore local institutions. In addition to formal rules are not in line with the
informal rules, there are also changes of the behavior of the Mentawai people in
managing the natural resources which do not comply with the informal rules.
These changes caused by the influence of the market economy, technology, and
implementation of local government policy.
In the institutional management of natural resources in CBPS there are
several issues, namely: (1) uncertainty of land tenure and natural resources
between Mentawai Tribe with government; (2) there is a transfer of land rights
from communal ownership (Uma land) to private ownership through the
certification process; (3) the development of rice cultivation in sago swamp
ecosystem. These issues have an impact on the sustainable use of natural
resources in the Mentawai Tribe in CBPS.
Based on our findings, the strategy of strengthening institutional local to
management of natural resources as a source of livelihood in the Mentawai Tribe
in CBPS, as follows: First; formally recognize the rights of communal ownership
of the Mentawai Tribe in CBPS to manage their natural resources. The recognition
should be done in production and protected forest through the determination of
customary law communities (Masyarakat Hukum Adat), and forming the
Management Units (KPHP and KPHL). Meanwhile, the recognition should be
done in conservation forest through revising the zoning of Siberut National Park,
and set the HSAW Teluk Saibi Sarabua as on of nature conservation area (both as
a the KPA or as a the KSA in Indonensia term). The arrangement of blocks or
zones as the operational rules in production forest, protected forest and
conservation forest should be collaborated with life and traditional land use of
Mentawai Tribe. Secondly, involving the Mentawai people in all decision-making
processes, such as planning, implementation, monitoring and evaluation of
activities in the management of natural resources in CBPS, and forming CBPS
organizing structure that agreed by the stakeholders in CBPS.

Key words: local institusional, Mentawai Tribe, Siberut Island Biosphere Reserve
ix

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xi

PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
SUMBER PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI
DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

FIFIN NOPIANSYAH

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc


Dr Drs Satyawan Sunito

Penguji pada Sidang Promosi : Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc


Dr Drs Satyawan Sunito
xiii

Judul Disertasi : Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya


Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Nama : Fifin Nopiansyah
NIM : E361110081

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS.


Ketua

Prof Dr Ir Y. Purwanto, DEA Dr Ir Nandi Kosmaryandi, MSc Forest Trop


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,


Konservasi Biodiversitas Tropika,

Dr Ir Burhanuddin Masy‟ud, MS. Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian Tertutup : 23 Januari 2017


Tanggal Sidang Promosi : 10 Februari 2017 Tanggal Lulus:
xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Mei
2015 ini ialah penguatan kelembagaan lokal, dengan judul Penguatan
Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku
Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS, Prof Dr Ir Y. Purwanto, DEA, dan Dr Ir Nandi
Kosmaryadi, MSc Forest Trop. selaku komisi pembimbing atas segala
bimbingan dan arahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
2. Dr Ir Bambang Supriyanto, MSc dan Dr Drs Satyawan Sunito selaku penguji
luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka atas review-nya terhadap disertasi
ini.
3. Kepala Balai Taman Nasional Siberut beserta staf di Padang dan di SPTN
Wilayah atas fasilitasi dan kerjasamanya.
4. Para narasumber di lapangan, Bapak Hasan Sagaileppak, Jon Effendi, Ajomar
Satoko, Sai-Saik Sakeru Sakeru, Lauren Sagoilok, Alcide Sabulat, Jasmardi
Satoleuru, Sudarmanto Satoleuru, Hariadi Sabulat, Nasir Satoleuru, Sulaiman,
Dalen atas informasi dan pertemanannya.
5. Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Sumber Daya Manusia Lingkungan
Hidup dan Kehutanan beserta staf atas kesempatan dan fasilitasinya selama
menempuh studi.
6. Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Subdit Pengendalian Pengelolaan
Kawasan Konservasi beserta staf atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Ayahanda Almarhum H. Muhammad Ayib Kenawas, ibunda Hj. Siti Rohma,
Ayunda Nesi Novita dan Urip Burlian, Kakanda Malhanzaldi dan Meisya
Karyawati, Adinda Rispa Medya Sari dan Muhammad Tiara Budi, Adinda
Luk Medi Pazli dan Rika Feranita yang senantiasa memberikan dukungan dan
doa.
8. Mertua saya Bapak Zainul dan Ibu Miswarni, Adinda Liswar Hendri, Adinda
Yudistira, dan Adinda Ade Saputra.
9. Istri dan anak saya tercinta Saridayani, Muhammad Gilbran Firdiansyah dan
Lintang Madiniansyah atas kasih sayang, pengertian, dan dukungannya.
10. Sahabat saya N. Qomar (Pak Wo), Asvic H (Uni), Kaniwa B (Mami), Liza N
(Acil), Toto S (Akang), Toto Sri (Pak Le), Iing N (Abah), Tuah MB (Abang),
A. Rosyid, Zeth P (Pak Ce), Alm. Hotnida S (Madam Hot), dan semua teman-
teman S3 dan S2 atas dukungan dan kerjasamanya selama menempuh
perkuliahan di SPs IPB.
11. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung sejak penyusun proposal, pengambilan data hingga
tersusunnya disertasi ini.
Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat pahala
dari Allah Subhanahu Wata‟ala. Amin ya Robal Alamin. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat “Masura Bagata”.

Bogor, Februari 2017

Fifin Nopiansyah
xvii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix


DAFTAR GAMBAR xxi
DAFTAR LAMPIRAN xxii
DAFTAR ISTILAH xxiii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 7
1.5 Kerangka Teoritis 7
1.6 Kerangka Pikir 11
1.7 Kebaruan Penelitian 12
1.8 Struktur Penulisan 12
2 CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT
2.1 Karakteristik Biofisik Pulau Siberut 15
2.2 Status dan Fungsi Kawasan Hutan 18
2.3 Masyarakat Mentawai 19
2.4 Pengelolaan Cagar Biosfer di Cagar Biosfer Pulau Siberut 21
2.4.1 Area Inti 25
2.4.2 Zona Penyangga 27
2.4.3 Area Transisi 28
3 ASET-ASET PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI DI CAGAR
BIOSFER PULAU SIBERUT
3.1 Pendahuluan 30
3.2 Metode 31
3.3 Hasil dan Pembahasan 32
3.3.1 Sumber Daya Manusia 32
3.3.2 Sumber Daya Alam 36
3.3.3 Infrastruktur 37
3.3.4 Sumber Daya Finansial 41
3.3.5 Organisasi Sosial 44
3.4 Simpulan 47
4 KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN LAHAN SUKU MENTAWAI DI
CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT
4.1 Pendahuluan 48
4.2 Metode 49
4.3 Hasil dan Pembahasan 50
4.3.1 Kepemilikan Lahan 50
4.3.2 Penggunaan Lahan 53
4.3.3 Transformasi Lahan 69
4.3.4 Strategi Penghidupan Masyarakat Mentawai di CBPS 71
4.4 Simpulan 72
5 STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
SUKU MENTAWAI DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT
5.1 Pendahuluan 73
5.2 Metode 73
5.3 Hasil dan Pembahasan 77
5.3.1 Identifikasi Stakeholders 77
5.3.2 Kategorisasi Stakeholders 79
5.3.3 Hubungan Antar Stakeholders 83
5.3.4 Partisipasi Stakeholders 86
5.3.5 Perilaku Stakeholders dalam Pengelolaan SDA 88
5.4 Simpulan 91
6 ATURAN INFORMAL DAN FORMAL DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT
6.1 Pendahuluan 92
6.2 Metode 92
6.3 Hasil dan Pembahasan 95
6.3.1 Aturan Informal 95
6.3.2 Aturan Formal 101
6.4 Simpulan 116
7 PEMBAHASAN UMUM: KEBERLANJUTAN DAN PENGUATAN
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
7.1 Keberlanjutan Pengelolaan SDA 117
7.1.1 Sertifikasi Lahan Uma 118
7.1.2 Persawahan di Ekosistem Rawa Sagu 118
7.2 Keberlanjutan Kelembagaan Pengelolaan SDA 118
7.3 Strategi Penguatan Kelembagaan Pengelolaan SDA 121
7.3.1 Penguatan Hak Kepemilikan Masyarakat Siberut 121
7.3.2 Pelibatan Masyarakat dalam Proses Pengambilan Keputusan 126
8 SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan 129
8.2 Saran 130
DAFTAR PUSTAKA 131
LAMPIRAN 138
xix

DAFTAR TABEL

1.1 Pengetahuan dan kelembagaan lokal, suku, komunitas, daerah 3


dan deskripsinya dalam mengelola SDA secara berkelanjutan
di Indonesia
1.2 Perbandingan pandangan antara pemerintah dengan 8
masyarakat lokal terhadap alam di kawasan konservasi
2.1 Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau 16
Siberut
2.2 Luas Pulau Siberut berdasarkan fungsi lahan 19
2.3 Cagar biosfer di Indonesia hingga tahun 2016 22
2.4 Ekosistem utama di tiap zona di Cagar Biosfer Pulau Siberut 26
2.5 Perkiraan ukuran populasi primata endemik di Taman 27
Nasional Siberut
2.6 Desa di area transisi Cagar Biosfer Pulau Siberut 29
3.1 Jumlah penduduk Pulau Siberut dari tahun 1853-2014 33
3.2 Jumlah penduduk di lokasi penelitian 33
3.3 Jumlah penduduk dan komposisi usia di Cagar Biosfer Pulau 34
Siberut
3.4 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Pulau 35
Siberut
3.5 Luasan tutupan lahan di Pulau Siberut 36
3.6 Infrastruktur umum di Desa Saibi Samukop, Matotonan, dan 37
Sagulubbek
3.7 Bangunan fasilitas kesehatan di Pulau Siberut pada tahun 2013 38
3.8 Tenaga medis di Pulau Siberut pada tahun 2013 39
3.9 Pembangunan sarana dan prasarana di Desa Saibi Samukop, 44
Matotonan, dan Sagulubbek pada saat penelitian
3.10 Uma-uma di Muara Saibi, Desa Matotonan, dan Desa 45
Sagulubbek
3.11 Organisasi eksternal yang beraktivitas di Desa Saibi Samukop, 46
Matotonan, dan Sagulubbek
3.12 Ringkasan aset penghidupan masyarakat Siberut 45
4.1 Asal kepemilikan lahan di Suku Mentawai di Siberut 51
4.2 Jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat Siberut di 55
perladangan
4.3 Jenis tanaman komersil yang dibudidayakan masyarakat 56
Siberut
4.4 Perbandingan tumbuhan sagu dan padi di Pulau Siberut 60
4.5 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon dengan indeks nilai 62
penting tertinggi di hutan sekitar desa di lokasi penelitian
4.6 Jenis rotan dan manfaat di Pulau Siberut 63
4.7 Produksi rotan dari Pulau Siberut 64
4.8 Satwa yang dijumpai dalam transek di lokasi penelitian 64
4.9 Burung bernilai komersil di Pulau Siberut 65
4.10 Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas 66
pengembangannya di Siberut
4.11 Perubahan perilaku masyarakat Siberut dalam pemanfaatan 72
sumber daya alam
5.1 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh 75
stakeholder
5.2 Stakeholder dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar 78
Biosfer Pulau Siberut
5.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam 81
pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
5.4 Actor-linkage dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar 84
Biosfer Pulau Siberut
5.5 Partisipasi stakeholder dalam pengelolaan Cagar Biosfer 87
Pulau Siberut
5.6 Pengaruh kelembagaan terhadap perilaku stakeholder dalam di 89
Cagar Biosfer Pulau Siberut
6.1 Kumpulan hak terkait dengan posisi 94
6.2 Jenis pelanggaran dan denda dalam pengelolaan sumber daya 98
alam di Siberut
6.3 Karakteristik kelembagaan adat Mentawai dalam pengelolaan 100
sumber daya alam
6.4 Luas zona dan status/fungsi hutan di Cagar Biosfer Pulau 102
Siberut
6.5 Penataan blok Kesatuan Pengelolaan Hutan dan pemanfaatan 105
hutan
6.6 Perubahan zonasi kawasan Taman Nasional Siberut 106
6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut 109
7.1 Gap antara aturan formal dengan informal dalam pengelolaan 119
sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
7.2 Peluang penguatan kelembagaan informal masyarakat Siberut 122
dalam pengelolaan sumber daya alam
7.3 Akomodasi ruang kehidupan dan fungsi lahan masyarakat 125
(tradisional) Suku Mentawai dalam zonasi Taman Nasional
Siberut
xxi

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir penelitian Penguatan Kelembagaan Lokal 13


Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku
Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut
2.1 Peta Kepulauan Mentawai 14
2.2 Transek Pulau Siberut 17
2.3 Fungsi dan sistem zonasi cagar biosfer 25
2.4 Peta zonasi Cagar Biosfer Pulau Siberut 25
3.1 Lokasi penelitian di Cagar Biosfer Pulau Siberut 32
3.2 Bagan skematis organisasi sosial tradisional di Siberut 45
4.1 Ladang baru/tinungglu dan ladang tua/pumonean 54
4.2 Ladang keladi/pugettekat dan ladang sagu/pusaguat 58
4.3 Persawahan di Pulau Siberut 69
4.4 Transformasi lahan menjadi lingkungan yang lebih khas dan 70
bermanfaat bagi masyarakat Siberut
5.1 Kategorisasi stakeholder di CBPS menurut kepentingan dan 80
pengaruh
6.1 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan SK Dirjen 107
PHKA No. 14/ Kpts/DJ-V/2001
6.2 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan Keputusan 108
Dirjen PHKA No. 32/Kpts/VI-SET/2015
7.1 Forum Koordinasi dan Komunikasi Cagar Biosfer Pulau 127
Siberut
DAFTAR LAMPIRAN

1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut 138
2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak 140
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan
3 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di 143
daerah Saibi Samukop
4 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di 144
daerah Matotonan
5 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di 145
daerah Sagulubbek
6 Jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan di lokasi penelitian 146
7 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan 147
sekitar Desa Saibi Samukop
8 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan 148
sekitar Desa Matotonan
9 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan 149
sekitar Desa Sagulubbek
10 Nilai kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan sumber 150
daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
11 Bentuk organisasi pengelolaan beberapa Cagar Biosfer di 151
Indonesia
12 Hutan adat yang berikan pemerintah pada Acara Pencanangan 152
Pengakuan Hukum Adat Tahun 2016
13 Riwayat Hidup 153
xxiii

DAFTAR ISTILAH

Arat sabulungan : Kepercayaan tradisional Suku Mentawai


Bajak : Saudara laki-laki kandung dari ayah
Barasi : Perkampungan
Bat oinan : Sungai
Kei-kei : Pantangan yang harus dilakukan seseorang ketika
acara/ritual adat berlangsung
Leleu : Hutan dan perbukitan yang berhutan
Nusa : Pulau-pulau kecil dan daerah pantainya
Puberakat : Persawahan
Pugettekat : Ladang keladi
Pumonean : Perladangan orang Mentawai atau perladangan tua yang
merupakan kelanjutan dari tinungglu yang ekosistem
hampir menyerupai hutan sekunder.
Pusaguat : Ladang sagu
Punen/lia : Pesta/ritual adat
Sikebukat uma : Orang yang dituakan di dalam uma atau sering disebut
sebagai kepala uma
Sipuuma : Anggota uma
Sasareu : Pendatang
Sibakat laggai/ : Pemilik lahan
Sibakat polak
Sikerei : Dukun yang mempunyai kemampuan pengobatan secara
tradisional dan dipercaya dapat berkomunikasi dengan roh-
roh yang tidak dapat dilihat oleh orang biasa
Sipasijago : Uma yang diberi kewenangan untuk menjaga lahan dan atau
sumber daya milik uma lain
Sitoi : Orang atau kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan
uma lain
Tinungglu : Ladang baru yang terbentuk setelah hutan ditebang,
dibersihkan, dan ditanami.
Tulou : Denda yang harus dibayar ketika melanggar aturan adat
Uma : Memiliki beberapa makna yakni sistem kekerabatan, rumah
adat, atau pola perkampungan tradisional
xxv

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan hidup


manusia sudah ada sejak awal kehidupan manusia. Namun pemanfaatan yang
berlebihan membuat kerusakan habitat dan kepunahan berbagai jenis tumbuhan
dan satwa. Hilang dan rusaknya habitat satwa disebabkan oleh berbagai aktivitas
manusia diantaranya konversi hutan alam untuk petanian tanaman pangan,
perkebunan, tanaman industri, dan permukiman sebagai tuntutan pembangunan,
pembalakan liar (illegal logging), perburuan liar, atau kebakaran hutan (Setyowati
et al. 2008). Di Indonesia, terdapat lahan kritis sekitar 24,67 juta hektar dan sangat
kritis sekitar 5,4 juta hektar, sedangkan laju kerusakan hutannya sekitar 700 ribu
hektar per tahun (Kemenhut 2011). Kerusakan hutan yang masif ini perlu
mendapat perhatian serius dari semua kalangan agar fungsi hutan sebagai
penyangga sistem kehidupan manusia dapat berfungsi.
Berbagai aktivitas manusia yang memanfaatkan kawasan hutan secara
berlebihan memunculkan respon masyarakat global untuk membentuk suatu
kawasan yang dilindungi dalam rangka mengurangi dampak negatif perilaku
manusia terhadap alam. Terkait pembentukan kawasan tersebut, The International
Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 1994 mengkategorikan enam
kawasan yang dilindungi berdasarkan dari tujuan dan sasaran pengelolaanya,
yaitu: strict reserves, national park, nature monument, species management,
protected land/sea scapes, managed resource (Davey 1998), sedangkan The
United Nation Education Social and Cultural Organisation (UNESCO)
mengembangkan sendiri suatu bentuk kawasan dilindungi yang disebut sebagai
cagar biosfer. Konsep cagar biosfer ini berevolusi sebagai kategori yang terpisah
dari berbagai jenis kawasan dilindungi yang dinyatakan oleh IUCN. Ishwaran et
al. (2008) menyatakan bahwa cagar biosfer dianggap terpisah dari kawasan
dilindungi lainnya karena lebih ditekankan pada tujuan pembangunan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Batisse (1993) yang menyatakan bahwa konsep cagar
biosfer merupakan upaya internasional pertama yang dirancang untuk
mengidentifikasi berbagai cara dan maksud untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan dengan cara merekonsiliasikan pemanfaatan dengan perlindungan
jangka panjang. UNESCO mendefinisikan cagar biosfer sebagai ekosistem
daratan dan pesisir atau laut atau kombinasi lebih dari satu tipe ekosistem yang
secara internasional diakui keberadaanya sebagai bagian dari Program Manusia
dan Biosfer (MAB) dari UNESCO. Program MAB yang dicetuskan pada tahun
1968 mempunyai misi untuk meningkatkan dan mendemonstrasikan keserasian
hubungan antara manusia dan alam melalui pendekatan ekosistem/bioregional
(UNESCO 1996). Saat ini terdapat 669 cagar biosfer yang tersebar di 120 negara
dan Indonesia memiliki 11 cagar biosfer.
Salah satu cagar biosfer di Indonesia adalah Cagar Biosfer Pulau Siberut
(CBPS) yang dideklarasikan oleh UNESCO pada tahun 1981. Beberapa alasan
dideklarasikannya Pulau Siberut sebagai cagar biosfer, yaitu karena tingginya
tingkat endemisitas flora fauna dan keunikan ekologi akibat keterisolasian Pulau
Siberut sekitar lima ratus ribu hingga satu juta tahun yang lalu dari daratan utama
2

Sumatera (WWF 1980). Alasan lain adalah kerentanan Pulau Siberut karena curah
hujan yang tinggi dan secara geologis muda, bertanah lempung dengan tingginya
runoff, serta lebih dari 45% tanah berkategori sensitivitas I dengan kemiringan
lebih dari 25 persen (WWF 1980; PHPA 1995), juga keunikan kebudayaan
tradisional Suku Mentawai di Pulau Siberut yang mampu mempertahankan alam
dan lingkungannya selama berabad-abad serta tingginya ketergantungan dan
keterkaitan masyarakat tersebut dengan sumber daya alamnya (BTNS 2010).
Keseimbangan hubungan antara manusia dan alam menjadi isu internasional
yang penting hingga saat ini. IUCN pada Kongres Taman Sedunia (World Park
Congress/WPC) ke empat tahun 1992 di Venezuela mulai mengadopsi gagasan
tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi termasuk mendukung konsep cagar biosfer. Hasil Konferensi
Internasional Cagar Biosfer di Seville, Spanyol, menghasilkan Seville Strategy
yang menjadi konsep pengelolaan cagar biosfer juga menekankan pentingnya
kearifan tradisional dan masyarakat lokal dalam pengelolaan cagar biosfer.
Begitupula WPC ke lima tahun 2003 di Durban, Afrika Selatan, menghasilkan
Durban Accord yang terkait dengan penghormatan hak-hak atas masyarakat asli,
tradisional dan berpindah (indigenous, traditional and mobile people) yang berada
dalam kawasan yang dilindungi. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2008
dilaksanakan Kongres Dunia Cagar Biosfer di Madrid, Spanyol, yang
mengidentifikasi tiga tantangan utama dan serius yang harus diselesaikan oleh
masyarakat dunia, salah satunya adalah hilangnya keanekaragaman hayati dan
keragaman budaya yang cepat di berbagai belahan dunia dan berdampak pada
kemampuan ekosistem untuk menyediakan layanan penting bagi kesejahteraan
manusia (UNESCO 2008).
Strategi Seville memuat berbagai rekomendasi untuk mewujudkan
pengelolaan cagar biosfer yang efektif. Upaya perlindungan yang dilakukan selain
untuk melindungi keanekaragaman hayati juga untuk melindungi nilai-nilai
budaya masyarakat. Hal ini termaktub dalam sasaran kedua, yakni menggunakan
cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan
berkelanjutan. Beberapa rekomendasi yang terkait dengan masyarakat lokal,
diantaranya yakni melibatkan masyarakat sebagai stakeholders dalam proses
perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan cagar biosfer,
stakeholders memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan merata dari
pemanfaatan SDA, membangun mekanisme kelembagaan dan jaringan konsultasi
lokal yang mengakomodir stakeholders di suatu situs cagar biosfer (UNESCO
1996).
Di Indonesia dengan keragaman suku dan budayanya, terdapat banyak bukti
bahwa kearifan dan kelembagaan masyarakat lokal dapat mengelola SDA secara
berkelanjutan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi masyarakat lokal dengan
SDA dan lingkungannya berkesesuaian dengan berbagai prinsip pengelolaan SDA
secara berkelanjutan. Di beberapa kawasan konservasi, pola interaksi yang terjalin
antara masyarakat dengan lingkungannya memberikan dampak yang cenderung
positif terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, seperti pada perladangan
tradisional Suku Dayak, sistem Sasi di Pulau Haruku, dan atau sistem irigasi di
Bali (Wiratno et al. 2002). Beberapa penelitian di daerah Jawa (Iskandar 1992), di
Kalimantan (Anau et al. 2000), dan di Timor (Sirait 2005), membuktikan juga
bahwa komunitas lokal melalui kelembagaan adat yang dimilikinya mampu
3

mengelola dan memanfaatkan SDA dan lingkungan secara berkelanjutan.


Kemampuan masyarakat lokal tersebut tidak terlepas dari sejumlah kearifan lokal
yang teguh dipertahankan oleh segenap anggota masyarakatnya. Deskripsi lebih
lanjut beberapa pengetahuan lokal dan kelembagaan lokal dalam mengelola SDA
secara berkelanjutan di Indonesia disajikan pada Tabel 1.1. Bukan hanya di
Indonesia, peran masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA di berbagai negara
seperti India, Nepal, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah
mengubah paradigma dan mengevolusi pengelolaan hutan (David et al. 2003;
Lynch dan Talbott 1995).

Tabel 1.1 Pengetahuan dan kelembagaan lokal, suku, komunitas, daerah dan
deskripsinya dalam mengelola SDA secara berkelanjutan di Indonesia
Suku,
Pengetahuan dan
komunitas, Deskripsi
kelembagaan lokal
daerah
Pronoto mongsoa Jawa Pengaturan waktu (musim) yang digunakan
para petani pedesaan untuk mengolah lahan
pertanian
Nyabuk gununga Jawa Sistem bercocok tanam dengan membuat teras
sawah yang dibentuk menurut arah garis
kontur
Mengelola hutana Karampuang, Adanya norma adat dalam mengelola hutan,
Sulawesi seperti tidak menyadap enau di kala senja dan
petang hari karena akan mengganggu
kehidupan (aktivitas) hewan lain
Pikukuh karuhuna Baduy, Banten Mengelola SDA sesuai aturan adat, seperti
tidak boleh menebang pohon secara
sembarangan
Ganop-ganop banuab Pakpak, Pengelolaan berbasis lansekap
martano rura Sumatera Utara
Sasic Malind-anim, Aturan dalam pemanfaatan SDA agar terjaga
Papua keseimbang alam
„Dusun‟ Rumahkay, Sistem pengaturan alokasi dan penggunaan
Maluku SDA dalam bentuk „dusun‟ (tipe lahan
berdasarkan komposisi tumbuhannya)
Menjaga halom Orang Rimba, Menjaga hutan sebagai tempat tinggal agar
Jambi tidak rusak dan habis
Mahintuwu Toro, Sulawesi Melindungi kehidupan dan sumber daya
mampanimpu Tenggara lingkungan yang dianugerahkan oleh Tuhan
katuwua toiboli
topehoi
Pumoneand Mentawai, Pengelolaan lahan budidaya secara
Sumatera Barat agroforestri yang prosesnya tidak dilakukan
pembakaran lahan
a
Suhartini (2009), bHidayat (2011), cKosmaryandi (2012), dDarmanto (2006).
4

Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola SDA dan lingkungannya tidak


selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah. Terdapat beberapa kebijakan
pemerintah yang belum mendukung kelembagaan lokal, bahkan cenderung
melemahkannya. Beberapa contoh kebijakan tersebut, seperti pengelolaan
kawasan konservasi di Indonesia yang cenderung membatasi akses masyarakat
telah banyak menimbulkan sengketa dan konflik pengelolaan kawasan
(Kosmaryandi 2012). Penyeragaman pembentukan desa termasuk program
memukimkan (resetlement) masyarakat Mentawai dalam suatu wilayah di era 70-
an yang bertujuan memudahkan manajemen kependudukan, sebaliknya menekan
budaya dan menghilangkan ciri khas kelembagaan lokal masyarakat Mentawai
(Hernawati 2007). Pemberian izin pengusahaan hutan telah membatasi dan
memarginalkan masyarakat lokal yang selama ini mengelola SDA mereka sendiri.
Kekeliruan kebijakan ini telah mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat
adat sebagai “pemilik” SDA secara turun temurun.
Beberapa program Pemerintah Indonesia dalam upaya menguatkan
kelembagaan lokal dalam pengelolaan SDA dan lingkungannya, seperti Integrated
Conservation and Development Project (ICDP) di Taman Nasional Kerinci Seblat
dan Integrated Protected Area System (IPAS) di Taman Nasional Siberut dan
Taman Wisata Alam Ruteng pada awal tahun 1990-an telah dilakukan. Orientasi
program yang bersifat keproyekan membuat program-program ini tidak
berkelanjutan dan belum dapat menguatkan kelembagaan masyarakat lokal. Selain
pemerintah, beberapa lembaga swadaya masyarakat juga melaksanakan program
untuk mengembangkan kelembagaan dan menyuarakan hak-hak masyarakat adat
yang termarjinalkan, tetapi berbagai program tersebut belum dapat
memberdayakan masyarakat lokal. Selain kebijakan pemerintah yang belum
banyak mendukung kelembagaan masyarakat lokal, berbagai faktor eksternal,
seperti meningkatnya jumlah penduduk, adanya teknologi modern, akulturasi
dengan budaya luar, adanya pemodal besar, serta kemiskinan dan kesenjangan
sosial di antara masyarakat menjadi tantangan bagi pengetahuan lokal (Suhartini
2009).
Beberapa penelitian untuk memperkuat kelembagaan lokal dalam mengelola
SDA mereka sudah dilakukan. Penelitian Kosmaryandi et al. (2012) menunjukkan
bahwa tata guna lahan tradisional dari masyarakat setempat dapat
diamalgamasikan dengan sistem zonasi taman nasional untuk menghindari konflik
pengelolaan. Partisipasi masyarakat setempat dapat menguatkan pengelolaan
kawasan konservasi (Soekmadi 2002; Susetyo 2014). Partisipasi masyarakat
setempat yang lebih besar dalam lembaga tata kelola sumber daya menunjukkan
ke arah hasil yang lebih baik bagi keanekaragaman hayati dan penghidupan
masyarakat (Ostrom dan Nagendra 2006). Selanjutnya, terjaminnya akses
masyarakat lokal ke SDA mereka dapat meningkatkan ketahanan pangan bagi
masyarakat miskin, khususnya anggota termiskin di kalangan masyarakat tersebut
(Place 2009).
Berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan pentingnya menguatkan
kelembagaan lokal dalam mengelola SDA mereka. Tujuannya untuk menghindari
konflik antara masyarakat setempat dengan pengelola kawasan dan memberi akses
masyarakat ke SDA agar penghidupan mereka dapat berkelanjutan. Umumnya
penelitian sejenis ini banyak dilakukan di kawasan konservasi di Indonesia,
khususnya di kawasan taman nasional (Soekmadi 2002; Kosmaryandi et al. 2012;
5

Susetyo 2014), tetapi belum pernah dilakukan di cagar biosfer di Indonesia. Cagar
biosfer di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri karena bukan hanya
terdiri atas kawasan konservasi, melainkan terdapat kawasan produksi dan
kawasan fungsi lindung, areal penggunaan lain, serta lahan milik.
Hubungan yang selaras antara masyarakat setempat dengan pengelola
kawasan hutan dalam mengelola SDA yang sama dapat dicapai melalui kepastian
hak kepemilikan yang tepat atas SDA dan meningkatkan kapasitas masyarakat
untuk membangun diri secara terus menerus. Penataan hak kepemilikan yang tepat
dan peningkatan kapasitas masyarakat diyakini mendorong tindakan bersama dan
rasa kepedulian masyarakat setempat untuk menjaga keberlanjutan SDA. Untuk
itu, penelitian secara komprehensif antara kelembagaan formal dan informal
dalam mengelola SDA penting dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan
lokal. Prijono dan Pranarka (1996) menyatakan bahwa penguatan mengandung
pengertian, yakni memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas, dan memberikan kemampuan atau keberdayaan ke pihak
lain. Dengan demikian, penguatan kelembagaan lokal yang dimaksud disini
adalah melimpahkan kewenangan pengelolaan SDA ke masyarakat setempat
secara tepat melalui kelembagaan informal mereka. Harapannya adalah agar
kelembagaan formal dan informal dapat saling melengkapi sehingga SDA di
CBPS dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu kelembagaan lokal yang dikenal dalam mengelola SDA secara
tradisional adalah kelembagaan Suku Mentawai di CBPS. Kelembagaan tersebut
didasarkan pada kepercayaan tradisional mereka yang disebut arat sabulungan,
yang mempercayai bahwa semua benda mempunyai jiwa/roh (simagre/bajou).
Oleh karena itu, segala bentuk aktivitas masyarakat perlu menjaga harmonisasi
semua jiwa/roh yang ada. Dalam menjaga harmonisasi tersebut, banyak tabu atau
pantangan (kei-kei) yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari termasuk
dalam mengelola SDA.
Suku Mentawai menghuni Kepulauan Mentawai, yang terdiri atas Pulau
Siberut, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Walaupun suku mereka
sama, tetapi kondisi SDA di tiap pulau sangat berbeda. Tutupan lahan berupa
hutan di Pulau Siberut paling luas (sekitar 65%) dibandingkan ketiga pulau
lainnya (Nopiansyah 2008). Kondisi ini dipengaruhi oleh praktek-praktek
pengelolaan SDA yang diterapkan masyarakat dan pemerintah di tiap pulau. Di
Pulau Siberut, masyarakat Mentawai masih menerapkan berbagai praktik
pengelolaan SDA secara tradisional, sedangkan di pulau lain berbagai kearifan
lokal dalam mengelola SDA sudah ditinggalkan. Selain itu, di Pulau Siberut masih
terdapat kawasan berhutan yang belum dieksploitasi oleh konsesi kayu, yakni
kawasan Taman Nasional Siberut, sedangkan di pulau lain hampir semua kawasan
berhutan telah dieksploitasi. Kondisi SDA yang masih relatif baik tersebut juga
dipengaruhi oleh adanya kearifan lokal yang melembaga dan diterapkan oleh
masyarakat Mentawai di Siberut (BTNS 2010) serta adanya keterikatan yang kuat
antara masyarakat Siberut dengan hutan (Munazar 2004).
6

Sumber daya alam menjadi basis utama penopang kehidupan masyarakat


Mentawai di CBPS. SDA yang penting di Pulau Siberut antara lain lahan, pohon
penghasil kayu, sagu, gaharu, rotan, dan hewan ternak atau liar. Secara tradisional
semua lahan dimiliki oleh uma (sistem kekerabatan) dari Suku Mentawai. Di atas
lahan ini anggota uma (sipuuma) mengelola dan memanfaatkan SDA. Selain
lahan, SDA yang penting adalah tumbuhan yang menjadi makanan pokok seperti
sagu (Metroxylon sagu) dan keladi, tumbuhan yang dapat menghasilkan uang,
seperti gaharu (Aquilaria malacensis), rotan manau (Calamus manan), dan pohon
berkayu (jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae), selain itu tumbuhan yang
bernilai budaya seperti durian (Durio sp), langsat (Aglaia sp), dan kelapa (Cocos
nucifera). Hewan yang penting untuk memenuhi kebutuhan protein dan upacara
adat, seperti babi dan ayam yang dikembangkan di pondok perladangan, serta
satwa liar seperti primata dan rusa yang diburu di hutan (Walujo dan Supardijono
1997, BTNS 2010, Darmanto dan Setyowati 2012).
Pengelolaan SDA yang semula tradisional oleh masyarakat Mentawai, saat
ini mulai mengalami perubahan. Kepemilikan lahan di Mentawai yang secara adat
merupakan kepemilikan komunal, mulai dijual atau dipindah tangankan menjadi
kepemilikan pribadi (Darmanto dan Setyowati 2012). Pembuatan keputusan atas
pengelolaan SDA yang seharusnya dilakukan secara bersama melalui proses
musyawarah, saat ini mulai diputuskan sepihak tanpa persetujuan semua anggota
uma sehingga banyak menimbulkan konflik internal. Dalam memanfaatkan SDA,
masyarakat mulai menerapkan praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan,
seperti penggunaan senapan angin dengan peluru beracun dalam perburuan satwa
liar, penggunaan bahan kimia untuk menangkap ikan hingga penebangan
mangrove dan pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan (BTNS
2010).
Di sisi lain, beberapa program pemerintah tidak sejalan dengan
kelembagaan lokal masyarakat Mentawai. Program pemerintah daerah untuk
membangun persawahan sebagai bagian dari ketahanan pangan masyarakat
bertolak belakang dengan pola hidup masyarakat Mentawai yang memanfaatkan
sagu sebagai bahan makanan pokok, yang justru melemahkan ketahanan pangan
masyarakat Mentawai (Simanjuntak 2012). Selanjutnya, orientasi pemerintah
yang masih mengedepankan eksploitasi kayu untuk menghasilkan pendapatan
daerah bertolak belakang dengan kondisi Pulau Siberut yang dikategorikan
sebagai pulau kecil yang rentan secara ekologi, yang seharusnya dikelola dengan
prinsip kehatian-hatian (BTNS 2010, Ismanto 2010, Darmanto dan Setyowati
2012).
Situasi di atas mengindikasikan mulai melemahnya kelembagaan Suku
Mentawai dalam mengelola SDA di CBPS. Fenomena perubahan kelembagaan
lokal tersebut menarik untuk dipahami, sehingga pertanyaan penelitian yang
muncul adalah SDA apa saja yang kelembagaan lokalnya melemah, mengapa, dan
bagaimana cara menguatkan kelembagaan lokal tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi


penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sumber penghidupan Suku
7

Mentawai di CBPS. Untuk mencapai tujuan umum tersebut perlu dicapai tujuan
khusus, yaitu:
1. Menganalisis SDA yang menjadi sumber penghidupan Suku Mentawai di
CBPS.
2. Menganalisis situasi pengelolaan SDA di CBPS.
3. Menganalisis kepentingan, pengaruh, hubungan, partisipasi, dan perilaku
stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS.
4. Menganalisis aturan informal dan aturan formal dalam pengelolaan SDA di
CBPS.
5. Menyintesis penguatan kelembagaan lokal Suku Mentawai dalam pengelolaan
SDA di CBPS.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menyediakan berbagai strategi


penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS yang berguna
bagi pengambil keputusan dalam penyusunan kebijakan untuk Pulau Siberut.
Secara teoritis penelitian diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu
kelembagaan khususnya pengembangan kelembagaan lokal.

1.5 Kerangka Teoritis

Sumber daya alam di CBPS dapat dikategorikan sebagai sumber daya milik
bersama atau common pool resources (CPRs). Istilah CPRs merujuk kepada suatu
SDA, sumber daya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari
satu orang dan merupakan objek yang cenderung terdegradasi sebagai akibat
kecenderungan pemanfaatan yang berlebihan (Ostrom 1990). Menurut McKean
(2000) menyatakan bahwa CPRs adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa
saja, sehingga sangat sulit untuk mengontrol sumber daya tersebut dan
menyebabkan sumber daya menjadi sangat mudah terdegradasi. SDA yang
bercirikan CPRs memiliki dua sifat utama, yaitu sifat substractibility yang
merupakan kondisi dimana setiap pemanfaatan seseorang atas sumber daya akan
mengurangi kemampuan atau jatah orang lain untuk memanfaatkan sumber daya
tersebut sehingga sulit untuk membagi rata suatu sumber daya atau keuntungan
dari sumber daya. Sifat ini mengindikasikan terjadinya persaingan (rivalness)
dalam pemanfaatan sumber daya. Selanjutnya, sifat excludibility yang merupakan
kondisi kesulitan untuk mengeluarkan pengguna lain dalam pemanfaatan sumber
daya yang dimiliki seseorang, kelompok, atau lembaga. Sifat ini berkaitan dengan
adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi pihak lain dalam
memanfaatkan (beneficiaries) dari suatu sumber daya. Tjitradjaja (2008)
menyatakan bahwa pada CPRs dengan akses yang bebas (open access) melekat
situasi ketiadaan jaminan kepastian.
Dalam mengelola SDA, seseorang, kelompok atau lembaga, sangat
dipengaruhi oleh sudut pandangnya. Misal, dari sudut pandang ekonomi, SDA
adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan
jasa dalam kegiatan ekonomi (Fauzi 2006), sedangkan dari sudut padang ekologi
8

yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan


dan Perlindungan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa SDA adalah unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Dari dua cara pandang di atas
terlihat penekanan arah pengelolaan SDA yang akan diambil oleh masing-masing
pihak bila mempunyai kuasa atau kewenangan untuk mengelola suatu SDA.
Terkait dengan sudut pandang atau paradigma para pihak, terdapat pula
perbedaan cara pandang antara pemerintah dengan masyarakat lokal terhadap
SDA yang mempengaruhi keputusan mereka dalam mengelola SDA. Kondisi ini
dapat dilihat dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Setyowati et al.
(2008) menyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah
memandang alam sebagai sesuatu yang unik, dimanfaatkan terbatas dan penduduk
di sekitar kawasan sebagai ancaman sehingga alokasi, akses dan kontrol terhadap
alam perlu ditetapkan oleh negara yang berlandaskan ilmu pengetahuan modern,
sementara masyarakat lokal berpandangan bahwa hutan merupakan hasil
konstruksi sosial dan produk agraria sebagai hasil hubungan antara manusia
dengan ekosistem atau institusinya, sehingga alokasi, akses dan kontrol terhadap
alam ditetapkan oleh warganya berlandaskan pengetahuan lokal mereka.
Perbandingan pandangan antara pemerintah dan masyarakat lokal terhadap alam
di kawasan konservasi disajikan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Perbandingan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat lokal


terhadap alam di kawasan konservasia
Pihak
Pandangan
Pemerintah (negara) Masyarakat lokal
Pandangan  Alam yang unik, khas, dan  Hutan merupakan hasil
terhadap alam utuh harus diawetkan dan konstruksi sosial antara
dilindungi serta terbebas dari masyarakat dengan
sentuhan manusia ekosistem di sekitarnya
 Pemanfaatan terbatas untuk  Hutan merupakan produk
riset, pendidikan dan ekowisata hubungan manusia dengan
 Penduduk sekitar kawasan kelembagaan lokalnya
konservasi merupakan
ancaman
Alokasi, akses dan  Ditetapkan oleh pemerintah  Ditetapkan oleh warga
kontrol terhadap (negara) masyarakat hukum adat
kawasan hutan  Ilmu pengetahuan modern sebagai pemegang hak ulayat
sebagai landasan agraria antar  Pengetahuan lokal sebagai
anggota masyarakat dalam landasan
institusinya
a
Setyowati et al. (2008).

Dalam pengelolaan SDA di kawasan konservasi di Indonesia saat ini,


penerapan konservasi masih berlandaskan wacana konservasi global yang
berbasiskan pada ilmu pengetahuan. Wacana konservasi global seringkali tidak
bersesuaian dengan masyarakat setempat bahkan mengabaikan masyarakat
9

setempat. Akibatnya banyak konflik terjadi antara pengelola kawasan konservasi


dengan masyarakat setempat (Darmanto 2011; Kosmaryandi 2012). Di sisi lain,
terdapat banyak bukti keberhasilan masyarakat tradisional dalam melestarikan
SDA dan lingkungannya berdasarkan pengetahuan lokal1 dan kearifan lokal2 yang
mereka miliki (Basuni 2012). Hal ini sesuai dengan pendapat Ostrom (1990) yang
menyatakan bahwa pengelolaan SDA melalui common property regimes dapat
menghindari the tragedy of the commons. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian
Ostrom terhadap pranata sosial masyarakat yang dapat bertahan lama bahwa di
masyarakat tersebut terdapat berbagai kesepakatan bersama dalam bentuk hukum
yang dihormati oleh seluruh anggota masyarakatnya.
Pranata sosial yang dimaksud di atas adalah kelembagaan lokal di
masyarakat. Kelembagaan merupakan seperangkat tata hubungan di antara
masyarakat yang menegaskan hak-hak mereka, keterbukaan hak-hak dengan yang
lain, hak-hak istimewa mereka, dan berbagai tanggung jawab mereka (Schmid
1987), sedangkan menurut Pakpahan (1989) kelembagaan adalah sistem
organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Selanjutnya, North (1990)
mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-
larangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku
individu dalam masyarakat atau organisasi.
Kelembagaan, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi
merupakan empat faktor penggerak pembangunan (Johnson 1985 dalam Pakpahan
1989). Keempat faktor tersebut merupakan syarat-syarat kecukupan (sufficient
conditions) untuk mencapai kinerja pembangunan yang dikehendaki. Selanjutnya
Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal
utama, yaitu hak kepemilikan (property right) yang merupakan sebuah paket dari
hak yang mendefinisikan siapa pemilik hak, hak istimewa, dan batasan terhadap
penggunaan SDA (Bromley 1991), batas yuridiksi (jurisdiction bounderies) yang
menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi, serta aturan
representasi (rules of representation) mengatur siapa yang berhak berpartisipasi
terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri kelembagaan tersebut
merupakan hal yang penting diamati untuk mengetahui melemahnya kelembagaan
suatu SDA.
Sumber daya alam sangat terkait dengan hak kepemilikan termasuk hak
tenurial (Larson 2013). Hak tenurial terhadap SDA merujuk pada hubungan sosial
dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya (von
Benda-Beckman et al. 2006). Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan dalam hak
kepemilikan terdapat kumpulan hak (bundle of right), yaitu hak akses (access)
atau hak untuk masuk ke area dan hanya menikmati manfaat non-konsumtif.
Mereka yang memiliki hak tersebut disebut sebagai 'pendatang resmi (authorised
entrants)'. Hak pemanfaatan (withdrawal) atau hak untuk memanen unit sumber
daya. Mereka yang memiliki hak akses dan pemanfaatan disebut sebagai
pengguna resmi (authorised user). Hak manajemen (management) atau hak untuk

1
Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat
selama berabad-abad. Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji
penggunaannya selama berabad-abad, telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan
setempat, serta bersifat dinamis dan berubah-ubah (Mathias 1995 dalam Setyowati et al. 2008).
2
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini 2004).
10

menentukan bagaimana, kapan dan dimana penggunaan konsumtif sumber daya


dapat dilakukan, serta apakah dan bagaimana struktur sumber daya yang dapat
diubah. Orang atau kelompok yang memiliki hak-hak ini dikenal sebagai
claimants. Hak eksklusi (exclusion) atau hak untuk menentukan siapa yang akan
memiliki hak akses dan bagaimana hak dimungkinkan untuk ditransfer. Mereka
yang memiliki hak ini disebut proprietors. Hak alienation atau hak untuk menjual
atau menyewakan salah satu atau kedua hal di atas. Orang atau kelompok yang
memiliki hak ini disebut pemilik (owners). Selanjutnya Ostrom dan Schlager
(1996) menyatakan bahwa hak kepemilikan yang didefinisikan dengan baik untuk
eksis, maka pengguna sumber daya harus memiliki kedua hak pada tingkat
operasional (access dan withdrawal), serta pilihan kolektif (management,
exclusion, dan alienation) untuk mengelola CPRs mereka.
Belum adanya pengakuan secara formal atas keberadaan wilayah-wilayah
adat dan hak masyarakat adat dalam mengelola SDA-nya yang telah mereka
kelola turun-temurun dapat melemahkan daya kontrol mereka terhadap SDA. Di
sisi lain, kemampuan negara dalam mengelola SDA relatif terbatas, baik dalam
hal sumber daya manusia maupun pendanaan, yang menyebabkan kontrol
terhadap SDA menjadi lemah, sehingga SDA yang bersifat CPRs mudah
terdegradasi karena terjadi open access. Sementara itu, penguasaan SDA oleh
negara menyebabkan negara dapat memutuskan untuk mengalokasikan hak-hak
eksploitasi atau menetapkan kawasan konservasi tanpa kesepakatan dengan
masyarakat lokal (Kosmaryandi 2012).
Pengelolaan SDA tergantung pada batas yuridiksi kelembagaan yang ada.
Batas yuridiksi ditentukan oleh paling tidak empat hal (Shaffer dan Schmid dalam
Pakpahan 1989), yaitu perasaan sebagai satu komunitas, perasaan ini akan
menentukan siapa yang berhak memanfaatkan SDA dan siapa yang tidak boleh.
Homogenitas prefensi menentukan siapa yang berwenang dalam menentukan
suatu keputusan. Skala ekonomi yang sangat terkait dengan biaya yang tepat
dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan SDA. Selanjutnya, eksternalitas
yang akan mendefinisikan siapa yang akan menanggung atas apa atau terhadap
sesuatu. Eksternalitas sendiri diartikan sebagai dampak kegiatan atau konsumsi
dari suatu pihak mempengaruhi utilitas pihak lain secara tidak diinginkan (Fauzi
2006).
Sumber daya alam yang dimiliki secara komunal dalam pengelolaannya
secara bersama akan tunduk pada aksi kolektif, maka persoalan kepemimpinan,
keterwakilan dan kewenangan menjadi bagian penting dalam proses pengambilan
keputusan (Larson 2013). Dalam kelembagaan, hal ini terkait dengan aturan
representasi, dimana proses pengambilan keputusan yang tepat dan partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Aturan representasi
akan menentukan jenis keputusan yang dibuat dan akan menentukan biaya
transaksi (Pakpahan 1989), serta menjadi landasan bagi pembagian akses dan
pendistribusian manfaat secara adil kepada anggota kelompok (Larson 2013).
Pengelolaan SDA tidak hanya terkait dengan aturan atau norma-norma yang
berlaku di masyarakat saja, namun terkait juga dengan aturan-aturan formal yang
berlaku dan para pihak (stakeholders) spesifik dari suatu SDA. Seperti dinyatakan
North (1990) bahwa permasalahan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
pengelolaan SDA adalah aturan yang mengatur hubungan antar kelompok, karena
aturan tersebut akan menentukan perilaku kelompok. Pengguna SDA seringkali
11

bukan hanya satu individu atau kelompok, bahkan bukan hanya untuk satu tujuan
sehingga pengelolaan SDA biasanya berhubungan dengan konflik kepentingan
dari berbagai stakeholders. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami
berbagai keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan SDA (Reed et al. 2009).
Freeman dan Reed (1983) mendefinisikan stakeholders sebagai kelompok atau
individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu.
Pada dasarnya SDA dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang
terbatas, untuk itu perspeksif Malthusian memandang pemanfaatan SDA perlu
kehati-hatian. Untuk mencapai pengelolaan SDA yang berkelanjutan dibutuhkan
sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Sardjono 2004).
Salah satu cara untuk menjamin keberlanjutan SDA dengan melakukan
konservasi, yang menurut World Conservation Strategy tahun 1980 bahwa upaya
konservasi diarahkan pada tiga tujuan pokok, yaitu memelihara proses-proses
ekologi esensial dan sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman
genetik, dan terjaminnya pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari.
Kelembagaan lokal yang berada di suatu komunitas selalu berubah, dapat
menguat maupun melemah, hal ini disebabkan karena kelembagaan bersifat
dinamis (Hidayat 2007). Kelembagaan dikatakan kuat (more institutionalized) jika
dapat berjalan dengan baik, dapat ditegakkan (well enforeced), dihormati
(respected), dan efektif, tetapi jika menunjukan keadaan sebaliknya, maka
kelembagaan dapat digolongkan sebagai kelembagaan yang melemah atau kurang
melembaga (less institutioalized). Melemahnya kelembagaan lokal dalam
pengelolaan suatu SDA dapat disebabkan oleh rendahnya kapasitas kelembagaan
lokal tersebut akibat tekanan berbagai faktor eksternal, seperti aturan formal dan
atau situasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Schimd (1987) bahwa rendahnya
kapasitas kelembagaan menjadi akar penyebab ketidak mampuan sebuah
organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dalam rangka mendukung misi organisasi.
Kelembagaan lokal dalam mengelola SDA yang melemah perlu dikuatkan
agar tujuan pengelolaan SDA yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Penguatan
sendiri mengandung dua pengertian, yaitu memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan memberikan
kemampuan atau keberdayaan (Prijono dan Pranarka 1996). Penguatan dimaknai
juga sebagai upaya memberdayakan masyarakat lokal yang menjadi sebuah
konsep pembangunan yang merangkum nilai-nilai sosial (Kartasasmita 2003).
Pemberdayaan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni berpusat pada
masyarakat, partisipasi, menguatkan, dan keberlanjutan (Chambers 1995).

1.6 Kerangka Pikir

Sumber daya alam menjadi salah satu aspek penting untuk menjamin
kelangsungan kehidupan manusia. Di CBPS, SDA menjadi sumber kehidupan
utama masyarakat Mentawai, yang diambil dari berbagai ekosistem alami dan
buatan. Dalam mengelola SDA-nya, masyarakat sebagai salah satu stakeholder di
CBPS sangat dipengaruhi oleh stakeholders lain yang mempunyai kepentingan
terhadap SDA yang sama. Hal ini menciptakan suatu situasi pengelolaan SDA di
12

CBPS dengan karakteristik yang khas. Pengelolaan SDA oleh masyarakat tidak
terlepas dari aturan informal (kelembagaan lokal) yang berlaku di masyarakat
Mentawai, dan dipengaruhi pula oleh aturan formal (peraturan perundang-
undangan) yang ada. Kombinasi antara situasi dan kelembagaan yang ada,
membentuk perilaku dalam pengelolaan SDA yang berdampak pada ketiga aspek
kelestarian, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial.
Perilaku dari masyarakat yang negatif, seperti tidak menanam kembali pohon
yang ditebang setelah meramu hasil hutan atau menggunakan racun dalam
menangkap ikan, akan merusak atau mengurangi nilai dari SDA. Demikian pula
sebaliknya, perilaku masyarakat yang positif akan menjamin kelestarian SDA.
Perilaku negatif dari masyarakat mengindikasikan ketidak mampuan atau
melemahnya kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan SDA, sehingga
diperlukan penguatan kelembagan pengelolaan SDA di CBPS agar masyarakat
Mentawai dapat memanfaatkan SDA sekarang dan generasi mendatang.
Dengan asumsi bahwa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
teknologi tidak berubah selama proses penelitian, maka fokus peneliti dapat
diarahkan pada perbaikan kelembagaan (Pakpahan 1989). Kerangka pikir
penelitian penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS
disajikan pada Gambar 1.1.

1.7 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Mengintegrasikan antara kelembagaan formal dan informal khususnya yang


berbasis hak kepemilikan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya
cagar biosfer di Indonesia. Temuan ini sangat penting untuk tata kelola sumber
daya CBPS yang berkelanjutan, dan memperkuat teori kepemilikan bersama
Ostrom yang menelaah tentang kepemilikan bersama tidak selalu menyebabkan
pemanfataan sumber daya secara berlebihan karena adanya pranata sosial
(kelembagaan) masyarakat setempat yang dilegitimasi oleh seluruh anggota
masyarakatnya.

1.8 Struktur Penulisan

Penulisan disertasi ini disusun dalam delapan bab. Bab pertama menyajikan
pendahuluan yang berisi latar belakang, kerangka teoritis, kerangka fikir,
perumusan masalah, tujuan, manfaat, dan novelti penelitian. Bab kedua
menjelaskan karakteristik CBPS. Bab ketiga menjelaskan aset-aset penghidupan
Suku Mentawai di CBPS. Bab keempat menjelaskan kepemilikan dan penggunaan
lahan secara tradisional di CBPS. Bab kelima menjelaskan tentang stakeholders
dalam pengelolaan SDA di CBPS. Bab keenam menjelaskan tentang aturan
informal dan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS. Bab ketujuh merupakan
sintesis penelitian yang menjelaskan keberlanjutan dan strategi penguatan
kelembagaan lokal pengelolaan SDA di CBPS. Terakhir bab kedelapan yang
berisikan simpulan dan saran.
13

SDA sumber penghidupan


Stakeholder
Suku Mentawai di CBPS

Situasi SDA di
CBPS

Aturan Aturan formal


informal

Perilaku stakeholders
dalam pengelolaan SDA

Kelestarian ekologi Kelestarian ekonomi Kelestarian sosial

Penguatan kelembagaan Pengelolaan SDA


Suku Mentawai di CBPS

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Penguatan Kelembagaan Lokal


Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku
Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut
14

2 CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

Kepulauan Mentawai banyak menarik perhatian para naturalis karena


keterisolasian kepulauan ini dari daratan utama (Sumatera) sekitar setengah juta
tahun yang lalu. Keterisolasian ini menjadikan pulau-pulau di Mentawai
mempunyai keunikan flora, fauna, dan kebudayaan masyarakatnya. Kepulauan
Mentawai terdiri dari empat pulau besar, yaitu Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan,
dan Siberut. Pulau Siberut lebih menarik perhatian karena mempunyai hutan yang
masih luas dibandingkan dengan ketiga pulau lain dan penduduknya masih
menerapkan kebudayaan tradisional mereka.
Pulau Siberut memiliki luas sekitar 4 030 km² atau 403 000 ha3. Pulau ini
merupakan pulau terbesar dari empat pulau di Kepulauan Mentawai yang terletak
dilepas pantai barat Provinsi Sumatera Barat, Indonesia (Gambar 2.1). Pulau
Siberut terletak antara 0º 80‟-2º 00‟ LS - 98º 60‟-99º 40‟ BT. Jarak antara Pulau
Siberut dengan pulau utama (Sumatera) sekitar 155 km yang dipisahkan oleh Selat
Mentawai. Secara administrasi kepemerintahan, Pulau Siberut termasuk ke dalam
wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terdiri atas 5 kecamatan, 20 desa,

Kota Padang

P. Siberut

P. Sipora

P. Pagai Utara

P. Pagai Selatan

Gambar 2.1 Peta Kepulauan Mentawai

3
Luas Pulau Siberut berbeda dalam beberapa literatur, yaitu 4 030 km² (BTNS 2010), 3 858 km²
(Dishut Kab. Kep. Mentawai 2013), dan 3 838 km² (BPS Kab. Kep. Mentawai 2014). Perbedaan
ini dapat terjadi karena penggunaan alat dan peta yang berbeda.
15

dan 146 dusun (Lampiran 1). Kecamatan yang ada di Pulau Siberut, yaitu Siberut
Utara beribukota di Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Selatan beribukota di
Muara Siberut, Kecamatan Siberut Barat beribukota di Betaet, Kecamatan Siberut
Tengah beribukota di Saibi Samukop, dan Kecamatan Siberut Barat Daya
beribukota di Teileleu.

2.1 Karakteristik Biofisik Pulau Siberut

Pulau Siberut beriklim khatulistiwa yang panas dan lembab dengan curah
hujan yang tinggi dan tidak ada musim kemarau yang berkepanjangan. Rata-rata
curah hujan per tahun sekitar 3 320 mm. Curah hujan paling lebat turun pada
bulan April hingga Oktober, sedangkan bulan-bulan yang relatif kering pada
Februari hingga Juni. Suhu dan kelembaban relatif konstan dengan kelembaban
berkisar antara 81-85 %, sementara rata-rata suhu minimum dan maksimumnya
adalah 22ºC dan 31ºC tiap harinya.
Pulau Siberut merupakan pulau sedimen yang didominasi oleh serpihan,
endapan dan marmer berumur relatif muda. Terdapat beberapa daerah kecil yang
terdiri atas konglomerasi pra-Miocene yang mengandung lapisan karang tipis
(sista), kwarsa dan sedikit karang kapur yang mungkin terbentuk pada masa
Miocene, serta beberapa batuan vulkanis yang bersebaran yang mungkin berasal
dari ledakan gunung api di Sumatera pada masa Meiocene. Sebagian besar dari
bentukan geologis muncul pada masa Pliocene, Pleistocene dan Holocen.
Topografi Pulau Siberut dicirikan mendatar hingga berbukit dengan puncak
tertinggi 384 mdpl (meter di atas permukaan laut). Perbukitan tersebut memiliki
variasi kemiringan lereng mulai dari kemiringan 25% hingga melebihi 75%.
Daerah dataran umumnya berada pada kemiringan lereng 0-15% dengan
ketinggian mulai dari 0-50 m.
Sistem pola aliran di Pulau Siberut menunjukkan sistem pola aliran yang
komplek, umumnya membentuk pola aliran paralel sampai sub-trellis. Hal ini
diakibatkan karena kondisi medan yang non-resisten, sehingga seringkali terjadi
erosi yang menyebabkan perkembangan bentang lahan (landscape) yang
terpotong-potong dan tidak rata dengan sungai dan aliran air, serta kondisi
kawasan yang berbukit-bukit. Sistem pola aliran sungai di Pulau Siberut yang
sangat rumit menyebabkan proses regenerasi hutan sangat lambat. Peranan hutan
menjadi sangat penting mengingat fungsinya sebagai pengontrol hidrologi seluruh
pulau. Ditinjau dari batuan dasar pembentuk tanah Pulau Siberut, umumnya
berfraksi halus/debu atau berbentuk lempungan, mudah tererosi dan sifat
infiltrasinya cenderung rendah. Bukti adanya erosi yang kuat terlihat dari kondisi
air sungai yang menjadi keruh akibat adanya pengupasan pada lapisan atas tanah
khususnya lapisan humus atau rombakan organik. Infiltrasi yang rendah terlihat
dari respon aliran sungai yang kuat terhadap presipitasi. Pada saat terjadi hujan,
air sungai akan cepat naik. Hal ini disebabkan air hujan tidak sempat meresap ke
dalam tanah dan langsung mengalir menjadi air limpasan permukaan (run off),
tetapi akan cepat turun beberapa saat setelah hujan berakhir.
Di Pulau Siberut banyak mengalir sungai-sungai yang menjadi sumber air
minum, mencuci, dan media transportasi bagi masyarakat. Sungai, lokasi, dan
luasan daerah aliran sungainya (DAS) disajikan pada Tabel 2.1. Hampir semua
16

semua hulu sungai besar ini berasal dari area inti CBPS (kawasan TNS).
Sementara itu, sumber daya air dalam bentuk danau (danau gopgip) hanya
terdapat di Siberut Barat Daya seluas 200 ha.

Tabel 2.1 Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Siberut a
Lokasi Lokasi Luas DAS
Nama sungai Luas DAS (ha) Nama sungai
(kecamatan) (kecamatan) (ha)
Buga Siberut Selatan 7 068 Cimpungan Siberut Utara 13 153
Tomiang Siberut Selatan 1 501 Siberut Selatan 4 998
Kalea Siberut Selatan 15 993 Simatalu Siberut Utara 35 547
Laplap Siberut Selatan 1 469 Siberut Selatan 6 059
Mabosoa Siberut Selatan 3 383 Gurukna Siberut Utara 3 190
Maileppet Siberut Selatan 1 197 Labuhan Siberut Utara 3 535
Bajau
Makatowal Siberut Selatan 841 Murak Siberut Utara 7 396
Makerumonga Siberut Selatan 971 Puran Siberut Utara 1 274
Mangeungeu Siberut Selatan 6 180 Saibi Siberut Utara 2 158
Mapinang Siberut Selatan 3 287 Sigapokna Siberut Utara 1 265
Noinan Siberut Selatan 24 988 Sigep Siberut Utara 25 765
Pulau Masokut Siberut Selatan 1 661 Sikabaluan Siberut Utara 30 963
Putapiri Siberut Selatan 532 Sikamomui Siberut Utara 6 430
Sagulubek Siberut Selatan 14 332 Simalegi Siberut Utara 27 217
Saibi Siberut Selatan 19 647 Sirilogui Siberut Utara 5 389
Sarabua Siberut Selatan 5 673 Takungan Siberut Utara 13 526
Siberut Siberut Selatan 49 821 Tiniti Siberut Utara 3 281
Silotok Siberut Selatan 1 060 Tobekat Siberut Utara 10 553
Siribakbak Siberut Selatan 9 606
a
BPDAS Agam Kuantan (2011).

Dari aspek ekologi, ekosistem Pulau Siberut dari pantai Timur ke pantai
Barat sangat berbeda (Gambar 2.2). Di bagian pantai timur memiliki garis pantai
yang tidak beraturan dan terdapat banyak kelompok hutan mangrove, muara
sungai yang lebar, dan terumbu karang. Sedangkan, di pantai barat yang
menghadap Samudera Indonesia memiliki kelompok hutan baringtonia, pantai
yang lurus dengan tebing-tebingnya yang tinggi. Secara umum terdapat lima
ekosistem daratan yang terdapat di Pulau Siberut, yaitu hutan dipterocarp primer,
hutan campuran, hutan rawa, hutan mangrove dan hutan baringtonia. Di
lingkungan perairan juga terdapat beberapa ekosistem, yaitu terumbu karang,
padang lamun, dan estuarin.
17

Gambar 2.2 Transek Pulau Siberut (Meyers 2003)

PHKA (1995) menyebutkan bahwa hutan-hutan di CBPS dikelompokkan


dalam tujuh tipe ekosistem, yaitu: (1) hutan primer Dipterocarpaceae. Hutan ini
berada di daerah tinggi dan berbukit-bukit. Tinggi kanopi hutan umumnya sekitar
40-50 m dengan tinggi pohon sekitar dapat mencapai 50 m. Jenis pohon yang
dominan, yakni Dipterocarpus spp., Shorea spp., Vatica spp., dan Hopea spp,
selain itu dapat ditemukan juga Palaquium sp. (Sapotaceae) dan Hydnocarpus sp.;
(2) hutan primer campuran. Dijumpai pada lereng dan bukit yang lebih rendah di
bawah hutan primer Dipterocarpaceae. Banyak jenis pohon terwakili tapi tidak
ada yang dominan. Famili yang umum dijumpai, yakni Euphorbiaceae,
Myristicaceae, Dilleniaceae, Dipterocarpaceae, dan Fabaceae; (3) hutan
Dipterocarpaceae regenerasi bekas tebangan. Hutan tipe ini merupakan hutan
bekas tebangan dari beberapa perusahaan kayu yang pernah beroperasi di CBPS.
Beberapa daerah didominasi oleh tumbuhan pioneer, seperti Macaranga spp.,
Trema spp., dan Neolamarkis spp.; (4) hutan rawa air tawar. Pada tipe hutan ini
tumbuhan tingkat pohonnya terbatas dan khusus, sering didominasi oleh
Terminalia phellocarpa. Banyak terdapat di lembah dan di sekitar aliran sungai.
Lahan basah dan paling luas berada di pantai timur. Tumbuhan didominasi oleh
palem, rotan, pandan dan aroid; (5) hutan mangrove. Hutan ini dijumpai
sepanjang garis pantai dan di pulau-pulau di pantai timur. Secara umum
Rhizophora merupakan genus utama dan tersebar luas pada kelompok mangrove
di Pulau Siberut; (6) hutan rawa sagu. Hutan ini banyak terdapat di lembah-
lembah dan daerah yang tergenang; dan (7) hutan pantai. Hutan tipe ini dapat
dijumpai sepanjang pantai barat Pulau Siberut. Jenis yang umum dijumpai, antara
lain Casuarina equsetifolia, Baringtonia sp., Hibiscus tiliaceus, dan Pandanus sp.
Di dalam ekosistem-ekosistem tersebut terdapat berbagai jenis tumbuhan
dan satwa. Hasil kompilasi jenis tumbuhan dari beberapa dokumen selama
penelitian, tercatat 1 460 jenis tumbuhan dari 160 famili. Hasil ini lebih banyak
dari hasil Penelitian Biologi LIPI tahun 1995 yang mencatat sekitar 846 jenis dari
131 famili. PHKA (1995) memperkirakan 15% tumbuhan di Pulau Siberut
merupakan jenis endemik, antara lain Mesua cathairinae (Clusiaceae), Diospyros
brevicalyx (Ebenaceae), Aporusa quadrilocuralis (Euphorbiaceae), Baccaurea
dulcis (Euphorbiaceae), Drypetes subsymemetrica (Euphorbiaceace), Horsfieldia
macrothyrsa (Myristicaceace). Selain tumbuhan, terdapat pula berbagai jenis
satwa di pulau ini. Mamalia sebanyak 38 jenis yang 53% di antaranya bersifat
18

endemik pada tingkat genus, jenis, dan subjenis. Di antara mamalia tersebut,
kelompok primata menjadi perhatian utama karena bersifat endemik 100% untuk
Pulau Siberut. Primata yang menjadi flagship tersebut, yaitu bilou (Hylobates
klosii), bokkoi (Macaca siberu), joja (Presbitys potenziani), dan simakobu (Simias
concolor). Selain itu, terdapat 173 jenis burung, 77 jenis herpetofauna, 120 jenis
serangga, dan 32 jenis ikan air tawar (Nopiansyah et al. 2016).
Berdasarkan karakteristik pulau-pulau yang ada di Indonesia, Pulau Siberut
dikategorikan sebagai ekosistem pulau kecil menurut kategori Kementerian
Kelautan dan Perikanan, yaitu:
1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10 000 km2, dengan
jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200 000 orang. Pulau Siberut
memiliki luas 4 030 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 37 416 jiwa.
2. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki
batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat
insular. Secara ekologis, Pulau Siberut telah terpisah dari Pulau Sumatera
sebagai pulau induk selama lima ratus ribu tahun yang lalu, memiliki batas
fisik yang jelas, dan bersifat insular karena terisolasi dari habitat pulau induk.
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal
dan bernilai tinggi. Pulau Siberut memiliki keanekaragaman jenis yang
bersifat endemik dan empat jenis primatanya menjadi jenis flagship.
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar
aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. Pulau Siberut memiliki
daerah tangkapan air yang relatif kecil akibat jenis tanahnya yang sebagian
besar bertekstur liat. Sebagian besar air hujan langsung menjadi aliran air
permukaan (run off) yang bersama dengan sedimen masuk ke laut.
5. Sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya. Masyarakat Mentawai memiliki
kekhasan sosial dan budaya yakni hidup dalam kelompok sosial berbasiskan
pada uma. Uma merupakan satuan sosial maupun politik di masyarakat
Mentawai yang egaliter. Secara ekonomi masyarakat masih tergantung dari
perladangan (pumonean) dan hutan (leleu).

2.2 Status dan Fungsi Kawasan Hutan

Pulau Siberut sebagai besar berstatus hutan negara, yakni 91.36% dari
luasan pulau mempunyai fungsinya sebagai hutan konservasi (HK), hutan
produksi (HP), dan hutan lindung (HL), sedangkan sisanya merupakan areal
penggunaan lain (APL) seluas 8.64 %. Luas Pulau Siberut berdasarkan fungsi
lahan disajikan pada Tabel 2.2. Luasan tersebut berdasarkan hasil perhitungan
planimetris Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatera Barat atas Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut)
No. 304/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di
Provinsi Sumatera Barat. Walaupun Keputusan Menhut tersebut telah diubah
dengan Keputusan Menhut No. SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013,
perubahan tersebut tidak mengubah luasan kawasan hutan di Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
19

Tabel 2.2 Luas Pulau Siberut berdasarkan fungsi lahana


Fungsi lahan Luas (ha) Persentase
Hutan Konservasi (KPA/KSA) 180 579.88 46.80
Hutan Lindung (HL) 3 906.07 1.01
Hutan Produksi Terbatas (HPT) - -
Hutan Produksi Tetap (HP) 119 045.34 30.85
Hutan Produksi Konversi (HPK) 48 972.69 12.69
Areal Penggunan Lain (APL) 33 343.44 8.64
Total 385 847.42 100
a
Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai (2013).

Tabel di atas menunjukkan bahwa fungsi hutan terluas adalah HK yang


terdiri atas Taman Nasional Siberut (TNS) dan Hutan Suaka Alam dan Wisata
(HSAW) Teluk Saibi Sarabua. Selanjutnya HP, yang saat ini sebahagian dari
hutan tersebut di bagian utara Pulau Siberut dikelola oleh Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Salaki Summa Sejahtera (PT.
SSS) seluas 48 420 ha dan bagian tengah di terdapat IUPHHK- RE (restorasi)
seluas 79 795 ha. HL banyak terdapat di pesisir pantai timur yang didominasi oleh
hutan mangrove. APL digunakan untuk sarana dan prasarana ibukota kecamatan,
desa dan dusun, permukiman, dan perladangan. Data tersebut memperlihatkan
bahwa menurut aturan formal, ruang kelola (lahan/hutan milik) masyarakat
Mentawai sangat kecil dibandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh negara.

2.3 Masyarakat Mentawai

Asal usul orang Mentawai4 sampai saat ini masih belum jelas. Terdapat dua
kelompok pendapat tentang asal usul ini, yaitu kelompok Duyvendak yang
berpendapat bahwa orang Mentawai termasuk ras Proto-Melayu dan kelompok
kedua berdasarkan pendapat Stibbe dan Graaff yang berpendapat bahwa orang
Mentawai berasal dari Polinesia (Coronese 1986). Nenek moyang orang Mentawai
pertama kali datang ke Pulau Siberut diperkirakan sekitar 3 000 tahun yang lalu.
Kebudayaan orang Mentawai diperkirakan sezaman dengan kebudayaan Dongson
di Asia Tenggara. Asumsi ini didasarkan dari pola hias benda-benda seni dari
kayu yang coraknya mirip dengan corak benda-benda perunggu dari wilayah
Dongson, seperti bentuk segitiga pada pola geometrik di nekara. Walaupun
demikian, peradaban lama Suku Mentawai tidak mengenal logam. Kebudayaan
Mentawai sarat dengan kebudayaan yang dikenal pada masa prasejarah dengan
ditemukannya kapak batu di Pulau Siberut. Kebudayaan tradisional di Kepulauan
Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius masih menampakkan
wujud neolitik atau zaman batu muda (Schefold 1991).
Menurut orang Mentawai, mereka satu keturunan yang berasal dari daerah
Simatalu yang terletak di bagian Barat Pulau Siberut, kemudian menyebar ke

4
Masyarakat Siberut yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Suku Mentawai yang berdiam di
Pulau Siberut dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
20

seluruh pulau-pulau di Kepulauan Mentawai yang terpisah menjadi beberapa uma.


Tipe kebudayaan seperti di Mentawai diperkirakan menyebar di seluruh Indonesia
pada masa lalu, tetapi telah dipengaruhi oleh kepercayaan lain yang datang dari
daerah luar, seperti Hindu, Budha, Nasrani, dan Islam (Coronese 1986). Walaupun
satu suku, bahasa Suku Mentawai di CBPS dapat dibedakan ke dalam beberapa
dialek, yaitu dialek Teileleu, dialek Maileppet, dialek Saireket, dialek Silaoinan,
dialek Saibi, dialek Paipajet, dialek Sikabaluan, dialek Simatalu, dialek Tarekan,
dan dialek Simalegi.
Suku Mentawai menganut sistem patrilinial yang kehidupan sosialnya
berada dalam uma5. Dasar kehidupan di dalam uma adalah kebersamaan sesama
anggota uma (sipuuma). Seluruh makanan dan hasil hutan milik uma, serta
pekerjaan bersama dibagi dalam satu uma. Secara tradisional, masyarakat
bermukim di sekitar rumah tradisional yang juga disebut uma. Kelompok
patrilinial ini terdiri atas beberapa keluarga yang bermukim di sepanjang sungai-
sungai besar.
Menurut kepercayaan tradisional Suku Mentawai yang disebut Arat
Sabulungan, segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa. Roh pada
makhluk hidup disebut simagre, sedangkan roh pada benda mati sering disebut
sebagai ketcat. Selain itu dikenal juga roh-roh yang menghuni suatu ruang
(spasial), seperti roh-roh yang menghuni langit disebut taika manua, roh-roh yang
menghuni hutan disebut taika leleu, roh-roh yang menghuni tanah disebut taika
baga, atau roh-roh yang menghuni air disebut taika koat. Jika keharmonisan
dengan tubuh tidak dipelihara, simagre dapat memisahkan dari tubuh seseorang
dan bergentayangan bebas, kondisi ini dapat menyebabkan seseorang sakit.
Begitupula, kegiatan-kegiatan manusia yang dapat menyebabkan roh-roh (taika)
marah akan mengakibatkan seseorang sakit. Untuk menjaga atau mengembalikan
keharmonisan dengan ro-roh, dilakukan pesta/ritual adat (punen, puliaijat, lia)
bersamaan dengan aktivitas manusia atau dalam proses pengobatan. Ritual adat ini
dilakukan untuk mengurangi kemarahan atau menghibur taika agar mereka
senang. Ritual diperantarai oleh para sikerei. Sikerei dipercaya oleh masyarakat
Mentawai dapat berkomunikasi dengan roh-roh yang tidak dapat dilihat oleh
orang biasa. Dalam pelaksanaan ritual adat, roh-roh diberikan sajian yang
disediakan oleh sipuuma, uma dihiasi, daging babi disajikan, dan diadakan tarian
(turuk) agar roh-roh menjadi senang. Selama ritual diadakan, beberapa pantangan
(kei-kei) harus dijalankan oleh sipuuma dan sikerei.
Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari dan mendasari
etika kehidupan masyarakat Mentawai bahwa diri manusia, alam dan hubungan
antara keduanya berada dalam perspektif religius dan perspektif spiritual. Alam
dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Sikap batin dan perilaku yang
salah dan merusak hubungan dengan sesama dan alam dapat mendatangkan
malapetaka, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi komunitas. Komunitas di sini
adalah komunitas ekologis, yaitu manusia dan lingkungannya, bukan semata

5
Uma mempunyai beberapa makna, yaitu uma adalah unit ekonomi dan politik orang Mentawai,
terdiri dari 2-10 keluarga inti atau 10-60 individu yang juga menjadi unit kepemilikan lahan/tanah.
Uma juga merujuk pada nama rumah adat tradisional yang dijadikan sebagai tempat berkumpul
dan melakukan ritual (Darmanto dan Setyowati 2012). Selain itu, Hernawati (2007) menyatakan
bahwa uma mempunyai tiga konsep, yaitu sebagai konsep pola pemukiman tradisional, konsep
rumah tradisional, dan sistem kekerabatan orang Mentawai.
21

manusia dengan manusia. Apabila suatu kesalahan dilakukan diperlukan


pemulihan kembali hubungan yang rusak untuk mengembalikan harmoni
kehidupan dalam bentuk ritual adat. Intinya, cara berpikir, berperilaku, dan
seluruh ekspresi dan penghayatan budaya Masyarakat Mentawai sangat
dipengaruhi oleh hubungan mereka dengan alam (Coronese 1986, BTNS 2010,
Darmanto dan Setyowati 2012).

2.4 Pengelolaan Cagar Biosfer di Cagar Biosfer Pulau Siberut

Program Man and the Biosphere (MAB) Indonesia dimulai sejak tahun 1972
setelah terbentuknya Program MAB-UNESCO (The United Nation Educational
Scientific and Cultural Organization) pada tahun 1968. Program MAB dibentuk
untuk meningkatkan kualitas hubungan antara manusia dengan lingkungannya
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu dibentuk untuk
mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya alam yang dampaknya
menimbulkan degradasi keanekaragaman hayati (biodiversity lost), kemunduran
kualitas lingkungan dan tidak terencananya tataguna lahan. Hal ini dipicu karena
tujuan pemanfataan keanekaragaman sumber daya hayati lebih mementingkan
kepentingan ekonomi dibandingkan dengan kepentingan sosial budaya dan
konservasi. Oleh karena itu, pembentukan Program MAB mempunyai misi untuk
menyeimbangkan tujuan yang tampaknya bertentangan antara konservasi
lingkungan dengan pembangunan sosial ekonomi serta memelihara nilai-nilai
luhur budaya suatu bangsa. Secara singkat Program MAB adalah untuk
mempromosikan dan mendemontrasikan keseimbangan hubungan antara manusia
dengan alam melalui pendekatan bio-regional (LIPI 2004).
Dalam melaksanakan misinya, pada tahun 1974, Program MAB-UNESCO
mengembangkan konsep yang diperkenalkan sebagai biosphere reserve (cagar
biosfer). Dalam konsep ini tujuan Program MAB didemontrasikan,
diimplementasikan, diuji, dan diperbaiki. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) sebagai pemegang otoritas ilmiah ditunjuk mewakili Indonesia
melaksanakan misi yang diemban Program MAB-UNESCO di Indonesia. LIPI
membentuk Komite Nasional Program MAB-UNESCO Indonesia (KN MAB)
untuk melaksanakan program tersebut, khususnya untuk mengembangkan cagar
biosfer. Dalam mengimplementasikan dan mengembangkan konsep cagar biosfer
di Indonesia, KN MAB Indonesia didukung oleh Direktorat Jenderal Konservasi
dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Ditjen KSDAE) Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta pemerintah daerah tempatan cagar
biosfer. Sejak tahun 1977, Indonesia telah mengadopsi konsep cagar biosfer
dengan mulai mendeklarasikan empat kawasan konservasi sebagai cagar biosfer
dan hingga sekarang telah dideklarasikan sebelas cagar biosfer (Tabel 2.3).
Pelaksanaan Program MAB Indonesia meliputi tiga rencana aksi yang terdiri
atas: pertama mengelola kawasan melalui pendekatan ekosistem dalam
memadukan pengelolaan daratan, air, dan keanekaragaman hayati untuk
konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use) secara adil. Kedua,
memberdayakan institusi dan kemampuan sumber daya manusia agar
mempromosikan pemanfaatan SDA (daratan, air dan keanekaragaman hayati)
yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas interaksi antara manusia dengan
22

lingkungannya. Ketiga, memacu keterpaduan pendekatan mendasar ilmiah dengan


sosial budaya untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati, daratan dan
air yang berkelanjutan.

Tabel 2.3 Cagar biosfer di Indonesia hingga tahun 2016


Tahun Luas total Luas area
Cagar biosfer Area inti Provinsi
deklarasi (ha) inti (ha)a
Cibodas 1977 167,000 24,500 TN Gunung Gede Jawa Barat
Pangrango
Komodo 1977 1,118,003 173,300 TN Komodo Nusa
Tenggara
Timur
Tanjung Puting 1977 969,699 501,989 TN Tanjung Puting Kalimantan
Tengah
Lore Lindu 1977 2,182,992 217,991 TN Lore Lindu Sulawesi
Tengah
Pulau Siberut 1981 403,000 190,500 TN Siberut Sumatera
Barat
Gunung Leuser 1981 5,294,762 1,094,692 TN Gunung Leuser Aceh dan
Sumatera
Utara
Giam Siak 2009 705,270 178,722 SM Giam Siak Riau
Kecil-Bukit Batu Kecil, SM Bukit
Batu, HP
Wakatobi 2012 1,390,000 54,568 TN Wakatobi Sulawesi
Tenggara
Bromo Tengger 2015 413,375 78,145 TN Bromo Tengger Jawa Timur
Semeru-Arjuno Semeru, Tahura R.
Soerjo
Taka Bonerate 2015 4,350,736 530,765 TN Taka Bonerate Sulawesi
Selatan
Belambangan 2016 678,947 127,856 TN Alas Purwo, TN Jawa Timur
Baluran, TN Meru
Betiri, CA Kawah
Ijen
a
TN: Taman Nasional, SM: Suaka Margasatwa, CA: Cagar Alam, HP: Hutan Produksi, Tahura:
Taman Hutan Raya.

Dalam melakukan kegiatannya, KN MAB Indonesia menyusun program


yang mengacu pada:
 Strategi Seville. Untuk mencapai misi Program MAB, pada tahun 1995
UNESCO menyelenggarakan pertemuan pakar internasional di Seville,
Spanyol yang melahirkan Seville Strategy (Strategi Seville). Strategi Seville
berisikan rekomendasi kegiatan aksi yang harus diambil untuk
mengembangkan cagar biosfer hingga Abad 21. Strategi ini tidak mengulangi
prinsip dasar Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD-Convention on
Biological Diversity) atau Agenda 21, tetapi mengidentifikasi peran khusus
dari cagar biosfer dalam membangun visi baru tentang hubungan antara
23

konservasi dan pembangunan. Oleh karena itu, Strategi Seville dibuat lebih
terarah pada beberapa prioritas di tingkat internasional, nasional dan lokal,
berupa memanfaatkan cagar biosfer untuk konservasi SDA dan budaya,
memanfaatkan cagar biosfer sebagai model pengelolaan lahan dengan
pendekatan untuk pembangunan yang berkelanjutan, memanfaatkan cagar
biosfer untuk penelitian, monitoring, pendidikan dan pelatihan, serta
mengimplementasikan konsep cagar biosfer.
 Main Line of Action (MLA). MLA merupakan Program MAB Internasional
dihasilkan dari pertemuan The International Coordianting Council MAB
(ICC-MAB) ke-17 pada bulan Maret 2002. Pertemuan ini menyetujui bahwa
Jaringan Cagar Biosfer Dunia atau World Network of Biosphere Reserve
(WNBR) merupakan perangkat utama mengimplementasikan kegiatan MAB.
WNBR dikelompokkan menjadi dua, yaitu MLA-1 mengenai pengelolaan
SDA dan masalah pembangunan, serta MLA-2 mengenai usaha untuk
memajukan dasar ilmiah, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan
komunikasi. MLA-1 menekankan penggunaan konsep cagar biosfer untuk
pembangunan berkelanjutan (Biosphere reserve: approaches to sustainable
development). Dalam konsep ini cagar biosfer dipakai sebagai tempat untuk
menguji dan membangun cara untuk hidup yang berkelanjutan melalui
program terpadu pengelolaan SDA dan konservasi keanekaragaman hayati,
dengan sasaran untuk memberikan sumbangan kepada upaya pengentasan
kemiskinan, dan peningkatan kondisi kehidupan terutama masyarakat
pedesaan. Cagar biosfer menjadi tempat untuk memperagakan pendekatan
ekosistem seperti yang disarankan dan sedang dikembangkan oleh CBD, dan
merupakan komponen kunci dalam implementasi WSSD (World Summit on
Sustainable Development). MLA-2 dirancang untuk membantu mengurangi
kehilangan keanekaragaman hayati (reduce biosdiversity lost) melalui ilmu
pengetahuan dan pembangunan kapasitas dalam konteks memberi layanan
bagi keberlanjutan ekologi (sciences and capacity building in the service of
ecological sustainability) yang merupakan implementasi WSSD untuk
mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati pada tahun 2010. Penelitian
dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia pada tingkat lembaga dan
individu akan merupakan kontribusi untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengamanan partisipasi masyarakat lokal untuk melestarikan dan mengelola
ekosistem serta menjamin pemeliharaan ekologi yang baik masih merupakan
doktrin MAB.
 Madrid Action Plan (MAP periode 2008-2013). Pada kongres MAB pada
Februari 2008 di Madrid telah dihasilkan MAP yang mengamanahkan bahwa
cagar biosfer harus mampu menjawab tantangan berupa perubahan iklim
secara global (global climate change), mendapatkan layanan ekosistem
(ecosystem services) yang lebih baik, dan mengantisipasi urbanisasi. Selain
itu, dalam kongres tersebut telah dikukuhkan kembali “Seville Strategy”
bahwa cagar biosfer yang berpotensi sebagai tempat pembelajaran untuk
menghadapi permasalahan memudarnya pengetahuan tradisional dan
keragaman budaya, kependudukan, antisipasi terhadap perubahan lingkungan
baik dalam tindakan adaptasi maupun mitigasi. Kesepakatan ini menjadi
sangat penting karena cagar biosfer merupakan wilayah perpaduan antara
kepentingan konservasi ekosistem dan pembangunan berkelanjutan melalui
24

tiga pilarnya, yaitu konservasi, penelitian dan ilmu pengetahuan, serta


pembangunan. Dalam kongres tersebut, selain terbentuk MAP juga dihasilkan
“Madrid Declaration” yang merekomendasikan empat masalah pokok yang
saling berkaitan, yaitu kerjasama, pengelolaan dan komunikasi; zonasi dan
keterkaitan antar zonasi; ilmu pengetahuan dan peningkatan kapasitas sumber
daya manusia; serta kemitraan.
 Strategi Baru Pengelolaan Cagar Biosfer 2016-2025 (New Strategy Biosphere
Reserve Management). Pada Kongres Dunia Cagar Biosfer ke-4 (4th World
Congress of Biosphere Reserve) tahun 2016 di Lima, Peru yang menetapkan
tujuan strategis cagar biosfer, yaitu: (1) melestarikan keanekaragaman hayati,
melakukan restorasi ekosistem dan meningkatkan jasa ekosistem serta
mempercepat tercapai pembangunan yang berkelanjutan; (2) berkontribusi
pada program pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan keadilan ekonomi
bagi masyarakat dan membangun pemukiman yang layak; serta (3)
memfasilitasi pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan berkaitan
dengan pemanfaatan SDAH dan ekosistemnya secara berkelanjutan dalam
rangka pembangunan ekonomi berkelanjutan, dan 4) dukungan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim dan aspek lain secara global terhadap perubahan
lingkungan. Untuk mencapai tujuan strategis tersebut, maka disusun Area
Aksi Strategis MAB untuk 2016-2025, yang terdiri atas:
a) WNBR berfungsi efektif sebagai model (daerah/situs) untuk pembangunan
berkelanjutan;
b) Inklusif, dinamis, dan berorientasi pada hasil kolaborasi dalam jejaring
MAB dan WNBR;
c) Kemitraan yang efektif dan pendanaan yang cukup dan berkelanjutan
untuk MAB dan WNBR;
d) Komprehensif, modern, terbuka, dan komunikasi yang transparan serta
berbagi data dan informasi; dan
e) Pengelolaan yang efektif pada MAB dan WNBR.
 Kontekstual keadaan dan kondisi Indonesia. Penyusunan Program MAB
haruslah mengacu pula pada kondisi Indonesia secara aktual, sehingga
dampaknya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.

Keunggulan dari penerapan konsep cagar biosfer terletak pada perpaduan


tiga fungsi yang dimilikinya, yaitu: pertama fungsi konservasi sumber daya hayati
dan ekosistem serta keragaman budaya yang memberikan kontribusi pada
konservasi lansekap, ekosistem, jenis dan plasma nutfah serta keragaman budaya.
Kedua, fungsi pembangunan yang menumbuhkan dan memperkaya pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dan bijaksana baik secara ekologi maupun budaya.
Ketiga, fungsi pendukung berbagai kegiatan logistik termasuk penelitian,
pendidikan, pelatihan dan pemantauan yang terkait dengan masalah konservasi
dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional maupun
global. Dalam rangka mengintegrasikan ketiga fungsi tersebut, maka
penerapannya melalui sistem pembagian ruang atau zonasi cagar biosfer (Gambar
2.3).
25

Gambar 2.3 Fungsi dan sistem zonasi cagar biosfer

Kawasan CBPS meliputi Pulau Siberut dan pulau-pulau kecil yang berada di
sekitarnya (Gambar 2.4). Penerapan konsep zonasi cagar biosfer di CBPS
berdasarkan Rencana Pengelolaan Terpadu tahun 2013-2022, dijelaskan berikut:

Area inti
Zona Penyangga
Area Transisi

Gambar 2.4 Peta zonasi Cagar Biosfer Pulau Siberut

2.4.1 Area Inti (Core Area)

Dalam konsep zonasi cagar biosfer, area inti merupakan kawasan untuk
pelestarian. Untuk itu, kawasan tersebut harus mempunyai perlindungan hukum
26

dalam jangka panjang untuk melestarikan keanekaragaman hayati, memantau


ekosistem yang tidak terganggu dan melakukan penelitian serta kegiatan-kegiatan
lain yang sifatnya yang tidak merusak, seperti pendidikan dan pelatihan. Area inti
cagar biosfer tidak harus berupa hutan atau lahan milik negara, lahan milik private
atau komunal dapat pula dijadikan sebagai area inti (LIPI 2004). Di Indonesia,
lahan berhutan yang mempunyai perlindungan hukum dalam jangka panjang
kebanyakan berada pada kawasan hutan negara, dan yang fungsinya menyerupai
area inti cagar biosfer adalah kawasan konservasi. Sehingga, hampir semua area
inti cagar biosfer di Indonesia adalah kawasan konservasi berupa taman nasional.
Area inti CBPS merupakan kawasan hutan konservasi (HK) berupa TNS
seluas 190 500 ha (47.27%) yang membujur dari utara ke selatan di bagian barat
Pulau Siberut. Area inti ini berbatasan dengan zona penyangga. Di antara kedua
area ini sudah ditata batas sepanjang 98.38 km yang merupakan batas persekutuan
TNS dengan eks. HPH-HA PT. Koperasi Andalas Madani (KAM) sepanjang
69.10 km dan IUPHHK-HA PT. SSS sepanjang 29.28 km. Batas TNS ini masih
belum selesai, karena di ujung selatan area inti sepanjang 4.62 km masih belum
ditata batas hingga ke pantai begitupula dengan garis pantai belum diukur (Ditjen
KSDAE 2013). Pengelolaan zona inti mengikuti pengelolaan kawasan TNS yang
juga menggunakan sistem zonasi.
Dari aspek fisik, secara umum topografi area inti CBPS berbukit-bukit mulai
dari bagian tengah pulau dan melandai ke arah barat hingga ke pantai. Terdapat
tebing-tebing curam di pantai barat dan punggung-punggung bukit yang tajam
dengan anak-anak sungai disela-selanya. Akibat proses geologi yang panjang
menyebabkan pola drainase di Pulau Siberut menjadi komplek. Hampir semua
sungai besar di Pulau Siberut berhulu di area inti.
Ekosistem yang terdapat di area inti, meliputi ekosistem hutan primer
dipterocarpaceae yang terletak pada bagian puncak dan punggung bukit,
ekosistem hutan primer campuran merupakan tipe ekosistem yang paling luas dan
memiliki keragaman jenis yang tinggi dan terdapat di lembah sampai ke lereng
bukit di bawah hutan dipterocarpaceae, ekosistem hutan sekunder yang terletak
dekat pemukiman tradisional dan aliran sungai di bagian barat area inti, dan
ekosistem pantai yang terletak di bagian barat area inti yang berhadapan langsung
dengan Samudera Indonesia (Tabel 2.4).

Tabel 2.4 Ekosistem utama di tiap zona di Cagar Biosfer Pulau Siberut a
Zona
Ekosistem
Area inti Zona penyangga Area transisi
Hutan primer dipterocarpaceae √ √ -
Hutan primer campuran √ √ √
Hutan sekunder √ √ √
Hutan pantai √ √ √
Rawa air tawar - √ √
Mangrove - √ √
Rawa sagu - √ -
a
Diolah dari data Ditjen KSDAE (2013).
27

Satwa dan tumbuhan yang ada di area inti CBPS hampir dapat ditemukan di
zona lain tergantung habitat atau ekosistemnya. Namun yang membedakan adalah
kuantitasnya, dimana satwa dan tumbuhan di area inti lebih melimpah
dibandingkan zona lain. Hal ini dapat dilihat dari tutupan hutan di area inti yang
masih baik, sehingga masih menyediakan habitat yang ideal bagi berkembang
biaknya hidupan liar, khususnya satwa yang dilindungi. Perkiraan ukuran populasi
primata endemik di area inti CBPS dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Perkiraan ukuran populasi primata endemik di Taman Nasional Siberut
Jumlah individu (ekor) pada tahun
Primata
2005a 2015b
Hylobates klossii (bilou) 10 484 (6 206-17 713) 19 500 (18 000-21 000)
Simias concolor (simakobu) 14 112 (8 252- 24 133) 10 750 (6 000-15 500)
Presbytis siberu (joja) 17 384 (11 014-27 439) 5 550 (1 600- 9 500)
Macaca siberu (bokkoi) 9 248 (4 639-18 438) 23 500 (17 000-30 000)
a
Whittaker (2005) dalam Quinten et al. (2015); bQuinten et al. (2015).

Di area inti terdapat tiga permukiman, yaitu Desa Simatalu, Desa


Sagulubbek, dan Desa Simalegi dengan jumlah penduduk sebanyak 6 054 jiwa.
Masyarakat di area inti masih sangat menggantungkan hidup pada SDA yang
berada di hutan. Selain sebagai sumber penghasilan, hutan juga terkait dengan
kebudayaan Mentawai. Mata pencaharian utama penduduk di zona inti dari
berladang. Kebutuhan pangan seperti sagu, keladi dan ubi diambil dari ladang
(pumonean), sedangkan untuk kebutuhan lain yang harus dibeli mereka
memperoleh uang dari hasil penjualan produk hasil hutan (rotan, gaharu) dan hasil
ladang. Penduduk menjual hasil hutan dan ladang tersebut kepada pedagang
pengumpul di desa/dusun.

2.4.2 Zona Penyangga (Buffer Zone)

Zona penyangga merupakan wilayah yang mengelilingi atau berdampingan


dengan area inti. Fungsi zona penyangga adalah untuk melindungi area inti dari
dampak kegiatan manusia. Zona penyangga dapat berupa lahan milik private,
komunal, maupun negara. milik individu, organisasi, lembaga, swasta dan lain-
lainnya. Pengelolaan zona penyangga tetap berada pada pemiliknya. Cara-cara
pengelolaan di zona penyangga mengikuti berbagai ketentuan yang ditetapkan
oleh peraturan pemerintah, sehingga berbagai kegiatan yang dapat dilakukan di
zona ini adalah kegiatan yang secara ekologi dapat dipertanggung jawabkan
seperti penelitian, pendidikan, pelatihan, ekoturisme dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan atau yang dapat diperbaharui (LIPI
2004).
Zona penyangga CBPS seluas 128 277 ha (31.83%) yang terdiri atas hutan
produksi tetap (HPT), hutan lindung (HL), serta hutan suaka alam dan wisata
(HSAW). Zona penyangga ini terletak sepanjang garis batas kawasan TNS di
bagian timur yang membujur dari utara ke selatan Pulau Siberut (BTNS 2012). Di
28

bagian utara, merupakan wilayah kerja IUPHHK-HA PT. SSS seluas 48 420 ha
yang beroperasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 413/Menhut-
II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 yang sampai saat ini masih beroperasi.
Sedangkan di bagian tengah dan selatan dahulunya terdapat konsesi kayu PT.
KAM dan telah berhenti beroperasi tahun 2007. Di areal eks PT. KAM tersebut,
saat ini terdapat IUPHHK-RE PT. Global Green. Pengelolaan di HP dan HL
mengikuti aturan dari Kementerian LHK melalui Dinas Kehutanan Kabupaten/
Provinsi.
Topografi di zona penyangga bagian tengah tidak jauh berbeda dengan area
inti yang didominasi oleh perbukitan, sedangkan di bagian pantai Timur lebih
landai. Terdapat punggung-punggung bukit yang tajam dengan anak-anak sungai
disela-selanya. Di bagian Selatan terdapat banyak pulau-pulau kecil.
Ekosistem di zona penyangga merupakan ekosistem yang paling lengkap
(Tabel 2.4). Ekosistem yang terdapat pada zona penyangga, yaitu hutan primer
dipterocarpaceae, hutan primer campuran, hutan sekunder, hutan pantai, hutan
rawa air tawar, mangrove dan rawa sagu. Satwa dan tumbuhan di zona penyangga
hampir sama dengan area inti. Namun kuantitas satwa dan tumbuhan di area inti
lebih melimpah dibandingkan zona penyangga, hal ini disebabkan oleh tekanan
terhadap habitat satwa di zona penyangga lebih berat baik dibandingkan area inti
dari pembukaan areal perladangan oleh masyarakat maupun dengan adanya
keberadaan konsesi kayu.
Di zona penyangga terdapat tiga permukiman, yaitu Desa Matotonan,
Bojakan, dan Sigapokna dengan jumlah penduduk sebanyak 4 096 jiwa.
Masyarakat di zona penyangga masih sangat bergantung pada sumber daya hutan,
seperti masyarakat di area inti.

2.4.3 Area Transisi (Transition Area)

Area transisi ditujukan untuk kerjasama dengan masyarakat setempat. Area


ini berdampingan dengan zona penyangga. Status kepemilikan area transisi dapat
berupa lahan milik private, komunal, maupun negara. Area ini merupakan tempat
melaksanakan kegiatan pengembangan berbagai model pembangunan
berkelanjutan, dimana berbagai pihak pemilik lahan dapat bersama-sama dengan
pemangku kepentingan lainnya mengembangkan pengelolaan SDA berkelanjutan.
Zona penyangga dan area transisi berfungsi sebagai koridor yang berfungsi untuk
melindungi dan menjamin fungsi area inti sebagai kawasan konservasi SDA
hayati. Agar pengelolaan kawasan cagar biosfer memiliki efektivitas tinggi, maka
setiap zona harus memiliki batas yang jelas. Kepastian tentang batas zona
kawasan cagar biosfer diperlukan dalam implementasi pengembangan setiap zona
(LIPI 2004).
Area transisi CBPS mempunyai luas 84 223 ha (20.90%) yang terdiri atas
hutan produksi konversi (HPK), areal penggunaan lain (APL), dan lahan milik
masyarakat. Area transisi berada di bagian Timur pulau yang membujur dari Utara
ke Selatan. Topografi area transisi cukup landai dengan ketinggian kurang dari
100 mdpl.
Ekosistem utama yang terdapat pada area transisi, yaitu ekosistem hutan
pantai, ekosistem rawa, ekosistem mangrove, hutan sekunder, dan ekosistem
hutan primer campuran (Tabel 2.4). Ekosistem mangrove paling luas di area ini
29

berada di Teluk Katurai, Teluk Saibi Sarabua, Teluk Cimpungan, Teluk Subeleng,
dan Teluk Pokai. Terdapat pula ekositem hutan sekunder yang dahulunya
merupakan bekas areal penebangan konsesi kayu di era 1970-an hingga 1980-an,
dan di era 1990-an merupakan areal izin penebangan kayu (IPK).
Di dalam area transisi ini terdapat 14 desa dalam 4 wilayah kecamatan
dengan jumlah penduduk sebanyak 25 019 jiwa. Desa dan jumlah penduduknya di
area transisi dapat dilihat pada Tabel 2.6. Beberapa pemukiman di area ini
merupakan pusat ekonomi di Pulau Siberut seperti Desa Muara Siberut dan Muara
Sikabaluan. Di kedua desa ini, sarana prasarana lebih memadai dibandingkan desa
lain dan mempunyai pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Pulau Siberut.

Tabel 2.6 Desa di area transisi Cagar Biosfer Pulau Siberut


Desa Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa)
Muara Siberut Siberut Selatan 2 546
Maileppet Siberut Selatan 1 383
Muntei Siberut Selatan 1 375
Madobak Siberut Selatan 2 093
Katurei Siberut Selatan 2 000
Saibi Samukop Siberut Tengah 2 738
Saliguma Siberut Tengah 2 176
Cimpungan Siberut Tengah 1 157
Taileleu Siberut Barat Daya 2 934
Muara Sikabaluan Siberut Utara 2 215
Mongan Poula Siberut Utara 943
Malancan Siberut Utara 1 863
Sotboyak Siberut Utara 562
Sirilogui Siberut Utara 1 034
Total 25 019

Penduduk di area transisi yang berada di pedalaman pulau masih sangat


bergantung pada sumber daya hutan. Mata pencaharian utama penduduk adalah
berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sama dengan penduduk di area
inti dan zona penyangga. Penduduk yang bermukim di tepian pantai, pekerjaannya
lebih beragam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain berladang sebagian
lagi menjadi nelayan, pedagang, penyedia jasa, pegawai negeri, dan bekerja pada
perusahaan yang ada di pulau. Di pantai Timur ini, interaksi masyarakat lokal
dengan pendatang sangat intensif terjalin sejak lama terutama pendatang dari Suku
Minang, Batak, Nias, dan Jawa.
30

3 ASET-ASET PENGHIDUPAN SUKU MENTAWAI


DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

3.1 Pendahuluan

Sumber daya alam (SDA) yang melimpah tidak membuat kehidupan


masyarakat Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS) lebih baik. Hal ini
diperlihatkan dari kategori tingkat kemiskinan yang ditunjukkan oleh indeks
pembangunan manusia bahwa Kabupaten Kepulauan Mentawai (termasuk
masyarakat Siberut) tertinggi di Provinsi Sumatera Barat, bahkan di Indonesia
atau dengan kata lain masyarakat Mentawai dikategorikan sebagai masyarakat
miskin (BPS 2015). Di sisi lain, masyarakat Mentawai di CBPS dikelilingi oleh
SDA yang melimpah yang dapat menopang keberlanjutan penghidupan mereka
(Munazar 2004, Meyers et al. 2006, BTNS 2010).
Penghidupan berkelanjutan didefinisikan sebagai: “suatu penghidupan yang
meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumber daya, claims
dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk hidup: suatu
penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat mengatasi dan memperbaiki diri
dari tekanan dan bencana, menjaga atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset,
serta menyediakan penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan
yang memberi sumbangan terhadap penghidupan lain pada tingkat lokal dan
global dalam jangka pendek maupun jangka panjang” (Chambers 1995).
Pendekatan pembangunan berbasis penghidupan berkelanjutan merupakan
pendekatan pembangunan kontemporer yang berusaha mengoreksi pendekatan
pembangunan berbasis modernisasi yang kurang bersahabat dengan lingkungan.
Pendekatan penghidupan berkelanjutan berusaha mencapai derajat pemenuhan
kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi secara adil dan seimbang. Pencapaian
derajat kesejahteraan didekati melalui kombinasi antara aktivitas dan penggunaan
aset yang ada di masyarakat (Ellis 2000).
Untuk melihat aset-aset penghidupan masyarakat dalam menjalani
penghidupan berkelanjutan mereka, DFID (1999) membangun suatu kerangka
kerja penghidupan berkelanjutan yang dapat digunakan untuk memahami
penghidupan masyarakat, terutama masyarakat miskin atau dianggap “miskin”.
Kerangka kerja tersebut berdasarkan lima aset inti (modal) yang dimiliki oleh
masyarakat, yaitu: modal manusia (human capital), modal alam (natural capital),
modal finansial (financial capital), modal fisik (physical capital), dan modal
sosial (social capital). Modal manusia berupa keterampilan, pengetahuan,
kemampuan tenaga kerja, dan tingkat kesehatan yang baik yang secara bersama-
sama memungkinkan masyarakat untuk mengejar strategi penghidupan yang
berbeda dan mencapai tujuan penghidupan mereka. Modal alam berupa
ketersediaan SDA yang dapat mengalirkan sumber daya dan jasa lingkungan yang
berguna untuk penghidupan masyarakat. Modal fisik terdiri atas infrastruktur dan
atau peralatan yang dibutuhkan oleh masyarakat agar lebih produktif dalam
mendukung penghidupan mereka. Modal finansial merupakan sumber daya
keuangan yang digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan penghidupan
mereka yang terdiri atas simpanan keuangan dan aliran keuangan secara reguler.
Modal sosial merupakan sumber daya sosial yang digunakan masyarakat untuk
31

mengejar tujuan mata pencaharian mereka yang terdiri atas: (1) jaringan dan
keterhubungan masyarakat, baik vertikal atau horizontal yang dapat meningkatkan
kepercayaan dan kemampuan untuk bekerja bersama dan memperluas akses ke
lembaga yang lebih luas; (2) keanggotaan dari kelompok yang lebih diformalkan
yang sering membutuhkan kepatuhan terhadap aturan, norma dan sanksi yang
disepakati bersama atau umumnya diterima; serta (3) hubungan kepercayaan,
timbal balik dan pertukaran yang memfasilitasi kerjasama, mengurangi biaya
transaksi dan dapat memberikan dasar untuk jaring pengaman informal di antara
masyarakat.
Dalam menjalani kehidupannya Suku Mentawai di CBPS membutuhkan
sumber daya yang ada di sekitarnya. Keberadaan sumber daya ini membuat
masyarakat Mentawai mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan
masyarakat lain. Oleh karena itu, sangat penting melihat gambaran kenyataan
yang lebih utuh tentang realitas penghidupan masyarakat Mentawai di CBPS
untuk mengelola SDA mereka dalam bentuk aset-aset penghidupan yang mereka
miliki.

3.2 Metode

Penelitian dilakukan di CBPS dengan lokasi pengumpulan data di Desa


Matotonan di Kecamatan Siberut Selatan, Desa Saibi Samukop di Kecamatan
Siberut Tengah, dan Desa Sagulubbek di Kecamatan Siberut Barat Daya,
Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan
pada bulan Agustus 2014 hingga Mei 2015. Lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.1.
Ketiga lokasi penelitian dipilih karena mewakili tiga zona dalam konsep
cagar biosfer. Desa Saibi Samukop dipilih karena terletak di area transisi yang
sebagian besar masyarakatnya masih menggantungkan hidup pada SDA di area
transisi dan zona penyangga CBPS. Masyarakat di Desa Saibi Samukop telah
mengalami banyak interaksi dengan pendatang, termasuk pernah berinteraksi
intensif dengan kegiatan pengusahaan hutan, dan lebih modern dibandingkan
kedua desa yang akan diteliti. Desa Matotonan dipilih karena terletak di zona
penyangga CBPS yang sebagian besar masyarakatnya masih menggantungkan
hidupnya pada SDA di tiga zona CBPS. Desa Sagulubbek dipilih karena terletak
di area inti CBPS (Taman Nasional Siberut) yang sebagian besar masyarakatnya
masih menggantungkan hidupnya pada area inti. Di zona ini, interaksi masyarakat
lokal dengan pendatang masih terbatas karena lokasi desa terletak di pantai barat
sehingga aksesibilitas menuju desa yang relatif terbatas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan
meliputi data sumber daya manusia (komposisi dan keterampilan penduduk), data
sumber daya alam (tutupan lahan, ekosistem, flora fauna, aliran sungai), data
infrastruktur (infrastruktur umum, kesehatan, pendidikan, prasarana sosial
ekonomi, data sumber daya finansial (mata pencaharian, pendapatan dan
pengeluaran masyarakat, alternatif perolehan dan penyimpanan uang), serta data
organisasi sosial (tradisional dan modern). Data dikumpulkan melalui studi
dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan terlibat. Dokumen berupa
publikasi dan laporan dikumpulkan dari berbagai instansi terkait berkenaan
dengan masyarakat dan karakteristik SDA di CBPS. Wawancara mendalam
32

dilakukan kepada 16 informan. Para informan ditentukan secara purposive


berdasarkan kriteria yakni mengetahui pengelolaan SDA di CBPS dan atau
dianggap banyak mengetahui berbagai aspek yang berhubungan dengan
penelitian. Selama penelitian, dilakukan lima kali pertemuan informal dengan
kelompok masyarakat Mentawai untuk mendapatkan lebih banyak informasi
terkait penelitian. Pengamatan terlibat dilakukan untuk mengkonfirmasi berbagai
isu yang muncul dari dokumen, wawancara, dan pertemuan informal. Proses
analisis data dilakukan melalui proses pengkodean dan pengelompokan data,
kemudian diinterpretasikan agar menghasilkan suatu kesimpulan (Irawan 2006).

Legenda:
Area inti
Zona penyangga
Area transisi
Lokasi penelitian
Desa Saibi
Samukop

Desa
Matotonan

Desa
Sagulubbek

Gambar 3.1 Lokasi penelitian di Cagar Biosfer Pulau Siberut

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Sumber Daya Manusia

1. Komposisi Penduduk

Penduduk di CBPS pada tahun 2014 berjumlah 37 416 jiwa dengan rasio
jenis kelamin sebesar 107.61 (BPS 2015a) yang meningkat sekitar 7 400 jiwa
33

sejak tahun 2002 (Tabel 3.1). Demikian pula, dengan jumlah penduduk di tiga
lokasi penelitian menunjukkan peningkatan, yakni sebanyak 13.98% hingga
18.67% (Tabel 3.2). Pertambahan yang cukup signifikan disebabkan tingkat
mortalitas yang rendah dan migrasi penduduk dari luar pulau (BPS 2015a).
Kepadatan penduduk di Pulau Siberut sebesar 9.75 orang/km2 dan dengan
kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Siberut Selatan dan Siberut Utara
(Tabel 3.3). Kedua kecamatan tersebut lebih banyak penduduknya karena
kecamatan tertua di CBPS. Ketiga kecamatan lain merupakan kecamatan baru,
yang dibentuk setelah pemekaran kabupaten pada tahun 1999. Di tiga lokasi
penelitian juga menunjukkan peningkatan kepadatan penduduk (Tabel 3.2)
terutama di Saibi Samukop yang menjadi ibukota Kecamatan Siberut Tengah.
Selain Suku Mentawai, terdapat pendatang dari Suku Minang, Batak, Jawa, Nias,
dan beberapa pendatang berasal dari Palembang, Sulawesi, dan Etnis Tionghoa.
Pendatang ini umumnya terkonsentrasi di ibukota kecamatan.

Tabel 3.1 Jumlah penduduk Pulau Siberut dari tahun 1853-2014


a
Tahun Jumlah (jiwa) Sumber Tahuna Jumlah (jiwa) Sumber
1853 7 090 Rosenberg 1992 25 173 Bappeda Sumbar
1930 9 268 Sensus 2002 30 106 BPS Mentawai
1960 11 881 Sensus 2006 34 352 BPS Mentawai
1971 14 732 Sensus 2008 34 721 BPS Mentawai
1976 18 149 Bappeda Sumbar 2010 35 171 BPS Mentawai
1980 18 554 Sensus 2012 35 596 BPS Mentawai
1990 24 740 Sensus 2014 37 416 BPS Mentawai
a
Data tahun 1853-1992 dalam Darmanto dan Setyowati (2012).

Tabel 3.2 Jumlah penduduk di lokasi penelitiana


Jumlah penduduk di desa
Jenis kelamin Saibi Samukop Matotonan Sagulubbek
2004 2014 2004 2014 2004 2014
Laki-laki - 1 492 - 604 - 650
Perempuan - 1 406 - 581 - 555
Jumlah 2 493 2 898 979 1 185 980 1 205
Peningkatan penduduk
13.98 17.38 18.67
dari tahun 2004-2014 (%)
Rasio jenis kelamin - 1.06 - 1.04 - 1.17
2
Luas desa (km ) 12 721 8 988 32 678
Kepadatan penduduk
19.60 22.78 7.70 9.32 7.70 9.47
(orang/km2)
a
Diolah dari BPS Kab. Kep. Mentawai (2014a, 2014b, 2014c).

Komposisi penduduk di CBPS termasuk struktur penduduk muda (Tabel


3.3). Proporsi kelompok penduduk usia muda di bawah 15 tahun masih mencapai
39.79 %, hal ini mencerminkan bahwa tingkat fertilitas penduduk selama 15 tahun
34

terakhir masih cukup tinggi. Begitupula, proporsi kelompok penduduk usia


produktif (usia 15-64 tahun) sebesar 58.38 %. Tingkat rasio beban ketergantungan
(dependency ratio) masyarakat masih cukup tinggi, yakni sekitar 71.29 % yang
dapat diartikan bahwa tiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 71
orang penduduk usia non-produktif, di samping harus menanggung dirinya.

Tabel 3.3 Jumlah penduduk dan komposisi usia di Cagar Biosfer Pulau Siberuta
Jumlah penduduk per kecamatan
Kelompok usia Siberut
Siberut Siberut Siberut Siberut Total %
(tahun) Barat
Selatan Tengah Barat Utara
Daya
0-14 3 452 2 787 2 563 2 926 3 158 14 886 39.79
15-64 5 592 3 512 3 723 3 887 5 129 2 184 58.38
65 > 162 124 82 99 220 687 1.84
Jumlah 9 206 6 423 6 368 6 912 8 507 37 416 100
Kepadatan
penduduk 18.11 9.81 8.68 10.42 6.14 9.75
(orang/km2)
a
Diolah dari BPS Kab. Kep. Mentawai (2015a).

Gambaran tentang kualitas sumber daya manusia (SDM) di CBPS dapat


direfleksikan dari tingkat pendidikan yang dicapai penduduk dan tingkat
keterampilan yang dimilikinya. Mayoritas penduduk di CBPS berpendidikan
formal yang rendah, hal ini terlihat dari penduduk yang tidak tamat sekolah
sebesar 33.33% dan tamatan sekolah dasar 31.65% (Tabel 3.4). Saat ini, banyak
orang tua yang telah memahami bahwa pendidikan dapat berdampak pada
penghidupan yang lebih baik, sehingga mendorong mereka untuk menyekolahkan
anaknya. Namun, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari
SD, banyak orang tua yang memiliki kesulitan membiayai pendidikan anak
mereka, karena para siswa harus menetap di ibukota kecamatan yang letaknya
jauh dari desa.
Tingkat rasio beban ketergantungan penduduk yang masih cukup tinggi di
CBPS menggambarkan bahwa penduduk belum produktif. BPS (2015a)
menyatakan bahwa semakin rendah nilai beban ketergantungan suatu wilayah,
maka semakin maju dan produktif penduduk wilayah tersebut. Banyaknya
penduduk yang berpendidikan formal yang rendah menjadi kendala dalam
peningkatan pendapatan, terutama terkait dengan penerapan teknologi, inovasi
baru, dan upaya pemanfaatan serta pelestarian SDA. Peningkatan kualitas SDM
perlu dilakukan untuk memudahkan penduduk menyerap hal-hal tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kartasasmita (1997) bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadi kekuatan pendorong (driving force) bagi proses kemajuan.
35

Tabel 3.4 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Pulau Siberut a


Tingkat pendidikan
Tidak Tamat sekolah
Kecamatan Belum Jumlah
tamat
sekolah
sekolah SD SLTP SLTA DI/DII DIII Sarjanab

Siberut 882 3 197 1 136 588 1 156 100 46 125 7 230


Selatan
Siberut 531 2 224 1 977 107 40 0 0 0 4 879
Tengah
Siberut 1 293 1 651 1 691 216 108 0 0 0 4 959
Barat Daya
Siberut 476 2 191 2 204 2 314 950 0 5 24 8 164
Utara
Siberut 745 1 168 2 896 1 172 79 0 0 0 6 060
Barat
Jumlah 3 927 10 431 9 904 4 397 2 333 100 51 149 31 292
Persentase 12.55 33.33 31.65 14.05 7.46 0.32 0.16 0.48 100
a b
BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai (2014); Strata 1, 2, dan 3.

2. Keterampilan Penduduk

Keterampilan yang dikuasai masyarakat Mentawai tidak terlepas dari


kondisi lingkungan, SDA yang ada, dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan.
Mayoritas masyarakat di lokasi penelitian berprofesi sebagai peladang. Profesi ini
juga ditekuni oleh hampir seluruh keluarga di CBPS. Beberapa orang berprofesi
sebagai guru dan tenaga medis, walaupun demikian mereka umumnya mempunyai
ladang. Keterampilan yang berkaitan dengan kegiatan berladang adalah mengelola
lahan, serta berbudidaya tanaman untuk kebutuhan subsisten dan yang laku di
pasaran. Pola perladangan (pumonean) oleh masyarakat Mentawai tidak bersifat
intensif dan terlihat sederhana. Masyarakat Mentawai sendiri menganggap
penanaman yang mereka lakukan asal-asalan (pangureman sibobo), tetapi
Darmanto (2006) menyatakan bahwa keadaan penanaman yang terlihat sederhana
tersebut membutuhkan proses yang rumit berhubungan dengan pantangan dan
ritual tertentu. Selain itu, masyarakat terampil meramu hasil hutan. Keterampilan
berladang dan meramu hasil hutan ini diperoleh secara turun menurun.
Keterampilan pengolahan lanjutan hasil dari perladangan maupun dari meramu
hasil hutan belum ada.
Beberapa pria mempunyai keterampilan membangun rumah dari kayu
(tradisional) dan rumah batu (modern). Beberapa wanita terampil membuat
kerajinan tangan, seperti keranjang (opa) dan alat tangkap ikan, serta dapat
membuat sendiri minyak goreng dari buah kelapa. Beberapa penduduk di Saibi
Muara dan Sagulubbek berprofesi sebagai nelayan. Di waktu senggang dan cuaca
yang baik, para ibu di Muara Saibi menangkap ikan untuk konsumsi keluarga
dengan menggunakan panu (jaring besar yang dikaitkan ke pinggang) di muara
sungai. Sedangkan di Matotonan, kaum wanita di musim-musim tertentu
mengambil kerang dan ikan di sepanjang sungai besar.
36

3.3.2 Sumber Daya Alam

Kehidupan masyarakat Mentawai di CBPS berorientasi pada kehidupan


darat, walaupun secara geografis dikelilingi oleh laut, sehingga lahan atau tanah
menjadi SDA yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Tutupan lahan di
CBPS, hasil pengukuran planimetris dan interpretasi citra satelit tahun 2009 oleh
UNESCO, BTNS, dan PASIH pada tahun 2010 disajikan pada Tabel 3.5. Data
pada Tabel 3.5, terlihat bahwa hutan merupakan tutupan lahan yang paling luas,
yakni 256 666 ha (63.64%). Selain hutan, tutupan lahan lain yang terluas adalah
areal perladangan dan daerah menyagu berupa pertanian lahan kering campuran,
pertanian lahan kering, semak, dan rawa seluas 84 776 ha (21.02%). Tutupan
lahan non hutan seluas 5 255 ha (1.30%) yang di dalamnya termasuk permukiman.
Selanjutnya, badan air termasuk sungai dan danau seluas 2 051 ha (0.51 %).

Tabel 3.5 Luasan tutupan lahan di Pulau Siberut a


Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)
Hutan primer 169 073 41.92
Hutan sekunder 87 593 21.72
Mangrove 6 765 1.68
Rawa 27 512 6.82
Rawa-semak 4 017 1.00
Semak 20 951 5.19
Pertanian lahan kering 9 514 2.36
Pertanian lahan kering campuran 26 799 6.64
Non hutan (bare land) 5 255 1.30
Badan air 2 051 0.51
Awan 25 067 6.22
Bayangan awan 18 703 4.64
Total 403 300 100
a
Diolah dari BTNS (2010).

Areal berhutan dan perladangan mempunyai arti yang penting bagi


masyarakat Mentawai. Hutan mempunyai manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya. Manfaat hutan dan perladangan bagi masyarakat Mentawai dijelaskan
pada Bab 4. Areal berhutan masih banyak terdapat di sekitar desa yang menjadi
lokasi penelitian. Hal ini didukung oleh data luasan hutan di ketiga kecamatan
yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Siberut Tengah luas hutannya 61
830 ha (83.57%), Kecamatan Siberut Selatan luas hutannya 41 323 ha (81.29%),
dan Kecamatan Siberut Barat Daya luas hutannya 48 940 ha (75.40%) (BPS
2014a; 2014b; 2014c). Lokasi perladangan masyrakat terpencar di seluruh wilayah
desa. Data luasan perladangan di ketiga kecamatan yang menjadi lokasi penelitian,
yaitu Kecamatan Siberut Tengah luas perladangan 12 001 ha (16.22%),
Kecamatan Siberut Selatan luas perladangan 8 994 ha (17.69%), dan Kecamatan
Siberut Barat Daya luas perladangan 16.22% atau seluas 12 001 ha (BPS 2014).
Secara keseluruhan luasan tutupan lahan berhutan di CBPS mengalami
penurunan. Penurunan ini dapat dilihat dari perbandingan luasan tutupan lahan
berhutan pada tahun 2009 seluas 256 666 ha (63.64%) dengan luasan lahan
berhutan hasil interpretasi citra satelit Pulau Siberut tahun 2004 seluas 273 128 ha
(67.74%) (Nopiansyah 2008), terlihat penurunan luasan lahan berhutan sebesar
37

4.1% atau 16 462 ha. Perubahan luasan tutupan lahan berupa hutan ini
diidentifikasi menjadi areal perladangan (BTNS 2010). Keadaan ini
mengindikasikan masyarakat Mentawai di CBPS membutuhkan lahan berladang
untuk penghidupan mereka.

3.3.3 Infrastruktur
1. Infrastruktur Umum
Infrastruktur umum yang terdapat di ketiga lokasi penelitian
menggambarkan infrastruktur di desa-desa lain di CBPS (Tabel 3.6). Setiap desa
telah mempunyai kantor desa, kantor Dewan Permusyawaratan Desa, balai
pertemuan, rumah ibadah, dan infrastruktur dasar bagi masyarakat.

Tabel 3.6 Infrastruktur umum di Desa Saibi Samukop, Matotonan, dan


Sagulubbeka
Jumlah unit (di pusat desa)
Sarana dan prasarana
Saibi Matotonan Sagulubbek
Kantor pelayanan desa
Kantor desa 1 1 1
Kantor Badan Permusyawaratan Desa 1 1 1
Balai pertemuan 1 1 1
Pendidikan
Taman kanak-kanak 2 2 1
Sekolah dasar 2 1 1
Sekolah menengah pertama 1 0 0
Sekolah menengah atas 1 0 0
Kesehatan
Puskesmas 1 0 0
Puskesmas pembantu/Polindes 1 1 1
Agama
Gereja 4 1 2
Masjid/Musholah 1 2 1
Olahraga
Lapangan sepakbola 1 1 1
Lapangan voli 2 1 1
Lapangan takraw 1 1 1
Transportasi
Dermaga 0 0 0
Jalan semen (lebar 1,5-2 m) 10b 8b 8b
Perahu mesin 25-40 PK atau speedboat 10 6 8
Perahu mesin/pompong (3-8 PK) 10 15 8
Sepeda motor 100 50 30
Komunikasi
Telekomunikasi seluler 1 0 0
Telekomunikasi satelit 1c 1c 1c
Ekonomi
Pasar 0 0 0
Warung 7 9 6
Air bersih
Jaringan air bersih 1c 1 0
MCK 100 105 25
a
Data desa tahun 2014; bSatuan dalam kilometer; cTidak berfungsi/rusak.
38

Begitupula dengan sarana transportasi menuju ke CBPS masih terbatas.


Untuk mencapai lokasi penelitian menggunakan kapal laut dengan menyeberangi
Selat Mentawai. Kapal ini berlayar seminggu tiga kali, dan sangat tergantung pada
cuaca. Di pulau, menuju lokasi penelitian dimulai dari Pelabuhan Maileppet
mengunakan perahu bermesin (speedboat 40 PK). Menuju Desa Saibi Samukop
melalui laut memakan waktu sekitar 2 jam, ke Desa Saibi Samukop melalui
Sungai Sarareiket memakan waktu sekitar 3.5 jam, dan ke Desa Sagulubbek
melalui laut memakan waktu sekitar 4 jam. Jalan yang terbuat dari semen hanya
terdapat di dalam desa/dusun dan secara umum belum menjadi penghubung antar
desa. Jalan semen yang cukup panjang terdapat di Muara Siberut dan Sikabaluan
masing-masing sepanjang tujuh kilometer.
Sarana komunikasi satelit sudah tersedia, tetapi peralatan bantuan dari
Kementerian Telekomunikasi dan Informatika ini sudah rusak dan belum pernah
diperbaiki oleh pihak terkait. Komunikasi seluler hanya terdapat di tiga ibukota
kecamatan, yakni Muara Siberut, Sikabaluan, dan Saibi Samukop. Uraian di atas
menjelaskan masih terbatasnya infrastruktur yang tersedia di lokasi penelitian dan
hampir di semua desa di CBPS.

2. Kesehatan

Di setiap ibukota kecamatan di CBPS telah tersedia fasilitas pelayanan


kesehatan berupa puskesmas. Di setiap desa telah disediakan puskesmas pembantu
(Pustu) atau poliklinik desa (Polindes). Kondisi ini menunjukkan layanan
kesehatan telah menjangkau seluruh desa di Pulau Siberut (Tabel 3.7). Fasilitas
kesehatan yang terdapat di Desa Matotonan dan Desa Sagulubbek adalah Pustu,
sedangkan di Saibi Muara telah memiliki Puskesmas.

Tabel 3.7 Bangunan fasilitas kesehatan di Pulau Siberut pada tahun 2013a
Bangunan fasilitas kesehatanb
Kecamatan Jumlah
Puskesmas Pustu Poskesdes Posyandu Polindes
Siberut Selatan 1 - 6 16 2 25
Siberut Barat Daya 1 2 2 19 3 27
Siberut Tengah 1 2 7 33 3 46
Siberut Utara 1 3 8 24 2 38
Siberut Barat 1 - 7 11 - 21
Total 5 7 30 103 10 155
a
Diolah dari data BPS Kab. Kep. Mentawai (2015a); bPuskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat,
Pustu: Puskesmas Pembantu; Poskesdes: Pos Kesehatan Desa, Posyandu: Pos Layanan Kesehatan
Terpadu, Polindes: Poliklinik Desa.

Pustu dan polindes belum memiliki tenaga dokter, tetapi sudah tersedia
tenaga bidan dan atau perawat. Pelayanan dapat dilakukan setiap saat, karena
tenaga medis biasanya tinggal di rumah dinas yang berdekatan dengan fasilitas
kesehatan. Di Saibi Muara, sudah tersedia satu orang dokter umum dan satu orang
dokter gigi di puskesmas. Tabel 3.8 memperlihatkan bahwa tenaga medis di Pulau
Siberut masih sangat kurang, begitupula tenaga perawat dan bidan yang masih
39

minim bila dibandingkan dengan jumlah dusun (146 dusun). Di setiap desa rata-
rata hanya dilayani oleh dua orang tenaga medis untuk melayani semua penduduk
dan kadangkala mereka tinggal di dusun-dusun yang jauh dari pusat desa.

Tabel 3.8 Tenaga medis di Pulau Siberut pada tahun 2013a


Tenaga medis
Kecamatan Jumlah
Dokter Perawat Bidan Dukun bermitrab
Siberut Selatan 2 22 3 - 27
Siberut Barat Daya - 9 4 20 33
Siberut Tengah - 7 4 14 25
Siberut Utara - 10 7 - 17
Siberut Barat - 7 2 - 9
Total 2 55 20 34 111
a
Diolah dari BPS Kab. Kep. Mentawai (2015a); bDukun bermitra: dukun beranak yang
dibina oleh dinas kesehatan bukan sikerei.

Penyakit yang sering diderita masyarakat di lokasi penelitian adalah diare


dan infeksi saluran pernapasan (ISPA). Penyakit ini umumnya disebabkan kondisi
lingkungan, seperti tidak menggunakan air bersih dan kurang menjaga kebersihan
makanan. Selain itu, penyakit malaria banyak diderita masyarakat. Kepulauan
Mentawai merupakan daerah epedemi penyakit malaria. Selain pengobatan secara
medis, masyarakat Mentawai juga menggunakan jasa pengobatan tradisional yang
dilakukan oleh Sikerei. Jumlah Sikerei yang ada mulai menurun dalam dasawarsa
terakhir, menurut informan, di Saibi Muara jumlah Sikerei tinggal 4 orang dari 13
orang dan mereka sudah tua. Tidak adanya acara penobatan Sikerei baru6
megindikasikan tidak adanya regenerasi Sikerei di daerah tersebut.
Sumber air bersih utama di ketiga desa adalah sungai-sungai kecil berair
jernih yang melintasi desa atau dusun. Di Desa Matotonan dan Sagulubbek,
masyarakat jarang yang mempunyai sumur. Sedangkan di daerah Saibi Muara,
penduduk banyak yang memiliki sumur, tetapi hanya digunakan untuk mandi dan
mencuci, karena masyarakat menganggap air sumur kurang bening dan bila
diminum berasa payau.
Di Desa Matotonan dan Muara Saibi, terdapat sarana air bersih umum yang
bersumber dari sungai kecil di sekitar permukiman. Pembangunannya didanai oleh
pemerintah desa atau organisasi nirlaba, tetapi di Saibi Muara sarana air bersih
sudah tidak berfungsi lagi, sehingga masyarakat mengambil air minum di sungai
yang berada di perbukitan sekitar desa.
Masyarakat sudah menggunakan kakus sebagai tempat buang hajat,
khususnya rumah-rumah yang dibuat oleh Program Pemukiman dari Kementerian
Sosial. Masyarakat yang tidak memiliki kakus, menggunakan kebun, ladang, atau
pantai sebagai lokasi buang air besar. Di Saibi Muara, beberapa tahun lalu,
beberapa masyarakat masih membuang hajat di pinggir jalan dan tempat
penambatan perahu. Hal ini mendorong pemerintah desa untuk membuat aturan
6
Kemampuan Sikerei diperoleh melalui proses pengajaran/pelatihan dari Sikerei senior yang
disebut Sipaumat yang berperan sebagai guru/pembimbing kepada calon Sikerei.
40

desa yang mendenda penduduk yang membuang hajat sembarangan. Aturan


berjalan efektif, karena saat ini tidak ada lagi penduduk yang membuang hajat di
jalanan atau penambatan perahu.

3. Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Matotonan dan Sagulubbek masih


terbatas pada sekolah dasar (SD). Di Desa Matotonan, lulusan SD melanjutkan
sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) di Desa Madobak yang baru berdiri
(sekitar 3-4 jam berjalan kaki) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yang
harus ditempuh di kota kecamatan, Muara Siberut. Di Desa Sagulubbek, lulusan
SD melanjutkan SLTP dan SLTA harus ke kota kecamatan (Muara Siberut). Hal
ini berbeda dengan Desa Saibi Samukop yang telah memiliki fasilitas pendidikan
hingga jenjang SLTA. Namun untuk melanjutkan ke jenjang strata satu,
masyarakat harus ke Padang. Kondisi seperti ini menyebabkan tidak semua
lulusan SD di Matotonan, Sagulubbek, dan Saibi Samukop (terutama dusun yang
jauh dari pusat desa) dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena
memerlukan biaya tambahan, yakni biaya makan dan penginapan. Pada umumnya
mereka yang dapat melanjutkan ke SLTP atau SLTA adalah penduduk yang
mampu dan atau mempunyai famili di Muara Siberut. Fasilitas penginapan yang
lebih murah juga disediakan oleh Yayasan Sekolah (Nasrani) di Muara Siberut
dan Muara Sikabaluan, tetapi kapasitasnya terbatas dan hanya untuk anak-anak
yang bersekolah di yayasan tersebut. Saat ini banyak pemerintah desa yang
membangun asrama untuk anak-anak dari desa mereka di Muara Siberut dan
Muara Sikabaluan.

4. Sarana Sosial Ekonomi

Sarana sosial ekonomi (sosek) yang dimaksudkan di sini adalah infrastruktur


yang digunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan aktifitas sosek, antara lain
pasar, dermaga, dan warung. Sedangkan, prasarana sosek adalah perlengkapan
penunjang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sosek.
Sarana sosek di lokasi penelitian (hampir di seluruh perdesaan) masih sangat
terbatas. Tidak ada dermaga permanen untuk mobilitas sosek perdesaan. Dermaga
yang ada hanya dermaga non permanen yang tersebar di masing-masing
permukiman penduduk. Dermaga perahu di desa pada dasarnya dibangun secara
swadaya oleh masyarakat. Penduduk cenderung membangun tempat bersandar
perahu sendiri yang disesuaikan dengan kedekatan dengan tempat tinggal dan
kondisi pasang-surut sungai. Tidak terdapat pasar desa di tiga lokasi penelitian.
Sarana ekonomi yang ada hanya berupa warung/toko. Warung melayani
kebutuhan pokok penduduk, seperti sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok),
kebutuhan rumah tangga lainnya, dan bahan bakar. Warung juga berperan sebagai
penampung hasil bumi yang dijual masyarakat. Pemilik warung/toko umumnya
pendatang dari Suku Minang dan Suku Batak.
Prasarana sosek yang banyak digunakan adalah perahu motor yang
berukuran besar (jenis perahu yang dapat menampung 6-7 orang yang biasa
disebut speedboat) dengan kapasitas mesin 25 PK ke atas. Jenis perahu bermotor
ini tidak dimiliki oleh setiap penduduk, biasanya hanya pemilik warung yang
41

memilikinya karena harga mesin dan sampannya yang mahal serta boros bahan
bakar. Selain speedboat, kendaraan air lainnya yang sedang digandrungi
masyarakat adalah pompong (perahu yang dipasang mesin 3-8 PK). Menurut
masyarakat, pompong mempunyai keunggulan yakni dapat membawa banyak
penumpang/ barang, penggunaan bahan bakarnya jauh lebih irit dibandingkan
speedboat, biaya pembuatan yang murah (sampan hanya diberi dudukan mesin),
dan dapat mengarungi sampai hulu sungai di Pulau Siberut yang dangkal. Di sisi
lain, pompong mempunyai kelemahan yakni memakan waktu tempuh yang relatif
lama, hampir dua kali lipat dibandingkan speedboat.
Perahu motor tersebut, selain untuk mengangkut barang dagangan, juga
sebagai sarana transportasi penduduk desa ke desa lain atau ke ibukota kecamatan
yang menjadi pusat ekonomi. Selain perahu motor, perahu sampan masih menjadi
moda transportasi tradisional yang dimiliki hampir seluruh masyarakat. Perahu
sampan umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke ladang
atau untuk mencari ikan. Seiring dengan tersedianya jalan desa yang terbuat dari
semen, maka banyak penduduk yang memiliki sepeda motor. Sepeda motor ini
mulai mengganti fungsi perahu sampan sebagai moda transportasi jarak dekat,
khususnya ke ladang. Di Desa Matotonan, ketika jalan menuju ibukota kecamatan
masih baik, intensitas masyarakat ke pasar cukup tinggi.

3.3.4 Sumber Daya Finansial

1. Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian, sebagaimana umumnya


masyarakat Mentawai di CBPS, bermata pencaharian utama sebagai peladang.
Seperti dijelaskan pada Subbab 3.3.1 tentang Keterampilan Penduduk. Hasil
perladangan atau hasil hutan yang bersifat subsisten langsung dikonsumsi,
sedangkan yang bernilai dipasaran dijual langsung ke pengumpul. Hasil ladang
yang umumnya dijual seperti kakao, kelapa, pinang, nilam, cengkeh, sedangkan
hasil meramu dari hutan, seperti manau, gaharu, madu, dan buah. Cara berladang
sebagian masyarakat masih tradisional, belum banyak mendapat sentuhan
teknologi baru yang lebih produktif, sehingga kuantitas dan kualitas hasil dari
usaha berladang masih rendah.
Di sela-sela aktivitas berladang, masyarakat juga melakukan pekerjaan lain
yang sifatnya temporal untuk mendapatkan uang tunai dengan menjadi buruh pada
pembangunan sarana prasarana desa yang sedang banyak dilakukan. Beberapa
penduduk di tepian pantai berprofesi sebagai nelayan. Di Muara Saibi sekitar 10
orang dan di Sagulubbek sekitar 5 orang berprofesi sebagai nelayan. Kebanyakan
mereka dari Suku Minang. Kegiatan melaut umumnya dilakukan pada malam hari,
ketika gelombang laut tidak besar atau kuat. Di siang hari, nelayan tersebut masih
mengelola ladang. Hasil tangkapan yang lebih dari konsumsi sendiri, dijual di
sekitar desa. Daliyono et al. (2007) menyatakan bahwa masyarakat di Saibi
Samukop merupakan nelayan dengan pekerjaan sampingan sebagai peladang atau
petani. Namun dalam penelitian ini menemukan fakta sebaliknya bahwa
masyarakat Desa Saibi Samukop merupakan masyarakat peladang, hanya
beberapa orang saja yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai nelayan.
42

2. Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat

Pendapatan masyarakat di lokasi penelitian sangat tergantung dari penjualan


sumber daya hayati dari hasil ladang dan hasil hutan. Dengan pola budidaya
tanaman yang belum intensif dan semakin sulitnya mendapatkan hasil hutan dari
hutan-hutan terdekat, dalam penelitian ini masyarakat kesulitan menentukan
kepastian besarnya pendapatan mereka per bulan.
Hasil pertemuan dengan para infoman, diperoleh gambaran pendapatan
masyarakat setiap bulan dari menjual buah kakao (tanaman ini banyak
dibudidayakan), pinang dan pisang. Dari ladang kakao yang luasnya 0.5-1 ha
mampu menghasilkan kakao sekitar 15 kg/bulan dengan harga per kg Rp18 000,
maka pendapatannya sekitar Rp270 000/bulan. Jika luasan lahan sekitar 1 ha,
penghasilan menjadi dua kali lipat sekitar Rp540 000/bulan. Selain kakao, hampir
seluruh masyarakat mempunyai pinang yang dapat menghasilkan buah per bulan
sebanyak 10 kg dengan harga Rp3 000/kg, maka pendapatan dari pinang sebesar
Rp30 000. Kebanyakan masyarakat juga menanam pisang yang dapat dipanen
hingga 20 tandan dengan harga Rp10 000/tandan, maka pendapatannya sekitar
Rp200 000/bulan. Pisang umumnya dijual oleh kaum wanita untuk membeli
kebutuhan dapur. Kebutuhan dapur dapat juga dibarter dengan kelapa, atau hasil
hutan yang sebanding dengan Rp.100 000/bulan. Jika data tersebut diakumulasi,
pendapatan masyarakat rata-rata Rp600 000-Rp870 000 per bulan. Penghasilan ini
merupakan pengecualian bagi pegawai pemerintah dan petani yang mempunyai
ladang yang luas, tetapi mereka minoritas di desa. Dengan maraknya
pembangunan di desa, masyarakat mempunyai pendapatan sampingan dengan
menjadi buruh. Pekerjaan ini memberikan pemasukan yang lebih besar daripada
pendapatan per bulan, tetapi sifatnya temporal dengan waktu kerja yang singkat.
Dalam hal pengeluaran, terdapat variasi antara informan satu dengan yang
lain. Variasi ini terjadi karena penghasilan mereka yang tidak tetap, sehingga
pengeluarannya tidak tetap pula. Pengeluaran pokok sebuah keluarga dikeluarkan
untuk membeli berbagai jenis barang yang tidak dapat dihasilkan oleh suatu
keluarga, seperti rokok, gula, kopi, teh, pakaian, minyak tanah dan minyak
goreng. Seiring dengan meningkatnya jumlah anak sekolah, maka pengeluaran
masyarakat juga diperuntukkan membiaya uang sekolah, peralatan sekolah, dan
penginapan (indekos). Sebagai contoh untuk pengeluaran masyarakat, infoman
memberikan gambaran pengeluaran keluarganya dalam 1 bulan, yaitu membeli
rokok = Rp300 000 (1 bungkus x 30 hari x Rp10 000), gula = Rp216 000 (3 kg x
4 minggu x Rp18 000), kopi = =Rp30 000 (0.5 kg x 1 bulan x Rp60 000), teh =
Rp42 000 (3 kotak x 4 minggu x Rp3 500), minyak tanah = Rp80 000 (2 liter x 4
minggu x Rp10 000), minyak goreng = Rp28 000 (0.5 kg x 4 minggu x Rp14
000), bumbu dapur = Rp50 000 (garam, penyedap rasa, dan bumbu), sabun mandi
= Rp12 000 (1 buah x 4 minggu x Rp3 000), odol = Rp8 000 (1 buah x 1 bulan x
Rp8 000), sabun cuci = Rp48 000 (2 buah x 4 minggu x Rp6 000), sehingga
kisaran pengeluaran masyarakat sekitar Rp814 0007 per bulan.
Dari data pendapatan dan pengeluaran masyarakat terdapat selisih, dimana
pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Informan menyatakan bahwa untuk

7
Harga barang adalah harga toko di lokasi penelitian. Pengeluaran tidak termasuk beras karena
dianggap masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok.
43

menghadapi situasi tersebut, mereka melakukan pengetatan pengeluaran uang


seperti membeli rokok yang lebih murah atau mengurangi minum bergula.
Menurut masyarakat, tanaman di ladang dan ternak peliharaan merupakan
tabungan mereka. Hal ini menjadi strategi penghidupan masyarakat Mentawai
untuk menghadapi kondisi keuangan mereka yang tidak stabil. Selain itu,
masyarakat Mentawai mengenal teknik pengawetan bahan makanan pokok
sebagai strategi pengamanan terhadap kebutuhan pangan. Teknik pengawetan
tersebut berupa mengawetkan tepung sagu agar tahan lebih lama. Tepung dimuat
ke dalam tampin (anyaman daun sagu) kemudian direndam dalam genangan air
sehingga dapat bertahan hingga tiga bulan. Sedangkan proses pengolahan
sebatang sagu menjadi tepung membutuhkan waktu sekitar seminggu.
Kategori miskin yang disandang penduduk Siberut (BPS 2015) sebenarnya
ditentang oleh beberapa masyarakat Siberut. Pernyataan Sukirmanto Satoleuru
(salah seorang tokoh masyarakat di Matotonan) menggambarkan penentangan
bahwa orang Siberut bukanlah orang miskin, menurut mereka “...orang miskin
adalah orang yang tidak mau berusaha (berladang), sehingga sulit untuk
memperoleh makanan, sedangkan lahan tersedia untuk berladang, kalau tidak
ada lahan suku (uma) kita bisa pinjam lahan suku lain...”. Pendapat ini dapat
dimaklumi, karena masyarakat Mentawai di CBPS dikelilingi SDA yang
melimpah terutama bahan pangan (sagu, keladi, pisang). Begitupula dengan
adanya teknik pengawetan tepung sagu menjadikan masyarakat Mentawai lebih
kuat menghadapi fluktuasi harga bahan pangan dari luar. Kondisi ini
menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki permasalahan dengan memenuhi
kebutuhan pangan.

3. Alternatif Perolehan dan Penyimpanan Uang

Uang tunai yang diperoleh masyarakat di lokasi penelitian digunakan untuk


memenuhi kebutuhan sehari-hari utamanya diperoleh dari: (1) menjual hasil bumi
dari hutan dan ladang; dan (2) bekerja sebagai buruh pembangunan sarana
prasarana/infrastruktur di desa. Di CBPS, sistem barter masih dilakukan.
Masyarakat menukar hasil hutan atau hasil ladang dengan barang kebutuhan
sehari-hari di warung atau pengumpul. Pada saat penelitian, kegiatan
pembangunan sarana prasarana di desa dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Lembaga keuangan seperti bank dan kantor pos belum tersedia di desa-desa
di CBPS, kecuali di ibukota kecamatan Muara Siberut dan Muara Sikabaluan. Di
Muara Saibi yang menjadi ibukota kecamatan, sejak tahun 2014 sudah tersedia
layanan Bank Nagari. Walaupun pelayanan masih terbatas dilakukan tiap hari
Rabu, ketika petugas bank datang dari Muara Siberut. Jika mempunyai uang lebih,
sebagian besar masyarakat tidak menabungnya di lembaga keuangan tersebut.
Mereka cenderung menyimpan uang tunai, membeli sarana produksi pertanian,
memperbaiki rumah, menambah luasan ladang, membeli hewan ternak, dan atau
membeli barang elektronik (generator listrik, televisi, parabola, pemutar film).
Menurut masyarakat tanaman di ladang yang bernilai ekonomis merupakan
tabungan mereka.
44

Tabel 3.9 Pembangunan sarana dan prasarana di Desa Saibi Samukop,


Matotonan, dan Sagulubbeka
Desa Bangunan Jumlah Unit Sumber pendanaan

Saibi Samukop Penambahan bangunan puskesmas 1 Pemerintah kabupaten


Jembatan penghubung antar desa 1 Pemerintah kabupaten
Pembuatan jalan desa dari ADD, 3 Pemerintah kabupaten
PNPM, P2Db
Matotonan Pembangunan masjid 1 Pemerintah Arab Saudi
Perbaikan sekolah dasar 1 Pemerintah kabupaten
Pembuatan jalan desa (ADD, 3 Pemerintah kabupaten
PNPM, P2D)
Perbaikan jalan desa 1 Swadaya masyarakat
Sagulubbek Pembuatan jalan desa (ADD, 3 Pemerintah kabupaten
PNPM, P2D)
Perbaikan jalan desa
a
Pada saat penelitian; bADD: Alokasi Dana Desa, PNPM: Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan, P2D: Program Pembangunan Desa.

Jenis kesulitan keuangan paling sering dirasakan masyarakat adalah untuk


membiayai pendidikan anak, membiayai berobat bila sakit keras, dan
menyediakan sarana produksi di ladang. Upaya mengatasi kesulitan keuangan
rumah tangga, utamanya dengan meminjam dari warung atau famili, dan atau
menjual harta benda (misal ternak, tumbuhan komersil).

3.3.5 Organisasi Sosial

1. Tradisional

Secara tradisional organisasi sosial masyarakat Mentawai berada dalam


suatu uma8. Uma disini sebagai suatu sistem kekerabatan atau pusarainaan, yang
merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat. Pusarainaan berdasarkan garis
keturunan ayah atau patrilineal (sangateteu). Di Desa Saibi (Muara Saibi)
terindentifikasi terdapat 17 uma, Desa Matotonan terdapat 22 uma, dan Desa
Sagulubbek terdapat 10 uma (Tabel 3.10). Beberapa uma merupakan
bagian/pecahan dari uma yang lebih besar (rak-rak) seperti pada Gambar 3.2.
Misal di Muara Saibi, uma Satoko, Saririkak, Sakairinggi, dan Sakatsilak
merupakan pecahan dari uma Siriratei. Sedangkan di Matotonan, uma Satoleuru,
Sakobou, Samoan mutei, Satototnakek, Sarereiket, dan Saegekoni merupakan
pecahan dari uma Satoleuru.
Di dalam uma tidak mengenal stratifikasi sosial dalam kesehariannya, semua
anggota uma (Sipauma/siriuma/sibakatuma) memiliki kesetaraan atau egaliter
dalam uma. Pengambilan keputusan dilakukan secara bersama dalam suatu
musyawarah. Namun demikian, terdapat beberapa tokoh yang “dituakan” dalam
pelaksanaan adat dan tradisi, yaitu Sikebukat uma atau kepala uma (di beberapa
daerah di Mentawai disebut Rimata) dan Sikerei. Sikebukat uma orang yang
8
Istilah uma dan suku seringkali digunakan bergantian untuk mengidentifikasi sesama orang
Mentawai yang baru dikenal.
45

dihormati di suatu uma dan dipilih karena memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang banyak dan baik tentang tradisi dan adat istiadat. Selain itu, Sikebukat uma
harus orang yang arif, bijaksana, sabar, rela berkorban dan adil dalam memimpin
sipuuma dalam mengambil suatu keputusan. Sikebukat uma mempunyai tugas dan
peran memimpin punen (pesta) dan berbagai upacara adat. Walaupun berperan
sebagai pemimpin atau kepala uma, Sikebukat uma tidak mempunyai kekuasaan
dalam pengambilan suatu keputusan. Ketika Sikebukat uma sedang berhalangan
hadir pada suatu pertemuan karena sesuatu halangan, Sikebukat uma dapat
menunjuk salah seorang Sipuuma untuk menggantikan posisinya. Hernawati
(2007) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan punen, Sikebukat uma dapat
dibantu oleh seseorang yang disebut Sipangunan dan di luar punen dibantu oleh
Sirimata dan Sikamuri.

Tabel 3.10 Uma-uma di Muara Saibi, Desa Matotonan, dan Desa Sagulubbek
Nama desa Nama uma
Saibi Samukop Satoko, Saririkak, Sakairinggi, Sakatsilak, Sakerebau, Salakkau, Sakeru,
(Muara Saibi) Sagara-gara, Sagaileppak, Sanene, Sakiloat, Salabi, Saguruk, Sangaimang ,
Sauddeinuk, Sabettiliakek, Siritoitet
Matotonan Satoleuru, Sakobou, Samoan mutei, Satototnakek, Sarereiket, Saegekoni,
Sabulat, Sasagairigi, Sarubei, Sabaggalet, Sagoilok, Samonganpora,
Samongandagi, Sabulau, Siritoitet, Samalei, Saporak, Saguluw, Satoutou,
Samoanbaeloi, Sagainang, Salakkirat
Sagulubbek Sapokai, Sabajak, Sabaguang, Saruruk, Sateppu, Samairap Koan, Saroro,
Saegek Oni, Sabeleake

Selain Sikebukat uma, tokoh lainnya yang berperan dalam kehidupan


tradisional masyarakat Mentawai adalah Sikerei. Sikerei adalah dukun yang
bertugas sebagai perantara komunikasi dan hubungan dunia roh dengan dunia
manusia. Sikerei menguasai ilmu pengobatan tradisional orang Mentawai dengan
penggunaan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan obat. Seperti Sikebukat uma,
Sikerei tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan suatu keputusan dalam
kehidupan sosial orang Mentawai.

Sirubeiteteu/Uma Sabeu

Rak-rak Rak-rak Rak-rak

Uma Uma Uma Uma Uma Uma Uma Uma Uma

Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep Lalep

Gambar 3.2 Bagan skematis organisasi sosial tradisional di Siberut (Sumber:


Darmanto dan Setyowati 2012)
46

Uma yang ada saat ini merupakan bagian dari uma yang lebih besar atau
uma sabeu (Gambar 3.2). Gambar tersebut menjelaskan bahwa sirubei teteu atau
uma sabeu merupakan kumpulan dari uma, faksi uma, dan juga rak-rak (garis
keturunan) yang berbeda-beda, tetapi memiliki klaim leluhur dan sekaligus
memiliki klaim sumber daya alam yang sama, secara sederhana dapat diwakili
dengan kata “leluhur yang sama” (Reeves 2004). Lalep merupakan keluarga inti
yang menjadi unit produksi di Mentawai. Satu uma dapat terdiri atas dua hingga
puluhan lalep dan mencakup 4-100 individu. Variasi jumlah lalep dan individunya
mencerminkan tingkat solidaritas, perkembangan sejarah, dan migrasi (Darmanto
dan Setyowati 2012). Selanjutnya, Darmanto dan Setyowati (2012) menyatakan
walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara anggota uma, kesatuan-
kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa tersebut.

2. Modern

Terdapat banyak organisasi sosial modern yang dibentuk di lokasi


penelitian, seperti Pemerintahan Desa/Dusun, Kelompok Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK), Pemuda Karang Taruna, Pemuda Protestan, dan
Muda Mudi Katholik (Mudika). Ada pula organisasi warga yang bergerak pada
kegiatan mata pencaharian, seperti Kelompok Petani Cokelat, dan Organisasi
Sosial Masyarakat (OMS) untuk membangun proyek jalan desa. Selain itu,
terdapat organisasi eksternal yang beraktivitas di Desa Saibi Samukop,
Matotonan, dan Sagulubbek pada saat penelitian disajikan pada Tabel 3.11.
Organisasi eksternal ini biasanya berkegiatan sesuai dengan tujuan masing-masing
organisasi.

Tabel 3.11 Organisasi eksternal yang beraktivitas di Desa Saibi Samukop,


Matotonan, dan Sagulubbeka
Desa Organisasi Aktivitas
Saibi Pemerintah kabupaten Pembangunan puskesmas, pembuatan persawahan,
Samukop (Pemkab) pembuatan jalan desa
Balai Taman Nasional Pembibitan tanaman hutan, patroli dan survei
Siberut (TNS) kawasan
Program Coremap II Pemberdayaan masyarakat di bidang perikanan laut
Matotonan Pemkab Pembangunan sekolah dasar, pembuatan jalan desa
Balai TNS Pembibitan tanaman hutan, patroli dan survei
kawasan
Pemerintah Arab Saudi Pembangunan masjid
Yayasan Kirekat Pemberdayaan masyarakat dalam bidang pertanian,
penghijauan tanaman hutan
Sagulubbek Pemkab Pemeliharaan jalan desa, pembuatan persawahan
Balai TNS Patroli dan survei kawasan
a
Kegiatan yang dilakukan pada saat penelitian.
47

3.4 Simpulan

Suku Mentawai di CBPS memiliki aset-aset penghidupan yang menjadi


karakteristik masyarakat tersebut. Aset-aset penghidupan tersebut yaitu, pertama,
sumber daya manusia dengan karakteristik penduduk yang terus meningkat
dengan kepadatan tertinggi di ibukota kecamatan, usia kerja yang cukup tinggi
tetapi belum produktif, tingkat pendidikan formal yang rendah, serta keterampilan
utama masyarakat adalah mengelola SDA di sekitar mereka. Kedua, sumber daya
alam dengan karakteristik lahan berhutan yang masih luas, penggunaan lahan
untuk perladangan sebagai sumber perekonomian utama, terdapat flora dan fauna
endemik, area inti CBPS menjadi hulu sungai-sungai besar di Pulau Siberut.
Ketiga, sumber daya fisik berupa infrastruktur publik (kesehatan, pendidikan,
sarana sosial ekonomi) masih terbatas, dan masih berlakunya pengobatan
tradisional oleh Sikerei. Keempat, sumber daya finansial dengan karakteristik
mata pencaharian utama adalah peladang dan meramu hasil hutan dengan
pendapatan yang tidak menentu, tanaman di ladang yang bernilai ekonomis
dianggap sebagai tabungan, dan tidak tersedianya lembaga keuangan di perdesaan.
Kelima, terdapat modal sosial masyarakat Mentawai berupa hubungan
kekerabatan yang kuat di dalam uma.
Rendahnya tingkat pendidikan formal membuat masyarakat sulit untuk
bersaing untuk mendapat pekerjaan sektor formal (pemerintahan maupun swasta)
baik di Tua Peijat (ibukota kabupaten) maupun di Padang (ibukota provinsi).
Terbatasnya akses menuju dan di Pulau Siberut, penduduk yang semakin
meningkat, kebutuhan biaya pendidikan dan biaya kesehatan, serta keterampilan
tradisional yang dimiliki, mendorong masyarakat untuk mengelola SDA yang
berada di sekitar mereka. Sehingga perluasan perladang dan intensifikasi meramu
hasil hutan merupakan strategi penghidupan yang dikembangkan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam upaya perluasan perladangan,
masyarakat mengefektifkan lahan-lahan yang diorganisir oleh uma-uma sebagai
penguasa lahan.
48

4 KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN LAHAN


SUKU MENTAWAI DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

4.1 Pendahuluan

Sumber daya alam (SDA) berupa lahan merupakan sumber daya penting
bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat perdesaan yang umumnya
memanfaatkan lahan sebagai sumber mata pencaharian. Lahan bukan hanya terdiri
atas tumpukan tanah dan tumbuhan atau satwa yang berada di atasnya, lebih jauh
dari itu lahan menyangkut aspek sosial terkait hak kepemilikannya.
Hak kepemilikan (property rights) dapat didefinisikan sebagai sebuah paket
dari hak yang mendefinisikan siapa pemilik hak, hak istimewa, dan batasan
terhadap penggunaan sumber daya alam (Bromely 1991). Hak kepemilikan
menentukan jenis klaim kita terhadap sumber daya dengan menentukan apa yang
bisa dan tidak bisa lakukan dan siapa yang berhak. Mereka menentukan insentif
jangka panjang dalam berinvestasi, mempertahankan, dan meningkatkan sumber
daya. Naguran (2002) menyatakan bahwa terdapat empat jenis hak kepemilikan
yang biasanya terdapat dalam literatur, yaitu kepemilikan negara (state property),
dimana negara memiliki hak untuk menentukan aturan penggunaan atau akses dan
individu yang memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan tersebut. Kepemilikan
pribadi/swasta (private property), dimana individu memiliki hak untuk melakukan
pemanfaatan yang diterima secara sosial dan memiliki kewajiban untuk menahan
perilaku sosial yang tidak dapat diterima. Kepemilikan komunal (common
property), dimana kelompok manajemen (pemilik) memiliki hak untuk
mengeluarkan individu yang bukan anggota dan individu tersebut berkewajiban
untuk mematuhi. Tidak ada kepemilikan (nonproperty), dimana 'pemilik' tidak
terdefinisikan sehingga aliran manfaat tersedia untuk siapapun, sehingga aset
tersebut dianggap sebagai sumber daya akses terbuka atau open access resources
(Bromley 1991).
Hak kepemilikan harus ditegakkan atau dihormati pihak lain. Di dalam Hak
kepemilikan terdapat norma-norma dan aturan main dalam pemanfaatannya dan
menjadi alat pengatur hubungan antar individu. Oleh karena itu, hak kepemilikan
merupakan suatau kelembagaan. Dalam menegakkan hak kepemilikan tersebut
diperlukan badan/organisasi yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut
(North 1990).
Bagi masyarakat Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS) hak
kepemilikan menjadi sangat penting karena berkaitan dengan kepastian pengusaan
faktor-faktor produksi. Salah satu faktor produksi dari SDA adalah lahan/tanah.
Lahan ini menjadi input atau faktor penting dalam proses produksi, termasuk
dalam berbagai kegiatan kehutanan dan pertanian di CBPS, karena berbagai
kegiatan tersebut membutuhkan lahan yang luas (land based). Selain sebagai
faktor produksi dalam ekonomi, lahan juga berperan penting sebagai faktor sosial
dalam kehidupan suatu masyarakat. Sebagai contoh, manusia membutuhkan lahan
untuk permukiman yang lebih baik sebagai dampak dari berkembangnya
penduduk. Begitupula, di atas lahan-lahan tersebut masyarakat berinteraksi secara
sosial dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban mereka. Untuk itu
pemahaman tentang situasi pengelolaan berupa hak kepemilikan dan penggunaan
49

lahan secara tradisional oleh masyarakat Mentawai menjadi penting dalam


pengelolaan SDA di CBPS.

4.2 Metode

Penelitian dilakukan di CBPS. Lokasi pengumpulan data di tiga desa, yaitu


Desa Matotonan di Kecamatan Siberut Selatan, Desa Saibi Samukop di
Kecamatan Siberut Tengah, dan Desa Sagulubbek di Kecamatan Siberut Barat
(lihat Gambar 3.1). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 - Mei 2015.
Data yang dikumpulkan adalah tipe kepemilikan dan penggunaan lahan oleh
masyarakat Mentawai di CBPS. Data tumbuhan di alam yang dikumpulkan
meliputi nama jenis, jumlah, diameter, tinggi, dan manfaat bagi masyarakat. Data
tumbuhan di perladangan yang dikumpulkan meliputi nama jenis, meliputi nama
jenis, jumlah, dan manfaat. Sedangkan data satwa yang dikumpulkan, meliputi
nama jenis, jumlah, kelas umur (tua, muda, anak), dan manfaat.
Data awal dikumpulkan melalui studi dokumen. Hasil studi dokumen
menjadi data dasar wawancara mendalam kepada informan. Wawancara dilakukan
kepada informan kunci (key informans) sebanyak 16 orang yang dipilih secara
sengaja (purposive) dari stakeholders dengan kriteria mengetahui pengelolaan
SDA di CBPS dan atau dianggap banyak mengetahui berbagai aspek yang
berhubungan dengan penelitian. Selama penelitian, dilakukan juga beberapa
pertemuan informal dengan kelompok masyarakat agar mendapatkan lebih banyak
informasi. Data hasil wawancara dibuktikan melalui pengamatan langsung di
lapangan (participative observation) pada areal unit sampel (sampling unit).
Pengamatan terhadap sumber daya tumbuhan dilakukan di hutan di dekat
perkampungan dan ladang masyarakat, sedangkan sumber daya satwa hanya
dilakukan di hutan.
Data tumbuhan di alam dikumpulkan dengan metode kombinasi. Indriyanto
(2010) menyatakan bahwa metode kombinasi merupakan kombinasi antara
metode jalur dan garis berpetak. Panjang jalur dalam petak ini sepanjang 100 m.
Data tanaman di perladangan dikumpulkan di ladang masyarakat. Ladang tersebut
dianggap suatu petak dan dipilih ladang yang menerapkan pola tanam polikultur
yang merupakan pola perladangan tradisional masyarakat Mentawai di CBPS.
Luas ladang dipilih minimal seluas 0.5 ha. Hal ini didasarkan dari data BTNS
(2010) yang menyatakan bahwa bahwa satu keluarga di Siberut minimal memiliki
ladang seluas 0.5 ha. Jumlah ladang yang menjadi unit sampel sebanyak 3 unit
atau seluas 1.5 ha. Selanjutnya data satwa dikumpulkan dengan metode transek
garis dengan panjang jalur 1 000 m di setiap hutan di sekitar lokasi penelitian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif. Untuk mendukung deskripsi SDA,
maka dibahas secara singkat sejarah pemanfaatan SDA yang diamati. Analisis
dilakukan dengan pendekatan bahwa SDA mempunyai manfaat atau nilai (Pearce
1992 dalam Munasinghe 1993). SDA bermanfaat secara ekonomi bila SDA dapat
dikonsumsi langsung atau bernilai menghasilkan uang tunai, misalnya kayu,
makanan, biomassa, rekreasi, tumbuhan obat. SDA bermanfaat ekologi bila
memiliki fungsi ekologis, pengendalian banjir, menjaga kualitas air, perlindungan
terhadap angin, sumber plasmanutfah, melindungi habitat, flora dan fauna lain,
sedangkan SDA bermanfaat secara sosial bila mendukung kegiatan ritual adat dan
50

budaya masyarakat. Analisis potensi sumber daya tumbuhan menggunakan


analisis vegetasi. Parameter dalam analisis vegetasi yang dihitung, yaitu
kerapatan, frekuensi, dominasi, dan indeks nilai penting. Untuk menganalisis
satwa, dihitung jumlah satwa dijumpai dan digolongkan berdasarkan kelas umur.

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Kepemilikan Lahan

Kehidupan Suku Mentawai di CBPS berorientasi ke darat, walaupun secara


geografis dikelilingi oleh laut, sehingga lahan/tanah menjadi SDA yang sangat
penting bagi kehidupan mereka. Semua lahan-lahan di Pulau Siberut telah dimiliki
oleh uma yang kepemilikannya bersifat komunal. Kepemilikan lahan oleh uma
diperoleh secara turun-temurun melalui proses penemuan, denda, atau hibah (lihat
Tabel 4.1). Dalam perkembangan selanjutnya, lahan uma dapat berpindah
kepemilikan ke uma lain atau menjadi lahan milik perseorangan (private).
Polak teteu merupakan harta warisan yang sakral di dalam uma, karena
berasal dari nenek moyang yang harus dipertahankan dan dikelola sebaik-baiknya
sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang. Polak teteu menjadi
simbol kebanggaan dan kekayaan dari sebuah uma, dan membuat mereka disegani
oleh uma-uma lain, oleh karena itu jarang dibagikan-bagikan kepada sipuuma.
Sehingga kepemilikan polak teteu selalu bersifat komunal.
Lahan-lahan milik uma diwariskan kepada sipuuma (anggota uma) laki-laki
dari satu garis keturunan patrilineal yang sama. Sipuuma perempuan tidak berhak
menjadi ahli waris, tetapi saudara laki-laki yang menjadi ahli waris berkewajiban
melibatkan saudara perempuan mereka ketika memanen hasil dari harta warisan,
misal memanen buah durian, langset atau rambutan hutan (pananduk). Seorang
ayah akan mewariskan hartanya kepada anak kandung laki-lakinya, begitupula
dengan anaknya laki-lakinya tersebut akan mewariskan kepada anak kandung
laki-lakinya, dan demikian seterusnya. Anak laki-laki akan menerima harta waris
ketika orang tuanya telah meninggal. Namun, bila si anak masih kecil, harta
warisan dikelola sementara oleh saudara laki-laki kandung dari ayah (bajak).
Hasil dari harta warisan dibagi seimbang antara si anak dan bajak, dan berlaku
hingga si bajak meninggal dunia. Ketika si bajak meninggal dunia baru harta
waris dapat dibagikan kepada sesama anak laki-laki yang menjadi ahli waris.
Oleh karena itu, bagi orang Mentawai, setiap individu selalu terkait dan
memiliki hubungan kekerabatan dengan uma tertentu. Demikian pula dengan
setiap lahan pasti dimiliki oleh uma tertentu. Secara adat, tidak ada lahan yang
dimiliki oleh pendatang (sasareu)9 yang bukan orang Mentawai, termasuk
pemerintah. Jadi, tidak ada individu yang tidak memiliki uma, dan tidak ada uma
yang tidak punya lahan. Dengan kata lain, individu yang tidak punya identitas
uma, maka dianggap bukan orang Mentawai dan tidak berhak atas lahan-lahan
yang dimiliki uma.
Di masyarakat Mentawai dikenal hak pakai dalam pemanfaatan lahan.
Seseorang atau kelompok dapat memanfaatkan lahan milik uma lain (sibakat
9
Istilah sasareu juga disematkan kepada orang Mentawai yang menjadi pendatang di suatu
daerah/kampung.
51

laggai atau Sibakat porak) untuk suatu kebutuhan, tetapi tidak boleh menjual
lahan tersebut. Pemanfaatan lahan ini biasanya melalui suatu perjanjian lisan.
Orang atau kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan uma lain disebut
Sitoi. Sitoi bukannya tidak memiliki lahan, melainkan lahan mereka jauh dari
permukiman saat ini. Hak pakai ini terkait dengan migrasi lokal masyarakat
Mentawai karena konflik-konflik internal di uma yang tidak terselesaikan,
sehingga uma pecah dan salah salah satu uma menyingkir ke wilayah lain untuk
menghindari konflik terbuka. Selanjutnya, kebutuhan lahan yang lebih subur dan
landai untuk berbudidaya tanaman komersil. Adanya konsep hak pakai ini
menunjukkan adanya konsep berbagi di antara uma di Mentawai.

Tabel 4.1 Asal kepemilikan lahan di Suku Mentawai di Siberut a


Asal
Deskripsi
kepemilikan
Polak teteu Lahan yang dimiliki uma karena ditemukan pertama kali oleh anggota uma
atau polak (sipuuma/sibakkat uma) sebelum ditemukan oleh sipuuma lain. Jadi, lahan ini
sinese merupakan hasil temuan nenek moyang dan berhubungan erat dengan silsilah
keluarga. Klaim kepemilikan atas lahan jenis ini adalah yang paling kuat. Lahan
ini menjadi pertanda yang cukup tegas tentang sejarah asal-usul, persebaran,
pertikaian, dan perpecahan uma-uma besar di Mentawai.
Polak lulu Lahan yang dimiliki uma dari uma lain sebagai ganti rugi nyawa akibat kasus
punuteteu atau pembunuhan atau pengayauan di masa lalu.
lulu utek
Polak sinaki Lahan yang dimiliki uma melalui proses pembelian dari uma lain melalui barter.
Awalnya lahan ini merupakan polak sinese, tetapi pemilik kemudian
menjualnya kepada uma atau kerabat lain. Proses perpindahan kepemilikan ini
umumnya bersifat sukarela.
Polak ala’ toga Lahan yang dimiliki uma karena proses perkawinan. Di masyarakat Mentawai
lahan dapat berfungsi sebagai mahar atau mas kawin dari pihak laki-laki untuk
pihak perempuan. Saat ini, pemberian mahar berupa sebidang lahan sudah
sangat jarang dilakukan, bila ada biasanya pernikahan tersebut melibatkan
permasalahan yang lebih kompleks, misal terkait sejarah pengayauan di masa
lalu.
Pangurau Lahan yang dimiliki sebagai upah atau imbal jasa atas diangkatnya seseorang
dari uma lain menjadi anggota suatu uma. Hak atas lahan tersebut disebut
sebagai “pangarau”. Kepemilikan ini terjadi karena seseorang yang diangkat
sebagai saudara meminta pisah dari uma yang mengangkatnya, dan dia meminta
haknya berupa sebidang lahan yang telah dia kuasai.
Polak tulou Lahan yang dimiliki uma dari uma lain karena denda atas pelanggaran aturan
atau kesepakatan adat.
Polak upa Lahan yang diperoleh dari upah atau jasa menolong atau menggendong salah
pangorek seorang sipuuma lain yang sedang mengalami musibah di hutan untuk dibawa
ke uma-nya.
Polak pasailiat Lahan yang dimiliki uma karena proses pertukaran hak kepemilikan ladang
mone dengan uma lain. Pada umumnya, proses ini terjadi antara uma yang
membangun aliansi bersama dan berdekatan lokasi perladangan.
Polak pribadi Lahan yang dimiliki pribadi melalui proses pembelian atau pertukaran dengan
individu atau uma lain.
a
Diolah dari Darmanto dan Setyowati (2012).
52

Konsep hak pakai ini dapat dilihat dari kepemilikan lahan perkampungan
yang dihuni banyak uma, serta lokasi perladangan dan hutan yang menjadi
sandaran hidup masyarakat, yang lahannya hanya dimiliki oleh beberapa uma saja.
Contoh, perkampungan di Desa Matotonan yang dihuni oleh dua puluh dua uma,
tetapi pemilik lahannya hanya lima uma (Uma Sabulat, Saguluw, Salakkirat,
Sarubei, dan Sabaggalet), sedangkan di Muara Saibi lahan di sekitar
perkampungan kebanyakan lahannya dimiliki oleh uma Satoko. Begitupula di
lokasi perladangan dan hutan di Matotonan umumnya dimiliki oleh uma
Satoleuru, Satoutou, Sabaggalet, Sagoilok, dan Salakkirat. Adanya konsep hak
pakai ini membuat kepemilikan sumber daya di atas suatu lahan berbeda dan
rumit. Dapat ditemukan suatu lahan dimiliki oleh satu uma, tetapi tanaman di atas
dimiliki oleh beberapa orang yang berlainan uma. Walaupun lahan milik uma,
tetapi ladang dan tanamannya merupakan milik individu yang menanam.
Dalam konsep bundles of the right, hak kepemilikan Sitoi atas lahan
dikategorikan sebagai authorized user karena memiliki hak acces dan withdrawal.
Sedangkan uma pemilik lahan merupakan pemilik hak penuh (full owner) karena
memiliki hak yang lengkap meliputi hak acces, withdrawal, management,
exclusion, dan alienation. Sebaliknya, hak kepemilikan Sitoi atas tanaman yang
ditanamnya di lahan uma lain bersifat full owner karena Sitoi dapat menentukan
siapa yang memanfaatkan tanaman hingga menjadi alat transaksi seperti
membayar denda (tulou) dan memperjual belikannya. Sedangkan sibakat polak
tidak mempunyai hak atas tanaman yang ditanam Sitoi. Walaupun demikian, hak
kepemilikan atas lahan lebih tinggi dari hak kepemilikan. Sehingga Sitoi rentan
terhadap pengusiran bila berkonflik dengan uma pemilik lahan (sibakat polak).
Kepemilikan lahan secara private ini masih jarang di CBPS dan terjadi di
pesisir timur Pulau Siberut. Hal ini sebagai dampak dari berkembangnya
permukiman dan lebih terbukanya akses masyarakat di pesisir timur terhadap
dunia luar. Lahan-lahan yang berada di dekat pemukiman dan jalan menjadi lebih
bernilai karena diminati pendatang sebagai lokasi tempat tinggal, berjualan, dan
berladang. Eksternalisasi ini, membuat pemilik lahan menjual lahan kepada
pendatang. Pendatang yang telah membeli lahan mulai melakukan proses
sertifikasi agar memantapkan kepemilikan mereka. Begitupula masyarakat
Mentawai yang memiliki lahan, turut melakukan sertifikasi agar nilai lahan
menjadi lebih mahal.
Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) dari Kementerian Sosial berupa
pembangunan permukiman baru juga memicu sertifikasi lahan komunal. Contoh
Program KAT tahun 2009 di Matotonan, para pemilik lahan tidak menginginkan
kompensasi berupa uang atas hibah lahan, melaikan mereka menginginkan
sertifikat lahan bagi penghuni permukiman. Menurut informan dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Mentawai, di Pulau Siberut terdapat sertifikat tanah
walaupun masih sedikit, terutama untuk tanah perkantoran pemerintah.
Proses sertifikasi tanah ini juga didorong oleh pemerintah daerah dan BPN,
terutama sejak tahun 2005 (Darmanto dan Setyowati 2012). Beberapa generasi
muda, terutama di pesisir timur Pulau Siberut antusias dengan proses sertifikasi
lahan karena memandang sertifikasi sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas
lahan mereka, menghindari konflik lahan antar uma yang berlangsung turun
temurun, dan menjadi modal usaha (dianggunkan), artinya pembangunan di
pesisir timur dianggap membawa eksternalisasi positif. Sebaliknya, kebanyakan
53

generasi yang lebih tua tidak setuju dengan sertifikasi karena akan berdampak
semakin berkurangnya lahan uma, prosesnya yang rumit, dan adanya konsekuensi
pembayaran pajak atas lahan private yang akan menambah beban mereka.
Program sertifikasi pada lahan komunal perlu kehati-hatian karena dampaknya
dapat merusak kelembagaan masyarakat setempat. Pokharel et al. (2007)
menyatakan bahwa sertifikasi lahan bisa jadi memperbaiki pengelolaan hutan,
tetapi mungkin juga menyebabkan hancurnya kelembagaan adat setempat yang
mampu mengelola sumber daya dengan lebih baik.

4.3.2 Penggunaan Lahan

Secara tradisional masyarakat Mentawai di CBPS memanfaatkan


lingkungannya sebagai tempat melakukan aktivitas dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas tersebut merubah lingkungan alami, seperti
hutan menjadi lingkungan yang lebih khas. Secara tradisional mereka
mengklasifikasi lingkungan di sekitarnya dalam berbentuk penataan lahan.
Klasifikasi lingkungan alami maupun buatan tersebut, terdiri atas ladang baru
(tinungglu), ladang tua (pumonean), ladang keladi (pugettekat), ladang sagu
(pusaguat), hutan atau bukit (leleu), sungai dan rawa (bat oinan), pantai dan
pulau-pulau kecil (nusa), serta permukiman (barasi) (Darmanto 2006). Dari hasil
pengamatan di lapangan, terdapat satu lagi ekosistem buatan di CBPS yakni
persawahan (puberakat). Kekhasan setiap lingkungan tersebut menjadi tanda atau
identitas aktivitas masyarakat terhadap lingkungan dan pengaruh yang
ditimbulkannya (Purwanto et al. 2004).

1. Perladangan (Tinungglu dan Pumonean)

Ladang baru atau tinungglu merupakan ladang yang terbentuk setelah hutan
ditebang, dibersihkan, dan ditanami. Pembukaan tinungglu dapat dilakukan
bersama oleh sebuah uma, satu keluarga, atau perseorangan. Dalam proses
pembuatan tinungglu, kayu yang berguna (seperti untuk membuat rumah, pondok,
atau sampan) tidak ditebang, dan tidak dilakukan kegiatan pembakaran bekas
tebasan tumbuhan. Kegiatan pembakaran tidak dilakukan karena ada harapan
berbagai benih yang tersimpan di tanah cepat tumbuh, dan tumbuh bersama
dengan tanaman yang dibudidayakan (Darmanto 2006). Tinungglu ditanami
dengan tanaman sumber penghasil pangan (seperti keladi, pisang, ubi kayu, ubi
jalar, sayuran, buahan), tanaman komersil (seperti nilam, kakao, pinang, manau,
gaharu, meranti, cengkeh), tanaman bahan memasak (kayu bakar, bambu), dan
tumbuhan obat. Umumnya sistem penanaman di tinungglu ini serupa pola
agroforestri (polikultur). Ladang tua atau pumonean merupakan kelanjutan dari
tinungglu yang ekosistem hampir menyerupai hutan sekunder. Pumonean dapat
dibedakan dari hutan melalui komposisi tegakannya yang didominasi oleh
tanaman dari pohon buah. Walaupun demikian, terdapat pula pohon-pohon yang
dianggap bermanfaat oleh masyarakat, seperti dari jenis meranti atau keruing.
Selain bermanfaat secara ekonomi, pumonean dan tinungglu berguna secara sosial
bagi masyarakat, yakni menjadi alat tukar di masyarakat, alat penyelesaian
konflik, (pembayaran denda), harta waris, dan menjadi ukuran kekayaan
seseorang. Gambar perladangan dapat dilihat pada Gambar 4.1.
54
(
b)

u Pumonean

Gambar 4.1 Ladang baru/tinungglu dan ladang tua/pumonean

Hasil wawancara dengan masyarakat terindentifikasi jumlah tumbuhan dan


hewan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat yakni sebanyak 72 jenis, terdiri
atas 52 jenis tumbuhan dan 20 jenis/kelompok satwa (lihat Lampiran 2) dan
hampir semua jenis tersebut diambil dari lokasi perladangan. Informasi tersebut
diperkuat dengan hasil survei di perladangan masyarakat Mentawai yang
menunjukkan bahwa tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat didominasi
oleh tanaman pangan, yaitu 19 jenis dari 28 jenis tanaman (Tabel 4.2 dan
Lampiran 3-5). Selain tanaman untuk pangan, masyarakat juga membudidayakan
tanaman untuk bahan bangunan, tumbuhan obat, dan kegiatan sosial, pembuat
racun, kayu bakar, dan dijual untuk menghasilkan uang tunai. Sebagai besar
tumbuhan yang dibudidayakan merupakan tanaman asli dari Pulau Siberut, tetapi
adapula jenis eksotik atau berasal dari luar Pulau Siberut (pada Tabel 4.3). Jenis
tanaman eksotik tersebut, umumnya bernilai komersil yang hasilnya laku dijual.
Keberadaan tanaman eksotik ini menunjukkan bahwa pembudidayaan tanaman
oleh masyarakat Mentawai dipengaruhi perdagangan/pasar dari luar. Hal ini juga
menandakan adanya perubahan sosial di masyarakat Mentawai di CBPS, dimana
tanaman di perladangan yang secara tradisional semula untuk memenuhi
kebutuhan subsisten (subsistence harvested) mulai beralih untuk menghasilkan
uang (market harvested).
Tinungglu didominasi oleh tanaman muda, sedangkan pumonean didominasi
oleh tanaman buah yang sudah besar. Pohon buah, seperti durian (Durio spp.),
rambutan hutan (Nephelium lappaceum), langsat (Aglaia spp.) merupakan
tanaman yang paling banyak berada di pumonean. Tanaman buah ini banyak
ditanam karena mempunyai makna khusus bagi kehidupan sehari-hari masyarakat
Mentawai. Selain menjadi sumber vitamin dan mineral, memakan buah biasanya
dilakukan bersama dengan sipuuma (anggota uma) dan menjadi hidangan selama
musim buah berlangsung. Hal ini menjadi simbol kebersamaan di masyarakat
Mentawai. Pohon buah juga menjadi penanda kepemilikan atas lahan.
Beberapa jenis tumbuhan memiliki arti penting bagi masyarakat Mentawai,
baik dari segi ekonomi maupun sosial. Tumbuhan-tumbuhan tersebut antara lain,
pertama durian. Durian mempunyai manfaat tersendiri bagi masyarakat, yaitu
55

sebagai makanan10, pakan ternak (durian yang masak), bahan obat untuk ibu
hamil, bahan bangunan, mas kawin (alak toga), alat tukar, dan pohon tempat
dibuatnya kirekat11. Pohon yang berstatus kirekat akan disakralkan, dan denda
yang besar bila merusaknya. Terdapat tiga varietas durian di Siberut, yaitu doriat,
toktuk, dan sipusinoso. Musim berbuah tiap varietas durian jarang bersamaan.
Biasanya masa berbuah tiap varietas selama dua bulan. Setelah musim buah
durian, dilanjutkan oleh musim buah langsat (tiat) dan rambutan hutan (babaet).

Tabel 4.2 Jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat Siberut di perladangan


Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana Keteranganb
Gette' Colocasia esculenta Pg
Mago' Musa spp. Pg
Asit Ananas comosus Pg, Ok Ek
Bebeget/manau Calamus manan Pa, Ju
Coklat Theobroma cacao Pg, Ju Ek
Puring Codiaeum variegatum Ok, So
Pinang Arenga pinanga Ju Ek
Cengkih Eugenia aromatica Ju, Kb Ek
Bobloh Cordyline sp. Ok, So
Sakkoile Carica pepaya Pg, Ok
Toitet Cocos nucifera Pg, Ok, Ju
Obbuk Schizostahyum sp. Pa
Daro Siboitok Capsicum sp. Pg, Ra
Gobik Sipugurui Ipomea batatas Pg
Gobik Sipukaju Manihot esculenta Pg
Katuko Shorea sp. Pa, Kb
Doriat Durio zibethinus Pg, Pa
Peigu Arthocarpus heterophylus Pg, Pa
Tiat Sibulu Aglaia aquaea Pg
Doriat Belanda Annona muricata Pg Ek
Tojet Gnetum gnemon Pg, Kb
Mutei Citrus sp. Pg, Ok
Sabbui Psidium guajava Pg, So, Kb
Kulit manis Cinnamomum zeylanicum Ju, Ok, Kb Ek
Babaet/Bairabbit Nephelium ssp. Pg
Koka Dipterocarpus sp. Pa
Tiat Aglaia aquaea Pg
Baiko Artocarpus elasticus Pg, Sd, So, Kb
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun; b Ek: jenis eksotik.

10
Masyarakat Siberut lebih suka mengkonsumsi buah durian yang masih mengkal daripada yang
masak karena yang masak sudah dianggap busuk.
11
Kirekat adalah sebuah benda untuk mengenang seseorang yang meninggal. Kenang-kenangan ini
dipahatkan ke pohon durian membentuk alur tubuh orang yang meninggal atau dipahatkan ke
sebuah papan.
56

Tabel 4.3 Jenis tanaman komersil yang dibudidayakan masyarakat Siberut


Nama
Harga di tingkat pengumpul
Perdagangan Ilmiah Lokal
b
Rotan Calamus manan Bebeget Ukuran L diamater 36 = Rp8 000 &
manau diamater 31 = Rp3 000; M= Rp1 500; S=
Rp1 000 /batang
Gaharu Aquilaria malaccensis Simoitek Kelas teri Rp200 000–Rp300 000 /gram,
kelas A Rp3000 000 /g
Kelapac Cocos nucifera Toitet Rp4 000 - Rp5 000 /kg
Rotan Daemenorops sp. Taset Rp17 000 /kg
jernang
Nilam Pogostemon cablin Nilam Rp180 000 /botol
Kakao Theobroma cacao Coklata Rp18 000 - Rp30 000 /kg
Pinang Arenga pinnata Pinanga Rp4 500 - Rp10 000 /kg
Cengkeh Syzygium aromaticum Cengkeha Rp45 000 /kg
Pala Myristica fragrans Paloa Puli = Rp80 000 /kg, biji = Rp30 000 /kg
a
Tanaman eksotik (dari luar Pulau Siberut); Panjang 3 m; cDijual dalam bentuk kopra.
b

Kedua, kelapa (Cocos nucifera). Kelapa merupakan komoditi andalan


masyarakat Siberut yang bermukim di tepian pantai. Berbeda dengan durian,
kelapa dibudidayakan masyarakat Siberut secara monokultur dan tidak ada kebun
kelapa yang dibangun oleh perusahaan. Produksi kelapa dari Pulau Siberut pada
tahun 2013 sebanyak 3 099.40 ton/tahun atau 40.60% dari total produksi kelapa
dari Kepulauan Mentawai (BPS 2015a). Angka ini menunjukkan pentingnya
kelapa sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Umumnya kelapa diolah
untuk dijadikan kopra. Selain bermanfaat secara ekonomi, kelapa juga dikonsumsi
masyarakat, menjadi pakan ternak, bahan obat, bahan bangunan, mas kawin (alak
toga), dan alat tukar. Saat ini, kelapa juga banyak diolah untuk dijadikan minyak
goreng. Contoh, di Desa Matotonan dan Sagulubbek, beberapa ibu rumah tangga
membuat minyak goreng kelapa untuk dipakai sendiri dan dijual kepada tetangga.
Hal ini mengurangi kebutuhan minyak goreng dan menambah penghasilan
keluarga. Bernilainya kelapa di pasaran membuat banyak masyarakat di pesisir
Siberut mengakumulasi kekayaannya dalam kebun kelapa.
Di perladangan masyarakat Mentawai juga menanam baiko atau terap
(Artocarpus elasticus) yang kulitnya dapat diolah menjadi pakaian tradisional.
Pakaian tradisional pria disebut kabit. Kabit serupa kain panjang, tetapi tidak lebar
yang dililitkan ke pinggang dan menutupi kemaluan membentuk cawat. Selain
dibuat pakai, kulit kayu pohon ini bisa digunakan untuk bahan pengikat pengganti
tali. Saat ini, jarang sekali masyarakat Mentawai yang masih memakai kabit. Di
permukiman Matotonan dan Sagulubbek, kabit biasanya dipakai oleh orang tua
dan atau Sikerei yang sedang melakukan pengobatan. Sedangkan di permukiman
Muara Saibi, hampir tidak ada lagi masyarakat yang memakai kabit. Umumnya,
saat ini masyarakat Mentawai telah memakai baju sebagai pakaian.
Perladangan juga menghasikan tumbuhan sebagai bahan obat. Pengobatan
penyakit ringan dapat dilakukan oleh individu, tetapi bila penyakitnya berat
pengobatan dilakukan oleh Sikerei. Sikerei dipercaya masyarakat dapat
berkomunikasi dengan roh yang menyebabkan manusia sakit dan memiliki
57

pengetahuan mendalam tentang manfaat tumbuhan sebagai bahan obat. Walaupun


saat ini, sudah tersedia puskesmas atau puskesmas pembantu di tiap desa, tetapi
masyarakat masih melakukan pengobatan di Sikerei. Menurut Ave dan Sunito
(1990), masyarakat Siberut telah menggunakan 233 jenis tumbuhan sebagai bahan
obat yang digunakan sebagai penyembuh untuk 123 jenis penyakit.
Selain menyediakan tumbuhan obat, perladangan juga menjadi sumber
bahan alat dan kegiatan sosial. Dalam melaksanakan kehidupan, masyarakat
Siberut didukung oleh peralatan rumah tangga dan benda untuk adat. Peralatan
dan benda yang dihasilkan oleh masyarakat umumnya terbuat dari kayu, seperti
berbagai jenis lulak (piring), koraibi (perisai), dan tuddukat (sejenis kentongan
besar yang diletakkan di tanah untuk alat komunikasi). Kayu yang digunakan
untuk membuat peralatan ini di antaranya pulai (Alstonia spp.) meranti (Shorea
spp.), dan keruing (Dipterocarpus spp.). Selain itu, peralatan masyarakat yang
terbuat dari besi tetap mengkombinasikan dengan kayu, rotan, atau nibung seperti
alat parang, beliung, dan pisau. Dalam melakukan ritual adat, masyarakat
menggunakan dedaunan dan bunga, seperti kembang sepatu (Hibiscus
rosasinensis), puring/surak (Codiaeum variegatum), puring hutan/ailelepet
(Graptophyllum pictum), pucuk daun nibung, dan pucuk daun kelapa. Tanaman
untuk ritual adat ini banyak ditanam di sekitar rumah dan perladangan (lihat
Lampiran 3-5).
Perladangan juga menjadi lokasi masyarakat memelihara hewan ternak.
Hewan ternak dipelihara masyarakat di pondok-pondok (sapou sainak) di luar
perkampungan. Hewan yang banyak dipelihara, yaitu ayam, babi, dan sapi.
Hewan-hewan ternak, selain menjadi sumber protein hewani, berfungsi juga
sebagai alat pembayaran, dan khusus babi menjadi simbol kekayaan seseorang.
Babi dan ayam banyak dipotong ketika ada acara adat. Ayam dapat dikonsumsi
sendiri oleh satu keluarga, tetapi ini tidak berlaku pada babi, sapi, atau satwa
buruan. Hewan-hewan tersebut, jika dipotong harus berbagi dengan semua
sipuuma yang ada di suatu dusun atau desa. Setiap sipuuma mendapat bagian
(otcai) yang sama. Tidak mau berbagi atau tidak adil dalam berbagi akan
membuat seseorang sipuuma merasa sedih (mabelek baga) dan bila kejadian
berulang dapat berdampak pada hubungan antar keluarga bahkan perpecahan uma.
Sapi lebih sering dipelihara untuk dijual ke pedagang dari Padang daripada
dipotong untuk konsumsi lokal. Penjualan sapi banyak dilakukan menjelang Hari
Raya Haji. Saat ini, setiap sebulan sekali masyarakat di Muara Siberut memotong
sapi untuk kebutuhan konsumsi lokal.
Uraian di atas menjelaskan bahwa tanaman yang dibudidayakan di
perladangan oleh masyarakat Mentawai awalnya terutama ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan subsisten dan saat ini mulai ditujukan menghasilan uang
tunai. Hal ini sesuai dengan pendapat Febrianto dan Fitriani (2012) bahwa orang
Mentawai memenuhi kebutuhan hidupnya dari berladang. Kebanyakan tanaman
yang dibudidayakan merupakan tumbuhan asli yang berasal dari hutan. Hal ini
menandakan pumonean mempertemukan kepentingan ekonomi dan ekologi.
Zhang et al. (2013) menyatakan bahwa pemanfaatan tumbuhan hutan oleh
masyarakat merupakan strategi untuk melengkapi jumlah jenis yang
dibudidayakan di kebun dan perkarangan dan menjadi strategi memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
58

2. Ladang keladi (Pugettekat)

Disebut ladang keladi karena lahan ditanami dengan keladi/gette’ (Colocasia


spp.). Pugettekat dibuat di sekitar permukiman dan pondok babi (sapou saina’).
Gette’ dibudidayakan di lingkungan berair, seperti rawa, aliran sungai yang sudah
mati, tepi sungai, atau tepi jalan yang berparit. Ladang ini biasanya dikelilingi
pagar dari tanaman hidup agar tidak diganggu ternak (Gambar 4.2). Pemeliharaan
pugettekat menjadi tanggung jawab kaum wanita. Di CBPS, keladi menjadi
sumber makanan utama selain sagu. Selain itu, ekosistem ini juga menjadi sumber
protein bagi masyarakat karena menghasilkan ikan, udang, dan katak. Keladi juga
bernilai penting karena bisa menjadi alat tukar, seperti untuk membayar hutang,
mas kawin, denda, atau dijual.

Pugettekat Pusaguat

Gambar 4.2 Ladang keladi/pugettekat dan ladang sagu/pusaguat

3. Ladang Sagu (Pusaguat)

Pusaguat mengacu pada ladang sagu di ekosistem rawa sagu alami yang
sudah dijadikan lokasi mengambil sagu (Metroxylon sagu) atau ladang sagu yang
tanaman sagunya sudah ditanam oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang
mengambil tunas vegetatif tersebut untuk ditanam ke lokasi lain guna memulihkan
lokasi yang terlalu banyak dipanen atau untuk memudahkan pengolahan saat di
panen. Penanaman sagu dilakukan di dataran rendah berpaya di dekat
perladangan. Dataran rendah dipilih karena lebih subur dibandingkan di dataran
yang lebih tinggi, dimana pupuk alami dari longsoran tanah humus dari lereng-
lereng bukit terkumpul di lokasi ini. Pusaguat seperti ini dapat membentuk
ekosistem seperti rawa, karena kemampuan jaringan perakarannya untuk menahan
air. Pusaguat dapat bertambah luas dengan sendirinya, karena sagu dapat
berkembang biak secara vegetatif.
Secara morfologi, tumbuhan sagu di Pulau Siberut tumbuh lebih besar dan
tinggi dibandingkan di daerah Malaya (Whitmore 1973 dalam WWF 1980). Sagu
juga mempunyai multi manfaat, yang hampir seluruh bagiannya dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sari pati dari empelur sagu dijadikan tepung
sebagai bahan makanan. Empelur batang yang dikupas atau dipotong kecil-kecil
59

dijadikan makanan ternak. Daun dijadikan sebagai pembungkus kapurut


(makanan dari tepung sagu yang dimasak dengan cara dibakar), tampin (wadah
sementara sagu yang berbentuk keranjang), atap rumah, sapu lidi. Pelepah daun
dibuat menjadi keranjang atau tas, serta kulit batang dijadikan dinding pondok.
Batang sagu yang setelah ditebang dan dibiarkan hingga membusuk menghasilkan
larva kumbang atau tamra (Rhynchophorus ferrugineus). Tamra menjadi sumber
protein yang sangat disukai masyarakat. Hal ini sesuai pendapat WWF (1980)
bahwa sagu merupakan tanaman yang paling banyak memberikan manfaat bagi
manusia.
Sagu merupakan sumber ketahanan pangan bagi masyarakat Mentawai di
CBPS. Setiap batang sagu dengan panjang 20 m dapat menghasilkan tepung
sekitar 600 kg (10 tampin). Setiap tampin bisa memenuhi kebutuhan satu keluarga
kecil (4 orang) selama 10 hari, dengan kata lain satu batang sagu dapat
menghidupi satu keluarga selama sekitar 3 bulan. Dalam satu tahun, satu keluarga
kecil hanya membutuhkan sekitar lima batang sagu (Susanto 1994). Pengolahan
sagu secara tradisional dari menebang hingga menjadi tepung membutuhkan
waktu sekitar 30 hari dengan jam kerja 8 jam per hari (WWF 1980). Bila tepung
sagu belum segera dikonsumsi, tepung sagu dalam tampin direndam dalam air di
paya-paya agar dapat bertahan lama. WWF (1980) menyatakan bahwa produksi
sagu di Siberut boleh jadi sebagai cara menghasilkan persediaan pangan paling
efisien di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan masyarakat
Mentawai di CBPS secara tradisional sangat kuat. Faktanya adalah ketika terjadi
krisis moneter di Indonesia tahun 1998, masyarakat Mentawai yang
mengkonsumsi sagu tidak terpengaruh dengan kondisi harga beras yang
melambung tinggi. Selain bermanfaat sebagai sumber pangan, sagu dapat menjadi
alat tukar, seperti untuk membayar hutang, mas kawin, denda, dan atau dijual
kepada orang lain.
Saat ini mulai terjadi pergeseran makanan pokok di masyarakat Mentawai
dari sagu ke beras. Pembangunan persawahan di perdesaan di Pulau Siberut mulai
digalakkan oleh Pemkab (lihat Subbab 3.3.1 tentang persawahan). Selain padi
yang ditanam di sawah, terdapat pula padi yang ditanam di ladang, seperti yang
dilakukan oleh beberapa masyarakat di Desa Madobak, tetapi lahan padi ladang
ini tidak luas. Perbandingan tumbuhan sagu dan padi di Pulau Siberut dijelaskan
pada Tabel 4.4.
Data tersebut menunjukkan bahwa dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya,
budidaya padi tidak cocok diterapkan di Pulau Siberut. Budidaya padi sawah
menghasilkan produk yang lebih sedikit dibandingkan sagu. Selain itu, tidak
cocok dengan aktivitas tradisional masyarakat jika dihubungkan dengan
pembagian kerja sesuai gender, dimana beban kerja kaum wanita akan bertambah
untuk memelihara sawah. Terdapat hambatan psikologis dalam mengkosumsi
nasi, yang menurut masyarakat mengkonsumsi sagu lebih mengenyangkan
daripada nasi. Persawahan juga dibangun di lokasi rawa sagu, sehingga
mengurangi ekosistem sagu yang menjadi sumber makanan pokok masyarakat.
Kebijakan pembangunan persawahan ini masih dipersoalkan oleh beberapa
lembaga non pemerintah berbasiskan kemasyarakatan, untuk itu solusi pengganti
program raskin perlu ditinjau kembali.
60

Tabel 4.4 Perbandingan tumbuhan sagu dan padi di Pulau Siberut


Tumbuhan
Kriteria
Sagu Padi
Asal tumbuhan Tumbuhan asli Tumbuhan eksotik
Habitat Tumbuh alami di rawa-rawa, lokasi Dibuat di lokasi yang berawa
berair di sepanjang sungai, dan dapat
ditanam di sekitar perladangan
Budidaya:
Sumber benih Lokal Benih didatangkan dari luar
pulau
Kemampuan Dapat beregenerasi sendiri Perlu dibantu manusia di media
berkembang biak tanam untuk memudahkan
penanaman bibit
Jenis vegetasi Vegetasi hutan (menahun) Vegetasi musiman
Tenaga kerja Hanya pria Utamanya dilakukan wanita
Penggunaan tenaga Tenaga kerja banyak dibutuhkan Tenaga kerja banyak dibutuhkan
kerja ketika pengolahan sagu pada beberapa tahapan kegiatan
dalam satu musim tanam, mulai
dari kegiatan pembersihan lahan,
penanaman, pembibitan,
penjagaan, hingga pemanenan.
Resiko Tidak ada Ada hama penyakit (tikus dan
wereng) dan perlu perlindungan
terhadap hasil panen
Investasi tambahan Tidak ada Menggunakan pupuk dan
pestisida
Produk makanan Bahan makanan pokok secara turun Bahan makanan baru, yang
temurun diintroduksikan oleh pemerintah
Keterkaitan dengan Bagian dari budaya setempat, contoh Sulit beradaptasi dengan budaya
budaya berkaitan dengan pendirian uma, setempat, karena mengubah pola
adanya pantangan dalam proses pembagian kerja antara pria dan
pengolahan menjadi sagu wanita, dimana beban kerja
wanita akan semakin bertambah.
Tidak ada pantangan dalam
bersawah
Pascapanen:
Perkiraan hasila 15 000 kg per ha/tahun 200-1 500 kg per ha/tahun (l kali
panen)
Harga di warungb Rp11 000 /kg Rp2 000 /kg
Anggapan masyarakat
atas pengkonsumsian:
Masyarakat Sagu dianggap mengenyangkan Beras (nasi) dianggap kurang
setempat mengeyangkan
Masyarakat luar Simbol dari cara hidup tradisional Simbol dari kemajuan dan
dan terbelakang moderenisasi.
Simbol pengaruh dari luar
a
Persoon (1992), bharga tahun 2015.
61

4. Hutan dan Bukit (Leleu)

Masyarakat Mentawai di CBPS menyebut hutan dan daerah perbukitan yang


berhutan sebagai leleu. Leleu dianggap masyarakat sebagai kawasan yang
berbahaya dan menakutkan, karena menjadi tempat bersemayam roh-roh (taika
leleu) yang bisa menyebabkan manusia celaka atau sakit dan adanya hewan
berbisa. Oleh karena itu, orang datang atau melintasi hutan pasti ada tujuannya,
misal untuk berburu, mengambil tumbuhan obat, mengambil kayu, rotan, atau
gaharu, dan atau menuju perkampungan tertentu. Jadi hutan bukan tempat
menetap dan berjalan-jalan bagi masyarakat Mentawai. Hal ini menjelaskan
bahwa masyarakat Mentawai di CBPS bukan masyarakat yang bermukim di
dalam hutan, seperti banyak digambarkan orang dari luar Mentawai bahwa
masyarakat Siberut hidup di hutan.
Hutan juga menjadi pembatas antar permukiman di CBPS. Walaupun
berbahaya, masyarakat akan melewati hutan untuk mengunjungi sanak saudara
mereka di perkampungan lain guna menguatkan tali persaudaraan atau ada
keperluan tertentu, misal menyelesaikan konflik lahan uma yang letaknya jauh
dari di permukiman mereka. Melintasi hutan dipilih karena kadangkala lebih
menyingkat waktu dan biaya dibandingkan bila melalui sungai berliku dengan
menggunakan sampan/boat yang. Di sini hutan berperan sebagai penghubung
antara dua permukiman.
Hutan-hutan di CBPS juga dimanfaatkan masyarakat untuk mengambil hasil
hutan kayu dan bukan kayu. Kayu digunakan masyarakat untuk dijadikan papan
sebagai bahan bangunan12 dan sampan. Kayu yang digunakan untuk membuat
uma merupakan kayu-kayu yang berkualitas baik (kuat dan tahan air). Menurut
masyarakat, kayu yang paling banyak digunakan membangun rumah (uma dan
lalep), antara lain dari pohon meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.),
dan uggla (biasanya digunakan sebagai tonggak rumah), tetapi untuk membuat
sapou sainak tidak harus kayu yang berkualitas baik. Kayu yang banyak
digunakan untuk membuat sampan adalah meranti dan keruing. Proses pembuatan
sampan ini disebut pasikut abak, sedangkan proses penarikan sampan ke sungai
disebut pasigirit abak.
Hasil survei di hutan di lokasi penelitian, ditemukan 56 jenis tumbuhan
tingkat pohon yang 30 jenis diantaranya dapat digunakan sebagai bahan membuat
bangunan (Lampiran 6). Lima jenis pohon dengan indeks nilai penting (INP)
tertinggi di hutan sekitar desa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.5,
sedangkan keseluruhan INP tumbuhan tingkat pohon di lokasi penelitian disajikan
pada Lampiran 7-9.
Hasil hutan bukan kayu yang diramu masyarakat dari hutan, seperti gaharu,
madu, tumbuhan obat, dan rotan. Gaharu atau simoitek dihasilkan dari pohon
Aquilaria malaccensis. Secara tradisional simoitek tidak banyak mendapat

12
Di Siberut dikenal beberapa bangunan tempat tinggal (tradisional), yaitu uma berupa bangunan
berbentuk rumah panggung dengan ukuran besar dan memanjang ke belakang. Uma dapat dihuni
oleh beberapa keluarga yang bertalian darah. Lalep, rumah yang lebih kecil yang dibangun di
sekitar uma. Lalep dihuni oleh satu keluarga. Rumah yang berada di permukiman (desa/dusun)
biasanya juga disebut lalep. Sapou sainak, pondok di perladangan berbentuk panggung yang di
bagian bawahnya digunakan untuk memelihara babi. Sapou sainak biasanya dihuni sementara
ketika merawat tanaman dan ternak.
62

perhatian karena kayunya dianggap masyarakat kurang kuat untuk bahan


bangunan dan sampan. Namun, awal tahun 1980-an simoitek mulai bernilai
komersil di Mentawai karena banyaknya permintaan pasar dari luar pulau.
Masyarakat secara masif mencari simoitek hingga ke pedalaman hutan. Saat ini,
simoitek sulit dijumpai di hutan, karena penebangan di masa lalu. Simoitek masih
dicari oleh masyarakat ketika ada keperluan ke hutan. Selain simoitek, masyarakat
juga memanen madu (manih) dari hutan. Madu umumnya dikonsumsi sendiri,
hanya di daerah Siberut Utara sebagian kecil madu yang di hutan dijual kepada
pendatang. Tumbuhan obat juga diambil masyarakat di hutan, jika tidak tersedia
di sekitar permukiman. Tumbuhan obat menjadi bagian penting dalam ritual
pengobatan yang dilakukan Sikerei (ahli pengobatan).

Tabel 4.5 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon dengan indeks nilai penting
tertinggi di hutan sekitar desa di lokasi penelitian
Nama Parametera (%)
Nama ilmiah Pemanfaatan
lokal KR FR DR INP
Desa Saibi Samukop
Koka Dipterocarpus sp. 14.706 10.345 30.930 55.981 Papan, kayu
bakar
Boklo Shorea sp. 11.765 13.793 23.472 49.030 Papan
Tapeiki Artocarpus lanceifolius 8.824 10.345 16.897 36.065 Papan,
sandang
Kapot Vitex sp. 8.824 10.345 2.718 21.886 Kayu bakar
Leituak
Buluk Elaeocarpus obtusus 8.824 6.897 3.114 18.834 Papan
Surak
Desa Matotonan
Sikokkok - 4.167 4.545 24.493 33.206 Kayu bakar
Papat Garcinia sp. 12.500 9.091 8.400 29.991 Papan
Darubei - 8.333 9.091 3.223 20.648 Papan
Sitairak Quercus argentea 4.167 4.545 9.825 18.537 Papan
Kurau - 8.333 4.545 4.321 17.200 Papan
Desa Sagulubbek
Ribbu Eugenia cymosa 18.182 12.500 11.124 41.806 Papan
Ngalo Knema laurina 6.818 7.500 8.838 23.156 Kayu bakar
patadekat
Uru kulit Chrysophyllum 6.818 7.500 6.727 21.045 Kayu bakar
roxburghii
Beliu Aporosa sp. 6.818 7.500 6.678 21.034 Papan
Logau Cannarium rufum 6.818 7.500 6.438 20.756 Kayu bakar
Saba
a
KR: Kerapatan Relatif, FR: Frekuensi Relatif, DR: Dominasi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting.

Rotan merupakan produk hutan yang terkenal dari Pulau Siberut. Selain
bernilai ekonomis, rotan secara tradisional juga dijadikan bahan pembuatan
peralatan rumah tangga. Berbagai jenis rotan dan pemanfaatannya di Pulau
Siberut disajikan pada Tabel 4.6. Dari semua jenis rotan tersebut, beberapa rotan
menjadi komoditas unggulan dari Pulau Siberut, seperti Calamus manan, C.
63

Scipionum, C. Caesius, dan Daemonorops spp. Produksi rotan dari Kepulauan


Mentawai khususnya dari Pulau Siberut mendominasi produksi rotan dari
Sumatera Barat. Produksi rotan dari Pulau Siberut dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Selain bermanfaat secara ekonomi, beberapa jenis buah rotan menjadi makanan
kesukaan beruk siberut (Macaca siberu). Beruk ini menjadi penyebar tumbuhan
rotan secara alami pada berbagai ekosistem di Pulau Siberut.

Tabel 4.6 Jenis rotan dan manfaat di Pulau Siberut


a
Nama ilmiah Nama lokal Manfaatb
Calamus Alimama Pengikat potongan batang sagu di sungai (totok-tok),
tomentosus pengikat perangkap babi (seserei), buah dijual
Calamus caesius Sasa Bahan pembuat tikar (jara’jak), pengikat potongan batang
sagu di sungai, batang dan buah dijual
Calamus javensis Mandorou Pengikat dedaunan untuk atap, pengikat atap ke kayu kasau,
pengikat sambungan kayu di rumah/pondok, bahan
pembuat keranjang (opa), tas, sangkar ayam (roiget)
Calamus Lobai Daun digunakan sebagai pembungkus tepung sagu ketika
lobianus dibakar untuk dijadikan makanan, karena makanan
(kapurut) dianggap menjadi lebih harum
Calamus manan Bebeget Batang dijual
Calamus Tailalit Bahan pengikat
pogonacanthus
Calamus Tabu-tabu Batang dijual
scipionum
Calamus Alimama Pengikat potongan batang sagu di sungai, perangkap babi,
subspathulatus buah dijual
Calamus sp.1 Alibat Bahan pengikat
Calamus sp.2 Oilab Pengikat perangkap babi, perangkap ikan (lenggeu)
Calamus sp.3 Sipakpak Pengikat potongan batang sagu di sungai bila tidak ada
rotan alimama, karena rotan ini dianggap kurang kuat
Daemonorops Manau Bahan pengikat
angustifolus
Daemonorops Ugai Bahan keranjang, batang dijual
sabut
Daemonorops sp. Taset Pengikat potongan batang sagu di sungai, buah dijual
Korthalsia Talungra Bahan pengikat
wallihiafolia
Korthalsia Rangou Pengikat dedaunan untuk atap, bahan rangka tangguk
scorthechinii (subba)
Licuala spinosa - Bahan pengikat
a
Diolah dari laporan kegiatan Balai TNS, bHasil wawancara penelitian.

Selain tumbuhan, satwa dari hutan juga dimanfaatkan masyarakat untuk


berbagai keperluan, seperti konsumsi, dijual, dan dipelihara. Hasil pengamatan
satwa di jalur pengamatan dijumpai sebanyak 10 jenis satwa yang terdiri atas 7
jenis burung, 2 jenis primata, dan 1 jenis ulat (Tabel 4.8). Beberapa jenis ulat
dikonsumsi dan sangat digemari masyarakat, seperti ulat batang sagu (tamra) dan
64

ulat pohon keruing (tutube). Beberapa jenis burung diburu dan dijual masyarakat
ke pendatang karena harganya yang cukup mahal. Burung dan harga jualnya
disajikan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.7 Produksi rotan dari Pulau Siberut


Tahun Manauf (potong)h Rotan laing (kg)
1975-1976a 482 111 -
1976-1977b 1 088 269 -
1977-1978 b 695 754 97 750
1978-1979 b 488 168 65 390
1979-1980 b 856 963 128 140
1981-1982 b 450 000 175 000
1982-1983 b 315 800 173 000
2002c 1 836 000 -
2007d - 16 627
2008 d - 19 276
2009 d - 250 700
2010 e 154 534 700
2011 e 407 840 13 500
2012 e 87 023 181 087
a
WWF (1980); bMitchel (1982); cAnggraini dan Suhandi (2002); dDinas Kehutanan Provinsi
Sumbar (2011); eDinas Kehutanan Kab. Kep. Mentawai (2013); fRotan berbatang besar (seperti:
Calamus manan, C. Scipionum, C. Caesius); gRotan berbatang kecil (seperti Daemonorops spp.);
h
Ukuran panjang 3 meter.

Tabel 4.8 Satwa yang dijumpai dalam transek di lokasi penelitian


Kelas Umur Jumlah
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatan
Tua Dewasa Anak individu
Desa Saibi Samukop
Lemendeu Treron vernans - - - 1 Dikonsumsi
Tapporaok Oriolus chinensis sipora - - - 1 Dipelihara
Tutube - - - - 6 Dikonsumsi
Desa Matotonan
Joja Presbytis potenziani 2 2 1 5 Dikonsumsi
Bilou Hylobates klossii - 2 - 2 Dikonsumsi
Mayang Ciconia episcopus - - - 1 -
Desa Sagulubbek
Ratdat akek Copsychus malabaricus - - - 1 Dijual
Kailaba Anthracoceros albirostris - - - 1 Dikonsumsi
Satsat Antreptes malacensis - - - 2 Dipelihara
Kemut Centropus sinensis - - - 1 -
65

Tabel 4.9 Burung bernilai komersil di Pulau Siberut


Nama Harga per
Keterangan
Indonesia Ilmiah Lokal ekora (Rp)
Beo Gracula religiosa Mainong 300 000 Anakan
Murai batu Copsychus malabaricus Ratdat akek 250 000 Anakan
Murai kampung Copsychus saularis pagiensis Lut cabai 50 000 Anakan
a
Harga di tingkat pengumpul di pedesaan di Siberut.

Hutan juga dimanfaatkan masyarakat sebagai lokasi berburu. Berburu


(murou-rou) satwa di hutan bukan hanya sekedar untuk memperoleh protein
hewani, lebih dari itu perburuan terkait dengan ritual adat, seperti penutup acara
pesta pendirian uma (punen uma). Hasil buruan juga menjadi simbol kebanggaan
suatu uma. Tengkorak hewan buruan digantung di dinding bagian depan uma,
bersama dengan tengkorak hewan ternak (babi, sapi, kerbau). Uma yang
mempunyai tengkorak hewan buruan yang banyak dianggap sebagai ahli berburu,
begitupula yang mempunyai banyak tengkorak hewan ternak dianggap kaya. Bagi
masyarakat yang bermukim di pesisir pantai, selain hewan buruan dan hewan
ternak tersebut, hewan laut juga mempunyai nilai kebanggaan. Satwa utama yang
diburu di hutan, yaitu primata13, rusa, dan babi liar, sedangkan di laut yaitu penyu
dan dugong. Munazar (2004) dan BTNS (2010), menyatakan bahwa masyarakat
Siberut menggantungkan hidup dari hasil ladang dan hutan.

5. Sungai dan rawa (Bat oinan)

Kehidupan masyarakat Mentawai tidak terlepas dari air. Hal ini dapat dilihat
dari pola permukiman tradisional (uma) masyarakat Mentawai yang umumnya
terletak di tepi sungai. Begitupula dengan pondok perladangan (sapou sainak)
biasanya terletak di dekat sungai.
Masyarakat Mentawai di CBPS memanfaatkan sungai sebagai media
transportasi utama. Secara tradisional, masyarakat menggunakan sampan untuk
berpergian dari perkampungan menuju kampung lain atau mengangkut hasil bumi
dari perladangan. Walaupun, saat ini sudah tersedia jalan darat dari semen di
desa/dusun, terbatasnya jalan darat yang dapat dilalui oleh kendaraan beroda
dua/empat, membuat transportasi air masih menjadi andalan masyarakat Siberut.
Hal ini menggambarkan nilai penting sungai-sungai dan sampan sebagai media
penghubung antar masyarakat yang berbeda permukiman dan menjadi
penghubung masyarakat dengan pusat ekonomi produktif mereka (tinungglu/
pumonean).
Air sungai juga dimanfaatkan sebagai air minum dan mencuci. Air minum
umumnya diambil masyarakat dari sungai-sungai kecil yang berair jernih yang
banyak melewati permukiman, sedangkan air sungai besar tidak digunakan untuk
air minum karena berair keruh. Air sungai juga dimanfaatkan masyarakat untuk

13
Terdapat empat jenis primata di Siberut, yaitu bokkoi atau beruk siberut (Macaca siberu), bilou
atau siamang kerdil (Hylobates klossii), joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), dan
simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), semua primata tersebut merupakan primata
endemik untuk Pulau Siberut dan Kepulauan Mentawai.
66

mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga. Selain itu, ekosistem sungai dan
rawa juga dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan, kerang, udang, dan
katak. Dalam menjaga kebersihan sungai, terdapat aturan informal di masyarakat
yang melarang membuang hajat dan sampah ke sungai.

6. Pantai dan pulau-pulau kecil (Nusa)

Pantai dan pulau-pulau kecil disebut nusa. Nusa yang relatif luas banyak
dimanfaatkan masyarakat untuk berladang dengan menanam tanaman seperti
kelapa, cengkeh, pala, dan nilam. Namun, produk utama dari nusa adalah kelapa.
Kelapa umumnya diolah menjadi kopra, tetapi di waktu-waktu tertentu kelapa
bulat dikirim ke beberapa daerah di Pulau Sumatera hingga Pulau Jawa.
Masyarakat memanfaatkan ekosistem ini untuk menangkap ikan, mencari kerang
dan siput, berburu dugong, serta mencari rumput laut. Dalam kurun satu
dasawarsa belakangan, nusa menjadi objek wisata bahari yang cukup ramai
dikunjungi wisatawan mancanegara untuk berselancar karena ombak yang besar
di sekitar nusa. Berkah ini memacu pembangunan banyak resort wisata di nusa.
Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas pengembangannya di
Siberut disajikan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas
pengembangannya di Siberut a
Daerah tujuan wisata Kecamatan Potensi wisata Prioritas
Pulau Karangbajat Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Nyang-nyang Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Mainuk Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Roniki Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 2
Teluk Sarabua Siberut Tengah Wisata Bahari Prioritas 2
Masilok Siberut Selatan Wisata Bahari Prioritas 2
Tanjung Malilimok Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 2
Madobag Siberut Selatan Wisata Budaya Prioritas 2
Simatalu Lubaga Siberut Barat Wisata Budaya Prioritas 2
Teluk Sarabua Siberut Tengah Wisata Bahari Prioritas 2
Muntei Siberut Selatan Wisata Budaya Prioritas 2
Lobajou (teluk) Siberut Barat Flora dan Fauna Prioritas 3
Teluk Pokai Siberut Utara Panorama Alam Prioritas 3
Pulau Botik Siberut Barat Daya Wisata Bahari Prioritas 3
a
Diolah dari data BAPPEDA Kab. Kep. Mentawai (2011).

Keberadaaan nusa sebagai daerah pengembangan wisata bahari ini tidak


terlalu berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat di lokasi penelitian.
Selain jauh dari desa, pelaku bisnis wisata ini didominasi oleh masyarakat di
Muara Siberut yang umumnya berasal dari Suku Minang dan Suku Batak.
67

7. Permukiman (Barasi)

Permukiman tradisional masyarakat Mentawai dikenal dengan nama


pulaggajat atau laggai. Permukiman ini umumnya dihuni oleh satu uma (satu
kerabat pertalian darah). Bentuk permukimannya terdiri atas sebuah rumah adat
(yang juga disebut uma) yang besar dan di sekitarnya (biasanya di perladangan)
terdapat beberapa rumah yang lebih kecil yang disebut sebagai lalep. Uma dihuni
oleh keluarga inti senior (ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah),
sedangkan keluarga inti (anak yang sudah menikah) tinggal di lalep. Uma
difungsikan sebagai tempat berkumpul dan tempat mengadakan acara pesta
(punen) bagi anggota uma (sipuuma).
Masyarakat Mentawai memiliki prasyarat untuk menjadikan suatu lokasi
sebagai permukiman tradisional (Hernawati 2007), yaitu: a) tersedia sumber air
(anak sungai/batsopak) di sekitar calon lokasi permukiman, b) tersedia
lahan/tanah yang datar (su’suk) dengan luasan yang cukup untuk lokasi
mendirikan sapou (rumah yang dihuni oleh satu keluarga) bagi sipuuma, c) tidak
rawan banjir, agak jauh adari sungai besar, d) berdekatan dengan daerah berawa
(onaja) sebagai lokasi berladang sagu dan berladang keladi merangkap kolam
ikan, e) berdekatan dengan areal berhutan (leleu) untuk lokasi berladang, mencari
tumbuhan obat, dan berburu, f) lahan memiliki sejarah dengan kehidupan nenek
moyang anggota uma (pangubuat), misal bekas perladangan, bekas tempat
berburu, atau lokasi uma nenek moyang mereka dahulu. Selanjutnya, permukiman
ini umumnya berada di lahan milik uma.
Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, permukiman-
permukiman tradisional masyarakat Mentawai di CBPS direlokasi atau
dimukimkan kembali (resettlement) ke dalam suatu perkampungan baru yang
dibangun pemerintah14. Permukiman baru bentukan pemerintah ini yang disebut
dengan barasi15 dalam bentuk dusun-dusun. Pola permukiman yang berbentuk
dusun ini sebenarnya bukan pula hal yang baru. Pola permukiman ini sudah
diperkenalkan sejak masa kolonial (Darmanto dan Setyowati 2012).
Pemukiman kembali ini dilakukan dengan alasan bahwa masyarakat
Mentawai hidup dengan pola “primitif” serta dianggap kelompok masyarakat
yang terasing dan tertinggal, untuk itu perlu disejahterakan dengan cara
mempermudah akses dan pelayanan pemerintah ke masyarakat. Masyarakat yang
sebelumnya hidup berkelompok dalam wilayah uma masing-masing, disatukan
dalam permukiman baru bersama uma-uma lain dan di lahan uma lain.
Dampaknya adalah masyarakat Mentawai semakin jauh dari sumber kehidupan
mereka di ladang, konsumtif dengan mengkonsumsi produk dari luar (seperti
beras - bagian dari program relokasi berupa bantuan beras – minyak goreng,
bumbu masak instan), tidak ada uma (rumah adat) di permukiman baru, serta
harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial baru. Oleh karena itu, beberapa
uma kembali lagi ke permukiman lama mereka secara bertahap, seperti yang
dilakukan oleh Uma Sagulu di Silaoinan pada tahun 1986 (Hernawati 2007).
Perkampungan Uma Sagulu yang baru tersebut, saat ini mulai diusulkan menjadi
dusun oleh pemerintahan Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan.
14
Program pemerintah melalui Departemen Sosial dengan nama Proyek Pembinaan Kesejahteraan
Masyarakat Terasing (PKMT) dimulai sejak tahun 1975.
15
Beberapa daerah di Siberut masih menggunakan laggai untuk menyebut dusun mereka.
68

Meskipun awalnya relokasi ini mendapat tentangan dari masyarakat


setempat karena melalui proses pemaksaan, karena menjauhkan mereka dari
ladang dan mengikat mereka dalam administrasi pemerintah. Namun, saat ini
banyak masyarakat Mentawai yang menginginkan kegiatan pembangunan
permukiman dari pemerintah, seperti di Desa Sagulubbek, Matotonan, dan Saibi.
Begitupula masyarakat di daerah Sakuddei di wilayah administratif Desa
Sagulubbek yang dahulunya menolak direlokasi, saat ini mulai turun ke dusun
terdekat yakni Mongan Tepu. Keinginan kehidupan yang lebih baik dengan
mendapatkan pelayanan dari pemerintah (pendidikan, kesehatan, subsidi makanan,
atau pembangunan infrastruktur) mendorong masyarakat untuk membentuk atau
bergabung dengan permukiman yang baru.
Di barasi, masyarakat yang berbeda uma berinteraksi dan mempengaruhi
satu dengan yang lain, serta menciptakan rasa memiliki atas lingkungan tempat
tinggalnya. Seiring dengan akultrasi masyarakat Mentawai dengan agama baru
(seperti nasrani yang dipeluk hampir sebahagian besar penduduk), fungsi
permukiman menjadi penting karena sebagian besar masyarakat berkumpul pada
hari sabtu dan minggu di barasi untuk beribadah di gereja. Di sore harinya,
masyarakat berolahraga (sepakbola, voli, takraw) bersama. Pada hari tersebut,
pemerintah desa biasanya mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan kadang
kala dilakukan gotong royong untuk membersihkan barasi. Barasi juga menjadi
lingkungan produktif, dimana masyarakat menanam sayuran, tanaman buah,
tanaman obat, tanaman untuk upacara adat, dan tanaman untuk menghasilkan
uang tunai. Secara temporal, berbagai pembangunan sarana dan prasarana fisik di
barasi juga memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sebagai penyedia
tenaga kerja dan pencari material untuk bangunan.

8. Persawahan (Puberakat)

Persawahan atau puberakat merupakan penggunaan lahan yang relatif baru


di Mentawai (Gambar 4.3). Persawahan dikenalkan oleh misionaris Jerman di
Siberut sekitar tahun 1920-an, dan menjadi simbol kristiani, kemajuan, serta
perkembangan (Persoon 1992). Selanjutnya Persoon (1992) menyatakan bahwa di
tahun 1970-an, seiring dengan pembangunan permukiman oleh pemerintah di
Siberut, persawahan mulai banyak dibuat. Di saat itu produksi dan konsumsi beras
menjadi indikator pembangunan dan refleksi kinerja administrasi lokal. Sekitar
tahun 1990-an, persawahan mulai hilang di Pulau Siberut, tetapi sekitar tahun
2000-an digalakkan kembali oleh pemerintah kabupaten.
Pembangun sawah di Pulau Siberut merupakan program Pemkab dalam
rangka menghapuskan program beras bagi rakyat miskin (raskin). Pendistribusian
raskin ke seluruh pelosok Mentawai pada program tersebut berbiaya mahalnya,
karena akses ke berbagai permukiman yang sulit, jauh, dan terpencar, serta
menggunakan transportasi air. Untuk menjamin ketahanan pangan, dinas pertanian
melakukan program pembukaan lahan sawah agar masyarakat dapat
mengkonsumsi beras dan tidak tergantung pasokan beras dari luar Mentawai
(Simanjuntak 2012). Persawahan di Pulau Siberut saat ini seluas 360 ha (BPS
2015a) dan akan semakin meluas lagi, contoh, di Desa Sagulubbek masyarakat
sedang membuka lahan persawahan seluas 75 ha dan luas sawah yang sudah ada
saat ini 25 ha, sedangkan di Muara Saibi sudah dibuat sawah seluas 60 ha.
69

n di Sagulubbek Persawahan di Saibi

Gambar 4.3 Persawahan di Pulau Siberut

4.3.3 Transformasi Lahan

Lahan-lahan yang ada di CBPS sejak dahulu ditransformasikan masyarakat


setempat untuk berbagai kepentingan (Gambar 4.4). Lahan berhutan dibuka untuk
ditransformasikan menjadi ladang baru (tinungglu) termasuk ladang keladi, dan
perkampungan. Ladang baru kemudian berubah menjadi ladang tua (pumonean)
yang lama kelamaan membentuk vegetasi yang menyerupai hutan kembali.
Sehingga, hutan kadangkala sulit dibedakan dengan ladang tua yang telah lama
ditinggalkan (pumonenan siburuk), karena karakteristik ladang tua yang sudah
menyerupai hutan. Pembedanya dapat dilihat dari vegetasi yang ada, dimana di
pumonenan siburuk di dominasi oleh pohon buah. Lokasi perladangan yang
berbatasan dengan hutan memungkinkan benih tanaman hutan dengan mudah
menginvasi ladang, ketika ladang diberakan, benih di ladang juga tumbuh
menyebar sehingga komposisi tegakan di ladang hampir menyerupai hutan
(Darmanto dan Setyowati 2012). Begitupula daerah di tepian pantai dan pulau-
pulau kecil ditransformasikan menjadi ladang. Daerah berawa ditransformasikan
menjadi ladang sagu atau sawah, dan ladang/rawa sagu ditransformasikan menjadi
sawah. Hal ini menggambarkan bahwa lahan termasuk hutan di Siberut akan
selalu ditransformasi masyarakat ke berbagai bentuk penggunaan lain dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Proses transformasi dari hutan menjadi perladangan seolah-olah proses yang
sederhana. Namun, bila diikuti proses tersebut merupakan proses yang komplek
karena menerapkan pantangan dan ritual tertentu. Dalam proses pembukaan
ladang, anggota uma melakukan berbagai pantangan (kei-kei). Beberapa
pantangan yang dilakukan adalah tidak melakukan hubungan seksual, membuka
ladang ketika istri sedang hamil, berburu, mengkonsumsi belut air tawar (lojo),
atau mengkonsumsi buah yang berasa asam. Saat pembukaan lahan, dilakukan
ritual panakiat yakni acara meminta izin leluhur, setelah itu dilakukan penebasan
semak belukar. Darmanto (2006) menyatakan bahwa terdapat tujuh tahapan hutan
menjadi tinungglu hingga terbentuk pumonean, yakni seleksi lokasi (pasibalaou
tinungglu), membuka lahan (pasipolou tinungglu), penanaman jenis tanaman
70

pokok (pangurep ka sara), ladang baru (tinungglu), pemanenan tanaman pokok


(pasiala’ buah pangureman), penanaman jenis tanaman buah dan jenis tanaman
hutan (pangurep ka dua), dan ladang tua (pumonean).

Ladang tua (pumonean)

Ladang muda (tinungglu)

Hutan (leleu)

Perkampungan (barasi)

Lahan
Ladang keladi (pugettekat)

Sawah (puberakkat)

Ladang sagu (pusaguat)

Sungai & rawa (bat oinan)

Pantai & Pulau-pulau kecil (nusa)

Gambar 4.4 Transformasi lahan menjadi lingkungan yang lebih khas dan
bermanfaat bagi masyarakat Siberut

Pemilihan lahan untuk perladangan mempertimbangkan beberapa faktor dan


melibatkan pengetahuan tradisional masyarakat Mentawai. Darmanto (2006)
menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut, yaitu (1) kejelasan kepemilikan lahan.
Lahan yang dibuka harus jelas kepemilikannya, bisa di lahan milik uma atau
meminjam lahan uma lain; (2) lokasi hutan (leleu) dan umur lahan bila bekas
ladang lama. Lokasi ladang diutamakan yang dekat dengan permukiman hal ini
berkaitan dengan jarak tempuh dan waktu kerja yang efisien. Topografi lahan
berupa dataran atau lereng bukit dan berada di dekat sungai-sungai kecil; (3) lahan
dan faktor klimat. Lahan yang bervegetasi rimbun dan banyak pohon besar kurang
diminati, adanya perhitungan astronomi (maiggou) terkait arah angin, posisi
matahari, dan arah sudut bukit; (4) warna dan kesuburan tanah. Indikator tanah
subur adalah warna tanah hitam kemerahan, bertekstur gembur, dan bila semai
dicabut mudah, berakar panjang serta akar “membawa” tanah; serta (5) tabu dan
pantangan religius. Lahan berhutan di lereng curang, tinggi, dan dipercaya sebagai
tempat leluhur pantang digunakan sebagai calon ladang. Begitupula, lahan yang
terdapat tanda kenangan orang yang sudah meninggal (kirekat) bila digarap
71

memerlukan ritual khusus. Salah satu keistimewaan aktivitas pembukaan


perladangan di Siberut adalah tidak dilakukannya pembakaran tumbuhan bekas
tebangan. Selanjutnya, Darmanto (2006) menyatakan bahwa alasan pembuatan
ladang baru, yaitu karena: (1) menipisnya persediaan makanan pokok (talas,
pisang, ubi jalar); (2) turunnya produktivitas tanaman buah (misal: durian,
rambutan, langsek); (3) pertentangan di uma, karena perebutan lahan dan habisnya
ladang akibat denda; (4) persaingan harga diri antar uma (pako’), serta (5) warisan
dan tabungan untuk generasi mendatang.
Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Mentawai dalam
mentrasformasikan lahan ke bentuk lain (termasuk mengelola SDA) terkait
dengan kepercayaan mereka yakni Arat Sabulungan. Orang Mentawai percaya
bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki roh. Roh-roh dapat menempati tempat,
seperti hutan, laut, pantai, atau permukiman. Manusia dengan roh-roh ini hidup
berdampingan secara terus menerus, dimana hubungan ini dapat bersifat saling
menguntungkan atau merugikan, sehingga kerhamonisasian hubungan ini perlu
dijaga. Roh-roh tersebut ada yang bersifat baik dan buruk. Ketidak harmonisan
antara manusia dengan roh-roh akan menyebabkan malapetaka bagi manusia.
Salah satu dari kumpulan roh tersebut adalah roh-roh yang menghuni hutan (taika
leleu). Proses ritual dan pantangan yang dilakukan dalam membuka hutan
merupakan proses menjaga harmonisasi tersebut. Bentuk penghormatan
masyarakat Mentawai terhadap roh-roh yang mendiami hutan terlihat dari ketika
mereka memasuki hutan atau mengambil hasil hutan, maka mereka melakukan
pamit/izin dengan mengucapkan:
“Bojoik sateteumai anai kubakai purimanuaijat mai, pasikeli kam kai
(maafkan kami nenek/kakek (roh-roh), kami hanya mencari nafkah bukan
merusak, beri kami kemudahan dan lindungi kami)”.
Schefold (1991) menyatakan bahwa keselarasan merupakan tema sentral
dalam kehidupan orang Mentawai.

4.3.4 Strategi Penghidupan Masyarakat Mentawai di CBPS

Masyarakat Mentawai di CBPS mengembangkan strategi penghidupan


dengan menggunakan lahan yang dijadikan berbagai bentuk pemanfaatan. Strategi
penggunaan lahan ini dilakukan sejak nenek moyang mereka, tetapi tujuan
pemanfaatan lahan yang dahulunya untuk memenuhi kebutuhan hidup subsisten,
saat ini mulai mengarah kepada memperoleh uang tunai. Masuknya ekonomi
pasar dan teknologi di Mentawai mulai mengubah pola pemanfataan SDA
tradisional (Tabel 4.11).
Begitupula dengan Pemda, dorongan untuk mencapai kemajuan sejajar
dengan daerah-daerah lain menjadi semangat untuk memacu pembangunan di
seluruh perdesaan di CBPS. Pembangunan tersebut termasuk mendorong
sertifikasi lahan (privatisasi) dan pembuatan persawahan di areal rawa sagu. Di
sisi lain, ruang kelola masyarakat terbatas oleh sistem kelola hutan oleh negara,
sehingga akses mereka terhadap SDA menjadi lebih kecil.
72

Tabel 4.11 Perubahan perilaku masyarakat Mentawai di Cagar Bioser Pulau


Siberut dalam pemanfaatan sumber daya alam
Aktivitas pemanfaatan Aturan adat (Normatif) Perilaku (Implementatif)
Perburuan satwa di Menggunakan panah dengan anak Menggunakan senapan angin
hutan panah beracun dengan peluru beracun
Penangkapan ikan di Menggunakan tangguk Menggunakan racun
sungai
Pengambilan rotan Ditarik dari pohon yang dirambati Menebang pohon yang
manau dirambati rotan
Pengambilan pohon Diadakan upacara (punen) Langsung menebang
besar
Pembukaan lahan Diadakan upacara (panaki) Langsung diolah bila
untuk perladangan dijadikan sawah
Pembersihan lahan Sisa tebasan tumbuhan tidak dibakar Sisa tebasan tumbuhan
untuk perladang dibakar
Pengambilan hasil Bila melihat burung mayang, ada ular Tanda-tanda alam tersebut
hutan (pohon, sagu) di dekat pohon, diyakini pertanda diabaikan
buruk

4.4 Simpulan

Masyarakat Mentawai di CBPS terikat erat dengan sumber daya lahan.


Terdapat dua jenis kepemilikan lahan/tanah secara tradisional di CBPS, yaitu
kepemilikan bersama (komunal) berbasiskan uma dan kepemilikan pribadi
(private). Proses privatisasi lahan semakin meningkat karena adanya eksternalitas
dari pembangunan dan keinginan dari generasi yang lebih muda Suku Mentawai
di CBPS untuk mendapat pengakuan pemerintah (negara) terhadap lahan mereka
sehingga lahan mempunyai nilai lebih (bisa dianggunkan) daripada sekedar
dimanfaatkan untuk keperluan tradisional (berladang), dan adanya dorongan
sertifikasi lahan dari Pemda.
Perladangan merupakan sumber perekonomian masyarakat Mentawai. Oleh
karena itu, lahan-lahan berhutan akan selalu ditransformasikan menjadi lahan-
lahan produktif oleh masyarakat. Perladangan tersebut ditanam dengan tanaman
yang untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan tanaman yang laku di pasaran.
Persawahan merupakan penggunaan lahan yang relatif baru dan terus bertambah
luas karena adanya dorongan kebijakan dari Pemkab. Meluasnya persawahan
dapat mengurangi luasan lahan bersagu yang menjadi sumber penghasil makanan
pokok masyarakat Mentawai.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa masyarakat Mentawai mempunyai
sistem penguasaan dan tata guna atas lahan (land tenure system) secara
tradisional. Sistem ini dapat menjadi landasan memadukan tata guna lahan secara
tradisional dengan tata guna lahan di kawasan hutan negara dalam rangka
penguatan kepastian hak masyarakat Mentawai atas pengeloaan SDA CBPS.
73

5 STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM SUKU MENTAWAI
DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

5.1 Pendahuluan

Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Cagar Biosfer Pulau Siberut


(CBPS) melibatkan banyak stakeholder. Stakeholders tersebut dalam aktivitasnya
saling mempengaruhi dan berdampak kepada pengelolaan CBPS. Stakeholders
didefinisikan sebagai orang atau lembaga dengan suatu kepentingan atau perhatian
pada permasalahan (Fletcher et al. 2003) yang diidentifikasi dengan pertimbangan
posisi penting dan pengaruh yang dimiliki. McCracken dan Narayan (1998)
menyatakan bahwa analisis stakeholders dilakukan untuk dapat memahami
konteks sosial dan kelembagaan dari sebuah kegiatan, program, dan atau
kebijakan.
Analisis stakeholders dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
kepentingan, pengaruh, hubungan, partisipasi, dan perilaku stakeholders dalam
pengelolaan SDA di CBPS. Hasil yang diharapkan adalah tersedianya informasi
yang penting tentang siapa yang akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh suatu
aktivitas pengelolaan SDA di CBPS baik individu, kelompok, atau lembaga, dan
bagaimana kapasitas dibangun untuk memungkinkan mereka berpartisipasi.

5.2 Metode

Penelitian dilakukan di CBPS. Lokasi pengumpulan data di tiga desa, yaitu


Desa Matotonan di Kecamatan Siberut Selatan, Desa Saibi Samukop di
Kecamatan Siberut Tengah, dan Desa Sagulubbek di Kecamatan Siberut Barat
(lihat Gambar 3.1). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 - Mei 2015.
Data yang dikumpulkan adalah kepentingan, pengaruh, hubungan,
partisipasi, dan perilaku dan stakeholders pengelolaan SDA di CBPS.
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu studi dokumen, wawancara
mendalam, dan pengamatan langsung. Studi dokumen dilakukan dengan menelaah
visi, misi, tugas, dan fungsi setiap stakeholders berdasarkan dokumen tertulis dan
atau situs resmi mereka. Wawancara mendalam dilakukan kepada 20 (dua puluh)
informan kunci dari stakeholders. Pengamatan dilakukan untuk mengecek
kesesuaian informasi dari hasil studi dokumen dan wawancara dengan aktivitas
stakeholders di lapangan.
Stakeholders dianalisis berdasarkan analisis stakeholders menurut Reed et
al. (2009). Analisis tersebut meliputi tiga tahap, yaitu: (1) mengidentifikasi
stakeholders; (2) membedakan antara dan mengelompokkan stakeholders; serta
(3) menyelidiki hubungan di antara stakeholders. Identifikasi awal stakeholders
berdasarkan dokumen hasil penelitian atau laporan kegiatan dari berbagai instansi
di CBPS. Selanjutnya, stakeholders lain yang belum terindentifikasi dalam
penelusuran dokumen akan diidentifikasi oleh informan melalui metode snowball.
Pengelompokkan stakeholders didasarkan kepentingan dan pengaruh
stakeholders yang kemudian disusun dalam sebuah matriks kepentingan–pengaruh
74

(interest-influence matrix). Pengukuran kepentingan didasarkan atas apa yang


menjadi hak, kebutuhan, harapan, keinginan, manfaat yang dapat diperoleh
stakeholders dari SDA dan fungsi ekosistem di dalamnya yang terdiri atas fungsi
regulasi, fungsi habitat, fungsi produksi, fungsi informasi, serta fungsi carrier (de
Groot et al. 2002). Penjelasan tiap fungsi ekosistem, sebagai berikut:
1) Fungsi pengaturan. Fungsi ini merupakan nilai penting stakeholders terhadap
kelestarian fungsi ekosistem suatu SDA dalam mengatur proses ekologis serta
sistem pendukung kehidupan yang bermanfaat, seperti pemeliharaan
penyediaan air bersih, perlindungan tanah dari erosi, kualitas udara dan jasa
ekologi lainnya.
2) Fungsi habitat. Fungsi ini merupakan nilai penting stakeholders terhadap
kelestarian fungsi ekosistem suatu SDA sebagai tempat berlindung dan
berkembang biak berbagai flora dan fauna. Fungsi habitat ini ditekankan pada
kebutuhan ruang yang dapat memelihara keanekaragaman biotik dan genetik.
3) Fungsi produksi. Fungsi ini merupakan nilai penting stakeholders terhadap
kelestarian suatu SDA sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan
pangan, bahan baku (kayu untuk bangunan rumah), sumber genetik (obat-
obatan), dan sumber daya energi (kayu bakar).
4) Fungsi informasi. Fungsi ini merupakan nilai penting stakeholders terhadap
kelestarian suatu SDA yang memberikan kontribusi bagi pemeliharaan
kesehatan manusia, menyediakan tempat untuk berefleksi, menikmati
pemandangan alam, ekowisata dan pendidikan.
5) Fungsi carrier. Fungsi ini merupakan nilai penting stakeholders terhadap
kelestarian ekosistem suatu SDA dalam menyediakan ruang untuk beraktivitas
seperti daerah wisata.
Pengaruh merupakan kekuatan yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol
pengambilan keputusan, memfasilitasi pelaksanaanya atau bahkan memaksa untuk
melaksanakan keputusan yang diambil (Groenendijk 2003). Pengukuran pengaruh
stakeholders didasarkan pada instrumen dan sumber kekuatan yang dimiliki
stakeholders yang terdiri atas condign power, compensatory power, conditioning
power, personality atau property power, serta organisation power, sebagaimana
yang disebutkan oleh Galbraith (1983) dalam Reed et al. (2009), sebagai berikut:
a. Instrumen kekuatan
1) Condign power, yaitu pengaruh stakeholders tertentu karena memiliki
kemampuan memberikan hukuman atau sanksi yang sepadan terhadap
stakeholders lain. Pengaruh ini diperoleh melalui emosi, keuangan,
ancaman fisik, sanksi adat, sanksi hukum atau sanksi lainnya.
2) Compensatory power, yaitu pengaruh stakeholders yang diperoleh melalui
kemampuan dalam memberi kompensasi bagi stakeholders lainnya melalui
simbolisasi, keuangan, serta penghargaan materi, seperti pemberian gaji
atau upah, sogokan, pemberian bantuan dana penyangga atau pemberian
sebidang lahan.
3) Conditioning power, yaitu pengaruh stakeholders yang diperoleh melalui
manipulasi kepercayaan atau pembentukan opini dan informasi, misalnya
melalui kelompok yang seumur, norma budaya, pendidikan, iklan dan atau
propaganda.
75

b. Sumber kekuatan
1) Personality power dan property power, yaitu pengaruh stakeholders yang
diperoleh berdasarkan kepribadian, kepemimpinan seseorang (kharisma,
kekuatan fisik, kecerdasan mental atau pesona), kepemilikan, dan atau
kekayaan.
2) Organisation power, yaitu pengaruh stakeholders dari suatu organisasi
dikarenakan memiliki massa, jejaring kerja, kesesuaian bidang tugas, dan
atau berkontribusi pada suatu fasilitas.
Penempatan stakeholders ke dalam matriks kepentingan–pengaruh
didasarkan pendeskripsian pernyataan informan yang kemudian dikuantifikasi
melalui nilai dan skor. Penetapan skor mengacu pada model yang dikembangkan
oleh Abbas (2005), yakni pengukuran data berjenjang lima seperti disajikan pada
Tabel 5.1. Penilaian tinggi dan rendahnya skor dilakukan oleh peneliti. Skor tinggi
diberikan kepada stakeholders yang kepentingannya yang relevan dengan fungsi
ekosistem, serta stakeholders yang menentukan keberhasilan pengelolaan fungsi
ekosistem dari suatu SDA. Sebaliknya, nilai rendah diberikan kepada stakeholders
yang kepentingannya tidak relevan dengan fungsi ekosistem, serta stakeholders
yang tidak menentukan keberhasilan pengelolaan fungsi ekosistem dari suatu
SDA. Nilai dari lima pertanyaan dijumlahkan dan dipetakan dalam matriks
kepentingan dan pengaruh. Hasil penentuan nilai pada setiap indikatornya
disandingkan satu sama lainnya sehingga membentuk koordinat. Koordinat
tersebut dimasukkan dalam grids yang dibuat menggunakan bantuan program
Microsoft Excel.

Tabel 5.1 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh stakeholders


Skor Nilai Kriteria Keterangan
Kepentingan stakeholders
5 21-25 Sangat tinggi Sangat relevan terhadap pengelolaan suatu SDA
4 16-20 Tinggi Relevan terhadap pengelolaan suatu SDA
3 11-15 Cukup tinggi Cukup relevan terhadap pengelolaan suatu SDA
2 6-10 Kurang tinggi Kurang relevan terhadap pengelolaan suatu SDA
1 0-5 Rendah Tidak relevan terhadap pengelolaan suatu SDA

Pengaruh stakeholders
5 21-25 Sangat tinggi Sangat mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
4 16-20 Tinggi Mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
3 11-15 Cukup tinggi Cukup mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
2 6-10 Kurang tinggi Kurang mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA
1 0-5 Rendah Tidak mampu mempengaruhi pengelolaan suatu SDA

Matriks kepentingan-pengaruh mengelompokkan stakeholders ke dalam


empat kuadran yang mengilustrasikan posisi tiap kelompok dalam pengelolaan
suatu SDA di CBPS, yaitu key players, context setters, subjects, dan crowd (Eden
76

dan Ackermann dalam Bryson 2004). Subjects merupakan stakeholders yang


mempunyai kepentingan tinggi, tetapi mempunyai pengaruh yang rendah. Key
players merupakan stakeholders yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang
tinggi. Context setters merupakan stakeholders yang mempunyai kepentingan
rendah, tetapi mempunyai pengaruh yang tinggi. Terakhir, crowd merupakan
stakeholders yang mempunyai kepentingan dan pengaruh yang rendah.
Stakeholders kunci adalah subjects, key players dan context setters, karena
kelompok ini dianggap cukup signifikan dalam mempengaruhi pengelolaan suatu
SDA (Groenendjik 2003), sementara itu stakeholders yang berada pada kelompok
crowd akan mendapatkan perhatian dan prioritas yang rendah atau bisa diabaikan
dari aktifitas pengelolaan SDA.
Hubungan atau keterkaitan di antara stakeholders dianalisis dengan Matriks
Actor-Linkage. Matriks ini digunakan untuk mengetahui adanya hubungan berupa
konflik (conflict), saling melengkapi (complementary), dan atau kerjasama
(cooperation) di antara stakeholders, melalui penggunaan kata kunci. Keuntungan
dari penggunaan pendekatan ini adalah kesederhanaan dan keflesibilitasannya
(Reed et al. 2009).
Partisipasi stakeholders dianalisis untuk menjelaskan tingkat keterlibatan
stakeholder dalam pengelolaan SDA di CBPS. Tahap pertama analisis, yakni
mengidentifikasi berbagai bentuk kegiatan atau upaya yang dilakukan
stakeholders dalam pengelolaan SDA. Kegiatan tersebut dikelompokkan
berdasarkan tiga aspek konservasi, yaitu perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan berkelanjutan dari suatu SDA. Selanjutnya, tingkatan partisipasi
dianalisis dengan Model Partisipasi dari Arnstein (1969), terdiri atas manipulasi,
terapi, memberi informasi, konsultasi, plakasi, kemitraan, pendelegasian
wewenang, dan kontrol masyarakat. Deskripsi tingkat partisipasi stakeholders
menggunakan Model Partisipasi dari Arnstein, sebagai berikut:
 Tingkat 1 atau manipulasi (manipulation) dan tingkat 2 atau terapi (therapy).
Kedua tingkatan ini non partisipatif. Komunikasi satu arah dari luar ke
stakeholders. Hasil yang diputuskan oleh pihak luar diberitahukan kepada
stakeholders. Tujuannya adalah untuk memperbaiki atau mendidik
stakeholders.
 Tingkat 3 atau memberi informasi (informing). Sebuah langkah pertama yang
paling penting untuk melegitimasi partisipasi dan salah satu cara untuk
mengalirkan informasi. Komunikasi terjadi searah dari stakeholders ke luar.
Misal stakeholders menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pihak luar.
 Tingkat 4 atau konsultasi (consultation). Pihak luar berkonsultasi dan
berunding dengan stakeholders melalui pertemuan atau public hearing dan
sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi stakeholders tidak ikut serta dalam
menganalisis atau mengambil keputusan.
 Tingkat 5 atau plakasi (placation). Stakeholders ikut serta dalam proses
pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh
pihak luar, terutama menyangkut hal-hal yang penting. Dimungkinkan mereka
telah terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dan lain-lain.
 Tingkat 6 atau kemitraan (partnership). Kewenangan didistribusikan kembali
melalui negoisasi antara stakeholders dan pemegang kekuasaan. Perencanaan
dan tanggung jawab dalam pembuatan keputusan dibagi, misalnya dalam
komite bersama. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban
77

untuk mencapai sesuatu.


 Tingkat 7 atau pendelegasian kewenangan (delegated power). Stakeholders
mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan karena memiliki delegasi
kewenangan. Masyarakat memiliki kewenangan untuk menjamin akuntabilitas
program mereka.
 Tingkat 8 atau kontrol masyarakat (citizen control). Stakeholders menangani
seluruh pekerjaan perencanaan, membuat kebijakan dan mengelola program,
seperti perusahaan lingkungan dengan tanpa perantara antara mereka dan
sumber pendanaan.
Perilaku stakeholders dikaitkan aturan yang harusnya berlaku (normatif)
atau perilaku seharusnya dibandingkan dengan perilaku yang dilaksanakan atau
implementasinya. Perbandingan ini akan memperlihatkan kinerja stakeholders di
zonasi CBPS. Selain itu, dikaji pula perubahan perilaku masyarakat stakeholders
dalam mengelola SDA saat ini.
Data yang dikumpulkan adalah aturan yang berlaku atau seharusnya dan
perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS di lapangan. Data
dikumpulkan dengan cara studi pustaka, wawancara mendalam kepada informan
kunci dari stakeholders, dan pengamatan terlibat. Hubungan antara kelembagaan,
perilaku, dan kinerja stakeholders dalam pengelolaan SDA dianalisis
menggunakan analisis Model Finsterbuch dalam Basuni (2003). Perilaku
stakeholder tersebut akan dibedakan seusai zona di CBPS. Analisis ini
memberikan gambaran perilaku stakeholders terhadap pengelolaan SDA di CBPS.

5.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Identifikasi Stakeholders

Stakeholders yang terlibat pengelolaan SDA di CBPS teridentifikasi


sebanyak 19 pihak (Tabel 5.2). Stakeholders penting adalah masyarakat Mentawai
yang bermukim di CBPS yang merupakan bagian dari Suku Mentawai.
Masyarakat Mentawai mengklaim bahwa lahan dan SDA yang ada di atasnya di
CBPS dimiliki oleh uma-uma. Mereka masih memanfaatkan SDA tersebut hingga
sekarang.
Stakeholders dari pemerintah pusat, yakni BTNS dan BKSDA Sumbar
merupakan unit pelaksana teknis (UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan) yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi di
Indonesia, serta Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kepulauan Mentawai
(UPT Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) yang
menyelenggarakan tata ruang dan administrasi pertanahan di Indonesia. Ditinjau
dari struktur organisasi Kementerian LHK, BTNS dan BKSDA Sumbar tidak
berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten, melainkan
perpanjangan tangan dari Direktorat KSDAE Kementerian LHK. BTNS
merupakan lembaga yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola kawasan
TNS, dan BKSDA Sumbar bertanggung jawab penuh untuk mengelola HSAW
Teluk Saibi Sarabua sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Stakeholders dari pemerintah daerah, yaitu satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang berkaitan dengan kegiatan
78

pengelolaan SDA, terdiri atas Badan Perencana Pembangunan Daerah


(BAPPEDA), Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, serta Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata. Stakeholders tersebut merupakan perpanjangan tangan Bupati untuk
melaksanakan visi dan misi Kabupaten Kepulauan Mentawai, yakni ”Menjadikan
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang Maju dan Sejahtera”.

Tabel 5.2 Stakeholders dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Stakeholders Keterangan
Masyarakat Siberut (Suku Mentawai) Masyarakat
Balai Taman Nasional Siberut (BTNS) Pemerintah Pusat
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Pemerintah Pusat
Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi (Dishutkab/prov) Pemerintah Daerah
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Pemerintah Daerah
Kabupaten
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten (Disparbudkab) Pemerintah Daerah
Dinas Pertanian Kabupaten (Distankab) Pemerintah Daerah
Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM-M) Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat LSM
Yayasan Kirekat LSM
Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mentawai (IPMEN) LSM
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kab. Mentawai Pemerintah Pusat
Flora Fauna International Indonesia (FFI-I) LSM
Komite Nasional MAB (KN MAB) Indonesia Pemerintah
Universitas Andalas (UNAND) Lembaga Pendidikan
Universitas Muhamaddiyah Sumatera Barat (UMSB) Lembaga Pendidikan
Institut Pertanian Bogor (IPB) Lembaga Pendidikan
Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Lembaga Penelitian
Kehutanan (Balitbang Kemen. LHK)
PT. Salaki Summa Sejahtera (IUPHHK) Swasta

Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal terlibat secara langsung


maupun tidak dalam pengelolaan SDA di CBPS, yaitu Yayasan Citra Mandiri
Mentawai (YCM-M), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat,
Yayasan Kirekat, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mentawai (IPMEN). YCM-M
merupakan LSM lokal (Mentawai) yang berbasis pada penguatan organisasi
masyarakat adat Mentawai. WALHI Sumatera Barat berdomisili di Padang, tetapi
mempunyai perhatian khusus terhadap isu-isu lingkungan hidup di Siberut.
Yayasan Kirekat merupakan LSM lokal yang mempunyai visi memperkuat
kelembagaan dan kepentingan masyarakat Mentawai. IPMEN adalah LSM lokal
yang fokus berbagai isu pembangunan di Mentawai yang berisikan mahasiswa dan
pelajar. Sedangkan Lembaga internasional non-profit yang teridentifikasi
beraktivitas di CBPS, yakni Flora Fauna International Indonesia (FFI-I). Lembaga
ini fokus pada upaya pelestarian keanekagaraman hayati di Pulau Siberut. Selain
79

itu, Komite Nasional MAB Indonesia–UNESCO yang merupakan organisasi yang


mengembangkan Program MAB UNESCO di Indonesia.
Lembaga pendidikan dan penelitian yang banyak beraktifitas di CBPS, yaitu
Universitas Andalas (UNAND), Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
(UMSB), Institut Pertanian Bogor (IPB), serta Badan Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Balitbang LHK) Kementerian
LHK. Organisasi-organisasi ini menjadikan CBPS sebagai lokasi penelitian, dan
khususnya universitas menjadikannya lokasi praktik lapangan mahasiswa.
Pihak swasta yang terkait pengelolaan SDA di Siberut, terdiri atas PT. SSS
selaku pemegang IUPHHK di Siberut bagian Utara, pengusahaan bidang
pariwisata (pengelola resort wisata, biro perjalanan), dan pengumpul hasil hutan
(pengumpul, pedagang).

5.3.2 Kategorisasi Stakeholders

Berdasarkan kategorisasi atas kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam


pengelolaan SDA di CBPS dihasilkan empat kuadran (Gambar 5.1). Tingkat
kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS beserta
nilainya disajikan pada Tabel 5.3 dan Lampiran 10. Stakeholders dalam kuadran-
kuandran tersebut dijelaskan berikut. Posisi kuadran I (subject) ditempati oleh
masyarakat Siberut, BKSDA Sumbar, WALHI Sumbar, KN MAB Indonesia, dan
BAPPEDA Kab. Kep. Mentawai. Masyarakat Siberut memiliki kepentingan yang
tinggi terhadap SDA yang ada CBPS, tetapi memiliki pengaruh yang kurang
tinggi. Pengaruh yang kurang tinggi ini disebabkan oleh kekurang mampuan
masyarakat dalam mempengaruhi pihak lain, memberikan kompensasi bagi
perilaku yang baik, mengorganisasi anggota uma yang jauh sehingga masyarakat
seringkali diposisikan sebagai obyek bagi pendatang. Kondisi ini serupa dengan
hasil penelitian Roslinda et al. (2012) di Taman Nasional Danau Sentarum,
Indonesia, bahwa masyarakat di sekitar kawasan taman nasional sering
diposisikan sebagai objek pengelolaan kawasan. Kepentingan yang tinggi dari
masyarakat terhadap SDA terutama berkenaan dengan fungsi ekosistem dari
CBPS. Hal ini sesuai dengan pendapat BTNS (2010) bahwa masyarakat Siberut
masih menggantungkan hidup dari hutan dan lingkungan di sekitar mereka.
BKSDA Sumbar mempunyai kepentingan yang tinggi di CBPS, karena
kelestarian kawasan Teluk Saibi Sarabua merupakan tanggung jawabnya. Namun,
pengaruh organisasi ini lemah karena tidak ada petugas yang berada, dan tidak ada
aktivitas yang berkesinambungan di lapangan. Menurut petugas BKSDA Sumbar,
kendala pengelolaan kawasan Teluk Saibi Sarabua adalah sulitnya aksesibilitas ke
Pulau Siberut, terbatasnya personil dan dana, sedangkan kawasan yang dikelola
oleh BKSDA banyak dan tersebar di seluruh Sumatera Barat. SKPD yang
mempunyai kepentingan terhadap pelestarian SDA di CBPS adalah BAPPEDA
Mentawai karena lembaga ini bertujuan untuk mendistribusikan kesejahteraan
kepada setiap anggota masyarakat melalui perencanaan pembangunan di CBPS.
80

Subjects Key players

Crowds Context setters

Gambar 5.1 Kategorisasi stakeholders di CBPS menurut kepentingan dan


pengaruh

LSM dan organisasi nasional/internasional yang mempunyai kepentingan


cukup tinggi dengan kelestarian ekosistem di CBPS, yaitu WALHI Sumbar, FFI-I,
dan Komite Nasional MAB Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan beberapa
organisasi tersebut pernah beraktivitas di CBPS dan sampai saat ini masih
mengikuti setiap perkembangan pengelolaan SDA di CBPS. Khusus WALHI
Sumbar, mempunyai kepentingan dengan lingkungan hidup yang baik di Pulau
Siberut. Namun, WALHI tidak berdomisili di Pulau Siberut, sehingga pengaruh
organisasi ini tidak terlalu tinggi. Walaupun demikian WALHI Sumbar
mempunyai jaringan/hubungan yang erat dengan beberapa LSM lokal di Siberut
teruma untuk melakukan kegiatan advokasi. Aktivitas yang dilakukan FFI-I
menggambarkan adanya kepentingan lembaga internasional terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Siberut. Sebelumnya beberapa LSM
internasional telah beraktivitas di Pulau Siberut seperti World Wide Fund (WWF)
di era 1980 atau Conservasi Internasional Indonesia (CI-I) di tahun 2000-an.
Selanjutnya, Komite Nasional MAB-Indonesia, sebagai wadah yang menaungi
semua pengelolaan cagar biosfer di Indonesia. Kinerja Komite Nasional MAB-
Indonesia ini sangat tergantung pada kondisi kawasan cagar biosfer. Komite ini
dipantau oleh Jaringan Cagar Biosfer Dunia. Namun, pengaruh berbagai
organisasi ini kurang kuat di lapangan karena aktivitas organisasi tersebut bersifat
temporal di lapangan.
81

Tabel 5.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan


sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Kepentingan stakeholders Nilai Pengaruh stakeholders Nilai
Masyarakat Siberut (Suku Mentawai) 23 YCM-M 18
Balai Taman Nasional Siberut (BTNS) 23 BTNS 16
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) 23 Dishutkab 15
Sumbar
Dinas Kehutanan Kabupaten (Dishutkab) 17 BAPPEDA Kab 13
Komite Nasional MAB Indonesia 15 IUPHHK PT. SSS 12
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera 15 FFI-I 12
Barat
Flora Fauna International Indonesia (FFI-I) 14 WALHI Sumbar 12
PT. Salaki Summa Sejahtera (IUPHHK-PT. SSS) 13 KN-MAB Indonesia 11.5
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 12 Masyarakat Siberut 11
(BAPPEDA) Kabupaten
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten 12 UNAND 11
(Disparbudkab)
Dinas Pertanian Kabupaten (Distankab) 12 IPPMEN 11
Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM-M) 10 Distankab 10.5
Yayasan Kirekat 11 UMSB 10.5
Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mentawai 11 Disparbudkab 10
(IPPMEN)
Universitas Andalas (UNAND) 10 Yayasan Kirekat 10
Universitas Muhamaddiyah Sumatera Barat 10 Balitbang Kemen LHK 10
(UMSB)
Institut Pertanian Bogor (IPB) 10 BKSDA) Sumbar 9
Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan 10 BPN Kab. 7
Hidup dan Kehutanan (Balitbang Kemen LHK)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kab. 5 IPB 5
Mentawai

Posisi kuadran II (key players) ditempati oleh kelompok yang paling kritis
karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi, yakni BTNS
dan Dishutkab. BTNS memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi berkenaan
dengan otoritas dan tanggung jawabnya untuk mengelola kawasan (46.80% dari
luas pulau) dan merealisasikan program kerja di kawasannya yang mencakup
kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan evaluasi.
Keberadaan resor pengelola TNS di daerah pedalaman dan intensistas kerja yang
cukup tinggi di Pulau Siberut membuat organisasi ini mempunyai pengaruh tinggi
di masyarakat. Hal ini lazim ditemui pada setiap kegiatan pengelolaan SDA,
pengelola yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai
pemangku kepentingan utama (Sembiring et al. 2010; Maguire et al. 2012).
Dishut Kab. Kep. Mentawai mempunyai kepentingan yang tinggi karena hampir
sebahagian pulau (44.55% dari luas pulau) merupakan hutan produksi dan hutan
produksi yang dikelola oleh Dishut. SKPD merupakan wakil pemerintah daerah
yang memiliki otoritas pengembangan wilayah. Era otonomi daerah memberikan
wewenang lebih besar pada setiap daerah dalam memanfaatkan potensi SDA dan
82

SDM untuk kepentingan daerahnya masing-masing, sehingga Dishut mempunyai


pengaruh yang cukup tinggi, karena sering berkegiatan di Pulau Siberut terutama
di sekitar desa/dusun areal kerja IUPHHK PT. SSS.
Posisi kuadran III (contex setter) ditempati oleh PT. SSS dan YCM-M.
Stakeholders ini dapat mempengaruhi pengelolaan CBPS, karena memiliki
pengaruh yang cukup tinggi. PT. SSS mempunyai kekuatan finansial untuk
mempengaruhi stakeholders lain, dan kepentingan produksi kayu merupakan
kepentingan utama stakeholders ini. YCM-M memiliki pengaruh tinggi karena
sebagai LSM lokal mereka beraktivitas di Kepulauan Mentawai (termasuk
Siberut) semenjak tahun 1997. Aktivitas YCM-M fokus pada penguatan
organisasi masyarakat adat Mentawai sehingga mereka mampu terlibat dalam
proses pengambilan kebijakkan, mengelola potensi, serta mampu mengelola
berbagai sumber penghidupannya untuk meningkatkan kesejahteraan. Saat ini
YCM-M mempunyai dua media massa yang menjadi kekuatan dan perpanjangan
tangan mereka di lapangan, yaitu Koran “Pualigoubat” dan berita online
“Mentawaikita.com” yang dapat menyebarkan informasi dan mengkritisi
stakeholders lain. Pengaruh LSM lokal yang tinggi seperti ini dijumpai pula pada
pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum di Kalimantan Barat, LSM yang
selalu mendampingi masyarakat akan memiliki pengaruh yang tinggi di
masyarakat (Roslinda et al. 2012).
Posisi pada kuadran IV (crowd) merupakan kelompok yang memiliki
kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan SDA di CBPS.
Terdapat sembilan stakeholders yang berada pada kuadran ini, yaitu Disparbud
Kabupaten, Distan Kabupaten, BPN, Yayasan Kirekat, IPPMEN, UNAND,
UMSB, Balitbang Kehutanan, dan IPB. Kesembilan stakeholder ini memberikan
perhatian juga dalam pengelolaan SDA di CBPS, tetapi aktivitas yang mereka
lakukan hanya bersifat temporal dan “keproyekan”.
Yayasan Kirekat mendapat dana dari Tropical Forest Conservation Action
(TFCA Sumatera) untuk melakukan perlindungan dan pemulihan kawasan hutan
terdegrasi dan rawan bencana di CBPS. Dalam melaksanakan kegiatannya,
yayasan ini berkonsorsium dengan Pusat Penelitian Geografi Terapan Universitas
Indonesia (PPGT-UI), PT. Global Green, Siberut Conservation Programme
(SCP), dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Sumatera Barat.
IPMEN merupakan perkumpulan dari pelajar dan mahasiswa Mentawai yang
biasanya aktif berkegiatan atau “muncul” pada saat isu-isu tertentu, misal
mengkritik kebijakan rencana pembukaan perkebunan sawit di Siberut.
Selanjutnya, UNAND, UMSB, Balitbang Kehutanan, dan IPB berfokus pada
kegiatan penelitian dan pendidikan sehingga keterlibatan dalam kegiatan
pengelolaan belum begitu terasa kepentingan dan pengaruhnya. Hasil-hasil
penelitian berupa rekomendasi terhadap pengelolaan SDA seringkali tidak
terpakai, karena setelah seminar hasil penelitian dilakukan, seringkali
rekomendasi tersebut terlupakan dan menjadi tumpukan laporan. IPB mempunyai
peran khusus di Siberut, yakni sebagai pendamping pengelolaan hutan secara
lestari (PHAPL) pada IUPHHK PT. SSS. Selain itu, IPB juga bekerjasama dengan
Pusat Penelitian Primata Jerman (DPZ) dalam melakukan penelitian pada Siberut
Conservation Program (SCP). Areal SCP ini berada di dalam areal PT. SSS yang
dialokasikan sebagai areal Kawasan Perlindungan dan Pelestarian Plasmanutfah
(KPPN) dan Kawasan Perlindungan Satwa Liar (KPSL). Saat ini, peran IPB
83

sebagai PHPAL di area IUPHHK PT. SSS sudah tidak berlanjut karena PT. SSS
sudah bekerjasama dengan konsultan lain. Begitupula dengan kerjasama dengan
SCP yang sudah tidak berlanjut, karena SCP sudah tidak melakukan aktivitas
penelitian di Siberut. BPN menyelenggarakan tata ruang dan administrasi
pertanahan di Indonesia di luar kawasan hutan negara. Tanah milik di CBPS
sangat kecil sehingga tidak banyak dan dimiliki oleh uma-uma (komunal)
sehingga belum banyak lahan yang disertifikatkan di Pulau Siberut. Walaupun
demikian, BPN mendorong masyarakat untuk mencatatkan lahan pribadi untuk di
sertifikatkan.
Kepentingan dan pengaruh stakeholders akan selalu berubah sesuai dengan
dinamika berbagai parameter penyusunnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Reed
et al. (2009) bahwa kepentingan dan pengaruh stakeholders dapat berubah
sepanjang waktu, dan dampak perubahan tersebut perlu dijadikan pertimbangan
bagi pengelola suatu kawasan. Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan saat
ini, pengelolaan suatu CBPS mutlak ditangani multi stakeholders yang dapat
dibangun melalui suatu kemitraan.

5.3.3 Hubungan Antar Stakeholders

Teridentifikasi tiga hubungan yang terjadi antar stakeholders yang terlibat


dalam pengelolaan SDA di CBPS, yaitu potensi konflik (conflict), saling mengisi
(complementary), dan bekerjasama (cooperation). Potensi konflik terjadi antara
BTNS dan BKSDA Sumbar dengan masyarakat Siberut (Tabel 5.4). Konflik ini
muncul karena perbedaan pengakuan hak kepemilikan. BTNS dan KSDA
mengelola kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan negara, di lain pihak
kawasan hutan tersebut juga diklaim oleh masyarakat sebagai hutan ulayat yang
dimiliki oleh uma-uma.
Selanjutnya BTNS dan BKSDA dengan beberapa SKPD di Pemkab
Kepulauan Mentawai. Konflik ini muncul karena perbedaan kepentingan. BTNS
dan BKSDA mempunyai peran yang penting dan strategis bagi perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan SDA secara berkelanjutan. Kawasan TNS
mempunyai fungsi strategis sebagai areal tangkapan air, daerah aliran sungai
(DAS), hidrologi (sumber air), mengatur iklim mikro, penyerap karbon, tempat
pendidikan, dan sebagai tempat wisata alam, sedangkan HSAW Teluk Saibi
Sarabua menjadi perlindungan daratan dan perairan di Teluk Saibi Sarabua.
Secara garis besar terdapat tiga tujuan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu (1)
perlindungan proses ekologis untuk menjamin fungsi dan perannya sebagai sistem
penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya,
dan (3) pemanfaatan secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan
yang berkelanjutan, khususnya bagi masyarakat sekitar kawasan konservasi.
Ketiga tujuan ini sesuai dengan UU No. 5/1990, sehingga dalam pengelolaan
kawasan konservasi selalu memperhatikan dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial.
SKPD mengelola SDA di daerahnya berdasarkan UU No. 32/2004. Terdapat
anggapan bahwa semua SDA di daerah dapat dikelola oleh Pemkab, termasuk
SDA yang berada di kawasan konservasi. Hal ini berdampak pada SDA di
kawasan konservasi dipandang sebagai sumber daya potensial untuk dieksploitasi
yang dapat menambah pemasukan ke pendapatan asli daerah (PAD). Kewenangan
tersebut dianggap sebagai bagian dari kebebasan daerah yang otonom untuk
84

memperoleh PAD dari SDA yang ada, dan kadangkala tanpa mempertimbangkan
dampak negatif yang ditimbulkannya. Walaupun kedua belah pihak
memperhatikan aspek ekonomi, tetapi pengelolaan kawasan konservasi lebih
cenderung berorietasi pada aspek ekologi, sedangkan SKPD lebih berorietasi pada
aspek ekonomi. BTNS seringkali dianggap beberapa pejabat Pemkab dan anggota
DPRD sebagai penghambat pembangunan, karena melarang berbagai aktivitas
pembangunan di Siberut, seperti pembangunan jalan raya dan pemukiman.

Tabel 5.4 Actor-linkage dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Stake- Keterkaitan antar stakeholdersb
holdera 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1 - A,C A A,C C C C C C C C C C C C C C C A,C
2 A,C - B,C A,C A,C C C C C C C C C B,C C C C C C
3 A B,C - A,C A,C C C C C C C C C C C C C C C
4 A,C A,C A,C - C C C C A,C C A,C C C C C C C C C
5 C A,C A,C C - C C C - C C C C C C C C C C
6 C C C C C - C C - C C C C C C C C C C
7 C C C C C C - C - C C C C C C C C C C
8 C C - A,C C C C - B,C C C C C C C C C C A,C
9 C C C A,C - - - B,C - C C C C C C C C C A,C
10 C C C C C C C C C - C C C C C C C C C
11 C C C A,C C C C C C C - C C C C C C C C
12 C C C C C C C C C C C - C C C C C C C
13 C C C C C C C C C C C C - C C C C C C
14 C B,C C C C C C C C C C C C - C C C C C
15 C C C C C C C C C C C C C C - C C C C
16 C C C C C C C C C C C C C C C - C C C
17 C C C C C C C C C C C C C C C C - C C
18 C C C C C C C C C C C C C C C C C - C
19 A,C C C C C C C A,C A,C C C C C C C C C C -
a
Stakeholders 1: Masyarakat Suku Mentawai di Siberut, 2: BTNS, 3: BKSDA Sumatera Barat, 4:
Dishutkab, 5: BAPPEDA Kab., 6: Disparbudkab, 7: Distankab, 8: YCM, 9: WALHI, 10: Kirekat,
11: IPMEN, 12: BPN, 13: FFI-I, 14: KN-MAB, 15: UNAND, 16: IPB, 17: UMSB, 18:
Balitbanghut, 19: PT SSS. bKeterkaitan antar stakeholder A: conflict, B: complementary, C:
cooperation.

Potensi konflik juga terlihat antara LSM yang berorientasi


lingkungan/konservasi (seperti YCM, WALHI, IPMEN) dan masyarakat dengan
SKPD (khususnya Dishutkab) dan PT. SSS. Konflik antara LSM dengan SKPD
muncul biasanya ketika ada proses perizinan untuk memanfaatkan SDA dalam
skala besar (seperti IUPHHK, IPK, perkebunan kelapa sawit, HTI). Kalangan
LSM beranggapan bahwa pemanfaatan SDA, khususnya hutan banyak membawa
dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat Mentawai. Begitupula konflik
antara LSM tersebut dengan PT. SSS terkait dengan isu lingkungan dan distribusi
manfaat yang tidak berimbang ke masyarakat lokal.
Hubungan saling mengisi dapat dilihat antara BTNS dan BKSDA. Ketiadaan
petugas BKSDA di Siberut menyebabkan aktivitas peredaran tumbuhan dan satwa
dilindungi di Pulau Siberut dilakukan oleh petugas BTNS, seperti beberapa kali
85

penangkapan pembawa satwa liar illegal di Pelabuhan Muara Padang berkat


informasi dari petugas BTNS. Begitupula terlihat antara YCM dan WALHI.
WALHI Sumbar merupakan kumpulan dari beberapa LSM lokal di Sumatera
Barat, termasuk YCM, sehingga aliran informasi dapat mengalir di antara kedua
organisasi dan pekerjaaan internal salah satu organisasi dapat diisi oleh yang lain.
Potensi kerjasama hampir dimiliki semua stakeholders. Kerjasama antar
berbagai stakeholders telah terjalin di Siberut. Seperti ditunjukkan oleh kemitraan
yang dibangun antara BTNS, UNESCO, YCM-M dengan dengan masyarakat
lokal sejak tahun 1999. Namun, YCM-M keluar tidak lama setelah dari kemitraan
berjalan. Visi kemitraan ini untuk melestarikan keanekaragaman hayati di Pulau
Siberut. Kemitraan ini sering disebut sebagai Co-manajemen di tingkat lapangan.
Kemitraan ini berakhir pada tahun 2006 dan bertransformasi menjadi LSM
Perkumpulan Siberut Hijau (PASIH). PASIH terus bermitra dengan BTNS dan
berakhir pada tahun 2012. Berhentinya kerjasama ini dikarena permasalahan
internal di tubuh organisasi PASIH. Menurut staf BTNS, proses kerjasama menuju
kemitraan ini bukan proses instan, melainkan melalui proses konflik antar pihak.
Negoisasi antara lembaga dilakukan, dan adanya kesamaan tujuan bahwa
pelestarian SDA di Siberut mendesak untuk dilakukan membuat kemitraan bisa
dilakukan.
Hubungan saling bekerjasama juga terlihat antara BTNS dengan KNMAB-
Indonesia. KNMAB-Indonesia organisasi dari berbagai lembaga pemerintah yang
diketuai oleh LIPI (Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati) sebagai autoritas
keilmuan di Indonesia, selanjutnya Ditjen KSDAE Kementerian LHK selaku
wakil sebagai autoritas manajemen yang kawasannya sebagaian besar menjadi
area inti cagar biosfer. Hubungan BTNS dengan KNMAB-Indonesia terjadi
karena BTNS merupakan UPT dari Ditjen KSDAE (Kementerian LHK). Di
tingkat lapangan, BTNS sering dianggap sebagai pengelolaan CBPS karena
sampai saat ini struktur pengorganisasian CBPS belum terbentuk.
Beberapa stakeholders dari LSM menunjukkan kedekatan secara
organisasional. Hal ini dapat terlihat bila suatu LSM berkegiatan, LSM mitra akan
terlibat. Kedekatan ini juga akan terlihat jika muncul isu pengelolaan SDA yang
dapat berdampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. LSM yang “sealiran”
akan mengelompok membentuk suatu aliansi. Begitupula terdapat kedekatan
antara LSM dengan BTNS, yang terlihat dari kehadiran LSM pada berbagai acara
yang diselengarakan oleh BTNS, seperti diskusi atau seminar, sosialisasi kegiatan,
dan pendampingan masyarakat. Kegiatan-kegiatan TNS-pun sering dihadiri oleh
masyarakat dan SKPD Pemkab khususnya Dishut. Kedekatan beberapa LSM
dengan BTNS awalnya bukan dibangun oleh organisasi BTNS, melainkan
dibangun oleh beberapa individu yang memandang bahwa BTNS tidak dapat
bekerja sendiri dalam upaya konservasi di Siberut. Kedekatan ini berdampak
positif bagi organisasi BTNS.
Dari Tabel 5.3 terlihat kepentingan stakeholders atas SDA di CBPS secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu kepentingan ekologi (konservasi) dan
ekonomi (pembangunan). Selama ini, dua kepentingan tersebut dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat berjalan selaras, padahal seharusnya antara kepentingan
ekologis dan ekonomi dapat berjalan selaras untuk melestarikan SDA. Darusman
dan Widada (2004) menyebutkan lima prinsip yang menegaskan sinergisitas
antara kegiatan konservasi dan pembangunan ekonomi. Pada prinsip kedua
86

dinyatakan bahwa ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang


berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara
berkelanjutan dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena
masyarakat tidak peduli. Begitupula dengan konsep cagar biosfer yang bertujuan
untuk menyelaraskan antara kepentingan konservasi dan pembangunan (UNESCO
1996).
Potensi konflik antar stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS
bukanlah untuk dinihilkan. Melainkan untuk saling menguatkan. Stakeholders
yang memiliki posisi lemah (crowd) bukan untuk dipinggirkan melainkan
dikuatkan. Begitupula berbagai perbedaan perlu dicarikan penyelesaiannya
(resolusi) agar mereka memperoleh manfaat yang lebih baik atas pengelolaan
SDA di CBPS.
Banyaknya peluang bekerjasama antar stakeholders di CBPS menunjukan
adanya peluang pengelolaan kolaboratif16. Pengelolaan kolaboratif ini dapat
mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, swasta, dan
masyarakat dimana setiap entitas stakeholders berada dalam posisi yang setara.
Walaupun demikian, Tadjudin (2000) menyebutkan bahwa pengelolaan
kolaboratif bukanlah pendekatan yang mudah diterapkan dan efektif untuk semua
kondisi dan keadaan. Untuk itu, perlu komitmen dari semua stakeholders yang
terlibat untuk dapat mencapai pengelolaan kolaboratif di CBPS.

5.3.4 Partisipasi Stakeholders

Partisipasi stakeholders merupakan wujud keterlibatan, keikutsertaan, dan


kontribusi stakeholders dalam pengelolaan kawasan sesuai dengan peran dan
fungsinya masing-masing. Walaupun, sampai saat ini pengorganisasian CBPS
belum terbentuk, tetapi berbagai aktivitas stakeholders di CBPS secara parsial
dapat dianggap sebagai kontribusi atau keterlibatan stakeholders dalam
pengelolaan CBPS karena sangat mempengaruhi dan menentukan eksistensi
CBPS. Berbagai bentuk aktivitas stakeholders yang berdampak pada eksistensi
CBPS disajikan pada Tabel 5.5.
Berbagai aktivitas stakeholders di CBPS sebenarnya tidak ditujukan untuk
membantu pengelolaan CBPS, tetapi setiap aktivitas yang berdampak pada
kelestarian SDA di CBPS akan berdampak positif kepada CBPS dalam Jaringan
Cagar Biosfer tingkat dunia ataupun sebaliknya. Partisipasi yang ditunjukkan oleh
stakeholders dalam pengelolaan CBPS, menurut Model Partisipasi Arnstein
dikategorikan sebagai tingkat partisipasi manipulasi atau terapi. Menurutnya
partisipasi pada tingkatan ini non partisipatif, karena komunikasi yang terjadi
satu arah. Asngari (2001) menyatakan bahwa penggalangan partisipasi itu harus
dilandasi adanya pengertian bersama karena adanya komunikasi dan interaksi di
antara stakeholders. Begitu pula, Yudilastiantoro (2003) menyatakan bahwa
partisipasi merupakan keterlibatan aktif individu atau masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta monitoring dan evaluasi
suatu kegiatan.

16
Manajemen kolaborasi adalah suatu bentuk manajemen yang mengakomodir kepentingan-
kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai
entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan
bersama (Tadjudin 2000).
87

Tabel 5.5 Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan Cagar Biosfer Pulau Siberut
Aspek
Stakeholders Aktivitas
Konservasi
Dishutkab Perlindungan - Penyuluhan (Pengamanan dan perlindungan hutan berbasis
masyarakat/PPHBM, kebakaran hutan, prosedur dan proses
pemanfaatan kawasan hutan)
- Patroli kawasan (pengamanan dan pemantauan peredaran hasil
hutan, patroli simpatik, pemeriksaan batas blok tebangan
IUPHHK)
- Pengendalian produksi dan peredaran hasil hutan serta
pengelolaan iuran sektor kehutanan
Pengawetan - Pembibitan tanaman hutan
Pemanfaatan - Pengendalian kewajiban pokok IUPHHK PT. SSS
- Pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) IUPHHK PT. SSS
- Kegiatan tebang pilih tanam indonesia (TPTI) IUPHHK PT.
SSS
- Promosi peluang investasi usaha bidang kehutanan
TNS Perlindungan - Patroli rutin dan gabungan
- Identifikasi penggunan lahan dalam kawasan
Pengawetan - Inventarisasi keanekaragaman hayati (flora dan fauna)
- Pembibitan tumbuhan hutan dan tanaman bernilai ekonomis
Pemanfaatan - Pengembangan ekonomi
- Penyusunan Review Zonasi TNS
- Penyuluhan konservasi
- Pengembangan daerah kunjungan ekowisata
Unand Pengawetan - Pengenalan jenis dan herbarium tumbuhan dan satwa di
Siberut oleh mahasiswa dan kerjasama dengan BTNS
- Mengidentifikasi pemanfaatan lahan di masyarakat kerjasama
dengan BTNS
- Menyusun Review Zonasi TNS
UMSB Pengawetan - Melakukan inventarisasi primata di kawasan TNS kerjasama
dengan BTNS
Walhi - Penguatan kelembagaan desa di Salappak bekerjasama dengan
YCM
YCM - Melakukan peningkatan kapasitas organisasi masyarakat adat
(OMA) Mentawai
- Meningkatkan partisipasi masyarakat adat Mentawai dalam
memperjuangkan hak-haknya
- Menyusun konsep-konsep pelibatan masyarakat adat
Mentawai dalam sistem politik, hukum dan PSDA yang adil
dan berkelanjutan, serta membuat rekomendasi produk-produk
hukum yang berpihak pada masyarakat adat Mentawai
- Melakukan relasi dan dialog dengan Pemkab Mentawai
- Membangun aliansi strategis dan dukungan para pihak dalam
perjuangan Masyarakat Adat Mentawa
PT. SSS - Memanfaatkan kayu di areal izin
- Penjagaan kawasan (patroli rutin dan gabungan dengan aparat)
- Melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat
88

Tabel 5.5 Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan Cagar Biosfer Pulau Siberut
(lanjutan)
Aspek
Stakeholders Aktivitas
Konservasi
Yayasan - Membangun data base tentang konservasi jenis, habitat,
Kirekat dan ekosistem di Siberut.
- Melakukan kajian sosial ekonomi dan budaya di Siberut
- Melakukan kajian dan pemantauan populasi serta sebaran
satwa endemik di Siberut.
- Melakukan pemetaan partisipatif dan analisis perubahan
tutupan ekosistem di Siberut.
- Memberikan rekomendasi/solusi atas permasalahan
pengelolaan wilayah di Siberut
Masyarakat Ikut serta dalam berbagai kegiatan stakeholder

Kinerja positif stakeholders di CBPS tanpa disadari memberikan keuntungan


bagi stakeholders lain. Dalam kelembagaan hal ini dapat disebut sebagai
eksternalitas positif. CBPS memperoleh dampak positif dari aktivitas stakeholders
tanpa harus mengeluarkan biaya transaksi. Walaupun hal ini tidak dapat disebut
sebagai perilaku free riding, karena ketika terjadi kinerja stakeholders yang
negatif, CBPS akan mendapat pandangan negatif dalam Jaringan Cagar Biosfer
tingkat dunia. Pandangan negatif Jaringan Cagar Biosfer Dunia terhadap suatu
unit cagar biosfer yang dianggap tidak melakukan komitmen sesuai Kerangka
Hukum Cagar Biosfer akan dinyatakan “delisting” dan dapat dikeluarkan dari
jaringan tersebut.

5.3.5 Perilaku Stakeholders dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Hubungan antara perilaku, kelembagaan, dan kinerja stakeholders dalam


pengelolaan SDA di CBPS dapat dilihat dari perilaku stakeholders yang
seharusnya berdasarkan aturan yang berlaku (normatif) dan pelaksanaannya di
lapangan (implementatif). Kesenjangan antara norma dan implementasi
merupakan kinerja stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS. Pengaruh
kelembagaan terhadap perilaku stakeholders dalam mengelola SDA di CBPS
disajikan pada Tabel 5.6.
Perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS banyak yang tidak
implementatif. Perilaku BTNS juga belum optimal karena melakukan kegiatan di
seluruh desa di Pulau Siberut. Dengan sumber daya yang terbatas seharusnya
kegiatan difokuskan di kawasan. Hal ini berdampak pada penurunan luasan
tutupan hutan menjadi non hutan (perladangan) di kawasan TNS, yang
ditunjukkan oleh data perubahan tutupan lahan di kawasan TNS dari tahun 2000-
2010 sekitar 967 ha (WCS 2012). Begitupula, perilaku BKSDA Sumbar tidak
implementatif karena tidak berkegiatan di kawasan yang dipangkunya sehingga
kawasannya yang berhutan semakin berkurang. Perilaku Dishut Kabupaten belum
optimal mengelola kawasan di luar IUPHHK, sehingga kawasan berhutan di HP
dan HL semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan dari data perubahan tutupan lahan
berhutan di Pulau Siberut dari tahun 2000-2010 yang berkurang sekitar 10 582 ha
89

(WCS 2012). Selanjutnya, WCS (2012) menyatakan bahwa perubahan tersebut


akibat pembukaan hutan di areal IUPHHK dan perladangan masyarakat.

Tabel 5.6 Pengaruh kelembagaan terhadap perilaku stakeholders dalam di Cagar


Biosfer Pulau Siberut
Zona Aturan yang berlaku Perilaku
Stakeholders Kinerja pengelolaan
CBPSa (Normatif) (Implementatif)
BTNS AI Menyelenggarakan Upaya konservasi Kawasan berhutan
konservasi sumber daya dilakukan di seluruh berkurang. TNS
alam hayati dan desa di pulau masih ideal sebagai
ekosistemnya di kawasan habitat satwa
TNS dilindungi.
Dishut Kab. ZP Mengelola hutan - Mengelola Kawasan berhutan
produksi dan hutan kawasan melalui berkurang. Penghasil
lindung IUPHHK PT. SSS pendapatan asli
- Kawasan di luar daerah yang besar
IUPPHK belum bagi Pemkab.
dikelola
- Memberikan izin
pemungutan rotan
di Pulau Siberut
Masyarakat AI, Tidak boleh Memanfaatkan SDA Lahan perladangan
Siberut (Suku ZP, memanfaatkan SDA di di semua kawasan bertambah luas.
Mentawai) AT kawasan hutan negara CBPS, karena Perladangan sebagai
seluruh lahan/tanah sumber ekonomi
di Siberut dimiliki utama masyarakat.
oleh uma-uma
BKSDA ZP Menyelenggarakan Tidak melakukan Kawasan berhutan
Sumbar konservasi sumber daya kegiatan di berkurang
alam hayati dan kawasannya
ekosistemnya di kawasan
Teluk Saibi Sarabua
KN MAB- AI, - Menyusun kebijakan - Menyusun Struktur
Indonesiac ZP, dan mengarahkan serta Rencana pengorganisasian
AT membina kegiatan Pengelolaan CBPS CBPS belum ada.
Program MAB - Mengikuti forum- CBPS belum
- Menjalin networking forum tersosialisasi di
dengan berbagai internasional tingkat masyarakat
instansi untuk - Promosi CBPS dan pemkab.
pengembangan
Program MAB
- Mewakili Indonesia
dalam kegiatan
Program MAB dan
forum internasional
WALHI AI, Monitoring terhadap Bekerjasama dengan Organisasi didukung
Sumbar ZP, berbagai aktifitas yang beberapa masyarakat di
AT berpotensi merusak dan stakeholder di daerah binaan
mencemari lingkungan, CBPS dalam
serta mendorong memantau kondisi
terciptanya pengelolaan lingkungan dan
SDA yang adil dan mengadvokasi
demokratis masyarakat di
Siberut
90

Tabel 5.6 Pengaruh kelembagaan terhadap perilaku stakeholders dalam di Cagar


Biosfer Pulau Siberut (lanjutan)
Zona Aturan yang berlaku Perilaku Kinerja
Stakeholders
CBPSa (Normatif) (Implementatif) pengelolaan
BAPPEDA AI, Melaksanakan penyusunan Menyusun RTRWK Areal berhutan
Kab. ZP, dan pelaksanaan kebijakan (areal berhutan lebih dari 30%
AT di bidang perencanaan dan minimal 30% dari luas
pembangunan daerah pulau)
YCM ZP, Meningkatkan kapasitas - Melakukan berbagai Organisasi
AT organisasi masyarakat adat pelatihan didukung
(OMA) Mentawai dan pengembangan masyarakat di
menyebarluaskan informasi kapasitas OMA daerah binaan
pembangunan di Mentawai Mentawai
lewat media - Mengkritisi
kebijakan Pemkab
dalam pengelolaan
SDA yang tidak
memihak masyarakat
- Mendirikan Koran
Pualligoubat dan
situs berita online
“mentawaikita”
PT. SSS ZP Melakukan pengusahaan Melakukan kegiatan Memperoleh
hutan secara lestari pengusahaan hutan Sertifikat
yang diawasi Pengusahan
olehkonsultan Hutan Lestari
independen
a
AI: Area Inti, ZP: Zona Penyangga, AT: Area Transisi.

Perilaku masyarakat Siberut masih tetap berladang di hutan negara


walaupun aturan formal melarangnya. Aktivitas perladangan oleh masyarakat
bermotif ekonomi untuk memproduksi kebutuhan subsisten dan hasil bumi yang
dapat dijual. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan formal belum mampu
mengendalikan perilaku masyarakat Siberut di hutan negara, karena belum
jelasnya property rights atas lahan-lahan di Siberut. Pada lahan-lahan tersebut
terdapat dua klaim antara negara dan masyarakat. Hal ini berdampak pada
semakin meluasnya perladangan, karena ladang sebagai sumber ekonomi utama
masyarakat. Naguran (2002) menyatakan bahwa kejelasan property rights
menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dan siapa yang berhak atas
suatu sumber daya.
KN MAB-Indonesia beraktivitas secara temporal di CBPS dan perilakunya
belum seperti norma yang ada. Networking di CBPS belum ada, hal ini terlihat
dari struktur pengorganisasian CBPS belum terbentuk. Begitupula, CBPS
tersosialisai baik di masyarakat dan pemkab.
YCM-M beraktivitas secara rutin di daerah binaannya, tetapi daerah binaan
tersebut hanya beberapa desa di Pulau Siberut. YCM-M mempunyai kelebihan
dalam menyebarkan informasi karena mempunyai dua media massa, yaitu Koran
Pualligoubat dan situs berita online “mentawaikita”. Koran Pualligoubat
merupakan koran dwi minggu yang memberitakan seputar Kepulauan Mentawai.
Pembaca koran ini tersebar di seluruh desa di Kepulauan Mentawai. Dalam
91

beraktivitas mengadvokasi masyarakat, YCM-M dibantu WALHI-Sumbar,


sehingga kedua lembaga ini banyak dukungan/penerimaan yang baik dari
masyarakat, khususnya di daerah binaan. Perilaku dalam mengelola hutan oleh PT
SSS mendapat apresiasi dengan diperoleh Sertifikat Pengusahan Hutan Lestari
(SPHL). Walaupun demikian, beberapa konflik terjadi antara PT SSS dengan
masyarakat pemilik lahan terkait dengan uang imbalan (pulajuk) atas pengambilan
kayu di atas lahan uma.

5.4 Simpulan

Terindentifikasi 19 stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS. Dua


stakeholders digolongkan sebagai key players, yaitu Balai Taman Nasional
Siberut dan Dinas Kehutanan Mentawai, serta tujuh stakeholders dikategorikan
sebagai subject, yaitu masyarakat Siberut (Suku Mentawai), BKSDA Sumbar,
WALHI Sumbar, KN-MAB Indonesia, FF-I, dan BAPPEDA Mentawai.
Kepentingan dan pengaruh stakeholders tersebut dapat berubah sepanjang waktu,
yang dampak perubahannya perlu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan
SDA di CBPS. Dalam interaksinya, terindentifikasi tiga hubungan di antara
stakeholders, yaitu adanya hubungan bekerjasama, saling mengisi, dan atau
konflik. Potensi konflik terdapat pada beberapa stakeholders, tetapi secara
keseluruhan banyak peluang bekerjasama dan mengisi di antara stakeholders. Saat
ini struktur pengorganisasi CBPS belum terbentuk, tetapi berbagai aktivitas
pengelolaan SDA stakeholders di CBPS secara parsial sangat mempengaruhi dan
menentukan eksistensi CBPS dalam Jaringan Cagar Biosfer Dunia. Walaupun
berbagai aktivitas pengelolaan SDA oleh stakeholders masih dikategorikan
sebagai non partisipasi dalam konteks pengelolaan CBPS, berbagai aktivitas
tersebut dapat menjadi modal di antara stakeholders untuk saling melengkapi.
Apalagi, banyak perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS yang
belum sesuai dengan aturan yang berlaku (normatif). Potensi bekerjasama dan
saling mengisi ini membuka peluang untuk melakukan pengelolaan kolaboratif di
CBPS. Untuk itu, peran CBPS dalam mengkomunikasi aktivitas pembangunan di
antara stakeholders menjadi sangat penting.
92

6 ATURAN INFORMAL DAN FORMAL


DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT

6.1 Pendahuluan

Salah satu unit analisis kelembagaan adalah aturan yang digunakan (rule in
use). Berdasarkan atas bentuknya North (1990) membagi kelembagaan menjadi
dua, yakni informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang
keberadaannya di masyarakat dan umumnya tidak tertulis, seperti adat istiadat,
tradisi, pamali, kesepakatan dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan.
Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis, seperti perundang-
undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang
ekonomi, bisnis, politik, kehutanan, dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang
berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke
dalam kelembagaan formal. Kedua jenis kelembagaan ini mempengaruhi perilaku
manusia terhadap sumber daya alam (SDA), karena aturan menyediakan struktur
kehidupan yang memandu interaksi manusia atau untuk menciptakan tingkat
kepastian antara interaksi manusia, untuk mengarahkan perilaku manusia ke arah
yang diharapkan anggota masyarakat, untuk mengurangi perilaku oportunis, biaya
koordinasi, dan untuk membatasi dan atau menyelesaikan konflik (North 1990,
Ostrom 1990, Kasper dan Streit 1998).
Sebagian besar (91.36%) lahan di Cagar Biosfer Pulau Siberut (CBPS)
merupakan kawasan hutan negara yang pengelolaan SDA-nya mengikuti
ketentuan dari peraturan perundangan bidang kehutanan. Di lain pihak, lahan-
lahan tersebut secara tradisional dimiliki oleh uma-uma pengelolaannya
tergantung pada kesepakatan anggota uma. Terlihat dalam satu kawasan hutan
bahwa terdapat dua sistem kelembagaan antara masyarakat dan pemerintah.
Seharusnya kedua tipe kelembagaan ini dapat sejalan dan saling mendukung
(Larson 2013). Namun pada kenyataannya, pengelolaan SDA yang dilakukan oleh
masyarakat seringkali dipandang sebagai “masalah” bagi pemerintah karena
pengelolaan SDA yang mereka lakukan tidak selalu sejalan dengan aturan-aturan
formal (Tadjudin 2000). Sedangkan pengelolaan oleh pemerintah belum mampu
mengelola SDA yang dikuasakan negara karena terkendala sumber daya yang
terbatas (Soekmadi 2002; Basuni 2003; Susetyo 2015). Oleh karena itu, analisis
terhadap kelembagaan informal dan formal dalam pengelolaan SDA sangat
penting dilakukan agar strategi penguatan kelembagaan Suku Mentawai dalam
pengelolaan SDA di CBPS dapat dirumuskan.

6.2 Metode

Penelitian dilakukan di CBPS dengan lokasi pengumpulan data di Desa


Matotonan di Kecamatan Siberut Selatan, Desa Saibi Samukop di Kecamatan
Siberut Tengah, dan Desa Sagulubbek di Kecamatan Siberut Barat (lihat Gambar
3.1). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga Mei 2015.
93

Data yang dikumpulkan berupa data primer berupa aturan informal yang
berlaku di masyarakat Mentawai di CBPS dan aturan formal yang diberlakukan
pemerintah dalam pengelolaan SDA di CBPS. Aturan formal yang kumpulkan,
meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang terkait
dengan pengelolaan SDA. Aturan dipilih secara purposive sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Data sekunder merupakan data yang berasal dari beberapa
dokumen untuk mendukung data primer. Data tersebut terkait ciri-ciri
kelembagaan pada aturan informal dan formal yang terdiri atas hak kepemilikan,
batas yuridiksi, dan aturan representasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu studi dokumen,
wawancara mendalam, dan pengamatan langsung. Studi dokumen dilakukan
dengan menelaah peraturan perundangan dan dokumen terkait lainnya.
Wawancara mendalam dilakukan kepada 16 (enam belas) orang, dengan kriteria
orang Mentawai dan mengetahui aturan adat yang berlaku di Siberut. Pengamatan
langsung dilakukan untuk melihat aktualisasi aturan dalam aktivitas keseharian
masyarakat dalam mengelola SDA.
Aturan informal dan formal dinilai menggunakan delapan prinsip desain
kelembagaan Ostrom (1990) yang menyatakan bahwa terdapat berbagai kondisi
atau faktor penting yang diperhitungkan dalam suatu kelembagaan lokal yang
dapat bertahan lama untuk mengelola CPRs, yaitu:
1) Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas (clearly defined boundaries).
Individu atau kelompok yang mempunyai hak memanfaatkan unit sumber
daya CPRs harus terdefinisikan dengan jelas, termasuk batas-batas fisik CPRs.
Bila pengguna dan batas sumber daya CPRs tidak terdefinisi dengan jelas,
maka pemilik sumber daya akan menghadapi resiko pemanfaatan sumber daya
oleh orang yang tidak ikut dalam usaha penyediaan dan pemeliharaan CPRs.
Hal ini menyebabkan tidak adanya insentif bagi pengguna sumber daya lokal
untuk melakukan kerjasama dan tindakan bersama dalam penyediaan dan
pemeliharaan CPRs.
2) Kesesuaian (congruence) aturan dengan kondisi setempat. Kesesuaian antara
aturan pemanfaatan, seperti pembatasan waktu, lokasi, teknologi, dan atau
jumlah unit sumber daya dengan kondisi setempat, serta sesuai dengan aturan
penyediaan, seperti kebutuhan tenaga, material dan atau uang.
3) Pengaturan pilihan kolektif (collective choice arrangements). Berbagai pihak
yang dipengaruhi oleh aturan main, khususnya pada tingkat operasional
berhak untuk berpartisipasi secara luas dalam memodifikasi aturan.
4) Pengawasan (monitoring). Terdapat pengawasan yang secara aktif mengaudit
kondisi sumber daya dan perilaku pengguna serta bertanggung jawab kepada
pengguna dan atau anggota pengguna tersebut.
5) Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan (graduated sanctions). Pengguna
yang melanggar aturan operasional harus mendapat sanksi yang tegas,
tergantung pada keseriusan dan konteks pelanggarannya, dari pengguna
lainnya dan atau petugas yang bertanggung jawab kepada pengguna atau
keduanya.
6) Mekanisme penyelesaian konflik (conflict resolution mechanism). Para
pengguna dan para petugas memiliki akses cepat dan murah untuk
menyelesaikan konflik antar pengguna atau antara pengguna dengan petugas.
7) Pengakuan hak untuk mengelola (minimal recognation of the rights to
94

organise). Hak pengguna untuk merencanakan atau menyiapkan


kelembagaannya tidak ditolak oleh pemegang wewenang dari pemerintahan
„eksternal‟.
8) Nested enterprises. Untuk CPRs yang menjadi bagian sistem yang lebih besar,
kegiatan pemanfaatan, penyediaan, pengawasan, penegakkan aturan, resolusi
konflik, dan kegiatan tata kelola diatur dalam jaringan yang lebih luas dan
berjenjang.
Untuk menganalisis aturan tersebut ke dalam prinsip desain kelembagaan,
maka dilakukan analisis peraturan perundangan. Analisis isi dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu memahami situasi di seputar dokumen atau teks yang diteliti
(contexs), memahami isi pesan yang dikreasikan secara aktual dan diorganisasikan
secara bersama (process), dan memahami sebuah pesan dalam dokumen yang
kemudian menginterpretasikannya (emergence) (Ida 2003).
Selain itu, untuk mengetahui hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat
terhadap SDA-nya, dilakukan analisis terhadap kumpulan hak (bundles of right).
Analisis terhadap kumpulan hak menggunakan klasifikasi hak yang digariskan
oleh Ostrom dan Schlager (1996), yaitu hak access dengan pemilik hak yang
disebut authorised entrants, hak withdrawal dengan pemilik hak yang disebut
authorised user, hak management dengan pemilik hak yang disebut sebagai
claimants, hak exclusion dengan pemilik hak yang disebut proprietors, dan hak
alienation dengan pemilik hak disebut owners (Tabel 6.1).

Tabel 6.1 Kumpulan hak terkait dengan posisia


Pemilik Pemilik Penyewa Pengguna Ijin masuk
Jenis hak penuh (full (proprietor) (authorized (authorized (authorized
owner) claimant) user) entrant)
Access √ √ √ √ √
Withdrawal √ √ √ √ -
Management √ √ √ - -
Exclusion √ √ - - -
Alienation √ - - - -
a
Ostrom dan Schlager (1996).

Berbagai hak tersebut dapat dilaksanakan pada beberapa tingkat analisis


yang berbeda. Pelaksanaan hak access dan withdrawal berhubungan pada analisis
tingkat operasional. Pelaksanaan hak management, exclusion, dan alienation
berhubungan dengan analisis tingkat collective choice yang akan berpengaruh
terhadap analisis pada tingkat operasional (Agrawal dan Ostrom 2001).
95

6.3 Hasil dan Pembahasan

6.3.1 Aturan Informal

Dalam interaksinya dengan SDA, masyarakat Mentawai memiliki berbagai


aturan yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dengan SDA. Aturan
pengelolaan SDA ini timbul karena secara ekonomis, ekologi, dan religi
kehidupan Suku Mentawai di Siberut tergantung sepenuhnya terhadap SDA di
sekitarnya. Aturan yang merupakan suatu kelembagaan ini berasal dari nenek
moyang mereka dan sampai saat ini aturan tersebut masih dijalankan. Berikut
diuraikan kelembagaan Suku Mentawai dalam mengelola SDA berdasarkan
prinsip-prinsip desain kelembagaan yang berkelanjutan oleh Ostrom (1990).

1. Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas

Pengguna SDA milik uma17 hanya anggota uma (sipuuma). Pemanfaatan


SDA milik uma oleh sipuuma untuk kepentingan pribadi tidak harus meminta izin
kepada sipuuma lain atau Sikebukat uma, tetapi seringkali dikomunikasikan
dengan Sikebukat uma dan sipuuma yang terdekat. Sipuuma yang mengelola lahan
milik uma-nya dapat membuat ladang, rumah atau pondok, dan berternak, tetapi
dilarang menjual lahan tersebut.
Batas lahan antar uma diketahui oleh semua sipuuma secara lisan dan turun
temurun. Batas antar lahan uma umumnya batas alam, seperti anak sungai,
punggungan bukit, atau bukit. Kadangkala terdapat satu bukit yang lahannya
dimiliki oleh dua uma. Pengetahuan mengenai proses kepemilikan lahan
(termasuk cara memperoleh lahan dan silsilah keluarga) melalui pensejarahan
(penceritaan) oleh orang tua laki-laki, kakek, atau paman. Pensejarahan dilakukan
ketika sipuuma sedang berkumpul, atau seseorang memang dipanggil khusus
(biasanya di tempat yang sepi) bila yang disejarahkan menyangkut “rahasia” di
masa lalu. Sejarah tentang batas lahan suatu uma, jika dikonfirmasi antar sipuuma
atau dengan uma lain yang bersempadan lahan biasanya sama. Bila sejarah tidak
sama dapat terjadi konflik antar uma, mengingat lahan termasuk hal “prinsip”
(harga diri) bagi uma.
Saat ini, SDA berupa lahan dapat dimanfaatkan oleh anggota uma lain
melalui persetujuan (izin) dari uma pemilik lahan. Proses perizinan umumnya
bersifat lisan dan dihadiri oleh saksi dari uma yang tidak terlibat perjanjian.
Pemanfaatan lahan yang diperjanjikan hanya untuk kepentingan atau kebutuhan
subsisten, seperti berladang atau membuat pondok, tetapi tidak untuk
diperjualbelikan. Kesepakatan diawali dengan peminjam memberikan sesuatu
(pulajuk mone) kepada uma pemilik lahan. Pulajuk mone umumnya berupa benda,
seperti kuali, parang, kelambu, babi, ayam, atau hasil ladang. Menurut Darmanto
(2006), setelah membayar pulajuk mone kemudian ditentukan lamanya sewa.
Hasil wawancara, para informan tidak menyebutkan adanya lama penyewaan.
Sistem perizinan seperti ini mencermikan tenggang rasa atau tolerasi di antara

17
Uma merupakan organisasi sosial orang Mentawai di Siberut (Schefold 1991). Reeves (2004)
menyatakan bahwa uma digunakan untuk mengklaim hak atas „sesuatu‟ (sumber daya) yang telah
diusahakan atau dimiliki secara eksklusif atas nama uma maupun hak bersama yang mereka warisi
sebagai bagian dari keturunan dari leluhur yang sama.
96

uma di Siberut, tetapi membuat sistem kepemilikan tanaman menjadi kompleks,


karena kepemilikan antara lahan dengan tumbuhan seringkali berbeda.

2. Kesesuaian aturan dengan kondisi setempat

Aturan pemanfaatan SDA Suku Mentawai dikembangkan sesuai dengan


praktek dan pengalaman nenek moyang mereka secara turun temurun. Suku
Mentawai mengenal konsep klasifikasi lahan (pembagian wilayah) dalam rangka
memanfaatkan SDA yang ada di sekitar mereka. Klasifikasi lahan tersebut,
meliputi satuan lingkungan permukiman, satuan lingkungan antropik (ladang
sagu, ladang keladi, ladang baru, ladang tua, persawahan), satuan lingkungan
alamiah (sungai dan rawa, pantai dan pulau-pulau kecil, hutan atau gunung),
satuan lingkungan sakral (hutan). Uraian tentang klasifikasi lahan ini dapat dilihat
pada Subbab 4.3.2. Lingkungan antropik ini tempat memproduksi pangan bagi
masyarakat. Adanya satuan lingkungan antropik ini menjelaskan mengapa pada
masyarakat Mentawai di CBPS tekanan hutan relatif rendah untuk waktu yang
cukup lama, yang mengesankan masyarakat Mentawai memiliki kearifan
lingkungan (Darmanto dan Setyowati 2012).
Secara umum, masyarakat masih menggunakan alat tradisional untuk
mengelola SDA mereka, seperti parang, kampak, cangkul. Walaupun saat ini,
beberapa masyarakat sudah mulai menggunakan teknologi modern, seperti
menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon dan menggunakan senapan
angin dalam berburu binatang. Teknologi modern ini dianggap masyarakat
mempermudah dan mepercepat pekerjaan masyarakat. Bila pemanfaatan SDA
dilakukan atau “diborongkan” ke pihak ketiga, aturan harus mengikuti aturan adat
dan penggunaan teknologi sesuai aturan pemerintah (contoh penggunaan
teknologi dalam konsesi IUPHHK).

3. Pengaturan pilihan kolektif

Aturan adat dalam mengelola SDA yang berlaku di Suku Mentawai


merupakan warisan dari nenek moyang yang dilakukan secara turun temurun.
Namun demikian, sejalan dengan kemajuan teknologi dan dinamika sosial
masyarakat muncul berbagai aktivitas baru yang berpotensi dapat
merugikan/mengganggu kepentingan bersama, maka dibuat berbagai aturan baru
di luar aturan informal yang sudah ada. Contoh aturan baru yang terkait dengan
pemanfaatan SDA adalah pelarangan penggunaan racun (bahan kimia) untuk
mengambil ikan di sungai, sedangkan yang terkait dengan lingkungan adalah
larangan membuang hajat di jalanan dan pengaturan lokasi penambatan perahu
bermesin.
Aturan-aturan baru tersebut dituangkan dalam peraturan desa (Perdes).
Dalam proses pembuatan aturan baru, masyarakat turut berperan serta melalui
serangkaian musyawarah dan menyepakati Perdes yang disusun. Perdes dibuat
oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang melibatkan semua perwakilan
uma yang ada di suatu desa. Perwakilan uma yang biasanya terlibat adalah
Sikebukat uma (kepala suku). Proses pengambilan keputusan ini dilakukan melalui
musyawarah. Perdes ini biasanya mendapat dukungan dari masyarakat karena
disepakati oleh semua pihak.
97

Selain memuat aturan tentang hal-hal yang baru, Perdes juga memuat
perubahan sanksi berupa besaran denda (tulou) terkait aturan adat (informal).
Besaran denda yang dahulunya berdasarkan kesepakatan atau negoisasi antara
pihak yang berkonflik, saat ini ditetapkan besarannya dalam Perdes. Perdes ini
mendapat dukungan dari masyarakat karena dianggap lebih adil. Salah seorang
pemuka masyarakat Matotonan, Sukarmanto Satoleuru menyatatakan bahwa “…
Perdes dibuat untuk meringankan beban bagi orang yang di-tulou, karena tidak
semua orang mempunyai kemampuan (kekayaan) untuk membayar tulou …”.
Begitupula menurut Lukas Samalei (mantan kepala dusun di Matotonan)
menyatakan bahwa “…tulou selain membatasi perbuatan yang melanggar hak
orang juga membatasi kerusakan lingkungan…”. Perdes merupakan satu bentuk
transformasi aturan informal ke aturan formal. Transformasi aturan ini memberi
ruang partisipasi bagi individu atau anggota masyarakat dalam menyusun dan atau
merevisi aturan pada tingkat operasional18.
Terkait dengan kumpulan hak kepemilikan, masyarakat Mentawai hanyalah
berposisi sebagai authorized user, yakni hanya memiliki hak access dan
withdrawal hanya di lahan uma mereka. Di sisi lain, karena sebahagian besar
kawasan CBPS merupakan hutan negara, maka hak management, exclusion, dan
alienation berada di tangan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pendapat Naguran
(2002) bahwa masyarakat tanpa hak pilihan kolektif, pada dasarnya, telah menjadi
'authorised user' daripada proprietors atau owners.

4. Pengawasan

Terdapat dua cara pengawasan SDA milik uma di Suku Mentawai, yakni
melalui pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal, pengawasan
atas SDA milik uma dilakukan oleh semua sipuuma, artinya semua Sipuuma
bertanggung jawab atas memantau kondisi SDA milik uma. Pengawasan internal
ini biasanya dilakukan terhadap SDA yang berada di sekitar permukiman
sipuuma. Pengawasan Eksternal, pengawasan atas SDA milik uma dilakukan
oleh uma lain. Pengawasan eksternal ini dilakukan terhadap SDA yang lokasinya
jauh dari permukiman sipuuma, karena SDA milik suatu uma di Siberut jarang
berada dalam satu hamparan lahan dan jarak antar satu SDA ke SDA lain
seringkali berjauhan. Pengawasan eksternal ini biasanya melalui suatu
kesepakatan. Isi kesepakatan yakni bahwa uma yang menjaga (sipasijago) akan
menjaga lahan serta SDA di atasnya, dan akan melaporkan apabila ada
pemanfaatan SDA tanpa izin. Sebagai kompensasi, sipasijago dapat
memanfaatkan SDA di lahan tersebut, tetapi tidak boleh menjual lahannya.

5. Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan

Kelembagaan Suku Mentawai dalam pengelolaan SDA telah mendefinisikan


sanksi yang jelas dan sesuai tingkat kesalahan. Sanksi ini merupakan alat pemaksa
agar seorang mentaati norma-norma yang berlaku. Sanksi yang diberikan dalam
bentuk denda (tulou). Sanksi diterapkan tergantung pada keseriusan dan konteks
pelanggarannya. Secara umum pengelompokkan jenis pelanggaran dan sanksi
18
Aturan operasional (operational rule) adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian
masyarakat (Ostrom 1990).
98

berupa dalam pengelolaan SDA di Siberut disajikan pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2 Jenis pelanggaran dan denda dalam pengelolaan sumber daya alam
(SDA) di Siberut
SDA Jenis pelanggaran Sanksi
Hasil hutan Mencuri, merusak Denda dua kali lipat dari SDA yang diambil
Lahan (tanah) Merusak Denda sesuai dengan kesepakatan antara pihak berkonflik
Menjual Diusir dari uma
Air Mencemari Denda sesuai dengan kesepakatan antara pihak berkonflik

6. Mekanisme penyelesaian konflik

Penyebab konflik dalam pengelolaan SDA di Siberut dapat dibagi dalam dua
kelompok. Pertama, konflik yang terjadi karena seseorang/pihak memanfaatkan
SDA milik orang atau uma lain tanpa izin pemilik, seperti seseorang mengambil
tanaman di ladang atau buah di hutan/pumonean yang biasanya terjadi ketika SDA
sedang menipis, atau pihak IPK atau IUPHHK mengambil SDA tanpa koordinasi
dengan uma pemilik lahan. Kedua, konflik lahan yang umumnya terjadi antara
dua uma atau lebih dan atau antara uma dengan pemerintah yang mengklaim
penguasaan lahan yang sama seperti BTNS dan Dinas Kehutanan.
Penyelesaian konflik dilakukan antara kedua pihak atau uma yang berkonflik
melalui musyawarah. Pihak yang berkonflik bernegoisasi dalam menentukan
besaran denda yang dikenakan. Pada kasus-kasus besar, seperti perselingkuhan,
pembunuhan, atau konflik lahan yang melibatkan dua uma atau lebih, biasanya
ditunjuk perantara (Sipasuili)19. Apabila konflik tidak terselesaikan antar dua uma
di dusun, penyelesaian konflik dilakukan lewat jalur kepemerintahan baik di
tingkat dusun, desa, atau kecamatan.
Terdapat beberapa kasus, pelaku tidak mau mengakui perbuatannya, maka
akan diambil kesepakatan untuk melakukan ritual “belah rotan” (tippu sasa).
Tippu sasa adalah sumpah yang dilakukan oleh tersangka kepada arwah-arwah
nenek moyang bahwa dia memang tidak berbuat seperti yang dituduhkan.
Masyarakat percaya bahwa jika tersangka berbohong, dia akan mengalami
kemalangan hingga kematian baik ke dirinya maupun keluarganya. Apabila sudah
dilakukan tippu sasa, permasalahan dianggap selesai.
Jarang sekali konflik pengelolaan SDA dibawa ke aparat kepolisian.
Menurut anggota kepolisian sektor Muara Siberut, setiap tindakan pelanggaran

19
Sipasuili adalah seorang perantara dalam menyelesaikan suatu permasalahan antara pihak yang
berkonflik. Tugasnya adalah menjembatani keinginan pihak/uma yang dirugikan (biasanya terkait
dengan nilai denda) kepada pelaku dan memberi saran-saran kepada pihak/uma yang dirugikan
tentang kesanggupan pelaku membayar denda. Sipasuili sekaligus menjadi saksi pembayaran
denda dan akan dilibatkan kembali dalam konflik yang menyangkut harta hasil pendendaan di
kemudian hari. Sipasuili dipilih oleh pihak/uma yang dirugikan dan berasal dari uma yang tidak
terkait dengan konflik, tetapi biasanya mempunyai hubungan baik dengan pihak/uma yang
dirugikan. Sipasuili yang dipilih adalah orang yang mahir bernegosiasi, mengetahui sejarah SDA
dan aturan adat. Beberapa daerah di Siberut menyebutnya dengan Sipatalaga dengan peran
mediator seperti Sipasuili.
99

hukum formal yang ringan, seperti pencurian SDA, perselingkuhan, atau konflik
lahan diupayakan diselesaikan secara adat di tingkat masyarakat, dusun, atau desa.
Namun, pelanggaran hukum yang berat, seperti pembunuhan tetap akan diproses
melalui hukum formal walaupun sudah diselesaikan melalui hukum adat.

7. Pengakuan untuk mengelola

Pengakuan untuk mengelola artinya hak dari pengguna atau pemanfaat


sumber daya untuk membuat kelembagaan tidak dilarang atau diakui oleh
pemerintah sebagai pemegang kewenangan (Ostrom 1990). Kelembagaan adat
Suku Mentawai untuk mengelola SDA-nya secara formal belum diakui oleh
Pemda. Hal ini terlihat dari belum adanya peraturan daerah (Perda) tentang
masyarakat hukum adat (MHA) yang disahkan oleh Pemda. Perda tentang MHA
sangat penting sebagai pintu masuk bagi masyarakat Mentawai untuk dapat
mengakses SDA mereka melalui hutan adat atau hak komunal. Walaupun
demikian, pengakuan kepemilikan masyarakat Mentawai atas SDA mereka secara
terbatas dilakukan oleh pengguna yang ingin memanfaatkan SDA milik suatu
uma. Pengakuan ini terlihat dari setiap upaya pemanfaatan SDA harus seizin uma
pemilik lahan. Beberapa contoh pengakuan terbatas dari berbagai organisasi yang
memanfaatkan SDA uma, yaitu adanya kompensasi (pulajuk) dari Pemegang
IUPHHK atas kayu yang diambil dari lahan uma. Kompensasi ini diberikan tiap
meter kubik kayu. Balai TNS „mengizinkan‟ pemanfaatan SDA secara tradisional
oleh masyarakat setempat di dalam kawasannya untuk kepentingan non komersil.
Pihak swasta maupun perseorangan yang ingin memanfaatkan SDA di lahan uma
harus meminta izin ke uma pemilik SDA dan memberikan kompensasi.
Sebenarnya, pemerintah mulai mengakui kepemilikan hutan adat yang
momentumnya dapat dilihat dari penyerahan hak kepemilikan hutan berupa hutan
adat kepada beberapa MHA di Indonesia. Momentum tersebut dilakukan pada
Acara Pencanangan Pengakuan Hukum Adat Tahun 2016, dimana Pemerintah
menyerahkan hutan adat seluas 13 100 ha kepada 5 700 kepala keluarga. MHA
yang menerima hutan adat disajikan pada Lampiran 12. Momentum ini sebaiknya
digunakan oleh masyarakat Mentawai untuk mengusulkan kepada lembaga
eksklusif dan atau eksekutif Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk menetapkan
MHA Mentawai.

8. Aturan yang berhubungan dengan aturan yang formal

Aturan informal Suku Mentawai dalam mengelola SDA belum terhubung


dengan aturan formal. Keadaaan ini dapat dilihat dari aturan informal masyarakat
Mentawai dalam pengelolaan SDA di CBPS belum teramalgamasi dengan aturan
operasional sebagai bagian dari aturan formal (misal: aturan dalam zonasi TNS).
Berdasarkan indikator yang dikembangkan oleh Ostrom (1990),
kelembagaan adat masyarakat Mentawai di CBPS dalam mengelola SDA
mempunyai enam karakteristik yang sesuai dengan indikator Ostrom (Tabel 6.3).
Pertama, batasan dan pengguna SDA di masyarakat Mentawai teridentifikasi
dengan jelas. Bahkan, batasan ini dibuat sederhana, mudah, dan murah.
Teridentifikasinya batas dan para pengguna sumber daya, maka persoalan eksklusi
akan mudah diselesaikan. Kondisi ini terlihat jarang ditemukan konflik besar antar
100

uma terkait penggunaan/pemanfaatan lahan, dan setiap uma mengakui


kepemilikan uma lain. Konflik yang jarang terjadi merupakan indikator tenure
security (Aggarwal dan Elbow 2006).

Tabel 6.3 Karakteristik kelembagaan adat Mentawai dalam pengelolaan sumber


daya alam (SDA)
Kondisi di kelembagaan adat Mentawai di Siberut
Kriteria kelembagaan yang kuat Sesuai
menurut Ostrom kriteria Keterangan
Ostrom
1. Batasan-batasan √ Ada batasan wilayah dalam pemanfaat SDA
didefinisikan dengan jelas berdasarkan uma. Pengguna SDA adalah
anggota uma (sipuuma). Pemanfaatan SDA
oleh pihak/uma lain harus seizin pemilik
SDA.
2. Kesesuaian aturan dengan √ Ada konsep klasifikasi lahan (pembagian
kondisi setempat wilayah) dalam rangka memanfaatkan
SDA. Secara umum pemanfataan SDA
masih menggunakan peralatan tradisional.
3. Pengaturan pilihan kolektif √ Masyarakat setempat dapat berpartisipasi
dalam memodifikasi aturan operasional
melalui proses musyawarah di tingkat desa.
4. Pengawasan √ Pengawasan SDA milik uma melibatkan
anggota uma dan uma lain (sipasijago)
melalui suatu kesepakatan.
5. Sanksi yang tegas sesuai √ Aturan memuat sanksi berupa denda (tulou)
tingkat kesalahan bagi pelanggar. Besaran denda tergantung
dari jenis pelanggaran yang dibuat.
6. Mekanisme penyelesaian √ Penyelesaian konflik melalui proses
konflik musyawarah. Dikenal adanya perantara
(sipasuili) dalam konflik yang berat, seperti
lahan, pembunuhan, perzinahan). Konflik
yang tidak terselesaikan antar pihak/uma,
akan diselesaikan melalui lembaga
pemerintah secara berjenjang
(pemerintahan dusun, desa, hingga
kecamatan).
7. Pengakuan hak untuk x Kelembagaan adat secara formal belum
mengelola mendapat pengakuan dari pemerintah.
8. Aturan yang berhubungan x Aturan lokal dalam pengelolaan SDA belum
dengan aturan yang lebih terhubungkan dengan aturan formal dari
formal pemerintah.

Kedua, aturan pemanfaatan dan penyediaan masih sesuai dengan kondisi


setempat. Aturan yang dikembangkan sesuai dengan praktek dan pengalaman
nenek moyang mereka secara turun temurun. Soedjito dan Sukara (2006)
menyatakan bahwa aturan tradisional umumnya masih melekat di masyarakat di
kawasan cagar biosfer di Indonesia. Menurut Scott (2008), pengetahuan
masyarakat, praktek atau kebiasaan budaya yang berkembang di masyarakat yang
101

diwariskan dari generasi ke generasi disebut sebagai dimensi kultural-kognitif


yang merupakan salah satu pilar kelembagaan. Ketiga, anggota masyarakat dapat
menyusun dan merevisi aturan operasional melalui proses musyawarah yang
melibatkan semua uma yang ada di desa. Keempat, pengawasan yang efektif
dengan melibatkan anggota uma dan uma lain (sipasijago) melalui suatu
kesepakatan. Efektifitas dalam pemantauan SDA dapat mengurangi biaya
transaksi.
Kelima, kelembagaan adat Mentawai sudah mengatur tentang sistem sanksi
dalam bentuk denda (tulou). Kekuatan kelembagaan ini adalah masih dipatuhinya
aturan adat tersebut. Masih banyak masyarakat Mentawai di CBPS mempunyai
keyakinan bahwa setiap perilaku yang melanggar aturan adat akan mengakibatkan
ketidakseimbangan dan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan pelanggar.
Masyarakat masih meyakini bahwa adanya dunia gaib yang mempunyai kekuatan
di luar kekuatan manusia. Oleh karena itu, mereka masih takut untuk melanggar
pantangan (kei-kei). Jadi, kepatuhan masyarakat ini dikarenakan faktor religi yang
dimilikinya yang merupakan norma-norma yang harus dipatuhi. Keenam,
mekanisme penyelesaian konflik diutamakan melalui proses musyawarah dan
negoisasi dalam pengenaan denda. Mekanisme ini membuat penyelesaian konflik
menjadi relatif lebih cepat dan murah dibandingkan penyelesaian secara hukum
formal. Ketujuh, kelembagaan adat masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA-
nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Hal ini terkait dengan
prinsip kedelapan bahwa aturan informal belum terhubung dengan aturan formal.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kelembagaan informal Suku Mentawai
dalam mengelola SDA di CBPS memiliki syarat sebagai kelembagaan yang dapat
bertahan lama berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom. Kelembagaan
informal ini mendapatkan legitimasi dari masyarakat setempat sehingga
kelembagaan dapat ditegakkan secara efektif. Walaupun demikian, belum adanya
pengakuan mengelola dari pemerintah membuat kelembagaan lokal tersebut
mudah “dilemahkan” oleh aturan formal dan berujung pada konflik pemanfataan
antara masyarakat setempat dengan pengelola kawasan. Untuk itu, pengakuan
mengelola SDA kepada masyarakat lokal mutlak diberikan dalam rangka
penguatan kelembagaan lokal mereka.

6.3.2 Aturan Formal

Dalam pengimplementasian konsep Cagar Biosfer di suatu negara,


UNESCO cq. Jaringan Cagar Biosfer Dunia (JCBD) dalam kerangka hukumnya
pada Pasal 2 Butir 3 menyatakan bahwa negara bersangkutan mengambil langkah-
langkah yang dianggap perlu menurut peraturan hukum nasionalnya. Sehingga,
aturan formal pengelolaan SDA di Cagar Biosfer mengikuti aturan yang ada di
suatu negara. Begitupula di CBPS, pengelolaan SDA mengikuti aturan formal
yang bersumber dari aturan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Pengelolaan SDA di CBPS banyak mengikuti aturan dari UU No. 41/1999
tentang Kehutanan dan UU No. 5/1990 tentang KSDAHE beserta aturan
turunannya, karena sebagian besar kawasan CBPS merupakan kawasan hutan
negara yang terdiri atas kawasan HK, HP, HPK, dan HL (Tabel 6.4). Selain itu,
pengelolaan hutan tidak terlepas dari peran pemerintah daerah, dengan
diundangkannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
102

bahwa kewenangan pengelolaan HP dan HL dialihkan dari pemerintah


kabupaten/kota ke Pemerintah Provinsi. Pengelolaan SDA juga terkait dengan
lingkungan hidup, maka UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diacu dalam kaitan pengelolaan SDA. Kawasan CBPS
merupakan bagian dari administratif Kabupaten Kepulauan Mentawai yang
banyak penduduk yang bermukim di kawasan tersebut, maka UU No. 26/2007
tentang Penataan Ruang dan UU No. 6/2014 tentang Desa menjadi acuan terkait
pengelolaan SDA.

Tabel 6.4 Luas zona dan status/fungsi hutan di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Zonasi Luasan (ha)a Persentase (%) Status/fungsi kawasan b
Area inti 190 500 47.27 HK (Taman Nasional Siberut)
Zona penyangga 128 277 31.83 HP, HL, HK (HSAW Teluk Saibi Sarabua)
Area transisi 84 223 20.90 HPK, APL, lahan milik
a b
PHKA (2013); HK: Hutan Konservasi, HP: Hutan Produksi, HPK: Hutan Produksi Konversi,
HL: Hutan Lindung, APL: Areal Penggunaan Lain, HSAW: Hutan Suaka Alam dan Wisata.

Berikut diuraikan aturan formal dalam mengelola SDA yang dikaji


berdasarkan prinsip-prinsip desain kelembagaan yang berkelanjutan oleh Ostrom
(1990).

1. Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas

Batas antara kawasan hutan negara di CBPS belum jelas. Kawasan Taman
Nasional Siberut (TNS) sampai saat ini belum selesai di tata batas (temu gelang).
Kawasan TNS yang sudah di tata batas sekitar 98.38 km dari panjang 205 km
(BTNS 2014). Begitupula dengan kawasan HSAW Teluk Saibi Sarabua belum
pernah di tata batas. Hingga saat ini HSAW Teluk Saibi Sarabua belum jelas
apakah tergolong KSA atau KPA. Kawasan hutan produksi masih banyak yang
belum di tata batas, batas kawasan HP yang jelas hanya pada kawasan yang
dikelola IUPHHK. Demikian pula dengan batas HL tidak jelas karena belum
pernah di tata batas.
Kawasan hutan yang tidak atau belum selesai di tata batas belum dapat
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Penetapan kawasan harus melalui proses
pengukuhan sesuai UU No. 41/1999 Pasal 15 butir 1 yang meliputi proses
penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan. Itu itu,
kawasan hutan seharusnya mempunyai batas jelas sesuai UU No. 41/1999 Pasal
14 butir 2 bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan
kepastian hukum atas kawasan hutan. Selanjutnya pada Pasal 15 butir 2
dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan tersebut dengan memperhatikan rencana
tata ruang wilayah. Menurut staf BTNS, proses pengukuhan kawasan ini melalui
proses yang cukup lama dan rumit karena harus memperoleh kesepakatan dengan
masyarakat yang lahannya di tata batas dan konsultasi publik, sedangkan jangka
waktu anggaran hanya satu tahun. Selain itu, penataan batas membutuhkan dana
yang besar yang dapat mengorbankan kegiatan prioritas lain.
103

Dalam UU No. 5/1990 dan aturan turunannya diatur tentang pemanfaatan


SDA. Menurut peraturan tersebut bahwa SDA yang dapat dimanfaatkan adalah (1)
Jenis tumbuhan dan satwa liar, yang terdiri atas kegiatan pengkajian, penelitian
dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran,
budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan (UU 5/1990 Pasal
36 Ayat 1); dan (2) Kondisi lingkungan yang terdiri atas kegiatan pemanfaatan
potensi ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis dan peninggalan
budaya (PP 28/2011 Pasal 1 Butir 14), yang telah diubah menjadi pemanfaatan
jasa lingkungan yang merupakan pemanfaatan kondisi lingkungan berupa
pemanfaatan potensi ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis,
dan peninggalan budaya yang berada dalam KSA dan KPA, yang diwujudkan
dalam bentuk kegiatan wisata alam, pemanfaatan air, energi air, penyimpanan
dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan panas matahari, angin, dan
pemanfaatan panas bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik (PP 108/2015 Pasal 1
Butir 14). Dalam PP 28/2011, KPA dimungkinkan adanya pemanfaatan
tradisional oleh masyarakat setempat melalui kegiatan pemungutan hasil hutan
bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis
yang tidak dilindungi.
Dalam UU No. 41/1999 dan aturan turunnya diatur juga tentang
pemanfaatan SDA. Hutan produksi (HP) merupakan kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Pasal 1 Butir 7), sedangkan
hutan lindung (HL) adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah (Pasal 1 Butir 8). Kegiatan pemanfaatan HP terdiri atas pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 28 Ayat 1).
Walaupun HL mempunyai fungsi pokok perlindungan, tetapi beberapa kegiatan
pemanfaatan dapat dilakukan terdiri atas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (Pasal 26 Ayat 2).
Pemanfaatan SDA di HP dan HL melalui proses perizinan dan dapat diberikan
kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta (BUMS) Indonesia, badan
usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) (Pasal 26
dan 29). Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap BUMD,
BMUN, dan BUMS yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), dan izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), diwajibkan bekerja sama dengan koperasi
masyarakat setempat (Pasal 30).
HP dan HL dapat dikelola untuk tujuan khusus (KHDTK) guna kegiatan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan budaya
(Pasal 8). Pengelolaannya dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat, lembaga
pendidikan, lembaga penelitian, lembaga sosial dan keagamaan (Pasal 34).
Adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui, mereka berhak untuk: (1) melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan; (2) melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-
undang; dan (3) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
104

kesejahteraannya (Pasal 37). Pengakuan atas hak masyarakat hukum adat untuk
mengelola SDA mereka juga diperkuat oleh serangkaian keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 bahwa pengusahaan
hutan oleh negara harus memperhatikan dan menghormati hak-hak atas tanah
masyarakat, Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus segera dituntaskan untuk menghasilkan kawasan hutan yang
berkepastian hukum dan berkeadilan, dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
bahwa bahwa hutan adat bukan hutan negara. Namun sampai saat ini belum ada
aturan formal yang menyatakan bahwa masyarakat Mentawai sebagai masyarakat
adat yang berhak mengelola hutan hak.
Dari uraian di atas, terdapat fakta bahwa batas wilayah antar kawasan hutan
belum jelas, kecuali di areal kerja di IUPHHK. Dalam UU No.5/1990 dan UU No.
41/1999 beserta aturan turunannya telah diatur batasan apa dan siapa yang dapat
memanfaatkan SDA, tetapi aturan ini di lapangan belum terimplementasi karena
pengakuan hak kepemilikan secara formal atas MHA Mentawai belum dilakukan.
Batas wilayah yang tidak jelas ini berakibat pada tidak jelasnya batas status
kawasan di lapangan dan ketidakpastian ruang pengelolaan bagi stakeholders.
Ostrom (1990) menyatakan bahwa bila pengguna dan batas sumber daya CPRs
tidak terdefinisi dengan jelas, pemilik sumber daya akan menghadapi resiko
pemanfaatan sumber daya oleh orang yang tidak ikut dalam usaha penyediaan dan
pemeliharaan CPRs.

2. Kesesuaian aturan dengan kondisi setempat

Undang-Undang No. 41/1999 Pasal 17 mengatur adanya pembentukan


wilayah pengelolaan hutan di tingkat provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan.
Wilayah pengelolaan tersebut dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
yang terdiri atas KPH Produksi (KPHP), KPH Lindung (KPHL), dan KPH
Konservasi (KPHK). Tujuan pembentukan KPH adalah untuk mewujudkan
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari (PP No. 44/2004 Pasal 26 dan PP No.
6/2007 Pasal 1), termasuk pengaturan ruang kelola KPH. Pembentukan wilayah
pengelolaan hutan di tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah
aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat
termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan
hutan harus sesuai dengan kondisi setempat.
KPHP dan KPHL dikelola berdasarkan ruangnya dalam bentuk blok-blok
pengelolaan. Blok tersebut dapat dibagi kembali menjadi petak-petak pengelolaan.
Blok adalah bagian wilayah KPH yang dibuat relatif permanen untuk
meningkatkan efektivitas dan efisien pengelolaan, sedangkan petak adalah bagian
dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil
yang mendapat perlakuan pengelolaan atau silvikultur yang sama (Pemenhut No.
P6/Menhut-II/2010). Blok-blok pengelolaan pada KPH dan pemanfaatan hutannya
dapat dilihat pada Tabel 6.5, yang berdasarkan Perdirjen Planologi No. P.5/VII-
WP3H/2012 tentang Petunjuk Teknis Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan pada KPHP dan KPHL.
105

Tabel 6.5 Penataan blok Kesatuan Pengelolaan Hutan dan pemanfaatan hutan
Kesatuan Pengelolaan
Blok pengelolaan a Pemanfataan hutan a
Hutan (KPH)
KPH Lindung Blok Inti Karbon dan wilayah tertentu20
Blok Pemanfaatan Izin pemungutan, HKm, HD, dan wilayah
tertentu
Blok Khusus KHDTK dan wilayah tertentu
KPH Produksi Blok Perlindungan Karbon dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan HHK- IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, HTR, dan
HT wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan HHK- IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, Izin
HA Pemanfaatan HHBK, dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan IPPKH, Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan,
Kawasan, Jasa Izin Usaha Jasa Lingkungan, Izin
Lingkungan, dan HHBK Pemanfaatan HHBK, dan wilayah tertentu
Blok Khusus KHDTK dan wilayah tertentu
Blok Pemberdayaan Izin Pemanfaatan, HKm, HD, dan wilayah
Masyarakat tertentu
a
HHK-HT: Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, HHK-HA: Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Alam, HHBK: Hasil Hutan Bukan Kayu, HKm: Hutan Kemasyarakatan, HD: Hutan Desa, HTR:
Hutan Tanaman Rakyat, KHDTK: Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus, IUPHHK: Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.

Tabel 6.5 memperlihatkan bahwa KPH merupakan organisasi tingkat tapak


yang pemanfaatan SDA (hutan) berdasarkan blok. Setiap blok dialokasi untuk
kepentingan/tujuan tertentu sesuai dengan karakteristik biofisik, potensi SDA,
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, dan keberadaan hak-hak atau izin
usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Tiap blok mempunyai
aturan tertentu sesuai tujuan ditetapkanya blok dan ini menjadi aturan operasional
KPHP dan KPHL. Saat ini, Kementerian LHK telah mengoperasikan sekitar 175
KPHP dan 80 KPHL di seluruh Indonesia, tetapi belum satupun KPHP atau
KPHL dibentuk di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Di KPHK, pembagian ruang wilayah (ruang) dijabarkan dalam PP No.
28/2011 dan khusus di taman nasional diatur oleh Permenhut No. P.56/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan telah diubah dengan
Permen LHK P.76/Menlhk-Setjen/2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman
Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan
Raya dan Taman Wisata Alam sebagai aturan turunan dari UU No. 5/1990.
Dalam UU No. 5/1990 Pasal 32 dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan
taman nasional didasarkan pada sistem zonasi. Oleh karena itu, pemanfaatan SDA
di TNS harus sesuai dengan zonasi dan setiap orang dilarang melakukan kegiatan
yang tidak sesuai dengan fungsi/peruntukkan zonasi tersebut. Zonasi pertama TNS
didasarkan pada Keputusan Dirjen PHKA No. 14/Kpts/DJ-V/2001 tanggal 6
Februari 2001 (Gambar 6.1), kemudian ditata kembali sesuai Keputusan Dirjen

20
Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak
ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya, sehingga pemerintah perlu menugaskan
KPH untuk memanfaatkannya.
106

PHKA No. 32/Kpts/VI-SET/2015 tanggal 4 Februari 2015 (Gambar 6.2).


Perubahan zonasi TNS disajikan pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6 Perubahan zonasi Taman Nasional Siberut


Luas (ha)
Zona a
Sebelum revisi Persentase Sesudah revisib Persentase
Zona inti 46 533 24.43 45 620 23.95
Zona rimba 99 555 52.26 85 580 44.92
Zona pemanfaatan tradisional 44 392 23.30 - -
Zona pemanfaatan intensif 20 0,01 - -
Zona pemanfaatan - - 19 920 10.46
Zona tradisional - - 24 050 12.62
Zona khusus - - 15 330 8.05
Total luas 190 500 100 190 500 100
a b
Keputusan Dirjen PHKA No. 14/Kpts/DJ-V/2001 tanggal 6 Februari 2001; Keputusan Dirjen
PHKA No. 32/Kpts/VI-SET/2015 tanggal 4 Februari 2015.

Perubahan zonasi TNS dilakukan karena dinamika sosial dan pembangunan


di Pulau Siberut. Pemekaran kecamatan dan desa terjadi di wilayah Kabupaten
Kepulauan Mentawai, sehingga desa di dalam kawasan berubah menjadi pusat
kecamatan. Untuk memaduserasikan antara rencana pembangunan dari
pemerintah daerah dan kegiatan konservasi yang dilakukan oleh BTNS, maka
dilakukaan penataan kembali zonasi kawasan TNS (BTNS 2014). Hal ini
mendapat dukungan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dalam
rekomendasinya No. 522/703.1/Bup-KM/XII-2014 tanggal 15 Desember 2014,
Bupati menyatakan bahwa penataan kembali zonasi TNS dengan tetap
mempertimbangkan keberadaan masyarakat Mentawai untuk beraktifitas guna
memenuhi kebutuhan hidup serta mempertimbangkan nilai-nilai budaya mereka.
Selanjutnya, penataan zonasi juga mempertimbangkan akses penghubung bagi
masyarakat serta memberikan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana
pelayanan umum demi meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat
yang berada dalam TNS.
Tabel 6.6 memperlihatkan bahwa terjadi perubahan zona TNS, dimana zona
pemanfaatan tradisional dan intensif ditiadakan dan digantikan oleh zona
pemanfataan, zona tradisional dan zona khusus. Zona pemanfataan untuk
mengakomodir pengembangan pariwisata alam dan jasa lingkungan serta
pembangunan jalan penghubung antar desa/dusun, zona tradisional untuk
mengakomodir pemanfaatan tradisional oleh masyarakat, serta zona khusus untuk
mengakomodir area yang pemukiman yang sudah ada di kawasan sebelum
ditunjuknya TNS. Secara formal di zona tradisional dan khusus ini masyarakat
dapat melakukan pemanfaatan tradisional, tetapi luasan ini berkurang sekitar 5
012 ha dari zonasi pemanfaatan tradisional sebelumnya.
107

Zona inti
Zona rimba

Zona pemanfaatan intensif


Zona pemanfaatan tradisional

Gambar 6.1 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan SK Dirjen PHKA
No. 14/ Kpts/DJ-V/2001
108

Zonasi :
Zona inti
Zona rimba
Zona pemanfaatan
Zona tradisional
Zona khusus

Gambar 6.2 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan Keputusan Dirjen
PHKA No. 32/Kpts/VI-SET/2015
109

Tabel 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut a
Pedoman kegiatan
Zona/Fungsi
Boleh Tidak boleh
Zona inti
Untuk perlindungan ekosistem, • Perlindungan dan • Wisata alam dan
pengawetan flora dan fauna khas pengamanan budaya
beserta habitatnya yang peka terhadap • Inventarisasi dan • Pembangunan fasilitas
gangguan dan perubahan, sumber monitoring sumber daya pengelolaan
plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan hayati (SDAH) dengan • Pembinaan habitat
satwa liar untuk kepentingan penelitian ekosistemnya • Pemanfaatan jasa
dan pengembangan ilmu pengetahuan, • Penelitian dan lingkungan
pendidikan, dan penunjang budidaya pengembangan, ilmu • Pengembangan
pengetahuan, demplot budidaya
pendidikan, dan atau • Pembinaan populasib
penunjang budidaya • Pengembangan potensi
• Sarana dan prasarana hidrologis
tidak permanen dan
terbatas untuk kegiatan
penelitian dan
pengelolaan
Zona rimba
Untuk pengawetan dan pemanfaatan • Perlindungan dan • Pengembangan
SDA dan lingkungan alam bagi pengamanan demplot budidaya
kepentingan penelitian, pendidikan • Inventarisasi dan • Pengembangan potensi
konservasi, wisata terbatas, habitat monitoring SDAH hidrologis
satwa migrasi, menunjang budidaya dengan ekosistemnya • Pengembangan
dan mendukung zona inti • Pengembangan budidaya
penelitian, pendidikan,
wisata alam terbatas,
pemanfaatan jasa
lingkungan dan kegiatan
penunjang budidaya
• Pembinaan habitat dan
populasi dalam rangka
meningkatkan
keberadaan populasi
hidupan liar
• Pembangunan sarana
dan prasarana sepanjang
untuk kepentingan
penelitian, pendidikan,
dan wisata alam terbatas
Zona pemanfaatan
Untuk pengembangan pariwisata alam • Perlindungan dan • Kegiatan pemanfaatan
dan rekreasi, jasa lingkungan, pengamanan yang berpotensi
pendidikan, penelitian dan • Inventarisasi dan mengganggu keutuhan
pengembangan yang menunjang monitoring SDAH populasi, habitat,
pemanfaatan, serta kegiatan penunjang dengan ekosistemnya ekosistem dan
budidaya • Penelitian dan kawasan
pengembangan
pendidikan, dan
penunjang budidaya
110

Tabel 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut a
(lanjutan)
Pedoman kegiatan
Zona/Fungsi
Boleh Tidak boleh
• Pengembangan potensi • Pengembangan wisata
dan daya tarik wisata yang tidak sesuai
alam dengan panduan
• Pembinaan habitat dan pengelolaan jasa
populasi wisata alam
• Pengusahaan pariwisata
alam dan pemanfataan
kondisi/jasa lingkungan
• Pembangunan sarana dan
prasarana pengelolaan,
penelitian, pendidikan,
wisata alam dan
pemanfataan kondisi/jasa
lingkungan
Zona tradisional
Untuk pemanfaatan potensi tertentu • Perlindungan dan • Pembinaan populasib
dari taman nasional (TN) oleh pengamanan • Inventarisasi potensi
masyarakat setempat secara lestari • Inventarisasi dan SDAH dan
melalui pengaturan pemanfaatan dalam monitoring potensi jenis ekosistemnyab
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. yang dimanfaatkan oleh • Monitoring SDAH
masyarakat dan ekosistemnyab
• Pembinaan habitat dan
populasi
• Penelitian dan
pengembangan
• Pemanfaatan potensi dan
kondisi SDA sesuai
dengan kesepakatan dan
ketentuan yang berlaku
Zona khusus
Untuk kepentingan aktivitas kelompok • Perlindungan dan • Inventarisasi sumber
masyarakat yang tinggal di wilayah pengamanan daya hutan dan
tersebut sebelum ditunjuk atau • Pemanfaatan untuk ekosistemnyab
ditetapkan sebagai TN dan sarana menunjang kehidupan • Monitoring sumber
penunjang kehidupannya, serta masyarakat daya hutan dan
kepentingan yang tidak dapat dihindari • Rehabilitasi ekosistemnyab
b
berupa sarana telekomunikasi, fasilitas • Monitoring populasi dan • Pembinaan habitat
b
transportasi dan listrik. aktivitas masyarakat • Pembinaan populasi
serta daya dukung
wilayah
a
BTNS (2014), bKegiatan yang tidak boleh tetapi seharusnya boleh dilakukan di TNS.

Dokumen Penataan Kembali Zonasi Kawasan TNS menguraikan kegiatan


yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kawasan TNS (Tabel 6.7). Namun
pada zona tradisional dan zona khusus terdapat “kejanggalan” bahwa kegiatan
seperti inventarisasi SDA hayati, pembinaan habitat, dan populasi tidak boleh
dilakukan. Hal ini bertentangan dengan amanah dari PP No. 28/2011 bahwa
kegiatan konservasi dilakukan di seluruh kawasan TNS. Seharusnya, kegiatan
yang tidak diperbolehkan di zona tersebut merupakan kegiatan yang membatasi
111

aktivitas masyarakat (berdasarkan kesepakatan) dalam memanfaatkan SDA


sehingga kelestarian tetap terjaga, bukan sebaliknya membatasi pengelola
kawasan.
Walaupun secara formal pemanfataan SDA oleh masyarakat Mentawai
hanya boleh dilakukan di zona tradisional dan zona khusus, faktanya hampir di
seluruh zona di TNS sudah terdapat perladangan (tinungglu/pumonean)
masyarakat. Hal ini juga terjadi di HSAW Teluk Saibi Sarabua. Perladangan yang
dilakukan masyarakat Mentawai karena klaim mereka bahwa kawasan TNS dan
HSAW Teluk Saibi Sarabua merupakan lahan ulayat mereka. Di sisi lain, batas
antar zona TNS tidak diketahui secara jelas di lapangan. Demikian pula dengan
aturan tiap zona tidak terdefinisi dengan jelas oleh BTNS dan belum tersosialisasi
di masyarakat.
Sistem zonasi dan blok pengelolaan merupakan sistem pengaturan
keruangan di KPA dan KSA serta mengatur kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan
atau yang dilarang (PP No. 28/2011 dan Permen LHK P.76/Menlhk-Setjen/2015).
Dengan demikian, sistem zonasi dan blok pengelolaan merupakan aturan
operasional (operational rules) yang sehari-hari mempengaruhi keputusan
pemanfaat sumber daya yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sumber daya.
Tidak akuratnya aturan dan tidak jelasnya batas zonasi/blok menandakan aturan
operasional belum mampu mengatur stakeholders khususnya masyarakat setempat
dalam memanfaatkan sumber daya.

3. Pengaturan pilihan kolektif

Aturan dalam mengelola kawasan hutan di Indonesia masih bersifat


sentralistik, artinya hak pembuatan aturan pada semua tingkatan yaitu tingkat
operasional, pilihan kolektif, dan konstitusi menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Oleh karena itu, masyarakat setempat sebagai pemanfaat sumber daya
belum terlibat dalam penyusunan aturan. Susetyo (2014) menyatakan bahwa
aturan yang bersifat sentralistik mempunyai beberapa kelemahan, pertama aturan
yang dikeluarkan tidak dapat langsung dilaksanakan karena membutuhkan
peraturan pelaksanaan yang lebih rendah dan proses pembuatannya juga
membutuhkan waktu yang lama. Selanjutnya, isi aturan tidak sesuai kondisi
setempat, karena peraturan produk yang sentralistik umumnya bersifat seragam
untuk diterapkan di seluruh Indonesia, sementara kondisi kawasan hutan dan
pemanfaatnya beragam.
Hal ini terlihat dalam pengelolaan HP, HL, dan HK di CBPS, masyarakat
belum ikut berpartisipasi dalam pengaturan dalam memodifikasi aturan tingkat
operasional. Di HP dan HL tidak ada kesepakatan antara Dishut dan masyarakat
dalam mengelola hutan. HP dan HL menjadi “seolah-olah menjadi areal open
access”. Walaupun di kawasan konservasi khususnya TN berdasarkan Permenhut
P.56/Menhut-II/2006 sudah ada ruang untuk peran serta masyarakat dalam bentuk
konsultasi publik (Pasal 13) dan memberi saran, informasi dan pertimbangan
dalam penyusunan zonasi (Pasal 19 Ayat 2), tetapi aturan ini masih bersifat acuan
dasar belum berbicara tentang aturan tingkat operasional apalagi pada aturan
tingkat pilihan kolektif. Terlihat dari pedoman kegiatan di zonasi TNS (Tabel 6.7),
yang menunjukkan bahwa aturan yang dibuat belum cermat sehingga terdapat
kegiatan yang wajib dilakukan pengelola kawasan malah tidak boleh dilakukan.
112

Selanjutnya pedoman zonasi tersebut seharusnya mengatur hak-hak yang dapat


atau tidak dapat dilakukan masyarakat di tiap zona. Hal ini mengindikasikan
belum adanya partisipasi masyarakat setempat sebagai pihak yang dipengaruhi
oleh aturan main berpartisipasi dalam memodifikasi aturan operasional.
Berdasarkan kumpulan hak yang disusun Ostrom dan Schlager (1996),
memperlihatkan bahwa pemerintah berposisi sebagai pemilik (owners) SDA di
CBPS karena mempunyai kelengkapan hak berupa hak-hak operasional (access
dan withdrawal) untuk memanfaatkan suatu SDA dan hak-hak pilihan kolektif
(manajement, exclusion, dan alienation) untuk menentukan hak di masa depan.

4. Pengawasan

Pengawasan pengelolaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab


pemerintah. Pengawasan kehutanan wajib dilakukan oleh pemerintah
(Kementerian LHK) dan pemerintah daerah dinyatakan dalam Pasal 60 UU No.
41/1999, sedangkan masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam
pengawasan tersebut. Pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60, meliputi pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas
pelaksanaan pengurusan hutan. Selanjutnya, pengawasan terhadap sumber daya
dan penggunaanya dinyatakan juga dalam UU No. 5/1990 Pasal 4 bahwa
KSDAHE merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta
masyarakat. Pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan hidup merupakan
tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat (UU No. 32/2009).
Pasal 70 UU No. 32/2009 menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan
pengawasan sosial.
Untuk menegakan aturan di kawasan hutan diatur dalam Pasal 51 UU No.
41/1999 bahwa untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka
kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan
wewenang kepolisian khusus. Selanjutnya Pasal 77 UU No. 41/1999 dan Pasal 39
UU No. 5/1990 dinyatakan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diberi
kewewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana dalam bidang pengurusan
hutan, Pasal 70 UU No. 32/2009 untuk penyidikan di aspek lingkungan hidup.
Pengawasan SDA di kawasan hutan membutuhkan sumber daya yang besar,
baik jumlah petugas dan biaya operasional. Kendala ini dihadapi oleh semua
instansi pemerintah yang mengelola SDA di Pulau Siberut. Sebagai contoh, Balai
TNS yang mengelola kawasan konservasi dengan pengelolaan yang lebih intensif
dibandingkan dengan pengelolaan kawasan lain saja belum mampu menyediakan
anggaran dan sumber daya manusia yang ideal. Apalagi Balai KSDA Sumbar atau
Dishut Kabupaten. Rasio antara jumlah SDM khususnya Polisi Kehutanan dengan
luas kawasan TNS tahun 2015 adalah 1:8 659. Angka ini di bawah standar Ditjen
BKSDA yaitu 1:5 000 dan standar di Eropa pada tahun 2002 yang mempunyai
rasio 1:16. Biaya operasional pengawasan TNS (biaya perlindungan, pengawetan,
pemanfaatan, di luar gaji dan manajemen perkantoran) tahun 2015 adalah Rp17
612.00 per hektar atau setara dengan Rp176.12 per km2. Biaya operasional ini
sangat kecil bila dibandingkan dengan biaya operasional pengelolaan TN di
negara-negara Eropa yang pada tahun 2002 sudah mencapai USD 250 per km2
(Soekmadi 2002).
113

Keterbatasan dalam pengawasan dan penegakan aturan ini menyebabkan


pengawasan atas SDA di CBPS tidak sesuai aturan formal. Kondisi ini
menunjukkan terdapat permasalahan biaya eksklusi tinggi yang merupakan
karakteristik sumber daya di CBPS yang belum dapat diselesaikan oleh pengelola
kawasan hutan negara.

5. Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan

Pelanggaran atas aturan formal dapat dikenakan sanksi. Pengaturan sanksi


terhadap tindakan pelanggaran di bidang kehutanan diatur dalam UU No. 41/1999
pada Pasal 78 mengenai ketentuan pidana, secara khusus pelanggaran di bidang
KSDA diatur dalam ketentuan pidana Pasal 40 UU No. 5/1990, sedangkan
ketentuan pidana bagi pelanggaran di bidang lingkungan hidup diatur pada Pasal
97-120 UU No. 32/2009. Selain ketentuan pidana pelanggar aturan dapat
dikenakan sanksi administratif seperti Pasal 76 UU No. 32/2009 dan Pasal 80 UU
No. 41/1999. Pasal-pasal tersebut menjelaskan adanya tindakan pidana berupa
penjara dan/atau denda yang harus dibayarkan serta sanksi administratif bila
melakukan kejahatan atau pelanggaran di bidang kehutanan atau lingkungan
hidup.
Tindak pidana dalam UU No. 41/1999 dan UU No. 5/1990 dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu tindak pidana kejahatan apabila tindakan pelanggaran
hukum dilakukan dengan sengaja, dan tindak pidana pelanggaran apabila
tindakan pelanggaran hukum terjadi karena kelalaiannya. Sedangkan dalam UU
No. 32/2009 terdapat tiga sanksi dalam pelanggaran lingkungan hidup meliputi
sanksi administratif, pemulihan lingkungan, dan pidana. Sanksi administratif pada
Pasal 76 UU No. 32/2009, terdiri atas teguran tertulis, paksaan pemerintah,
pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan yang diterapkan bila
ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi pemulihan lingkungan
dikenakan pada setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, melalui penghentian sumber pencemaran dan pembersihan
unsur pencemar, remediasi, rehabilitasi, restorasi, dan/atau cara lain yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 54). Selanjutnya
sanksi administratif dalam UU No. 32/2009, tidak membebaskan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan pidana. Dalam
UU No. 41/1999 Pasal 80 menyatakan pidana yang dikenakan kepada perbuatan
melanggar hukum tetap mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu
untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang
ditimbulkan kepada Negara. Pasal-pasal tentang ketentuan pidana dan sanksi
dalam peraturan tersebut menggambarkan adanya sanksi yang tegas dan
tergantung pada tingkat keseriusan dan konteks pelanggarannya yang dilakukan
pengguna SDA.
Selain UU yang disebutkan di atas, terdapat pula UU No. 18/2013 yang
mengatur tentang upaya pencegahan dan pemberantasan aktivitas perusakan
hutan. Salah satu dasar pertimbangan diterbitkannya UU ini adalah bahwa
perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa,
terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang
canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan
114

pemberian efek jera sedangkan hukum peraturan perundang-undangan yang ada


sampai saat itu tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan
secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi. Sanksi yang diatur
dalam UU No. 18/2013 sebanyak 28 Pasal, yakni dari Pasal 82-109. Dalam
undang-undang ini besarnya sanksi dibedakan antara pelaku orang perorang
dengan korporasi. Begitupula, pelaku orang perorangan dibedakan antara yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan dan di luar kawasan
hutan. Selanjutnya, sanksi dibedakan antara tindakan pidana kejahatan dan
pelanggaran (kelalaian). Sanksi berupa pidana kurungan penjara dan denda juga
diancamkan juga bagi setiap pejabat yang mengetahui terjadinya pelanggaran,
tetapi tidak menjalankan tindakan sesuai kewenangannya.
Dalam UU No. 18/2013 tidak mengakomodir pemanfaatan SDA oleh
masyarakat setempat di kawasan konservasi, hal ini dapat dilihat pada Pasal 11 (3)
dan Pasal 101 (2) yang mengatur bahwa masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
konservasi jika melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan kayu di kawasan hutan konservasi untuk keperluan sendiri dan tidak
untuk tujuan komersial dikategorikan sebagai perbuatan perusakan hutan yang
diancam sanksi pidana minimal 3 bulan dan/atau denda minimal Rp500 ribu.
Sebaliknya, masyarakat di dalam dan sekitar hutan produksi mendapatkan
perlakukan yang berbeda karena tidak dikategorikan sebagai perbuatan merusak
hutan secara terorganisasi. Konsep pemanfaatan SDA di kawasan konservasi
dalam UU No. 18/2013 tidak berkesesuaian dengan PP No. 28/2011 khususnya
Pasal 49 yang mengatur bahwa pemerintah harus memberdayakan masyarakat di
sekitar KSA dan KPA yang meliputi diantaranya pemberian akses pemanfaatan
yang antara lain dengan cara memberi izin pemanfaatan tradisional yang meliputi
pemungutan HHBK, budidaya tradisional, dan perburuan tradisional terbatas
untuk jenis yang tidak dilindungi.
Walaupun terdapat sanksi pelanggaran yang tegas dan sesuai dengan tingkat
kesalahan dalam pemanfaatan di kawasan hutan, fakta di lapangan bahwa petugas
(BTNS, Dishut, BKSDA Sumbar) tidak pernah melakukan upaya penindakan
(penegakan hukum) terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan SDA di
kawasan hutan dengan alasan menghormati keberadaan masyarakat adat. Menurut
petugas BTNS, upaya penindakan yang mereka lebih diarahkan kepada pengguna
SDA dari kawasan hutan negara yang bertujuan komersil, tetapi tidak didasarkan
pada aturan zonasi karena sulitnya menentukan asal zona dimana SDA yang
diambil, sedangkan sumber daya petugas terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa
kelembagaan formal dalam pemanfaatan sumber daya tidak dapat ditegakkan
secara efektif.

6. Mekanisme penyelesaian konflik

Mekanisme penyelesaian konflik (sengketa) di bidang kehutanan dan


lingkungan hidup dilakukan melalui pendekatan hukum atau pengadilan, dan
melalui di luar pengadilan seperti diatur dalam Pasal 74 UU No. 41/1999, dan
Pasal 84 UU No. 32/2009. Namun, penyelesaian konflik di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU ini. Penyelesaian konflik di
luar pengadilan bertujuan mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu
hak, besarnya ganti rugi, dan bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk
115

memulihkan fungsi hutan. Mekanisme penyelesaian konflik dengan pendekatan


hukum ini membutuhkan biaya yang mahal.

7. Pengakuan hak untuk mengelola

Dalam aturan formal, pemerintah mengakui adanya hak ulayat 21 atau


masyarakat hukum adat seperti yang tertuang dalam Pasal 12 Permen LHK No.
32/2015. Pada Pasal 2 Ayat 2 disebutkan tujuannya adalah agar pemangku hutan
hak mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah dalam
mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu. Permen LHK No.
32/2015 ini membuka ruang bagi masyarakat hukum adat, termasuk masyarakat
Mentawai untuk mendapat pengakuan atas kepemilikan dan akses terhadap SDA
mereka. Sejalan dengan hal tersebut, SDA berupa hutan dan mata air yang
terdapat di sekitar desa dapat pula dijadikan sebagai aset desa sesuai dengan UU
No. 6/2014 Pasal 76. Hal ini berarti peluang masyarakat Mentawai untuk
mengatur SDA mereka mulai diakui pemerintah. Namun, sampai saat ini belum
ada MHA di Mentawai yang diberi pengakuan oleh pemerintah daerah.
Di sisi lain, pengelolaan SDA di CBPS sudah memiliki kelembagaan formal,
dalam artian aturan main maupun organisasinya. Keberadaan kelembagaan dan
organisasinya ini diakui oleh sesama organisasi pemerintah, karena sama-sama
mengelola SDA milik negara (state property regime). Namun, kelembagaan
formal ini kurang mendapatkan pengakuan dari masyarakat setempat, karena
aturan formal tidak sesuai dengan aturan informal dalam pemanfaatan SDA.

8. Aturan yang berhubungan dengan aturan yang lebih tinggi

Aturan formal dalam mengelola SDA di CBPS terhubungan dengan aturan


yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 (1) Undang-Undang No. 12/2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan di
Indonesia, terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah
Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam penyusunannya, aturan
formal ini tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Berdasarkan indikator yang dikembangkan oleh Ostrom (1990), aturan


formal yang mengatur pengelolaan SDA di Siberut belum mampu menjamin
pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Pertama, batas antar kawasan hutan tidak
jelas, sehingga ruang pengelolaan bagi stakeholder menjadi tidak jelas. Kedua,
aturan formal pemanfaatan SDA tidak berkesesuaian dengan aturan informal

21
Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, yang selanjutnya disebut hak ulayat,
adalah hak milik bersama masyarakat hukum adat yang diakui oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. (Pasal 1 Permenhut No.
32/2015).
116

karena tidak adanya pengaturan ruang di HP, HL, dan HSAW Teluk Saibi
Sarabua, sedangkan di TNS aturan zonasi tidak terdefinisi dengan jelas oleh
BTNS dan belum tersosialisasi di tingkat masyarakat. Ketiga, aturan formal yang
ada masih bersifat sentralistik dan Pemerintah berposisi sebagai pemilik (owners),
sehingga belum memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam memodifikasi
aturan operasional. Keempat, pengawasan SDA dilakukan oleh petugas yang
jumlah dan dengan anggaran yang terbatas, sehingga tidak mampu memantau
SDA dan perilaku pemanfaatnya. Kelima, adanya sanksi yang tegas dalam aturan
formal belum dapat diterapkan karena kebijakan pengelola/pemangku kawasan
yang menghormati pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Keenam, mekanisme penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui pendekatan
hukum atau pengadilan dan melalui di luar pengadilan dan seringkali
membutuhkan biaya yang mahal. Ketujuh, aturan formal membuka peluang
masyarakat Mentawai untuk mengatur SDA mereka untuk mulai diakui
pemerintah. Kedelapan, aturan formal dalam mengelola SDA terhubungan dengan
aturan yang lebih tinggi. Dari uraian di atas terlihat bahwa adanya ketidak
sesuaian (incompatibility) antara aturan informal dan formal dalam pengelolaan
SDA di CBPS

6.4 Simpulan

Kelembagaan adat Suku Mentawai di CBPS memiliki enam kriteria sebagai


kelembagaan yang kuat dalam mengelola SDA berdasarkan prinsip desain yang
dikembangkan oleh Ostrom, yakni (1) terdapat batasan dan pengguna SDA yang
teridentifikasi dengan jelas; (2) aturan pemanfaatan dan penyediaan masih sesuai
dengan kondisi setempat; (3) masyarakat dapat menyusun dan merevisi aturan
operasional melalui proses musyawarah yang melibatkan semua uma yang ada di
desa; (4) adanya pengawasan terhadap SDA milik uma yang melibatkan anggota
uma dan uma lain (sipasijago); (5) terdapat sistem sanksi dalam bentuk denda
(tulou); serta (6) terdapat mekanisme penyelesaian konflik diutamakan melalui
proses musyawarah dan negoisasi dalam pengenaan denda. Hal ini bermakna
bahwa masyarakat Mentawai mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA
secara lestari. Namun, kelembagaan adat masyarakat Mentawai dalam mengelola
SDA-nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Di lain pihak, aturan
formal dalam pengelolaan SDA di CBPS belum mampu mengelola SDA secara
efektif dan efisien, bahkan cenderung mengabaikan kelembagaan lokal.
117

7 PEMBAHASAN UMUM:
KEBERLANJUTAN DAN PENGUATAN
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Cagar Biosfer Pulau Siberut


(CBPS) seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada Suku
Mentawai sebagai pemilik asli sumber daya. Oleh karena itu, perlu tinjauan
terhadap keberlanjutan SDA mereka agar SDA tersebut tetap mengalirkan
manfaat. Keberlanjutan SDA sebagai sumber penghidupan Suku Mentawai tidak
terlepas dari permasalahan ketersediaan SDA dan kelembagaan pengelolaannya.
Pada Bab ini, dijelaskan permasalahan, perkiraan keberlanjutan, dan strategi
penguatan pengelolaan SDA di CBPS yang merupakan sintesis dari bab-bab
sebelumnya.

7.1 Keberlanjutan Sumber Daya Alam

Keberlanjutan SDA yang dimaksud di sini adalah keberlanjutan dalam


pengertian statis. Pezzey (1992) melihat keberlanjutan mempunyai pengertian
statis dan dinamis. Keberlanjutan statis diartikan sebagai pemanfaatan SDA
terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dinamis
merupakan pemanfaatan SDA yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi
yang terus berubah. Pendekatan statis sesuai dengan SDA di CBPS yang saat ini
dimanfaatkan oleh masyarakatnya yaitu SDA terbarukan. Dalam pendekatan
statis, pengukuran keberlanjutan dapat dilakukan dengan pengukuran
keberlanjutan lemah (weak sustainability) dan pengukuran keberlanjutan kuat
(strong sustainability). Pengukuran keberlanjutan lemah dilakukan bila tersedia
substitusi modal manusia (human capital), modal buatan manusia (man-made
capital), dan SDA tidak dianggap penting. Sedangkan, pengukuran keberlanjutan
kuat dilakukan bila SDA memiliki nilai yang sangat penting yang jika hilang akan
menggangu perekonomian (irreversibility) dan ada ketidakpastian yang terjadi di
dalamnya (uncertainty). Pengukuran keberlanjutan disini menggunakan
pengukuran keberlanjutan kuat karena SDA di CBPS mengandung nilai
irreversibility dan uncertainty. Konsep keberlanjutan yang dipakai untuk menilai
keberlanjutan tersebut menggunakan lima pengertian keberlanjutan dari Perman et
al (1996) yaitu: (1) suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika
utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi
tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption); (2) keberlanjutan
adalah kondisi dimana SDA dikelola sedemikian rupa untuk memelihara
kesempatan produksi mendatang; (3) keberlanjutan adalah kondisi dimana SDA
(natural capital stock) tidak bekurang sepanjang waktu (non-declining); (4)
keberlanjutan adalah suatu kondisi dimana SDA dikelola untuk mempertahankan
produksi jasa SDA; serta (5) keberlanjutan adalah suatu kondisi dimana kondisi
minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.
Dalam bab sebelumnya telah diindentifikasi terdapat beberapa permasalahan
dalam pengelolaan SDA di CBPS, yakni permasalahan pengalihan hak
kepemilikan lahan dari uma yang bersifat komunal ke kepemilikan perseorangan
118

(private) melalui proses sertifikasi, dan budidaya padi sawah pada ekosistem rawa
sagu. Kedua permasalahan akan mempengaruhi keberlanjutan pemanfaatan SDA
bagi Suku Mentawai di CBPS.

7.1.1 Sertifikasi Lahan Uma

Eksternalitas dari pembangunan, gelombang migrasi ke Pulau Siberut, dan


masuknya ekonomi pasar mengubah cara pandang masyarakat Mentawai di CBPS
terhadap nilai dari sumber daya. Sejak tahun 2005, Pemerintah Kabupaten
Mentawai melalui BPN telah melaksanakan program sertifikasi tanah. Akibatnya,
lahan-lahan uma di sekitar permukiman di ibukota kecamatan menjadi bernilai
ekonomi tinggi, sehingga memicu sertifikasi kepemilikan lahan menjadi lahan
private dan menjualnya kepada individu atau organisasi pendatang. Sementara itu,
Suku Mentawai sebagai penduduk asli mulai bermukim dan berladang menjauh
dari pusat kota kecamatan. Lahan-lahan berupa perladangan tradisional berubah
peruntukannya menjadi perumahan atau ladang dengan sistem monokultur
sehingga menurunkan produksi bagi kebutuhan masyarakat di masa mendatang.
Kondisi ini mengindikasikan ketidak berkelanjutan sumber daya lahan bagi Suku
Mentawai, karena menghilangkan kesempatan produksi bagi generasi mendatang
mereka. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Perman et al. (1996) bahwa
keberlanjutan adalah kondisi dimana SDA dikelola untuk memelihara kesempatan
produksi mendatang, dan SDA dikelola untuk mempertahankan produksi jasa dari
SDA.

7.1.2 Persawahan di Ekosistem Rawa Sagu

Persawahan di CBPS dikembangkan di lahan-lahan berawa yang merupakan


habitat bagi tumbuhan sagu. Sagu merupakan tumbuhan penting karena menjadi
makanan pokok Suku Mentawai. Budidaya padi di sawah mempunyai banyak
kelemahan dibandingkan budidaya sagu (lihat Tabel 4.4). Dampak peningkatan
pencetakan sawah di ekosistem rawa sagu dapat mengurangi produksi sagu, yang
pada akhirnya mengganggu ketahanan pangan masyarakat Mentawai. Persawahan
ini dinilai tidak berkelanjutan, karena mengubah produksi SDA yang tidak sesuai
dengan kebutuhan pokok tradisional Suku Mentawai. Perman et al. (1996)
menyatakan bahwa keberlanjutan merupakan suatu kondisi utilitas yang diperoleh
masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun
sepanjang waktu, dan SDA dikelola untuk mempertahankan produksi jasa dari
SDA.

7.2 Keberlanjutan Kelembagaan Pengelolaan SDA

Kelembagaan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS yang ada saat ini
tidak bersesuaian dengan kelembagaan informal. Terdapat gap (Tabel 7.1) antara
kelembagaan formal dengan kelembagaan informal yang menimbulkan
permasalahan dalam pengelolaan SDA CBPS. Permasalahan tersebut adalah
pertama ketidakpastian hak kepemilikan atau penguasaan (property right) lahan
(termasuk sumber daya di atasnya) antara Suku Mentawai dengan pemerintah.
119

Berdasarkan adat Suku Mentawai, semua lahan dapat dikelola oleh uma-uma
secara turun temurun. Di lain pihak, pemerintah menunjuk hutan seluas 91.36 %
di Pulau Siberut sebagai hutan negara, yang pengelolaan SDA-nya oleh
pemerintah pusat dan daerah yang mengikuti dua undang-undang utama, yakni
UU No. 41/1999 dan UU No. 5/1990 beserta aturan turunannya.

Tabel 7.1 Gap antara aturan formal dengan informal dalam pengelolaan sumber
daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Ciri-ciri kelembagaan
Aturan Aturan
Hak kepemilikan Batas yuridiksi
representasi
Informal Sumber daya alam • Pemanfaat SDA milik uma adalah • Keputusan
(kelembagaan (SDA) dikelola oleh anggota uma. ditentukan
adat) uma-uma secara • Pemanfaat SDA di luar anggota oleh semua
turun temurun uma harus melalui izin dan anggota uma.
membayar uang imbalan (pulajuk • Tidak
monei) mengenal
• Cara pemanfaatan SDA perwakilan di
tergantung kesepakatan anggota luar uma.
uma.
Formal (UU SDA (hutan dan • Pengguna SDA perorangan, Pemerintah
No. 5/1990 dan kekayaan alam yang koperasi, badan usaha milik sebagai
UU No. terkandung di swasta Indonesia, badan usaha pengelola
41/1999) dalamnya) di milik negara atau badan usaha kawasan/
kawasan hutan milik daerah pengambil
negara dimiliki, • Pemanfatan SDA melalui proses keputusan.
dikuasai, dikelola perizinan
oleh negara. • Pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat setempat melalui
kegiatan pemungutan hasil hutan
bukan kayu, budidaya tradisional,
serta perburuan tradisional
terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi (di zona tradisional
dan zona khusus KPA serta blok
pemanfaatan KSA)

Uraian di atas menunjukkan terdapat dua klaim kepemilikan lahan menurut


masyarakat dan pemerintah, sehingga kepemilikan lahan dan SDA di CBPS tidak
jelas. Akibatnya, ruang kelola masyarakat dalam memanfaatkan SDA menjadi
sangat terbatas karena pembatasan-pembatasan dari aturan formal. Schmid (1987)
mengatakan bahwa kejelasan hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses
dan kontrol terhadap sumber daya. Begitupula Naguran (2002) menyatakan bahwa
property right yang didefinisikan secara jelas akan menentukan cara produsen dan
konsumen menggunakan sumber daya lingkungan di suatu area. Selanjutnya,
kinerja para pemangku kawasan (BTNS dan BKSDA Sumbar di hutan konservasi,
Dishutkab di hutan produksi dan hutan lindung) sangat rendah jika dilihat dari
menurunnya tutupan lahan berhutan di CBPS (lihat Bab 6.3.3), karena pemangku
kawasan tidak mampu menegakkan (enforcement) aturan terhadap kawasan yang
dikelolanya. Pemangku kawasan ini merupakan organisasi yang legal menurut
120

aturan formal, tetapi tidak diakui oleh masyarakat Mentawai dalam mengelola
SDA di CBPS.
Kedua, menurut kelembagaan masyarakat Mentawai, yang dapat
memanfaatkan SDA adalah anggota uma (sipuuma). Pemanfaatan di luar uma
harus meminta izin dan membayar imbalan (pulajuk monei) kepada uma pemilik
SDA (sibakat laggai). Sedangkan menurut aturan formal pemanfaatan SDA di
kawasan hutan negara harus melalui proses perizinan, seperti IUPHHK, IUPPA,
HKm HTR, HPHD, dan kemitraan kehutanan. Izin dapat dilakukan oleh
perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah. Pemanfataan tradisional oleh masyarakat
setempat dimungkinkan di zona tradisional dan zona khusus KPA serta blok
pemanfaatan KSA melalui kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya
tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi
dapat dilakukan. Adanya permasalahan pada batas yuridiksi ini, membuat
pemangku kawasan selalu sulit mengalokasi sumber daya sesuai tujuan organisasi
karena selalu ada penolakan dari masyarakat. Begitupula, masyarakat sulit
mengalokasi sumber daya mereka karena pembatasan-pembatasan oleh aturan
formal.
Dalam pengelolaan SDA masyarakat Mentawai di CBPS, keputusan diambil
melalui kesepakatan internal secara bersama dalam uma terkait dengan sifat
keegaliterian di masyarakatnya. Pengambilan keputusan seperti ini mempunyai
kelemahan yakni sulitnya memperoleh kesepakatan atas suatu hal. Namun, bila
keputusan sudah diambil keputusan bersama tersebut akan dijalankan, walaupun
ada sebagian kecil anggota lain tidak sepakat. Ketidaksepakatan kadangkala
menyebabkan perpecahan uma, dimana beberapa keluarga anggota suatu uma
akan membentuk uma baru. Selain itu, pengambilan keputusan di masyarakat juga
dapat dipengaruhi oleh orang yang lebih kekayaan, pandai berbicara, dan
berpendidikan. Keputusan yang salah dapat menimbulkan biaya yang ditanggung
oleh seluruh sipauma.
Ketiga, masyarakat Mentawai di CBPS tidak mengenal perwakilan di luar
uma. Untuk itu sangat sulit membuat kesepakatan terkait pengelolaan SDA di luar
uma, terutama memadukan kesepakatan antar uma atau dengan organisasi
eksternal (modern). Dari aspek biaya dalam pengambilan keputusan, ketiadaan
perwakilan dalam pembuatan keputusan berdampak pada biaya rendah. Namun,
untuk permasalahan yang lebih kompleks seperti SDA yang lokasinya jauh dari
uma, ketiadaan perwakilan di luar uma membuat ongkos membuat kesepakatan,
memperoleh informasi, dan pemantauan menjadi tinggi sehingga nilai SDA
menjadi berkurang. Pakpahan (1989) menyatakan bahwa ongkos transaksi yang
tinggi akan menurunkan nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan.
Hasil analisis kelembagaan pengelolaan SDA yang dapat bertahan lama
berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom (lihat Bab 6), memperlihatkan
bahwa prinsip-prinsip kelembagaan yang keberlanjutan dalam mengelola SDA
dimiliki oleh kelembagaan masyarakat Mentawai di CBPS. Keberlanjutan tersebut
secara kasat mata dapat juga dilihat dari eksistensi kelembagaan tersebut hingga
saat ini. Artinya kelembagaan masyarakat Mentawai di CBPS mempunyai
kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya secara lestari.
Di lain pihak, aturan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS belum mampu
mengatur pengelolaan SDA secara efektif dan efisien, karena tidak mendapatkan
121

legitimasi dari masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya
tutupan lahan berhutan di CBPS.

7.3 Strategi Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Suku


Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut

Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang membuat masyarakat berdaya


dalam arti lain adalah menguatkan masyarakat. Berdasarkan permasalahan dan
perkiraan keberlanjutan pengelolaan SDA di atas, maka dirumuskan beberapa
strategi penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS.
Strategi penguatan tersebut meliputi dua hal, yakni mengakui hak kepemilikan
masyarakat Mentawai atas SDA mereka dan melibatkan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA. Penguatan tersebut dijelaskan
sebagai berikut:

7.3.1 Penguatan Hak Kepemilikan Masyarakat Mentawai di Cagar Biosfer


Pulau Siberut

Pengelolaan SDA di CBPS didominasi oleh pemerintah baik pemerintah


pusat maupun daerah. Pengelolaan oleh pemerintah ini belum memberi ruang
yang besar bagi pengelolaan oleh masyarakat Mentawai. Artinya pemerintah
belum melaksanakan UU No. 5/1960 Pasal 2 Ayat 2 bahwa wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara digunakan untuk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka
berdaulat, adil dan makmur. Selanjutnya, Ayat 3 menyatakan bahwa hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Masyarakat Mentawai mempunyai sistem penguasaan dan tata guna lahan
(land tenure system). Sistem ini dapat menjadi landasan dalam penguatan
kepastian hak kepemilikan mereka atas SDA. Oleh karena itu, berbagai penguatan
kelembagaan masyarakat Mentawai di kawasan-kawasan hutan perlu dilakukan
agar mereka memperoleh manfaat dari SDA.

Mengakui Hak Kepemilikan di Hutan Produksi dan Hutan Lindung

Pengakuan hak kepemilikan masyarakat Mentawai atas SDA mereka perlu


dilakukan di CBPS. Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam
menguatkan hak kepemilikan masyarakat Mentawai. Peluang pengakuan dari
pemerintah mulai terbuka dengan adanya beberapa aturan yang mendorong
pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Beberapa aturan tersebut disajikan pada
Tabel 7.2.
122

Tabel 7.2 Peluang penguatan kelembagaan informal masyarakat Siberut dalam


pengelolaan sumber daya alam
Aturan Peluang pengakuan
Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 Bahwa pengusahaan hutan oleh negara
harus memperhatikan dan menghormati
hak-hak atas tanah masyarakat
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 Bahwa pengukuhan kawasan hutan harus
segera dituntaskan untuk menghasilkan
kawasan hutan yang berkepastian hukum
dan berkeadilan
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Bahwa hutan adat bukan hutan negara
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Penyelesaian hak-hak masyarakat dalam
Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan Umum RI, kawasan hutan sepanjang masih
dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 79 menguasai tanah di kawasan hutan
Tahun 2014, No. PB.3/Menhut-II/2014, No.
17/PRT/M/2014, No. 8/SKB/X/2014 tentang Tata
Cara Penyelesain Penguasaan Tanah yang Berada di
dalam Kawasan Hutan
UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa • Hak desa untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan hak asal usul, adat istiadat,
dan nilai sosial budaya masyarakat
desa; menetapkan dan mengelola
kelembagaan desa; dan mendapatkan
sumber pendapatan
• Hutan milik dapat menjadi aset desa
• Peraturan Desa Adat disesuaikan
dengan hukum adat dan norma adat
istiadat yang berlaku di Desa Adat
sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 Pemerintah melakukan pengakuan dan
tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Menteri LHK No. P.32/Menlhk- Pengaturan hutan hak agar pemangku
Setjen/2015 tentang Hutan Hak hutan hak mendapat pengakuan,
perlindungan dan insentif dari Pemerintah
dalam mengurus hutannya secara lestari
menurut ruang dan waktu
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 10 tahun • Masyarakat hukum adat yang
2015 tentang Tata Cara penetapan Hak Komunal memenuhi persyaratan dapat
Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan dikukuhkan hak atas tanahnya.
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu • Kelompok masyarakat yang berada
dalam suatu kawasan tertentu yang
memenuhi persyaratan dapat diberikan
hak atas tanah (hak komunal)

Peluang aturan formal di atas harus dimanfaatkan oleh masyarakat Mentawai


untuk mendapatkan pengakuan hak kepemilikan atas SDA di CBPS. Pengakuan
dapat dilakukan oleh Pemda dan atau DPRD melalui penetapan Perda Masyarakat
Hukum Adat (MHA) masyarakat Siberut sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 52/2014. Selanjutnya, pengakuan hak atas kawasan hutan dapat dilakukan
123

seusai dengan Peraturan Menteri LHK No. P.32/Menlhk-Setjen/2015, dan


penetapan hak komunal atas tanah MHA melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala
BPN No. 10/2015. Pemberian hak (kewenangan) kepada masyarakat ini dapat
dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. Devolusi adalah
pelimpahan kekuasaan (power) dari pusat (pemerintah) kepada unit kerja yang
lebih rendah (Fisher 1999).
Proses pengakuan MHA dan penetapan hutan hak akan membutuhkan
waktu, karena adanya proses pendefinisian MHA (Pasal 67 UU No. 41/1999) dan
pemetaan lahan-lahan adat (Permenhut No. P.32/menlhk/setjen/2015) sesuai
dengan kepemilikan uma. Menunggu proses tersebut berlangsung, Dinas
Kehutanan Provinsi perlu membentuk kesatuan pengelolaan hutan produksi dan
lindung (KPHP dan KPHL) di kawasan hutan di CBPS sesuai amanah PP
No.6/2007. Tujuannya agar pengelolaan HP dan HL di CBPS dapat dikelola
secara efisien dan lestari dengan sesuai rencana pengelolaan (operational rules)
dalam blok dan petak pengelolaan. Akses masyarakat dalam memanfaatkan SDA
dapat dilakukan melalui skema perizinan (HTR, HKM, HPHD) dan kemitraan
kehutanan (lihat Permen LHK No. P.83/menlhk/setjen/kum.1/10/2016 tentang
Perhutanan Sosial). Skema izin dan kemitraan kehutanan ini dapat dipandang
sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi.

Menguatkan Hak Kepemilikan di Hutan Konservasi

Tata guna lahan tradisional masyarakat Mentawai di CBPS merupakan


refleksi dari ruang-ruang kelola yang dibangun oleh masyarakat sebagai upaya
pengaturan SDA dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik untuk kebutuhan
fisik maupun spiritualnya. Dengan demikian, zonasi kawasan TNS yang berada
dalam wilayah adat diarahkan untuk dikolaborasikan dengan tata guna lahan
masyarakat Mentawai yang merupakan kearifan tradisional mereka. Basuni (2012)
menyatakan bahwa perlu mendorong konservasi berbasis pengetahuan lokal dan
kearifan lokal sebagai pendekatan dan komplemen bagi konservasi SDA di
Indonesia. Kosmaryandi (2012) menyatakan bahwa terdapat dua kebijakan zonasi
yang diperlukan untuk mengamalgamasikan kepentingan konservasi nasional-
global dengan kehidupan masyarakat adat, yakni pertama, pengembangan zonasi
diarahkan pada pencapaian fungsi taman nasional bukan diarahkan pada
pencapaian kelengkapan zona yang dipersyaratkan secara yuridis formal. Cara ini
dimaksudkan agar kepentingan kelestarian keanekaragaman hayati dan kehidupan
masyarakat adat yang diterjemahkan dalam zonasi pengelolaan taman nasional
dapat berlangsung secara bersesuaian. Kedua, penggunaan basis klasifikasi ruang
pada tata guna lahan tradisional sebagai dasar kriteria zona-zona pengelolaan
taman nasional karena fungsi-fungsi tata guna lahan tradisional dapat
mewadahi/mengakomodasi zona-zona yang diperlukan dalam sistem pengelolaan
taman nasional, pemanfaat langsung secara rutin dan berkesinambungan terhadap
SDA yang ada dalam kawasan taman nasional adalah masyarakat adat (sedangkan
pemanfaatan oleh pihak-pihak eksternal bersifat temporal), zonasi menjadi relatif
lebih mudah diaplikasikan karena kejelasan batas yang mudah dipahami oleh
pengguna kawasan secara rutin (masyarakat adat), dan dapat meminimalkan
bahkan dapat meniadakan potensi konflik ruang dan tenurial dalam pengelolaan
taman nasional. Oleh karena itu, zonasi TNS juga diarahkan untuk
124

dikolaborasikan22 sesuai dengan ruang dan fungsi tata guna lahan tradisional
masyarakat Mentawai (Tabel 7.3). Kolaborasi perlu dilakukan karena adanya
sistem kepemilikan lahan yang kuat di Suku Mentawai dan kapasitas penguasaan
lahan oleh pemerintah yang juga kuat. Nurrochmat et al. (2010) menyatakan bila
modal sosial yang miliki oleh masyarakat kuat dan kapasitas pemerintah kuat
pula, maka pengelolaan kawasan hutan dapat dikolaborasikan.
Tabel 7.3 memperlihatkan bahwa kolaborasi tata guna lahan tradisional
terhadap zonasi TNS dapat dilakukan pada empat zona, yakni zona inti, zona
rimba, zona tradisional, dan zona khusus. Kemampuan tata ruang tradisional
dalam mengakomodir fungsi zona-zona membuktikan bahwa pengelolaan wilayah
oleh masyarakat Mentawai dapat digunakan sebagai suatu sistem pengelolaan
SDA. Oleh karena itu, pengembangan zonasi TNS yang berada dalam wilayah
adat dilakukan dengan cara dikolaborasikan dengan kebutuhan zona-zona yang
diperlukan TNS sebagai unit-unit kelola. Melalui kolaborasi seperti ini, maka
zonasi yang dihasilkan dapat bersesuaian (compatible) dan dapat diterapkan
(applicable) karena terjadi sinkronisasi atau harmonisasi antara kepentingan
konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan kehidupan masyarakat
adat.
Saat ini, TNS memiliki lima zona, yakni zona inti, zona rimba, zona
tradisional, zona khusus, dan zona pemanfaatan. Jika disandingkan antara zonasi
TNS dengan fungsi ruang pada tata guna lahan tradisional masyarakat Mentawai
(Tabel 7.3), zona pemanfaatan belum diperlukan di TNS. Zona pemanfaatan yang
ada di TNS saat ini merupakan daerah tepian pantai dan terdapat banyak
permukiman. Zona pemanfaatan ini dibentuk untuk mengakomodir potensi wisata
alam yang berada di permukiman masyarakat sesuai Permenhut P.56/2006, karena
di Permenhut tersebut aktivitas wisata di zona tradisional dan khusus tidak dapat
dilakukan. Dalam aturan zonasi taman nasional terbaru yakni Permenhut
P.76/2015, wisata alam secara terbatas dapat dilakukan di semua zona kecuali
zona inti, dan skema pemanfaatan dalam zona pemanfaatan tersebut dilakukan
dengan perizinan. Untuk itu, zona pemanfaatan yang pengelolaan dengan skema
perizinan belum diperlukan di TNS. Selanjutnya, aturan di tiap zona sebagai
aturan tingkat operasional dalam memanfaatkan sumber daya di TNS belum
bersesuaian dengan kondisi setempat (lihat Tabel 6.7) serta belum terdesiminasi
ke pemerintah daerah ke masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi
zonasi TNS yang mengakomodir ruang-ruang pada tata guna lahan tradisional
masyarakat Mentawai yang melibatkan masyarakat setempat dalam proses
penyusunannya serta mendesiminasikan ke pemerintah daerah ke masyarakat.
Penguatan kelembagaan harus juga dilakukan di HSAW Teluk Saibi
Sarabua. Penguatan kelembagaan di kawasan hutan ini dalam bentuk penetapan
kawasan sebagai KPA atau KSA. Kepastian jenis kawasan akan memperjelas jenis
pengelolaan yang akan dilakukan dalam bentuk pengaturan blok pengelolaan yang
berfungsi sebagai aturan operasional. Pengaturan blok pengelolaan pada HK, HP,
dan HL, hendaknya dikolaborasikan dengan ruang kehidupan dan fungsi lahan
masyarakat (tradisional) Suku Mentawai seperti dicontohkan pada Tabel 7.3.

22
Kolaborasi merupakan tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk
menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan kolaborasi bukan
sekedar untuk mengakomodasi kepentingan, lebih daripada itu melalui proses klarifikasi
perbedaan yang ada (Marshall 1995 dalam Tadjudin 2000).
125

Tabel 7.3 Kolaborasi ruang kehidupan dan fungsi lahan masyarakat (tradisional)
Suku Mentawai dalam zonasi Taman Nasional Siberut
Ruang kehidupan dan fungsi lahan masyarakat Zonasi TNS utk mengkomodasi ruang
Suku Mentawai kehidupan Suku Mentawai
Perubahan terhadap zonasi TNS
Ruang Fungsi Zona
saat ini
Lahan Budidaya tanaman dan hewan Tradisional Zona tradisional TNS saat ini
budidaya dan berguna untuk pemenuhan belum mengakomodir semua
pemanfaatan kebutuhan sehari-hari dengan ruang budidaya dan pemanfaatan
sumber daya kondisi lanskap ladang SDA. Ruang pemanfaatan
alam (SDA) muda/tinungglu, ladang dimaksud, saat ini masih banyak
tua/pumonean, ladang keladi/ berada dalam zona pemanfaatan
pugettekat, ladang TNS. Oleh karena itu, disarankan
sagu/pusaguat, sungai dan untuk mengubah ruang hidup
rawa/bat oinan, pantai dan masyarakat yang saat ini berada di
pulau-pulau kecil/nusa, zona pemanfaatan menjadi zona
sawah/puberakat tradisional.
Lahan Tempat tinggal, interaksi sosial, Khusus Zona khusus TNS saat ini belum
permukiman dan sistem pewarisan tradisi mengakomodir semua
serta pelestarian tanaman dan permukiman yang ada Siberut.
hewan berguna dengan kondisi Dusun Masi, Siribakbak, Kalea,
lanskap kampung tradisional Pusaregat, Pupailiat, Mapinang,
(laggai), dusun, atau desa Lumago (Desa Sagulubbek);
(barasi) Dusun Muara Simatalu,
Simalibek, Pokuku, Bojo,
Sesasea, Limu, Simokko,
Simukmuk, Limau (Desa
Simatalu); Simalegi Muara,
Simalegi Tengah (Desa Simalegi).
Dusun-dusun dimaksud masih
berada dalam zona pemanfaatan.
Oleh karena itu, disarankan untuk
mengubah ruang permukiman
masyarakat yang saat ini berada di
zona pemanfaatan menjadi zona
tradisional.
Hutan dan Bernilai kultural/spritual dengan Inti Zona Inti telah mengakomodir
bukit berhutan kondisi lanskap hutan yang hutan yang berlereng curam dan
berlereng curam dan tinggi, tinggi dan hulu-hulu sungai, tetapi
dikeramatkan, hulu-hulu sungai perlu juga mengakomodir hutan-
hutan yang dikeramatkan oleh
masyarakat
Hutan dan Bernilai kultural/spritual dengan Rimba Zona Rimba TNS masih terdapat
bukit berhutan kondisi lanskap hutan yang permukiman masyarakat
bertopografi relatif datar (Sakuddei dan Attabai).
Disarankan permukiman ini untuk
dimasukkan ke dalam zona
permukiman dan dikelilingi oleh
zona tradisional.
126

7.3.2 Pelibatan Masyarakat Mentawai dalam Proses Pengambilan


Keputusan Pengelolaan SDA

Pelibatan masyarakat Mentawai di CBPS dalam proses pengambilan


keputusan mutlak diperlukan, karena sejatinya pemilik SDA dan penerima
eksternalisasi pengelolaan SDA adalah mereka. Namun, diperlukan perubahan
persepsi stakeholders tentang masyarakat bahwa masyarakat Mentawai bukanlah
obyek tetapi subyek dari pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dari masyarakat
Mentawai secara tradisional mampu mengelola SDA-nya secara lestari.
Pelibatan masyarakat Mentawai dalam proses pengambilan keputusan dapat
dilakukan melalui dua cara, pertama memberi ruang kepada masyarakat untuk
menentukan berbagai kebijakan di desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan hingga evaluasi dalam aktivitas pengelolaan SDA. Proses ini dapat
diimplementasikan melalui Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa
(Musrenbangdes). Musrenbangdes menjadi mekanisme pembangunan dan
memperbesar kontrol masyarakat desa terhadap perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan di desanya (PP No. 43/2014 Pasal 118). Penyusunan Renbangdes
hendaknya dilakukan berdasarkan kondisi dan kemampuan masyarakat Mentawai,
untuk itu penggunaan kerangka kerja penghidupan berkelanjutan dari DFID dapat
dilakukan. Dalam penyusunan rencana pembangunan desa masyarakat perlu
didampingi atau dikuatkan oleh stakeholders dari pemerintah, lembaga
pendidikan, dan lembaga non pemerintah.
Kedua, pelibatan masyarakat Mentawai dalam proses pengambilan
keputusan pengelolaan SDA melalui struktur pengorganisasian CBPS. Struktur
pengorganisasian penting agar semua kegiatan di CBPS dapat terintegrasi dengan
baik dalam mewujudkan tujuan cagar biosfer yakni keseimbangan antara
konservasi dengan pembangunan. LIPI (2004) menyebutkan alasan pentingnya
pengorganisasian di cagar biosfer sebagai media konsultasi, advokasi,
pengembangan sumber daya manusia, pendanaan, dan inovasi pemanfataan yang
bijaksana. Selanjutnya LIPI (2016) menyatakan bahwa pengelolaan sebuah unit
cagar biosfer idealnya didasarkan pada prinsip “multi stakeholder management”,
mengingat bervariasinya lansekap dan stakeholders-nya. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka dalam pengelolaan CBPS perlu dibentuk organisasi pengelola
untuk menyatukan atau mensinergikan kegiatan pengembangan dari masing-
masing stakeholders, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan
pengembangan, menyusun kerjasama dan perencanaan pengembangan dan
memudahkan pengelolaan cagar biosfer. Namun, saat ini belum terbentuk struktur
pengorganisasian pengelolaan CBPS. Untuk itu Komite Nasional-MAB perlu
membentuk struktur pengorganisasian pengelolaan di CBPS, sebagai salah satu
bagian dari tugas Komite Nasional-MAB, yakni mengarahkan dan membina
kegiatan Program MAB di Indonesia.
Terdapat dua bentuk struktur pengorganisasian cagar biosfer di Indonesia,
yaitu Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer (Badan KPCB) dan Forum
Koordinasi dan Komunikasi Pengelolaan Cagar Biosfer (Forum KKPCB).
Beberapa organisasi pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia dapat dilihat pada
Lampiran 11. Pengorganisasian dalam bentuk Badan Koordinasi lebih formal dan
struktural, kelebihannya lebih mudah mengarahkan stakeholders dari pemerintah
daerah ke arah tujuan organisasi dan dapat mengalokasikan dana yang bersumber
127

dari pemerintah daerah untuk menjalankan organisasi. Kekurangannya adalah


organisasi lebih “kaku” karena lebih formal, sedangkan stakeholders yang terlibat
bukan hanya dari pemerintahan saja. Pengorganisasian dalam bentuk Forum
Koordinasi dan Komunikasi mempunyai kelebihan yakni tidak formal dan
struktural atau lebih “cair”, tetapi mempunyai kekurangan dalam hal pembiayaan
(penyediaan anggaran) bagi organisasi secara reguler karena forum koordinasi
tidak mempunyai pijakan hukum untuk dialokasikan anggaran dari pemerintah.
Oleh karena itu, pengorganisasian CBPS lebih tepat jika berbentuk Forum
Koordinasi dan Komunikasi karena banyaknya stakeholders di luar pemerintah
daerah yang terlibat dalam pengelolaan SDA dan mereka mempunyai kepentingan
dan pengaruh kuat (lihat Tabel 5.3). Bentuk forum yang lebih “cair” dan potensi
bekerjasama antar stakeholders (lihat Tabel 5.4) dapat menyatukan stakeholders
dalam pengelolaan SDA di CBPS. Gambaran tentang struktur Forum Koordinasi
dan Komunikasi CBPS disajikan pada Gambar 7.1.

Dewan Pengarah

Ketua Forum
Majelis Ilmiah
Wakil Ketua Forum

Lembaga
Pengalangan Dana Sekretariat Forum

Bidang I Bidang II Bidang III


Pengembangan Area Inti Pengembangan Zona Pengembangan Area Transisi:
(Konservasi, Penelitian, dan Penyangga (Pembangunan (Pembangunan Berkelanjutan,
Pembangunan Berkelanjutan) Berkelanjutan, Konservasi, Konservasi, dan Penelitian)
Stakeholders: BTNS, SKPD, dan Penelitian) Stakeholders: SKPD, PT,
Perguruan Tinggi (PT), Stakeholders: SKPD, Balitbang, BPN, LSM,
Lembaga Penelitian (Litbang), BKSDA, PT, Litbang, LSM, swasta, perwakilan
LSM, swasta, perwakilan swasta, perwakilan masyarakat Mentawai
masyarakat Mentawai masyarakat Mentawai

Gambar 7.1 Forum Koordinasi dan Komunikasi Cagar Biosfer Pulau Siberut

Forum terdiri atas dewan pengarah, ketua dan wakil ketua, majelis ilmiah,
sekretariat, bidang pengembangan, dan lembaga penggalangan dana. Dewan
pengarah bertugas memberikan arahan umum tentang pengelolaan CBPS yang
disinergikan dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Mentawai. Ketua bertugas membangun kesepahaman visi, misi dan tujuan
pengelolaan CBPS, mengintegrasikan kegiatan stakeholders dalam wilayah
CBPS, membuat rencana dan prioritas kegiatan pengelolaan CBPS,
menyelesaikan solusi terhadap perbedaan kepentingan dan konflik dalam
pengelolaan SDA di CBPS. Wakil ketua bertugas membantu ketua dalam
merumuskan kebijakan umum. Ketua dan wakil ketua didampingi oleh Majelis
128

Ilmiah yang berperan memberikan pertimbangan teknis dan evaluatif atas


pelaksanaan konsep cagar biosfer. Selanjtnya forum dibagi dalam beberapa bidang
yang mempunyai tugas khusus sesuai konsep pengelolaan cagar biosfer dan
berisikan stakeholders sesuai dengan visi, tugas dan fungsi tiap organisasi.
Selanjutnya, kesekretariatan yang mempunyai tugas memfasilitasi aktivitas forum.
Komponen penting lainnya dari forum adalah lembaga penggalangan dana
yang bertugas menggalang dana untuk pengembangan cagar biosfer, yang
strukturnya terpisah dari forum tetapi anggota dapat berasal dari anggota forum.
Lembaga penggalangan dana ini dapat berupa perkumpulan atau yayasan.
Perkumpulan bersifat dan bertujuan komersial, berorientasi keuntungan (profit
oriented), dan mempunyai anggota, sedangkan yayasan bersifat dan bertujuan
sosial, keagamaan atau kemanusiaan, tidak semata-mata mengutamakan
keuntungan yang sebesar-besarnya, dan tidak mempunyai anggota (UU
No.16/2001). Yayasan berbentuk badan hukum, sedangkan dan perkumpulan
dapat berbentuk badan hukum. Bentuk yayasan atau perkumpulan mempunyai
kelebihan kekurangan tersendiri. Kelebihan perkumpulan lebih demokratis, karena
kewenangan tertinggi terdapat pada Musyawarah Umum Anggota, sedangkan
kekurangnnya sulit mengikat keanggotaan yang tetap. Kelebihan yayasan terletak
pada pembuat kebijakan yang terdiri hanya beberapa orang, sehingga lebih praktis
dan taktis dalam pembuatan kebijakan, tetapi kurang demokratis karena
kewenangan pembina yang sangat besar dalam memutuskan suatu persoalan.
Pembentukan yayasan atau perkumpulan ini diserahkan kepada kesepakatan
anggota forum.
Setiap stakeholders menjadi bagian dari sistem pengorganisasian CBPS dan
memiliki peran dan fungsi yang ditempatkan sesuai bidang pengembangan atau
zona CBPS. Pengelola kawasan konservasi memiliki peran untuk melestarikan
SDA hayati yang terdapat di kawasannya dan menjadikan kawasannya bermanfaat
bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasannya. Pemerintah daerah memiliki
peran membangun masyarakat dan mengembangkan di kawasan di zona
penyangga dan area transisi. Pihak swasta berperan mengembangkan kawasannya
secara berkelanjutan dan memberikan dukungan dan pembiayaan dalam upaya
pengembangan masyarakat. Lembaga non pemerintah melakukan pengembangan
masyarakat dan advokasi. Selanjutnya, lembaga penelitian dan perguruan tinggi
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan yang
bermanfaat bagi pembangunan CBPS.
Selain stakeholders tersebut di atas, stakeholders yang sangat penting dalam
pengorganisasian CBPS adalah masyarakat Mentawai. Masyarakat harus diikut
serta secara aktif dalam semua kegiatan pembangunan di CBPS. Sheng-Ji (2013)
menyatakan bahwa sangat penting melibatkan unsur masyarakat dalam
pengorganisasian pengelolaan SDA yang melibatkan banyak pihak. Namun,
kelembagaan lokal masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA masih
mempunyai permasalahan pada aspek aturan representasi, dimana kelembagaan
tersebut belum mengenal perwakilan di luar uma. Dalam pengorganisasian CBPS
yang efektif dan efisien, tentunya tidak semua perwakilan dari setiap uma masuk
ke dalam struktur pengorganisasian. Oleh karena itu, perlu representasi semua
uma dalam suatu wadah seperti “Dewan Adat” atau “Perkumpulan Uma”.
Representasi semua uma ini yang akan menjadi perwakilan dalam struktur
pengorganisasian CBPS.
129

8 SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS berasal dari lahan dalam


bentuk perladangan dan hutan. Secara tradisional Suku Mentawai memiliki sistem
penguasaan dan tata guna atas lahan dan hutan (land tenure system). Saat ini,
terdapat tiga rezim kepemilikan lahan di CBPS, yaitu kepemilikan bersama
(common property) berbasiskan pada uma, kepemilikan pribadi (private property),
kepemilikan oleh negara (state property). Penguasaan atas lahan oleh negara ini
hampir di seluruh CBPS (91.36%) dalam bentuk hutan konservasi, hutan
produksi, dan hutan lindung. Dalam pengelolaan SDA di CBPS teridentifikasi 19
stakeholders, dua diantaranya adalah key players, yaitu Balai Taman Nasional
Siberut dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi. Masing-masing stakeholders
mempunyai kepentingan dan pengaruh yang berbeda dan selalu berubah
sepanjang waktu. Dalam interaksinya, di antara stakeholders terdapat potensi
bekerjasama, saling mengisi, dan berkonflik. Secara keseluruhan di antara
stakeholders tersebut terdapat potensi untuk saling bekerjasama dan mengisi.
Potensi ini menjadi peluang untuk melakukan pengelolaan kolaboratif di CBPS.
Hasil analisis keberlanjutan kelembagaan, menunjukkan bahwa kelembagaan adat
Suku Mentawai di CBPS dalam mengelola SDA memenuhi enam kriteria
kelembagaan yang kuat, dalam artian kelembagaan tersebut sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA secara lestari. Namun,
kelembagaan adat masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA-nya belum
mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sedangkan kelembagaan formal belum
mampu mengelola SDA secara efektif dan efisien di CBPS, bahkan cenderung
mengabaikan kelembagaan lokal. Selain aturan informal yang belum
berkesesuaian dengan aturan formal, terdapat pula perubahan perilaku masyarakat
Mentawai dalam mengelola SDA yang tidak berkesesuaian dengan aturan
informal yang disebabkan oleh pengaruh ekonomi pasar, teknologi, dan penerapan
kebijakan pemerintah daerah.
Dalam kelembagaan pengelolaan SDA di CBPS terdapat beberapa
permasalahan, yaitu: (1) ketidak pastian hak kepemilikan/penguasaan lahan dan
sumber daya di atasnya antara Suku Mentawai dengan pemerintah; (2) adanya
pengalihan hak kepemilikan lahan uma yang bersifat komunal ke kepemilikan
perseorangan melalui proses sertifikasi; dan (3) pengembangan budidaya padi
sawah di ekosistem rawa sagu. Permasalahan-permasalahan ini berdampak pada
keberlanjutan pemanfaatan SDA Suku Mentawai di CBPS.
Berdasarkan temuan penelitian seperti diuraikan di atas, strategi penguatan
kelembagaan lokal pengelolaan SDA sebagai sumber penghidupan Suku
Mentawai di CBPS, sebagai berikut: pertama mengakui secara formal hak
kepemilikan komunal masyarakat Mentawai di CBPS untuk mengelola SDA-nya.
Pengakuan dilakukan di HP dan HL melalui penetapan Masyarakat Hukum Adat
(MHA), dan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi serta Hutan
Lindung (KPHP dan KPHL). Sedangkan, di HK dilakukan melalui revisi zonasi
TNS, dan menetapkan HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari
KPA atau KSA. Kedua, melibatkan masyarakat Mentawai dalam semua proses
130

pengambilan keputusan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga


evaluasi dalam aktivitas pengelolaan SDA di CBPS, termasuk mengkolaborasikan
pengaturan blok/zona pengelolaan sebagai aturan operasional pada HK, HP, dan
HL dengan ruang kehidupan dan fungsi lahan (tradisional) masyarakat Suku
Mentawai, serta membentuk struktur pengorganisasian CBPS yang disepakati oleh
stakeholders di CBPS.

8.2 Saran

Beberapa saran berupa rekomendasi kebijakan sebagai implikasi dari temuan


penelitian, sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Kepulauan Mentawai perlu segera menetapkan Peraturan Daerah tentang
Masyarakat Hukum Adat di CBPS.
2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Dinas Kehutanan
Provinsi perlu segera mempercepat pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi dan Hutan Lindung (KPHP dan KPHL) di CBPS.
3. Balai TNS perlu melakukan revisi zonasi TNS yang mengakomodir ruang
kehidupan dan fungsi lahan masyarakat (tradisional) Suku Mentawai.
4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq. Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem perlu segera melakukan
penunjukan HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari KPA
atau KSA.
5. Komite Nasional MAB Indonesia perlu segera membentuk struktur
pengorganisasian CBPS.
131

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal S, Elbow K. 2006. The Role of Property Rights in Natural Resource


Management, Good Governance and Empowerment of The Rural Poor.
Burlington: ARD.
Agrawal A, Ostrom E. 2001 Collective action, property rights, and
decentralization in resource use in India and Nepal. Politics and Society. 29:
485–514.
Anau N, van Heist M, Iwan R, Limberg G, Sudana M, Wollenberg E. 2000.
Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di
Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau. Bogor (ID): CIFOR.
Arnstein SR. 1969. A Ladder of Citizen Participation. J AIP. 7:216-224.
Asngari PS. 2001. Peranan agen pembaruan/penyuluh dalam usaha
memberdayakan (empowerment) sumber daya manusia pengelola agribisnis.
Di dalam: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor (ID):
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ave W, Sunito S. 1990. Medical Plants of Siberut. Gland: WWF International.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten
Kepulauan Mentawai. 2011. Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya
Alam Mentawai. Tua Peijat (ID): Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Basuni S. 2003. Inovasi institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga
kawasan konservasi: Studi kasus di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Basuni S. 2012. Mengelola Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Berbasis
Pengetahuan Tradisional dan Kearifan Lokal. Makalah pada Seminar Hasil-
Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam
Semboja; 2012 Nov 4; Balikpapan, Indonesia. Balikpapan (ID): Balitek
KSDA Semboja.
Batisse M. 1993. Biosphere reserves: an overview. Nature and Resources. 29:1-4.
von Benda-Beckmann F, von Benda-Beckmann K. Wiber M. 2006. Changing
Properties of Property. New York (US), London (GB): Berghahn Books.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2015. Indikator
Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2014.
Tuapeijat (ID): BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2015a. Kepulauan
Mentawai dalam Angka 2015. Tuapeijat (ID): BPS Kabupaten Kepulauan
Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2014a. Statistik
Kecamatan Siberut Barat Daya 2014. Tua Peijat (ID): BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. Statistik
Kecamatan Siberut Selatan 2014. 2014b. Tua Peijat (ID): BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. Statistik
Kecamatan Siberut Tengah 2014. 2014c. Tua Peijat (ID): BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
132

Bromley DW. 1991. Environment and Economy: Property Rights and Public
Policy. Oxford (GB): Basil Blackwell.
Bryson JM. 2004. What to do when stakeholders matter: stakeholder identification
and analysis techniques. Public Management Review. 6(1):21-53.
[BTNS] Balai Taman Nasional Siberut. 2010. Rencana Strategis Balai Taman
Nasional Siberut Tahun 2010-2014. Padang (ID): BTNS.
[BTNS] Balai Taman Nasional Siberut. 2014. Penataan Zonasi Taman Nasional
Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun
2014. Padang (ID): BTNS.
Chambers R. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?. Kirdar U,
Silk L, editor. New York (US): New York University Pr.
Coronese S. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta. PT Grafidian Jaya.
Daliyono, Imron M, Wahyono A. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di
Lokasi Coremap II: Desa Saibi Samukop dan Desa Saliguma Kabupaten
Kepulauan Mentawai. Jakarta (ID): Coremap LIPI.
Darmanto. 2006. Studi ekologi perladangan hutan tradisional masyarakat
Mentawai (Pumonean) di Pulau Siberut, Sumatera Barat. Di dalam: Soedjito
H, editor. Kearifan Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding
Piagam MAB 2005 untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di
Indonesia. Jakarta (ID): Komite Nasional MAB Indonesia. LIPI.
Darmanto, Setyowati AB. 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,
Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Jakarta (ID): Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG).
Darusman D, Widada. 2004. Konservasi dalam Perspektif Ekonomi
Pembangunan. Jakarta (ID): JICA-Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.
Davey AG. 1998. National System Planning for Protected Areas. IUCN, Gland,
Switzerland, Cambridge (GB): IUCN.
David E, Wollenberg E, Dachang L. 2003. Introduction in Local Forest
management, The Impacts of Devolution Policies. London (GB): Earthscan
London.
[DFID] Departement for International Development. 1999. Sustainable
Livelihoods Guidance Sheets. London (GB): DFID.
[Dishut] Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2013. Statistik
Kehutanan 2012. Tua Peijat (ID): Dishut Kabupaten Kepulauan Mentawai.
[Ditjen KSDAE] Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem. 2013. Rencana Pengelolaan Terpadu dan rencana Aksi Cagar
Biosfer Pulau Siberut Tahun 2013-2022. Jakarta (ID): Direktorat KKBHL
dan Komite Nasional MAB Indonesia.
Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford
(GB): Oxford University Pr.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Febrianto A, Fitriani E. 2012. Orang Mentawai: Peladang tradisional dan ekonomi
pasar. Humanus. 11(2):119-133.
Fisher RJ. 1999. Devolution and decentralization of forest Management in Asia
and the Pacifik. Unasylva. 50(4):3-5.
133

Fletcher A, Guthrie J, Steane P, Roos G, Pike S. 2003. Mapping stakeholder


perception for a third sector organization. Journal of Intellectual Capital
4(4):505-527.
Freeman RE, Reed DL. 1983. Stockholders dan stakeholders: A new perspective
on corporate governance. California Management Review. 25(3): 88-106.
Groenendijk L. 2003. Planning and Management Tools. Enschede (NL): The
International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation
(ITC).
de Groot RS, Wilson MA, Bournans RMJ. 2002. A typology for the classification,
description and valuation of ecosystem functions, goods and services. J
Ecological Economics. 4(1):393–408.
Hernawati TS. 2007. Uma: Fenomena Keterkaitan Manusia dengan Alam. Padang
(ID): Yayasan Citra Mandiri.
Hidayat A. 2007. Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Bahan perkuliahan Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): IPB.
Hidayat. 2011. Pengelolaan sumber daya alam berbasis kelembagaan lokal. J
Sejarah Citra Lekha. 15(1):19-32.
Ida R. 2003. Metode Analisis Isi Mengukur Obyektivitas Pers. Di dalam Bungin
(2003) Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah
Ragam Varian Kontemporer [editor]. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.
Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta (ID): DIA Fisip UI Pr.
Ismanto SD. 2010. Analisis kebijakan pengelolaan Cagar Biosfer Siberut
Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat [tesis]. Padang
(ID): Sekolah Pascasarjana Universitas Andalas.
Ishwaran N, Persic A, Tri NH. 2008. Concept and practice: the case of UNESCO
biosphere reserves. J Environment and Sustainable Development. 7:118-
131.
Iskandar J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus Daerah Baduy,
Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta (ID): Djambatan.
Kasper W. Streit ME. 1998. Institutional Economics, Social Order and Policy.
Cheltenham (UK) and Northampton (USA): Edward Elgar.
Kartasasmita G. 1997. Karakteristik dan Struktur Masy Indonesia Modern.
Yogyakarta (ID): [diunduh 2015 November 28]. Tersedia pada
http://perpustakaan.bappenas.go.id
Kartasasmita G. 2003. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep pembangunan yang
berakar pada masyarakat [internet). Jakarta (ID): [diunduh 2014 Oktober 4].
Tersedia pada http://www.ginandjar.com.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Kehutanan Indonesia. Jakarta (ID):
Pusat Humas Kemenhut, Forclime Programme.
Kosmaryandi N. 2012. Pengembangan Zonasi Taman Nasional: Sintesis
Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan
Masyarakat Adat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kosmaryandi N, Basuni S, Prasetyo LB, Adiwibowo S. 2012. New Idea for
National Park Zoning System: a Synthesis between Biodiversity
Conservation and Customary Community's Tradition. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika. 18(2):69-77.
134

Larson AM. 2013. Hak Tenurial dan Akses ke Hutan: Manual pelatihan untuk
penelitian. Bogor (ID): CIFOR.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Pedoman Pengelolaan Cagar
Biosfer di Indonesia. Soedjito H, editor. Jakarta (ID): Panitia Nasional MAB
Indonesia, LIPI.
Lynch O, Talbott K. 1995. Balancing acts: community-bases forest management
and antional law in Asia and the Pacific. Washington DC (US): World
Resources Institute.
Maguire B, Potss J, Fletcher S. 2012. The role of stakeholders in the marine
planning process-stakeholder analysis within the Solent, United Kingdom.
Marine Policy. 36:246 257.doi:10.1016/j.marpol.2011.05.012.
McCracken JR, Narayan D. 1998. Participation and Social Assessment: Tools and
Techniques. Washington DC (US): The International Bank for
Reconstruction and Development.
McKean MA. 2000. Common Property: What is it? What is it good for and what
makes it work?. Di dalam: Gibson CC, McKean MA, Ostrom E, editor.
People and Forests. London (GB): MIT Press.
Mehring M, Stoll-Kleemann S. 2008. Evaluation of major threats to forest
biosphere reserves: A Global view. GAIA 17/S1:125–133.
Meyers KJM, Pio D, Rachmania S, Hernandez A. 2006. 25 Years of Siberut
Biosphere Reserve: Saving Siberut and Its Unique Culture and Natural
Heritage. Jakarta (ID): UNESCO.
Meyers KJM. 2003. The Changing cultural and ecological rules of Siberut people
in the management and conservation of their natural resources [tesis].
Belgia (BE). Departement Antropology, Anterpen University.
Muliyawan MB, Basuni S, Kosmaryandi N. 2013. Kearifan Tradisional
Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Oleh Suku Kanume di
Taman Nasional Wasur. Media Konservasi. 18(3):142-151.
Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development.
World Bank Environmental Paper Number 2.
Munazar R. 2004. Cagar Biosfer Pulau Siberut. Panduan Cagar Biosfer di
Indonesia. Soedjito H, penyunting. Jakarta (ID): LIPI.
Naguran R. 2002. Property Rights and Protected Areas: The case of Ndumo
Game Reserve. South Africa (ZA):University of Durban-Westville.
Nopiansyah F. 2008. Analisis perubahan tutupan lahan di Pulau Siberut. Bulletin
Bilou. Padang (ID): BTNS.
Nopiansyah F, Basuni S, Purwanto Y, Kosmaryandi N. 2016. Forest resource
utilization by the Siberut community and its implications for the Siberut
Island Biosphere Reserve policy. Jurnal Manajemen Hutan Tropika.
22(2):94-104.
North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance.
Cambridge (US): Cambridge University Press.
Nurrochmat DR, Hasan MF, Suharjito D, Budiaman A, Hadianto A, Ekayani M,
Sudarmalik, Purwawangsa H, Mustaghfirin, Ryandi ED. 2010. Ekonomi
Politik Kehutanan: Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Hutan.
Nurrochmat DR, Hasan MF, editor. Jakarta (ID): INDEF.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
135

Ostrom E, Schlager E. 1996. The formation of property rights. Di dalam: Hanna


SS, Folke C, Maler KG, eds. Rights to Nature. Washington (US). Island
Press.
Ostrom E, Nagendra H. 2006. Insights on linking forests, trees, and people from
the air, on the ground, and in the laboratory. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America. 103: 19224–19231.
Pakpahan A. 1989. Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial: Perspektif
ekonomi institusi. Di dalam: Pasandaran E, Gunawan M, Pakpahan A,
Soetoro, Djauhari A, editor. Evolusi Kelembagaan Pedesaan: Di Tengah
Perkembangan Teknologi Pertanian. Prosiding Patanas; 1989; Bogor
Indonesia. Bogor (ID): Puslit Agro Ekonomi, Balitbang Pertanian,
Departemen Pertanian. hlm 1-18.
Perman R, Yue Ma, McGilvray J. 1996. Natural Resources dan Enviromental
Economics. Longman, Singapore.
Persoon GA. 2001. The management of wild and domesticated forest resources in
Siberut, West Sumatra. J Antropologi Indonesia. 64:69-83.
Persoon GA. 1992. From sago to rice: Changes in cultivation in Siberut,
Indonesia. Faculteit der Wiskunde en Natuurwetenschappen (NL):
Routledge.
Pezzy J. 1992. Sutainability: An Interdiciplinary Guide. Enviromental Values.
1(4):321-62.
Pokharel BK, Branney P, Nurse M, Malla YB. 2007. Community forestry:
conserving forests, sustaining livelihoods and strengthening democracy.
Journal of Forest and Livelihood. 6(2):8-18.
[PHPA] Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1995. Rencana Pengelolaan
Konservasi Alam Terpadu: Taman Nasional Siberut (1995-2020). Jakarta
(ID): PHPA Departemen Kehutanan.
[PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2013.
Rencana Pengelolaan Terpadu (Integreted Management Plan) Cagar Biosfer
Pulau Siberut Tahun 2013-2022. Jakarta (ID): PHKA dan Komite Nasional
MAB Indonesia.
Place F. 2009. Land tenure and agricultural productivity in Africa: comparative
analysis of the economics literature, recent policy strategies and reforms.
World Development. 37:1326–1336.
Purwanto Y, Laumonier Y, Malaka M. 2004. Antropologi dan Etnobotani
Masyarakat Yamdena di Kepuluan Tanimbar. Jakarta (ID): TLUP dan
Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Quinten MC, Nopiansyah F, Hodges JK. 2015. First etimates of primate density
and abundance in Siberut National Park, Mentawai Islands, Indonesia.
Oryx.1-4.doi:10.1017/S0 03060531001 185.
Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Huback K, Morris J, Prell CH, Quin
CH, Stringer LC. 2009. Who‟s in and why? A typology of stakeholder
analysis methods for natural resources management. J Enviromental
Management. 30:1-17.doi:10.1016/j.jenvman.2009.01.001.
Reeves G. 2004. “Historical Background: History and Prehistory of the Mentawai
Islands.” [Internet]. [diunduh 2004 Dec 14]. Tersedia pada: www.mentawai.org/
otda.htm.
136

Roslinda E, Darusman D, Suharjito D, Nurrochmat DR. 2012. Analisis pemangku


kepentingan dalam pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. JMHT. 18(2):78–85.
doi:10.7226/jtfm.18.2.78.
Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan
Kelestarian Sumberdaya. Jogjakarta (ID): Debut Press.
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara: Sebuah kajian filsafati. J
Filsafat. 37(2):111-120.
Schefold R. 1991. Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai, Jakarta (ID): Balai
Pustaka.
Schimd AA. 1987. Property, Power, and Public Choice. An Inquiry Into Law and
Economics. New York (US): Praeger Publisher.
Scott WR. 2008. Institutions and Organizations: Ideas and Interests. 3rd ed. Los
Angeles (US): Sage.
Sembiring E, Basuni S, Soekmadi R. 2010. Resolusi konflik pengelolaan Taman
Nasional Teluk Cenderawasih di Kabupaten Teluk Wondama. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika. 16(2):84 91.
Setyowati AB, Sriyanto A, Amsa AW, Santosa A, Aliadi A, Steni B, Wulandari
C, Indraswati E, Hanif F, Alexander H, et al. 2008. Konservasi Indonesia:
Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan. Santosa A, editor. Jakarta (ID):
Pokja Kebijakan Konservasi.
Sheng-Ji P. 2013. Ethnobotany and the sustainable use of biodiversity. Plant
Diversity and Resources. 35:401-406 .
Simanjuntak PT. 2012. Pergeseran Makanan Pokok Terhadap Perluasan Cetak
Sawah di Mentawai [internet]. Padang (ID): Puligoubat [diunduh 2014 Des 4].
Tersedia pada: http://www.academia.edu.
Sirait E. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Kemasyarakatan Melalui
Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan Lokal: Studi Kasus Pengelolaan
Sumber Daya Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soedjito H, Sukara E. 2006. Mengilmiahkan pengetahuan tradisional: Sumber
ilmu masa depan Indonesia. Di dalam: Soedjito H, editor. Kearifan
Tradisional dan Cagar Biosfer di Indonesia. Prosiding Piagam MAB 2005
untuk Peneliti Muda dan Praktisi Lingkungan di Indonesia. Jakarta (ID):
Komite Nasional MAB Indonesia. LIPI.
Soekmadi R. 2002. National Park Management in Indonesia: Focused on the
Issues of Decentralization and Local participation [Desertasi]. Gottingen
(DE): Gottingen Univ.
Suhartini. 2009. Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan
dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta;
2009 Mei 16; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): UNY. hlm B207-
B218.
Susanto H. 1994. Pembangunan Pulau Siberut: Catatan Alternatif Pengembangan.
J Masyarakat Indonesia. 20(4):71-92.
Susetyo ESH. 2014. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Sumber Daya Taman
Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
137

Tadjudin S. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor (ID): Pustaka Latin.


Tjitradjaja I. 2008. Manajemen Konflik dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Bersama. Disampaikan pada Perkuliahan Agency, Pengetahuan dan
Lingkungan Alam, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada; 14 2008
Maret 14. Yogyakarta (ID): Sekolah Pasca Sarjana UGM.
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
1996. Biosphere Reserve: The Seville Strategy and the Statutory Framework
of the Network. Paris (FR): UNESCO. Versi Bahasa Indonesia. 2003. Cagar
Biosfer: Strategi Seville dan Kerangka Hukum Jaringan Dunia. Jakarta (ID):
UNESCO.
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
2008. Madrid Action Plan. Madrid (ES): UNESCO.
Walujo EB, Supardijono. 1997. Ikatan antara masyarakat Siberut dengan sumber
daya alam hayati di sekitarnya. Di dalam: Pulau Siberut: Potensi, Kendala
dan Tantangan Pembangunan. Walujo EB, Susanto H, Adhikerana AS,
penyunting. Bogor (ID): Puslitbang Biologi-LIPI.
Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, Kartikasari A. 2002. Berkaca di Cermin Retak:
Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional.
Jakarta (ID): The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement.
[WCS] Wildlife Conservation Society. 2012. Final Report: Siberut National Park
Zonation. Jakarta (ID): WCS Indonesia dan UNESCO.
[WWF] World Wildlife Fund. 1980. Penyelamatan Siberut: Sebuah Rancangan
Induk Konservasi. Bogor (ID): WWF.
Yudilastiantoro C. 2003. Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan
Lindung di DAS Palu (Hulu). Sulawesi Tengah (ID). [Internet]. [diunduh
2016 Jul 26]. Tersedia pada: https://www.puspijak.org.
Zhang LL, Zhang Y, Wang L, Wang YH. 2013. An ethnobotanical study of
traditional edible plants used by Naxi people in Nortwest Yunnan, China.
Plant and Diversity Resources. 35(4):479-486.http://dx.doi.org/10.7677/
ynzwyj201313063.
138

Lampiran 1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut a

Kecamatan Desa Dusun


Siberut Selatan 1. Muara Siberut 1. Muara Siberut 3. Peigu
2. Puro I 4. Bat Sudut
2. Maileppet 1. Teitei Sinabak 4. Siri Tengah
2. Pasakiat 5. Bat Joja
3. Simaonai Baga
3. Muntei 1. Muntei 5. Peining Buttet
2. Puro II 6. Pariok
3. Salappak 7. Toktuk
4. Magosi 8. Bekkeiluk
4. Madobag 1. Madobag 7. Malabbaet
2. Ugai 8. Kululubuk
3. Rogdok 9. Masat
4. Maseppaket 10. Mangorut
5. Malelet 11. Bubuakat
6. Sereiming 12. Buttui
5. Matotonan 1. Kinigdog 4. Maruibaga
2. Ongah 5. Mabekbek
3. Matektek
Siberut Barat 1. Pasakiat 1. Kirip 8. Makukuet
Daya Taileleu 2. Bokboakenen 9. Majuruuju
3. Talomo 10. Mabuggei
4. Baddan 11. Panasalat
5. Pei Pei 12. Makoddiai
6. Bolotog 13. Simaruei
7. Maonai
2. Katurei 1. Tiop 3. Malilimok
2. Sarausau 4. Torolaggok
3. Sagullubek 1. Masi 5. Pusaregat
2. Siribakbak 6. Pupailiat
3. Tepuk 7. Mapinang
4. Kaleak 8. Lumago
Siberut Tengah 1. Saibi Samukop 2. Saibi Muara 10. Masokut
3. Pangasaat 11. Uselat
4. Sibuddak 12. Simabolak
Oinan 13. Sirua Monga
5. Masoggunei 14. Mauku
6. Simoilaklak 15. Kaleak Grisit
7. Sirisurak Buggei
8. Sua
9. Totoet
2. Saliguma 1. Matoimiang 7. Sita‟ Monga
2. Malibakbak 8. Magujug
3. Limu 9. Silabok Abak
4. Sikebbukat 10. Tinambu
5. Gulu Guluk 11. Bat Lappak
6. Gotab
139

Lampiran 1 Desa dan dusun per kecamatan di Cagar Biosfer Pulau Siberut a
(lanjutan)

Kecamatan Desa Dusun


3. Cimpungan 1. Puro 5. Masigem
2. Singaik 6. Simaingak Bebegen
3. Simaombuk 7. Puroddotan
4. Tinambu
Siberut 1. Muara 1. Muara 4. Pokai
Utara Sikabaluan 2. Nang-Nang 5. Puran
3. Bose
2. Sirilogui 1. Sirilogui Muara 3. Sirilogui Sitangaik
2. Tugu
3. Mongan Poula 1. Mongan Poula Barat 3. Mongan Poula
2. Mongan Poula Timur
Selatan
4. Bojakan 1. Bojakan 3. Lubaga
2. Baik
5. Sotboyak 1. Sotboyak 3. Simanene
2. Maseai
6. Malancan 1. Sinaki 6. Ukra
2. Kelak Bunda 7. Sirilanggai
3. Langgurek 8. Sibeotcun
4. Malancan 9. Tarekat Hulu
5. Bakla
Siberut 1. Simalegi 1. Bataet Utara 6. Tengah Barat
Barat 2. Bataet Selatan 7. Muara Selatan
3. Sute‟uleu 8. Tengah Timur
4. Sakaladhat 9. Saboilogkat
5. Muara Utara
2. Simatalu 1. Saikoat 8. Lalateng
2. Bojo 9. Kulumen
3. Limu 10. Masaba
4. Simalibbeg 11. Limau Timur
5. Muntei 12. Limau Barat
6. Suruan 13. Polauruan
7. Amek
3. Sigapokna 1. Tiniti 6. Labuan Bajau Utara
2. Pilionan 7. Labuan Bajau
3. Sikuran Selatan
4. Toktuk
5. Muara Sigep
a
BPS Kab. Kep. Mentawai (2015).
140

Lampiran 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan

Nama Lokasi
Kelompok Keterangan
Ilmiah Indonesia Lokal pemanenana
Penghasil Metroxylon sagu Sagu Sagu LS, Pm, Pl MP
karbohidrat Rottb.
Oryza sativa L. Padi Berak Ps Pengganti
MP
Colocasia esculenta Keladi Gette‟ LK, Pm, Pl Pengganti
(L.) Schott MP
Musa spp. Pisang Mago‟ HB, Pm, Pl Pengganti
MP
Ipomea spp. Ubi jalar Gobik Pm, Pl Pengganti
siputeteket MP, Ek
Manihot spp. Ubi kayu Gobik Pm, Pl Pengganti
sipukaju/ MP, Ek
Laikket
Penghasil Durio zibethinus L. Durian Doriat Pl
buah Durio carinatus Durian Toktuk Pl
Mast.
Durio malaccensis Durian Siposinoso Pl
Planch. ex Mast
Lansium Duku Tiat/ Pl, Pm, HB
domesticum Siamong
(Osbeck) K.C.
Sahni & Bennet
Aglaia aquaea Langsat Tiat Sibulu/ Pl, Pm, HB
(Jacq.) Kosterm. Siamong
Aglaia sp. Langsat Tiat Turu Pl, Pm, HB
Goukgouk
Aglaia sp. Langsat Tiat Setcet Pl, Pm, HB
Radermachera Langsat Tiat Elak Pl, Pm, HB
gigantea (Blume) Mata
Miq.
Nephelium sp. Rambutan Babaet Pl, Pm, HB
hutan
Nephelium Rambutan Bairabbit Pl, Pm Ek
lappaceum L. sareu
Psidium guajava L. Jambu biji Sabbui Pl, Pm, HB
Eugenia sp. Jambu air Karakau Pl, Pm, HB
Syzygium Jambu bol Ailuluppa' Pl, Pm, HB
malaccense (L.)
Merr. & L.M.Perry
Eugenia sp. Jambu air Karakau Pl, Pm, HB Ek
sasareu
Carica spp. Pepaya Sakkoile Pl, Pm
Flacourtia rukam - Pattara Pl, HB
Zoll. & Moritzi
Mangifera sp.1 Mangga Abangan Pl, Pm, HB
Mangifera sp.2 Mangga Bailoi Pl, Pm, HB
Syzygium sp. Mangga Sibeu/Sileu Pl, Pm, HB
Horsfieldia sp. Mangga Latco Pl, Pm, HB
Baccaurea sp. Kapundung Sileu Pl, Pm, HB
141

Lampiran 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan (lanjutan)

Nama Lokasi
Kelompok Keterangan
Ilmiah Indonesia Lokal pemanenana
Artocarpus elasticus Terap Baiko Pl, Pm, HB
Reinw. ex Blume
Artocarpus integer Nangka Peigu Pl, Pm Ek
(Thunb.) Merr. sareu
Artocarpus Cempedak Peigu Pl, Pm, HB
heterophyllus Lam.
Annona muricata L. Sirsak Doriat Pl, Pm Ek
sareu
Ananas comosus (L.) Nanas Asit Pl, Pm Ek
Merr.
Citrus sp.1 Jeruk Muttei Pl, Pm
Citrus sp.2 Jeruk Kairinggi Pl, Pm
Citrus sp.3 Jeruk nipis Rimau Pl, Pm Ek
Penghasil Dendrocalamus asper Bambu Emut Pl, Pm
sayur mayur (Schult.) Backer (rebung) metuk
Gnetum gnemon L. Melinjo Tojet Pl, Pm, HB
Diplazium asperum Pakis Phaku Pl, Pm
Blume.
Diplazium esculentum Pakis Phaku Pl, Pm
(Retz.) Sw.
Parkia speciosa Pete Petai Pl, Pm Ek
Hassk.
Pithecellobium jiringa Jengkol Jariang Pl, Pm Ek
(Jack) Merr.
Oncosperma Nibung Ariribuk Pl, Pm, HB
tigillarium (Jack) (umbut)
Ridl.
Saccharum Tebu Kole Pl, Pm
officinarum L.
Zea mays L. Jagung Jagung Pm Ek
Capsicum sp.1 Cabe merah Daro Pl, Pm Ek
simabo'o
Capsicum sp.2 Cabe rawit Daro Pl, Pm Ek
siboitok
Solanum Tomat Tomat Pm EK
lycopersicum L.
Solanum melongena Terong Taruang Pm Ek
L.
Solanum sp. Rimbang Rimbang Pl, Pm
Cucumis sp. Mentimun Pakku Pm Ek
Arachis hypogaea L. Kacang Pm Ek
tanah
142

Lampiran 2 Jenis tumbuhan dan satwa (liar dan budidaya) yang banyak
dikonsumsi masyarakat Siberut sebagai sumber pangan (lanjutan)

Nama Lokasi
Kelompok Keterangan
Ilmiah Indonesia Lokal pemanenana
Penghasil Sus scrofa Babi Sainak Pl, HB
protein Bos taurus Sapi Jawi Pl Ek
hewani Gallus gallus Ayam Gouk-gouk Pl, Pm Ek
domesticus
Capra aegagrus Kambing Pl EK
Macaca siberu Beruk Bokkoi HB
mentawai
Presbytis Lutung Joja HB
potenziani mentawai
Simias concolor Monyet ekor Simakobu HB
babi
Hylobates klossii Siamang Bilou HB
kerdil
Rusa unicolor Rusa Sileleuk-leuk/ HB
Sabeutubu
Manis javanica Treggiling HB
- Udang Silolo‟oinan SR
Rhynchoporus Lava Tamra LS, Pm, Pl
ferrugineus kumbang
sagu
- Lava Tutube HB
kumbang
keruing
- Tupai Sosak Pl, HB 3 jenis
Varanus salvator Biawak Batek Pl, HB
- Katak Teilek SR, Pl, Ps 3 jenis
- Burung Pl, HB 10 jenis
Kura-kura Lokipat HB, Pl, SR
- Ikan Iba SR, PN 29 jenis
Angguila Belut/Moa Lojo SR
bicolour
a
LS: ladang sagu, LK: ladang keladi, Pl: perladangan (tinungglu dan pumonean), SR: sungai dan
rawa, PN: pantai dan pulau-pulau kecil, HB: hutan dan bukit, Pm: permukiman, Ps: persawahan,
MP: makanan pokok, Ek: eksotik.
143

Lampiran 3 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di daerah


Saibi Samukop

Nama lokal Nama ilmiah Jumlah Pemanfaatana


Gette' Colocasia esculenta 20 Pg
Mago' Musa ssp. 5 Pg
Asit Ananas comosus 5 Pg, Ok
Bebeget/manau Calamus manan 5 Pa, Ju
Coklat Theobroma cacao 4 Pg, Ju
Puring Codiaeum variegatum 3 Ok, So
Pinang Arenga pinanga 3 Ju
Cengkih Eugenia aromatica 2 Ju, Kb
Bobloh Cordyline sp. 2 To, So
Sakkoile Carica pepaya 2 Pg, To
Toitet Cocos nucifera 2 Pg, To, Ju
Obbuk Schizostahyum sp. 2 Pa
Daro Siboitok Capsicum sp. 2 Pg, Ra
Gobik Sipugurui Ipomea batatas 1 Pg
Gobik Sipukaju Manihot esculenta 1 Pg
Katuko Shorea sp. 1 Pa, Kb
Doriat Durio zibethinus 1 Pg, Pa
Peigu Arthocarpus heterophylus 1 Pg, Pa
Tiat Sibulu Aglaia aquaea 1 Pg
Doriat Belanda Annona muricata 1 Pg
Tojet Gnetum gnemon 1 Pg, Kb
Mutei Citrus sp. 1 Pg, To
Baiko Artocarpus elasticus 1 Pg, Sd, So, Kb
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan
sosial, Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
144

Lampiran 4 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di daerah


Matotonan

Nama lokal Nama ilmiah Jumlah Pemanfaatana


Gette' Colocasia esculenta 25 Pg
Coklat Theobroma cacao 10 Pg, Ju
Pinang Arenga pinanga 5 Ju
Asit Ananas comosus 5 Pg, Ok
Mago' Musa ssp. 4 Pg
Bebeget/manau Calamus manan 2 Pa, Ju
Sakkoile Carica pepaya 2 Pg, To
Toitet Cocos nucifera 2 Pg, To, Ju
Daro Siboitok Capsicum sp. 2 Pg, Ra
Puring Codiaeum variegatum 2 Ok, So
Obbuk Schizostahyum sp. 1 Pa
Gobik Sipugurui Ipomea batatas 1 Pg
Doriat Durio zibethinus 1 Pg, Pa
Peigu Arthocarpus heterophylus 1 Pg, Pa
Tiat Sibulu Aglaia aquaea 1 Pg
Baiko Artocarpus elasticus 1 Pg, Sd, So, Kb
Sabbui Psidium guajava 1 Pg, So, Kb
Kulit manis Cinnamomum burmanii 1 Ju, To, Kb
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan
sosial, Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
145

Lampiran 5 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di ladang di daerah


Sagulubbek

Nama lokal Nama ilmiah Jumlah Pemanfaatana


Mago' Musa ssp. 7 Pg
Toitet Cocos nucifera 6 Pg, To, Ju
Gette' Colocasia esculenta 5 Pg
Coklat Theobroma cacao 5 Pg, Ju
Puring Codiaeum variegatum 3 Ok, So
Pinang Arenga pinanga 2 Ju
Bobloh Cordyline sp. 2 To, So
Sakkoile Carica pepaya 2 Pg, To
Obbuk Schizostahyum sp. 2 Pa
Koka Dipterocarpus sp. 1 Pa
Doriat Durio zibethinus 2 Pg, Pa
Peigu Arthocarpus heterophylus 1 Pg, Pa
Tiat Aglaia aquaea 1 Pg
Mutei Citrus sp. 1 Pg, To
Baiko Artocarpus elasticus 1 Pg, Sd, So, Kb
Babaet/Bairabbit Nephelium ssp. 1 Pg
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan
sosial, Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
146

Lampiran 6 Jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan di lokasi penelitian

Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana


Alibakbak Endospermum malaccense Benth. Pa
Atipet - Pa
Bahlo Drypetes sp. Pa
Beliu Aporosa sp. Pa
Boklo Shorea sp. Pa
Buk-buk Swintonia sp. No
Buluk Surak Eugenia longiflora (C.Presl) Fern. No
Buluk Surak Elaeocarpus obtusus Blume Pa
Darubei - Pa
Deret mainong Syzygium sp. Kb
Gegebak - Pa
Kalumanang Knema sp. Kb
Kapot Leituak Vitex sp. Kb
Kara-kara Dipterocarpus sp. Kb, So
Karai Shorea sp. Pa, So
Katuka Parashorea plicata Brandis Pa
Katuka Shorea pauciflora King Pa
Katu Kecat Eugenia papilosa Duthie Pa
Kekeinek Lithocarpus hystrix (Korth.) Rehder No
Koka Dipterocarpus sp. Pa, Kb
Kurau - Pa
Lacco Polyalthia sp. No
Lakut Masabi Carallia sp. Pa, Kb
Logau saba Canarium rufum A.W.Benn. Kb
Macemi Hopea sp. Pa
Manegat Shorea sp. Pa
Ngalo patadekat Knema laurina Warb. Kb
Onga Knema hookeriana Warb. Kb
Palak Bangi - Pa, Kb
Papat Garcinia sp. Pa
Parabatti Shorea sp. Pa
Peileggut Dillenia indica L. Pa
Poilak bangi Pometia pinnata J.R. & G. Forst Kb
Popok pok Baccaurea brevipes Hook.f. No
Ribbu Eugenia cymosa Lam. Pa
Ribbu Eugenia leneata (Sw.) DC. Pa, Kb
Roat Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb. No
Sibelacit - No
Sikokkok - Kb
Sipeuk peuk Eugenia claviflora Roxb. Kb
Sipulaiket Rhodamnia cinerea Jack No
Siputuddukat - Pa
Sitairak Quercus argentea Morogues Pa
Soi-soi - No No
Surugi Litsea sp. Pa
Suksuk teilek - No
Sususrut Bobro Goniothalamus sp. Pa
147

Lampiran 6 Jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan di lokasi penelitian (lanjutan)

Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana


Taima titi Elateriospermum tapos Blume No
Tapeiki Artocarpus lanceifolius Roxb. Pa, Sd
Tebengen - No
Tegeiluk Anitu - Ok
Temei - Kb
Toilat/Beliu Drypetes polyneura Airy Shaw Pa
Toktuk Geta Durio graveolens Becc. Pa, OK, Kb
Tupe lekak - No
Uru kulit Chrysophyllum roxburghii G.Don Kb
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan
kegiatan sosial, Kb: kayu bakar, No: tidak dimanfaatkan.

Lampiran 7 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan sekitar
Desa Saibi Samukop

KR FR DR NP
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana
(%) (%) (%) (%)
Koka Dipterocarpus sp. 14.706 10.345 30.930 55.981 Pa, Kb
Boklo Shorea sp. 11.765 13.793 23.472 49.030 Pa
Tapeiki Artocarpus lanceifolius 8.824 10.345 16.897 36.065 Pa, Sd
Kapot Leituak Vitex sp. 8.824 10.345 2.718 21.886 Kb
Buluk Surak Elaeocarpus obtusus 8.824 6.897 3.114 18.834 Pa
Katu Kecat Eugenia papilosa 5.882 6.897 1.869 14.648 Pa
Lakut Masabi Carallia sp. 5.882 3.448 3.764 13.095 Pa, Kb
Ribbu Eugenia leneata 5.882 3.448 1.993 11.323 Pa, Kb
Alibakbak Endospermum malacense 2.941 3.448 3.834 10.223 Pa
Parabatti Shorea sp. 2.941 3.448 3.256 9.645 Pa
Palak Bangi - 2.941 3.448 1.416 7.806 Pa, Kb
Katuka Shorea pauciflora 2.941 3.448 1.327 7.716 Pa
Tegeiluk - 2.941 3.448 1.240 7.629 Ok
Anitu
Manegat Shorea sp. 2.941 3.448 1.156 7.545 Pa
Peileggut Dillenia indica 2.941 3.448 0.996 7.386 Pa
Beliu Drypetes polyneura 2.941 3.448 0.780 7.169 Pa
Karai Shorea elongatus 2.941 3.448 0.650 7.039 Pa
Surugi Litsea sp. 2.941 3.448 0.590 6.979 Pa
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
148

Lampiran 8 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan sekitar
Desa Matotonan

KR FR DR NP
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana
(%) (%) (%) (%)
Sikokkok - 4.167 4.545 24.493 33.206 Kb
Papat Garcinia sp. 12.500 9.091 8.400 29.991 Pa
Darubei - 8.333 9.091 3.223 20.648 Pa
Sitairak Quercus argentea 4.167 4.545 9.825 18.537 Pa
Kurau - 8.333 4.545 4.321 17.200 Pa
Toilat Drypetes polyneura 4.167 4.545 7.560 16.272 Pa
Siputuddukat - 4.167 4.545 7.560 16.272 Pa
Sususrut Bobro Goniothalamus sp. 4.167 4.545 4.838 13.550 Pa
Sipulaiket Rhodamnia cinerea 4.167 4.545 4.838 13.550 -
Temei - 4.167 4.545 4.838 13.550 Kb
Toktuk Geta Durio graveolens 4.167 4.545 3.704 12.416 Pa, OK, Kb
Soi-soi - 4.167 4.545 2.721 11.434 -
Buluk Surak Eugenia longiflora 4.167 4.545 2.371 11.083 -
Kekeinek Lithocarpus histrix 4.167 4.545 2.044 10.756 -
Kara-kara Dipterocarpus sp. 4.167 4.545 1.890 10.602 Kb
Gegebak - 4.167 4.545 1.890 10.602 Pa
Ribbu Eugenia leneata 4.167 4.545 1.600 10.312 Pa, Kb
Suksuk teilek - 4.167 4.545 1.464 10.176 -
Atipet - 4.167 4.545 1.210 9.922 Pa
Mataret Mallotus leucodermis 4.167 4.545 1.210 9.922 -
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
149

Lampiran 9 Indeks nilai penting (INP) tumbuhan tingkat pohon di hutan sekitar
Desa Sagulubbek

KR FR DR NP
Nama lokal Nama ilmiah Pemanfaatana
(%) (%) (%) (%)
Ribbu Eugenia cymosa 18.182 12.500 11.124 41.806 Pa
Ngalo patadekat Knema laurina 6.818 7.500 8.838 23.156 Kb
Uru kulit Chrysophyllum roxburghii 6.818 7.500 6.727 21.045 Kb
Beliu Aporosa sp. 6.818 7.500 6.678 21.034 Pa
Logau saba Cannarium rufum 6.818 7.500 6.438 20.756 Kb
Macemi Hopea sp. 4.545 5.000 7.251 16.797 Pa
Popok pok Baccaurea brevipes 4.545 5.000 6.617 16.162 -
Buk-buk Swintonia sp. 4.545 5.000 4.314 13.859 -
Sipeuk peuk Eugenia claviflora 4.545 5.000 4.193 13.738 Kb
Kalumanang Knema sp. 4.545 2.500 4.457 11.502 Kb
Toktuk geta Durio graveolens 2.273 2.500 6.039 10.811 Pa, OK, Kb
Katuka Parashorea plicata 2.273 2.500 5.655 10.428 Pa
Reggeu Horsfieldia sp. 2.273 2.500 3.041 7.814 -
Tebengen - 2.273 2.500 2.771 7.544 -
Sibelacit - 2.273 2.500 2.268 7.041 -
Tupe lekak - 2.273 2.500 2.151 6.923 -
Tapeiki Artocarpus sp. 2.273 2.500 2.036 6.809 Pa, Sd
Bahlo Drypetes sp. 2.273 2.500 2.036 6.809 Pa
Taima titi Elateriospermum tapos 2.273 2.500 1.609 6.381 -
Roat Horsfieldia irya 2.273 2.500 1.609 6.381 -
Deret mainong Syzygium sp. 2.273 2.500 1.232 6.004 Kb
Onga Knema hookeriana 2.273 2.500 1.145 5.918 Kb
Lacco Polyalthia sp. 2.273 2.500 0.905 5.678 -
Poilak bangi Pometia pinnata 2.273 2.500 0.831 5.604 Kb
a
Pg: pangan, Pa: papan, Sd: sandang, Ok: obat dan komestika, So: bahan alat dan kegiatan sosial,
Kb: kayu bakar, Ju: dijual, Ra: bahan racun.
150

Lampiran 10 Nilai kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan


sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut

Kepentingan Pengaruh
a Instrumen dan sumber
Stakeholders Fungsi ekosistem
kekuatana
a b c d e Jumlah f g h i j Jumlah
Masy. Siberut 5 5 5 4 4 23 5 1 2 2 1 11
BTNS 5 5 3 5 5 23 3 3 3 3 4 16
BKSDA 5 5 3 5 5 23 2 2 1 1 3 9
Dishut Kab 3 3 5 3 3 17 3 3 3 3 3 15
Bappeda Kab 2 2 3 2 3 12 2 3 3 2 3 13
Disparbud Kab 2 2 2 2 4 12 2 2 2 2 2 10
Distan Kab 2 2 3 2 3 12 2 2,5 2 2 2 10,5
YCM 2 2 2 2 2 10 3 2 5 3 5 18
WALHI 3 3 3 3 3 15 2 2 3 2 3 12
Yay. Kirekat 2 2 2 3 2 11 2 2 2 2 2 10
IPMEN 2 2 2 3 2 11 2 2 2 2 3 11
BPN 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 3 7
FFI Indonesia 3 3 2 3 3 14 2 3 2,5 2 2,5 12
Komite Nasional
MAB-Indonesia 3 3 3 3 3 15 2 2,5 2,5 2 2,5 11,5
UNAND 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 3 11
IPB 2 2 2 2 2 10 1 1 1 1 1 5
UMSB 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 2,5 10,5
Balitbang 2 2 2 2 2 10 2 2 2 2 2 10
PT. SSS 2 2 5 2 2 13 2 4 2 2 2 12
a
Kepentingan dan pengaruh stakeholder a: pengaturan, b: habitat, c: produksi, d: informasi, e:
carrier, f: condign power, g: compensatory power, h: conditioning power, i: personality power dan
property power, j: organisation power.
151

Lampiran 11 Bentuk organisasi pengelolaan beberapa Cagar Biosfer di Indonesia

Bentuk organisasi Legalitas Ketua/Wakil


Badan Koordinasi Keputusan Gubernur Riau No. Gubernur Riau
Pengelolaan Cagar Kpts. 920/V/2010.
Biosfer (CB) Giam
Siak Kecil-Bukit
Batu
Forum Koordinasi Keputusan Gubernur Jawa Kepala Badan Koordinasi
dan Komunikasi Barat No. 522.51/Kep.157- Pembangunan dan Pemerintahan
Pengelolaan CB BKPPW I/2010 BKPP Wilayah I Bogor dan
Cibodas Kepala Balai Besar Taman
Nasional (TN) Gunung Gede
Pangrango
Forum Koordinasi Keputusan Bupati Manggarai Ketua Bapppeda Kabupaten
dan Komunikasi Barat No. 61/KEP/HK/2014. Manggarai Barat dan Kepala
Pengelolaan CB Balai TN Komodo
Komodo
Forum Koordinasi Keputusan Gubernur Ketua Bappeda Provinsi
dan Komunikasi Kalimantan Tengah No. Kalimantan Tengah, Ketua
Pengelolaan CB 188.44/100/2013 Bappeda Kabupaten Seruyan
Tanjung Puting dan Ketua Bappeda Kabupaten
Kota Waringin Barat dan Kepala
Balai TN Tanjung Putting
Forum Koordinasi Keputusan Gubernur Sulawesi Ketua Bappeda Provinsi
Pengelolaan CB Tengah No. Sulawesi Tengah dan Kepala
Lore Lindu 522.51/213/TNLL-GST/2011 Balai Besar TN Lore Lindu
Forum Koordinasi Keputusan Bupati Wakatobi Bupati Wakatobi, Dewan Adat
dan Komunikasi No. 485 Tahun 2013 Kabupaten Wakatobi dan
Pengelolaan CB Kepala Balai TN Wakatobi
Wakatobi
Forum Koordinasi Keputusan Gubernur Jawa Kepala Dinas Kehutanan
dan Komunikasi Timur No. Provinsi Jawa Timur dan Kepala
Pengelolaan CB 188/243/KPTS/013/2015 Balai Besar TN Bromo Tengger
Bromo Tengger Semeru
Semeru-Arjuno
Forum Koordinasi Keputusan Bupati Kepulauan Ketua Bappeda Kabupaten
dan Komunikasi Selayar No. 02/I/Tahun 2015 Kepulauan Selayar dan Kepala
Pengelolaan CB Balai TN Taka Bonerate
Taka Bonerate-
Kepulauan Selayar
Forum Koordinasi Keputusan Gubernur Jawa Kepala Dinas Kehutanan
dan Komunikasi Timur No. Provinsi Jawa Timur dan Kepala
Pengelolaan Terpadu 188/313/KPTS/013/2016 Balai Besar BKSDA Jawa
CB Blambangan Timur
152

Lampiran 12 Hutan adat yang berikan pemerintah pada Acara Pencanangan


Pengakuan Hukum Adat Tahun 2016

Luas
Hutan Adat Lokasi Kabupaten Provinsi
(ha)
Ammatoa Desa Tanah Towa, Desa Bulukumba Sulawesi 313.99
Kajang Pattiroang, Desa Malleleng Selatan
dan Desa Bonto Baji
Marga Serampas Desa Rantau Kermas Merangin Jambi 130
Wana Posangke Desa Taronggo, Morowali Sulawesi 6.212
Utara Tengah
Kasepuhan Desa Jagaraksa Lebak Banten 486
Karang
Bukit Desa Air Terjun Kerinci Jambi 39.04
Sembahyang dan
Padun
Gelanggang
Bukit Tinggai Desa Sungai Deras Kerinci Jambi 41.27
Tigo Luhah Desa Pungut Mudik Kerinci Jambi 276
Permenti Yang
Berenam
Tigo Luhah Desa Kemantan Kabalai, Desa Kerinci Jambi 452
Kemantan Kemantan Tinggi, Desa
Kemantan Darat, Desa
Kemantan Mudik, Desa
Kemantan Raya, Desa
Kemantan Agung,
Tombak Desa Padumaan Sipituhuta Humbang Sumatera 5,172
Haminjon Hasundutan Utara
(Kemenyan)
153

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja (Sumatera Selatan) pada tanggal 24


November 1977 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Muhammad Ayib Kenawas
(Almarhum) dan Hj. Siti Rohma. Penulis menikah dengan Saridayani, S,Hut pada
tahun 2004 dan dikaruniai dua orang buah hati, Muhammad Gilbran Firdiansyah
dan Lintang Madiniansyah.
Penulis menempuh pendidikan formal di SDN 151 Palembang lulus tahun
1989, kemudian di SMPN 22 Palembang lulus tahun 1992 dan Sekolah Kehutanan
Menengah Atas (SKMA) Pekanbaru lulus tahun 1995. Sambil bekerja pada tahun
1998 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2006,
penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
(IPK) kelas khusus Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Sekolah
Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui beasiswa Kementerian
Kehutanan dan memperoleh gelar Magister Profesional pada tahun 2007.
Kesempatan melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Konservasi
Biodiversitas Tropika (KVT) SPs IPB diperoleh pada tahun 2011, melalui
beasiswa dari Kementerian Kehutanan.
Penulis bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara sejak tahun 1996 pada
Kementerian Kehutanan di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi
Sumatera Barat. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, penulis bertugas di Balai
Taman Nasional Siberut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jabatan
terakhir penulis sebagai Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I
pada Balai Taman Nasional Siberut.
Artikel berjudul Forest Resources Utilization by the Siberut Community and
its Implications for the Siberut Island Biosphere Reserve Policy telah diterbitkan
pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) Volume 22(2): 94-104. DOI:
10.7226/jtfm.22.2.94. Artikel berjudul Livelihood Assets of the Mentawai Tribe in
Siberut Island Biosphere Reserve telah diterbitkan pada International Journal of
Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR) Volume 30(1): 223-236. Karya-
karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.

Anda mungkin juga menyukai