Anda di halaman 1dari 9

Journal of Indonesian History 8 (1) (2019)

Journal of Indonesian History

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih

Kampung-Kota dan Permukiman Kumuh di Kota Bandung Tahun 1965-1985

Bagas Yusuf Kausan, Putri Agus Wijayati, dan Atno 

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Semarang-Indonesia


Info Artikel Abstrak
________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Pada tahun 1970-1980an, seiring dengan berkembangnya perencanaan kota metropolitan, masalah
Diterima Februari 2019 permukiman menjadi satu gejala yang terjadi nyaris di setiap kota besar di Indonesia. Hal ini
Disetujui April 2019 disebabkan oleh daya tampung kota yang terbatas, sementara lonjakan jumlah penduduk akibat dari
Dipublikasikan Juli 2019 urbanisasi terus mengalami peningkatan. Akibatnya banyak para pendatang yang kemudian
________________ bermukim di lahan-lahan tidak terpakai dan mengisi kantong-kantong perkampungan kota yang
Keywords: sebelumnya telah ada. Penelitian ini membahas tentang sejarah kampung-kota, terutama terkait
kampung-kota, slums settle- posisinya dalam perencanaan kota yang semakin modern. Lebih lanjut, penelitian ini mencoba
ment, Bandung. melihat cara pemerintah memandang perkampungan-kota dan meninjau upaya apa saja yang
____________________ pernah dilakukan pemerintah guna memperbaiki lingkungan perkampungan kota tersebut. Setelah
ditinjau, dalam rentang tahun 1970-1980an, aneka bentuk program perbaikan perkampungan pernah
dilaksanakan di Kota Bandung. Meskipun ada pula program perbaikan perkampungan yang murni
diinisiasi secara swadaya oleh masyarakat, sebagian besar program perbaikan perkampungan pada
saat itu merupakan proyek pemerintah yang bekerja sama dengan beberapa lembaga filantropi.
Namun dengan hanya mengambil fokus pada perbaikan aspek fisik perkampungan, beberapa
program perbaikan pun tidak berdampak secara signifikan terhadap masyarakat. Sebab,
membaiknya lingkungan perkampungan tidak menjamin membaiknya kondisi perekonomian
mereka yang lebih banyak terserap ke dalam ekonomi informal perkotaan.

Abstract
___________________________________________________________________
In the 1970s-1980s, along with the development planning of the metropolitan city, the issue of the settlements
into a single symptom that happens almost in every big city in Indonesia. This is caused by the limited capacity
of the city, while a surge in population resulting from urbanization continued to increase. As a result many
migrants who later settled in land unused and filling the pockets of the kampung-kota of the city which had
previously existed. This study discusses the history of the kampung-kota, especially those associated its position
in an increasingly modern city planning. Further, this research is trying to see how the Government viewed the
kampung-kota and simultaneously reviewed what efforts the Government has to improve the environment of the
settlement. After observation, in the 1970-1980s, various forms of the settlement repair program ever undertaken
in the city of Bandung. Although there is also a pure settlement improvement program was initiated by the non-
governmental community, in the majority of program improvements the kampung-kota at that time was a
Government project that worked with philanthropic foundations. But just take a focus on improvements to the
physical aspect of the kampung-kota, a few repair programe was not significantly impact on the community
which settled in the settlement of the city. For improving the environment of settlement does not warrant
improving the condition of their economy are more absorbed into the urban informal economy.

© 2019 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6633
Ruang Jurnal Sejarah, Gedung C5 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: sejarah@mail.unnes.ac.id

53
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

PENDAHULUAN terlebih dahulu mengklasifikasi dan sekaligus


Kehadiran lingkungan permukiman di menstigma suatu perkampungan dengan sebutan
perkotaan, tidak dapat dipisahkan dari eksistensi informal slum (Reerink, 2014:194-195).
wilayah perdesaan pada masa sebelumnya. Martin van Bruinessen, dengan
Artinya, tidak ada kota beserta lingkungan mengambil satu studi kasus di daerah
permukiman di dalamnya yang terlahir secara Sukaparkir, Bandung, juga menunjukan bahwa
tiba-tiba (Purnawan, 2010:846). Bahkan perkembangan perkampungan kumuh di
substansi sejarah kota itu sendiri kerap disebut Bandung tidak terlepas dari migrasi yang terus
sebagai sejarah yang menyeluruh (total history). terjadi ke daerah tersebut. Proses migrasi ke
Hal itu berarti bahwa sebuah kota merupakan Bandung sudah dimulai sejak era kolonialisme
subyek yang terus berproses, yakni dari suatu Belanda dan semakin memuncak sekitar tahun
pengertian yang sederhana ke pengertian yang 1960an (Martin, TT:3-4). Desakan jumlah
lebih kompleks (Nandang, 2010:274). Dalam hal penduduk inilah yang kemudian menciptakan
ini termasuk persoalan permukiman di area kota, kantong permukiman kumuh dengan ekonomi
yang lebih umum dikenal dengan sebutan informal sebagai penopang kehidupan sehari-
kampung-kota (Pele, 2013:4). Sebagai sebuah hari warganya. Tidak heran, masyarakat yang
“proses menjadi”, kampung-kota merupakan bermukim di kampung-kota cenderung
bentuk transformasi dari kampung diposisikan sebagai penghambat jalan menuju
perdesaan/rural yang kemudian berkembang kota yang modern. Maka, berdasarkan latar
menuju ke arah corak kehidupan belakang di atas, saya pun merumuskan satu
perkotaan/urban (Pele, 2013:17). Bahkan permasalahan utama yang dapat diidentifikasi
kebanyakan dari kota-kota yang ada hari ini, dalam penelitian ini yakni mengapa
pada dasarnya merupakan desa agraris yang perkampungan kota di Bandung menjadi korban
mengalami aglomerasi dalam bentuk pemadatan dalam proses modernisasi kota sepanjang tahun
(intensifikasi) dan perluasan (ekstensifikasi). 1965-1985? Dari permasalahan utama tersebut,
Desa agraris yang kemudian dapat saya pun menurunkannya menjadi beberapa
bertransformasi dengan memadat dan sedikit pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1)
membesar itulah yang kemudian membentuk Bagaimana kebijakan pemerintah dapat
wilayah kampung-kota (Johan, 2015:3). Hal mempengaruhi eksistensi kampung-kota,
demikian pula yang terjadi dalam konteks sekaligus mempengaruhi wacana tentang
permukiman di wilayah Kota Bandung permukiman kumuh? (2) Bagaimana kondisi
Satu hal penting yang kerap mencuat kampung-kota pada tahun 1965-1985? dan (3)
ketika membicarakan permukiman di kota Mengapa pemerintah perlu merancang proyek
adalah keterkaitan antara kekuasaan, modal, dan perbaikan kampung dan apa dampaknya bagi
urbanisasi. Dalam konteks Kota Bandung, perkampungan kota di Bandung?
persoalan semacam ini dapat kita temukan dari
penelitian yang dilakukan oleh Gustaaf Reerink. METODE
Dalam penelitian tersebut, Reerink menunjukan Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan
bahwa sejak era kolonialisme Belanda hingga era ini ialah metode penelitian sejarah. Metode ini
kemerdekaan Indonesia, tidak ada satu pun terdiri dari empat tahapan yakni; heuristik, kritik
rezim kekuasaan yang mampu menjalankan sumber, interpretasi, dan historiografi. Heuristik
kontrol yang efektif terhadap kampung-kota merupakan tahapan untuk mengumpulkan
secara keseluruhan. Serupa dengan rezim sumber-sumber kepustakaan (Kuntowijoyo,
kolonial, pemerintah Indonesia pun hanya 2013:95). Pada tahap heuristik, saya
mampu menjalankan kontrol terhadap kampung- mengumpulkan data melalui proses penggalian
kota melalui program perbaikan perkampungan sumber sejarah yakni sumber tertulis. Dalam hal
yang mewujud dalam pembangunan fisik. ini, saya mengumpulkan sumber tertulis berupa
Bahkan hal tersebut baru bisa dilakukan setelah surat kabar dan dokumen sezaman yang

54
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

dikategorikan sebagai sumber primer. Sebagian HASIL DAN PEMBAHASAN


besar sumber primer saya dapat dari Kantor Dari Permukiman Desa Ke Permukiman Kota
Arsip PT. Balai Iklan di Bandung yang Apa yang terjadi dengan Kota Bandung hari ini,
menyimpan surat kabar Pikiran Rakyat periode sudah tentu tidak terjadi begitu saja. Perlu
tahun 1970-1980an dan surat kabar Kompas rentang waktu yang sangat panjang bagi Kota
dengan periode tahun yang sama. Sayangnya, Bandung untuk merubah kondisi sosio-spasial
ada beberapa edisi Kompas di PT. Balai Iklan permukimannya dari yang sebelumnya bercorak
yang tidak saya temukan. Sementara sumber perdesaan, hingga kemudian berubah menjadi
primer lainnya, saya dapat dari kantor Arsip permukiman khas kota metropolitan. Perubahan
Daerah Kota Bandung berupa beberapa tersebut disebabkan oleh banyak faktor, beberapa
dokumen yang terkait dengan penelitian saya, diantaranya adalah semakin melejitnya industri
terutama dokumen pelaksanaan program perkebunan di Priangan, politik pemerintahan
Bandung Urban Development Project tahun 1985. kolonial, hingga ledakan urbanisasi pasca
Selain sumber primer, saya pun kemerdekaan. Oleh sebab itu, membicarakan
mengumpulkan beberapa sumber sekunder perubahan lanskap wilayah Bandung dari
seperti buku, jurnal, dan majalah. Beberapa perdesaan menjadi perkotaan menjadi tidak
sumber sekunder saya dapatkan dari mungkin jika tidak mengaitkannya dengan aneka
Perpustakaan Kolsani Yogyakarta berupa kebijakan yang berlaku pada masa kolonialisme
terbitan majalah Prisma tahun 1970-1980an, Belanda. Sebab, dari kebijakan-kebijakan yang
Arsip Suara Merdeka Semarang berupa terbitan berlaku pada masa kolonialisme itulah pondasi
Tempo edisi tahun yang sama, Perpustakaan metropolitanisasi yang terjadi di Bandung
Daerah Kota Bandung berupa beberapa naskah bermula. Seperti dalam konteks kebijakan
dan data sejarah terbitan Pemerintah Kota Preanger Stelsel misalnya. Selain berdampak
Bandung, dan aneka jurnal yang dapat diakses terhadap ruang geografis, secara tidak langsung,
secara bebas melalui internet. Sementara untuk kebijakan tersebut turut memaksa rakyat
sumber sekunder berupa buku, sebagian besar bumiputera untuk bermukim pada suatu daerah
saya dapatkan dari hasil mencari sendiri. Guna tertentu dalam jangka waktu yang lama. Kondisi
meraih penggambaran yang lebih mendalam, itulah yang menjadi awal perubahan lanskap
saya juga menggunakan sumber non- sosio-spasial dari permukiman desa menjadi
konvensional seperti foto dan peta yang saya permukiman kota (Ekadjati, 1995:118). Sebab,
dapatkan dari koleksi Arsip Nasional Indonesia, dengan kehidupan yang mulai menetap pasca
koleksi beberapa situs arsip Belanda, dan koleksi pemberlakuan Preanger Stelsel, terjadi
arsip perseorangan. pertemuan yang cukup intens antara keluarga
Setelah tahap heuristik, saya pun masuk cikal bakal dan para penduduk yang baru.
ke dalam tahap selanjutnya berupa kritik sumber. Mereka akhirnya sama-sama menetap di satu
Dalam tahap ini, saya melakukan pemilahan tempat dalam jangka waktu yang panjang, saling
sumber mana yang relevan untuk dimasukan ke membantu dan bekerja sama, serta
dalam referensi dan sumber mana yang tidak. mempertahankan diri terhadap ancaman dari
Dalam metode penelitian sejarah, kegiatan ini luar. Melalui interaksi inilah kemudian muncul
disebut sebagai kritik internal. Setelah budaya bermukim yang dalam masyarakat
melakukan kritik sumber, saya pun mulai Sunda disebut dengan kampung (Pele, 2013:39).
melakukan praktik menafsirkan fakta- fakta yang Kondisi tersebut semakin jelas ketika
diperoleh dari data yang telah diseleksi. Tahap pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan
ini disebut dengan interpretasi. Setelah tiga tahap kebijakan Tanam Paksa. Selain mendapat
metode penelitian sejarah di atas, saya pun kecaman keras dari orang-orang Balanda seperti
sampai pada tahap historiografi atau penulisan Baron van Hoevell dan Multatuli, ternyata
sejarah yang terejawantah dalam tulisan ini. kebijakan ini pun berdampak pula terhadap
perluasan lahan perkebunan ke desa-desa di

55
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

sekitar kota. Hal ini terjadi pula di Bandung yang pemerintahan, rekreasi dan hiburan. Kereta
pada masa Tanam Paksa, berfungsi sebagai pusat api cepat dan bandar udara yang
perlengkapannya bagus membuat kota ini
pengumpulan, penyimpanan, dan pengiriman
nyaman dan mudah dicapai, dan melalui alat-
produk pemerintah dari daerah penghasil alat telekomunikasi modern orang Bandung
komoditi. Tidak heran, banyak kampung di dapat berkomunikasi dengan Eropa…
sekitar Bandung yang mengalami perubahan (Voskuil, 2017:75-76).
teritorial dari yang sebelumnya desa menjadi
masuk ke dalam teritori kota. Sementara itu, Sementara itu, penduduk bumiputera
sejak pemberlakuan Agrarische Wet (Undang- tetap saja tinggal di perkampungan kota yang
Undang Agraria) 1870, mulai banyak kumuh dan menggantungkan hidupnya sebagai
perusahaan perkebunan swasta yang menguasai pembantu rumah tangga, pedagang eceran, dan
ratusan hektar tanah dan menciptakan kondisi pertukangan. Kondisi semacam ini tetap
bagi akumulasi kapital dengan cara merongrong berlangsung, bahkan hingga Indonesia mencapai
kontrol masyarakat atas sumber produksi kemerdekaan. Salah satu peristiwa pada masa
(Ahmad, 2011:06). Melalui kebijakan tersebut, awal kemerdekaan, atau yang lebih lazim disebut
banyak daerah di Priangan yang menjadi lahan dengan era revolusi fisik (1945-1950) ialah
perkebunan kopi, karet, kina, dan teh yang pada peristiwa Bandung Lautan Api. Dalam peristiwa
masa itu, menjadi komoditi ekspor yang laku di ini, rakyat pribumi yang berdomisili di Bandung
pasaran dunia (Her, 2014:11). Keuntungan dari melakukan tindakan membumihanguskan kota
hasil perkebunan itu pula yang kemudian dibawa beserta perkampungannya. Alhasil, pada saat
ke Kota Bandung sebagai katalisator peristiwa Bandung Lautan Api sedang
moderenisasi kota. berkecamuk, terjadi penurun secara drastis
Seperti kota di Hindia Belanda lainnya, jumlah penduduk dari 433.281 jiwa pada tahun
Kota Bandung pun akhirnya dibangun di atas 1945, hingga hanya tersisa sekitar 100.000 jiwa
kepentingan pemerintahan dan orang-orang (Sapria, 1970:20). Namun setelah Bandung
Belanda secara keseluruhan. Tata kota pun dirasa aman, rakyat yang memilih mengungsi
didesain sedemikian rupa agar nyaman untuk keluar pun secara berangsur-angsur kembali
menjadi permukiman orang-orang Belanda dan memasuki kota. Mereka pun kembali
Eropa, sekaligus menjadi miniatur perkotaan membangun rumahnya menggunakan sisa-sisa
Eropa di tanah jajahan. Selain itu, kondisi ini pun bangunan rumah dan ada pula yang membangun
merangsang tumbuhnya proyek pembangunan rumah sejak awal dengan harta kekayaan yang
dan perubahan lanskap kota secara drastis. tidak seberapa (Sitaresmi, 2002:67). Selain
Namun bagi sebagian rakyat bumiputera, aneka membuat jumlah penduduk kota semakin
proyek tersebut justru menggusur kampung dan bertambah, arus balik para pengungsi ini pun
lahan pertanian mereka. Maka tidak heran, membuat perkampungan kota kembali padat.
hingga tahun 1920, setidaknya terdapat sepertiga Kondisi ini memuncak pada tahun 1950an ketika
dari kawasan asli penduduk bumiputera yang terjadi safari politik kelompok DI/TII.
hilang. Para penduduk bumiputera yang pada Seperti yang tertulis dalam memoar Us
masa sebelum perang dunia pertama berjumlah Tiarsa, selama gerakan politik Kartosuwiryo
7000 jiwa, terpaksa tersingkir dan dikumpulkan berlangsung, banyak dari masyarakat pedalaman
di daerah permukiman yang tersisa (Voskuil, di kota/kabupaten sekitar Bandung yang merasa
2017:63). Namun demikian, akibat dari geliat terganggu hingga memutuskan untuk
moderenisasi pada awal abad ke 20, Kota mengungsi. Kebanyakan dari mereka mengungsi
Bandung pun terus berkembang hingga menjadi: ke Bandung, terutama karena Bandung dianggap
memiliki jaminan keamanan yang lebih baik.
Kota jajahan besar, modern dengan wilayah Selain itu, Kota Bandung pun dipersepsikan
kota untuk tempat tinggal mewah, boulevard sebagai kota yang menjamin ketersediaan
dan taman-taman, sebagai “Parijs van Java”,
lapangan pekerjaan (Tiarsa, 2001:39). Tidak
penuh fasilitas pendidikan tinggi,

56
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

heran, pada masa ini penduduk Bandung penjuru kota; dan menciptakan pusat dan sub
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. pusat kota yang diatur secara fungsional dan
Sebagian besar para pendatang itu pun mulai terikat oleh batas-batas administrasi (Pele,
bermukim di lahan-lahan kosong, ataupun 2013:132).
bermukim di perkampungan lama yang telah ada Di samping itu, memasuki awal tahun
sebelumnya. Satu perkampungan baru yang 1970, laju pertumbuhan penduduk Bandung
muncul akibat gelombang pengungsian pada telah mencapai angka 3,2%. Pertumbuhan ini
tahun 1950-an ialah Kampung Bagusrangin sangat berkaitan dengan perluasan kampung-
(Pele, 2013:121). Namun, meskipun kondisi kampung secara spontan yang berada di
sosial-politik mulai terkendali pada awal tahun pinggiran kota dan area persawahan di
1960an, hal tersebut tetap tidak dapat sekitarnya (Voskuil, 2017:189). Maka tidak
menghentikan lonjakan penduduk yang terlanjur mengherankan, lonjakan pertumbuhan
terjadi. Alhasil banyak dari warga yang tinggal di penduduk tersebut berbanding lurus dengan
perkampungan tanpa memiliki status lahan yang kebutuhan akan permukiman. Bagi orang-orang
jelas. Kelak, perkampungan itulah yang disebut yang memiliki dana berlebih, tentu ia bisa
dengan perkampungan kota yang hidup dari membeli rumah di beberapa real estate yang baru
aktivitas ekonomi informal. Selain itu, mereka saja dibangun, atau dengan membeli rumah di
pun cenderung jauh dari akses pelayanan kota, Perumnas. Namun bagi masyarakat yang tidak
sehingga kerap dilabeli sebagai perkampungan memiliki dana berlebih, mereka berangsur-
kumuh. angsur bermukim di lahan-lahan yang tidak
terpakai. Oleh pemerintah, kelompok
Bandung Heurin Ku Tangtung: Masalah masyarakat inilah yang disebut dengan pemukim
Permukiman Tahun 1965-1985 liar.
Seperti yang telah banyak diketahui, pada tahun Meskipun disebut pemukim ‘liar’, seperti
1965 Indonesia mengalami huru-hara politik yang dinyatakan Ketua DPRD Kota Bandung,
yang kemudian menjadi tonggak pergantian Irawan Sarpingi, sebenarnya banyak dari
kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke penghuni rumah liar tersebut yang membayar
Presiden Soeharto. Sedikit berbeda dengan retribusi. Pemerintah Kota Bandung pun sempat
pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto ‘menertibkan’ bangunan liar tersebut seluas
terkenal dengan ambisinya untuk merealisasikan 1.176 m persegi (“Rumah2 Liar Tiap Tahun
pembangunan yang bertumpu pada stabilitas Bertambah”, 07 April 1970). Pada saat itu jumlah
ekonomi dan politik. Tidak heran, sejak Rapelita bangunan liar di Kota Bandung berjumlah
I mulai dijalankan, pemerintahan Presiden 15.600 buah dan penghuninya ditaksir telah
Soeharto terus mendorong kebijakan pemulihan menyentuh angka 78.000 jiwa. Bangunan liar
ekonomi yang ambisius di perdesaan dan tersebut kebanyakan merupakan bangunan tidak
perkotaan. Bersamaan dengan itu, seperti kota permanen. Namun maraknya penggunaan tanah
besar lainnya, Kota Bandung pun mulai untuk bangunan liar bukan tanpa alasan. Banyak
mengadopsi paradigma perencanaan kota yang dari pemukim liar yang tinggal di perkampungan
baru. kota merupakan orang-orang yang pindah dari
Rancangan kota tersebut termaktub ke desa, namun belum memiliki kepastian tempat
dalam Masterplan Bandung 1965-1985. Berbeda bermukim di kota. Hal tersebut dapat ditinjau
dengan konsep perkotaan warisan Kolonial yang dari penuturan Ato Yusman terkait keberadaan
membentuk struktur kota berciri segregasi rasial, Kampung Babakan Jawa:
melalui rancangan kota yang baru, struktur kota
pun diubah menjadi kategori-kategori fungsional ...dulu daerah ini (Babakan Jawa) lahannya
kosong berupa kebun. Pertama dihuni oleh
(zoning). Dua ciri khas perencanaan kota pedagang asongan/tukang loak kebetulan
(modern) ini adalah terwujudnya keseimbangan berasal dari Jawa yang merantau ke Jawa
dan kesamaan dalam pembangunan ke setiap Barat. Karena tidak memiliki rumah maka

57
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

kedua orang tersebut mendirikan sesaungan bisnis rumah mewah merupakan bisnis yang
lama kelamaan kedua orang tersebut menguntungkan (“Pembangunan Perumahan
membawa teman-teman seprofesinya yang
Maju Pesat Dikhawatirkan Tumbuh Slum
juga kebetulan orang Jawa menduduki daerah
ini, mulailah tempat ini dihuni oleh etnis Jawa Baru”, 1983:75).
(“Sadang Serang Dalam Ingatan”, 21 Januari Meski pertumbuhan proyek permukiman
2011). swasta semakin pesat, pada akhir tahun 1970an,
tigaperempat dari penduduk Bandung masih
Apa yang terjadi di Babakan Jawa, tinggal di permukiman informal yang dibangun
sebenarnya terjadi pula di berbagai kantong oleh penduduk secara perorangan tanpa
kampung-kota yang tersebar di Bandung. Seperti memperhatikan aturan, tanpa bantuan para
yang telah disebutkan sebelumnya, gelombang tukang, ataupun dibangun oleh pemborong
urbanisasi ke Bandung memang sudah mencuat terdaftar. Pada tahun 1976, total luas
sejak tahun 1950an. Namun aglomerasi dari permukiman yang berwujud semacam itu
proses terciptanya perkampungan kota justru menyentuh angka 2.100 ha dari 44% daerah yang
terjadi pada tahun 1970an. Kondisi ini telah terbangun di Kota Bandung (Voskuil,
berlangsung bersamaan dengan kebutuhan 2017:194). Meski demikian, dalam
permukiman di Bandung yang terus mengalami perkembangan kota yang semakin metropolitan,
peningkatan, Bahkan menurut perkiraan, Kota perkampungan kota semacam itu justru
Bandung ditaksir masih membutuhkan sekitar merupakan jenis permukiman yang paling rentan
100.000 rumah lagi dan itu membutuhkan lahan untuk disingkirkan, baik itu dengan cara
seluas 4.500 hektar. Sementara tanah yang tersisa penggusuran, ataupun dengan cara melabelinya
untuk dijadikan perumahan, hanya tersisa 650 sebagai permukiman liar dan kumuh.
hektar. Hal tersebut ditegaskan pula oleh Menteri
Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara, yang Menata Permukiman Kumuh
mengatakan bahwa selama Pelita-II, di Kota Seperti yang telah disinggung di bagian
Bandung harus dibangun 7000 rumah murah sebelumnya, pada tahun 1970-1980an, sebagian
(“25 pCt Rumah di Bandung Merupakan besar penduduk Bandung, atau sekitar setengah
Bangunan Liar”, 14 Juli 1978). dari seluruh rumah tangga, masih tinggal di
Persoalan lonjakan jumlah penduduk dan kampung-kampung dan kawasan permukiman
kebutuhan akan permukiman baru, membuat yang tidak direncanakan. Beberapa ciri dari
pemerintah melaksanakan beberapa proyek model kawasan permukiman semacam itu ialah;
permukiman. Pemerintah bahkan memberikan rumah-rumah saling berhimpitan, lalu-lintas
subsidi untuk pembangunan Perumnas di mobil sulit dan/atau bahkan tidak bisa sama
berbagai daerah. Di Kota Bandung, sekali, minim fasilitas dasar permukiman seperti
pembangunan Perumnas tahap awal dilakukan saluran air, riol, jalan, jembatan, dan tempat
di Sukaluyu, Sadang Serang, Cijerah, dan pengumpulan sampah secara teratur. Buruknya
Sukajadi (“Rumah Murah di Bandung dan kondisi lingkungan tersebut, sebenarnya sudah
Cirebon: Antara yang Mendesak dan yang Sudah berlangsung cukup lama. Bahkan sejak masa
Jenuh”, 10 Febuari 1978). Sementara itu, tujuan Kolonialisme Belanda hingga era Negara
dari pembangunan Perumnas sendiri ialah untuk Republik Indonesia, persoalan tersebut seolah
memicu sektor swasta agar mau membangun memang telah menyejarah dalam ruang
permukiman untuk kelas bawah (Pele, keseharian penduduk Kota Bandung, lengkap
2013:138). Tidak heran, sebagai konsekuensi dari beserta aneka program untuk memperbaikinya.
hasrat menjadi kota modern, di Kota Bandung Program perbaikan kampung-kota,
pun mulai berkembang permukiman yang sebagian besar memang diinisiasi oleh
didorong oleh investor. Sebab, seperti yang pemerintah. Selain itu, banyak pula program
dinyatakan oleh Dirut Bangun Cipta Sarana, perbaikan perkampungan yang merupakan hasil
Jakarta, bahwa pada paruh kedua tahun 1970an, dari kerja sama antara pemerintah dengan

58
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

instansi lain yang memiliki sokongan dana yang sebenarnya masih menyisakan banyak sekali
besar. Meski demikian, sebenarnya ada pula persoalan dan hambatan. Salah satu hambatan
program perbaikan kampung yang murni hasil dari proyek tersebut ialah kemungkinan
inisiasi masyarakat kampung itu sendiri. Sebagai terhentinya proyek di tengah jalan akibat dari
contoh, hal tersebut terjadi di Kecamatan kekurangan dana untuk mendampingi pinjaman
Cicendo pada tahun 1970an. Dengan dari Asia Development Bank (“BUDP Dewi Sartika
menggunakan dana swadaya masyarakat, dua Terhenti”, 09 Oktober 1986). Hal ini tentu
Rukun Warga (RW) di Kelurahan Pajajaran menghambat ambisi pemerintah untuk
Dalam, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung meningkatkan mutu lingkungan kampung-kota
melangsungkan proyek perbaikan jalan/gang. di tengah deru nafas moderenisasi.
Poyek perbaikan yang selesai pada tahun 1973 Di samping itu, dalam beberapa kasus,
ini dikerjakan secara gotong-royong oleh seluruh proyek Dewi Sartika justru mendorong
warga. Sementara itu, dalam hal ini, pemerintah masyarakat dari kelompok ekonomi menengah
pun sempat melaksanakan kebijakan perbaikan ke bawah untuk pindah ke perkampungan yang
perkampungan seperti terlaksana berkat telah diperbaiki. Secara tidak langsung,
kerjasama dengan UNEP (1977-1980) dan fenomena tersebut memaksa penduduk yang
UNICEF (1984-1989). berpenghasilan rendah untuk pergi dari
Sebagian besar program perbaikan perkampungan yang telah tertata rapih, dan
perkampungan tersebut, menyasar tempat pindah ke kampung-kota lain yang tidak
bermukim masyarakat yang disebut dengan tersentuh proyek perbaikan kampung (Voskuil,
kampung- kota. Selain memperbaiki dari aspek 2017:195). Dengan demikian, alih-alih
fisik, meskipun tidak jelas dampaknya, program memperbaiki lingkungan perkampungan beserta
perbaikan tersebut juga sedikit menyasar aspek kondisi sosial-ekonomi penduduknya,proyek
sosial-ekonomi (Voskuil, 2017:195). Namun Dewi Sartika justru merangsang perpindahan
program yang segmentasinya paling luas ialah penduduk baru dan semakin mendorong
proyek Bandung Urban Development Project pemadatan perkampungan kota. Selain itu,
(BUDP) yang dikerjakan di beberapa titik. program perbaikan kampung yang lebih
Seperti proyek perbaikan sejenis di kota menyasar aspek fisik juga menunjukan bahwa:
besar lainnya, proyek BUDP pun memiliki nama
‘lokalnya’ sendiri yakni Proyek “Dewi Sartika”. “Memperbaiki lingkungan rumah saja
bukanlah berarti akan memperbaiki
Perwakilan dari tim proyek tersebut,Ir. Soetikni
kehidupan penduduk kota. Jika masyarakat
Soentoro, menyebutkan bahwa tujuan berpendapatan rendah pindah ke lingkungan
diadakannya proyek “Dewi Sartika” adalah rumah yang lebih baik, tapi tetap hidup
untuk membuat perubahan-perubahan perbaikan terpisah dalam lingkungan suku/ras dan
tingkat lingkungan hidup, dengan sasaran lingkungan ekonomi, jauh dari tempat kerja
dan tempat fasilitas umum.berarti kehidupan
keluarga atau masyarakat yang berpendapatan
mereka belumlah diperbaiki” (“Tempat
rendah, melalui penyediaan serta perbaikan Tinggal untuk yang Tak Punya Rumah”,
utilitas perumahan dan pelayanan sanitasi. 1986:77).
Proyek ini direncanakan berjalan sampai tahun
2001 dan dilaksanakan secara bertahap (“Daerah SIMPULAN
Sekilas”, 01 Juli 1985). Pada tahun 1980an, Kota Bandung telah tumbuh
Tahap awal proyek ini dilaksanakan di menjadi kota metropolitan dengan moderenisasi
tiga kelurahan yakni Padasuka, Babakan di segala sektor sebagai ciri utamanya. Kondisi
Surabaya, dan Nyengseret dengan luas areal tersebut mendorong pertumbuhan jumlah
385,3 hektar yang melayani 107.794 jiwa penduduk yang tidak terkendali. Selain karena
penduduk (“Proyek Dewi Sartika Perbaiki geliat ekonomi yang mulai tumbuh, beberapa
Lingkungan”, 12 Januari 1985). Namun dalam peristiwa politik seperti Bandung Lautan Api dan
pelaksanaannya, proyek Dewi Sartika aktivitas politik DI/TII juga turut menjadi

59
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

penyebab arus urbanisasi ke dalam kota. Para DAFTAR PUSTAKA


pendatang yang menggantungkan hidupnya di Artikel, Surat Kabar, dan Majalah
Kota Bandung, sebagian besar berasal dari “25 pCt Rumah di Bandung Merupakan Bangunan
perdesaan yang ada di wilayah Priangan. Meski Liar”, dalam Kompas 14 Juli 1978.
demikian, ada pula para pendatang yang berasal “Daerah Sekilas”, dalam Kompas 01 Juli 1985.
“Pembangunan Perumahan Maju Pesat
dari luar wilayah Bandung yang kemudian,
Dikhawatirkan Tumbuh Slum Baru”, dalam
membentuk wilayah permukiman sendiri Prisma No. 4, April 1983. “Proyek Dewi
berdasarkan tempat dari mana ia berasal. Pada Sartika Perbaiki Lingkungan”, dalam Pikiran
saat memuncaknya arus urbanisasi kota, tidak Rakyat 12 Januari 1985.
semua pendatang mendapatkan tempat yang “Rumah2 Liar Tiap Tahun Bertambah”, dalam Pikiran
layak untuk bermukim. Banyak dari mereka yang Rakyat 07 April 1970.
hanya bertempat tinggal di bangunan sederhana, “Rumah Murah di Bandung dan Cirebon: Antara
bahkan ada pula yang terpaksa bermukim di yang Mendesak dan yang Sudah Jenuh”,
dalam Kompas 10 Febuari 1978.
tanah kuburan. Akhirnya di tempat itulah
“Sadang Serang dalam Ingatan” dalam
mereka menjalani kehidupan sehari-hari, di
allaboutsadangserang.com (Diakses pada tanggal
tengah deru nafas kota yang sedang bersolek
17 September 2018).
untuk menjadi kota metropolitan. “Tempat Tinggal untuk yang Tak Punya Rumah”,
Pemerintah pun tidak tinggal diam untuk dalam Prisma Mei 1986.
menanggulanginya. Aneka proyek perbaikan
kampung pun marak dilaksanakan pada era Buku, Jurnal, dan Skripsi
tahun 1970-1980an. Hal ini tidak terlepas dari Basundoro, Purnawan. “Dari Kampung Desa Ke
hasrat pemerintah kota untuk ‘meremajakan’ Kampung Kota: Perubahan Ekologi Kota
wajah kotanya. Apalagi dalam kondisi iklim Surabaya Dalam Perspektif Permukiman Pada
Masa Kolonial” dalam Jantra Vol. V, No. 10.
perencanaan kota yang sedang diarahkan
------------. “Perebutan Ruang Kota: Problem Masa
menuju kota metropolitan, maka keberadaan
Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Perkotaan
suatu perkampungan yang kumuh kerap di Indonesia”, dalam Naskah Orasi Ilmiah
dianggap sebagai beban dari kota itu sendiri. Sidang Dies Natalis Universitas Airlangga, 11
Logika semacam inilah yang mewarnai November 2013.
perkampungan kota di Bandung pada tahun ------------. “Problem Pemukiman Pascarevolusi
1980an. Di Bandung sendiri, setidaknya tercatat Kemerdekaan: Studi Tentang Pemukiman Liar
beberapa lokasi perkampungan yang masuk ke di Kota Surabaya 1945-1960” dalam
dalam target perbaikan kampung. Beberapa Humaniora Vol. 16, No. 3.
Colombijn, Freek & Martine Barwegen, Dkk (Ed).
diantaranya adalah Babakan Surabaya,
2015. Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota
Nyengseret, dan Padasuka. Dengan lebih
di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan.
memfokuskan pada aspek fisik, proyek perbaikan Yogyakarta: Ombak.Colombijn Freek & Joost
perkampungan yang diinisiasi pemerintah pun Cote (Ed). 2014. Cars, Conduits, and Kampongs:
tidak menghasilkan dampak yang signifikan. Modernization of the Indonesian City, 1920-1960.
Kondisi sosio-ekonomi penduduk kampung-kota Leiden: Brill.
tetap tidak berubah secara drastis. Mereka tetap Ekadjati, Edi. S. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu
menjadi lapisan paling bawah dalam hierarki Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
penghuni kota. Di samping itu, oleh karena Hardjasaputra, A. Sobana. “Perubahan Sosial
di Bandung 1810-1906” dalam Sosiohumaniora
kepemilikan modal yang amat terbatas, mereka
Vol. 5, No. 1.
pun kalah telak dalam serangkaian perebutan
Katam, Sudarsono. 2014. Gemeente Huis. Bandung:
ruang kota. Bahkan tidak hanya dalam hal Kiblat.
berebut ruang fisik kota, penduduk Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe.
perkampungan kota juga kalah dalam perebutan Bandung: Granesia.
wacana terkait estetika kota.

60
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61

------------. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya.


Bandung: Granesia. Kuntowijoyo. 2003.
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nashih Luthfi, Ahmad, dkk. 2011. Kronik Agraria
Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman,
Sektor, dan Aktor. Yogyakarta: STPN Press.
Rusnandar, Nandang. “Sejarah Kota Bandung Dari
“Bergdessa” Desa Udik) Menjadi Bandung
“Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan)”,
dalam Patanjala Vol. 2, No. 2.
Sapria. 1970. Data-Data Kotamadya Bandung Tahun
1970. Bandung: Biro Umum Kotamadya
Bandung.
Sitaresmi, Ratnaayu dkk. 2002. Saya Pilih Mengungsi:
Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan.
Bandung: Pustaka Madani. Suganda, Her.
2014. Kisah Para Preanger Planters. Jakarta:
Kompas.
Tiarsa, US. 2001. Basa Bandung Halimunan: Bandung
Taun 1950-1960-an. Bandung: Kiblat.
Voskuil, Robert P.G.A, Dkk (terj). 2017. Bandung,
Citra Sebuah Kota. Bandung: Penerbit
ITB.Widjaja, Pele. 2013. Kampung Kota
Bandung. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yuni Choirul Nisah, Galuh & Sri Ana Handayani.
“Pemukiman Liar di Surabaya Tahun 1970-
2000” dalam Publika Budaya Vol. 2 (1) Maret
2014.

61

Anda mungkin juga menyukai