http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih
Abstract
___________________________________________________________________
In the 1970s-1980s, along with the development planning of the metropolitan city, the issue of the settlements
into a single symptom that happens almost in every big city in Indonesia. This is caused by the limited capacity
of the city, while a surge in population resulting from urbanization continued to increase. As a result many
migrants who later settled in land unused and filling the pockets of the kampung-kota of the city which had
previously existed. This study discusses the history of the kampung-kota, especially those associated its position
in an increasingly modern city planning. Further, this research is trying to see how the Government viewed the
kampung-kota and simultaneously reviewed what efforts the Government has to improve the environment of the
settlement. After observation, in the 1970-1980s, various forms of the settlement repair program ever undertaken
in the city of Bandung. Although there is also a pure settlement improvement program was initiated by the non-
governmental community, in the majority of program improvements the kampung-kota at that time was a
Government project that worked with philanthropic foundations. But just take a focus on improvements to the
physical aspect of the kampung-kota, a few repair programe was not significantly impact on the community
which settled in the settlement of the city. For improving the environment of settlement does not warrant
improving the condition of their economy are more absorbed into the urban informal economy.
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6633
Ruang Jurnal Sejarah, Gedung C5 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: sejarah@mail.unnes.ac.id
53
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
54
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
55
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
sekitar kota. Hal ini terjadi pula di Bandung yang pemerintahan, rekreasi dan hiburan. Kereta
pada masa Tanam Paksa, berfungsi sebagai pusat api cepat dan bandar udara yang
perlengkapannya bagus membuat kota ini
pengumpulan, penyimpanan, dan pengiriman
nyaman dan mudah dicapai, dan melalui alat-
produk pemerintah dari daerah penghasil alat telekomunikasi modern orang Bandung
komoditi. Tidak heran, banyak kampung di dapat berkomunikasi dengan Eropa…
sekitar Bandung yang mengalami perubahan (Voskuil, 2017:75-76).
teritorial dari yang sebelumnya desa menjadi
masuk ke dalam teritori kota. Sementara itu, Sementara itu, penduduk bumiputera
sejak pemberlakuan Agrarische Wet (Undang- tetap saja tinggal di perkampungan kota yang
Undang Agraria) 1870, mulai banyak kumuh dan menggantungkan hidupnya sebagai
perusahaan perkebunan swasta yang menguasai pembantu rumah tangga, pedagang eceran, dan
ratusan hektar tanah dan menciptakan kondisi pertukangan. Kondisi semacam ini tetap
bagi akumulasi kapital dengan cara merongrong berlangsung, bahkan hingga Indonesia mencapai
kontrol masyarakat atas sumber produksi kemerdekaan. Salah satu peristiwa pada masa
(Ahmad, 2011:06). Melalui kebijakan tersebut, awal kemerdekaan, atau yang lebih lazim disebut
banyak daerah di Priangan yang menjadi lahan dengan era revolusi fisik (1945-1950) ialah
perkebunan kopi, karet, kina, dan teh yang pada peristiwa Bandung Lautan Api. Dalam peristiwa
masa itu, menjadi komoditi ekspor yang laku di ini, rakyat pribumi yang berdomisili di Bandung
pasaran dunia (Her, 2014:11). Keuntungan dari melakukan tindakan membumihanguskan kota
hasil perkebunan itu pula yang kemudian dibawa beserta perkampungannya. Alhasil, pada saat
ke Kota Bandung sebagai katalisator peristiwa Bandung Lautan Api sedang
moderenisasi kota. berkecamuk, terjadi penurun secara drastis
Seperti kota di Hindia Belanda lainnya, jumlah penduduk dari 433.281 jiwa pada tahun
Kota Bandung pun akhirnya dibangun di atas 1945, hingga hanya tersisa sekitar 100.000 jiwa
kepentingan pemerintahan dan orang-orang (Sapria, 1970:20). Namun setelah Bandung
Belanda secara keseluruhan. Tata kota pun dirasa aman, rakyat yang memilih mengungsi
didesain sedemikian rupa agar nyaman untuk keluar pun secara berangsur-angsur kembali
menjadi permukiman orang-orang Belanda dan memasuki kota. Mereka pun kembali
Eropa, sekaligus menjadi miniatur perkotaan membangun rumahnya menggunakan sisa-sisa
Eropa di tanah jajahan. Selain itu, kondisi ini pun bangunan rumah dan ada pula yang membangun
merangsang tumbuhnya proyek pembangunan rumah sejak awal dengan harta kekayaan yang
dan perubahan lanskap kota secara drastis. tidak seberapa (Sitaresmi, 2002:67). Selain
Namun bagi sebagian rakyat bumiputera, aneka membuat jumlah penduduk kota semakin
proyek tersebut justru menggusur kampung dan bertambah, arus balik para pengungsi ini pun
lahan pertanian mereka. Maka tidak heran, membuat perkampungan kota kembali padat.
hingga tahun 1920, setidaknya terdapat sepertiga Kondisi ini memuncak pada tahun 1950an ketika
dari kawasan asli penduduk bumiputera yang terjadi safari politik kelompok DI/TII.
hilang. Para penduduk bumiputera yang pada Seperti yang tertulis dalam memoar Us
masa sebelum perang dunia pertama berjumlah Tiarsa, selama gerakan politik Kartosuwiryo
7000 jiwa, terpaksa tersingkir dan dikumpulkan berlangsung, banyak dari masyarakat pedalaman
di daerah permukiman yang tersisa (Voskuil, di kota/kabupaten sekitar Bandung yang merasa
2017:63). Namun demikian, akibat dari geliat terganggu hingga memutuskan untuk
moderenisasi pada awal abad ke 20, Kota mengungsi. Kebanyakan dari mereka mengungsi
Bandung pun terus berkembang hingga menjadi: ke Bandung, terutama karena Bandung dianggap
memiliki jaminan keamanan yang lebih baik.
Kota jajahan besar, modern dengan wilayah Selain itu, Kota Bandung pun dipersepsikan
kota untuk tempat tinggal mewah, boulevard sebagai kota yang menjamin ketersediaan
dan taman-taman, sebagai “Parijs van Java”,
lapangan pekerjaan (Tiarsa, 2001:39). Tidak
penuh fasilitas pendidikan tinggi,
56
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
heran, pada masa ini penduduk Bandung penjuru kota; dan menciptakan pusat dan sub
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. pusat kota yang diatur secara fungsional dan
Sebagian besar para pendatang itu pun mulai terikat oleh batas-batas administrasi (Pele,
bermukim di lahan-lahan kosong, ataupun 2013:132).
bermukim di perkampungan lama yang telah ada Di samping itu, memasuki awal tahun
sebelumnya. Satu perkampungan baru yang 1970, laju pertumbuhan penduduk Bandung
muncul akibat gelombang pengungsian pada telah mencapai angka 3,2%. Pertumbuhan ini
tahun 1950-an ialah Kampung Bagusrangin sangat berkaitan dengan perluasan kampung-
(Pele, 2013:121). Namun, meskipun kondisi kampung secara spontan yang berada di
sosial-politik mulai terkendali pada awal tahun pinggiran kota dan area persawahan di
1960an, hal tersebut tetap tidak dapat sekitarnya (Voskuil, 2017:189). Maka tidak
menghentikan lonjakan penduduk yang terlanjur mengherankan, lonjakan pertumbuhan
terjadi. Alhasil banyak dari warga yang tinggal di penduduk tersebut berbanding lurus dengan
perkampungan tanpa memiliki status lahan yang kebutuhan akan permukiman. Bagi orang-orang
jelas. Kelak, perkampungan itulah yang disebut yang memiliki dana berlebih, tentu ia bisa
dengan perkampungan kota yang hidup dari membeli rumah di beberapa real estate yang baru
aktivitas ekonomi informal. Selain itu, mereka saja dibangun, atau dengan membeli rumah di
pun cenderung jauh dari akses pelayanan kota, Perumnas. Namun bagi masyarakat yang tidak
sehingga kerap dilabeli sebagai perkampungan memiliki dana berlebih, mereka berangsur-
kumuh. angsur bermukim di lahan-lahan yang tidak
terpakai. Oleh pemerintah, kelompok
Bandung Heurin Ku Tangtung: Masalah masyarakat inilah yang disebut dengan pemukim
Permukiman Tahun 1965-1985 liar.
Seperti yang telah banyak diketahui, pada tahun Meskipun disebut pemukim ‘liar’, seperti
1965 Indonesia mengalami huru-hara politik yang dinyatakan Ketua DPRD Kota Bandung,
yang kemudian menjadi tonggak pergantian Irawan Sarpingi, sebenarnya banyak dari
kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke penghuni rumah liar tersebut yang membayar
Presiden Soeharto. Sedikit berbeda dengan retribusi. Pemerintah Kota Bandung pun sempat
pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto ‘menertibkan’ bangunan liar tersebut seluas
terkenal dengan ambisinya untuk merealisasikan 1.176 m persegi (“Rumah2 Liar Tiap Tahun
pembangunan yang bertumpu pada stabilitas Bertambah”, 07 April 1970). Pada saat itu jumlah
ekonomi dan politik. Tidak heran, sejak Rapelita bangunan liar di Kota Bandung berjumlah
I mulai dijalankan, pemerintahan Presiden 15.600 buah dan penghuninya ditaksir telah
Soeharto terus mendorong kebijakan pemulihan menyentuh angka 78.000 jiwa. Bangunan liar
ekonomi yang ambisius di perdesaan dan tersebut kebanyakan merupakan bangunan tidak
perkotaan. Bersamaan dengan itu, seperti kota permanen. Namun maraknya penggunaan tanah
besar lainnya, Kota Bandung pun mulai untuk bangunan liar bukan tanpa alasan. Banyak
mengadopsi paradigma perencanaan kota yang dari pemukim liar yang tinggal di perkampungan
baru. kota merupakan orang-orang yang pindah dari
Rancangan kota tersebut termaktub ke desa, namun belum memiliki kepastian tempat
dalam Masterplan Bandung 1965-1985. Berbeda bermukim di kota. Hal tersebut dapat ditinjau
dengan konsep perkotaan warisan Kolonial yang dari penuturan Ato Yusman terkait keberadaan
membentuk struktur kota berciri segregasi rasial, Kampung Babakan Jawa:
melalui rancangan kota yang baru, struktur kota
pun diubah menjadi kategori-kategori fungsional ...dulu daerah ini (Babakan Jawa) lahannya
kosong berupa kebun. Pertama dihuni oleh
(zoning). Dua ciri khas perencanaan kota pedagang asongan/tukang loak kebetulan
(modern) ini adalah terwujudnya keseimbangan berasal dari Jawa yang merantau ke Jawa
dan kesamaan dalam pembangunan ke setiap Barat. Karena tidak memiliki rumah maka
57
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
kedua orang tersebut mendirikan sesaungan bisnis rumah mewah merupakan bisnis yang
lama kelamaan kedua orang tersebut menguntungkan (“Pembangunan Perumahan
membawa teman-teman seprofesinya yang
Maju Pesat Dikhawatirkan Tumbuh Slum
juga kebetulan orang Jawa menduduki daerah
ini, mulailah tempat ini dihuni oleh etnis Jawa Baru”, 1983:75).
(“Sadang Serang Dalam Ingatan”, 21 Januari Meski pertumbuhan proyek permukiman
2011). swasta semakin pesat, pada akhir tahun 1970an,
tigaperempat dari penduduk Bandung masih
Apa yang terjadi di Babakan Jawa, tinggal di permukiman informal yang dibangun
sebenarnya terjadi pula di berbagai kantong oleh penduduk secara perorangan tanpa
kampung-kota yang tersebar di Bandung. Seperti memperhatikan aturan, tanpa bantuan para
yang telah disebutkan sebelumnya, gelombang tukang, ataupun dibangun oleh pemborong
urbanisasi ke Bandung memang sudah mencuat terdaftar. Pada tahun 1976, total luas
sejak tahun 1950an. Namun aglomerasi dari permukiman yang berwujud semacam itu
proses terciptanya perkampungan kota justru menyentuh angka 2.100 ha dari 44% daerah yang
terjadi pada tahun 1970an. Kondisi ini telah terbangun di Kota Bandung (Voskuil,
berlangsung bersamaan dengan kebutuhan 2017:194). Meski demikian, dalam
permukiman di Bandung yang terus mengalami perkembangan kota yang semakin metropolitan,
peningkatan, Bahkan menurut perkiraan, Kota perkampungan kota semacam itu justru
Bandung ditaksir masih membutuhkan sekitar merupakan jenis permukiman yang paling rentan
100.000 rumah lagi dan itu membutuhkan lahan untuk disingkirkan, baik itu dengan cara
seluas 4.500 hektar. Sementara tanah yang tersisa penggusuran, ataupun dengan cara melabelinya
untuk dijadikan perumahan, hanya tersisa 650 sebagai permukiman liar dan kumuh.
hektar. Hal tersebut ditegaskan pula oleh Menteri
Perumahan Rakyat, Cosmas Batubara, yang Menata Permukiman Kumuh
mengatakan bahwa selama Pelita-II, di Kota Seperti yang telah disinggung di bagian
Bandung harus dibangun 7000 rumah murah sebelumnya, pada tahun 1970-1980an, sebagian
(“25 pCt Rumah di Bandung Merupakan besar penduduk Bandung, atau sekitar setengah
Bangunan Liar”, 14 Juli 1978). dari seluruh rumah tangga, masih tinggal di
Persoalan lonjakan jumlah penduduk dan kampung-kampung dan kawasan permukiman
kebutuhan akan permukiman baru, membuat yang tidak direncanakan. Beberapa ciri dari
pemerintah melaksanakan beberapa proyek model kawasan permukiman semacam itu ialah;
permukiman. Pemerintah bahkan memberikan rumah-rumah saling berhimpitan, lalu-lintas
subsidi untuk pembangunan Perumnas di mobil sulit dan/atau bahkan tidak bisa sama
berbagai daerah. Di Kota Bandung, sekali, minim fasilitas dasar permukiman seperti
pembangunan Perumnas tahap awal dilakukan saluran air, riol, jalan, jembatan, dan tempat
di Sukaluyu, Sadang Serang, Cijerah, dan pengumpulan sampah secara teratur. Buruknya
Sukajadi (“Rumah Murah di Bandung dan kondisi lingkungan tersebut, sebenarnya sudah
Cirebon: Antara yang Mendesak dan yang Sudah berlangsung cukup lama. Bahkan sejak masa
Jenuh”, 10 Febuari 1978). Sementara itu, tujuan Kolonialisme Belanda hingga era Negara
dari pembangunan Perumnas sendiri ialah untuk Republik Indonesia, persoalan tersebut seolah
memicu sektor swasta agar mau membangun memang telah menyejarah dalam ruang
permukiman untuk kelas bawah (Pele, keseharian penduduk Kota Bandung, lengkap
2013:138). Tidak heran, sebagai konsekuensi dari beserta aneka program untuk memperbaikinya.
hasrat menjadi kota modern, di Kota Bandung Program perbaikan kampung-kota,
pun mulai berkembang permukiman yang sebagian besar memang diinisiasi oleh
didorong oleh investor. Sebab, seperti yang pemerintah. Selain itu, banyak pula program
dinyatakan oleh Dirut Bangun Cipta Sarana, perbaikan perkampungan yang merupakan hasil
Jakarta, bahwa pada paruh kedua tahun 1970an, dari kerja sama antara pemerintah dengan
58
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
instansi lain yang memiliki sokongan dana yang sebenarnya masih menyisakan banyak sekali
besar. Meski demikian, sebenarnya ada pula persoalan dan hambatan. Salah satu hambatan
program perbaikan kampung yang murni hasil dari proyek tersebut ialah kemungkinan
inisiasi masyarakat kampung itu sendiri. Sebagai terhentinya proyek di tengah jalan akibat dari
contoh, hal tersebut terjadi di Kecamatan kekurangan dana untuk mendampingi pinjaman
Cicendo pada tahun 1970an. Dengan dari Asia Development Bank (“BUDP Dewi Sartika
menggunakan dana swadaya masyarakat, dua Terhenti”, 09 Oktober 1986). Hal ini tentu
Rukun Warga (RW) di Kelurahan Pajajaran menghambat ambisi pemerintah untuk
Dalam, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung meningkatkan mutu lingkungan kampung-kota
melangsungkan proyek perbaikan jalan/gang. di tengah deru nafas moderenisasi.
Poyek perbaikan yang selesai pada tahun 1973 Di samping itu, dalam beberapa kasus,
ini dikerjakan secara gotong-royong oleh seluruh proyek Dewi Sartika justru mendorong
warga. Sementara itu, dalam hal ini, pemerintah masyarakat dari kelompok ekonomi menengah
pun sempat melaksanakan kebijakan perbaikan ke bawah untuk pindah ke perkampungan yang
perkampungan seperti terlaksana berkat telah diperbaiki. Secara tidak langsung,
kerjasama dengan UNEP (1977-1980) dan fenomena tersebut memaksa penduduk yang
UNICEF (1984-1989). berpenghasilan rendah untuk pergi dari
Sebagian besar program perbaikan perkampungan yang telah tertata rapih, dan
perkampungan tersebut, menyasar tempat pindah ke kampung-kota lain yang tidak
bermukim masyarakat yang disebut dengan tersentuh proyek perbaikan kampung (Voskuil,
kampung- kota. Selain memperbaiki dari aspek 2017:195). Dengan demikian, alih-alih
fisik, meskipun tidak jelas dampaknya, program memperbaiki lingkungan perkampungan beserta
perbaikan tersebut juga sedikit menyasar aspek kondisi sosial-ekonomi penduduknya,proyek
sosial-ekonomi (Voskuil, 2017:195). Namun Dewi Sartika justru merangsang perpindahan
program yang segmentasinya paling luas ialah penduduk baru dan semakin mendorong
proyek Bandung Urban Development Project pemadatan perkampungan kota. Selain itu,
(BUDP) yang dikerjakan di beberapa titik. program perbaikan kampung yang lebih
Seperti proyek perbaikan sejenis di kota menyasar aspek fisik juga menunjukan bahwa:
besar lainnya, proyek BUDP pun memiliki nama
‘lokalnya’ sendiri yakni Proyek “Dewi Sartika”. “Memperbaiki lingkungan rumah saja
bukanlah berarti akan memperbaiki
Perwakilan dari tim proyek tersebut,Ir. Soetikni
kehidupan penduduk kota. Jika masyarakat
Soentoro, menyebutkan bahwa tujuan berpendapatan rendah pindah ke lingkungan
diadakannya proyek “Dewi Sartika” adalah rumah yang lebih baik, tapi tetap hidup
untuk membuat perubahan-perubahan perbaikan terpisah dalam lingkungan suku/ras dan
tingkat lingkungan hidup, dengan sasaran lingkungan ekonomi, jauh dari tempat kerja
dan tempat fasilitas umum.berarti kehidupan
keluarga atau masyarakat yang berpendapatan
mereka belumlah diperbaiki” (“Tempat
rendah, melalui penyediaan serta perbaikan Tinggal untuk yang Tak Punya Rumah”,
utilitas perumahan dan pelayanan sanitasi. 1986:77).
Proyek ini direncanakan berjalan sampai tahun
2001 dan dilaksanakan secara bertahap (“Daerah SIMPULAN
Sekilas”, 01 Juli 1985). Pada tahun 1980an, Kota Bandung telah tumbuh
Tahap awal proyek ini dilaksanakan di menjadi kota metropolitan dengan moderenisasi
tiga kelurahan yakni Padasuka, Babakan di segala sektor sebagai ciri utamanya. Kondisi
Surabaya, dan Nyengseret dengan luas areal tersebut mendorong pertumbuhan jumlah
385,3 hektar yang melayani 107.794 jiwa penduduk yang tidak terkendali. Selain karena
penduduk (“Proyek Dewi Sartika Perbaiki geliat ekonomi yang mulai tumbuh, beberapa
Lingkungan”, 12 Januari 1985). Namun dalam peristiwa politik seperti Bandung Lautan Api dan
pelaksanaannya, proyek Dewi Sartika aktivitas politik DI/TII juga turut menjadi
59
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
60
Bagas Yusuf Kausan, dkk / Journal of Indonesian History 8 (1) (2019); pg. 53-61
61