Tujuan 1 Fix
Tujuan 1 Fix
Kota Bekasi adalah salah satu kota terbesar di Jawa Barat dengan jumlah
penduduk mencapai 3.08 juta jiwa pada tahun 2020 (BPS Kota Bekasi 2020) dan
akan terus bertambah dengan laju pertumbuhan 2.7% per tahun. Kota Bekasi
masuk dalam kategori kota metropolitan (Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) karena memiliki jumlah
penduduk di atas 1 juta jiwa. Fakta ini disebabkan oleh letak geografisnya yang
berbatasan dengan Jakarta, menjadi lintasan menuju ibukota negara dan ibukota
provinsi; kemudahan akses karena fasilitas public transport yang memadai; faktor
sarana kesehatan yang memadai; banyaknya pusat kegiatan ekonomi baru yang
dibangun dan lapangan kerja yang terus bertumbuh. Pertumbuhan ekonomi Kota
Bekasi mencapai 5.86% di tahun 2018 (BPS Kota Bekasi 2020). Di sisi lain, lahan
yang terbatas, memicu alih fungsi lahan, dan mendesak ruang terbuka hijau
(RTH) untuk dijadikan permukiman, sehingga luas RTH tinggal 16% luas
wilayah.
Adanya alih fungsi lahan dapat mengakibatkan Ketidakseimbangan
ekosistem menimbulkan fenomena banjir, tanah longsor, wabah penyakit,
kerawanan sosial dan munculnya serangan hewan-hewan liar di permukiman. Hal
ini dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang
yang kurang memperhatikan fungsi ekologis dan kemampuan daya dukungnya.
Kodoatie (2008) dan Raiter et al. (2018) menyatakan bahwa perubahan tata guna
lahan kota, proliferasi infrastruktur linier merupakan penyebab utama banjir
dibandingkan dengan faktor lainnya.
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan
teknis struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa
polder atau tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat
ini Kota Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa
kecamatan. Selain itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan
tata ruang melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031.
Namun hasil yang diharapkan belum optimal. Terbukti semakin lama, banjir
semakin meluas. Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan
banjir, akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus
mengeluarkan anggaran ekstra untuk kegiatan tanggap darurat dan kegiatan
rehabilitasi (Bappeda Kota Bekasi, 2020).
Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa Kota Bekasi adalah kota yang
rentan terjadinya bencana banji dan bila tidak dikendalikan dengan kaidah
konservasi lingkungan yang tepat, dapat menjadi kota yang tidak berkelanjutan.
Karena itu diperlukan analisis sistem pengendalian banjir saat ini dan prediksi
risiko banjir yang akan datang untuk mengetahui tingkat resiliensi dan risiko yang
harus dimitigasi. Selain itu, perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi perlu diidentifikasi dan diprediksi karena akan menentukan tindakan
mitigasi yang paling tepat. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menyediakan
alternatif model mitigasi banjir agar tercipta Kota Bekasi yang resilient (lenting-
tangguh).
1.1 Latar Belakang
Pada pertengahan Februari tahun 2021, menurut keterangan Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bekasi, banjir terjadi di 94 titik yang
tersebar pada 12 Kecamatan. Banjir terparah terjadi di Perumahan Bumi Nasio
Indah, dengan kedalaman hingga 2,5 meter. Sedangkan pada awal tahun 2020
lalu, titik banjir di Kota Bekasi mencapai 58 titik dengan luas sekitar 15.37 ha
atau 73% wilayah kota dengan kedalaman 1-4 meter. Melihat sejarahnya, semakin
lama banjir semakin luas dan semakin tinggi (dalam). Pada tahun 2005 luas
genangan berkisar 4-16 ha, kemudian tahun 2006 luas genangan meningkat
mencapai 4-20 ha, berikutnya pada tahun 2007 luas genangan telah mencapai 450
ha. Kerugian tidak hanya menyangkut materi, tetapi juga banyaknya korban jiwa
(BNPB 2021). Dana yang dikeluarkan untuk penanggulangan banjir tahun 2020
mencapai 74 M bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan 6.7 M dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan teknis
struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa polder atau
tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat ini Kota
Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa kecamatan. Selain
itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan tata ruang melalui
penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031. Hal yang patut
menjadi pertanyaan adalah, mengapa banjir masih terjadi, padahal upaya yang
telah dilakukan tidak sedikit. Karena itu, diperlukan gambar besar sistem
pengendalian banjir yang ada di Kota Bekasi saat ini. Hasilnya berupa peta proses
bisnis yang berguna sebagai alat analisis. Dengan demikian diharapkan
manajemen pengendalian banjir dapat dievaluasi, diperbaiki dan ditingkatkan
performanya.
Problem perkotaan Bekasi sangat komplek, karena pertumbuhan kota yang
sangat dinamis. Dari sisi sosial-demografi, Kota Bekasi merupakan bagian dari
megapolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) dan menjadi
kota dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia. Saat ini Kota
Bekasi berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sentra industri.
Berdasarkan data BPS Kota Bekasi (2020), laju pertumbuhan penduduk sekarang
mencapai 2.7%/tahun, jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk nasional
yang hanya 1.47% /tahun. Sementara luas kota Bekasi hanya 210,49 km 2, maka
pada tahun 2020 kepadatan penduduk mencapai 12.081 jiwa/km2.
Dari sisi ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi cenderung
meningkat dalam lima tahun terakhir sampai menyentuh 5.86%. Sedangkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 81.5 (BPS Kota Bekasi 2020).
Tapi capaian tersebut seolah menjadi tidak berarti karena hilangnya waktu karena
kemacetan, peningkatan kebutuhan pemeliharaan sarana perkotaan dan biaya
keamanan akibat angka kriminalitas yang tinggi serta masalah kerusakan
lingkungan. Kegiatan perekonomiannya yang tinggi, tentunya membutuhkan
ruang dan lahan, padahal lahan sangat terbatas. Akibatnya ruang terbuka hijau dan
ruang terbuka biru semakin terdesak oleh permukiman. Badan sungai menyempit
karena sedimentasi dan okupasi permukiman. Luas permukiman saat ini sudah
mencapai 53.78% dari luas wilayah Kota Bekasi yang mayoritas merupakan
dataran banjir. Luas ruang terbuka hijau tinggal 16% luas wilayah Kota Bekasi.
Secara geografis, Kota Bekasi terletak di hilir Sungai Cikeas, DAS Cakung,
DAS Sunter, DAS Bekasi, pada elevasi 11-81 mdpl dengan topografi landai.
Kondisi ini menyebabkan Kota Bekasi menjadi rawan bahaya banjir. Terutama
bila kondisi cuaca ekstrem. Beberapa situs alam mengindikasikan Kota Bekasi
dari dulu merupakan daerah rawan banjir. Sebagai contoh adanya sungai-sungai
kecil yang berdiri sendiri (sejajar dengan sungai-sungai besar), Kali Mati (sungai
mati) dan Rawa Panjang. Kali Mati terbentuk pada aliran sungai yang melingkar
sehingga nyaris mempertemukan hulu dan hilir sungai. Ketika hujan besar di hulu
dan debit air tinggi, terjadilah proses abrasi yang menyebabkan aliran sungai
berubah. Akibatnya aliran sungai tidak berfungsi atau penduduk lokal
menyebutnya Kali Mati. Bukti lainnya adalah adanya rawa panjang dan rawa yang
sangat panjang (sungai buntu). Suatu rawa yang cukup panjang dan melengkung
dan berbeda dengan rawa yang umumnya lebar dan tidak beraturan. Rawa panjang
merupakan suatu bekas arah aliran air yang mengindikasikan pernah terjadi banjir
besar.
Perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap ini perlu ditemukenali,
diidentifikasi dan diprediksi karena setiap tahun banjir semakin luas. Banjir di
tahun 2012 seluas 2.12 ha lalu menjadi 15.37 ha di tahun 2020. Bahkan genangan
banjir pada tahun 2007, mencapai luasan 450 hektar (RPJMD Kota Bekasi 2013-
2018).
Secara regional dan nasional, pada umumnya banjir ditanggulangi melalui
kebijakan-kebijakan yang masih sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa
melibatkan masyarakat. Hal ini tentunya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi
stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana. Akibatnya kebijakan
yang ditetapkan tidak efektif dan tidak efisien.1 Kota Bekasi mengalaminya ketika
kegiatan Pemerintah Pusat dalam penanganan banjir relatif diarahkan untuk solusi
dengan hard material seperti normalisasi sungai, pembangunan polder,
pembangunan tanggul atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun
bendungan/waduk, banjir kanal (floodway). Padahal banjir di beberapa titik di
Kota Bekasi bukan disebabkan oleh meluapnya sungai, tetapi lebih disebabkan
oleh buruknya sistem drainase perkotaan (Hendriyana 2018). Kebijakan
penanggulangan banjir yang bersifat fisik, harusnya juga diimbangi dengan
langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder lainnya
diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif,
diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat
perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya 2.
Sistem pengelolaan saat ini perlu menyadari pentingnya mempertimbangkan
partisipasi masyarakat dan langkah-langkah non-struktural untuk menciptakan
masyarakat yang tahan banjir dan mengurangi risiko yang bertambah parah
(Mohanty et al. 2020). Dalam kaitan ini, peran tata kelola dalam manajemen
risiko banjir menjadi sangat penting. Aspek ini merupakan mata rantai yang
1
Kertas Kebijakan. Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. 2008.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi.
https://www.bappenas.go.id/files/5913/4986/1931/2kebijakan-penanggulangan-
banjir-di-indonesia__20081123002641__1.pdf
2
_____________
hilang dalam strategi pengelolaan risiko lingkungan perkotaan di Indonesia
(Handayani et al. 2020).
Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan banjir,
akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus merevisi APBD
untuk alokasi ekstra kegiatan tanggap darurat dan kegiatan rehabilitasi (Bappeda
Kota Bekasi, 2020). Mitigasi risiko banjir sangat penting untuk mengurangi
paparan masyarakat rentan terhadap peristiwa banjir dan menyediakan mekanisme
bagi masyarakat untuk membuat rencana, mengurangi kerugian di masa depan dan
pemulihan secara cepat (Nofal dan Van de Lindt 2020).
Banjir adalah risiko yang harus dihadapi Kota Bekasi, tidak mungkin hilang
atau dihindari tetapi risikonya masih bisa diminimalisasi agar tidak menjadi
bencana. Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan akibat banjir tidak sedikit. Bila
terus berlanjut tanpa pengendalian, dikhawatirkan keberlanjutan Kota Bekasi
terancam. Untuk itu diperlukan alternatif model mitigasi banjir agar banjir tidak
menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, masyarakat lebih tanggap bencana.
Sehingga diharapkan terwujud Kota Bekasi yang resilient dan berkelanjutan.
1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian
ini memiliki empat tujuan, meliputi:
1. Menganalisis sistem pengendalian banjir eksisting dengan output peta
proses bisnis;
2. Menganalisis risiko banjir dengan output peta risiko banjir Kota
Bekasi;
3. Melakukan penilaian atas resiliensi Kota Bekasi dengan output laporan
hasil penilaian resiliensi;
4. Merumuskan model mitigasi banjir agar kota menjadi resilient dengan
output rekomendasi model mitigasi bencana banjir yang implementatif.
Tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga merupakan tujuan antara,
sedangkan tujuan keempat merupakan tujuan utama.
1.4 Manfaat
Manajemen risiko banjir yang lebih integratif dengan menggabungkan
kebijakan dan praktik masih memiliki peluang untuk diteliti (Morrison et al.
2018). Karena itu penelitian ini diharapkan dapat mengisi peluang tersebut dan
berkontribusi bagi pemerintah, pengusaha atau swasta, akademisi dan masyarakat
untuk:
1. Mengubah paradigma pemangku kepentingan terhadap pengelolaan
bencana khususnya banjir, dari reaktif menjadi proaktif;
2. Bahan reformasi manajemen kebencanaan yang dituangkan dalam
dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) yang
disahkan oleh Wali Kota Bekasi;
3. Bahan studi dan evaluasi pengelolaan lanskap kota berbasis mitigasi banjir
yang berkelanjutan bagi Pemerintah Kota Bekasi dan akademisi;
4. Bahan referensi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis
risiko yang efektif bagi Pemerintah Kota Bekasi;
5. Mewujudkan masyarakat Kota Bekasi yang resilient terhadap bencana
banjir dengan indeks minimum di atas 50% (tingkat resiliensi menengah).
1.5 Ruang Lingkup
Lingkup penelitian ini adalah merumuskan model mitigasi banjir untuk
mewujudkan kota yang resilient. Batas wilayah penelitian, melingkupi batas
wilayah ekologi DAS Bekasi, DAS Cikeas, DAS Sunter, DAS Cileungsi dan DAS
Cakung dengan wilayah perencanaan meliputi batas administrative Kota Bekasi.
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU No.
32 tahun 2009), penelitian ini berada di ranah perencanaan. Dari sisi penataan
ruang (UU No.26 tahun 2009), penelitian ini meliputi pengendalian pemanfaatan
ruang.
Sedangkan dalam konteks pengelolaan sumber daya air (UU No. 17 tahun 2019),
penelitian ini berada di ranah pengendalian daya rusak air. Adapun dalam konteks
penanggulangan bencana (UU No. 24 tahun 2007, penelitian ini berada di ranah
mitigasi (Gambar 3).
Gambar 1. 2 Lingkup pembahasan dan penelitian
1.7 Kebaharuan
Beberapa penelitian tentang banjir dengan lokus Kota Bekasi sudah pernah
dilakukan diantaranya oleh Kadri et al. (2011), Prihartanto dan Ganesha (2019),
Rojali dan Elsari (2020). Penelitian banjir lainnya dengan lokus yang berbeda-
beda telah dilakukan oleh Renald et al. (2016) di Provinsi DKI Jakarta, Rijke
(2014) di Belanda, Lee (2015) di Singapura, Disse et al. (2020) di Eropa dan
Morrison et al. (2018) mengambil lokus di beberapa negara.
Kadri et al. (2011) meneliti upaya yang diperlukan untuk menyusun
rencana penanggulangan banjir dan penurunan risiko banjir Kota Bekasi dengan
pendekatan pengelolaan DAS Bekasi Hulu. Dalam penelitian Kadri et al. (2011)
ditemukan: 1) Komposisi perubahan penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu dengan
luasan total sebesar 39.045,0 ha mengalami perubahan yang cepat, dalam kurun
waktu sepuluh tahun (1998-2008) terjadi peningkatan luasan permukiman sebesar
19,3%, tetapi sebaliknya penurunan hutan 5,5%. 2) Banjir yang terjadi pada tahun
2005 (545,5 m3 /dt) menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai (462 m3 /dt) tidak
lagi mampu mengalirkan aliran sungai. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan
karena di sepanjang sisi sungai telah dipenuhi oleh permukiman penduduk
sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti keseimbangan alam untuk menampung
aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase lingkungan. (3)
Simulasi hidrologi menggunakan data biofisik DAS tahun 2008 dengan hujan
yang sama tahun 2005 akan mengalirkan debit sebesar 592,8 m3 /dt. Hasil ini
memberikan indikasi kuat bahwa kecenderungan terjadi banjir semakin tinggi.
Penelitian Kadri et al. (2011) menghasilkan output strategi pengelolaan DAS
terpadu: (a) penataan penggunaan lahan, (b) pengolahan lahan sesuai kaidah
konservasi, dan (c) upaya menampung air di bagian hulu dan sekaligus
meresapkan ke dalam tanah dengan membangun struktur penahan air.
Prihartanto dan Ganesha (2019) menghasilkan temuan tentang perkiraan
waktu kedatangan banjir berdasarkan analisis empirik rekaman data sistem
peringatan dini banjir Kota Bekasi (flood early warning system- FEWS). Tujuan
yang diharapkan dari penelitian Prihartanto dan Ganesha (2019) untuk
menurunkan risiko akibat bencana banjir dengan meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat.
Rojali and Elsari (2020) melakukan studi pemodelan banjir dengan skala
kecil di Perumahan Pondok Gede Permai menggunakan metode numerik analisis
hidrologi Nakayasu dan Gamma 1. Hasil analisis hidrologi dalam penelitian
Rojali dan Elsari (2020) diketahui faktor penyebab terjadinya banjir di DAS
Bekasi Hulu khususnya Kecamatan Jatiasih adalah debit air dari Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi yang tidak tertampung Sungai Bekasi. Hal tersebut
disebabkan banyaknya tumpukan sampah di sisi dan dasar sungai sehingga
kapasitas sungai berkurang.
Dari ketiga penelitian tentang banjir Kota Bekasi di atas, tidak ada yang
menginformasikan seberapa bahaya, seberapa rentan, bagaimana risiko banjir
beberapa tahun yang akan datang dan seberapa resilient Kota Bekasi menghadapi
banjir. Dalam literatur akademis, konsep resiliensi banjir (flood resilience)
merupakan pendekatan yang relative baru dalam manajemen bahaya lingkungan,
melengkapi manajemen risiko banjir yang impelementasinya sudah lebih dulu
(Disse et al. 2020). Bahkan menurut Morrison et al. (2018), masih ada
kesenjangan penelitian resiliensi yang berkaitan dengan tata kelola untuk
meningkatkan resiliensi terhadap banjir. Karena itu panduan untuk meningkatkan
tata kelola manajemen risiko banjir guna meningkatkan resiliensi terhadap banjir
harus tersedia dari literatur ilmiah.
Penelitian Renald et al. (2016), lebih mengarah pada hubungan kausalitas
antara variabel adaptasi resiliensi kota terhadap banjir dalam rangka keberlanjutan
kota. Model yang dibuat merupakan fungsi dari penataan ruang, mitigasi bencana,
inovasi teknologi, dan adaptasi. Model ini bertujuan mengurangi kerentanan
wilayah/kota dan sebaliknya untuk meningkatkan resiliensi kota dalam rangka
mencapai keberlanjutan Jakarta. Namun tata kelolanya seperti apa, belum ketahui
dan belum diteliti.
Memperhatikan model pengendalian banjir dari negara lain, Rijke (2014)
menemukan tantangan adaptasi terhadap banjir dan kekeringan adalah tata kelola.
Campuran dari pendekatan tata kelola terpusat dan yang terdesentralisasi
diperlukan untuk tata kelola infrastruktur air yang efektif yang beroperasi di
berbagai skala. Sedangkan institusi formal perlu dilengkapi dengan institusi
informal. Dalam disertasi Rijke (2014) ini, Fit & purpose framework merupakan
kerangka kerja yang sesuai untuk tujuan analisis pendekatan tata kelola air
perkotaan kontemporer. Dalam rangka mencapai lingkungan yang resilient
khususnya peka terhadap air, model sosio-teknis dan dukungan kelembagaan
diperlukan (Lee 2015). Penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan metode
penilaian tata kelola yang sesuai dengan tujuan, direkomendasikan Rijke (2014).
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan cooperative game theory
untuk merumuskan tata kelola banjir yang melibatkan banyak stakeholder.
Pendekatan ini umumnya digunakan dalam management proyek dan management
rantai pasok untuk optimalisasi keuntungan. Beberapa penelitian menggunakan
pendekatan cooperative game theory dalam rantai pasok industri dilakukan oleh
Asrol (2019), Taleizadeh dan Sherafati (2019) dan Moradi et al. (2018).
Sementara Alvarez et al. (2019) dan Jeong et al. (2018) mengarah pada alokasi
tanggungjawab stakeholder dalam adaptasi perubahan iklim.
Asrol (2019) menggunakan pendekatan cooperative game theory yang
dimodelkan untuk alokasi keuntungan pada rantai pasok industri gula tebu.
Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ciri sistem rantai pasok yang
saling bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Taleizadeh dan Sherafati (2019)
menggunakan pendekatan cooperative game theory pada rantai pasok industri
yang melibatkan tiga eselon: produsen, agen dan pelanggan untuk
mengoptimalkan keuntungan masing-masing eselon. Berikutnya Moradi et al.
(2018) menggunakan pendekatan cooperative game theory dalam studi model
penjadwalan proyek untuk menilai risiko proyek dan dampaknya terhadap
keberlanjutan proyek ketika subkontraktor berkolaborasi di bawah ketidakpastian.
Pendekatan cooperative game theory untuk mencegah risiko luapan sungai
telah dilakukan oleh Alvarez et al. (2019), dengan fokus pada trade off antara
pemerintah atau pemilik lahan agar memanfaatkan lahannya untuk kepentingan
peningkatan kapasitas retensi air. Dalam penelitian disebutkan bahwa masih
dibutuhkan banyak pembuktian untuk efektivitasnya di lokasi yang lain. Jeong et
al. (2018), menggunakan cooperative game theory untuk pembagian alokasi biaya
adaptasi perubahan iklim di antara aktor yang berpartisipasi dalam proyek
pembangunan jalur sungai bawah tanah di Seoul. Namun aktor yang terlibat,
semua berasal dari unsur pemerintah daerah.
Dalam rangka memberikan keyakinan akan kebaharuan dalam penelitian
ini, maka dilakukan meta analisis terhadap penelitian dalam jurnal-jurnal yang
terindeks Scopus, Web of Science dan Google Scholar. Diagram meta analisis
menggunakan software VosViewer diperoleh seperti tertera dalam Gambar 4 dan
Gambar 5. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitian “mitigasi banjir” sudah
banyak dilakukan terutama terkait urbanisasi. Namun penelitian yang
menghubungkan “mitigasi banjir” dengan “resiliensi atau flood resilience” masih
relative sedikit dan baru muncul antara tahun 2018-2019. Sementara penelitian
“mitigasi banjir” terkait knowledge, methodology dan implementasi masih sangat
kurang dan baru muncul sekitar tahun 2019. Adapun paper yang menulis tentang
manajemen risiko banjir menggunakan cooperative game juga masih jarang dan
baru muncul sekitar tahun 2018-2019.
Gambar 1. 3 Posisi penelitian mitigasi banjir dan resiliensi
3
https://www.wwf.or.id/?17461/Infrastruktur-Hijau-Kota
mempertahankan atau dengan cepat kembali ke fungsi yang diinginkan dalam
menghadapi bencana, beradaptasi dengan perubahan, dan dengan cepat mengubah
sistem yang membatasi kapasitas adaptif saat ini atau yang akan datang. Pada
prinsipnya resiliensi berfokus pada kemampuan masyarakat untuk menanggapi
bencana dan untuk mencapai tata kelola adaptif (Meerow et al. 2016).
Tujuan membangun kota yang resilient adalah untuk mengurangi paparan,
kerentanan (Chuang et al. 2020) dan bahaya di masa depan (Wamsler et al. 2013)
serta membantu kota pulih dan beroperasi lebih lanjut secara normal sesegera
mungkin setelah bencana serius (Meerow et al. 2016) dengan menetapkan
mekanisme dan struktur yang berfungsi untuk tanggap bencana dan pemulihan
(Wamsler et al. 2013). Kota-kota yang resilient telah mendapat perhatian yang
cukup besar di bidang kebijakan publik dalam upaya untuk mematuhi komitmen
perubahan iklim. Bahkan, kota-kota tersebut adalah kunci untuk tata kelola iklim
penduduk perkotaan sebesar 6,3 miliar orang pada tahun 2050. Literatur
manajemen lingkungan menunjukkan bahwa resiliensi adalah kunci untuk
mengelola sistem yang kompleks dan mengurangi kerentanan akibat
ketidakpastian dan perubahan tak terduga. Namun, manajemen risiko banjir yang
berkembang sebagian besar adalah budaya pertahanan atau resistensi bukan
resiliensi (Morrison et al. 2018).
Pengukuran resiliensi adalah salah satu aspek resiliensi yang paling
penting. Tanpa pengukuran resiliensi, tidak mungkin atau sangat sulit untuk
menentukan bagaimana strategi yang memadai untuk mempersiapkan masyarakat
menghadapi peristiwa banjir. Sama sulitnya untuk menentukan intervensi mana
yang harus dilakukan dan sejauh mana intervensi tersebut akan meningkatkan
resiliensi. Hal ini secara langsung menghambat pengambilan keputusan yang tepat
dan investasi yang akuntabel dalam ukuran resiliensi. Konsensus pada pengukuran
resiliensi relatif lemah. Hal ini mungkin karena sulitnya menstandardisasi
pendekatan terhadap resiliensi yang seringkali sangat terlokalisasi dan sangat
bervariasi (Disse et al. 2020).
Kerangka resiliensi kota atau City Resilience Framework (CRF), mula-
mula dikembangkan oleh Arup dan Rockefeller Foundation, merupakan perangkat
analisis untuk memahami berbagai drivers yang dapat berkontribusi dalam
membangun resiliensi kota. Sebagai contoh Kota Jakarta, menetapkan indikator
berdasarkan dimensi 1) Kesehatan dan kesejahteraan: Kesehatan dan
kesejahteraan dari setiap orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta; 2) Ekonomi
dan kemasyarakatan: Pengorganisasian sosial dan keuangan yang memungkinkan
masyarakat perkotaan untuk hidup damai, dan bertindak secara kolektif; 3)
Infrastruktur dan lingkungan: Suatu keadaan dimana infrastruktur buatan dan
alami dapat memberikan layanan yang penting, melindungi, dan menghubungkan
para penduduk kota; 4) Kepemimpinan dan strategi: Kepemimpinan yang efektif,
pemberdayaan pemangku kepentingan, dan perencanaan terpadu.
Pada tahun 2050, diperkirakan lebih dari setengah umat manusia tinggal di
daerah perkotaan, yang diproyeksikan meningkat menjadi 68%. Urbanisasi yang
cepat di negara-negara berkembang adalah memberikan tekanan besar pada
lingkungan, termasuk persediaan air tawar, perumahan, infrastruktur, dan
pelayanan publik dasar. Demikian pula kemiskinan, kejahatan dan kekerasan,
pengucilan sosial, perkotaan, dan degradasi lingkungan diperburuk oleh urbanisasi
yang cepat, dengan dampak signifikan pada kesehatan masyarakat dan mata
pencaharian (Abubakar dan Aina 2019). SDG 11 bertujuan untuk membuat kota
dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Gagasan kota inklusif adalah bahwa di mana semua orang, terlepas dari cara
ekonomi mereka, jenis kelamin, ras, etnis atau agama, difungsikan dan
diberdayakan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam peluang sosial, ekonomi,
dan politik yang ditawarkan kota-kota (UN-Habitat 2001). Prinsip untuk
menjadikan kota-kota inklusif adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan
(Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Paradigma resiliensi sangat penting mengingat posisi kebanyakan kota-
kota di Indonesia yang tidak terlepas dari berbagai jenis ancaman bencana alam
dan bencana akibat perilaku manusia. Demikian pula dengan Kota Bekasi yang
secara alamiah adalah daerah berbahaya banjir. Letaknya di hilir DAS Cikeas,
DAS Cileungsi, dan DAS Sunter yang berpenduduk padat, membuat Kota Bekasi
menjadi rentan bencana. Jadi, banjir Kota Bekasi tidak bisa dihindari tapi harus
dihadapi dengan kemampuan adaptif masyarakat dan lingkungannya.
7
DIRECTIVE 2007/60/EC OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL
of 23 October 2007 on the assessment and management of flood risks
akan meningkatkan kemungkinan untuk mengembangkan strategi manajemen
risiko banjir bottom-up selama fase darurat-pasca kejadian.
Sejauh ini sebagian besar aspek teknis pengendalian banjir telah ditangani
oleh pengelola dan perencana. Dalam pengelolaan bersama, selain pendekatan
teknis, pendekatan partisipatif juga digunakan dalam pembahasan penyusunan
model pengelolaan banjir dan penerapan skenario pengelolaan. Untuk
memungkinkan hasil keputusan yang lebih efektif dan dapat diterima,
diperlukan lebih banyak partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Tantangannya adalah untuk mendapatkan dan menggunakan pendapat yang
beragam dari sejumlah besar pemangku kepentingan di mana ketidakpastian
memainkan peran utama.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan cooperative game theory
untuk merumuskan tata kelola banjir yang melibatkan banyak stakeholder.
Pendekatan cooperative games digunakan untuk alokasi tanggung jawab dalam
sistem pengendalian dan mitigasi banjir. Pendekatan ini dipilih dengan
pertimbangan untuk mencapai tujuan dalam pengendalian dan mitigasi banjir
yang proporsional. Semua stakeholder perlu bekerja sama dan saling
berkoordinasi sehingga tanggung jawab dapat dialokasikan secara adil dan
transparan.
Di sisi lain, Asrol (2019) menggunakan pendekatan cooperative game
theory yang dimodelkan untuk alokasi keuntungan pada rantai pasok industri
gula tebu. Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ciri sistem rantai
pasok yang saling bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Penelitian Asrol
(2019) tersebut mengembangkan model Fuzzy Shapley value dengan
mempertimbangkan penyeimbangan risiko dan nilai tambah untuk alokasi
keuntungan yang adil pada stakeholder primer rantai pasok. Adapun
Taleizadeh dan Sherafati (2019) menggunakan pendekatan cooperative game
theory pada rantai pasok industri yang melibatkan tiga eselon: produsen, agen
dan pelanggan untuk menentukan harga jual yang optimal, masa garansi dan
harga garansi untuk produsen dan perawatan yang optimal biaya dan
pengeluaran pemasaran untuk agen dengan memaksimalkan keuntungan
mereka. Kepuasan pelanggan juga dimaksimalkan dengan memilih salah satu
opsi yang disarankan dari produsen dan agen, berdasarkan parameter risiko.
Berikutnya Moradi et al. (2018) menggunakan pendekatan cooperative game
theory dalam studi model penjadwalan proyek untuk menilai risiko proyek dan
dampaknya terhadap keberlanjutan proyek ketika subkontraktor berkolaborasi
di bawah ketidakpastian. Metode ini diterapkan untuk alokasi yang adil dari
NPV, dari kerjasama dan akhirnya aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial dan
lingkungan) untuk setiap kemungkinan koalisi. Sementara pendekatan
cooperative game theory untuk mencegah risiko luapan sungai telah dilakukan
oleh Alvarez et al. (2019), namun dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa
masih dibutuhkan banyak pembuktian untuk efektivitasnya di lokasi yang lain.
Jeong et al. (2018) juga menerapkan cooperative game theory pada alokasi
biaya adaptasi perubahan iklim, dengan mempertimbangkan manfaat dan biaya
adaptasi bagi pihak-pihak yang bekerjasama dalam lingkup proyek jalur banjir
bawah tanah di Seoul. Proyek adaptasi melibatkan enam pemerintah daerah
yang berbeda. Biaya yang dialokasikan berkurang untuk pemda yang
berkontribusi lebih banyak dalam mengurangi biaya konstruksi, sementara itu
biaya meningkat untuk pemerintah daerah yang lebih diuntungkan dari
pencegahan kerusakan banjir. Dalam studi Jeong et al. (2018), aktor dalam
proyek adaptasi perubahan iklim hanya dari unsur pemerintah. Karakternya
menjadi homogen. Untuk itu perlu kajian apabila aktor yang terlibat dalam
cooperative game ini terdiri atas multi stakeholder.
4.1 Pendahuluan
Masalah utama di Kota Bekasi yang akan dicermati dalam penelitian ini
adalah bencana banjir. Mengapa bencana banjir menjadi perhatian, karena
dampaknya terhadap ekosistem dan sosial ekonomi luar biasa. Banjir di Kota
Bekasi semakin lama semakin luas meskipun sudah dilakukan normalisasi saluran
dan pembangunan polder. Tercatat di tahun 2012 luas banjir masih 2.12 ha, tapi di
tahun 2020 luas banjir sudah mencapai 15.37 ha. Bahaya banjir Kota Bekasi lebih
disebabkan oleh aktivitas DAS dan saluran yang tidak berfungsi normal akibat
kondisi biofisik dan cuaca ekstrim, bukan berasal dari aktivitas air pasang laut.
Risiko banjir tinggi dikarenakan perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap
serta pengendalian banjir yang tidak efektif.
Pemerintah daerah dalam hal ini belum menganggap isu mitigasi banjir
sebagai hal yang prioritas. Proses ini menyebabkan resiliensi kota rendah.
Resiliensi yang rendah juga dapat diakibatkan oleh pelibatan masyarakat yang
minim dan koordinasi antar stakeholder yang lemah. Tata kelola yang belum
mapan menjadikan hal tersebut bisa terjadi. Sampai saat ini, seberapa resilient
Kota Bekasi belum diketahui karena belum pernah dilakukan penilaian. Karena itu
perlu dianalisis lebih lanjut seperti apa sistem pengendalian banjir eksisting.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah analisis sistem pengendalian
banjir eksisting, dengan output peta proses bisnis. Karena itu, pada bagian ini
akan dipaparkan banjir dari mula kejadian hingga pengendaliannya berdasarkan
data sekunder dan informasi stakeholder terkait.
e. Renstra dinas
terkait
pengendalian
banjir/bencana
Sub-sub
Pemerintahan Daerah
Bidang Pemerintahan Provinsi
Kab/Kota
Pemerintah
1. Pengaturan 1. Penetapan 1. Penetapan 1. Penetapan peraturan daerah
kebijakan dan peraturan daerah kebijakan dan strategi
strategi kebijakan dan kabupaten/ kota berdasarkan
nasional dalam strategi provinsi kebijakan nasional dan
penyelenggara berdasarkan provinsi.
an drainase kebijakan dan
Sub-sub
Pemerintahan Daerah
Bidang Pemerintahan Provinsi
Kab/Kota
Pemerintah
dan strategi nasional. 2. Penetapan peraturan daerah
pematusan. NSPK drainase dan
2. Penetapan perda
pemanfaatan genangan di
2. Penetapan NSPK provinsi
wilayah kabupaten/ kota
NSPK berdasarkan SPM
berdasarkan SPM yang
penyelenggara yang ditetapkan
disusun pemerintah pusat dan
an drainase oleh pemerintah di
provinsi.
dan wilayah provinsi.
pemantauan
genangan.
2. Pembinaan 1. Fasilitas 1. Bantuan teknis 1. Peningkatan kapasitas teknik
bantuan teknis pembangunan, dan manajemen
pembangunan, pemeliharaan dan penyelenggara drainase dan
pemeliharaan pengelolaan. pematusan genangan di
dan wilayah kabupaten/ kota.
2. Peningkatan
pengelolaan
kapasitas teknik
drainase
dan manajemen
2. Peningkatan penyelenggaraan
kapasitas drainase dan
teknik dan pematusan
manajemen genangan di
penyelenggara wilayah provinsi.
an drainase
dan pematusan
genangan
secara
nasional.
Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengaman untuk dapat
mendirikan bangunan-bangunan di kiri dan kanan sungai/saluran. Maksud
ditetapkannya daerah Garis Sempadan Sungai adalah sebagai upaya
perlindungan, pengembangan pemanfaatan dan pengendalian saluran serta
penataan bangunan dipinggir saluran, perlindungan masyarakat dari daya
rusak air dan penataan lingkungan. Tujuan ditetapkannya pengaturan garis
sempadan sungai untuk menjaga supaya saluran tidak terganggu oleh
aktivitas kegiatan mendirikan bangunan–bangunan yang berkembang
disekitarnya. Manfaat penetapan ketentuan garis sempadan saluran, yaitu:
1. Daya rusak air pada sungai/ saluran dan lingkungannya dapat dibatasi
dan dikendalikan;
2. Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sungai/
saluran dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga
kelestarian fisik dan kelangsungan fungsi saluran;
3. Pembangunan dan/ atau bangunan di pinggir sungai/ saluran wajib
memperhatikan kaidah-kaidah ketertiban, keamanan, keserasian,
kebersihan dan keindahan daerah sempadan saluran;
4. Para penghuni dan/ atau pemanfaat bangunan serta lahan di pinggir
sungai/ saluran wajib berperan aktif dalam memelihara kelestarian
sungai/saluran.
2015 2014
4.4.3.3 Ketenagakerjaan
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
15 tahun dan lebih. Mereka terdiri dari “Angkatan Kerja” dan “Bukan
Angkatan Kerja”. Proporsi penduduk yang tergolong “Angkatan Kerja”
adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk
dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam
pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah
angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja. Penduduk Kota
Bekasi berusia 15 tahun atau lebih pada tahun 2020 mencapai 2,33 juta
orang. Jumlah angkatan kerja sebanyak 1,51 juta orang, dimana 1,35 juta
orang diantaranya bekerja di berbagai sektor usaha, sedangkan sisanya
0,16 juta masih menganggur. Jumlah tersebut menjadikan angka tingkat
pengangguran terbuka menjadi 10,68 persen.
Penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 1,83 juta orang,
dan usia nonproduktif sebanyak 0,71 juta menjadikan angka dependency
ratio atau rasio ketergantungan menjadi 38,92, yang artinya dalam 100
orang usia produktif menanggung 39 orang usia nonproduktif. Nilai ini
menunjukkan di Kota Bekasi 1 orang usia nonproduktif ditanggung oleh
setidaknya 6 orang usia produktif. Pekerja di Kota Bekasi didominasi oleh
lulusan SMA, yakni mencapai 45,13 persen, dan persentase angkatan kerja
terhadap penduduk usia kerja yang tamat SMA sebesar 65,74 persen
Sedangkan untuk pekerja lulusan perguruan tinggi mencapai 19,93 persen
dan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja yang tamat
perguruan tinggi sebesar 82,90 persen. Jadi terlihat bahwa perbedaan
persentase yang bekerja dengan angkatan kerja antara yang lulus SMA dan
perguruan tinggi menjadi cukup siginifikan.
4.4.3.4 Kesejahteraan
Menurut definisi UNDP, pembangunan manusia adalah proses
memperluas pilihan-pilihan penduduk. Ada tiga pilihan yang dianggap
paling penting, yaitu panjang umur dan sehat, berpendidikan dan akses ke
sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan manusia di
Kota Bekasi adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka IPM
Kota Bandung sebagai ibukota provinsi merupakan yang tertinggi di Jawa
Barat. Kota Bekasi menempati urutan kedua dengan angka IPM sebesar
81,50. Sementara IPM terendah ada di Kabupaten Cianjur sebesar 65,36.
Hal ini menandakan bahwa pembangunan manusia di Kota Bekasi cukup
baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang ada di Jawa Barat.
90
90
80
80
70
70
60 60
50 50
40 40
30 30
20 20
10 10
0 0
i g n a u ta si n i ok
um un la
ya ga gk ay ar ka ra um on ay
a
a b nd a i n e n m a k e da
a b i reb D ep al
k n l a B n k
Su Ba s ik
m
Ku aj
a dr rw a Su
C ta ikm
In Pu ng ot
a
Ko as
Ta M Pa ta K T
Ko ta
Ko
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
Timur Barat
1. Sungai Cupu 1. Sungai Rawa Bugel/Bulak
Macan/Blencong
2. Sungai Mangseng
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi
NaN 5.8 9.74 8.75 27.0 16.3 5.2 4.23 5.85 6.65 3.1 4.65 20 26.6 23.2
P 5 5 7
a
n
j
Luas CAan(ha) Panjang (km) Slope (%)
g
(
k
m
)
S NaN 0.21 0.21 0.21 0.19 0.06 0.02 0.09 0.07 0.05 0.1 0.11 0.21 0.06 0.03
l
o
p
e
(
%
)
KECAMATAN PANJANG
NO NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
1 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 2.63
2 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 5.16
Saluran JL. Masjid Al-
3 Barkah Bantargebang 3.87
4 Saluran JL. Dirgahayu Bantargebang 3.34
5 Saluran JL. Gempol Bantargebang 3.93
6 Saluran JL. Pangkal VI Bantargebang 8.82
7 Saluran JL. Raya Narogong Bantargebang 16.15
8 Saluran JL. Kelinci Putih Bantargebang 8.18
9 Saluran JL. Tari Kolot Bantargebang 8.56
10 Saluran JL. TPA Bantargebang 8.8
11 Saluran JL. Lingkar Bambu Bantargebang 3.22
12 Saluran JL. Mandor besar Bantargebang 4.33
13 Saluran JL. Melati 1 Bantargebang 8.24
14 Saluran JL. Mushola Bantargebang 3.87
15 Saluran JL. Rawa Bongo Bantargebang 15.66
16 Saluran JL. Rawa Bugis Bantargebang 3.31
17 Saluran JL. Sakura Bantargebang 3.57
18 Saluran JL. Teratai Bantargebang 2.59
19 Saluran JL. TPA Bantargebang 5.16
20 saluran jalan service Bantargebang 4.25
Bantargebang,
21 Saluran JL. Siliwangi Rawlumbu 31.87
22 Saluran JL. Pemuda Bekasi Barat 2.51
Saluran JL. I Gusti
23 Ngurahrai Bekasi Barat 6.1
24 Saluran JL. Patriot Bekasi Barat 1447.05
25 saluran Jl. Raya Plaza Bekasi Barat 27.62
26 saluran Jl. Raya Bintara Bekasi Barat 12.75
27 Saluran JL. Sultan Agung Bekasi Barat 7.67
Bekasi Barat, Bekasi
28 Saluran JL. KH. Noer Ali Selatan 11.56
Saluran JL. Jendral Bekasi Barat, Bekasi
29 sudirman Selatan 5.1
30 Saluran JL. Pekayon Jaya Bekasi Selatan 8.22
31 Saluran JL. Veteran Bekasi Selatan 3.21
32 Saluran JL. Ahmad Yani Bekasi Selatan 6.59
33 Saluran JL. Mayor M. Bekasi Selatan , 3.55
Hasibuan Bekasi Timur
34 Saluran JL. Underpass Bekasi Timur 4.82
35 Saluran JL. Ir. H. Juanda Bekasi Timur 10.26
Saluran JL. Raya Chairil
36 Anwar Bekasi Timur 5.67
37 Saluran JL. Mayor Oking Bekasi Timur 1.42
Saluran JL. HM Joyo Bekasi Timur,
38 Martono Rawalumbu 3.51
Bekasi Timur,
39 Saluran JL. RA Kartini Rawalumbu 4.55
Saluran JL. Raya Kaliabang
40 tengah Bekasi Utara 1432.18
41 Saluran JL. Kaliabang Raya Bekasi Utara 8.35
42 Saluran JL. Lingkar Utara Bekasi Utara 1321.68
Saluran JL. Sisi Barat
43 Perjuangan Bekasi Utara 14.11
44 Saluran JL. Baru Cipendawa Jatiasih, Rawalumbu 5.12
45 Saluran JL. Transyogi Jatisampurna 6.54
Saluran JL. Sisi Selatan
46 Pangeran Jayaraya Medan Satria 45.9
Saluran JL. Pondok Gede
47 Raya Pondok Gede 1.42
48 Saluran JL. Cut Mutia Rawalumbu 43.28
TOTAL 4606.250
a. Jaringan Drainase
Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan
kelebihan air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang
dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan. Kelebihan air hujan pada
suatu daerah dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau genangan air.
Oleh karena itu, diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi
sebagai penampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut
menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan, untuk
mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang
melalui pemompaan.
b. Tanggul
Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air
atau daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada
elevasi di sekitar kawasan tersebut. Pembuatan tanggul bertujuan untuk
melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal dari luar
kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah
yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Adapun jenis-
jenis tanggul antara lain : tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul
beton, dan tanggul infrastruktur.
Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara
alamiah dari bentukan tanah, misalnya bantaran di pinggiran sungai secara
memanjang. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan
menimbun tanah atau material lainnya di pinggiran wilayah. Contohnya
tanggul timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut. Tanggul beton
merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran perkerasan
beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul bendung,
dinding penahan tanah ( DPT ).
Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain
dan dibangun secara kuat dalam periode waktu yang lama dengan
perbaikan dan pemeliharaan secara terus menerus sehingga seringkali
dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misalnya jalan raya.
c. Kolam Retensi
d. Stasiun Pompa
Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk
mengeluarkan air yang sudah terkumpul dalam kolam retensi
atau junction jaringan drainase ke luar cakupan area. Prinsip dasar kerja
pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu
listrik maupun diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau
sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya
pompa digunakan pada suatu daerah dengan dataran rendah atau keadaan
topografi (kontur) yang cukup datar sehingga saluran-saluran yang ada
tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang
disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume
layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga
listrik disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang
menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah
pompa submersible.
Kondisi polder Kota Bekasi sebagian besar masih terawat baik,
namun efektivitasnya masih perlu diuji. Berikut dokumentasi 11 polder
yang ada di Kota Bekasi.
2019 2018
Sedang
Rendah
Sebaran vegteasi Sangat rendah
Tidak bervegetasi
1000 3000 5000 7000 9000 11000
Tidak Sangat ren- Rendah Sedang Tinggi
bervegetasi dah
Non Struktur
BBWS Ciliwung Cisadane
● Manajemen DAS
4.7 Kesimpulan
Genangan banjir Kota Bekasi setiap tahun semakin meluas, padahal
regulasi yang mengarah mitigasi bencana dan tata kelola pengendalian banjir telah
dikeluarkan. Hal ini disebabkan ketidaksinkronan penerbitan regulasi dengan
tersedianya kajian atau data spasial yang update. Selain itu, jeda penerbitan UU
dengan penerbitan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknisnya terlalu lama.
BPBD selaku dinas penanggung jawab pengendalian bencana tidak memiliki
kewenangan mengatur atau memerintah dinas lainnya, sehingga segala keputusan
tentang penggunaan anggaran untuk bencana akan bergantung kepada kebijakan
kepala dinas masing-masing.
Hasil penelitian menunjukkan pada tahap pra bencana tindakan mitigasi
dilakukan dengan memasang peilschall. Sistem pencegahan bencana masih
dilakukan secara manual, mengandalkan sensitivitas dan tanggung jawab manusia.
BPBD Kota Bekasi seharusnya mempertimbangkan penggunaan teknologi
Disaster Warning System (DWS) untuk menggantikan peilschall dalam hal
penggunaan alat early warning system. Dinas BMSDA juga telah berupaya
membangun drainase baru, tetapi karena rencana induknya belum terpetakan
dengan baik, maka hasilnya tidak optimal. Selain itu, pemeliharaan drainase
eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah SDM dan anggaran. Ada
baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam pemeliharaan, sehingga beban
pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan pengendalian bencana 100%
menjadi beban pemerintah. Pemerintah pun masih mengedepankan pendekatan
struktur atau fisik sebagai metode default. Pendekatan sosial dalam sistem
pengendalian banjir hanya nampak pada proses pra bencana, ketika melibatkan
masyarakat dalam konsultasi publik penyusunan peraturan. Sosialisasi tanggap
bencana sudah dilakukan tapi belum menyeluruh.
Selanjutnya pada saat bencana, BPBD belum bisa mengevakuasi warga
korban banjir Kota Bekasi secara maksimal. Pada tahap pasca bencana, BPBD
bersama Dinas BMSDA melakukan rehabilitasi pembersihan sampah dan lumpur
pasca banjir, serta melakukan trauma healing korban banjir bersama Dinas Sosial
dan Dinas Kesehatan. Masyarakat menggunakan uang pribadi masing-masing
untuk kegiatan rekonstruksi berupa pembangunan kembali rumah yang rusak.
Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa pelaksanaan penanggulangan banjir oleh
Pemerintah Kota Bekasi belum berjalan optimal. Langkah ke depan yang dapat
diusulkan adalah melakukan normalisasi kali atau sungai, membentuk kelurahan
tangguh bencana, mengoptimalisasi sarana prasarana serta meningkatkan tindakan
pemulihan. Direkomendasikan agar sistem drainase ditingkatkan di wilayah studi
kasus. Skema pengelolaan banjir yang tepat harus direncanakan, dan prakiraan
banjir harus diperkuat. Sistem peringatan dini banjir yang efektif harus dirancang
untuk mengaktifkan rencana tersebut, dan kampanye kesadaran publik yang tepat
harus dimulai untuk mendidik dan melatih masyarakat setempat untuk
menghadapi bencana tersebut. Disarankan juga untuk memastikan dan
memelihara kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga yang berbeda selama
bencana tersebut.
Matriks Kesimpulan