Anda di halaman 1dari 6

Dampak Urbanisasi di Pulau Jawa

Perbedaan pertumbuhan serta ketimpangan antara desa dan kota menjadi salah satu pemicu
adanya urbanisasi (Tambunan et al., 2021). Hal ini menjadikan daerah perkotaan menjadi sebuah magnet
yang menyerap banyak sumber daya manusia perdesaan. Kondisi bonus demografis yang dialami
beberapa negara dunia, terutama Indonesia, tentunya menjadi tantangan tersendiri yang bisa semakin
memperbesar ukuran-ukuran perkotaan yang ada. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2021,
setidaknya 74,7% penduduk Indonesia (191 juta jiwa) merupakan penduduk usia produktif (16-64 tahun)
dan tentunya membutuhkan lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan. Pertumbuhan industri dan
pertumbuhan ekonomi yang pesat di daerah perkotaan tentunya akan menarik jumlah tersebut ke area
perkotaan (Kuciswara et al., 2021).
Beberapa penelitian terbaru tidak hanya mendefinisikan urbanisasi sebagai proses perpindahan
penduduk dari desa menuju kota. Urbanisasi tidak hanya berlaku pada migrasi penduduk ke kawasan
perkotaan tetapi juga merupakan proses perubahan desa menjadi kota, bahkan ada yang sampai
membentuk sebuah koridor (Jati et al., 2022; Rukmana dan Shofwan, 2020). Koridor terbentuk melalui
adanya keterhubungan beberapa kota melalui rute transportasi secara linier serta menjadi wilayah
hinterland dari megacities (Jati et al., 2022). Jika fenomena ini tidak diimbangi dengan pembangunan
yang lebih merata, maka tidak mustahil kota-kota tersebut, bahkan yang baru terbentuk, akan semakin
membesar dan menyebabkan beberapa dampak negatif.
Pertumbuhan kota-kota yang semakin cepat akan menyebabkan beberapa permasalahan baru. Hal
ini tidak lepas dari posisi kota sebagai suatu pusat pertumbuhan ekonomi dengan beberapa daya tarik
tersendiri (Kuciswara et al., 2021). Kondisi yang dialami Indonesia saat ini, dengan banyaknya penduduk
usia kerja, semakin menambah potensi penyerapan kota-kota terhadap sumber daya manusia yang ada.
Penduduk-penduduk tersebut tentunya akan mencari tempat yang menyediakan peluang lapangan
pekerjaan yang lebih banyak dengan gaji yang lebih menjanjikan (Sutomo et al., 2022). Jika hal ini terus
berlanjut tanpa adanya suatu kontrol, penumpukan penduduk di area perkotaan akan menyebabkan
peningkatan okupansi lahan oleh perkotaan, peningkatan area kumuh, angka pengangguran, kemiskinan
yang disebabkan oleh rendahnya kualitas manusia di perkotaan, dan lain-lain.
Pada tulisan ini, dampak urbanisasi akan lebih difokuskan pada dampak lingkungan dan sosial.
Beberapa studi kasus mengenai dampak urbanisasi di beberapa daerah di Pulau Jawa akan diberikan
untuk memperkuat argumentasi tulisan. Pembahasan tidak hanya difokuskan pada kota-kota besar seperti
Jakarta, namun beberapa studi kasus pada daerah-daerah yang lebih kecil juga diberikan untuk memahami
dampak urbanisasi yang lebih menyeluruh.
Urbanisasi terbukti membawa dampak negatif terhadap lingkungan di kota-kota pulau Jawa
berdasarkan beberapa penelitian terbaru (Aritenang, 2023; Jati et al., 2022; Tambunan et al., 2021; Yanuar
et al., 2023). Dampak ini salah satunya disebabkan oleh tidak adanya pengendalian sehingga penduduk
kota semakin meningkat yang diikuti oleh berbagai konsekuensinya (Tambunan et al., 2021).
Pertumbuhan penduduk yang tinggi pada suatu area perkotaan (baik secara alami maupun migrasi) akan
berdampak pada kebutuhan ruang yang semakin meningkat. Pembangunan ruang-ruang kegiatan
penduduk inilah yang jika tidak dilakukan pengendalian yang tepat akan berdampak pada keberlanjutan
lingkungan.
Penelitian dari Tambunan et al. (2021) memberikan gambaran tentang pengaruh urbanisasi
terhadap meningkatnya permukiman kumuh dan beberapa efek negatif lainnya di sepanjang sungai
Cikapundung Kota Bandung. Dia menyebutkan setidaknya terdapat 1.056 rumah kumuh di sepadan
sungai sepanjang 28 km akibat semakin besarnya penduduk di Kota Bandung. Hal ini tentunya berakibat
pada beberapa kualitas pemenuhan kebutuhan fasilitas dasar yang rendah.
Tambunan et al. (2021) menyebutkan setidaknya terdapat enam permasalahan permukiman
kumuh dari adanya urbanisasi di Kota Bandung. Beberapa permasalahan yang disebutkan adalah sebagai
berikut:
1. Permasalahan pertama dapat dilihat dari kondisi drainase permukiman di sepanjang sungai
Cikapundung yang hanya bersifat mencegah adanya genangan pada rumah penduduk. Bahkan,
drainase yang dibuat juga tidak banyak dan hanya memanfaatkan kondisi kontur tanah untuk
mengirimkan air menuju sungai utama.
2. MCK yang berada di rumah-rumah sepanjang sungai Cikapundung umumnya tidak terencana dan
tidak teratur. Beberapa rumah mungkin telah memiliki kamar mandi berkeramik dengan tembok
permanen. Meskipun demikian, akses menuju kamar mandi tersebut masih belum bisa dianggap
layak.
3. Penyediaan air bersih di permukiman sepanjang sungai Cikapundung juga masih tergolong belum
layak. Penduduk masih memanfaatkan air tanah sebagai sumber air bersih yang ketika musim
penghujan tiba akan menjadi keruh dan berbau. Perlu menunggu dalam waktu satu hingga dua
hari supaya sumber air tersebut bisa dimanfaatkan kembali.
4. Masyarakat di sepanjang sungai Cikapundung langsung membuang air limbah rumah tangga
mereka ke sungai utama. Tidak adanya pengolahan air limbah ini menjadikan adanya pencemaran
sungai.
5. Pembangunan rumah-rumah yang terlalu berdekatan menjadikan kurangnya pencahayaan alami.
Hal ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya penduduk di sepanjang sungai Cikapundung
tanpa adanya ketersediaan lahan yang mencukupi.
6. Jarak antar rumah yang hanya 80-100 cm menyebabkan rumah-rumah penduduk di sepanjang
sungai Cikapundung tidak memiliki sirkulasi udara yang baik. Hal ini, sekali lagi, disebabkan
karena keterbatasan lahan sementara kebutuhan akan pembangunan rumah terus meningkat.
Beberapa efek negatif yang telah disebutkan akan berdampak pada kesehatan dan perekonomian
penduduk (Tambunan et al., 2021). Hal ini menjadi bukti bahwa urbanisasi yang tidak terkontrol telah
mengakibatkan dampak negatif pada ruang-ruang di perkotaan yang pada berikutnya berdampak pada
kondisi kesehatan dan perekonomian masyarakat.
Pada kasus yang sama, urbanisasi juga telah membawa peningkatan permukiman kumuh di
Kota Depok (Yanuar et al., 2023). Yanuar et al. (2023) menyebutkan bahwa urbanisasi di Kota Depok
telah menyebabkan semakin besarnya kawasan kumuh yang terbangun di sepanjang bantaran sungai, rel
kereta api, taman kota, dan kolong jembatan. Lebih lanjut, penelitian tersebut menjelaskan bahwa akibat
adanya dampak negatif dari urbanisasi, pemerintah Kota Depok telah mengubah kebijakan yang mereka
buta menjadi tata kelola yang lebih dinamis.
Dampak dari adanya urbanisasi yang tidak terkontrol akan semakin terlihat jika kita mengamati
yang terjadi pada kota terbesar di Indonesia, Jakarta. Kejadian banjir yang sering terjadi selama datu
dekade terakhir menjadi salah satu bukti kerusakan lingkungan dan ekologi yang terjadi di Jakarta
(Aritenang, 2023). Hal ini salah satunya disebabkan oleh berkurangnya lahan-lahan terbuka sebagai area
resapan yang saat ini telah menjadi lahan terbangun karena kebutuhan yang tinggi dari penduduk terhadap
lahan.
Urbanisasi yang besar di Jakarta juga telah membawa iklim di wilayah tersebut menjadi lebih
ekstrem. Darmanto et al. (2019) menjelaskan bahwa tanpa adanya kebijakan yang ketat terhadap
urbanisasi dan perkembangan lahan terbangun di Jakarta, maka dalam jangka waktu sembilan tahun
Jakarta akan mengalami kenaikan suhu lokal hingga 3,4 oC. Lebih lanjut, penelitian tersebut menunjukkan
tentang pentingnya penerapan konsep compact city dalam mengurangi kenaikan suhu permukaan akibat
adanya urbanisasi. Perencanaan perkotaan yang baik melalui konsep compact city bisa menekan
pemanasan suhu permukaan di Jakarta akibat adanya urbanisasi (Darmanto et al., 2019).
Selain berdampak pada lingkungan, urbanisasi yang tidak terkontrol juga memiliki dampak
negatif pada bidan sosial ekonomi. Hal ini tentunya tidak lepas dari peningkatan pesat penduduk
perkotaan akibat urbanisasi. Selain itu, kondisi penduduk yang kurang berkualitas, terutama dalam aspek
pendidikan dan keterampilan, juga menjadi penyebab lain dari adanya dampak negatif sosial ekonomi
dari urbanisasi (Kuciswara et al., 2021).
Pada kasus di kota besar, penelitian dari Kuciswara et al. (2021) menjadi salah satu bukti bahwa
urbanisasi yang tidak terkontrol telah menyebabkan efek sosial negatif di pulau Jawa. Mengambil studi
kasus di Kota Surabaya, penelitian itu menyebutkan bahwa urbanisasi yang terjadi di Surabaya
berdampak positif terhadap laju tingkat kriminalitas di kota tersebut. Penelitian tersebut menyebutkan
bahwa, berdasarkan hasil persamaan regresi, tingkat kriminalitas di Kota Surabaya dipengaruhi oleh
urbanisasi, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Lebih lanjut, penelitian tersebut menjelaskan
bahwa jika tiga hal yang telah disebutkan dianggap konstan, maka tingkat kriminalitas di Surabaya akan
cenderung berkurang. Urbanisasi menjadi faktor berpengaruh kedua bagi peningkatan tingkat kriminalitas
di Surabaya setelah kemiskinan (Kuciswara et al., 2021).
Pengaruh urbanisasi terhadap masalah-masalah sosial ekonomi tidak hanya terjadi pada kota-
kota besar. Penelitian dari Rahmatullah dan Khaerudin (2021) di Kabupaten Pandeglang menunjukkan
bahwa urbanisasi juga berdampak pada kenaikan tingkat pengangguran. Melalui pendekatan kualitatif
berupa wawancara kepada beberapa tokoh di Kabupaten Pandeglang, Rahmatullah dan Khaerudin (2021)
menyatakan bahwa banyak sumber daya manusia berkualitas di Kabupaten Pandeglang yang lebih
memilih bekerja di kota-kota dengan adanya lapangan kerja yang dianggap lebih menjamin kehidupan
mereka. Meskipun demikian, penyediaan lapangan kerja industri di Kabupaten Pandeglang masih
dikatakan kurang (Rahmatullah dan Khaerudin, 2021).
Penelitian dari Rahmatullah dan Khaerudin (2021) dan Kuciswara et al. (2021) menunjukkan
bahwa dampak sosial yang bersifat negatif dari adanya urbanisasi tak terkontrol tidak hanya dirasakan
oleh area perkotaan dengan semakin tingginya kepadatan penduduk. Lebih dari itu, dampak urbanisasi
yang berlebihan pada aspek sosial ekonomi juga dirasakan oleh kota-kota kecil di sekitarnya.
Ketimpangan pembangunan seperti yang disebutkan oleh Rahmatullah dan Khaerudin (2021) juga
menjadi alasan utama terjadinya efek negatif tersebut. Jika melihat kembali hasil dari dua penelitian
tersebut, urbanisasi yang berlebihan menjadikan kota-kota besar dipenuhi oleh penduduk yang
menganggur yang secara bersamaan area perdesaan dan kota-kota kecil mengalami penurunan jumlah
sumber daya manusia berkualitas.
Jika kita melihat lebih jauh lagi, urbanisasi tidak hanya berdampak pada area-area di dalam
administrasi suatu kota seperti yang telah digambarkan. Lebih dari itu, urbanisasi yang telah bergeser
menuju pasca-urbanisasi juga berdampak pada wilayah-wilayah pinggiran (Aritenang, 2023).
Ketersediaan lahan yang terbatas di area perkotaan dengan semakin peningkatan aksesibilitas menuju area
tersebut telah membawa urbanisasi merambah di area pinggiran (Rukmana dan Shofwan, 2020).
Urbanisasi di Indonesia, terutama pulau Jawa, saat ini mulai bergeser menuju kota-kota sekunder yang
berbentuk koridor (Jati et al., 2022). Hal ini tentunya sangat terlihat secara spasial melalui perubahan
pemanfaatan lahan di wilayah pinggiran kota.
Beberapa wilayah di pulau Jawa telah mengalami masa pasca-urbanisasi dengan ditandainya
perkembangan kawasan pinggiran dan kota-kota sekunder berbentuk koridor (Aritenang, 2023; Jati et al.,
2022; Rukmana & Shofwan, 2020). Pada kasus di wilayah Barlingmascakeb, koridor Purwokerto-
Purbalingga menjadi area perkotaan yang berkembang akibat adanya pergeseran urbanisasi tersebut (Jati
et al., 2022). Hal serupa juga terjadi pada wilayah yang lebih kecil. Pada kasus wilayah pinggiran di
Kabupaten Sidoarjo, sebagai kawasan pinggiran Kota Surabaya, periode pasca-urbanisasi telah membawa
wilayah tersebut mengalami peningkatan luasan lahan terbangun dari 809,17 ha pada tahun 1995 menjadi
1.316,7 ha pada tahun 2018 (Rukmana & Shofwan, 2020). Sementara itu, pada skala wilayah yang lebih
luas, periode pasca-urbanisasi telah berhasil merambah lahan-lahan non terbangun di pinggiran Kota
Jakarta sehingga membentuk suatu wilayah baru berupa Wilayah Metropolitan Jakarta (Aritenang, 2023).
Sebagian besar penyebab pesatnya urbanisasi wilayah pinggiran di pulau Jawa adalah mulai
berkembangnya kegiatan perdagangan, industri, serta perumahan yang mulai kekurangan lahan di tengah
kota (Aritenang, 2023; Jati et al., 2022; Rukmana dan Shofwan, 2020). Hal ini tentunya menghasilkan
beberapa dampak yang dirasakan langsung oleh wilayah pinggiran tersebut. Perkembangan urbanisasi ke
luar Kota Jakarta telah membuat pertumbuhan perekonomian di wilayah pinggirannya yang dapat dilihat
dari pesatnya pembangunan industri, perumahan untuk commuter, serta kawasan perdagangan dan jasa
(Aritenang, 2023). Meskipun demikian, adanya proses pasca-urbanisasi juga menyebabkan beberapa
dampak negatif bagi wilayah pinggiran. Penurunan lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo menjadi salah
satu konsekuensi yang harus diterima akibat peristiwa ini (Rukmana dan Shofwan, 2020). Hal ini berarti
bisa mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi pertanian dalam negeri sehingga akan berpengaruh
besar pada pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat dan kondisi pasar pertanian local (M.
F. Ahsani1, 2022).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa urbanisasi di Pulau Jawa memiliki dampak
yang signifikan pada lingkungan dan masyarakat. Dampak-dampak ini termasuk peningkatan
permukiman kumuh, pencemaran lingkungan, ketidak seimbangan penggunaan lahan, peningkatan
kriminalitas, peningkatan pengangguran, perkembangan wilayah pinggiran, dan penurunan lahan
pertanian. Urbanisasi yang tidak terkendali telah menyebabkan masalah lingkungan, seperti banjir,
pencemaran air, dan peningkatan suhu permukaan. Selain itu, dampak negatif pada aspek sosial
melibatkan peningkatan kriminalitas dan pengangguran. Urbanisasi juga telah mengubah wajah wilayah
pinggiran dengan perkembangan sosial dan lingkungan yang pesat, tetapi ini juga berdampak pada
mengurangi lahan pertanian. Perubahan ini dapat berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan lokal.
Dalam menghadapi dampak urbanisasi, penting untuk mengadopsi perencanaan perkotaan yang lebih
baik, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, dan kebijakan yang dapat mengatasi dampak sosial dan
lingkungan negatif. Kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya
diperlukan untuk menghadapi tantangan urbanisasi di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai