Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN ANTARA PEKERJAAN DAN KONDISI SOSIAL BUDAYA BERBASIS

KEARIFAN LOKAL PADA KETERSEDIAAN PANGAN MASYARAKAT DI PROVINSI


BANTEN

The Relation Between Employment and Socio-Cultural Based on Local Wisdom of Food
Security in Banten

Adzraalifah Alfianisya, Asadila, Imroati Lathifa, Nurul Azmina, Putri Handayani, Restu Athifah
Rahmah, Salma Junifa, Septionita Suryaningsih, Rida Oktorida Khastini
Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
(Email dan Nomor HP Korespondensi: 2224190041@untirta.ac.id 089526814376)

ABSTRAK
Pekerjaan seseorang kerap berhubungan dengan kondisi sosial budaya yang berlaku di setiap
wilayah karena adanya pengaruh kearifan lokal. Dapat dikatakan demikian karena kearifan lokal
merupakan bagian dari budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Keduanya dapat menjadi salah satu
upaya untuk meningkatkan kualitas pangan apabila seluruh anggota masyarakat bersinergi dalam
memanfaatkan potensi kearifan lokal. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara pekerjaan dengan kondisi sosial budaya berbasis kearifan lokal pada ketersediaan pangan
masyarakat di Provinsi Banten. Peneliti menggunakan metode studi literature review sehingga data-data
yang digunakan berasal dari jurnal-jurnal yang berkaitan karena peneliti tidak melakukan observasi atau
wawancara secara langsung pada pihak-pihak terkait. Di samping itu, peneliti menggunakan salah satu
jurnal dari Jurnal Manusia dan Kesehatan sebagai acuan dalam mengkaji subjek ini. Hasil yang didapat
menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Banten memilih pekerjaan informal daripada pekerjaan formal.
Maksudnya adalah para pekerja cenderung memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh wilayahnya. Apabila
praktik ini terus dilakukan, Provinsi Banten memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan
ketersediaan pangan. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dan kondisi sosial budaya
yang berbasis kearifan lokal berpotensi meningkatkan ketersediaan pangan di Provinsi Banten.

Kata kunci: Pekerjaan, Sosial budaya, Kearifan lokal, Ketersediaan pangan, Banten

ABSTRACT
People’s employment was often connected with socio-cultural conditions that applicable in the
region because of the influence of local wisdom. In a sense, that was because local wisdom was part of a
culture that passed down from one generation to the next generation. Both of them could be an effort to
improve food quality when all society members are collaborate synergistically in tapping into the local
wisdom’s potential. For that reason, this research aimed to know the relation between employment and
socio-cultural based on local wisdom of society’s food security in Banten because researchers used
literature review methods so that all the data that used came from the related journals. In other words,
researchers did not observe or interview to those involved directly. Researchers used on of the journals
from Jurnal Manusia dan Kesehatan as a reference to the subject. The result indicated that the majority of
Banten population chose informal employment over formal employment. It means the workers tend to tap
the region’s potential. As this practice continued, Banten would have a great opportunity to improve food
security. Based on the findings, it could be conclude that employment and socio-cultural conditions based
on local wisdom had the potential to increase food insecurity in Banten.

Keywords: Employment, Socio-cultural, Local wisdom, Food security, Banten

PENDAHULUAN
Organisasi pangan PBB mengatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu kondisi dimana
setiap orang memiliki akses fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi dirinya dan seluruh
anggota keluarga. Selain PBB, berbagai lembaga internasional membahas secara mendalam upaya
perwujudan ketahanan pangan, seperti Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi
Pertanian dan Pangan Dunia, Asia and the Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Kerja Sama
Ekonomi Asia dan Pasifik, dan Asociation of Southeast Asia Nations (ASEAN) atau Perkumpulan
Negara-negara Asia Tenggara. Berbagai negara juga berinisiatif untuk mendiskusikan isu ketahanan
pangan global, seperti pemerintah Jerman yang menyelenggarakan Konferensi Bonn 2011 (Federal
Ministry for Economic and Development, Jermany, 2011) dan akademisi Singapura yang mengadakan
Konferensi Internasional Ketahanan Pangan di Asia (RSIS Nanyang Technological University, 2014).
Pada berbagai pertemuan tersebut, topik tertentu tentang ketahanan pangan dibahas mendalam, diambil
kesepakatan, dan dikeluarkan pernyataan yang menunjukkan pemahaman atas permasalahan dan
rekomendasi rancangan penanganannya1.
Ketahanan pangan tentu tidak terlepas dari aspek ekonomi, teknologi, politik, sosial dan budaya.
Dalam produksinya pangan harus mampu mejangkau semua tingkat individu dalam masyarakat sampai
tingkat rumah tangga. Berbicara mengenai ketahanan pangan tentu berkaitan dengan pangan. Pangan
sendiri merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pangan juga dapat menjadi penentu dalam eksistensi manusia. Menurut UU pangan (1996)
ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan rumah tangga yang aman, bermutu,
bergizi, beragam, dan dengan harga yang terjangkau. Penjelasan tersebut membuat kondisi pangan lebih
berpacu kepada komitmen pemerintah daripada penduduk 2 Dengan kata lain, pemerintah bertanggung
jawab dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, melalui Kementerian Pertanian,
pemerintah mengumumkan empat target sukses yang mencakup swasembada dan swasembada
berkelanjutan untuk padi, jagung, diversifikasi pangan, dan swasembada daging sapi atau kerbau.
Kerangka kebijakan sosio-budaya (atau kelembagaan masyarakat) pertanian seyogyanya tetap
mengacu pada panduan ideal masyarakat Indonesia, yaitu ke arah terwujudnya masyarakat yang adil dan
mak-mur sesuai amanat UUD 1945. Oleh sebab itu, kebijakan sosio-budaya (pembangunan perta-nian
2025) bisa dipandang sebagai perpaduan antara pandangan visioner ke depan dan hasil kajian empirik (di
lapangan). Visi ke depan haruslah didasarkan atas pemikiran untuk mewujudkan sektor pertanian (di
pedesaan) yang lebih baik dibanding sebelumnya. Visi yang dimaksud dapat dinyatakan sebagai: “sektor
(atau masyarakat) pertanian yang ber-daya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan” 3.
Kebijakan sosio-budaya (social capital lingkungan sosial memberikan gambaran jelas tentang
perbedaan pola makan. Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai
kebiasaan yang dianut.. Kebutuhan makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, di
samping itu ada kebutuhan fisiologis, seperti pemenuhan gizi ikut mempengaruhi. Setiap strata atau
kelompok sosial masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam memperoleh, menggunakan, dan menilai
makanan yang merupakan ciri dari strata atau kelompok sosial masing-masing2. Hal ini menyebabkan
semakin beragam konsumsi jenis makanan pokok3.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku dan pulau. Oleh karena itu, Indonesia memiliki
keberagaman sosial budaya yang dapat dijadikan upaya dalam meningkatkan ketahanan pangan. Dari sisi
konsumsi, Indonesia memiliki berbagai jenis makanan pokok, seperti beras sebagai makanan pokok bagi
mayoritas daerah di Indonesia, sagu sebagai makanan pokok penduduk Ambon, jagung sebagai mkanan
pokok penduduk NTT, dan singkong sebagai makanan pokok penduduk Jawa. Dari sisi penyediaan bahan
pangan, masyarakat desa dapat memeroleh kebutuhan pangan, seperti beras, sayuran, umbi-umbian, dan
lainnya dengan cara menanam dan memanen bahan pangan tersebut di sawah atau ladang. Hal ini
menjadikan pola produksi dan konsumsi pada komunitas lokal memiliki daya tahan yang tinggi. Potensi
sosial budaya tersebut meurupakan faktor yang dapat mendukung ketahanan pangan. Secara umum,
masyarakat yang memiliki pekerjaan secara tidak langsung memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan pangannya pula. Berdasarkan hal tersebut, terdapat hubungan pekerjaan dalam keluarga
maupun masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mengangkat potensi daerah adalah memanfaatkan kearifan lokal yang ada. Contohnya adalah petani
yang akan mendistribusikan hasil panennya.
Provinsi Banten merupakan salah satu dalam sebelas provinsi sentra produksi padi yang menjadi
andalan nasional dalam penyediaan beras. Selain sentra produksi padi, provinsi Banten juga merupakan
salah satu harapan dalam penyediaan daging terutama daging kerbau. Namun, pembangunan ketahanan
pangan dan pertanian di Provinsi Banten juga dihadapkan dengan berbagai kendala seperti perubahan
iklim, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, dan lemahnya kapasitas petani da penyuluh. Provinsi
Banten dikenal sebagai salah satu penghasil beras nasional dengan total luas areal sawah sebesar 204.539
hektar yang terdiri dari 106.403 hektar lahan sawah irigasi dan 98.136 hektar lahan sawah non irigasi.
Angka produksi beras Provinsi Banten pada tahun 2016 mencapai 2,3 juta ton. 4

BAHAN DAN METODE


Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metodi studi literature review karena data
serta sumber yang digunakan oleh peneliti dalam mengkaji hubungan antara pekerjaan dengan kondisi
sosial budaya berbasis kearifan lokal pada ketersediaan pangan di Provinsi Banten berasal dari jurnal-
jurnal yang berkaitan. Dengan kata lain, peneliti tidak melakukan observasi atau wawancara langsung
kepada pihak-pihak terkait. Peneliti menggunakan Jurnal Manusia dan Kesehatan dengan judul Hubungan
Pekerjaan dan Kondisi Sosial Budaya dengan Status Gizi Masyarakat di Desa Lawallu Kecamatan
Soppeng Riaja Kabupaten Baru. Selain itu, penelitian ini dilaksanakan mulai dari hari Selasa, 4 Mei 2021
sampai dengan Jumat, 21 Mei 2021 melalui diskusi secara daring dari tempat tinggal masing-masing.

HASIL
Berdasarkan data dari Badan pusat Statistika Provinsi Banten mengenai keadaan ketenagakerjaan
di Banten, jumlah penduduk yang bekerja adalah 5,62 juta orang, berkurang 54.606 orang dari Februari
2019. Meskipun demikian, terdapat lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase pekerja
terutama pada jasa lainnya (1,14% poin), industri pengolahan (0,99% poin), dan jasa perusahaan (0,39%
poin). Di samping itu, lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan mencakup perdagangan (1,78%
poin), informasi dan komunikasi (0,38% poin) serta administrasi pemerintahan (0,36% poin). Data yang
sama juga menyebutkan bahwa sebanyak 2,42 juta orang (43,04%) bekerja di kegiatan informal, seperti
wirausaha, petani, nelayan dan lainnya. Selama setahun terakhir (Februari 2019 sampai Februari 2020),
jumlah pekerja informal turun sebesar 1,80% poin karena sebesar 79,84% penduduk Banten merupakan
pekerja penuh (jam kerja minimal 35 jam per minggu). Di sisi lain, persentase penduduk yang bekerja
dengan jam kerja 1 sampai dengan 7 jam berjumlah 1,55%. Pekerja dengan jam kerja yang demikian
dibagi menjadi dua, yaitu pekerja paruh waktu (14,14%) dan pekerja setengah penganggur (6,03%).
Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Melmi Yudianti et al, (2016) dalam mengkaji
Kearifan Lokal Masyarakat pada Pemanfaatan Pohon Enau di Desa Siberakun Kecamatan Benai
Kabupaten Kuantan Singingi menyebutkan bahwa masyarakat yang berkebun juga memanfaatkan kearifan
lokal sebagai sumber penghasilan mereka. Selanjutnya, Robert Nentman dalam penelitan yang dilakukan
oleh Nesya dan Fredi susanto (2020) menjelaskan bahwa program Inside Indonesia membingkai kearifan
lokal desa Ciptagelar secara lebih luas mengenai tiga tema sejarah kasepuhan, pesta padi di Ciptagelar,
sedangkan program Ragam Indonesia membingkai kearifan lokal desa Ciptagelar dengan hanya
menampilkan rangkaian bagian kegiatan tentang pesta padi di desa Ciptagelar. Kegiatan pesta padi yang
dilakukan oleh warga di desa Ciptagelar terutama oleh petani merupakan bentuk pemanfaatan kearifan
lokal yang medukung ketahanan pangan daerah Banten sesuai dengan sosial budaya masyarakatnya.
Menurut Ibu Eli Juartini, Plt. Kabid Konsumsi dan Kemanan Pangan Provinsi Banten dalam Gerakan
Sadar Pangan Aman 2021, pemantapan ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam agenda
pembangunan nasional karena (1) akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup merupakan hak yang
paling asasi bagi manusia, (2) kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi merupakan unsur penentu yang
penting bagi pembenukan sumber daya manusia yang berkualitas, dan (3) ketahanan pangan merupakan
salah satu pilar utama yang menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Untuk memenuhi hal tersebut, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu,
bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta diutamakan berasal
dari pangan lokal.
Kemudian, Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Banten menjelaskan UU No. 18 Tahun 2012
tentang Pangan bahwa pemerintah dan pemda berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi
pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif dan produktif serta
penganekaragaman konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan
membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA) serta sesuai
dengan potensi dan kearifan lokal. Dengan kata lain tersedianya lapangan pekerjaan berbasis kearifan
lokal dapat meningkatkan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di Provinsi Banten.

PEMBAHASAN
Pengurangan pekerja sebanyak 54.606 orang pada Februari 2019 dari 5,622 juta orang dan
penambahan pengangguran 23.409 orang dari 489.216 orang terjadi karena adanya pergeseran penduduk
dalam angkatan kerja ke bukan angkatan kerja. Artinya, terjadi peluapan penduduk yang tidak bekerja
atau menganggur. Hal ini disebabkan oleh…
Kemudian, menurunnya lapangan pekerjaan pada perdagangan sebesar 1,78 persen, informasi dan
komunikasi sebesar 0,38 persen, administrasi pemerintah sebesar 0,36 persen Karena kemampuan dalam
penyerapan tenaga kerja pada lapangan pekerjaan itu kurang maksimal atau lapangan pekerjaan yang
terlalu sedikit. Hal itu disebabkan oleh penduduk lebih memilih bekerja pada lapangan pekerjaan utama.
Lapangan pekerjaan utama itu antara lain perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil
dan sepeda motor, industri pengolahan, pertanian, kehutanan dan perikanan.
Sebesar 2.42 juta penduduk bekerja dalam kegiatan informal pada Februari 2020 mengalami
penurunan sebesar 1.80 persen selama setahun terakhir yaitu Februari 2019-Februari 2020. Hal itu di
sebabkan karena penduduk lebih memilih kegiatan formal dengan bekerja menurut status pekerjaan yang
utama, di mana status pekerjaan utama itu lebih terjamin. Maksudnya adalah bisa terjamin gajinya, di
bandingkan dengan bekerja informal yang tidak konstan gajinya. Status pekerjaan utama yang di maksud
antara lain buruh, karyawan, pegawai (Badan Pusat Statistik, 2020).

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat, peneliti menyimpulkan bahwa pekerjaan dan
kondisi sosial budaya berbasis kearifan lokal di Provinsi Banten memiliki dampak yang cukup kuat pada
ketersediaan pangan bagi masyarakat setempat. Hal ini dapat terjadi karena mayoritas pekerja di Provinsi
Banten memilih bekerja secara informal, yakni memanfaatkan kearifan lokal yang ada dan mengikuti
kondisi sosial budaya yang berlaku. Peneliti menyarankan para pekerja informal di Provinsi Banten untuk
terus melakukan praktik tersebut supaya peningkatan ketersediaan pangan di Provinsi Banten dapat
terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver. Semua referensi yang digunakan dalam
penulisan di daftar pustaka diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam artikel, bukan menurut
abjad. Hanya mencantumkan kepustakaan yang dipakai dan relevan. Sumber rujukan minimal 80%
berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Sumber rujukan berupa jurnal dari artikel minimal 60% dari
total daftar pustaka. Rujukan yang digunakan adalah sumber primer berupa artikel penelitian dalam jurnal
atau laporan penelitian, buku atau artikel yang terkait dari sumber resmi. Artikel yang dimuat dalam jurnal
Makes disarankan untuk digunakan sebagai rujukan. Untuk menjaga konsistensi cara pengacuan,
pengutipan dan penulisan daftar pustaka kami sarankan untuk menggunakan aplikasi referensi standar
seperti Endnote, Mendeley, Zotero, RefWorks atau Colwiz.

DAFTAR PUSTAKA
1. (
LAMPIRAN
Lampiran berisi tabel dan gambar yang dilengkapi dengan nomor urut sesuai urutan
penampilannya dalam teks dengan menggunakan angka arab. Judul tabel ditulis di bagian atas tabel,
sedangkan judul gambar ditulis di bagian bawah gambar dengan menggunakan Times New Roman font
12, Bold, spasi 1. Tabel disajikan tanpa garis vertikal/garis kolom. Isi tabel diketik dengan Times New
Roman font 12, spasi 1.
Tabel 1. Format Tabel
Kepala kolom tabel
Kepala tabel
Sub kepala kolom Sub kepala kolom

Isi tabel Isi tabel Isi tabel

Sumber : ………………., tahun (contoh : Data Primer, 2017)

Gambar 1. Distribusi Rerata Jumlah Nyamuk yang Terperangkap Berdasarkan Jenis


Autocidal Ovitrap
.:SELAMAT MENULIS:.
Alamat Redaksi/ Penerbit
Jalan Jenderal Ahmad Yani Km. 6, Parepare Sulawesi Selatan 91112
Tlp. (0421) 22757 Hp. 085 335 204 999
e-mail: jurnalmakes@gmail.com
Situs Jurnal : http://jurnal.umpar.ac.id/index.php/makes
Penerbit: FIKES UMPAR

Anda mungkin juga menyukai