Anda di halaman 1dari 9

Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini

termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan


disebutkan bahwa “Ketahanan Pangan adalah Kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Berdasar definisi tersebut, terpenuhinya pangan
bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan
di Indonesia. Oleh karenanya pemantapan ketahanan pangan dapat dilakukan melalui
pemantapan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.
Namun demikian, disadari bahwa perwujudan ketahanan pangan perlu memperhatikan sistem
hierarki mulai dari tingkat global, nasional, regional, wilayah, rumah tangga dan individu
(Simatupang, 2006). Lebih jauh, Rachman dan Ariani (2007) menyebutkan bahwa
tersedianya pangan yang cukup secara nasional maupun wilayah merupakan syarat keharusan
dari terwujudnya ketahanan pangan nasional, namun itu saja tidak cukup, syarat kecukupan
yang harus dipenuhi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah
tangga/individu. Berdasar pemikiran tersebut, adalah penting untuk mewujudkan ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga. 2
Kesadaran tentang pentingnya mewujudkan ketahanan pangan telah lama
dilaksanakan di Indonesia, namun demikian hasil yang dicapai belum seperti yang
diharapkan. Sampai dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Walaupun telah berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan berbagai kalangan terkait,
namun pada kenyataannya tingkat konsumsi masyarakat masih bertumpu pada pangan utama
beras. Dan belum optimalnya pemanfaatan sumber bahan pangan lokal dalam mendukung
penganekaragaman konsumsi pangan (BKP, 2010).
Pengembangan pertanian memiliki tantangan dalam ketersediaan sumberdaya lahan. Di
samping itu, tingkat alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian (perumahan, perkantoran,
dan lain-lain) sehingga menyebabkan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit. Analisis
RT/RW oleh BPN pada tahun 2004 memperoleh indikasi bahwa di masa datang akan terjadi
perubahan lahan sawah beririgasi 3,1 juta hektar untuk penggunaan non pertanian.
Sempitnya lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat di wilayah perdesaan bahkan
perkotaan, dan belum memasyarakatnya pengetahuan warga tentang pemanfaatan lahan
pekarangan meskipun luasnya terbatas, serta terbatasnya informasi tentang pemanfaatan
lahan pekarangan yang tidak hanya berfungsi untuk memanfaatkan yang luasnya sempit
tetapi juga sekaligus dapat meningkatkan gizi dan kesejahteraan keluarga merupakan masalah
yang cukup kompleks yang perlu dipecahkan.
Terkait dengan hal ini, pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan
rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah
tangga. Pekarangan adalah lahan terbuka yang terdapat di sekitar rumah tinggal. Lahan ini
jika dipelihara dengan baik akan memberikan lingkungan yang menarik, nyaman dan sehat,
serta menyenangkan. Pekarangan rumah dapat dimanfaatkan dengan selera dan keinginan
masing-masing sesuai kebutuhan apa yang dibutuhkan. Dengan menanam tanaman produktif
di pekarangan maka akan memberi keuntungan ganda, salah satunya adalah kepuasan jasmani
dan rohani.
Pada kenyataannya, masih banyak lahan-lahan pekarangan yang didiamkan begitu
saja (nganggur) tanpa adanya upaya untuk mengoptimalkan lahan tersebut untuk ditanami
berbagai tanaman yang bermanfaat. Stagnansi produksi ini disebabkan oleh lambatnya
penemuan dan pemasyarakatan inovasi, serta rendahnya insentif finansial untuk menerapkan
teknologi secara optimal. Melemahnya sistem penyuluhan juga merupakan kendala
lambatnya adopsi teknologi oleh petani dan peningkatan kapasitas kelembagaan petani serta
peningkatan kualitas penyuluhan merupakan tantangan ke depan.
Dalam memanfaatkan lahan pekarangan, komitmen pemerintah berupaya
menggerakkan kembali budaya menanam di lahan pekarangan baik di perkotaan maupun di
perdesaan. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Kementerian
Pertanian menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Pekarangan Pangan Lestari (P2L)”
yaitu rumah tangga dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan
dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan
berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta peningkatan
pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran yang ingin dicapai dari Model P2L ini adalah berkembangnya kemampuan
keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial dalam memenuhi kebutuhan pangan dan
gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang sejahtera (Kementerian Pertanian,
2011).
Pelaksanaan kegiatan program P2PL di Kota Lubuklinggau dimulai sejak tahun 2012
sampai sekarang, kegiatan program P2PL ini dikoordinasi oleh Kantor Ketahanan Pangan
Kota Lubuklinggau dengan melibatkan penyuluh pertanian (petugas pendamping kegiatan).
Program P2PL ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga sendiri, juga
berpeluang meningkatkan penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan
dengan baik. Pemanfaatan pekarangan tersebut juga dirancang untuk meningkatkan konsumsi
aneka ragam sumber pangan lokal dengan prinsip gizi seimbang yang diharapkan berdampak
menurunkan konsumsi beras. Namun dilihat dari hasil realisasi konsumsi masyarakat Kota
Lubuklinggau masih di bawah anjuran pemenuhan gizi terlihat dari skor Pola Pangan
Harapan (PPH) Kota Lubuklinggau baru 90,4 (Laporan PPH Kota Lubuklinggau Tahun
2014), namun PPH ideal yang harus dicapai 100.
Program P2Pl di kota lubuklinggau dinilai belum efektif, karena mayoritas
masyarakat masih mengandalkan lahan sawah untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan
keluarga. Padahal, lahan sawah yang mereka miliki kecil, sering gagal panen, dan harga sewa
lahan tinggi. Fakta ini lah yang membuat wanita tani di Kota Lubuklinggau dipilih untuk
dijadikan sebagai kelompok percontohan untuk program P2PL. Dengan adanya pemanfaatan
lahan pekarangan akan mempermudah masyarakat Kota Lubuklinggau untuk memenuhi
kebutuhan pangan harian keluarga. Dan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menerapkan dan memaksimalkan lahan pekarangan untuk
mendukung keberhasilan dari ketahanan pangan rumah tangga sampai ketahanan pangan
nasional.
Peran penyuluh dalam program P2PL ini sangat penting, penyebaran informasi pada
kegiatan penyuluhan dilakukan langsung bersama para wanita tani. Penyuluh tidak hanya
diamanatkan mampu menyebarluaskan informasi seputar P2PL saja, namun juga membantu
wanita tani dalam menganalisis situasi yang sedang dihadapi, meningkatan pengetahuan
tentang P2PL dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, meningkatkan motivasi
kepada wanita tani untuk menerapkan pilihannya, dan membantu wanita tani untuk mampu
mengevaluasi serta meningkatkan keterampilan mereka dalam bentuk pendapat dan
pengambilan keputusan. Data penyuluh di Kota Lubuklinggau sebanyak 72 orang, terdiri dari
59 orang penyuluh Pegawai Negeri Sipil, 5 orang penyuluh Tenaga Harian Lepas dan 8 orang
penyuluh pendaping ekonomi pertanian (Laporan Database Pertanian Kota Lubuklinggau
2023).
Penyuluh bertugas menyampaikan informasi seputar kegiatan program P2PL,
melakukan sosialisasi dan menjelaskan kegiatan program P2PL kepada kelompok wanita
tani. Penyuluh mendampingi dan memberikan materi kepada kelompok wanita tani dalam
melakukan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga, penjelasan tentang
konsumsi pangan, teknis budidaya tanaman di pekarangan, pengembangan pekarangan
sayuran dan buah, cara pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, cara pembuatan bibit
sayuran dan lain-lain.
Penyuluhan mempunyai peranan yang sangat strategis, yaitu proses pembelajaran bagi
wanita tani. Menurut Kurt Lewin (Mardikanto, 2009), terdapat tiga macam peran penyuluh
yang terdiri atas : 1) pencairan diri dengan masyarakat sasaran, 2) mengerakkan masyarakat
untuk melakukan perubahan-perubahan, dan 3) pemantapan hubungan dengan masyarakat
sasaran. Agar lebih profesional maka seorang penyuluh harus berperan sebagai pembawa
informasi, pendengar yang baik, motivator, fasilitator proses, agen penghubung, pembentuk
kemampuan, guru terampilan, work helper, pengelola program, pekerja kelompok, penjaga
batas, promoter, pemimpin lokal, konsultan, protektor dan pembentuk lembaga (Lionberger
& Qwin, 1982). Mosher (1997) menguraikan tentang penyuluhan pertanian, yaitu : sebagai
guru, penganalisa perubahan, sebagai organisator, sebagai pengembang kebutuhan
perubahan, pengerak perubahan, dan pemantap hubungan masyarakat petani. Van Den Ban
dan Hawkins (1999) menyebutkan peranan penyuluh adalah melakukan komunikasi
informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga
dapat membuat keputusan yang benar dan berdampak efektif.
Komunikasi memegang kunci penting karena kegiatan penyuluhan itu sendiri adalah
kegiatan komunikasi. Komunikasi dapat menentukan efektivitas kegiatan penyuluhan dan
merupakan alat yang digunakan dalam proses kegiatan penyuluhan program P2PL. Pesan
yang disampaikan penyuluh hendaknya dapat dimengerti dan benar-benar dibutuhkan oleh
wanita tani karena informasi tersebut harus terkait dengan masalah yang dihadapi oleh wanita
tani. Untuk terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam kelompok wanita tani diperlukan
komunikasi yang efektif antara penyuluh dengan wanita tani sehingga dengan komunikasi
efektif, wanita tani akan mendapatkan informasi-informasi penting tentang kegiatan
program P2PL. 7
DIAGRAM MASALAH

Ekonomi Keluarga Yang Tidak Program Yang Tidak Peningkatan Ketahanan Pangan
Meningkat Sustanibility/Berkelanjutan Daerah Tidak Tercapai

Efektifitas Program Pekarangan


Pangan Lestari Di Kota
Lubuklinggau

Kurang Aktifnya Petugas


Kurangnya Kterampilan Karakteristik Pelaksanaan Pemasaran Produk Pasca Panen
Pendamping/Penyuluh
Penerima Manfaat Program Krpl yang sulit
Pertanian

Latar Belakang Penerima Bukan Merupakan Pekerjaan Komitmen Penerima Yang Tingkat Pengetahuan Petugas Komoditas yang Ditanam Biasa Masa Pendampingan Yang
Kinerja Petugas yang rendah Perbedaan Luas Lahan Garapan
Manfaat Yang Berbeda Beda Utama Kurang Yang Kurang Relatif sama antar kelompok Relatif Singkat
Deskripsi Maslaah Efektifitas Program Pekarangan Pangan Lestari (P2PL) Di kota Lubuklinggau

1.Dalam Menilai Efektifitas Program Pangan Lestari (P2Pl) Dikota Lubuklinggau dapat dilihat dari
beberapa aspek permasalahn yang timbul seperti:

a. Kurangnya Keterampilan/Skil dari penerima manfaat

b. Kurang Aktifnya Petugas Petugas Pendamping/Penyuluh Pertanian

c. Karakteristik Program Pekarangan Pangan Lestari (P2PL)

d. Pemasaran Produk Pasca Panen yang Kurang

A. Kurangnya Keterempilan/Skil dari penerima manfaat menurut penelitian yang dilakukan


Penelitian lain yang dilakukan oleh Softi Nur Rahmah, Helfia Edial dan Yuherman
(2013), dengan judul “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Rumah Di Nagari
Koto Baru Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat” berdasarkan pada
hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa:1. Terdapat pengaruh yang signifikan dan
positif dari tingkat pengetahuan masyarakat terhadap optimalisasi pemanfaatan
pekarangan rumah di Nagari Koto Baru Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman
Barat.
(Sari, Rosnita, and Yulida 2017), selain itu tingkat pengetahuan juga sangat berpengaruh
terhadap pengetahuan penerima manfaat dalam hal ini Wanita tani dalm menyerap dan
melaksanakan program yang akan dilaksanakan (Dwiratna, Widyasanti, and Rahmah
2017) Jadi Dapat Dilihat Tingkat Pengtahuan dan juga keterampilan Menjadi hal yang
mendasar dalam pelaksanaan program P2PL ini. Untuk melihat hal yang mendasi
menjadi tingkat pengtahuan dan keterampilan penerima manfaat ini merupakan hal yang
penting hal ini dasari oleh:

1. Latar Belakang penrima Manfaat Yang Berbeda beda hal ini sudah dijelaskan dalam
penelitian sebelumnya diman karakteristik dari bermacam macam latar belakang
akan sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dalam suatu kelompok hal
ini menjadi masalah Ketika suatu kelompok di bentuk untuk mencapai tujuan yang
sama yang mengharuskan suatu tujuan harus di capai, (Coker et al. 2018)
2. Bukan Merupakan Pekerjaan Utama, Program Rumah Pangan Lestari (PE2PL)
sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan pemenuhan pangan atas keluarga, hal ini
menjadi lebih baik jika penerima manffat dapat serius untuk melaksanakan kegiatan
tersebut, Namun pada kenyataannya kebanyakan penerima manfaat merupakan
masyarat dan invidu yang bukan petani hal ini menjadi masalah Ketika program ini
telah dilaksanakn Namun pada pelaksanaanya dilakukan secara asal asalan karena
dinilai sebagai pekerjaan sampingan yang kurang mendatangkan profit.(Pulsation and
Technology 2023)
3. Komitmen penerima bantuan yang kurang, kimtmen penerima bantuan yang kurang
ini juga menimbulaknn masalah tersendiri dimana setelah program bantuan ini
diterima maka pada proses pelaksanaanya nanti yang akan menjadi kendala diman
program bantuan tersebut telah diterima namun pada proses pelaksanaanya sulit
untuk dilakukan karna biasayan antara anggota kelompok menjadi saling
mengandalkan dan kurang meiliki rasa saling meiliki atas program tersebut, hal ini
sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan olah (Sukanata, Budirokhman, and
Nurmaulana 2015) dimana factor komitmen manjadi hal yang sangat berpengaruh
dalam pelaksanaan program P2pl
B. Kurangaktifnya Petugas Pendamping/Penyuluh Pertanian, petugas penyuluh
pertanian atau petugas pendamping menjadi salah satu elemen penting dalam
pelaksanaan Program Pangan Lestari ini, peran penyuluh pertanian juga sangat
penting sebagai pertimbangan bagi petani dalam pengambilan keputusan untuk
menjalankan dan megembangkan program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari
(M-KRPL). Sehingga dari program M-KRPL tersebut petani dan masyarakat yang
tergabung dalam anggota M-KRPL mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
serta mampu menambah pendapatan (income) keluarga (Kementerian Pertanian,
2010).(Pulsation and Technology 2015) selain itu peran petugas pendamping ataupun
disini bisa disebut sebagai stake holder menjadi penting karena merupakan factor
penting dalam terciptnya progam ini (Barlett 2011) hal ini dapat kita lihat lebih jelas
lagi bagaimana ini bida menjadi masalah seperti hal berikut ini:

1. Tingkat pengetahun petugas yang kurang dapat menjadi dasar kenapa petugas
pendamping yang di tunjuk menjadi kurang aktif, petuga menjadi tidak mau
dating atau terlibat lebih banyak dalam pelaksanaan program ini karena
pemahan atau pengetahuan akan program ini sangat minim atau bahkan tidak
tahu atas juklak dan juknis yang terdapat dalam pelaksanaan program
pekarangan pangan lestari ini, hal ini juga di dukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh (Mahfudz 2020) kebanyakn program P2PL yang gagal
merupakan program yang minim pendampingan.
2. Kinerja petugas yang rendah pada pelaksanan program P2PL peran petugas
pendamping menjadi sangat penting untuk menjadikan program ini tercapai
Namun hal ini juga menjadi suatu masalah Ketika kinerja petugas tersebut
kurang maksimal banyak factor yang mempengaruhi nya mulai dari
pengetahuan akan program yang kurang, kurangnya punismen dari atasan dan
juga pengawasan dari instansi pengampu menjadi sangat penting dalam hal ini
(Dwi Tama and Priyanti 2022)
C. Karakteristik pelaksanaan program P2PL karakteristik program ini sendiri lebih
kepada bagaimana pelaksanaan program P2PL ini dilaksanakan karteristik program
P2PL ini merupakan bantuan yang bersifat sementara atau hanya diberikan satu kali
dalam pelaksanaan oleh penerima manfaat, jadi pelaksanaan program P2PL ini
dilaksanakan satu tahun anggaran berjalan yang mana evaluasi pelaksanaan program
dilakukan sebnyak 4 kali setiap triwulan, namun pada program P2PL ini setelah
program terlaksana dan menrima bantuan maka pada tahun berikutnya tidak akan
mndapatkan bantuan serupa lagi hal ini menjadi masalah ketika pada pelaksanaan
program ini sendiri kelompok penerima bantuan belum cukup mandiri unutk
melaksanakan bantuan secara continue atau sustainable (Kementerian Pertanian 2021)
(PSP 2023)
1. Komoditas ynag ditaman antar kelompok biasanya sama ini dikarenakan pada
pelaksanaan ya mengacu pada petunjuk teknis yang di berikan kementrian
pertanian hal ini menjadi masalah ketika komoditas yang diberikan pada
kelompok tersebut tidak sesuai dengan karakteristik wilayah tersebut seperti di
kota lubuklinggau dengan karakteristik wilayah di dataran rendah dengan Dpl
antar 80 s/d 120 Mdpl (BPS Kota Lubuklinggau 2023) yang lebih cocok di
tanaman tanaman dengan tipe tempat hidup di dataran rendah maka ini menjadi
masalah ketika juknis yang ada merupakan tipe tanaman untuk wilayah dataran
tinggi tentu hal ini sangat tidak cocok, hal ini diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Sugiarto and Ahsin 2021) banyak hal menjadi tidak dapat di
terpakan berdasarkan juknis yang ada, selain itu dengan penanaman tanaman yang
relative sama maka akan menjadi masalah lagi ketika waktu panen yang
bersamaan, karna fungsi supply dan deman yang terjadi akan sangat
mempengaruhi harga dari komoditas ini(Yohana S. Kusuma Dewi 2019)
2. Perbedaan Luas Lahan Garapan menjadi suatu masalah dalam pelaksanaan
program ini karena pemanfaatan lahan pekarangan juga harus disesuaikan dengan
juknis yang ada dimana pekarangan yang layan mendapatkan bantuan adalah
pekarangan kosong dengan luas halaman sekita 10 x 20 M 2 ini selanjutnya kan
menjadi masalah karna di anggap keseragaman pada luasan lahan pelaksanaan
program
3. Masa Pendampingan Progra yang dia anggap relative singkat hal ini terjadi karena
memang program P2PL ini di desain oleh pemerintah pusat untuk program 1
tahunan saja hal yang menjadi masalah adalah ketika kelompok belum mapu
untuk menjadi mandiri Namun pendampingan pada program ini sendiri sudah
berakhir ini yang menjadikan sebagi akibat ketidak berhasilan dari program P2PL
ini banyak kelompok kemudian menjadi tidak mampu untuk melanjutkan program
ini karena bnyak ketrbatasan yang utama adalah biaya (Dwi Tama and Priyanti
2022)

D. Pemasaran Produk Pasca panen yang sulit ketika program ini telah berjalan dan
terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharpkan ada satu hal yang luput
yaitu pendampingan akan produk pasca panen yang di hasilkan rata rata dari
kelompok yang telah selasai melaksanakn program ini produk pertanian yang
dihasilak hanya sebatas untuk konsumsi kelompk saja, selain itu masalah lain yang
timbul adalah ketika hasil panen yang ada telah melimpah maka produk pertanian
yang dominan merupakan produk yang cepat rusak, hal ini seharusnya bisa disikapi
lebih baik jika dalam pelaksanaan nya tidak hanya berfokus pada pelaksanaan
program hingga sampai petani menghasilkan tanpa mempertimbangkan nantinya
produk yang di hasilkan akan di pasarkan ke mana, selian itu seharusnya program ini
dapat mengakomodir untuk kegiatan pertanian di perkotaan yang lebih profit seperti
lebih berfokus pada penyediaan tanaman organic untuk darah perkotaan yang
nantinya bisa menjadikan produk yang dihasilkan bernilai jual tinggi terutama di
perkotaan yang penduduknya lebih aware terhadap makanan yang sehat(Barlett 2011),
bnyak studi kasus yang menyatakan bahwa sustainable farming merupakan program
yang menjanjikan untuk dilakukan terutama di daerah perkotaan (Baker and de Zeeuw
2015) karena di perkotaan seperti Kota Lubuklinggau untuk melakakan pertanian
secara kinvensional sudah agak sulit selain lahan pertanian yang kurang yang hanya
sebesar 10 % dari total luas wilayah. Pertanian kaan menjadi hal yang menjajikan jika
deikelola dengan baik dan mampu untuk mendatangkan profit yang lebih
besar(Morgan 2009)
Diagram Pemecahan Masalah

Peningkatan Waktu
Penampingan
Kelompok

Intesifikasi Program
Sustanibilty Program (Pengembangan
Program P2PL)

Efektifitas Program
Perkarangan Pangan
Lestari (P2PL) Produk Minim bahan
Kimia Organik
Peningkatan
Pendapatan Rumah
Tangga

Peningkatan Ketahan
Pangan Daerah

Anda mungkin juga menyukai