Anda di halaman 1dari 108

I PENDAHULUAN

Kota Bekasi adalah salah satu kota terbesar di Jawa Barat dengan jumlah
penduduk mencapai 3.08 juta jiwa pada tahun 2020 (BPS Kota Bekasi 2020) dan
akan terus bertambah dengan laju pertumbuhan 2.7% per tahun. Kota Bekasi
masuk dalam kategori kota metropolitan (Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) karena memiliki jumlah
penduduk di atas 1 juta jiwa. Fakta ini disebabkan oleh letak geografisnya yang
berbatasan dengan Jakarta, menjadi lintasan menuju ibukota negara dan ibukota
provinsi; kemudahan akses karena fasilitas public transport yang memadai; faktor
sarana kesehatan yang memadai; banyaknya pusat kegiatan ekonomi baru yang
dibangun dan lapangan kerja yang terus bertumbuh. Pertumbuhan ekonomi Kota
Bekasi mencapai 5.86% di tahun 2018 (BPS Kota Bekasi 2020). Di sisi lain, lahan
yang terbatas, memicu alih fungsi lahan, dan mendesak ruang terbuka hijau
(RTH) untuk dijadikan permukiman, sehingga luas RTH tinggal 16% luas
wilayah.
Adanya alih fungsi lahan dapat mengakibatkan Ketidakseimbangan
ekosistem menimbulkan fenomena banjir, tanah longsor, wabah penyakit,
kerawanan sosial dan munculnya serangan hewan-hewan liar di permukiman. Hal
ini dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang
yang kurang memperhatikan fungsi ekologis dan kemampuan daya dukungnya.
Kodoatie (2008) dan Raiter et al. (2018) menyatakan bahwa perubahan tata guna
lahan kota, proliferasi infrastruktur linier merupakan penyebab utama banjir
dibandingkan dengan faktor lainnya.
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan
teknis struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa
polder atau tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat
ini Kota Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa
kecamatan. Selain itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan
tata ruang melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031.
Namun hasil yang diharapkan belum optimal. Terbukti semakin lama, banjir
semakin meluas. Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan
banjir, akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus
mengeluarkan anggaran ekstra untuk kegiatan tanggap darurat dan kegiatan
rehabilitasi (Bappeda Kota Bekasi, 2020).
Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa Kota Bekasi adalah kota yang
rentan terjadinya bencana banji dan bila tidak dikendalikan dengan kaidah
konservasi lingkungan yang tepat, dapat menjadi kota yang tidak berkelanjutan.
Karena itu diperlukan analisis sistem pengendalian banjir saat ini dan prediksi
risiko banjir yang akan datang untuk mengetahui tingkat resiliensi dan risiko yang
harus dimitigasi. Selain itu, perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi perlu diidentifikasi dan diprediksi karena akan menentukan tindakan
mitigasi yang paling tepat. Penelitian ini perlu dilakukan untuk menyediakan
alternatif model mitigasi banjir agar tercipta Kota Bekasi yang resilient (lenting-
tangguh).
1.1 Latar Belakang
Pada pertengahan Februari tahun 2021, menurut keterangan Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bekasi, banjir terjadi di 94 titik yang
tersebar pada 12 Kecamatan. Banjir terparah terjadi di Perumahan Bumi Nasio
Indah, dengan kedalaman hingga 2,5 meter. Sedangkan pada awal tahun 2020
lalu, titik banjir di Kota Bekasi mencapai 58 titik dengan luas sekitar 15.37 ha
atau 73% wilayah kota dengan kedalaman 1-4 meter. Melihat sejarahnya, semakin
lama banjir semakin luas dan semakin tinggi (dalam). Pada tahun 2005 luas
genangan berkisar 4-16 ha, kemudian tahun 2006 luas genangan meningkat
mencapai 4-20 ha, berikutnya pada tahun 2007 luas genangan telah mencapai 450
ha. Kerugian tidak hanya menyangkut materi, tetapi juga banyaknya korban jiwa
(BNPB 2021). Dana yang dikeluarkan untuk penanggulangan banjir tahun 2020
mencapai 74 M bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan 6.7 M dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagai upaya pengendalian, Kota Bekasi mengandalkan pendekatan teknis
struktural (fisik) dengan membuat bangunan pengendali banjir berupa polder atau
tandon di beberapa lokasi permukiman dan normalisasi saluran. Saat ini Kota
Bekasi telah memiliki 37 polder air yang tersebar di beberapa kecamatan. Selain
itu Kota Bekasi juga sudah melakukan pendekatan kebijakan tata ruang melalui
penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031. Hal yang patut
menjadi pertanyaan adalah, mengapa banjir masih terjadi, padahal upaya yang
telah dilakukan tidak sedikit. Karena itu, diperlukan gambar besar sistem
pengendalian banjir yang ada di Kota Bekasi saat ini. Hasilnya berupa peta proses
bisnis yang berguna sebagai alat analisis. Dengan demikian diharapkan
manajemen pengendalian banjir dapat dievaluasi, diperbaiki dan ditingkatkan
performanya.
Problem perkotaan Bekasi sangat komplek, karena pertumbuhan kota yang
sangat dinamis. Dari sisi sosial-demografi, Kota Bekasi merupakan bagian dari
megapolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) dan menjadi
kota dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia. Saat ini Kota
Bekasi berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sentra industri.
Berdasarkan data BPS Kota Bekasi (2020), laju pertumbuhan penduduk sekarang
mencapai 2.7%/tahun, jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk nasional
yang hanya 1.47% /tahun. Sementara luas kota Bekasi hanya 210,49 km 2, maka
pada tahun 2020 kepadatan penduduk mencapai 12.081 jiwa/km2.
Dari sisi ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi cenderung
meningkat dalam lima tahun terakhir sampai menyentuh 5.86%. Sedangkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 81.5 (BPS Kota Bekasi 2020).
Tapi capaian tersebut seolah menjadi tidak berarti karena hilangnya waktu karena
kemacetan, peningkatan kebutuhan pemeliharaan sarana perkotaan dan biaya
keamanan akibat angka kriminalitas yang tinggi serta masalah kerusakan
lingkungan. Kegiatan perekonomiannya yang tinggi, tentunya membutuhkan
ruang dan lahan, padahal lahan sangat terbatas. Akibatnya ruang terbuka hijau dan
ruang terbuka biru semakin terdesak oleh permukiman. Badan sungai menyempit
karena sedimentasi dan okupasi permukiman. Luas permukiman saat ini sudah
mencapai 53.78% dari luas wilayah Kota Bekasi yang mayoritas merupakan
dataran banjir. Luas ruang terbuka hijau tinggal 16% luas wilayah Kota Bekasi.
Secara geografis, Kota Bekasi terletak di hilir Sungai Cikeas, DAS Cakung,
DAS Sunter, DAS Bekasi, pada elevasi 11-81 mdpl dengan topografi landai.
Kondisi ini menyebabkan Kota Bekasi menjadi rawan bahaya banjir. Terutama
bila kondisi cuaca ekstrem. Beberapa situs alam mengindikasikan Kota Bekasi
dari dulu merupakan daerah rawan banjir. Sebagai contoh adanya sungai-sungai
kecil yang berdiri sendiri (sejajar dengan sungai-sungai besar), Kali Mati (sungai
mati) dan Rawa Panjang. Kali Mati terbentuk pada aliran sungai yang melingkar
sehingga nyaris mempertemukan hulu dan hilir sungai. Ketika hujan besar di hulu
dan debit air tinggi, terjadilah proses abrasi yang menyebabkan aliran sungai
berubah. Akibatnya aliran sungai tidak berfungsi atau penduduk lokal
menyebutnya Kali Mati. Bukti lainnya adalah adanya rawa panjang dan rawa yang
sangat panjang (sungai buntu). Suatu rawa yang cukup panjang dan melengkung
dan berbeda dengan rawa yang umumnya lebar dan tidak beraturan. Rawa panjang
merupakan suatu bekas arah aliran air yang mengindikasikan pernah terjadi banjir
besar.
Perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap ini perlu ditemukenali,
diidentifikasi dan diprediksi karena setiap tahun banjir semakin luas. Banjir di
tahun 2012 seluas 2.12 ha lalu menjadi 15.37 ha di tahun 2020. Bahkan genangan
banjir pada tahun 2007, mencapai luasan 450 hektar (RPJMD Kota Bekasi 2013-
2018).
Secara regional dan nasional, pada umumnya banjir ditanggulangi melalui
kebijakan-kebijakan yang masih sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa
melibatkan masyarakat. Hal ini tentunya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi
stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana. Akibatnya kebijakan
yang ditetapkan tidak efektif dan tidak efisien.1 Kota Bekasi mengalaminya ketika
kegiatan Pemerintah Pusat dalam penanganan banjir relatif diarahkan untuk solusi
dengan hard material seperti normalisasi sungai, pembangunan polder,
pembangunan tanggul atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun
bendungan/waduk, banjir kanal (floodway). Padahal banjir di beberapa titik di
Kota Bekasi bukan disebabkan oleh meluapnya sungai, tetapi lebih disebabkan
oleh buruknya sistem drainase perkotaan (Hendriyana 2018). Kebijakan
penanggulangan banjir yang bersifat fisik, harusnya juga diimbangi dengan
langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder lainnya
diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif,
diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat
perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya 2.
Sistem pengelolaan saat ini perlu menyadari pentingnya mempertimbangkan
partisipasi masyarakat dan langkah-langkah non-struktural untuk menciptakan
masyarakat yang tahan banjir dan mengurangi risiko yang bertambah parah
(Mohanty et al. 2020). Dalam kaitan ini, peran tata kelola dalam manajemen
risiko banjir menjadi sangat penting. Aspek ini merupakan mata rantai yang

1
Kertas Kebijakan. Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. 2008.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi.
https://www.bappenas.go.id/files/5913/4986/1931/2kebijakan-penanggulangan-
banjir-di-indonesia__20081123002641__1.pdf
2
_____________
hilang dalam strategi pengelolaan risiko lingkungan perkotaan di Indonesia
(Handayani et al. 2020).
Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan banjir,
akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus merevisi APBD
untuk alokasi ekstra kegiatan tanggap darurat dan kegiatan rehabilitasi (Bappeda
Kota Bekasi, 2020). Mitigasi risiko banjir sangat penting untuk mengurangi
paparan masyarakat rentan terhadap peristiwa banjir dan menyediakan mekanisme
bagi masyarakat untuk membuat rencana, mengurangi kerugian di masa depan dan
pemulihan secara cepat (Nofal dan Van de Lindt 2020).
Banjir adalah risiko yang harus dihadapi Kota Bekasi, tidak mungkin hilang
atau dihindari tetapi risikonya masih bisa diminimalisasi agar tidak menjadi
bencana. Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan akibat banjir tidak sedikit. Bila
terus berlanjut tanpa pengendalian, dikhawatirkan keberlanjutan Kota Bekasi
terancam. Untuk itu diperlukan alternatif model mitigasi banjir agar banjir tidak
menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, masyarakat lebih tanggap bencana.
Sehingga diharapkan terwujud Kota Bekasi yang resilient dan berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah utama di Kota Bekasi yang akan dicermati dalam penelitian ini
adalah bencana banjir. Mengapa bencana banjir menjadi perhatian, karena
dampaknya terhadap ekosistem dan sosial ekonomi luar biasa. Kerugian tidak
hanya menyangkut materi, tetapi juga banyaknya korban jiwa (BNPB 2021). Dana
5 yang dikeluarkan untuk penanggulangan banjir tahun 2020 mencapai 74 M
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 6.7 M dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kerusakan pada ekosistem
dan gangguan terhadap aktivitas sosial ekonomi menyebabkan biaya rehabilitasi
tinggi. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan ketidakberlanjutan kota. Bencana
banjir disebabkan faktor lokasi yang terletak di wilayah bahaya banjir dengan
risiko banjir tinggi serta faktor kondisi resiliensi yang rendah. Pemetaan rumusan
masalah (Gambar 1).
Gambar 1. 1 Rumusan Masalah
Bahaya banjir Kota Bekasi lebih disebabkan oleh aktivitas DAS dan saluran
yang tidak berfungsi normal akibat kondisi biofisik dan cuaca ekstrim. Banjir
Kota Bekasi bersumber dari aktivitas luapan sungai dari hulu atau aliran drainase
yang tidak tertampung, bukan berasal dari aktivitas air pasang laut. Risiko banjir
tinggi dikarenakan perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap serta
pengendalian banjir yang tidak efektif. Perubahan struktur, fungsi dan dinamika
lanskap terjadi akibat adanya aktivitas antroposentris yang merusak. Aktivitas
manusia telah mendesak ekosistem hingga menimbulkan masalah kemacetan,
kriminalitas, kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan. Lahan yang merupakan
dataran banjir (flood plain) malah dijadikan kawasan permukiman. Selain itu,
lemahnya pengendalian dan pemanfaatan ruang akibat belum memadainya sumber
daya manusia yang kompeten pada instansi pemerintah, menyebabkan aksi-aksi
manusia yang merusak terus terjadi. Timbul pertanyaan, seperti apa perubahan
struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota Bekasi dari tahun ke tahun dan
prediksi risiko bencana banjir ke depannya. Fenomena ini merupakan faktor
penentu bencana banjir selain kondisi biofisik dan cuaca ekstrim. Aspek
pengendalian bencana, struktur, fungsi dan perubahan lanskap merupakan faktor
yang relatif lebih bisa dikendalikan dibandingkan kondisi biofisik dan cuaca.
Sebab itu, menemukenali perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi perlu dilakukan. Dengan demikian, risiko banjir di masa yang akan datang,
dapat diprediksi. Hasil analisis situasi saat ini dan proyeksi risiko yang akan
datang, diperlukan sebagai dasar untuk merumuskan model mitigasi bencana
banjir. Upaya pemerintah kota untuk mengendalikan banjir belum terlihat efektif.
Terbukti luas wilayah yang terkena banjir semakin luas meskipun sudah dilakukan
normalisasi saluran dan pembangunan polder. Tahun 2012 luas wilayah terkena
banjir 2.12 ha (Bappeda Kota Bekasi 2013), tahun 2020 menjadi 15.37 ha (BPBD
2020). Hal ini bisa jadi disebabkan oleh fungsi struktur pengendali banjir yang
kurang optimal. Kondisi ini terjadi karena pemeliharaannya yang kurang optimal.
Latar belakangnya karena APBD yang terbatas. Pemerintah daerah dalam hal ini
belum menganggap isu mitigasi banjir sebagai hal yang prioritas. Proses ini
menyebabkan resiliensi kota rendah. Resiliensi yang rendah juga dapat
diakibatkan oleh pelibatan masyarakat yang minim dan koordinasi antar
stakeholder yang lemah. Tata kelola yang belum mapan menjadikan hal tersebut
bisa terjadi. Sampai saat ini, seberapa resilient Kota Bekasi belum diketahui
karena belum pernah dilakukan penilaian. Padahal resiliensi adalah mekanisme
mitigasi dampak bencana (Cutter 2008) pada berbagai skala. Sehingga informasi
tersebut dibutuhkan untuk merumuskan strategi mitigasi yang akurat. Karena itu
perlu dianalisis lebih lanjut seperti apa sistem pengendalian banjir eksisting.
Selanjutnya perlu dimodelkan tindakan perbaikan seperti apa yang diperlukan.
Model diharapkan dapat menjawab pertanyaan bagaimana agar banjir tidak
berkembang menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, serta dampak banjir
terhadap sosial, ekonomi dan lingkungan minimal.
Untuk merumuskan model tersebut, maka perlu dilakukan serangkaian
proses kajian untuk merumuskan model mitigasi bencana banjir agar terwujud
kota yang resilient. Adapun kajian yang akan dilakukan meliputi:
1. Bagaimana sistem pengendalian banjir di Kota Bekasi saat ini;
2. Bagaimana prediksi risiko banjir yang akan datang;
3. Bagaimana resiliensi kotanya;
4. Bagaimana model pengendalian dan mitigasi banjir yang efektif sesuai
kondisi Kota Bekasi.

1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian
ini memiliki empat tujuan, meliputi:
1. Menganalisis sistem pengendalian banjir eksisting dengan output peta
proses bisnis;
2. Menganalisis risiko banjir dengan output peta risiko banjir Kota
Bekasi;
3. Melakukan penilaian atas resiliensi Kota Bekasi dengan output laporan
hasil penilaian resiliensi;
4. Merumuskan model mitigasi banjir agar kota menjadi resilient dengan
output rekomendasi model mitigasi bencana banjir yang implementatif.
Tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga merupakan tujuan antara,
sedangkan tujuan keempat merupakan tujuan utama.
1.4 Manfaat
Manajemen risiko banjir yang lebih integratif dengan menggabungkan
kebijakan dan praktik masih memiliki peluang untuk diteliti (Morrison et al.
2018). Karena itu penelitian ini diharapkan dapat mengisi peluang tersebut dan
berkontribusi bagi pemerintah, pengusaha atau swasta, akademisi dan masyarakat
untuk:
1. Mengubah paradigma pemangku kepentingan terhadap pengelolaan
bencana khususnya banjir, dari reaktif menjadi proaktif;
2. Bahan reformasi manajemen kebencanaan yang dituangkan dalam
dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) yang
disahkan oleh Wali Kota Bekasi;
3. Bahan studi dan evaluasi pengelolaan lanskap kota berbasis mitigasi banjir
yang berkelanjutan bagi Pemerintah Kota Bekasi dan akademisi;
4. Bahan referensi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis
risiko yang efektif bagi Pemerintah Kota Bekasi;
5. Mewujudkan masyarakat Kota Bekasi yang resilient terhadap bencana
banjir dengan indeks minimum di atas 50% (tingkat resiliensi menengah).
1.5 Ruang Lingkup
Lingkup penelitian ini adalah merumuskan model mitigasi banjir untuk
mewujudkan kota yang resilient. Batas wilayah penelitian, melingkupi batas
wilayah ekologi DAS Bekasi, DAS Cikeas, DAS Sunter, DAS Cileungsi dan DAS
Cakung dengan wilayah perencanaan meliputi batas administrative Kota Bekasi.
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU No.
32 tahun 2009), penelitian ini berada di ranah perencanaan. Dari sisi penataan
ruang (UU No.26 tahun 2009), penelitian ini meliputi pengendalian pemanfaatan
ruang.
Sedangkan dalam konteks pengelolaan sumber daya air (UU No. 17 tahun 2019),
penelitian ini berada di ranah pengendalian daya rusak air. Adapun dalam konteks
penanggulangan bencana (UU No. 24 tahun 2007, penelitian ini berada di ranah
mitigasi (Gambar 3).
Gambar 1. 2 Lingkup pembahasan dan penelitian

1.7 Kebaharuan
Beberapa penelitian tentang banjir dengan lokus Kota Bekasi sudah pernah
dilakukan diantaranya oleh Kadri et al. (2011), Prihartanto dan Ganesha (2019),
Rojali dan Elsari (2020). Penelitian banjir lainnya dengan lokus yang berbeda-
beda telah dilakukan oleh Renald et al. (2016) di Provinsi DKI Jakarta, Rijke
(2014) di Belanda, Lee (2015) di Singapura, Disse et al. (2020) di Eropa dan
Morrison et al. (2018) mengambil lokus di beberapa negara.
Kadri et al. (2011) meneliti upaya yang diperlukan untuk menyusun
rencana penanggulangan banjir dan penurunan risiko banjir Kota Bekasi dengan
pendekatan pengelolaan DAS Bekasi Hulu. Dalam penelitian Kadri et al. (2011)
ditemukan: 1) Komposisi perubahan penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu dengan
luasan total sebesar 39.045,0 ha mengalami perubahan yang cepat, dalam kurun
waktu sepuluh tahun (1998-2008) terjadi peningkatan luasan permukiman sebesar
19,3%, tetapi sebaliknya penurunan hutan 5,5%. 2) Banjir yang terjadi pada tahun
2005 (545,5 m3 /dt) menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai (462 m3 /dt) tidak
lagi mampu mengalirkan aliran sungai. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan
karena di sepanjang sisi sungai telah dipenuhi oleh permukiman penduduk
sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti keseimbangan alam untuk menampung
aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase lingkungan. (3)
Simulasi hidrologi menggunakan data biofisik DAS tahun 2008 dengan hujan
yang sama tahun 2005 akan mengalirkan debit sebesar 592,8 m3 /dt. Hasil ini
memberikan indikasi kuat bahwa kecenderungan terjadi banjir semakin tinggi.
Penelitian Kadri et al. (2011) menghasilkan output strategi pengelolaan DAS
terpadu: (a) penataan penggunaan lahan, (b) pengolahan lahan sesuai kaidah
konservasi, dan (c) upaya menampung air di bagian hulu dan sekaligus
meresapkan ke dalam tanah dengan membangun struktur penahan air.
Prihartanto dan Ganesha (2019) menghasilkan temuan tentang perkiraan
waktu kedatangan banjir berdasarkan analisis empirik rekaman data sistem
peringatan dini banjir Kota Bekasi (flood early warning system- FEWS). Tujuan
yang diharapkan dari penelitian Prihartanto dan Ganesha (2019) untuk
menurunkan risiko akibat bencana banjir dengan meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat.
Rojali and Elsari (2020) melakukan studi pemodelan banjir dengan skala
kecil di Perumahan Pondok Gede Permai menggunakan metode numerik analisis
hidrologi Nakayasu dan Gamma 1. Hasil analisis hidrologi dalam penelitian
Rojali dan Elsari (2020) diketahui faktor penyebab terjadinya banjir di DAS
Bekasi Hulu khususnya Kecamatan Jatiasih adalah debit air dari Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi yang tidak tertampung Sungai Bekasi. Hal tersebut
disebabkan banyaknya tumpukan sampah di sisi dan dasar sungai sehingga
kapasitas sungai berkurang.
Dari ketiga penelitian tentang banjir Kota Bekasi di atas, tidak ada yang
menginformasikan seberapa bahaya, seberapa rentan, bagaimana risiko banjir
beberapa tahun yang akan datang dan seberapa resilient Kota Bekasi menghadapi
banjir. Dalam literatur akademis, konsep resiliensi banjir (flood resilience)
merupakan pendekatan yang relative baru dalam manajemen bahaya lingkungan,
melengkapi manajemen risiko banjir yang impelementasinya sudah lebih dulu
(Disse et al. 2020). Bahkan menurut Morrison et al. (2018), masih ada
kesenjangan penelitian resiliensi yang berkaitan dengan tata kelola untuk
meningkatkan resiliensi terhadap banjir. Karena itu panduan untuk meningkatkan
tata kelola manajemen risiko banjir guna meningkatkan resiliensi terhadap banjir
harus tersedia dari literatur ilmiah.
Penelitian Renald et al. (2016), lebih mengarah pada hubungan kausalitas
antara variabel adaptasi resiliensi kota terhadap banjir dalam rangka keberlanjutan
kota. Model yang dibuat merupakan fungsi dari penataan ruang, mitigasi bencana,
inovasi teknologi, dan adaptasi. Model ini bertujuan mengurangi kerentanan
wilayah/kota dan sebaliknya untuk meningkatkan resiliensi kota dalam rangka
mencapai keberlanjutan Jakarta. Namun tata kelolanya seperti apa, belum ketahui
dan belum diteliti.
Memperhatikan model pengendalian banjir dari negara lain, Rijke (2014)
menemukan tantangan adaptasi terhadap banjir dan kekeringan adalah tata kelola.
Campuran dari pendekatan tata kelola terpusat dan yang terdesentralisasi
diperlukan untuk tata kelola infrastruktur air yang efektif yang beroperasi di
berbagai skala. Sedangkan institusi formal perlu dilengkapi dengan institusi
informal. Dalam disertasi Rijke (2014) ini, Fit & purpose framework merupakan
kerangka kerja yang sesuai untuk tujuan analisis pendekatan tata kelola air
perkotaan kontemporer. Dalam rangka mencapai lingkungan yang resilient
khususnya peka terhadap air, model sosio-teknis dan dukungan kelembagaan
diperlukan (Lee 2015). Penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan metode
penilaian tata kelola yang sesuai dengan tujuan, direkomendasikan Rijke (2014).
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan cooperative game theory
untuk merumuskan tata kelola banjir yang melibatkan banyak stakeholder.
Pendekatan ini umumnya digunakan dalam management proyek dan management
rantai pasok untuk optimalisasi keuntungan. Beberapa penelitian menggunakan
pendekatan cooperative game theory dalam rantai pasok industri dilakukan oleh
Asrol (2019), Taleizadeh dan Sherafati (2019) dan Moradi et al. (2018).
Sementara Alvarez et al. (2019) dan Jeong et al. (2018) mengarah pada alokasi
tanggungjawab stakeholder dalam adaptasi perubahan iklim.
Asrol (2019) menggunakan pendekatan cooperative game theory yang
dimodelkan untuk alokasi keuntungan pada rantai pasok industri gula tebu.
Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ciri sistem rantai pasok yang
saling bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Taleizadeh dan Sherafati (2019)
menggunakan pendekatan cooperative game theory pada rantai pasok industri
yang melibatkan tiga eselon: produsen, agen dan pelanggan untuk
mengoptimalkan keuntungan masing-masing eselon. Berikutnya Moradi et al.
(2018) menggunakan pendekatan cooperative game theory dalam studi model
penjadwalan proyek untuk menilai risiko proyek dan dampaknya terhadap
keberlanjutan proyek ketika subkontraktor berkolaborasi di bawah ketidakpastian.
Pendekatan cooperative game theory untuk mencegah risiko luapan sungai
telah dilakukan oleh Alvarez et al. (2019), dengan fokus pada trade off antara
pemerintah atau pemilik lahan agar memanfaatkan lahannya untuk kepentingan
peningkatan kapasitas retensi air. Dalam penelitian disebutkan bahwa masih
dibutuhkan banyak pembuktian untuk efektivitasnya di lokasi yang lain. Jeong et
al. (2018), menggunakan cooperative game theory untuk pembagian alokasi biaya
adaptasi perubahan iklim di antara aktor yang berpartisipasi dalam proyek
pembangunan jalur sungai bawah tanah di Seoul. Namun aktor yang terlibat,
semua berasal dari unsur pemerintah daerah.
Dalam rangka memberikan keyakinan akan kebaharuan dalam penelitian
ini, maka dilakukan meta analisis terhadap penelitian dalam jurnal-jurnal yang
terindeks Scopus, Web of Science dan Google Scholar. Diagram meta analisis
menggunakan software VosViewer diperoleh seperti tertera dalam Gambar 4 dan
Gambar 5. Hasilnya menunjukkan bahwa penelitian “mitigasi banjir” sudah
banyak dilakukan terutama terkait urbanisasi. Namun penelitian yang
menghubungkan “mitigasi banjir” dengan “resiliensi atau flood resilience” masih
relative sedikit dan baru muncul antara tahun 2018-2019. Sementara penelitian
“mitigasi banjir” terkait knowledge, methodology dan implementasi masih sangat
kurang dan baru muncul sekitar tahun 2019. Adapun paper yang menulis tentang
manajemen risiko banjir menggunakan cooperative game juga masih jarang dan
baru muncul sekitar tahun 2018-2019.
Gambar 1. 3 Posisi penelitian mitigasi banjir dan resiliensi

Maka, berdasarkan pandangan terhadap beberapa penelitian terdahulu,


cukup dapat simpulkan bahwa penelitian ini berbeda dan memiliki kebaharuan
yaitu:
1. Didapatkannya indeks resiliensi sebuah kota berbasis mitigasi banjir;
2. Pendekatan cooperative game theory yang biasanya digunakan dalam
studi ekonomi untuk manajemen proyek, rantai pasok dan optimalisasi
keuntungan, kali ini digunakan untuk merumuskan model mitigasi
bencana banjir (aspek metode penelitian).
Gambar 1. 4 Posisi penelitian cooperative game theory dan flood risk
management
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ekologi Lanskap


Lanskap adalah sebuah area yang heterogen yang terbentuk dari berbagai
ekosistem yang saling berinteraksi. Sedangkan ilmu ekologi lanskap adalah ilmu
dan seni belajar yang mempelajari struktur, fungsi dan perubahan lanskap di
sebuah area yang heterogen, yang berisi ekosistem yg saling berinteraksi serta
hubungan antara pola spasial dan proses ekologis pada banyak skala dan tingkat
organisasi (Prastiyo 2017; Wu 2008).
Ekologi lanskap adalah pendekatan teoritis dan operasional untuk
memahami keterkaitan lanskap dengan banyak jenisnya dari agregat bentang alam
(Forman dan Godron 1986). Ekologi lanskap adalah disiplin ilmu yang bertujuan
memahami proses lingkungan yang mempengaruhi habitat dan spesies di luar
level tapak (Simmonds 2004), memahami hubungan antara pola lanskap dan
proses ekologis; dampak aktivitas manusia dan kekuatan lain yang mendorong
perubahan lanskap, pola hubungan dan prosesnya; prinsip-prinsip yang
dibutuhkan untuk membuat keputusan dalam pengelolaan sumber daya alam
(Lookingbill et al. 2013). Dalam arti luas, ekologi lanskap mewakili bidang studi
dan perspektif atau paradigma ilmiah yang sangat luas, interdisipliner dan
transdisipliner dengan tata ruang sebagai intinya. Namun tidak sekedar pemetaan
karena mengintegrasikan pendekatan biofisik dan analitis dengan perspektif
humanis dan holistik di seluruh ilmu alam dan sosial (Simmonds 2004; Wu 2008).
Kajian ekologi lanskap juga menitikberatkan pembahasan mengenai
struktur, fungsi, dinamika/perubahan pada lanskap (Arifin et al. 2009 dalam
Prastiyo et al. 2017). Struktur lanskap dikaitkan dengan ukuran, bentuk, jenis, dan
konfigurasi ekosistem elemen penyusun lanskap seperti matriks, patch, dan
koridor (Forman dan Godron 1986). Fungsi lanskap mengkaji mengenai aliran
energi, materi, dan spesies diantara komponen ekosistem penyusun lanskap
(Forman dan Godron 1986; Prastiyo et al. 2017). Dinamika/perubahan lanskap
membahas mengenai alterasi struktur dan fungsi lanskap, baik karena gangguan
manusia ataupun karena proses-proses alam sendiri (Forman dan Godron 1986).
Topik penelitian utama dalam ekologi lanskap diantaranya aliran ekologis dalam
mosaik lanskap, penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan, penskalaan,
analisis pola lanskap yang berkaitan dengan proses ekologis, dan konservasi dan
keberlanjutan lanskap (Wu 2008). Berdasarkan riset ekologi lanskap Kim dan
Park (2016), diketahui bahwa pola lanskap mempengaruhi beban puncak
genangan (run off). Ukuran, fragmentasi, dan konektivitas bentang alam
mempengaruhi limpasan puncak. Ukuran matriks lanskap yang lebih besar akan
meningkatkan kapasitas infiltrasi dan tampungan suatu wilayah saat banjir karena
banyaknya pohon, semak, dan rerumputan. Hal ini menjadi dasar yang menarik
untuk mengkaji bagaimana dengan struktur, fungsi dan dinamika lanskap Kota
Bekasi, sehingga dapat mempengaruhi bahaya, kerentanan dan risiko banjir.
2.2 Perubahan Ekologi Lanskap
Globalisasi dan perkembangan teknologi menyebabkan meningkatnya
kebutuhan manusia yang berdampak pada perubahan tata guna lahan dan tutupan
lahan (LUCC), khususnya di daerah aliran sungai (Arifasihati dan Kaswanto
2016). Ruang terbuka hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB) semakin
tedesak oleh permukiman. Padahal RTH dan RTB memiliki jasa lanskap antara
lain: reservoir air, habitat konservasi keanekaragaman hayati, penyerap karbon,
memperbaiki iklim mikro, sebagai media produksi pertanian dan perikanan serta
sarana pariwisata (Arifin et al. 2015). Banyak kota di Indonesia yang justru
dibangun dengan konsep water back city. Konsep kota ini membelakangi laut,
sungai maupun danau dengan lebih menghadapkan wajahnya ke daratan. Hal
tersebut menjadikan wilayah perairan tidak penting, sehingga dijadikan tempat
untuk membuang limbah, kotoran, sampah. Akibatnya endapan sedimentasi tidak
terkontrol (Arifin 2010; Ulfah et al. 2017). Masyarakat bantaran sungai umumnya
menjadikan sungai sebagai suatu tempat pembuangan. Sebagai contoh kasus
Sungai Ciliwung di Jakarta, fenomena ini menyebabkan perubahan ekologi
lanskap, yang dapat meningkatkan risiko banjir (Noviandi et al. 2017).
Asumsinya, demikian pula yang terjadi di Kota Bekasi.
Ruang terbuka hijau dan taman kota di wilayah perkotaan merupakan
salah satu jenis urban green infrastructure. Pada umumnya luasnya saat ini
dibawah luas yang ideal untuk sebuah kota. Keberadaannya semakin berkurang
karena terdesak oleh permukiman maupun penggunaan lain yang dianggap
mampu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi (Rosyidie 2013).
Akibat dari berkurangnya RTH kota maka tingkat infiltrasi di kawasan tersebut
menurun (Selman 2000; Herlin 2004) sedangkan kecepatan dan debit aliran
permukaannya meningkat. Ketika turun hujan lebat dalam waktu yang lama, maka
sebagian besar air hujan akan mengalir diatas permukaan tanah dengan kecepatan
dan volume yang besar dan selanjutnya terakumulasi menjadi banjir (Fatimah
2012). Semakin luas RTH menerapkan subreservoir air hujan, semakin besar
genangan air (banjir) dapat direduksi di permukiman kota. Apabila seluruh RTH
(30% wilayah kota) digunakan untuk pencegahan banjir preventif, maka genangan
dapat direduksi hingga 48%. Karena itu, semakin kecil RTH kota semakin besar
kecenderungan terjadi genangan air hujan di perkotaan (Sarbidi 2012). Apalagi
secara biofisik, Kota Bekasi merupakan dataran banjir.
Banjir terjadi akibat aktivitas manusia (Few et al. 2004 dalam Umar et al.
2019) atau pembangunan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang yang kurang memperhatikan
kemampuannya dan melebihi kapasitas daya dukungnya (Tingsanchali 2012).
Pada kondisi dimana ruang terbuka hijau (RTH) diubah menjadi permukiman,
maka aliran air permukaan akan terhambat 98% dan debit puncak sungai akan
mengalami peningkatan sebesar 6 hingga 20 kali (Kodoatie 2008). Hilangnya
ruang terbuka biru dan hijau yang merupakan area penahanan banjir alami
menimbulkan dampak banjir yang semakin parah (Denipitiya dan Udalamaththa
2020). Permasalahan banjir sulit dihilangkan, hanya bisa direduksi agar dampak
yang ditimbulkan dapat diminimalisasi (Suprayogi et al. 2019).
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, aspek lanskap sekitar harus
diperhitungkan untuk mengurangi dampak eksternalitas sumber daya alam
(Guerra et al. 2019). Karena pada dasarnya pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu interaksi antar sistem sosial dan ekosistem yang seimbang
(Haaland dan van den Bosch 2015). Agar Kota Bekasi berkelanjutan maka
diperlukan penelitian untuk menemukenali seperti apa dinamika lanskap Kota
Bekasi terutama yang berkaitan dengan faktor penyebab banjir.

2.2 Tinjauan Umum Banjir

2.2.1 Terminologi Banjir


Banjir adalah aliran air di permukaan tanah yang melebihi kapasitas
saluran drainase atau sungai sehingga melimpah keluar serta menimbulkan
genangan atau aliran dalam jumlah di atas batas normal. Selain itu juga
menimbulkan kerugian bagi manusia (Rosyidie 2013; Ouma dan Tateishi 2014;
Suprayogi et al. 2019). Banjir dapat berupa genangan pada lahan yang
biasanya kering seperti pada lahan pertanian, permukiman dan pusat kota.
Menurut terminology kebijakan, banjir secara umum adalah debit aliran sungai,
danau atau laut yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat hujan yang
turun di daerah hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus,
sehingga air limpasan tidak dapat diserap, ditransmisikan atau ditampung
dengan kapasitas evaporasi, infiltrasi normal sehingga air melimpah keluar dan
menggenangi daerah sekitarnya (Peraturan Dirjen RLPS No. 04 tahun 2009;
United Nations International Strategy for Disaster Reduction-UNISDR, 2015).
Banjir dapat disebabkan oleh kondisi iklim (hujan yang intens dan lama),
elevasi lahan, karakter tanah, kemiringan lereng (slope), kepadatan
permukiman atau meluapnya sungai/danau/laut (Wisner et al. 2012; Handayani
et al. 2020).
Berdasarkan data Worldwatch Institute, pada tahun 2012 terjadi 905
bencana alam di seluruh dunia dan 93% di antaranya merupakan bencana yang
berhubungan dengan cuaca. Bencana banjir merupakan risiko iklim terpenting
di banyak negara, memengaruhi rumah tangga, komunitas, bisnis dan
pemerintah secara umum (Surminski dan Mehyar 2020). Data bencana alam
menunjukkan bahwa banjir merupakan bencana paling umum dan menempati
urutan teratas di seluruh dunia (Ikhuoria et al. 2012; Handayani et al. 2020)
karena paling sering dan paling luas dampaknya terhadap kehidupan ekonomi,
bisnis, infrastruktur, pelayanan, serta kesehatan masyarakat. Hal yang sama
juga terjadi di Indonesia khususnya Kota Bekasi.

2.2.2 Bahaya, Kerentanan dan Risiko Banjir


Bahaya dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam, atau
kemungkinan terjadinya fenomena yang berpotensi merusak dalam periode
waktu dan wilayah tertentu. Bahaya adalah suatu fenomena alam atau bukan
yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta
benda dan kerusakan lingkungan. Ketika peristiwa berbahaya terjadi,
kerusakan tergantung pada elemen yang berisiko. Sugiarto (2009) dalam
Azmeri et al. (2017) mengatakan bahwa bahaya banjir dapat dianalisis
berdasarkan luas genangan dan ketinggian banjir. Menurut Badan
Penanggulangan Bencana Nasional-BNPB (2012), tingkat bahaya banjir
dikelaskan berdasarkan kelas kedalaman air. Kedalaman air < 0,76 m
merupakan kelas bahaya rendah, kedalaman air 0,76 – 1,5 m merupakan kelas
bahaya sedang, dan kedalaman air > 1,5 m merupakan kelas bahaya tinggi.
Kerentanan adalah keadaan atau sifat perilaku manusia yang menyebabkan
ketidakmampuan menghadapi ancaman atau bahaya (Suprayogi et al. 2019).
Jadi bencana banjir terjadi karena ada bahaya banjir dan kerentanan ekosistem
(Ozcan dan Musaoglu 2010). Menurut Seniarwan, et al. (2013) kerentanan
dapat dianalisis berdasarkan tingkat keterpaparan (exposure) dan sensitivitas
masyarakat atau infrastruktur.
Selain itu penentuan tingkat kerentanan banjir juga dapat dilakukan
melalui survei terestrial maupun teknik penginderaan jauh. Untuk daerah yang
luas dan memiliki medan yang sulit pemanfaatan survei akan memerlukan
waktu yang lama dan biaya yang mahal (Somantri 2016) karena itu umumnya
faktor kerawanan banjir diindentifikasi melalui peta DEM. Morfologi
permukaan lahan seperti faktor kemiringan lahan, lereng, tutupan lahan, jarak
dengan aliran sungai atau drainase dan topografi terbukti dapat menunjukkan
tingkat kerawanan banjir. Namun menurut Degiorgis et al. (2013), faktor
perbedaan ketinggian lokasi area yang diteliti dan ketinggian titik akhir jalur
yang secara hidrologis menghubungkannya ke aliran terdekat, memiliki kinerja
terbaik untuk pengklasifikasian kerawanan banjir berdasarkan metode
threshold binary classifiers. Kerentanan merupakan salah satu indikator
terbaik untuk menunjukkan keseriusan daerah rawan banjir dan merupakan
elemen sentral dalam penilaian risiko banjir dan evaluasi kerusakan (Huang et
al. 2012).
Wilayah rentan atau rawan banjir adalah wilayah yang potensial terkena
banjir dan menimbulkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau
kehilangan harta benda, diindikasikan dengan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap banjir yaitu topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah
aliran sungai, wilayah meander, curah hujan, air laut (Darwanto 2007 dalam
Suprayogi et al. 2019), drainase dan pola penggunaan lahan (Ouma dan
Tateishi 2014). Namun daerah yang memiliki potensi terdampak banjir paling
besar belum tentu daerah tersebut menjadi paling rentan, karena faktor adaptif
penduduk atau ekosistem ternyata bisa menurunkan kerentanan (Chang dan
Huang 2015). Dari perspektif sistem, hubungan sebab-akibat antara
keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif untuk menilai kerentanan
dihubungkan melalui aliran energi dan material antara sistem alam dan sosial
(Huang et al. 2011).
Risiko banjir merupakan akumulasi bahaya banjir, kerentanan banjir dan
paparan banjir (Ozcan dan Musaoglu 2010; Wisner et al. 2012; Arrighi et al.
2013). Elemen yang berisiko adalah populasi, bangunan dan struktur teknik
sipil, kegiatan ekonomi, layanan publik, dan infrastruktur (Barocca et al.
2006). Area dengan intensitas urbanisasi yang tinggi dan memiliki tingkat
kepadatan permukiman yang tinggi akan memiliki risiko terdampak banjir
paling besar (Ozcan dan Musaoglu 2010).
Risiko banjir adalah fenomena spasial (Saefulhakim 2011) yang harus
dimitigasi. Karena pola pengamanan air dan banjir (flood dan stormwater
security pattern) berhubungan dengan proses-proses hidrologis, seperti aliran
permukaan (run off), daerah resapan air (infiltration), dan daerah tangkapan air
hujan (catchment area) maka untuk rencana mitigasi banjir diperlukan data
aliran air permukaan, seperti sungai, waduk, situ, dan daerah genangan air pada
waktu hujan. Tujuannya adalah untuk menyusun pola lanskap pengendalian
banjir, yaitu dengan menentukan daerah-daerah yang tidak boleh dibangun
untuk fungsi konservasi dan preservasi agar proses-proses hidrologis tetap
dapat berlangsung (Joga 2010).3
Bencana adalah suatu kondisi yang tidak normal yang terjadi pada
masyarakat hingga menyebabkan kecenderungan kehilangan kehidupan, harta
benda serta sumberdaya, dan masyarakat tidak mampu untuk keluar dari
dampak yang ditimbulkannya. Bencana adalah akumulasi dari adanya bahaya
dan kerentanan yang menyebabkan risiko, ditambahkan adanya pemicu
bencana, maka timbullah bencana (Bakornas PB 2007).

2.3 Konsep Resilient City


Kota yang resilient adalah kota yang mampu menghadapi berbagai jenis
tekanan tanpa menimbulkan kekacauan atau kerusakan permanen pada saat
ditekan. Kota yang resilient dirancang dengan tujuan untuk mengantisipasi,
bertahan, dan pulih dari dampak bencana. Kota akan fleksibel terhadap berbagai
gangguan, dalam hal ini kasus adalah bencana (Godschalk 2003). Konsep kota
resilient merupakan konsep yang memiliki keterkaitan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang dibangun atas tiga
dimensi mitigasi, adaptasi, dan inovasi. Ketiga dimensi tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut: 1. Mitigasi adalah pengurangan risiko relatif terhadap kapasitas
objek, objek itu sendiri sesuai dengan kapasitasnya. 2. Adaptasi adalah
penyesuaian diri terhadap risiko, yang disesuaikan dengan bahaya dan kerentanan
yang ada pada obyek. 3. Inovasi adalah kerangka waktu untuk
mempertimbangkan pelaksanaan kegiatan baru dalam penanganan risiko aktual
yang berada di luar kapasitas yang ada pada objek, seperti menciptakan teknologi
baru untuk mengurangi risiko bencana (Renald et al. 2016)
Resilient City adalah konsep perencanaan kota dimana kota diharapkan
bisa tetap memfungsikan berbagai sistemnya ketika ada gangguan semisal
bencana. Resilience merupakan upaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan yang
dirasakan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian ekologi tetapi
terancam oleh tekanan perubahan iklim (Pelling 2011). Resilient City sendiri
diungkapkan dalam The Recilience Alliance (2011), dapat diterjemahkan sebagai
suatu kota yang mampu bertahan dari berbagai jenis ancaman yang berkembang,
baik yang datang dari alam seperti bencana alam hingga yang berkembang akibat
tindakan manusia. Sebuah Resilient City juga mampu menjaga kestabilan kondisi
sosial, ekonomi, dan infrastruktur pasca perubahan tertentu dengan tetap
mempertahankan fungsi, struktur, sistem, dan identitas sebelumnya.
City resilience (ketangguhan kota) adalah kapasitas populasi dan sistem
perkotaan untuk menanggung berbagai bahaya dan tekanan (Romero-Lankao dan
Gnatz 2013). Sedangkan resiliensi perkotaan sebagai sistem perkotaan yang dapat

3
https://www.wwf.or.id/?17461/Infrastruktur-Hijau-Kota
mempertahankan atau dengan cepat kembali ke fungsi yang diinginkan dalam
menghadapi bencana, beradaptasi dengan perubahan, dan dengan cepat mengubah
sistem yang membatasi kapasitas adaptif saat ini atau yang akan datang. Pada
prinsipnya resiliensi berfokus pada kemampuan masyarakat untuk menanggapi
bencana dan untuk mencapai tata kelola adaptif (Meerow et al. 2016).
Tujuan membangun kota yang resilient adalah untuk mengurangi paparan,
kerentanan (Chuang et al. 2020) dan bahaya di masa depan (Wamsler et al. 2013)
serta membantu kota pulih dan beroperasi lebih lanjut secara normal sesegera
mungkin setelah bencana serius (Meerow et al. 2016) dengan menetapkan
mekanisme dan struktur yang berfungsi untuk tanggap bencana dan pemulihan
(Wamsler et al. 2013). Kota-kota yang resilient telah mendapat perhatian yang
cukup besar di bidang kebijakan publik dalam upaya untuk mematuhi komitmen
perubahan iklim. Bahkan, kota-kota tersebut adalah kunci untuk tata kelola iklim
penduduk perkotaan sebesar 6,3 miliar orang pada tahun 2050. Literatur
manajemen lingkungan menunjukkan bahwa resiliensi adalah kunci untuk
mengelola sistem yang kompleks dan mengurangi kerentanan akibat
ketidakpastian dan perubahan tak terduga. Namun, manajemen risiko banjir yang
berkembang sebagian besar adalah budaya pertahanan atau resistensi bukan
resiliensi (Morrison et al. 2018).
Pengukuran resiliensi adalah salah satu aspek resiliensi yang paling
penting. Tanpa pengukuran resiliensi, tidak mungkin atau sangat sulit untuk
menentukan bagaimana strategi yang memadai untuk mempersiapkan masyarakat
menghadapi peristiwa banjir. Sama sulitnya untuk menentukan intervensi mana
yang harus dilakukan dan sejauh mana intervensi tersebut akan meningkatkan
resiliensi. Hal ini secara langsung menghambat pengambilan keputusan yang tepat
dan investasi yang akuntabel dalam ukuran resiliensi. Konsensus pada pengukuran
resiliensi relatif lemah. Hal ini mungkin karena sulitnya menstandardisasi
pendekatan terhadap resiliensi yang seringkali sangat terlokalisasi dan sangat
bervariasi (Disse et al. 2020).
Kerangka resiliensi kota atau City Resilience Framework (CRF), mula-
mula dikembangkan oleh Arup dan Rockefeller Foundation, merupakan perangkat
analisis untuk memahami berbagai drivers yang dapat berkontribusi dalam
membangun resiliensi kota. Sebagai contoh Kota Jakarta, menetapkan indikator
berdasarkan dimensi 1) Kesehatan dan kesejahteraan: Kesehatan dan
kesejahteraan dari setiap orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta; 2) Ekonomi
dan kemasyarakatan: Pengorganisasian sosial dan keuangan yang memungkinkan
masyarakat perkotaan untuk hidup damai, dan bertindak secara kolektif; 3)
Infrastruktur dan lingkungan: Suatu keadaan dimana infrastruktur buatan dan
alami dapat memberikan layanan yang penting, melindungi, dan menghubungkan
para penduduk kota; 4) Kepemimpinan dan strategi: Kepemimpinan yang efektif,
pemberdayaan pemangku kepentingan, dan perencanaan terpadu.
Pada tahun 2050, diperkirakan lebih dari setengah umat manusia tinggal di
daerah perkotaan, yang diproyeksikan meningkat menjadi 68%. Urbanisasi yang
cepat di negara-negara berkembang adalah memberikan tekanan besar pada
lingkungan, termasuk persediaan air tawar, perumahan, infrastruktur, dan
pelayanan publik dasar. Demikian pula kemiskinan, kejahatan dan kekerasan,
pengucilan sosial, perkotaan, dan degradasi lingkungan diperburuk oleh urbanisasi
yang cepat, dengan dampak signifikan pada kesehatan masyarakat dan mata
pencaharian (Abubakar dan Aina 2019). SDG 11 bertujuan untuk membuat kota
dan pemukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Gagasan kota inklusif adalah bahwa di mana semua orang, terlepas dari cara
ekonomi mereka, jenis kelamin, ras, etnis atau agama, difungsikan dan
diberdayakan untuk sepenuhnya berpartisipasi dalam peluang sosial, ekonomi,
dan politik yang ditawarkan kota-kota (UN-Habitat 2001). Prinsip untuk
menjadikan kota-kota inklusif adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan
(Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Paradigma resiliensi sangat penting mengingat posisi kebanyakan kota-
kota di Indonesia yang tidak terlepas dari berbagai jenis ancaman bencana alam
dan bencana akibat perilaku manusia. Demikian pula dengan Kota Bekasi yang
secara alamiah adalah daerah berbahaya banjir. Letaknya di hilir DAS Cikeas,
DAS Cileungsi, dan DAS Sunter yang berpenduduk padat, membuat Kota Bekasi
menjadi rentan bencana. Jadi, banjir Kota Bekasi tidak bisa dihindari tapi harus
dihadapi dengan kemampuan adaptif masyarakat dan lingkungannya.

2.4 Konsep Mitigasi Banjir


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitigasi adalah tindakan
mengurangi dampak bencana. Menurut Kamus Oxford, mitigasi adalah tindakan
mengurangi keparahan, keseriusan atau penderitaan dari sesuatu. Dalam Kamus
Cambridge, mitigasi adalah tindakan mengurangi tingkatan bahaya, kurang
menyenangkan atau buruknya sesuatu. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun
2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Menurut UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kegiatan mitigasi dapat
dilakukan melalui: pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan
meliputi pembangunan infrastruktur dan tata bangunan serta penyelenggaraan
pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
Dalam kasus banjir, relokasi tempat tinggal telah diakui sebagai metode
mitigasi banjir yang substansial dalam banyak penelitian (Cummings et al. 2012;
Hino et al. 2017). Di beberapa negara, seperti AS dan Austria, proyek relokasi
perumahan telah dilakukan di daerah bahaya rawan banjir (Bronen dan Chapin
2013; Thaler et al. 2020). Karena secara historis, manusia menanggapi banjir
tersebut dengan menjauh dari sumber atau dengan menguranginya (Nilsson et al.
2018). Namun pendekatan ini sulit diaplikasikan di Kota Bekasi karena relokasi
membutuhkan biaya yang besar dan memicu konflik.
Dalam praktik di dunia, saat banyak aliran dan sungai mengalami banjir
besar, restorasi ekologi diterapkan karena masyarakat saat ini mulai menerapkan
strategi “hidup dengan banjir”. Ini lebih lanjut melibatkan pemetaan banjir,
prakiraan, dan sistem peringatan (Nilsson et al. 2018). Dalam hal ini, banjir perlu
dimitigasi karena mengganggu kehidupan penduduk kota sehari-hari. Korban dari
banjir perkotaan biasanya tidak besar, tetapi kerusakan struktural properti dan
kerugian ekonomi, dapat sangat tinggi. Hal ini disebabkan kondisi perkotaan yang
berkepadatan penduduk tinggi dan terdapat pusat-pusat kegiatan ekonomi. Untuk
alasan ini, banjir perkotaan selalu menjadi bencana (Mohtar et al. 2020; Salimi
dan Al-Ghamdi 2020).
Ada strategi berbeda untuk memitigasi risiko banjir dengan
mengendalikan komponen risiko banjir (bahaya, paparan, dan kerentanan).
Intensitas bahaya banjir itu sendiri dapat dimitigasi dengan membangun sistem
tanggul baru, dam, kolam retensi banjir, atau mengalokasikan sistem pompa di
lokasi kritis, atau bisa kombinasi semuanya. Untuk kerentanan banjir, beberapa
pendekatan pengurangan kerentanan dapat menjadi bagian dari rencana mitigasi
dalam masyarakat (misalnya legalisasi materi atau teknik tertentu untuk
konstruksi) dan lainnya dapat menjadi bagian dari strategi adaptasi untuk
peristiwa banjir berulang (misalnya, meningkatkan komponen sensitif air). Jadi,
strategi mitigasi banjir kadang-kadang dapat tumpang tindih dengan langkah-
langkah adaptasi banjir (Nofal dan Van de Lindt 2020). Adaptasi merupakan hasil
akhir sikap masyarakat yang muncul berdasarkan persepsi dan pengetahuan
mereka terhadap potensi bencana.
Berdasarkan literatur, peneliti tidak hanya harus terus meningkatkan alat
ilmu fisika untuk peramalan dan pemodelan banjir, tetapi juga memajukan alat
ilmu sosial yang membantu proses pengembangan kebijakan manajemen bencana
untuk strategi manajemen risiko terkait air. Hal ini paling baik dicapai melalui
pengembangan kerangka kerja kolaboratif (Morrison et al. 2018). Faktanya,
studi-studi mengenai strategi adaptasi dan resiliensi sosial masih jarang dilakukan
di Indonesia (Prihatin 2018), karena itu penelitian ini berupaya mengisi gap
tersebut.

2.5 Bench Marking Pengelolaan Banjir Berbagai Negara

2.5.1 Pengelolaan Banjir di Tiongkok


Tiongkok adalah salah satu negara di kawasan Asia yang kerap dilanda
bencana. Hingga saat ini bencana yang terjadi di Tiongkok adalah banjir,
gempa bumi, kemudian diikuti oleh badai salju, angin topan dan longsor akibat
pertambangan atau kerusakan lingkungan serta bencana teknologi berupa
polusi udara akibat penggunaan batu bara oleh pembangkit-pembangkit listrik
tenaga uap (Tantri et al. 2014).
Untuk Sungai Kuning, upaya penanggulangan banjir yang dilakukan oleh
Pemerintah Tiongkok sejak 1947 adalah mencanangkan program
penanggulangan banjir serta mencegah aliran sungai berubah arah.
Pengendalian banjir diwujudkan dengan pembangunan bendungan penahan
banjir dan cekungan retensi di luar DAS serta pendirian tanggul buatan yang
melapisinya. Masalahnya, sedimentasi tanah di aliran Sungai Kuning tetap
terjadi dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sedimentasi tanah menaikkan
dasar sungai sekitar 10 meter dan berdampak pada luapan air mencari aliran
baru di sekitarnya. Sementara untuk pengelolaan banjir dari sungai terbesar
Tiongkok, Sungai Yangtze, yaitu dengan cara melakukan kontrol terhadap
banjir melalui pembangunan bendungan Tiga Ngarai. Namun upaya ini juga
masih belum maksimal karena banjir kerap muncul paska di bangunnya
bendungan tersebut. Li Shu dan Brian Finlayson dalam laporan risetnya yang
bertajuk "Flood management on the lower Yellow River: hydrological and
geomorphological perspectives" (1993) menyatakan strategi pengendalian
Sungai Kuning yang dibuat pemerintah Cina mungkin tidak dapat berjalan
sesuai harapan untuk jangka panjang. Mereka merekomendasikan agar
pemerintah mengambil pendekatan baru untuk menghadapi bencana besar
berdasarkan pemahaman atas karakteristik Sungai Kuning yang agresif itu.
Beberapa pilihan yang bisa diambil adalah mengubah tanggul di beberapa titik
dan mengevakuasi penduduk di daerah yang punya risiko tinggi terdampak
(Firman 2018).
Pada 1980-an, konsep tindakan struktural dan non-struktural dipraktikkan
di Cina. Langkah-langkah nonstruktural termasuk sistem peringatan banjir,
sistem pendukung keputusan, dan manajemen darurat. Namun, sampai saat ini
belum banyak kemajuan yang dicapai dalam asuransi banjir dan perencanaan
penggunaan lahan. Pada tahun 1990-an, terutama setelah banjir tahun 1998,
Tiongkok telah melakukan penyesuaian strategis dalam pengendalian banjir
dan mitigasi bencana. Tujuan utamanya adalah untuk menerapkan manajemen
banjir secara ilmiah, mengikuti konsep koeksistensi yang harmonis antara
manusia dan alam. Fokus pencegahan bencana banjir telah bergeser dari
pengendalian banjir yang berhasil dan menyeluruh menjadi pengurangan
kerusakan secara efektif.4
Sistem informasi nasional untuk pengendalian banjir dan kekeringan yang
dibangun Tiongkok bertujuan untuk mendukung keputusan yang akurat dan
efektif untuk pengendalian banjir dan bantuan kekeringan. Sistem informasi
nasional terdiri dari lima subsistem: pengumpulan informasi, telekomunikasi,
jaringan komputer, dukungan pengambilan keputusan, dan subsistem radar
cuaca. Saat ini, terdapat 7584 stasiun pengukur yang menyediakan informasi
banjir di seluruh negeri. Diantaranya, terdapat 2611 stasiun hidrologi (termasuk
stasiun reservoir), 3991 stasiun pengukur curah hujan, dan 982 stasiun
ketinggian air. Secara total, ada 3171 stasiun pengukur untuk
menginformasikan kepada pemerintah pusat tentang ketinggian air, di mana
1764 stasiun hidrologi, 745 stasiun curah hujan, dan 662 stasiun ketinggian air.
Komunikasi terhubung melalui telepon, pemancar-penerima, telegraf dan
stasiun transmisi satelit. Sebagian besar dari 3000 stasiun yang melaporkan
informasi banjir ke pemerintah pusat memiliki sistem transmisi ganda,
sehingga menjamin keandalan informasi banjir.
Pada bulan Januari 2006, Dewan Negara Tiongkok mengeluarkan Rencana
Penanggulangan Banjir dan Penanggulangan Kekeringan Nasional. Rencana
tersebut menetapkan empat tanggapan tahap dan menentukan tindakan terkait
untuk setiap tahap. Selama musim banjir 2006–2007, Markas Besar
Pengendalian Banjir dan Bantuan Kekeringan Negara memulai tanggap darurat
untuk topan, banjir lembah Sungai Huai, dan lain-lain. Pengaturan dan
pengendalian banjir, dan evakuasi penduduk telah direncanakan di dalam
daerah banjir dengan cara yang lebih terorganisir dan terstruktur.
Secara umum, prioritas dalam penanganan bencana di Tiongkok
merupakan penggabungan antara pencegahan (preventive action) dan
penanggulangan (curative action) dari suatu peristiwa, artinya bahwa
4
Sucheng, W. 2006. The 4th World Water Forum. (2006 Mar 21); Mexico City, Mexico. [diakses
2021 Jun 20]. http://www.iisd.ca/ymb/worldwater4/
Pemerintah dan masyarakat disiapkan untuk mencegah bencana dan menolong
korban yang terkena bencana. Dalam mekanisme penanganan bencana,
Pemerintah Tiongkok menekankan pada aspek penanggulangan masalah-
masalah bencana seperti proses komunikasi dan koordinasi antara masyarakat-
pemerintah, masyarakat-masyarakat, pemerintah pusat-pemerintah daerah,
Lembaga donor, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain (Tantrie et al.
2014). Untuk masalah banjir, pada dasarnya manajemen risiko banjir
menitikberatkan pada dua hal yaitu pembangunan struktural dan non-struktural
dengan menata risiko, bahaya, dan kerentanan dari banjir. Langkah struktural
misalnya berusaha meminimalisir bahaya banjir dengan membangun proyek-
proyek fisik pencegah banjir. Sedangkan langkah non-struktural lebih pada
mengurangi bahaya banjir melalui ramalan cuaca dan peringatan banjir.
Berdasarkan kajian Tantri et al. (2014), dalam aspek kelembagaan
pemerintahan Tiongkok memiliki keuntungan karena bentuknya yang
sentralistik, yaitu kemampuan membangun (koordinasi) kekuatan nasional di
dalam lingkungan lembaga/departemen, termasuk di dalamnya koodinasi
dengan pemerintah daerah, organisasi masyarakat dan lain-lain, yang
merupakan kekuatan inti (penting) dalam hal tanggap darurat bencana banjir.
Bentuk ‘perkawinan’ antara Partai Komunias Cina (PKC) dengan kelompok
teknokrat, menyebabkan dominasi baik dalam kebijakan banjir maupun dalam
penerapan pananganan banjir. Pemerintah Tiongkok memberikan kuasa kepada
insinyur insinyur untuk membuat desain rancangan. Pemimpin politik di
tingkat Provinsi-Provinsi harus menyetujui program pembangunan bendungan
tanpa mengetahui apakah sasaran pembangunan itu tepat sasaran dan dapat
berjalan dengan baik.

2.5.2 Pengelolaan Banjir di Belanda


Berdasarkan warta Kompas5 (30/11/2020) yang mengutip Earth Magazine,
15 Oktober 2018, Belanda adalah negara yang terletak di dataran rendah delta,
yang dibentuk oleh aliran tiga sungai utama: Rhine, Meuse dan Scheldt.
Sepertiga wilayah Belanda berada di bawah permukaan laut, dan dua
pertiganya rentan terhadap banjir. Belanda banyak menggunakan bangunan
pengendali banjir untuk mengatasi banjir, diantaranya pembangunan kincir
angin untuk memompa air keluar dari rawa, membuat 3000 polder atau petak
lahan kering yang dikelilingi tanggul.
Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik,
yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi
kawasan, serta pompa dan/pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air
tak terpisahkan (Pusair 2007 dalam Wahyudi 2010). Pembangunan sistem
polder tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan perlu
direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu, disesuaikan dengan rencana tata
ruang wilayah dan tata air secara makro. Kombinasi kapasitas pompa dan
kolam retensi harus mampu mengendalikan muka air pada suatu kawasan
5
Rizal, JG. 2020 Nov 30. Melihat Cara Belanda Mengatasi Banjir. Kompas.com.Home/trend.
[diakses 2021 Jun 20]. https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/30/090500365/melihat-cara-
belanda-mengatasi-banjir-?page=all.
polder dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sistem drainase secara
makro. Kelengkapan sarana fisik untuk sistem polder antara lain: tanggul untuk
isolasi dengan air laut, saluran air, kolam retensi (tampungan) dan pompa
(Rosdianti 2009 dalam Wahyudi 2010).
Selain itu, Belanda membangun Delta Works sebagai sistem pengendalian
banjir raksasa yang terdiri dari sembilan bendungan dan empat penghalang
badai yang menutup muara sehingga mengurangi garis pantai 700 km. Namun
mulai tahun 2006 Belanda mulai menerapkan gagasan untuk menyingkirkan
tanggul dan penghalang banjir, sebagai gantinya saluran banjir dan dataran
banjir volumenya ditambah (memperluas dan memperdalam).
Khusus untuk kota Rotterdam (kota terbesar kedua di Belanda setelah
Amsterdam) yang memiliki elevasi jauh ada di bawah muka air laut (Sungai
Rhine). Muka air Sungai Rhine dikendalikan +2,2 SWL (Sea Water Level).
Sedangkan elevasi darat terendah mencapai -7 m SWL, sehingga selisih muka
air laut dan darat 9,2 m. Air yang ada dalam polder area tidak dapat mengalir
secara gravitasi, bahkan pada saat kondisi air laut surut. Untuk itu metode
pembuangan air digunakan pompa (Wahyudi, 2010). Pada masa lalu metode
untuk membuang air dari darat ke sungai/laut menggunakan kincir angin
(Helmer et al. 2009 dalam Wahyudi 2010).
Sesuai dengan kajian Wahyudi (2010), kelembagaan pengelolaan air di
Belanda memiliki kedudukan yang tinggi. Badan pengelola air (water board)
memiliki kedudukan yang setara dengan municipality (walikota). Badan
Pengelola Air sudah ada sejak abad 13 dan dikenal organisasi demokratis tertua
di Belanda. Pada tahun 1850 jumlah distrik badan pengelola ada 3500, tahun
1950 berkurang menjadi 2500 dan sekarang disederhanakan menjadi 27 distrik
badan pengelola. Organisasi ini tujuan utamanya adalah together fighting
against the water (berjuang bersama melawan air). Struktur tugas dari badan
pengelola air di Rotterdam adalah: operation and maintenance (operasional
dan pemeliharaan), legislation (permits) and enforcement (peraturan
perundangan & penegakan hukum), inspection (pengawasan), testing and
monitoring (menguji dan memonitor), preparation on climate change
(persiapan menghadapi perubahan iklim), harmonization of spatial planning
(memadukan perencanaan tata ruang, taxation (pembayaran/ pajak air).

2.5.3 Pengelolaan Banjir di Australia


Pada Maret 2021 lalu, negara bagian New South Wales (NSW)-Australia
mengalami banjir besar sehingga ditetapkan sebagai banjir Australia terburuk
dalam 60 tahun terakhir. Otoritas Australia mengevakuasi ribuan orang dari
pinggiran kota yang terkena banjir di Barat Sydney. Faktor penyebab banjir
adalah curah hujan ekstrim hingga membanjiri sungai di negara bagian NSW
yang merupakan wilayah terpadat di Australia. Pemerintah Sydney melalui
Biro Meteorologi mencatat hari terbasah dalam setahun dengan curah hujan
hampir 111 mm, sementara beberapa daerah di pantai utara NSW menerima
hampir 900 mm hujan dalam enam hari terakhir, lebih dari tiga kali rata-rata
bulan Maret 6. Data pemerintah menunjukkan banjir menyebabkan kerusakan
yang meluas dan memicu seruan untuk evakuasi massal. Di Australia, banjir
6
Banjir Australia Terparah dalam 60 Tahun Terakhir, Ribuan Warga Bakal Dievakuasi (msn.com)
adalah jenis bencana alam dengan perkiraan biaya langsung yang paling mahal
selama periode 1967-2005 rata-rata $377 juta per tahun (dihitung dalam dolar
Australia 2008).
Di negara bagian Queensland, Pemerintah setempat menyiapkan sistem
informasi berupa modul edukasi perspektif ilmiah dan teknis seputar banjir
bagi masyarakat awam dalam bahasa yang umum, jelas dan sederhana. Dalam
informasi tersebut disebutkan bahwa untuk mengurangi risiko banjir bagi
masyarakat, ekonomi dan lingkungan di masa depan, penting untuk mengambil
pelajaran dari banjir di masa lalu. Selain itu perlu mengomunikasikan dan
menerapkan kemajuan dalam pengetahuan dan teknologi secara efektif.
Pelibatan komunitas sains dan teknik adalah membantu mengurangi risiko ini,
dengan meminimalkan kemungkinan masyarakat dan infrastruktur akan
kebanjiran, dan mengurangi dampak negatif saat banjir terjadi.
Pemerintah Australia menyadari bahwa masih terdapat ketidakpastian
tentang banyak faktor yang saling berinteraksi yang mempengaruhi peristiwa
banjir meskipun menerapkan metode yang sangat canggih untuk meramalkan
dan mengelola banjir. Karena alam tidak dapat diprediksi, jadi sedetail dan
cerdiknya perhitungan dan strategi pengelolaan banjir, risiko banjir akan selalu
ada. Karena itu, ilmu sosial dan kebijakan pemerintah memainkan peran
penting dalam mengurangi dampak negatif banjir, meningkatkan tanggap
darurat, dan mengoptimalkan pemulihan masyarakat setelah banjir. Perbaikan
dalam hal ini tidak hanya bergantung pada penelitian ilmu sosial, tetapi juga
pada kepemimpinan pemerintah dan kesadaran serta keterlibatan masyarakat
(Queensland Government, 2011).
Di Australia, sistem peringatan banjir untuk sungai melibatkan Bureau of
Meteorology (BoM), yang memberikan prakiraan ketinggian air sungai di
lokasi tertentu kepada otoritas terkait, dan kepada publik melalui media
penyiaran dan situs web BoM. Pemerintah daerah atau layanan darurat negara
kemudian menginterpretasikan prakiraan BoM untuk memberikan informasi
lokal tentang area yang mungkin terkena dampak, potensi dampak, dan saran
tindakan kepada mereka yang berisiko. Pesan juga disebarluaskan ke seluruh
komunitas, terutama melalui jaringan pribadi atau informal. Media sosial
(misalnya, Facebook, Twitter) hampir pasti akan memainkan peran yang
semakin penting di masa depan. Hal ini juga akan menimbulkan tantangan
karena potensi risiko mis-informasi. Sistem peringatan banjir mengubah
prakiraan menjadi pesan yang dirancang untuk mengurangi kerugian. Sebuah
sistem peringatan terdiri dari sejumlah langkah kunci: memantau curah hujan
dan laju aliran sungai; membuat prakiraan ketinggian air sungai dan luas
banjir; menafsirkan prakiraan untuk maknanya dalam hal dampak pada mereka
yang berisiko; menyusun dan menyebarluaskan pesan peringatan; tanggapan
oleh mereka yang berisiko dan layanan darurat; dan review dan perbaikan.
Banjir bandang merupakan penyebab paling banyak kematian akibat banjir di
Australia dan saat ini merupakan tantangan terbesar karena waktu peringatan
yang terbatas.
2.6 Konsep Hard System Methodology vs Soft System Metodhology
Suatu sistem adalah suatu fenomena yang strukturnya telah diketahui atau
merupakan suatu gabungan dari beberapa elemen yang berkaitan secara teratur
dan bekerja untuk tujuan bersama dalam lingkungan yang kompleks (Marimin
2013). Kompleksitas dari sistem meliputi kerjasama antar elemen yang
interdependen satu sama lain (Marimin, 2018). Suatu sistem dapat terbentuk dari
sejumlah orang dan/atau sejumlah komponen fisik (Tasrif 2014). Sistem adalah
sesuatu yang terdapat di dunia nyata (real world). Sedangkan pemodelan adalah
kegiatan membawa sebuah dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan
sifat-sifat utamanya. Analisis sistem berguna untuk mendekati permasalahan yang
kompleks. Dalam mempermudah memahami sebuah sistem yang kompleks dan
dinamik maka digunakan suatu permodelan. Model merupakan suatu abstraksi
atau penyederhanaan dari realita atau objek yang dikaji sehingga dapat
menggambarkan struktur dan keterkaitan antara komponen-komponennya serta
dapat memberikan gambaran perilaku keseluruhan model sesuai dengan masukan
dan tujuan yang diinginkan (Purnomo 2012).
Kerangka pendekatan pemecahan masalah dalam penelitian ini
menggunakan soft system methodology (SSM). Ide soft system awalnya
dikembangkan dari biologi dan teknik, untuk menangani hard problem yang
tujuannya sudah terdefinisi jelas. Tapi analisis hard system tradisional telah gagal
dalam upayanya untuk menangani masalah yang soft (Freeman &amp; Reed, 1983
dalam Wang et al. 2015). Manajemen pemangku kepentingan dan identifikasi
pemangku kepentingan melibatkan banyak "faktor lunak", seperti aktivitas
manusia, konflik, emosi dan sebagainya. SSM didasarkan pada "asumsi dunia
terbuka": tidak hanya menerima situasi yang ada, tetapi memasuki dan memahami
kompleks dan mengekspresikannya secara terstruktur (rich picture, definisi akar
dan model konseptual). SSM menggambar perbedaan yang kuat antara situasi
bermasalah di dunia nyata dan dunia konseptual pemikiran sistem. Berbagai
konstruksi tertentu digunakan dalam dunia konseptual dan kemudian
dibandingkan dengan dunia nyata yang kompleks dan tidak teratur untuk
kemudian digunakan sebagai dasar mengembangkan model perubahan (Wang et
al. 2015). Menurut (Checkland dan Poulter 2006) SSM dilaksanakan melalui
tujuh tahapan yaitu: 1) pemahaman tentang masalah yang tidak terstruktur 2)
identifikasi masalah secara holistik 3) mengembangkan definisi dari masalah 4)
membuat model konseptual 5) membandingkan model konseptual dengan dunia
nyata 6) menentukan perubahan yang diinginkan 7) melakukan aksi perbaikan
atas model. Pendekatan SSM digunakan dalam penelitian karena sifat banjir
perkotaan sangat dinamis, terkait peningkatan jumlah penduduk, perubahan iklim,
perubahan tata guna lahan serta aktivitas manusia.

2.7 Tinjauan Umum Metode Penunjang Penelitian

2.7.1 Causal Loop Diagram


Diagram lingkaran sebab akibat atau causal loop diagram (CLD) juga
dikenal sebagai diagram pemikiran sistem. Umumnya digunakan untuk
menampilkan perilaku sebab dan akibat dari sudut pandang sistem. Diagram
tulang ikan dapat memunculkan kategori penyebab yang berdampak pada
masalah. Causal loop menunjukkan penyebab keterkaitan dan efeknya.
Diagram ini mampu menunjukkan penguatan positif dan negatif yang
menggambarkan sistem perilaku. Salah satu kelebihan diagram ini adalah
depersonalisasi. Orang dapat menunjuk panah dalam lingkaran yang
memperkuat masalah tanpa menunjuk personal. Ini menjadi model perilaku
sistem yang menciptakan hasil dari sistem. Hal ini penting untuk sebuah sistem
dalam pemerintahan agar tidak menciderai pihak-pihak.
Sebuah CLD membantu visualisasi peran variabel yang berbeda-beda
dalam suatu sistem yang saling terkait. Diagram terdiri dari sekumpulan node
dan edge. Node mewakili variabel, dan edge adalah tautan yang mewakili
koneksi atau hubungan antara dua variabel. Tautan bertanda positif
menunjukkan hubungan positif dan tautan bertanda negatif menunjukkan
hubungan negatif. Tautan kausal positif berarti dua simpul berubah ke arah
yang sama, yaitu, jika simpul di mana tautan mulai berkurang, simpul lainnya
juga berkurang. Demikian pula, jika node di mana link mulai meningkat, node
lainnya juga meningkat. Tautan kausal negatif berarti dua simpul berubah
dalam arah yang berlawanan, yaitu, jika simpul di mana tautan mulai
meningkat, simpul lainnya berkurang, dan sebaliknya.

2.7.2 Analisis spasial


Analisis spasial metrik umumnya digunakan untuk memeriksa, mengukur
bentuk (fitur) dan pola vegetasi di lanskap alam (Farina 2006; McGarigal dan
Marks 1995; O'Neill et al. 1988 dalam Herold et al. 2005), menampilkan dan
mengukur perubahan dalam struktur lanskap yang diakibatkan oleh gangguan
(Turner dan Carpenter 1998 dalam DiBari 2007). Metrik lanskap
dikembangkan pada akhir 1980-an dan memasukkan ukuran-ukuran baik dari
teori informasi maupun geometri fraktal (Shannon & Weaver, 1964 dalam
Herold et al., 2005) berdasarkan representasi lanskap berbasis tambalan
kategoris. Herold et al. (2005) menggunakan spasial metrik untuk
meningkatkan analisis dan pemodelan pertumbuhan perkotaan dan perubahan
penggunaan lahan. Penelitian ini akan menggunakan FRAGSTAT sebagai alat
bantu.
Penggunaan skala fraktal untuk mengukur karakteristik struktural dari
mosaik lanskap dan pengaruhnya terhadap proses ekologi pernah dilakukan
oleh (misalnya, Milne 1992; Nikora et al. 1999; Li 2000; Haskell et al. 2002
dalam DiBari 2007), karena itu penelitian ini mencoba mengaitkan potensi
banjir akibat perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap dengan spasial
metrik.
Cellular automata (CA) adalah sistem dinamika diskrit. Ruang dibagi ke
dalam bentuk spasial sel teratur dan waktu berproses pada setiap tahapan yang
berbeda (Wolfram 1984 dalam Sadewo dan Buchori 2018). Penggunaan teknik
pemodelan CA dilatarbelakangi oleh kelebihan teknik ini yang dapat
membangun model dengan mudah dari proses spasial yang kompleks, pada
ilmu alam dan juga ilmu geografi (O’Sullivan 2001 dalam Septawicaksono dan
Pratomoatmojo 2019). Konsep CA ini telah terbukti sebagai metode unggulan
untuk memprediksi penggunaan lahan secara spasial dengan kemampuannya
mengakomodasi pendekatan trend dan target (Pratomoatmojo 2018). Selain itu
CA merupakan metode terbaik dalam simulasi land use karena pada prinsipnya
CA yang berasal dari ilmu matematika sangat baik dalam menirukan spasial
proses yang kompleks (Wolfram 1984 dalam Sadewo dan Buchori 2018). Hasil
review mengkonfirmasi bahwa teknik pemodelan spasial-temporal, khususnya
pengembangan model berbasis CA telah terbukti efisien dalam simulasi
pertumbuhan daerah perkotaan (Leao et al. 2004). Oleh sebab itu model CA
adalah salah satu yang terkuat untuk mensimulasikan pola pertumbuhan
perkotaan karena strukturnya, kesederhanaannya, kemungkinan evolusinya,
fleksibilitas dan intuitifnya, serta karena kemampuan menggabungkan dimensi
spasial dan temporal (Santé et al. 2010).
Keterbatasan model CA, yaitu kelemahan pada aspek kuantitatif, dan
ketidakmampuan untuk memasukkan kekuatan pendorong pertumbuhan
perkotaan dalam proses simulasi, tetapi dapat diminimalkan dengan
mengintegrasikan dengan model kuantitatif lainnya, seperti melalui Analytic
Hierarchy Process (AHP), Markov Chain dan model rasio frekuensi. Simulasi
realistis dapat dicapai ketika faktor sosial ekonomi dan spasial dan dimensi
temporal terintegrasi dalam proses simulasi.
Model prediksi CA untuk probabilitas transisi dibangun dengan beberapa
variable yang diasumsikan mendorong perubahan penutup lahan dengan
beberapa metode seperti Weight of Evidence (WoE), Logistic Regression (LR),
Artificial Neural Network (ANN) dan Analytical Hierarchy Process (AHP)
(Park et al. 2011; Feng dan Qi 2018). Metode CA dalam penelitian ini
digunakan sebagai teknik simulasi spasial untuk memprediksi risiko luasan
banjir akibat perubahan lanskap.

2.7.3 Hydrological Analysis: HEC


Dalam beberapa tahun terakhir, HEC-RAS yang dikembangkan oleh US
Military Engineering Unit (Ogras dan Önen 2020; Pallavi dan Ravikumar
2021) dan teknologi Remote Sensing (RS) bersama dengan Geographic
Information System (GIS) telah menjadi alat kunci untuk pemantauan banjir
dalam beberapa tahun terakhir (Pallavi dan Ravikumar 2021). Program-
program ini memeriksa profil permukaan air yang disebabkan oleh struktur
hidrolik atau perubahan rute. Selain itu, program-program ini digunakan dalam
desain struktur hidrolik dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti
penentuan tingkat banjir (Ogras dan Önen 2020), delineasi zona banjir dan
persiapan peta bahaya banjir untuk daerah-daerah yang rentan (Pallavi dan
Ravikumar 2021).
Tujuan utama dari program HEC-RAS adalah untuk menghitung
ketinggian permukaan air di semua lokasi yang diminati untuk nilai aliran
tertentu. Data yang diperlukan untuk melakukan komputasi ini dibagi menjadi
data geometris dan data aliran yang stabil (Jagadeesh dan Veni 2021). Analisis
aliran stabil dilakukan menggunakan HEC-RAS untuk mendeteksi perubahan
pola banjir (Pallavi dan Ravikumar 2021). HEC-RAS menggunakan sejumlah
parameter input untuk analisis hidrolik geometri saluran aliran dan aliran air.
Pemodelan banjir menggunakan HEC-RAS adalah alat yang efektif untuk studi
hidrolik dalam penanganan bencana dan membantu dalam langkah-langkah
manajemen (Pallavi dan Ravikumar 2021). Model HEC-RAS mampu
mensimulasikan profil permukaan yang terbentuk dalam aliran sungai Tigris
yang berbeda dan berulang di Diyarbakır, serta batas-batas banjir di area publik
dapat dengan mudah diperoleh dengan menggunakan program paket HEC-RAS
(Ogras dan Önen 2020).
Raster GIS dan kumpulan data fitur, digunakan untuk mengotomatiskan
pra-pemrosesan data input dan HEC-GeoHMS pasca-pemrosesan hasil HEC-
RAS (Hernandez dan Zhang 2007). Alat-alat ini berhasil dikaitkan dengan
HEC-RAS untuk mempercepat produksi pemetaan floodplain dan
mendapatkan hasil hidrolik yang akurat. Integrasi model HEC-RAS dan SIG
dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk berbagai jenis pemodelan
dataran banjir dan berbagai skenario praktik pemodelan sungai (Jagadeesh dan
Veni 2021).

2.7.4 Multi criteria analysis - DEA


Multi criteria analysis (MCA) adalah perangkat pengambilan keputusan
yang dikembangkan untuk masalah-masalah kompleks. Dalam situasi
pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria, kerancuan mungkin
akan terjadi jika suatu proses pengambilan keputusan yang logis dan terstruktur
dengan baik tidak diikuti. Kesulitan lain yang dihadapi dalam pengambilan
keputusan seperti ini adalah bagaimana mencapai kesepakatan bersama dalam
suatu tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Dengan menggunakan
(MCA), para anggota atau nara sumber tidak harus sepakat mengenai tingkat
kepentingan relatif suatu kriteria atau mengenai penetapan peringkat
alternatifnya. Tiap anggota tim bebas menyampaikan pendapat pribadinya, dan
memberi sumbangan masing-masing dalam rangka tercapainya kesimpulan
yang disepakati bersama (Mendoza dan Macoun 1999).
Data Envelopment Analysis (DEA) pertama kali diperkenalkan oleh
Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978. DEA merupakan suatu
pendekatan nonparametrik yang pada dasarnya merupakan pengembangan
dari Linear Programming (LP) yang menghitung relatif efisiensi multikriteria.
DEA berfungsi untuk menilai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (input)
untuk mencapai hasil (output) yang tujuannya untuk maksimalisasi efisiensi.
Dalam DEA, produktivitas suatu unit dievaluasi dengan membandingkan
jumlah output yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah input yang
digunakan. Area aplikasi DEA telah berkembang sejak pertama kali
diperkenalkan sebagai alat pengukuran manajerial dan kinerja di akhir 1970-an.
Stata yang dilengkapi dengan perintah DEA akan memberi pengguna alat
nonparametrik baru untuk menganalisis data produktivitas (Ji dan Li 2010).
DROP atau disaster resilience of place adalah metode yang dikembangkan
Cutter et al. (2008) untuk mengukur resiliensi sebuah kota. Model ini dimulai
dengan kondisi awal (anteseden), yang merupakan hasil proses multiskala pada
tingkat lokal spesifik, yang terjadi di dalam dan di antara ekosistem sosial,
alami, dan buatan. Kondisi asal mencakup kerentanan dan resiliensi bawaan.
Konsep ini direpresentasikan sebagai segitiga bersarang yang menggambarkan
bagaimana proses bawaan ini terjadi pada skala lokal, sehingga menghasilkan
faktor endogen tingkat komunitas, maupun pada skala yang lebih luas (segitiga
yang lebih besar) yang mewujudkan faktor eksogen. Faktor eksogen
mempengaruhi faktor endogen, meskipun dampaknya mungkin tidak dapat
diukur secara langsung.
Bertentangan dengan beberapa konseptualisasi di mana resiliensi dan
kerentanan berlawanan, model yang dikembangkan Cutter et al. (2008) ini
mengusulkan bahwa ada tumpang tindih dalam konsep-konsep ini sehingga
mereka tidak sepenuhnya saling lepas, juga tidak sepenuhnya saling
melibatkan. Ada banyak karakteristik yang hanya mempengaruhi kerentanan
atau resiliensi suatu komunitas. Di samping itu, ada karakteristik sosial yang
mempengaruhi keduanya kerentanan dan resiliensi (status sosial ekonomi,
pendidikan, dan asuransi, sebagai contoh). Kondisi sebelumnya berinteraksi
dengan karakteristik peristiwa bahaya untuk menghasilkan efek langsung.
Karakteristik peristiwa meliputi frekuensi, durasi, intensitas, besaran, dan
tingkat onset, yang bervariasi tergantung pada jenis bahaya dan lokasi wilayah
studi. Efek langsung dilemahkan atau diperkuat dengan ada atau tidak adanya
tindakan mitigasi dan respons masyarakat, yang dengan sendirinya merupakan
fungsi dari kondisi sebelumnya. Ini diwakili dalam model dengan plus
(diperkuat) atau minus (dilemahkan).

Gambar 2. 1 Diagram konsep Disaster Resilience of Place


Indikator yang menjadi komponen penilaian resiliensi minimal terdiri dari
kompetensi ekologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, infrastruktur, dan
masyarakat. Dalam pengelolaan bencana, pendekatan resiliensi dipandang
lebih proaktif dan hemat biaya dalam menggunakan sumber daya dibandingkan
pendekatan reaktif yang berfokus pada tanggap bencana, pemulihan dan
rekonstruksi (Mavhura et al. 2021).

2.7.5 Interpretive Structural Modelling (ISM)


Interpretive structural modelling (ISM) adalah metode yang terkenal
untuk memecahkan masalah hubungan yang kompleks, untuk mengevaluasi
hubungan antar variabel dan untuk membangun hierarki proses dengan
memetakan dampak satu variabel di atas variabel lainnya (Mandal dan
Deshmukh 1994 dalam Singh et al. 2020). ISM didefinisikan sebagai proses
yang bertujuan membantu manusia untuk lebih memahami dan mengenali
secara jelas sesuatu yang tidak diketahui pasti. Fungsi terpentingnya adalah
mengorganisasi dan menstrukturkan variable-variable yang acak dan tidak jelas
menjadi model yang mudah dibaca dan terdefinisi dengan baik (Attri et al.
2013), membantu menciptakan keteraturan dan arah pada kompleksitas
hubungan antara elemen-elemen sistem (Warfield 1974; Sage 1977 dalam
Mathiyazhagan et al. 2013).
Ide dasar dari ISM adalah menggunakan pengalaman dan pengetahuan
praktis para pakar untuk menguraikan sistem yang rumit menjadi beberapa sub-
sistem (elemen) dan membangun model struktural bertingkat (Mathiyazhagan
et al. 2013). Dalam metode ISM, para ahli memutuskan apakah variabel
tersebut saling terkait atau tidak, itulah mengapa disebut interpretatif. Dengan
menggunakan ISM, dapat diketahui variabel mana yang perlu dikontrol. ISM
mengidentifikasi variabel dengan daya dorong tinggi serta variabel yang
memiliki ketergantungan tinggi. Data Pengumpulan di ISM dapat dilakukan
melalui sesi brainstorming dengan pakar, wawancara dengan pakar atau
kuesioner (Singh et al. 2020). Hal yang penting untuk diperhatikan adalah
pemilihan pakar yang tepat agar hasilnya akuntabel dan tidak bias. Pakar yang
dipilih harus berpengalaman, professional dan memiliki integritas tinggi.
Fenomena banjir dan pengelolaannya adalah sesuatu yang kompleks. Karena
itu metode ISM dibutuhkan untuk membantu peneliti untuk menstrukturkan
model yang akan dibangun berdasarkan perbandingan model konseptual
dengan rich picture yang diperoleh dari pengamatan.

2.7.6 Strategic Asumption Surfacing and Testing (SAST)


Metode Strategic Asumption Surfacing and Testing (SAST) adalah
pendekatan untuk masalah yang tidak terstruktur. SAST merupakan teknik
berpikir sistem dan dapat diterapkan sebagai pendekatan dialektis terhadap
kebijakan dan perencanaan. Metode SAST merupakan salah satu metode
pengujian/test yang menggunakan landasan sistem lunak (soft system) dengan
mengedepankan asumsi-asumsi dalam perumusan kebijakan. Metode ini sangat
membantu dalam mengungkap asumsi kritis yang melandasi kebijakan,
rencana atau strategi (Mason dan Mitroff 1981 dalam Eriyatno dan Larasati
2013). Metode ini digunakan dalam pengambilan keputusan/kebijakan untuk
menentukan asumsi strategis yang harus dipenuhi sehingga program/kebijakan
yang diterapkan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat memperbaiki
kondisi sebelumnya.
Penentuan asumsi strategis digambarkan dalam kuadran kartesius, dimana
kuadran I untuk rencana yang pasti sebagai penggerak keberhasilan model
kebijakan, rencana atau strategi. Karena asumsi-asumsi pada kuadran I
memiliki tingkat kepentingan dan tingkat kepastian paling tinggi. Kuadran II
menggambarkan asumsi-asumsi dengan tingkat kepastian tinggi namun tingkat
kepentingan rendah. Sedangkan kuadran III merupakan posisi bagi asumsi-
asumsi dengan tingkat kepastian rendah dan tingkat kepentingan yang rendah
pula. Berikutnya kuadran IV adalah posisi dimana asumsi-asumsi memiliki
tingkat kepastian rendah namun tingkat kepentingannya tinggi.
Asumsi yang berada di paling kiri kuadran tidak terlalu penting untuk
perencanaan yang efektif atau pemecahan masalah. Tetapi asumsi yang berada
di kanan atas adalah penting atau disebut wilayah rencana yang pasti.
Sebaliknya, asumsi yang berada di kuadran kanan bawah merupakan wilayah
yang paling kritis atau disebut wilayah rencana yang bermasalah. Hal ini
disebabkan karena ketidakpastian asumsi tersebut sehingga perlu mendapat
perhatian. Dari kedua kuadran (I & IV) tersebut, teridentifikasi asumsi strategis
yang diperlukan untuk mendukung suatu kesimpulan atau validasi argumen
sistem yang belum dipahami sebagian pemangku kepentingan (Gambar 7).
Dengan adanya asumsi strategis ini model yang dirancang dapat diarahkan
untuk pencapaian tujuan hubungan kerjasama yang harmonis (Riyanto et al.
2014).
Implementasi pendekatan SAST dalam pemodelan manajemen banjir di
Jakarta menghasilkan aspek fasilitas dan teknologi sebagai aspek yang
bermasalah. Sedangkan aspek koordinasi dan informasi sebagai aspek yang
paling penting serta pasti dapat dilaksanakan. Rekomendasi yang dihasilkan
adalah pembangunan pusat informasi bencana dan pembentukan tim siap siaga
bencana. Pelibatan masyarakat menjadi kunci sukses dalam mitigasi bencana
banjir. Penggunaan teknologi digital melalui sosial media dapat meningkatkan
efektivitas aliran informasi tentang banjir dan masyarakat dapat mengetahui
situasi terkini. Informasi yang dikeluarkan pemerintah sangat penting ketika
bencana banjir terjadi, untuk menghindari berita hoax dan menimbulkan
kekacauan publik (Kholil et al. 2019).

Gambar 2. 2 Grafik tingkat kepentingan dan kepastian

2.7.7 Cooperative Game Theory


Khiavi et al. (2021) menyatakan bahwa kolaborasi dan keterlibatan warga,
partisipasi dan pengetahuan bersama telah menjadi semboyan dalam proses
pendukung keputusan untuk strategi manajemen risiko terkait air sebagaimana
juga ditegaskan oleh persyaratan Arahan Banjir 2007/60/EC 7. Meningkatkan
proses partisipatif selama fase perencanaan-pra-kejadian- berarti menjadikan
semua warga negara sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan
kognitif, meningkatkan pendekatan ad-hoc sosial demokrasi, meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang dinamika di antara jaringan warga dan
identifikasi penyebab dan efek yang terkait dengan risiko. Kondisi demikian

7
DIRECTIVE 2007/60/EC OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL
of 23 October 2007 on the assessment and management of flood risks
akan meningkatkan kemungkinan untuk mengembangkan strategi manajemen
risiko banjir bottom-up selama fase darurat-pasca kejadian.
Sejauh ini sebagian besar aspek teknis pengendalian banjir telah ditangani
oleh pengelola dan perencana. Dalam pengelolaan bersama, selain pendekatan
teknis, pendekatan partisipatif juga digunakan dalam pembahasan penyusunan
model pengelolaan banjir dan penerapan skenario pengelolaan. Untuk
memungkinkan hasil keputusan yang lebih efektif dan dapat diterima,
diperlukan lebih banyak partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Tantangannya adalah untuk mendapatkan dan menggunakan pendapat yang
beragam dari sejumlah besar pemangku kepentingan di mana ketidakpastian
memainkan peran utama.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan cooperative game theory
untuk merumuskan tata kelola banjir yang melibatkan banyak stakeholder.
Pendekatan cooperative games digunakan untuk alokasi tanggung jawab dalam
sistem pengendalian dan mitigasi banjir. Pendekatan ini dipilih dengan
pertimbangan untuk mencapai tujuan dalam pengendalian dan mitigasi banjir
yang proporsional. Semua stakeholder perlu bekerja sama dan saling
berkoordinasi sehingga tanggung jawab dapat dialokasikan secara adil dan
transparan.
Di sisi lain, Asrol (2019) menggunakan pendekatan cooperative game
theory yang dimodelkan untuk alokasi keuntungan pada rantai pasok industri
gula tebu. Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ciri sistem rantai
pasok yang saling bekerjasama dalam pencapaian tujuan. Penelitian Asrol
(2019) tersebut mengembangkan model Fuzzy Shapley value dengan
mempertimbangkan penyeimbangan risiko dan nilai tambah untuk alokasi
keuntungan yang adil pada stakeholder primer rantai pasok. Adapun
Taleizadeh dan Sherafati (2019) menggunakan pendekatan cooperative game
theory pada rantai pasok industri yang melibatkan tiga eselon: produsen, agen
dan pelanggan untuk menentukan harga jual yang optimal, masa garansi dan
harga garansi untuk produsen dan perawatan yang optimal biaya dan
pengeluaran pemasaran untuk agen dengan memaksimalkan keuntungan
mereka. Kepuasan pelanggan juga dimaksimalkan dengan memilih salah satu
opsi yang disarankan dari produsen dan agen, berdasarkan parameter risiko.
Berikutnya Moradi et al. (2018) menggunakan pendekatan cooperative game
theory dalam studi model penjadwalan proyek untuk menilai risiko proyek dan
dampaknya terhadap keberlanjutan proyek ketika subkontraktor berkolaborasi
di bawah ketidakpastian. Metode ini diterapkan untuk alokasi yang adil dari
NPV, dari kerjasama dan akhirnya aspek keberlanjutan (ekonomi, sosial dan
lingkungan) untuk setiap kemungkinan koalisi. Sementara pendekatan
cooperative game theory untuk mencegah risiko luapan sungai telah dilakukan
oleh Alvarez et al. (2019), namun dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa
masih dibutuhkan banyak pembuktian untuk efektivitasnya di lokasi yang lain.
Jeong et al. (2018) juga menerapkan cooperative game theory pada alokasi
biaya adaptasi perubahan iklim, dengan mempertimbangkan manfaat dan biaya
adaptasi bagi pihak-pihak yang bekerjasama dalam lingkup proyek jalur banjir
bawah tanah di Seoul. Proyek adaptasi melibatkan enam pemerintah daerah
yang berbeda. Biaya yang dialokasikan berkurang untuk pemda yang
berkontribusi lebih banyak dalam mengurangi biaya konstruksi, sementara itu
biaya meningkat untuk pemerintah daerah yang lebih diuntungkan dari
pencegahan kerusakan banjir. Dalam studi Jeong et al. (2018), aktor dalam
proyek adaptasi perubahan iklim hanya dari unsur pemerintah. Karakternya
menjadi homogen. Untuk itu perlu kajian apabila aktor yang terlibat dalam
cooperative game ini terdiri atas multi stakeholder.

2.7.8 Decision Support System- AHP- ANP


Analitycal Hierarchy Process (AHP) adalah metode pengukuran umum
untuk mendapatkan skala rasio dari perbandingan berpasangan diskrit dan
kontinu. Perbandingan ini dapat diambil dari pengukuran aktual atau dari skala
fundamental yang mencerminkan kekuatan relatif dari preferensi dan perasaan.
AHP memiliki perhatian khusus dengan penyimpangan dari konsistensi,
pengukurannya dan ketergantungan di dalam dan di antara kelompok elemen
strukturnya. Ia telah menemukan aplikasi terluasnya dalam pengambilan
keputusan multikriteria, perencanaan dan alokasi sumber daya dan dalam
resolusi konflik. Dalam bentuk umumnya, AHP adalah kerangka kerja
nonlinier untuk melakukan pemikiran deduktif dan induktif tanpa
menggunakan silogisme dengan mempertimbangkan beberapa faktor secara
bersamaan dan memungkinkan ketergantungan dan umpan balik, dan membuat
pertukaran numerik untuk sampai pada sintesis atau kesimpulan (Saaty 1987).
Aplikasi AHP untuk memecahkan suatu situasi yang kompleks dan tidak
terstruktur ke dalam beberapa komponen dalam susunan hirarki, dengan
memberi nilai subjektif tentang pentingnya setiap variabel secara relatif, dan
menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi guna
mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Pada prinsipnya, AHP merupakan
tools dalam sistem penunjang pengambilan keputusan untuk memilih suatu
alternatif yang terbaik.
Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input
utamanya persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah kompleks dan tidak
terstruktur dipecahkan ke dalam kelomok-kelompoknya dan diatur menjadi
suatu bentuk hirarki. Kelebihan AHP dibandingkan dengan lainnya adalah :
a) Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih,
sampai pada subkriteria yang paling dalam;
b) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkosistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil
keputusan;
c) Memperhitungkan daya tahan atau resiliensi output analisis sensitivitas
pengambilan keputusan;
d) Selain itu, AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah
yang multi obyektif dan multi-kriteria yang berdasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Namun metode AHP memiliki ketergantungan pada input utamanya. Input
utama yang dimaksud adalah berupa persepsi atau penafsiran seorang ahli
sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model
menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang salah.
Karena itu ahli yang dipilih harus berpengalaman, professional dan
berintegritas tinggi. Selain itu, metode AHP ini hanya metode matematis.
Pada prinsipnya, Analytic Network Process (ANP) adalah teori
pengukuran multikriteria yang digunakan untuk menurunkan skala prioritas
relatif dari angka absolut penilaian individu (atau dari pengukuran actual
dinormalisasi ke bentuk relatif) yang juga termasuk dalam skala dasar
bilangan absolut. ANP merupakan pengembangan struktur hirarki AHP.
Perbedaannya adalah bila AHP struktur kerangka modelnya berbentuk hirarki,
sementara ANP berbentuk jaringan. Melalui supermatriksnya, ANP
mensintesis hasil ketergantungan dan umpan balik di dalam dan di antara
kelompok elemen. ANP adalah alat penting untuk mengartikulasikan
pemahaman kita tentang masalah keputusan. Kelebihan ANP dibandingkan
AHP adalah stabilitasnya karena adanya feedback dan hasilnya berupa
supermatriks skala prioritas.

III METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Problem perkotaan Bekasi sangat komplek. Dari sisi ekonomi, laju
pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi cenderung meningkat dalam lima tahun
terakhir sampai menyentuh 5.86%. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) mencapai 81.5 (BPS Kota Bekasi 2020). Kegiatan perekonomiannya yang
tinggi, tentunya membutuhkan ruang dan lahan, padahal lahan sangat terbatas.
Akibatnya ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru semakin terdesak oleh
permukiman. Badan sungai menyempit karena sedimentasi dan okupasi
permukiman. Luas ruang terbuka hijau tinggal 16% luas wilayah Kota Bekasi.
Kondisi ini meningkatkan risiko banjir Kota Bekasi. Ditambah lagi dengan faktor
bahaya karena letaknya di hilir DAS Cikeas, DAS Cileungsi, DAS Sunter, DAS
Kali Bekasi, DAS Cakung pada elevasi 11-81 mdpl. Sehingga bila kondisi cuaca
ekstrem, banjir tidak dapat dihindari.
Ketika banjir terjadi, nampak ketidaksiapan strategi penanganan banjir,
akibatnya banyak kerugian material hingga Pemkot Bekasi harus merevisi APBD
untuk alokasi ekstra kegiatan tanggap darurat dan kegiatan rehabilitasi. Mitigasi
risiko banjir sangat penting untuk mengurangi paparan masyarakat rentan
terhadap peristiwa banjir dan menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk
membuat rencana, mengurangi kerugian di masa depan dan pemulihan secara
cepat (Nofal dan van de Lindt 2020).
Banjir adalah risiko yang harus dihadapi Kota Bekasi, tidak mungkin
hilang atau dihindari tetapi risikonya masih bisa diminimasi agar tidak menjadi
bencana. Bila terus berlanjut tanpa pengendalian, dikhawatirkan keberlanjutan
Kota Bekasi terancam. Untuk itu diperlukan alternative model mitigasi banjir agar
banjir tidak menjadi bencana, paparan banjir tidak meluas, masyarakat lebih
tanggap bencana. Sehingga diharapkan terwujud Kota Bekasi yang resilient.
Kerangka pemikiran untuk mengatasi problem banjir yang komplek disajikan
dalam Gambar7.

Gambar 3. 1 Diagram kerangka pemikiran

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan dengan lokus di Kota Bekasi yang terletak di: 106 o48'28'' –
107o27'29'' Bujur Timur dan 6o10'6'' – 6o30'6'' Lintang Selatan. Kota Bekasi
memiliki topografi dengan kemiringan antara 0 – 2 % dan terletak pada ketinggian
antara 11 m – 81 m di atas permukaan air laut. Sedangkan pengolahan dan analisis
data dilakukan di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bekasi.
Penelitian berlangsung di tahun 2022-2023 dengan detail tersaji dalam.

3.3 Ruang Lingkup Penelitian


Lingkup penelitian ini adalah merumuskan model mitigasi banjir untuk
mewujudkan kota yang resilient. Batas wilayah penelitian, melingkupi batas
wilayah ekologi DAS Sungai Bekasi, DAS Cileungsi, DAS Cikeas, DAS Sunter
dan DAS Cakung dengan wilayah perencanaan meliputi batas administrative Kota
Bekasi.
Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU No.
32 tahun 2009), penelitian ini berada di ranah perencanaan. Dari sisi penataan
ruang (UU No.26 tahun 2009), penelitian ini meliputi pengendalian pemanfaatan
ruang.
Sedangkan dalam konteks pengelolaan sumber daya air (UU No. 17 tahun 2019),
penelitian ini berada di ranah pengendalian daya rusak air. Adapun dalam konteks
penanggulangan bencana (UU No. 24 tahun 2007, penelitian ini berada di ranah
mitigasi

Gambar 3. 2 Ruang lingkup penelitian

3.4 Rancangan Penelitian


Alur rancangan penelitian disajikan dalam diagram
Gambar 9 Diagram rancangan penelitian

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Analisis Sistem Pengendalian Banjir


Dalam rangka memperoleh gambaran tentang sistem pengendalian banjir
Kota Bekasi eksisting, dilakukan analisis deskriptif berdasarkan identifikasi
permasalahan menggunakan causal loop diagram. Sumber data berasal dari
preliminary diskusi atau brainstorming dengan Bappeda, Dinas BMSDA dan
BPBD Kota Bekasi ditambah dengan data sekunder pendukung seperti data
banjir 2005-2020 (tabular dan spasial), data asset infrastruktur pengendali
banjir dan renstra tiap-tiap dinas.

3.5.2 Analisis Risiko Banjir


Prediksi perubahan lanskap perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dinamika ekologi lanskap dengan potensi banjir. Diagnostik kinerja
struktur dan fungsi lanskap dilakukan melalui analisis spasial. Data yang
dibutuhkan adalah peta DEM (data SRTM 90 m dari Citra Landsat 8), peta
RBI, data tabular lokasi banjir 2014-2020, peta banjir eksisting dan peta
administrasi.
Mula-mula data tabular lokasi banjir diinput ke dalam peta DEM,
kemudian dioverlay dengan peta RBI, peta banjir eksisting dan peta
administrasi. Hasilnya berupa peta potensi banjir. Selanjutnya peta potensi
banjir dianalisa menggunakan tools analisa spasial metrik FRAGSTAT untuk
menghitung jumlah patch, kepadatan patch dan landscape shape index (LSI).
Dengan asumsi perubahan ekologi lanskap menimbulkan perubahan potensi
banjir maka hasil analisis spasial metrik dapat dibandingkan dengan luas
wilayah potensi banjir untuk mendapatkan indeks potensi banjir. Berikutnya
dilakukan prediksi perubahan ekologi lanskap dengan basis data 2014 dan 2020
menggunakan cellular automata untuk mendapatkan proyeksi di 2030.
Hasilnya dihitung kembali menggunakan analisis spasial metrik. Nilai yang
diperoleh kemudian dikalikan dengan indeks potensi banjir untuk mendapatkan
proyeksi luas potensi banjir.
Berikutnya risiko sebaran banjir dipertajam dengan visualisasi analisis
hidrologi, menggunakan program yang dapat melakukan pemetaan genangan
seperti HEC RAS (Hydrologic Engineering Center River Analysis System) atau
FESWMS (Finite Element Surface Water Modeling System).

3.5.3 Assesment Resiliensi Kota Bekasi


Konsep resiliensi yang digunakan didasari oleh model disaster resilience
of place (DROP) (Cutter et al. 2008). Pemikirannya adalah resiliensi dan
kerentanan merupakan konsep yang saling overlapping. Kerentanan diukur
melalui efisiensi produksi kerugian akibat bencana banjir dengan DEA.
Sementara untuk menentukan tingkat resiliensi digunakan metode DROP.
Pemilihan variabel dilakukan dengan 2 pertimbangan, yaitu: justifikasi
berdasarkan literatur yang ada mengenai relevansinya terhadap resiliensi, dan
tersedianya data berkualitas dari sumber data di daerah. Variabel dikelompokkan
berdasarkan 5 komponen sistem resiliensi, yaitu: resiliensi ekologi, ekonomi,
sosial, infrastruktur dan kelembagaan. Untuk penilaian resiliensi dengan DROP,
dilakukan berdasarkan desk studi dari data yang diperoleh dari BPS dan instansi
terkait. Apabila data masih kurang, maka akan dilakukan wawancara terhadap
aktor kunci (kepala RW atau Lurah setempat). Bila kondisi masih pandemi,
maka dirancang FGD atau wawancara secara teleconference.
Setelah menentukan variabel yang dipilih, variabel dinormalisasi dengan
menggunakan skema rescaling Min-Max di mana setiap variabel didekomposisi
menjadi rentang yang identik antara 0-1 (0 = resiliensi rendah dan 1 = resiliensi
tinggi). Seluruh penilaian dari tiap variabel dalam satu komponen dijumlahkan
kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh skor komposit 1 komponen. Setiap
komponen diberi bobot sama yaitu 1. Apabila setiap komponen telah memiliki
resiliensi yang paling tinggi maka setiap komponen akan menghasilkan skor 1.
Oleh karena itu, rentang total skor resiliensi adalah antara 0 sampai 5 (0 adalah
yang terkecil dan 5 adalah yang paling resilien).

3.5.4 Model Mitigasi Banjir


Tahap terakhir adalah merangkai hasil sub model 1-3 dan menuangkannya
dalam rich picture. Selanjutnya memformulasikan akar masalah dengan iterasi
CATWOE (Checkland dan Poulter 2006). Model konseptual selanjutnya disusun
dengan mempelajari literatur yang berkaitan dengan sistem pengendalian banjir.
Model tersebut kemudian distrukturkan dengan bantuan expert judgment
menggunakan ISM tools. Berikutnya model konseptual perlu dibandingkan
dengan kondisi nyata menggunakan SAST. Perubahan dilakukan pada sistem
dengan mempertimbangkan keadilan antar stakeholder serta optimasi
pengendalian dan mitigasi banjir. Untuk tujuan tersebut, akan digunakan
pendekatan cooperative game yang dituangkan dalam model operasional
menggunakan model bisnis kanvas. Setelah alternatif model tersusun, maka
penentuan prioritas tindakan diputuskan dengan teknik pengambilan keputusan
ANP.
IV ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN BANJIR
EKSISTING

4.1 Pendahuluan
Masalah utama di Kota Bekasi yang akan dicermati dalam penelitian ini
adalah bencana banjir. Mengapa bencana banjir menjadi perhatian, karena
dampaknya terhadap ekosistem dan sosial ekonomi luar biasa. Banjir di Kota
Bekasi semakin lama semakin luas meskipun sudah dilakukan normalisasi saluran
dan pembangunan polder. Tercatat di tahun 2012 luas banjir masih 2.12 ha, tapi di
tahun 2020 luas banjir sudah mencapai 15.37 ha. Bahaya banjir Kota Bekasi lebih
disebabkan oleh aktivitas DAS dan saluran yang tidak berfungsi normal akibat
kondisi biofisik dan cuaca ekstrim, bukan berasal dari aktivitas air pasang laut.
Risiko banjir tinggi dikarenakan perubahan struktur, fungsi dan dinamika lanskap
serta pengendalian banjir yang tidak efektif.
Pemerintah daerah dalam hal ini belum menganggap isu mitigasi banjir
sebagai hal yang prioritas. Proses ini menyebabkan resiliensi kota rendah.
Resiliensi yang rendah juga dapat diakibatkan oleh pelibatan masyarakat yang
minim dan koordinasi antar stakeholder yang lemah. Tata kelola yang belum
mapan menjadikan hal tersebut bisa terjadi. Sampai saat ini, seberapa resilient
Kota Bekasi belum diketahui karena belum pernah dilakukan penilaian. Karena itu
perlu dianalisis lebih lanjut seperti apa sistem pengendalian banjir eksisting.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah analisis sistem pengendalian
banjir eksisting, dengan output peta proses bisnis. Karena itu, pada bagian ini
akan dipaparkan banjir dari mula kejadian hingga pengendaliannya berdasarkan
data sekunder dan informasi stakeholder terkait.

4.2 Metode penelitian


Dalam rangka memperoleh gambaran tentang sistem pengendalian banjir
Kota Bekasi eksisting, dilakukan identifikasi permasalahan menggunakan causal
loop diagram. Analisis deskriptif sistem pengendalian banjir Kota Bekasi
diperlukan untuk melihat input apa yang bisa dikendalikan dan tidak bisa
dikendalikan serta mengetahui output apa yang dikehendaki dan output apa yang
tidak dikehendaki. Hasil analisis ini selanjutnya menjadi salah satu alas
penyusunan model mitigasi banjir di Kota Bekasi. Selain menggunakan causal
loop diagram, juga menggunakan diagram input-output (black box) sebagai alat
bantu analisis. Sumber data berasal dari preliminary diskusi atau brainstorming
dengan praktisi dari Bappeda, Dinas BMSDA dan BPBD Kota Bekasi ditambah
dengan data sekunder pendukung.

4.3 Jenis dan teknik pengumpulan data


Pengumpulan data tabular dan spasial diperlukan untuk identifikasi
wilayah risiko banjir di Kota Bekasi. Data yang dapat dikumpulkan dari OPD
Pemerintah Kota Bekasi meliputi data lokasi banjir 2017-2021, peta administrasi,
data curah hujan tahunan, data sosial budaya penduduk di daerah banjir, alokasi
APBD untuk pengelolaan banjir (konstruksi+pemeliharaan), dokumen RTRW,
data pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, kebijakan regional/nasional
terkait banjir/bencana. Terkait data spasial diunduh melalui
earthexplorer.usgs.gov dan http://tides.big.go.id/. Matriks dalam Tabel 5
merangkum jenis dan teknik pengumpulan data yang dibutuhkan untuk tujuan 1.

Tabel 4. 1 Jenis dan sumber data

TUJUAN DATA SUMBER METODE OUTPUT


DATA

Menganalisi a. Data lokasi a. Bappeda Analisis 1. Deskripsi


s sistem banjir 2005- deskriptif situasi
b. BNPB
pengendalia 2021 masalah
n banjir Kota c. BPBD banjir Kota
b. Peta banjir
Bekasi saat Bekasi dan
eksisting d. Dinas
ini
BMSDA tatakelola
c. Peta
sistem
administrasi e. Dinas pengendalian
Tata Kota banjir dalam
d. Data struktur
pengendali bentuk “peta
banjir proses bisnis”

e. Renstra dinas
terkait
pengendalian
banjir/bencana

4.4 Gambaran umum kondisi eksisting wilayah studi


4.4.1 Kajian kebijakan pengendalian banjir
Secara umum beberapa perundang-undangan dan peraturan yang terkait
dengan pelaksanaan penanggulangan banjir sebagai berikut :
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah;
(2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana;
(3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
(4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
(5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
(6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman;
(7) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial;
(8) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air;
(9) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi
Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota;
(10) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air;
(11) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Tata Ruang;
(12) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai;
(13) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
(14) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk
Penanggulangan Bencana 2020-2044;
(15) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang
Garis Sempadan dan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah
Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai;
(16) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
mengenai Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
di Kawasan Perkotaan;
(17) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana;
(18) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 239/KPTS/1987
tentang Pedoman Umum mengenai Pembagian Tugas, Wewenang dan
Tanggung Jawab Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Drainase
Kota;
(19) Peraturan Daerah Kota bekasi No.13 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi Tahun 2011-2031;
(20) Peraturan Daerah Kota bekasi No.05 Tahun 2016 tentang Rencana
Detail Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2015-2035;
(21) Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Disamping peraturan dan kebijakan di atas, beberapa Norma Standar
Pedoman dan Kriteria (NSPK) yang menjadi acuan penatalaksanaan
pengendalian banjir daerah, antara lain :
(1) SNI 02-2406-1991, Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan;
(2) SNI 03-3424-1994, Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan;
(3) NAP Bidang Air Limbah dan Persampahan, yang terdiri dari :
a. SNI 19-6410-2000, Tata cara Penimbunan Tanah untuk Bidang
Resapan pada Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga;
b. Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, Departemen Pekerjaan
Umum Tahun 2003;
(4) SNI 03-2453-2002, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan
untuk Lahan Pekarangan;
(5) Panduan dan Petunjuk Praktis Pengelolaan Drainase Perkotaan,
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal
Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003;
(6) Buku Sistem Drainase Perkotaan, Jilid I-IV, Direktorat Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum,
2012.

Khusus pengendalian bencana, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007


tentang Penanggulangan Bencana telah mengatur kewenangan pusat dan daerah.
Arahan undang-undang tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
bertugas:
a) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana;
b) Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana;
c) Melaporkan penyelenggaraaan penanggulangan bencana kepada Presiden
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi
darurat bencana.

Adapun kewenangan Pemerintah Daerah melalui Badan Penanggulangan Bencana


Daerah:
a) Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras
dengan kebijakan pembangunan daerah;
b) Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana;
c) Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan
provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d) Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman
atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e) Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya
alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f) Penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya.
Tanggung jawab melekat di Pemerintah Daerah meliputi:
a) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana
sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b) pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c) pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana
dengan program pembangunan; dan
d) pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan
belanja daerah yang memadai.

Berdasarkan undang-undang di atas, manajemen bencana berdasarkan


waktu kejadian dibagi atas pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Saat pra
bencana terbagi lagi atas manajemen risiko bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan.
Adapun ketika bencana terjadi, diperlukan manajemen kedaruratan. Sedangkan
manajemen pemulihan dilakukan saat pasca bencana.
Adapun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, antara lain berisi pengaturan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa.
1. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah :
a) Menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
b) Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
c) Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
d) Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
e) Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis
nasional;
f) Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai
strategis nasional;
g) Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada
cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
h) Membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air
wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah
sungai strategis nasional;
i) Memfasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan
sumber daya air;
j) Menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber
daya air;
k) Menjaga efektifitas, efesiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional; dan
l) Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

2. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi meliputi :


a) Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan provinsi sekitarnya;
b) Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/ kota;
c) Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
d) Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas kabupaten/ kota;
e) Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/ kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
f) Mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/ kota;
g) Mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan
air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/ kota;
h) Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
provinsi dan/ atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/ kota;
i) Memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam
pengelolaan sumber daya air;
j) Membantu kabupaten/ kota pada wilayahnya dalam memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat atas air;
k) Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/
kota; dan
l) Memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
pemerintah kabupaten/kota.

3. Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi :


a) Menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan
pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan
kepentingan kabupaten/ kota sekitarnya;
b) Menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/ kota;
c) Menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/ kota dengan memperhatikan kepentingan
kabupaten/ kota sekitarnya;
d) Menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai dalam satu kabupaten/ kota;
e) Melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam
satukabupaten/ kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/
kota sekitarnya;
f) Mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber
daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/ kota;
g) Membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
kabupaten/ kota dan/ atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/
kota;
h) Memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi
masyarakat di wilayahnya; dan
i) Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/ kota.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, telah mengatur kewenangan
tiap level pemerintahan mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi
hingga Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Pembagian urusan pemerintahan
bidang pekerjaan umum sub bidang drainase disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4. 2 Pembagian urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum sub bidang


drainase

Sub-sub
Pemerintahan Daerah
Bidang Pemerintahan Provinsi
Kab/Kota
Pemerintah
1. Pengaturan 1. Penetapan 1. Penetapan 1. Penetapan peraturan daerah
kebijakan dan peraturan daerah kebijakan dan strategi
strategi kebijakan dan kabupaten/ kota berdasarkan
nasional dalam strategi provinsi kebijakan nasional dan
penyelenggara berdasarkan provinsi.
an drainase kebijakan dan
Sub-sub
Pemerintahan Daerah
Bidang Pemerintahan Provinsi
Kab/Kota
Pemerintah
dan strategi nasional. 2. Penetapan peraturan daerah
pematusan. NSPK drainase dan
2. Penetapan perda
pemanfaatan genangan di
2. Penetapan NSPK provinsi
wilayah kabupaten/ kota
NSPK berdasarkan SPM
berdasarkan SPM yang
penyelenggara yang ditetapkan
disusun pemerintah pusat dan
an drainase oleh pemerintah di
provinsi.
dan wilayah provinsi.
pemantauan
genangan.
2. Pembinaan 1. Fasilitas 1. Bantuan teknis 1. Peningkatan kapasitas teknik
bantuan teknis pembangunan, dan manajemen
pembangunan, pemeliharaan dan penyelenggara drainase dan
pemeliharaan pengelolaan. pematusan genangan di
dan wilayah kabupaten/ kota.
2. Peningkatan
pengelolaan
kapasitas teknik
drainase
dan manajemen
2. Peningkatan penyelenggaraan
kapasitas drainase dan
teknik dan pematusan
manajemen genangan di
penyelenggara wilayah provinsi.
an drainase
dan pematusan
genangan
secara
nasional.

3.Pembangunan 1. Fasilitasi 1. Fasilitasi 1. Penyelesaian masalah dan


penyelesaian penyelesaian permasalahan
masalah dan masalah dan operasionalisasi sistem
permasalahan permasalahan drainase dan penanggulangan
operasionalisa operasionalisasi banjir di wilayah kabupaten/
si sistem sistem drainase kota serta koordinasi dengan
drainase dan dan daerah sekitarnya
penanggulanga penanggulangan
2. Penyelenggaraan
n banjir lintas banjir lintas
pembangunan dan
provinsi. kabupaten/ kota.
pemeliharaan PS drainase di
2. Fasilitasi 2. Fasilitasi
Sub-sub
Pemerintahan Daerah
Bidang Pemerintahan Provinsi
Kab/Kota
Pemerintah
penyelenggara penyelenggaraan wilayah kabupaten/ kota.
an pembangunan dan
3. Penyusunan rencana induk
pembangunan pemeliharaan PS
PS drainase skala kabupaten/
dan drainase di wilayah
kota
pemeliharaan provinsi.
PS drainase
3. Penyusunan
dan
rencana induk PS
pengendalian
drainase skala
banjir di
regional/ lintas
kawasan
daerah.
khusus dan
strategis
nasional
3. Fasilitasi
penyusunan
rencana induk
penyelenggara
an prasarana
sarana
drainase dan
pengendalian
banjir skala
nasional.
4. Pengawasan 1. Evaluasi 1. Evaluasi di 1. Evaluasi terhadap
kinerja provinsi terhadap penyelenggaraan sistem
penyelenggara penyelenggaraan drainase dan pengendali
an sistem sistem drainase banjir di wilayah kabupaten/
drainase dan dan pengendali kota.
pengendali banjir di wilayah
2. Pengawasan dan
banjir secara provinsi
pengendalian
nasional
2. Pengawasan dan penyelenggaraan drainase
2. Pengawasan pengendalian dan pengendalian banjir di
dan penyelenggaraan kabupaten/ kota.
pengendalian drainase dan
3. Pengawasan dan
penyelenggara pengendaliaan
pengendalian atas
an drainase banjir lintas
pelaksanaan NSPK.
dan kabupaten/ kota
pengendalian
3. Pengawasan dan
banjir secara
pengendalian atas
Sub-sub
Pemerintahan Daerah
Bidang Pemerintahan Provinsi
Kab/Kota
Pemerintah
lintas provinsi. pelaksanaan NSPK
3. Pengawasan
dan
pengendalian
pelaksanaan
NSPK.
Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

4.4.2 Kondisi fisik lingkungan


4.4.2.1 Geografi dan hidrologi
Kota Bekasi merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Jawa
Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta. Letak Kota
Bekasi yang berbatasan langsung dengan Ibukota Republik Indonesia
memberikan beberapa keuntungan dalam sisi kemudahan dalam bidang
perhubungan dan komunikasi. Secara geografis Kota Bekasi berada pada
posisi 106o48’28’’ -107o27’29’’ Bujur Timur dan 6o10’6’’ s.d 6o30’6’’
Lintang Selatan. Kota Bekasi dapat ditempuh dengan menggunakan
kendaraan darat baik berupa mobil, sepeda motor serta kendaraan umum
seperti angkutan umum maupun commuter line dari DKI Jakarta. Batas
wilayah administrasi yang mengelilingi Kota Bekasi sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor
Sebelah Barat : Provinsi DKI Jakarta
Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi

Kota Bekasi terbagi menjadi 12 (dua belas) kecamatan yang terdiri


dari 56 (lima puluh enam) kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Bekasi Nomor 04 Tahun 2004 tentang Pembentukan Wilayah Administrasi
Kecamatan dan Kelurahan. Luas wilayah Kota Bekasi adalah sekitar
210,49 km2 dengan Kecamatan Mustika Jaya merupakan kecamatan yang
memiliki wilayah terluas yaitu sekitar 24,73 km2 dan Kecamatan Bekasi
Timur sebagai wilayah terkecil dengan luas sekitar 13,49 km2.
Secara umum Kota Bekasi merupakan daerah dataran dengan
kemiringan antara 0-2% dan ketinggian antara 10 m-100 m diatas
permukaan laut. Berdasarkan hasil survei lapangan yang dilakukan
Bappedalitbang Kota Bekasi tahun 2021, ketinggian kurang dari 10 m
berada pada Kecamatan Medan Satria, sebagian Bekasi Utara dan sebagian
kecil Bekasi Barat. Sedangkan Bekasi Selatan, Bekasi Timur Pondok
Gede, Rawa Lumbu dan Mustika Jaya semuanya berada pada ketinggian
10-50 m di atas permukaan laut. Sebagian Kecamatan Bantar Gebang,
Jatiasih dan Pondok Melati ada yang berada pada ketinggian 10-50 m di
atas permukaan laut dan ada yang berada pada ketinggian 10-100 m di atas
permukaan laut. Adapun Kecamatan Jatisampurna seluruhnya berada pada
ketinggian 50-100 m di tas permukaan laut (Gambar 10).

Gambar 10 Peta elevasi Kota Bekasi

Wilayah dengan ketinggian dan kemiringan rendah menyebabkan pada


beberapa daerah sulit untuk membuang air limpasan hujan dengan cepat,
sehingga sering merupakan langganan genangan, yaitu di Kecamatan
Pondok Melati, Kecamatan Bekasi Selatan, Kecamatan Rawalumbu,
Kecamatan Bekasi Barat dan Kecamatan Mustika Jaya. Akhir-akhir ini, di
Kecamatan Jatiasih (Kelurahan Jatirasa, Jatimekar dan Jatikramat),
Kecamatan Bekasi Timur (Kelurahan Duren Jaya, Aren Jaya), Kecamatan
Medan Satria (Kelurahan Pejuang, Kalibaru) dan Kecamatan Bekasi Utara
(Kelurahan Kaliabang Tengah) juga sering terjadi genangan. Gambar 11
menunjukkan peta genangan yang dirilis Pemerintah Kota Bekasi tahun
2021.
Berdasarkan pengamatan BMKG Halim Perdana Kusuma Tahun 2010
keadaan iklim di Kota Bekasi cenderung panas dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan September dan Oktober, yaitu masing-masing
tercatat 346,8 mm dan 519,1 mm dengan jumlah hari hujan masing-
masing 11 dan 13 hari. Sedangkan jumlah curah hujan terendah terjadi
pada bulan Juli sebesar 83,6 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 2.
Temperatur harian diperkirakan berkisar antara 23,6–34,2 0C. Kondisi
temperatur yang tinggi tersebut mengakibatkan kondisi lingkungan dan
ruangan sangat panas. Total db bulanan tahun 2010 rata-rata mencapai
sekitar 2.438 mm rerata kecepatan angin 8,37 km/jam (min 5,4 km/jam
dan maks 13,7 km/jam), rerata kelembaban udara sekitar 82 % (min
68,9% dan maks 91,2%).

Gambar 11 Peta genangan banjir Kota Bekasi Tahun 2021

Berdasarkan pengamatan BMKG Halim Perdana Kusuma Tahun 2010


keadaan iklim di Kota Bekasi cenderung panas dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan September dan Oktober, yaitu masing-masing
tercatat 346,8 mm dan 519,1 mm dengan jumlah hari hujan masing-
masing 11 dan 13 hari. Sedangkan jumlah curah hujan terendah terjadi
pada bulan Juli sebesar 83,6 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 2.
Temperatur harian diperkirakan berkisar antara 23,6–34,2 0C. Kondisi
temperatur yang tinggi tersebut mengakibatkan kondisi lingkungan dan
ruangan sangat panas. Total db bulanan tahun 2010 rata-rata mencapai
sekitar 2.438 mm rerata kecepatan angin 8,37 km/jam (min 5,4 km/jam
dan maks 13,7 km/jam), rerata kelembaban udara sekitar 82 % (min
68,9% dan maks 91,2%).

Kondisi hidrologi Kota Bekasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:


● Air permukaan
Air permukaan yang mencakup kondisi air hujan yang mengalir ke sungai.
Terdapat 4 (empat) sungai utama yang mengalir di Kota Bekasi, yakni
Sungai Cileungsi, Sungai Cikeas, Sungai Bekasi, dan Sungai Sunter.
Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari
Gunung Geulis, Bukit Pelangi Kabupaten Bogor dengan ketinggian ± 1500
mdpl. Air permukaan di Kota Bekasi terdiri dari sungai/Sungai Bekasi dan
beberapa sungai/kali kecil serta saluran irigasi Tarum Barat yang selain
digunakan untuk mengairi sawah dan sumber air baku bagi kebutuhan air
minum wilayah Bekasi (kota dan kabupaten) dan wilayah DKI Jakarta.
Kondisi air permukaan Sungai Bekasi saat ini tercemar oleh limbah
industri yang terdapat di bagian Selatan wilayah Kota Bekasi (industri di
wilayah Kabupaten Bogor).
● Air Tanah
Potensi air tanah di Kota Bekasi cukup potensial digunakan sebagai
sumber air bersih, terutama di wilayah Selatan Kota Bekasi. Namun, bagi
wilayah yang berada di sekitar TPA Bantargebang, sebagian besar air
tanahnya sudah dalam kondisi tercemar.

Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengaman untuk dapat
mendirikan bangunan-bangunan di kiri dan kanan sungai/saluran. Maksud
ditetapkannya daerah Garis Sempadan Sungai adalah sebagai upaya
perlindungan, pengembangan pemanfaatan dan pengendalian saluran serta
penataan bangunan dipinggir saluran, perlindungan masyarakat dari daya
rusak air dan penataan lingkungan. Tujuan ditetapkannya pengaturan garis
sempadan sungai untuk menjaga supaya saluran tidak terganggu oleh
aktivitas kegiatan mendirikan bangunan–bangunan yang berkembang
disekitarnya. Manfaat penetapan ketentuan garis sempadan saluran, yaitu:
1. Daya rusak air pada sungai/ saluran dan lingkungannya dapat dibatasi
dan dikendalikan;
2. Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sungai/
saluran dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga
kelestarian fisik dan kelangsungan fungsi saluran;
3. Pembangunan dan/ atau bangunan di pinggir sungai/ saluran wajib
memperhatikan kaidah-kaidah ketertiban, keamanan, keserasian,
kebersihan dan keindahan daerah sempadan saluran;
4. Para penghuni dan/ atau pemanfaat bangunan serta lahan di pinggir
sungai/ saluran wajib berperan aktif dalam memelihara kelestarian
sungai/saluran.

Setelah ditetapkannya Peraturan Walikota Bekasi No 51 tahun 2010


Tentang Garis Sempadan Jalan dan Garis Sempadan Sungai/Saluran,
nampak perubahan sempadan sungai mulai bersih dari bangunan liar dan
berubah menjadi jalur hijau.
Jarak Garis Sempadan Sungai ditentukan dengan ukuran sebagai berikut:
1. Pada saluran bertanggul di kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki
tanggul;
2. Pada saluran tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berdasarkan
kriteria :
a. Sungai/ saluran yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar dari 3
(tiga) meter, garis sempadan sungai ditetapkan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) meter dihitung dari tepi saluran;
b. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 3 (tiga) meter,
garis sungai/ saluran ditetapkan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
meter dihitung dari tepi saluran.

Karakteristik DAS yang ada di Kota Bekasi termasuk tipe bulu


burung yang memiliki karakteristik “jalur anak sungai di kiri dan kanan
sungai utama mengalir menuju sungai utama, debit banjir kecil karena
waktu tiba banjir dari anak-anak sungai berbeda-beda dan banjir
berlangsung agak lama. Kawasan hulu DAS merupakan suatu daerah
topografi lebih tinggi dengan kemiringan antara 2-5%, alur sungai rapat
dan merupakan daerah konservasi. Kemiringan yang terjal menyebabkan
aliran permukaan sangat tinggi, akan tetapi apabila vegetasi di daerah hulu
kerapatannya tinggi, sistem drainasenya tertata, serta kondisi tanah yang
stabil maka aliran permukaan tersebut akan tertahan dan sebagian besar
meresap ke dalam tanah.
Terdapat beberapa aliran sungai (Kali) yang melintasi Kota Bekasi,
antara lain: Sungai Jatiluhur/Baru, Sungai Bojongrangkong, Sungai
Buaran, Sungai Katikramat, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai
Blencong, Sungai Sasak Jarang, Sungai Siluman dan Sungai Bekasi.
Sungai Bekasi berfungsi sebagai badan air penerima, dimana anak
sungainya seperti Sungai Galaxy atau Sungai Rawalumbu berfungsi
sebagai drainase primer perkotaaan. Sebagian besar hulu sungai yang
melewati wilayah Kota Bekasi adalah berasal dari Bogor dan Purwakarta,
dan berhilir menuju wilayah Bekasi Utara serta berakhir hingga ke laut
Utara. Sistem sungai yang melewati Bekasi termasuk dalam wilayah
sistem aliran banjir CBL (Cikarang - Bekasi - Laut Floodway). Sistem
CBL tersebut telah dibangun sejak tahun 1985 melalui proyek Pelebaran
Saluran Irigasi Jatiluhur yang berfungsi untuk mengatasi banjir di Wilayah
Kota Bekasi, Cisadang dan Cikarang. Aliran ini memiliki daerah
tangkapan (cathment area) seluas 1.135 km2 dengan panjang ±29 km.
Kota Bekasi juga memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) yang cukup.
Pola aliran sungai pada DAS yang melewati Kota Bekasi bersifat
dendritik dengan bentuk DAS pararel. DAS Bekasi adalah DAS dengan
wilayah cakupan paling luas di Kota Bekasi. DAS Bekasi sendiri
merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Citarum. SWS
adalah suatu batas manajemen administrasi yang terdiri atas satu atau lebih
Daerah Aliran Sungai (DAS). SWS Citarum terdiri atas dua (2) DAS,
yaitu DAS Citarum dan DAS Bekasi. Luas DAS Citarum adalah 658.500
ha dengan potensi air sebesar 13 milyar m3/tahun, sedangkan luas DAS
Bekasi adalah 144.200 ha dengan potensi air sebesar 2,5 milyar m3/tahun
(PKSPL-IPB, 2008). Sementara, dua wilayah DAS yang lain, yaitu DAS
Cakung dan DAS Sunter hanya mencakup sebagian kecil dari wilayah
administrasi Kota Bekasi. Kondisi beberapa sungai di Kota Bekasi yang
memiliki potensi dominan untuk panjang fisik, yaitu Sungai Sungai Irigasi
Sekunder, Sungai Sasak Jarang, Sungai Sunter, Sungai Bekasi dan
Kalimalang. Sedangkan kondisi sungai yang memiliki potensi debit air
terbesar baik pada musim kemarau maupun penghujan adalah Sungai
Bekasi. Berdasarkan potensi besarnya debit air sungai pada musim hujan,
diprediksikan Sungai Bekasi memiliki kontribusi besar terhadap
kemungkinan terjadinya daerah-daerah rawan genangan dan banjir di
wilayah yang dilintasinya. Kondisi sungai yang terdapat di Wilayah Kota
Bekasi sebagian besar sudah mengalami kerusakan. Pendangkalan, erosi
akibat dari sampah dan penyalahgunaan fungsi sungai menjadi faktor
penyebab kerusakan tersebut. Hampir 90% lahan di Kota Bekasi
digunakan sebagai pemukiman. Wilayah Utara relatif lebih padat
dibandingkan wilayah Selatan Kota Bekasi. Padahal, wilayah Utara
merupakan hilir dari sistem DAS yang ada di Kota Bekasi. Karena itu,
wilayah Utara akan menjadi fokus perhatian mengingat risiko dampaknya
terhadap masyarakat lebih besar. Kepadatan permukiman dapat dilihat
pada Gambar 12 (Sumber: Penyusunan Kajian Resiko Bencana di Kota
Bekasi, 2021) .
Selain sungai, Kota Bekasi juga mempunyai sumber air permukaan
lain berupa situ-situ, yakni Situ Lumbu, Situ Gede, Situ Pulo dan Situ
Rawa Bebek. Secara geografis situ-situ di Kota Bekasi hanya tersebar di
beberapa wilayah kecamatan yakni Kecamatan Rawalumbu, Jatisampurna
dan Kecamatan Bekasi Barat. Beberapa situ sudah banyak mengalami
perubahan fungsi menjadi peruntukan lain seperti kebun di sekitar
permukiman masyarakat, kecuali Situ Harapan Baru, Situ Gede dan Situ
Pulo.
Gambar 4. 1 Kepadatan bangunan Kota Bekasi

4.4.2.2 Tata guna lahan


Lahan Kota Bekasi dimanfaatkan untuk mendukung berbagai
kegiatan yaitu untuk perdagangan dan jasa, industri, perumahan dan
permukiman serta pertanian maupun untuk pembangunan berbagai
fasilitas pelayanan perkotaan. Penggunaan lahan dikelompokkan atas 4
kategori yaitu lahan non pertanian, lahan kering, lahan persawahan dan
lainnya. Kota Bekasi tidak memiliki lahan hutan dan perkebunan.
Penggunaan lahan terbangun mulai mengalami peningkatan dan
dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, pusat perdagangan dan jasa
serta industri. Penggunaan lahan untuk permukiman terbagi menjadi dua,
yakni:
● Permukiman teratur
Merupakan permukiman yang dikembangkan oleh developer.
Pengembangan permukiman teatur ini dilakukan pada wilayah Bekasi
bagian tengah dan utara dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi
dengan memanfaatkan adanya potensi aksesibilitas. Potensi aksesibilitas
ini berupa jalan arteri dan kolektor primer yang strategis dan mampu
menampung penduduk yang bekerja di wilayah Jakarta dan kota
disekitarnya.
● Permukiman tidak teratur
Merupakan permukiman yang dibangun secara individu. Pemanfaatan
lahan bagi kegiatan perdagangan dan jasa di Kota Bekasi mulai
berkembang pesat dan melayani skala lokal-kota-regional dan skala kota-
lokal. Permukiman yang berpola menyebar tidak merata dan berkelompok
dapat ditemui di jalan-jalan atau gang-gang sempit, hal tersebut
disebabkan oleh pengembangan dilakukan secara individu oleh masyarakat
sehingga pola permukimannya relatif tidak terstruktur.
● Perdagangan dan Jasa Skala Kota-Regional
Kegiatan perdagangan dan jasa ini berkembang di pusat kota,
terutama di di koridor Jl. Juanda, Jl. Kartini, Jl. A. Yani, Jl. Sudirman, Jl.
Pemuda, Jl. Kalimalang, koridor Jl. Cut Mutiah, Jl. Pengasinan, Jl.
Siliwangi, koridor Jl. Pekayon dan koridor Jl. Kalibaru. Pola
pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa di pusat kota dilakukan
secara linear sepanjang jalan arteri dan kolektor, sebagai bagian dari CBD
(Central Business District).
● Perdagangan dan Jasa Skala Kota dan Lokal
Perdagangan dan jasa skala kota dan lokal banyak berkembang di
koridor Jl. Jatiwaringin dan Jl. Jatikramat dengan pola pengembangan
linear sepanjang jalan kolektor
● Perdagangan dan Jasa Skala Lokal
Kegiatan perdagangan dan jasa skala lokal berkembang di koridor
Jl. Siliwangi–Narogong, Jl. Jatisampurna–Jl. Hankam dengan pola linear
sepanjang jalan.

Adapun jenis pemanfaatan lahan perdagangan dan jasa baik skala


kota–lokal maupun skala lokal berupa pusat perbelanjaan, jasa
perkantoran, jasa perhotelan, bangunan umum, jasa profesional dan
pertokoan. Penggunaan lahan untuk kegiatan industri banyak berkembang
di beberapa wilayah, yakni: Kelurahan Harapan Jaya, Medan Satria,
Kalibaru, Pejuang, Bantar Gebang, Cikiwul dan Cikeuting Udik. Kegiatan
industri ini paling banyak berupa industri logam, listrik dan mesin dengan
pola pemanfaatan lahan yang linear yang mengikuti jalan arteri primer
pada bagian utara dan selatan Kota Bekasi. Terdapat pula kecenderungan
pola penggunaan lahan lainnya yang mengikuti sungai mulai dari hulu
sungai Cileungsi (Kecamatan Bantar Gebang), pertemuan sungai
Cileungsi-Cikeas (Kecamatan Rawalumbu), segmen tengah Sungai Bekasi
(Bekasi Timur) hingga hilir Sungai Bekasi (Kecamatan Bekasi Utara),
serta sungai lainnya seperti sungai Kalibaru (Kecamatan Medan Satria).
Hal ini dilakukan guna mempermudah pemanfaatan air bagi proses
produksi maupun pembuangan limbah.
4.4.3 Kondisi sosial budaya
4.4.3.1 Kependudukan
Sumber utama data kependudukan Kota Bekasi adalah data hasil
sensus penduduk 2020. Di dalam sensus penduduk, pencacahan dilakukan
terhadap seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah teritorial
Indonesia termasuk warga negara asing kecuali anggota korps diplomatik
negara sahabat beserta keluarganya. Penduduk Kota Bekasi adalah semua
orang yang berdomisili di wilayah teritorial Kota Bekasi selama satu tahun
atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari satu tahun tetapi
bertujuan menetap.Jumlah penduduk menurut kecamatan pada tahun 2020
disajikan dalam Gambar 4.2

Gambar 4. 2 Jumlah penduduk menurut Kecamatan (ribu) Tahun

Pada tahun 2020 penduduk Kota Bekasi berdasarkan hasil Sensus


Penduduk 2020 (SP2020) diperkirakan sebanyak 2,54 juta jiwa. Terdiri
atas laki-laki 1,28 juta jiwa dan perempuan 1,26 juta jiwa. Populasi
penduduk terbesar berada di Kecamatan Bekasi Utara yang dihuni
sebanyak 337,01 ribu penduduk (13,25 persen), diikuti Kecamatan Bekasi
Barat dan Kecamatan Bekasi Timur, masing-masing 281,68 ribu penduduk
(11,07 persen) dan 257,03 ribu penduduk (10,10 persen). Sedangkan
Kecamatan dengan populasi terkecil adalah Kecamatan Bantargebang
yang memiliki jumlah penduduk 107,22 ribu penduduk (4,22 persen).
Luas Kota Bekasi secara keseluruhan mencapai 210,49 km2 .
Sebagian besar wilayah Kecamatan di Kota Bekasi memiliki kepadatan
penduduk yang tinggi. Dari 12 Kecamatan, 9 di antaranya memiliki tingkat
kepadatan penduduk lebih dari 10.000 jiwa/ km2. Kecamatan Bekasi Barat
menjadi daerah terpadat dengan tingkat kepadatan mencapai 18.867
jiwa/km2. Kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan tahun 2020
tersaji dalam Gambar 4.3
Gambar 4. 3 Kepadatan penduduk per km2 menurut kecamatan Tahun 2020

4.4.3.2 Kondisi keamanan dan ketertiban


Dalam rangka penyelenggaraan perlindungan masyarakat, dibentuk
Satuan Perlindungan Masyarakat melalui Peraturan Walikota Bekasi
Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Satuan
Perlindungan Masyarakat di Kota Bekasi. Dapat dilihat dari statistic
kejahatan di Kota Bekasi pada tahun 2014 -2015 menunjukan kejahatan
tertinggi terdapat pada jenis kejahatan penipuan dan kejahatan terendah
terdapat pada jenis kejahatan hak cipta Gambar 4.4
Lain-lain kejadian
Penculikan
Hak Cipta
KDRT
UU darurat th 1951
Penganiayaan ringan
Cemar nama baik
Penghinaan
Fitnah
Keterangan Palsu
Penyerobotan tanah
Perbuatan tidak senang
Cabul/zina/asusila
Curi biasa
Penadahan
Pengeroyokan
Pembakaran
Pengrusakan
Penipuan
Penggelapan
Perkosaan
Perjudian
Kebakaran
Pemerasan
Pencurian mobil
Pencurian motor
Pencurian dengan kekerasan
Pencurian dengan pemberatan
Penganiayaan berat
Pembunuhan
0 100 200 300 400 500 600 700 800

2015 2014

Gambar 4. 4 Statistik kejahatan di Kota Bekasi

4.4.3.3 Ketenagakerjaan
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
15 tahun dan lebih. Mereka terdiri dari “Angkatan Kerja” dan “Bukan
Angkatan Kerja”. Proporsi penduduk yang tergolong “Angkatan Kerja”
adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk
dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam
pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah
angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja. Penduduk Kota
Bekasi berusia 15 tahun atau lebih pada tahun 2020 mencapai 2,33 juta
orang. Jumlah angkatan kerja sebanyak 1,51 juta orang, dimana 1,35 juta
orang diantaranya bekerja di berbagai sektor usaha, sedangkan sisanya
0,16 juta masih menganggur. Jumlah tersebut menjadikan angka tingkat
pengangguran terbuka menjadi 10,68 persen.
Penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 1,83 juta orang,
dan usia nonproduktif sebanyak 0,71 juta menjadikan angka dependency
ratio atau rasio ketergantungan menjadi 38,92, yang artinya dalam 100
orang usia produktif menanggung 39 orang usia nonproduktif. Nilai ini
menunjukkan di Kota Bekasi 1 orang usia nonproduktif ditanggung oleh
setidaknya 6 orang usia produktif. Pekerja di Kota Bekasi didominasi oleh
lulusan SMA, yakni mencapai 45,13 persen, dan persentase angkatan kerja
terhadap penduduk usia kerja yang tamat SMA sebesar 65,74 persen
Sedangkan untuk pekerja lulusan perguruan tinggi mencapai 19,93 persen
dan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja yang tamat
perguruan tinggi sebesar 82,90 persen. Jadi terlihat bahwa perbedaan
persentase yang bekerja dengan angkatan kerja antara yang lulus SMA dan
perguruan tinggi menjadi cukup siginifikan.

4.4.3.4 Kesejahteraan
Menurut definisi UNDP, pembangunan manusia adalah proses
memperluas pilihan-pilihan penduduk. Ada tiga pilihan yang dianggap
paling penting, yaitu panjang umur dan sehat, berpendidikan dan akses ke
sumber daya yang dapat memenuhi standar hidup yang layak. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan manusia di
Kota Bekasi adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka IPM
Kota Bandung sebagai ibukota provinsi merupakan yang tertinggi di Jawa
Barat. Kota Bekasi menempati urutan kedua dengan angka IPM sebesar
81,50. Sementara IPM terendah ada di Kabupaten Cianjur sebesar 65,36.
Hal ini menandakan bahwa pembangunan manusia di Kota Bekasi cukup
baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang ada di Jawa Barat.
90
90
80
80
70
70
60 60
50 50
40 40
30 30
20 20
10 10
0 0
i g n a u ta si n i ok
um un la
ya ga gk ay ar ka ra um on ay
a
a b nd a i n e n m a k e da
a b i reb D ep al
k n l a B n k
Su Ba s ik
m
Ku aj
a dr rw a Su
C ta ikm
In Pu ng ot
a
Ko as
Ta M Pa ta K T
Ko ta
Ko

Laki-laki 2018 Laki-laki 2019 Laki-laki 2020


Perempuan 2020 Perempuan 2018 Perempuan 2019

Gambar 4. 5 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat

Gambaran kelayakan hidup Kota Bekasi dibandingkan dengan persentase


penduduk miskin dapat dilihat melalui Gambar 17.
2020

2019

2018

2017

2016

2015

2014

2013

2012

2011

2010

- 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

Persentase Penduduk Miskin IPM

Gambar 4. 6 Angka IPM dan persentase penduduk miskin Kota Bekasi

4.4.4 Kondisi infrastruktur perkotaan


4.4.4.1 Jaringan jalan dan aksesibilitas
Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan
tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang
menghubungkannya. Berdasarkan pola ruang, Kota Bekasi dibagi menjadi
5 (lima) Bagian Wilayah Perencanaan (BWP) yaitu BWP Pusat Kota,
BWP Pondok Gede, BWP Mustika Jaya, BWP Jatisampurna dan BWP
Bekasi Utara. Pemerintah saat ini tengah dalam proses pembangunan tiga
infrastruktur fasilitas transportasi mengarah Bekasi, yaitu pembangunan
jalur tol layang Bekasi- Cawang- Kampung Melayu( Becakayu), jalan
LRT, dan Tol Elevated Jakarta- Cikampek.
Kota Bekasi memberikan kontribusi yang tinggi dalam arus perjalanan ke
dan dari Jakarta, dengan melakukan perjalanan komuter sebesar 57% lebih
dari jumlah masyarakat Kota Bekasi pada tahun 2011. Penduduk Kota
Bekasi juga merupakan penyumbang kendaraan terbesar yang masuk ke
wilayah Jakarta yaitu sebesar 36,55% dibandingkan Kota Tangerang
(32,37%) dan Kota Bogor/Depok (31,08).
Gambar 4. 7 Peta jaringan jalan Kota Bekasi

Tabel 4. 3 Data jalan Kota Bekasi tahun 2020

No Lokasi per Panjang Panjang Jalan Kota Panjang


Kecamatan jalan yang yang di Rekonstruksi / Jalan Kota
dipelihara Rehabilitasi 2020 yang di
2020 Rekonstruksi
(KM) / Rehabilitasi
sampai
dengan
Tahun 2020

1 Bantargebang 0.74 1.535 1.88


2 Bekasi Barat 0.18 0.044 2.26
3 Bekasi Selatan 0.32 0.729 4.03
4 Bekasi Timur 0.95 1.129 3.15
5 Bekasi Utara 1.27 0.603 5.85
6 Jatiasih 1.15 0.832 3.06
7 Jatisampurna 0.23 0.226 1.49
8 Medan satria 1.1 0.659 1.86
9 Mustikajaya 0.77 1.418 4.2
10 Pondok melati 0 1.143 1.85
11 Pondokgede 0 0.174 2.1
12 Rawalumbu 1.31 0.723 2.84

Gambar 4. 8 Kondisi fisik jalan


4.4.4.2 Jaringan drainase
Di Wilayah Kota Bekasi terdapat 4 sungai yang berfungsi sebagai
saluran drainase primer , yaitu Sungai Cileungsi, Sungai Cikeas, Sungai
Bekasi , dan Sungai Sunter. Disamping itu terdapat sejumlah sungai yang
bersumber di Wilayah Kota Bekasi yang berfungsi sebagai saluran
sekunder. Keempat sungai tersebut mempunyai daerah tangkapan air yang
cukup luas dan bermuara ke arah utara dan berakhir di Laut Jawa. Sistem
drainase Kota Bekasi pada saat ini mencakup wilayah seluas kurang lebih
9.035 Ha atau 43% dari luas wilayah kota. Selain itu, terdapat beberapa
DAS utama yang berfungsi sebagai sistem drainase makro. DAS tersebut
berada di sisi Timur dan Barat Sungai Bekasi (Tabel 3). Beberapa anak
sungai seperti Sungai Blencong dan Sungai Galaxy/Rawa Tembaga juga
berfungsi sebagai sistem drainase primer perkotaan. Anak sungai tersebut
berfungsi sebagai penerus/sekunder dari pusat daerah tangkapan yang
berada di dalam kota, tepatnya di sisi Timur dan sisi Barat
Kalimalang/Tarum Barat ke badan air penerima dengan ukuran yang
bervariasi (Tabel 4). Detail saluran drainase Kota Bekasi disajikan pada
Gambar 17.
Tabel 4. 4 Daerah Aliran Sungai Kota Bekasi sisi Timur dan Barat Sungai Bekasi
Timur Barat
1. Sungai Jambe/Siluman 1 Sungai Rawa Tembaga
.
2. Sungai Sasak Jarang 2 Sungai Jatiluhur/Baru/Kapuk
.
3. Sungai Rawalumbu 3 Sungai Cakung
.
4 Sungai Bojong Rangkong
.
5 Sungai Jatikramat
.
6 Sungai Buaran
.
7 Sungai Sunter
.
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi

Tabel 4. 5 Anak saluran di Kota Bekasi

Timur Barat
1. Sungai Cupu 1. Sungai Rawa Bugel/Bulak
Macan/Blencong
2. Sungai Mangseng
Sumber: Dinas Bina Marga dan SDA Kota Bekasi

Pengelolaan empat sungai besar yang menjadi saluran primer


tersebut menjadi wewenang dan tanggungjawab Balai Pendayagunaan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai Ciliwung-Cisedane dan kali lainnya
yang terletak di wilayah Kota Bekasi menjadi tanggungjawab dan
wewenang Pemerintah Kota Bekasi. Untuk jelasnya tersaji dalam ambar
18.
Gambar 4. 9 Gambar peta saluran drainase Kota Bekasi
Gambar 4. 10 Peta kewenangan pengelolaan wilayah sungai di daerah studi
Gambar 4. 11 Peta wilayah sungai Ciliwung-Cisadane

Sungai Cikeas merupakan wilayah perbatasan antara Kota Bekasi


dengan Kabupaten Bogor, memiliki panjang sungai 23,27 km. Sungai
Cikeas berasal dari Gunung Geulis dan Bukit Pelangi Kabupaten Bogor.
Di Kota Bekasi, SungaiCikeas juga berfungsi sebagai saluran primer yang
menampung air buangan dari saluran drainase jalan raya/jalan
penghubung/saluran sekunder dan juga air yang berasal dari saluran tersier
yang berasal dari saluran jalan di perumahan – perumahan yang berada di
bagian timur wilayah kelurahan Jatiasih, kelurahan Jatiluhur, Kelurahan
Jatisari dan Kelurahan Jatirangga. Bagian tengah Sungai Cikeas terdapat
bendungan Koja yang berfungsi sebagai polder dan terdapat delta seluas ±
3,20 ha milik negara (PU).
Gambar 4. 12 Sungai Cikeas dan bendungan Koja
Sungai Bekasi adalah sungai yang membelah Kota Bekasi menjadi
2 bagian Bekasi. Aliran Sungai Bekasi berasal dari aliran Sungai Cikeas
dengan Sungai Cileungsi yang memiliki hulu sungai di wilayah Kabupaten
Bogor. Sungai Bekasi berfungsi sebagai saluran primer yang menampung
air buangan berasal dari saluran drainase jalan raya/jalan
penghubung/saluran sekunder dan juga air yang berasal dari saluran tersier
yang berasal dari saluran jalan di perumahan – perumahan yang berada di
wilayah kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan dan Bekasi Timur.
Kondisi Sungai Bekasi di sebagian tanggulnya diberi pasangan turap
dengan ketinggian sekitar 3.00 – 4.00m.
Gambar 4. 13 Sungai Bekasi

Sungai Sunter mengalir dari Selatan ke arah Utara dan Sungai


Sunter ini merupakan batas Kota Bekasi dan Provinsi DKI. Sungai ini
berfungsi sebagai Saluran Primer dari drainase jalan dan pemukiman di
beberapa kelurahan di Wilayah Kecamatan Jati Sampurna, Pondok Melati,
dan Pondok Gede Kota Bekasi yang terletak di bagian Timur K. Sunter.
DAS Sunter memiliki luas cathment area 35,904 km2, panjang 25,397 km
dan kedalaman rata-rata 2,00 m. Berdasarkan data Tahun 2010, debit air
Sungai Sunter pada musim kemarau tercatat sebesar 3.60 m3 /detik, dan
pada musim hujan debit air Sungai Sunter mencapai 14.63 m3 /detik.
Debit dalam kondisi normal di Sungai Sunter sebesar 91,609 m3 /dt.
Sungai Sunter melintasi beberapa wilayah administrasi seperti Kecamatan
Jatisampurna (sebagian Kelurahan Jatikarya, Jatisampurna, Jatiwarna),
Kecamatan Pondok gede (Kelurahan Jatirahayu, Jatimakmur,
Jatiwaringin). Hulu Sungai Sunter berada di wilayah Kecamatan
Jatisampurna (dekat Perum. Kranggan Permai), sedangkan hilirnya berada
di Kelurahan Jatiwaringin – Kecamatan Pondok Gede.
Gambar 4. 14 Sungai Sunter yang berbatasan dengan DKI Jakarta

Aliran sungai yang ada di Kota Bekasi umumnya memiliki satu


alur yang panjang dan lurus, secara prinsip masing masing anak sungai
dari DAS terbentuk akibat perkembangan kota yang pesat dan
terbentuknya daerah pemukiman sebagai enclave-enclave sehingga untuk
memenuhi kebutuhan saluran pembuangan membuat saluran drainase/
pembuangan yang dihubungkan dengan aliran sungai yang ada.
Kondisi inilah yang menyebabkan sistim drainase yang ada di Kota
Bekasi tidak tertata dengan baik, di tambah perkembangan pembangunan
perumahan tidak bersamaan (sesuai dengan perkembangan kota dan
investasi pengembang perumahan). Akibatnya saluran drainase yang
dibangun pada awalnya hanya untuk satu kawasan perumahan disambung
dengan perumahan berikutnya yang berada di belakangnya menyebabkan
beban saluran drainase tidak mencukupi dan terjadi limpasan/luapan
banjir. Saluran drainase yang ada di kawasan perumahan umumnya adalah
saluran drainase jalan, mengingat pembangunan saluran drainase biasanya
dibuat di kiri dan kanan jalan sesuai dengan pola site plan perumahan. Jadi
tidak heran apabila terjadinya banjir bukan hanya disebabkan alirannya
tidak lancar tetapi bisa juga akibat luapan dari limpasan dari sungai yang
mengalami debit ekstrim dan menjadi efek balik ke areal perumahan.
Kondisi topografi yang relatif datar menimbulkan problem
tersendiri, misalnya di beberapa aliran sungai ternyata alirannya bolak-
balik (reversible). Kondisi yang sangat memprihatinkan untuk penataan
saluran drainase Kota Bekasi adalah akibat adanya ’’buffer zone” yang
membatasi aliran air secara alamiah dengan sistim gravitasi tidak bisa
berjalan dengan semestinya dan terjadi penumpukan di areal sebelah
selatan dari buffer zone tersebut. Ada 5 (lima) lokasi buffer zone di
wilayah Kota Bekasi mulai dari selatan ke utara, yaitu :
(1) Jalan Tol JORR (Tol Pondok Indah-Cakung-Cilincing).
(2) Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
(3) Jalan Nasional Jakarta-Bekasi
(4) Jalan Kereta Api.
(5) Saluran Irigasi Kalimalang.

Sesuai dengan kewenangan dan pengelolaannya maka kondisi daerah


aliran sungai yang berada di wilayah Kota Bekasi ada 2 katagori, yaitu:
(1) DAS yang dikelola dan ditangani oleh BBWS Ciliwung Cisadane,
terdiri dari: Sungai Sunter, Sungai Cikeas dan Sungai Bekasi.
(2) DAS yang dikelola dan di tangani Dinas Bina Marga dan Tata Air
Kota Bekasi ada 11 (sebelas) daerah aliran sungai.

Masing masing daerah aliran sungai yang ada di wilayah Kota


Bekasi memiliki kendala dan permasalahannya yang berbeda-beda, jadi
sangat spesifik untuk setiap DAS dan perlu dicermati dengan teliti.
Kondisi daerah aliran sungai di wilayah Kota Bekasi memang sangat
rumit, mengingat wilayah Kota Bekasi sejak jaman dahulu direncanakan
sebagai lumbung padi. Oleh karena itu kondisi yang ada di lapangan saat
ini masih banyak sistem jaringan irigasi yang masih berfungsi namun
pemanfaatanya sekarang menjadi bahan baku untuk supply air minum
(PDAM) di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi.
Analisa debit banjir DAS diperlukan untuk menentukan dimensi
saluran (lebar badan air) di bagian hilir DAS (perbatasan dengan wilayah
kabupaten/ kota diluar wilayah Kota Bekasi) yang efektif untuk
perencanaan banjir 50 tahunan.
Berikut perhitungan debit banjir maksimum :
Qsda = 112,00 0 m3/det
QBandara = 1,204m3/det
Qmax = 113,204 m3/det
Jadi, debit yang digunakan untuk menentukan dimensi Saluran
Badan Sungai adalah Qmax yaitu 113,204 m3/det. Dengan menggunakan
rumus persamaan Manning.
• Kecepatan Aliran air (V)
Hs = Hu - Hj ; Hs = Beda tinggi
Ho = Elevasi hulu Saluran Badan Sungai rencana Hj = Elevasi
hilir Saluran Badan Sungai rencana
Hu = 97.02 m H = 85.85 m
Hs = (97.02 - 85.85) m = 11.17 m
V = 20 (Hs/L)06 L = 665.33 m
V = 20 (11.17/665.33)06 = 1.722 m/det
• Luas Penampang Basah (A)
Q = V . A A = Q/V A = 113.204 / 1.722 = 65.74 m2
coba-coba, n = 7 buah
w = (0.5 - 1.0) m (Q >15 m3/det) b = 3.5 m
btot = (3.5 x 7) m = 24.5 M
h = 65.74 m2/24.5 m = htot = (2.68 + 0.5) m = 3.15 untuk efisiensi
dan keamanan, maka Htot ~ 3.5 m
Dimensi Saluran Badan Sungai b x h x n = (3.5 x 3.5) m x 7 L = 665.33 m
● Tipikal Struktur Drainase Sekunder dan Tertier

Uraian inventarisasi Kali yang berfungsi sebagai drainase di Kota


Bekasi tersaji dalam Gambar 15. Sungai BekasiSungai SunterSungai
CikeasKondisi sistem drainase yang terdapat di Kota Bekasi terdeteksi
sebagai berikut:
Permasalahan drainase yang terjadi sampai saat ini adalah sebagai berikut :
(1) Beberapa jalan penghubung antara kecamatan ada sebagian besar yang
belum rnernpunyai saluran samping, sehingga air hujan yang turun di
jalan tersebut mengalir secara alamiah tidak terkendali mengikuti
permukaan tanah yang menurun. Misalnya Jalan Perjuangan di Kec.
Bekasi Utara menuju ke Kecamatan Medan Satria.
(2) Drainase yang sudah ada kurang pemeliharaan.
(3) Masterplan yang sudah ada untuk penanganan drainase baik untuk
jangka menengah maupun jangka panjang belum terpetakan dengan
baik sehingga penanganan drainase masih belum terarah.
Kali Cikeas
Kali Sunter
Kali Rawa Rotan/Kali Rorotan
Kali Abang Tengah
Kali Boulevard/Kali Galaxy/Kali BSK
Kali Cakung
Kali Jati Keramat/Taman Sari

250.00 750.00 1,250.00 1,750.00 2,250.00


Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali Kali
Buar Jati Bo- Cak Jatil Boul Peka Aba Ala Raw Raw Sunt Beka Cike
an Kera jong ung uhu evar yon ng m a a er si as
mat/ Ran r/ d/ Ten- Galu Rota Tem
Tam gko Kali Kali gah r n/ baga
an ng Baru Gal- &Kal Kali
Sari /Kali axy/ i Ro-
Ka- Kali Blen rota
puk BSK con n
g
NaN 625. 129 115 222 118 438. 249. 494. 489. 293. 413. 135 179 955
L 86 9.18 3.95 9.88 3.42 53 6 17 8 4 3 8 6
u
a
s
C
A
(
h
a
)

NaN 5.8 9.74 8.75 27.0 16.3 5.2 4.23 5.85 6.65 3.1 4.65 20 26.6 23.2
P 5 5 7
a
n
j
Luas CAan(ha) Panjang (km) Slope (%)
g
(
k
m
)
S NaN 0.21 0.21 0.21 0.19 0.06 0.02 0.09 0.07 0.05 0.1 0.11 0.21 0.06 0.03
l
o
p
e
(
%
)

Gambar 4. 15 nventarisasi saluran drainase Kota Bekasi


Data drainase tersier dalam kondisi baik dan pembuangan aliran air tidak
tersumbat tahun 2021 tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 4. 6 Data drainase tersier yang berfungsi baik Tahun 2021

KECAMATAN PANJANG
NO NAMA SALURAN YANG DILALUI SALURAN
1 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 2.63
2 Saluran JL. Buntu 1 Bantargebang 5.16
Saluran JL. Masjid Al-
3 Barkah Bantargebang 3.87
4 Saluran JL. Dirgahayu Bantargebang 3.34
5 Saluran JL. Gempol Bantargebang 3.93
6 Saluran JL. Pangkal VI Bantargebang 8.82
7 Saluran JL. Raya Narogong Bantargebang 16.15
8 Saluran JL. Kelinci Putih Bantargebang 8.18
9 Saluran JL. Tari Kolot Bantargebang 8.56
10 Saluran JL. TPA Bantargebang 8.8
11 Saluran JL. Lingkar Bambu Bantargebang 3.22
12 Saluran JL. Mandor besar Bantargebang 4.33
13 Saluran JL. Melati 1 Bantargebang 8.24
14 Saluran JL. Mushola Bantargebang 3.87
15 Saluran JL. Rawa Bongo Bantargebang 15.66
16 Saluran JL. Rawa Bugis Bantargebang 3.31
17 Saluran JL. Sakura Bantargebang 3.57
18 Saluran JL. Teratai Bantargebang 2.59
19 Saluran JL. TPA Bantargebang 5.16
20 saluran jalan service Bantargebang 4.25
Bantargebang,
21 Saluran JL. Siliwangi Rawlumbu 31.87
22 Saluran JL. Pemuda Bekasi Barat 2.51
Saluran JL. I Gusti
23 Ngurahrai Bekasi Barat 6.1
24 Saluran JL. Patriot Bekasi Barat 1447.05
25 saluran Jl. Raya Plaza Bekasi Barat 27.62
26 saluran Jl. Raya Bintara Bekasi Barat 12.75
27 Saluran JL. Sultan Agung Bekasi Barat 7.67
Bekasi Barat, Bekasi
28 Saluran JL. KH. Noer Ali Selatan 11.56
Saluran JL. Jendral Bekasi Barat, Bekasi
29 sudirman Selatan 5.1
30 Saluran JL. Pekayon Jaya Bekasi Selatan 8.22
31 Saluran JL. Veteran Bekasi Selatan 3.21
32 Saluran JL. Ahmad Yani Bekasi Selatan 6.59
33 Saluran JL. Mayor M. Bekasi Selatan , 3.55
Hasibuan Bekasi Timur
34 Saluran JL. Underpass Bekasi Timur 4.82
35 Saluran JL. Ir. H. Juanda Bekasi Timur 10.26
Saluran JL. Raya Chairil
36 Anwar Bekasi Timur 5.67
37 Saluran JL. Mayor Oking Bekasi Timur 1.42
Saluran JL. HM Joyo Bekasi Timur,
38 Martono Rawalumbu 3.51
Bekasi Timur,
39 Saluran JL. RA Kartini Rawalumbu 4.55
Saluran JL. Raya Kaliabang
40 tengah Bekasi Utara 1432.18
41 Saluran JL. Kaliabang Raya Bekasi Utara 8.35
42 Saluran JL. Lingkar Utara Bekasi Utara 1321.68
Saluran JL. Sisi Barat
43 Perjuangan Bekasi Utara 14.11
44 Saluran JL. Baru Cipendawa Jatiasih, Rawalumbu 5.12
45 Saluran JL. Transyogi Jatisampurna 6.54
Saluran JL. Sisi Selatan
46 Pangeran Jayaraya Medan Satria 45.9
Saluran JL. Pondok Gede
47 Raya Pondok Gede 1.42
48 Saluran JL. Cut Mutia Rawalumbu 43.28
TOTAL 4606.250

Kota Bekasi sampai saat ini memiliki 37 polder dengan total


kapasitas 3.074.498 m3 yang tersebar di 12 Kecamatan. Menurut Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 12/PRT/M/2014
tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, sistem polder adalah
suatu cara penanganan banjir dengan kelengkapan bagunan sarana fisik,
yang meliputi saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang
dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan. Sementara kolam retensi
adalah kolam/waduk. Dengan sistem polder, lokasi rawan banjir akan
dibatasi dengan jelas sehingga elevasi muka air, debit, dan volume air
yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu,
sistem polder disebut juga sebagai sistem drainase yang terkendali.
Pada awalnya polder dibuat untuk kepentingan pertanian. Namun,
beberapa dekade belakangan ini juga diterapkan untuk kepentingan
pengembangan industri, permukiman, fasilitas umum, dan untuk
kepentingan lainnya dengan alasan keamanan. Fungsi utama polder adalah
sebagai pengendali muka air di dalam sistem polder tersebut. Untuk
kepentingan permukiman, muka air di dalam sistem dikendalikan supaya
tidak terjadi banjir/genangan. Air di dalam sistem dikendalikan
sedemikian rupa sehingga jika terdapat kelebihan air yang dapat
menyebabkan banjir bisa dipompa keluar dari sistem polder.
Elemen-elemen Sistem polder terdiri dari jaringan drainase,
tanggul, kolam retensi, dan badan pompa. Keempat elemen ini harus
direncanakan secara integral sehingga dapat bekerja secara optimal.

a. Jaringan Drainase
Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan
kelebihan air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang
dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan. Kelebihan air hujan pada
suatu daerah dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau genangan air.
Oleh karena itu, diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi
sebagai penampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut
menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan, untuk
mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang
melalui pemompaan.
b. Tanggul
Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air
atau daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada
elevasi di sekitar kawasan tersebut. Pembuatan tanggul bertujuan untuk
melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal dari luar
kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah
yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Adapun jenis-
jenis tanggul antara lain : tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul
beton, dan tanggul infrastruktur.
Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara
alamiah dari bentukan tanah, misalnya bantaran di pinggiran sungai secara
memanjang. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan
menimbun tanah atau material lainnya di pinggiran wilayah. Contohnya
tanggul timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut. Tanggul beton
merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran perkerasan
beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul bendung,
dinding penahan tanah ( DPT ).
Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain
dan dibangun secara kuat dalam periode waktu yang lama dengan
perbaikan dan pemeliharaan secara terus menerus sehingga seringkali
dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misalnya jalan raya.

c. Kolam Retensi

Gambar 4. 16 Kolam Retensi.


Kolam Retensi adalah kolam/waduk penampungan air hujan dalam
jangka waktu tertentu. Fungsinya untuk memotong puncak banjir yang
terjadi dalam badan air/sungai. Dengan kata lain, kolam retensi merupakan
suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau meresapkan air
didalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam.
Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu kolam alami dan
kolam non alami.
Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan
resapan yang sudah terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik
pada kondisi aslinya atau dilakukan penyesuaian. Kolam non alami yaitu
kolam retensi yang dibuat secara sengaja dan didesain dengan bentuk dan
kapasitas tertentu pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya dengan
lapisan bahan material yang kaku, seperti beton. Pada kolam jenis ini, air
yang masuk ke dalam inlet harus dapat menampung air sesuai dengan
kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir
puncak (peak flow) pada saat over flow sehingga kolam berfungsi sebagai
tempat mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu
kosentrasi air untuk mengalir di permukaan.

d. Stasiun Pompa
Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk
mengeluarkan air yang sudah terkumpul dalam kolam retensi
atau junction jaringan drainase ke luar cakupan area. Prinsip dasar kerja
pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu
listrik maupun diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau
sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya
pompa digunakan pada suatu daerah dengan dataran rendah atau keadaan
topografi (kontur) yang cukup datar sehingga saluran-saluran yang ada
tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang
disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume
layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga
listrik disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang
menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah
pompa submersible.
Kondisi polder Kota Bekasi sebagian besar masih terawat baik,
namun efektivitasnya masih perlu diuji. Berikut dokumentasi 11 polder
yang ada di Kota Bekasi.

4.4.4.3 Jaringan air bersih


Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan
makhluk hidup. Apabila kebutuhan akan air belum tercukupi, dapat
memberikan dampak yang besar bagi kesehatan dan kelangsungan hidup.
Pengadaan air bersih dalam skala yang besar hanya terpusat pada daerah-
daerah perkotaan saja dan dikelola oleh PDAM setempat. Air yang layak
untuk diminum mempunyai standar persyaratan tertentu. Persyaratan
tersebut mencakup persyaratan secara fisik (warna, rasa, dan bau), kimiawi
(pH, persentase zat terlarut, mineral yang terkandung di dalamnya), serta
bakteriologis yang merupakan satu kesatuan. Apabila salah satu dari ketiga
parameter tersebut tidak lolos uji, maka dapat dinyatakan bahwa air
tersebut tidak layak untuk digunakan sebagai air minum. Penggunaan air
minum yang tidak lulus uji berdasarkan standar yang berlaku dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, baik itu terjadi dalam jangka yang
pendek maupun dalam jangka panjang pemakaian. Sumber kebutuhan air
minum di Kota Bekasi berasal dari air sungai, air sumur atau air tanah.
Permasalahan yang seringkali dijumpai adalah kualitas dari air tanah
maupun air sungai yang digunakan oleh masyarakat tidak memenuhi
parameter air yang dapat dikonsumsi sebagai air minum. Bahkan ada
beberapa wilayah yang air nya tidak layak untuk digunakan. Permasalahan
tersebut dapat ditanggulangi dengan pengolahan air tanah atau air sumur
untuk mendapatkan air yang lebih baik kualitasnya sehingga dapat
digunakan atau dikonsumsi. Sebagian besar penduduk Kota Bekasi
memanfaatkan air PDAM dan air tanah, jumlah titik pengambilan air tanah
di Kota Bekasi berupa sumur sebanyak 879 titik dengan debit air sebesar
54.105,23 m3/hari.
Air Bersih Kota Bekasi di pasok oleh 2 PDAM yaitu, PDAM Tirta
Patriot dan Tirta Bhagasasi. PDAM Tirta Patriot mempunya kapasitas
pengelolaan air bersih total sebesar 700 liter/detik dengan menggunakan 3
IPA (Instalasi Pengolahan Air). Sumber air baku yang diolah PDAM Tirta
Patriot berasal dari saluran irigasi/saluran sekunder yang ada di Bendung
Bekasi, saluran irigasi ini menampung air dari Kali Malang dan Sungai
Bekasi. Debit maksimal yang diambil dari Kali Malang adalah sebesar 1
m3 /detik, sedangkan pengambilan debit dari Sungai Bekasi berkisar dari
4-5.8 m3 /detik. Pasokan air yang digunakan PDAM Bhagasasi untuk
pelayanan 12 kota hanya berasal dari Kali Malang yang mempunyai
kapasitas maksimal pengolahan air 1390 liter/detik dengan 5 unit IPA.
Sumber air baku yang digunakan PDAM Tirta Bhagasasi untuk
pemenuhan kebutuhan Kota Bekasi keseluruhan berasal dari Kali Malang,
sedangkan PDAM Tirta Patriot menggunakan dua sumber air baku yaitu
Kali Malang dan Sungai Bekasi.
Aliran Sungai Bekasi merupakan gabungan antara Sungai Cikeas
dan Sungai Cileungsi, sehingga terkadang pencemaran yang dilakukaan
pada kawasan Sungai Cileungsi akan mempengaruhi air baku yang diolah
oleh PDAM Tirta Patriot. Keadaan secara umum kedua aliran ini pada
umumnya mengalami pendangkalan dan penyempitan aliran akibat
lumpur. Upaya yang selama ini dilakukan oleh pihak PJT II dan
pemerintah Kota Bekasi adalah menormalisasi saluran Kali Malang dan
saluran sekunder agar dapat mengalirkan debit optimal ke daerah yang
membutuhkan air baku.

Gambar 4. 17 Diagram pengelolaan air baku Kota Bekasi


Sumber: Aria et al. 2020

Ketersedian air baku Kota Bekasi bersumber dari aliran permukaan


dan air tanah. Potensi ketersedian air baku dari aliran permukaan adalah
sebesar 213 498 720 m3 /s, sedangkan potensi ketersedian air tanah 2 938
820 400 m3 . Kebutuhan air Kota Bekasi pada tahun 2010 mencapai 189
803 000 m3 yang didominasi oleh kebutuhan domestik (53.88%), irigasi
pertanian (30.17%) dan sektor industri (10.45%), sedangkan prediksi
kebutuhan air Kota Bekasi pada tahun 2050 sebesar 335 479 000 m3 tanpa
adanya kebutuhan air untuk irigasi karena lahan pertanian yang dialih
fungsikan(Aria et al. 2020).

4.4.4.4 Jaringan air limbah


Kondisi air Sungai Bekasi yang dahulu jernih setelah adanya
kontaminasi oleh limbah industri dan domestik mengakibatkan perubahan
terhadap kualitas air Sungai Bekasi. Perubahan ini terkait seperti kondisi
air sungai yang berubah warna menjadi kehitaman dan atau coklat keruh
serta terkadang memiliki warna lain, dan berbau menyengat yang
mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di dekat sungai. Hal ini
menyebabkan air Sungai Bekasi sudah tidak dapat digunakan untuk
konsumsi maupun untuk MCK.
Sungai Bekasi saat ini telah tercemar oleh limbah cair yang berasal
dari rumah tangga dan industri. Limbah cair ini mengandung zat
berbahaya dari sejumlah industri yang berada di sepanjang daerah aliran
sungai (DAS) Sungai Bekasi (Jaya 2018). Menurut Dinas Lingkungan
Hidup Kota Bekasi hingga saat ini terdapat 18 industri yang berpotensi
mencemarkan Sungai Bekasi karena posisi industri yang berdiri diatas
garis sempadan sungai. Sebagian besar dari industri tersebut telah
memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) tetapi pengoperasian
IPAL tersebut belum sesuai dengan prosedur. Selain pengoperasiannya
yang belum sesuai prosedur, sebagian besar industri tersebut belum
memiliki Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).

4.4.4.5 Pengelolaan sampah


Sampah yang dihasilkan kegiatan perkotaan di Kota Bekasi
sebagian besar tergolong sampah domestik. Volume sampah yang masuk
ke TPA Sumur Batu sebesar 807.366 m 3 dengan rata-rata perhari sebesar
552,99 ton/hari.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 15 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Sampah di Kota Bekasi, Pemerintah Daerah
mempunyai kewenangan :
a) menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah
berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
b) menyelenggarakan pengelolaan sampah skala Kota sesuai dengan
norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
c) melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan
sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain;
d) menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, TPST,
dan/atau TPA sampah;
e) melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam)
bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap TPA sampah dengan
sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
f) menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat
pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.

Jaringan persampahan Kota Bekasi dibagi menjadi 5 berdasarkan BWP,


yaitu:
(1) BWP Pondok Gede
(2) BWP Jatisampurna
(3) BWP Bekasi Utara
(4) BWP Mustikajaya
(5) BWP Pusat Kota

Pada BWP Pondok Gede terdapat 10 TPS Container yang tersebar di


Keluraham Jati Cempaka, Jatibening, Jatimakmur, Jatiasih, Jatimekar
dan Jatirahayu. Adapun pada BWP Jatisampurna, terdapat disediakan 27
TPSS berupa container sampah yang tersebar di Kelurahan Jatikarya, Jati
Sampurna, Jatirangga, Jatiraden, Jatisari, Jatiranggon, Jatiluhur, Jatimurni,
dan Jatimelati. Untuk BWP Bekasi Utara, terdapat 37 TPS yang tersebar di
Kelurahan Kali Abang Tengah, Medan Satria, Pejuang, Harapan Jaya,
Kalibaru, Harapan Mulya, Marga Mulya, Harapan Baru, Perwira, dan
Teluk Pucung. Sementara itu, di BWP Mustika Jaya tersedia 7 TPS, 1
TPA dan 1 TPPAS. TPA terletak di tengah-tengah Kelurahan Ciketing
Udik dan Sumur Batu. TPPAS terletak di dalam buffer zone area TPA
yang terletak di Kelurahan Sumur Batu. TPS tersebar di Kelurahan
Ciketing Udik, Cikiwul, Bantar Gebang, Sumur Batu, Cimuning,
Pedurenan dan Mustika Sari. Berikutnya di BWP Pusat Kota, tersedia 109
TPS Container yang tersebar di Kelurahan Bojong Menteng, Pengasinan,
Bojong Rawa Lumbu, Jaka Setia, Pekayon Jaya, Sepanjang Jaya,
Jakasampurna, Margahayu, Marga Jaya, Kayuringin Jaya, Kranji, Bintara
Jaya, Bintara, Kota Baru, Aren Jaya dan Duren Jaya.
0.010 0.030 0.050 0.070 0.090 0.110
Pusat Kota Pon- Jati- Beka Must Pusa
dok sam si ika t
Mustika Jaya Gede purn Utar Jaya Kota
a a
Bekasi Utara
JUM- 498. NaN NaN 255. NaN NaN 499. NaN NaN 320. NaN NaN 970.
Jatisampurna
LAH 56 04 13 74 22
PEN-
Pondok Gede
DUDU
K 100 300 500 700 900 1100
Pon- Jati- Beka Must Pusa
IN- 0.02
dok NaN NaN 0.10
sam NaN NaN 0.07
si NaN NaN 0.02
ika NaN NaN 0.11t
DEKS 0057
Gede 5865
purn 4128
Utar 8060
Jaya 2345
Kota
7663 7465a 9844a 1109 6535
6713 4956 3291 9332 6310
JUM- 74498. NaN NaN 1 255. NaN NaN 33
499. NaN NaN 79
320. NaN NaN 9 970.
LAH 56 04 13 74 22
PEN-
DUDU
K
IN- 0.02 NaN NaN 0.10 NaN NaN 0.07 NaN NaN 0.02 NaN NaN 0.11
DEKS 0057 5865 4128 8060 2345
7663 7465 9844 1109 6535
6713 4956 3291 9332 6310
74 1 33 79 9

Gambar 4. 18 Indeks kecukupan fasilitas pembuangan sampah


Sumber: Sistaru Kota Bekasi (diolah)

Jika dibandingkan antara jumlah penduduk dengan fasilitas TPA,


TPS dan TPSS yang ada di tiap BWP, maka diketahui kecukupan fasilitas
persampahan yang ada. Gambar 22 menunjukkan fasilitas persampahan di
BWP Mustika Jaya dan BWP Pondok Gede masih kurang, ditunjukkan
dengan indeks masing-masing 0.028 dan 0.020. Padahal, rerata sebaran
sampah di Mustika Jaya dan Pondok Gede masuk dalam urutan kedua
terbanyak sepanjang tahun 2018 dan 2019 (Gambar 23).
Bekasi Timur, Jatiasih

Bekasi Barat, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Rawalumbu,


Medan Satria, Pondok Gede, Mustika Jaya

Bantar gebang, Jatisampurna, Pondok Melati

0 2000 4000 6000 8000

2019 2018

Gambar 4. 19 Rerata sebaran Sampah di Kota Bekasi

4.4.4.6 Ruang terbuka hijau dan terbuka biru


Kota Bekasi yang memiliki luas wilayah sekitar 21049 ha harus
memiliki persentase RTH sebesar 30% dari total luas wilayah atau sekitar
6314,7 ha, dimana sekitar 20% merupakan lahan RTH yang disediakan
oleh pemerintah sementara 10% disediakan oleh swasta maupun
masyarakat. RTH Kota Bekasi didominasi jenis taman kota, TPU dan
sempadan sungai. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota Bekasi yang
diproyeksikan untuk 2011-2031, Kota Bekasi perlu menyediakan ruang
terbuka hijau seluas 6710 ha. Persentase RTH eksisting di Kota Bekasi
juga mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga 2021 sebesar 8% atau
1,728 ha. Tingkat sebaran vegetasi di Kota Bekasi pada tahun 2021
mengalami penurunan khususnya di Bekasi bagian Barat 6,889 ha. Pada
Januari 2021, persentase dari ruang hijau yang sudah dioptimalkan sebagai
RTH sesuai dengan klasifikasi kawasan lindung dalam Peraturan Daerah
Kota Bekasi No 13 Tahun 2011-2031 baru mencapai 2.43% atau 525 ha,
dengan tipe RTH Kota dan RTH TPU. Persentase ini menunjukkan bahwa
belum terjadi peningkatan luas ruang terbuka hijau yang signifikan sejak
rancangan RTRW Kota Bekasi diterbitkan pada tahun 2011. Tentu saja
belum dapat memenuhi persyaratan syarat penyediaan RTH sebesar 30%
dari total luas wilayah Kota Bekasi. Alih fungsi lahan menjadi salah satu
pemicu berkurangnya cakupan areal RTH.
Tinggi

Sedang

Rendah
Sebaran vegteasi Sangat rendah

Tidak bervegetasi
1000 3000 5000 7000 9000 11000
Tidak Sangat ren- Rendah Sedang Tinggi
bervegetasi dah

Luas (ha) 28.22 1243.87 3682.19 5415.02 11044.68


2013
Luas (ha) 769.48 4070.72 5811.93 3880.03 6889.26
2021

Luas (ha) 2021 Luas (ha) 2013

Gambar 4. 20 Sebaran vegetasi pada lahan peruntukan RTH Tahun 2013-2021


Sumber: Pambudi dan Tambunan 2021, diolah

Berdasarkan amatan (Pambudi dan Tambunan 2021) melalui Citra


satelit landsat 8 tahun 2013, areal dengan klasifikasi sebaran vegetasi tinggi
memiliki luas 11044 ha atau 51% dari total luas wilayah, klasifikasi sedang
dengan 5414 ha. rendah 3628 ha, sangat rendah 1243 ha dan lahan tidak
bervegetasi dengan luas 28 hektar atau 0.1%. Sementara itu, pada citra
landsat terakhir bulan Agustus 2020, terjadi penurunan luas lahan dari
klasifikasi sangat tinggi mencapai 6882 ha atau 32% dan tinggi dengan
3880 ha, pada klasifikasi sangat rendah, rendah dan tinggi mengalami
peningkatan luas lahan sebesar 10652 ha.
4.5 Sistem pengendalian banjir eksisting

4.5.1 Kejadian banjir Kota Bekasi

Gambar 4. 21 Data kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bekasi


2020-2022
Sumber : BPBD Kota Bekasi 2020-2022

Berdasarkan data kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah


Kota Bekasi berdasarkan 3 tahun terakhir 2020-2022, berdasarkan dengan data
dan fakta yang terjadi pada tabel diatas kejadian banjir di Kota Bekasi
merupakan bencana yang paling sering terjadi, maka dapat diketahui bahwa
BPBD Kota Bekasi membutuhkan manajemen dan perencanaan bencana yang
baik untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks dalam
penanggulangan bencana banjir. Dalam kegiatan manajemen bencana
didalamnya terdiri dari beberapa komponen antaralain, kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, dan mobilisasi yang dibutuhkan menangani bencana alam.
Selain itu BPBD Kota Bekasi harus memastikan tindak lanjut dalam
penanganan korban banjir sesuai dengan prinsip manajemen bencana secara
adil sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Berdasarkan kajian Pemerintah Kota Bekasi tahun 2021 dan
pengamatan di lapangan, diketahui penyebab awal terjadinya genangan
maupun banjir di Kota Bekasi adalah pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
lahan permukiman. Fenomena ini memicu peningkatan kebutuhan infrastruktur
perkotaan seperti sarana permukiman, sarana transportasi, sarana perdagangan
dan jasa. Saat ini pembangunan mall, apartemen, gedung perkantoran,
peninggian badan jalan, pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek II, Becakayu
dan jalur Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) sedang dikebut
penyelesaiannya. Akibat yang tidak bisa dihindari dari aktivitas pembangunan
ini adalah banyaknya persimpangan saluran dan sungai. Semakin banyak
simpangan atau istilah umumnya crossing, meningkatkan risiko hambatan
saluran. Hambatan saluran menimbulkan luapan drainase yang berkorelasi
positif dengan risiko banjir.
Hambatan saluran selain diakibatkan oleh banyaknya crossing, juga
disebabkan menurunnya kualitas fungsi saluran karena kurangnya
pemeliharaan saluran oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Pemeliharaan yang kurang intensif menurunkan kapasitas saluran primer,
sekunder maupun tersier. Hal ini diperburuk dengan kenyataan pembangunan
saluran dan polder tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar konstruksi.
Pertumbuhan penduduk secara otomatis juga menimbulkan peningkatan
timbulan sampah di sungai maupun saluran. Kurangnya kesadaran masyarakat
dan kapasitas daya angkut sampah yang tidak memadai, menambah beban
sungai dan saluran. Jika pematusan sampah tidak kontinu, maka badan sungai
akan menyempit lalu menimbulkan risiko meluapnya air sungai saat curah
hujan tinggi. Apalagi jika ditambah dengan tidak berfungsinya pintu air dan
polder. Kondisi saluran dan sungai yang dipenuhi sampah terlihat di beberapa
tempat seperti di Sungai Sunter dan Saluran Fajar Indah (Gambar 29).

Gambar 4. 22 Sampah memenuhi sungai dan saluran


Di sisi lain, kebutuhan lahan permukiman yang tinggi, mendorong
okupasi dataran banjir, dan tutupan lahan menjadi dominansi ruang terbangun.
Jika deforestasi terjadi di hulu, kuantitas RTH berkurang maka kapasitas
infiltrasi menurun. Dataran banjir yang berubah fungsi juga menyebabkan
sedimentasi yang menimbulkan pengurangan kapasitas area tangkapan air.
Menurunnya kuantitas RTB akibat meningkatnya perubahan tutupan lahan juga
menurunkan kapasitas area tangkapan air. Fenomena ini jika tidak diantisipasi
degan baik, akan menimbulkan risiko luapan pada hilir DAS terutama ketika
curah hujan sedang tinggi-tingginya.
Bahaya banjir sejak awal disadari karena topografi Kota Bekasi yang
relatif datar dengan kemiringan 0 – 2% ke arah Utara dengan ketinggian 4 – 81
meter diatas permukaan laut. Kota Bekasi didominasi oleh rawa dan situ yang
saat ini telah berubah fungsi menjadi permukiman dan pusat-pusat jasa. Hal ini
telah diantisipasi dengan menerbitkan RTRW yang memperhatikan risiko
bencana. Namun karena keterbatasan informasi, data yang sulit dikonfirmasi dan
seringkali diskontinu, maka rencana yang dibuat menjadi tidak akurat. Hal inilah
yang menjadi salah satu sumber bencana.

Dalam implementasi rencana pembangunan daerah, politik pemerintahan


ikut berpengaruh. Pergantian kepala daerah dan anggota legislatif tiap 5 (lima)
tahun sekali membuat diskontinuitas rencana jangka panjang. Selain itu, masih
adanya mental korupsi di kalangan teknokratis menyebabkan tatanan yang sudah
ada menjadi berubah-ubah. Kondisi menyebabkan kualitas kerjasama
stakeholder menjadi kurang baik. Meskipun tidak langsung, kelemahan ini juga
menjadi potensi bencana. Salah satu tantangan bagi Pemerintah Kota Bekasi
dalam pengendalian banjir adalah belum adanya penanganan terpadu
pengendalian banjir dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, daerah – daerah perbatasan, dan stakeholder
lain yang terkait. Diagram banjir Kota Bekasi dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 4. 23 Causal loop diagram banjir Kota Bekasi

4.5.2 Tata kelola banjir eksisting


Pemerintah Kota Bekasi mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi
Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Peraturan tersebut dibuat dalam rangka mengupayakan
penyelenggaraan dan pelayanan masyarakat di bidang penanggulangan bencana
daerah. BPBD Kota Bekasi mulai diisi personil pada tanggal 19 Januari 2015.
Berikutnya, dalam rangka mewujudkan jaminan hidup dan kehidupan yang
layak serta untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana baik yang
akan, sedang, dan sudah terjadi serta gangguan keamanan atau masalah sosial
lainnya, Pemerintah Kota Bekasi menerbitkan Peraturan Daerah Kota Bekasi
Nomor 06 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Adanya Perda ini diharapkan penanggulangan bencana dapat terselenggara
secara sistematis, terpadu, terencana, terstruktur serta terkoordinasi dengan
mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki oleh Kota Bekasi.
Menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pra bencana terbagi atas manajemen risiko bencana, mitigasi dan
kesiapsiagaan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan
prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi: a) dalam
situasi tidak terjadi bencana; dan b) dalam situasi terdapat potensi terjadinya
bencana. Pada tahap pra bencana, peringatan dini menjadi salah satu komponen
penting sebelum bencana itu terjadi. Dalam hal ini BPBD Kota Bekasi
melakukan pendeteksian banjir dengan melakukan piket kesiapsiagaan bencana
banjir 24 jam setiap harinya apabila sudah datang musim penghujan mulai dari
Oktober sampai Maret. Seluruh informasi yang diperoleh dari stasiun
pemantauan Sungai Cikeas dan Cileungsi dikumpulkan ke dalam pusat data
dan laporan melalui perangkat lunak sms-gateway, informasi tersebut
didistribusikan ke masyarakat melalui website dan juga komunitas-komunitas,
seperti Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) (Prihartanto dan Ganesha
2019). Selain melalui website dan komunitas, penyebarluasan peringatan dini
juga melalui grup Whatsapp, membunyikan sirine peringatan, pengumuman
langsung oleh aparatur setempat.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pasal 32, dalam rangka mitigasi
bencana untuk kawasan rawan banjir, Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya, menetapkan :
a) Penetapan batas dataran banjir;
b)Pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah;
c) Ketentuan pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum; dan
d)Pengendalian kegiatan permukiman

BPBD Kota Bekasi dibentuk untuk meningkatkan kewaspadaan,


mengingat kondisi bencana di Kota Bekasi termasuk kategori tinggi untuk
bencana banjir. Menurut Kusumasari (2014) dalam mitigasi bencana banjir
selain mitigasi struktural yang dikembangkan, mitigasi nonstruktural juga
berperan penting dalam penanggulangan banjir. Mitigasi non struktural yang
dilakukan BPBD Kota Bekasi yaitu mengadakan kegiatan sosialisasi tanggap
bencana dengan melibatkan masyarakat secara luas hingga pelajar dan
mahasiswa melalui kegiatan peningkatan pengetahuan tentang bencana.
Sosialisasi bencana dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya resiko bencana dan dampaknya bisa meningkatkan kewaspadaan
masyarakat itu sendiri ditambah dengan pelatihan kebencanaan yang nantinya
dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi kejadian
bencana, seperti tata cara penanggulangan sederhana bagi masyarakat,
pelatihan SAR sederhana seperti cara menandu dan menangani korban
bencana, pelatihan evakuasi seperti tata cara penggunaan perahu. Kegiatan dan
aktivitas yang pernah dilaksanakan oleh BPBD Kota Bekasi dalam rangka
persiapan dan pencegahan, saat tanggap darurat dan pasca bencana meliputi :
(1) Pelatihan dasar penanggulangan bencana.
(2) Pengadaan persediaan kebutuhan logistik untuk korban bencana.
(3) Sosialisasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada daerah
rawan bencana serta sosialisasi pada dunia pendidikan.
(4) Bimbingan teknis penghitungan kerusakan dan kerugian pasca bencana.
(5) Meningkatan kapasitas relawan melalui pelatihan baik yang diadakan oleh
BPBD Kota Bekasi, BPBD Provinsi, BNPB dan BASARNAS.
(6) Pembuatan peta resiko bencana.
(7) Mempersiapkan sarana dan prasarana yang digunakan untuk evakuasi
korban.
(8) Koordinasi dengan dinas lainnya pada hal assesment saat terjadi bencana,
serta evakuasi korban bencana bekerja sama dengan dari relawan peduli
bencana.

Khusus stakeholder yang berperan dalam manajemen pengendalian banjir


secara struktur, termasuk di dalamnya desain bendungan dan saluran air, adalah
Dinas BMSDA Kota Bekasi. Salah satu indikator kinerjanya adalah persentase
berkurangnya luasan genangan banjir. Untuk mencapai target tersebut, rencana
aksi yang dirumuskan meliputi:
a) Mengusulkan kegiatan pelebaran kali dalam rangka restorative justice
(pengembalian fungsi kali atau sungai).
b) Mengusulkan pembangunan tampungan air atau polder di wilayah -
wilayah yang sering terdampak banjir
c) Melaksanakan tahapan normalisasi kali melalui pematusan secara rutin.
d) Berkoordinasi aktif dengan BBWSCC dalam upaya pengerukan
sedimentasi kali.
Secara bertahap melakukan perbaikan terhadap sistem drainase, baik
terkait kondisi salurannya, jaringan drainase, mapun hal-hal lain yang
menghambat aliran air, diantaranya peninggian terhadap jembatan yang
mengganggu aliran air. Kegiatan ini akan terus dilakukan setiap tahun
Mitigasi struktural penanggulangan banjir yang dilakukan BPBD Kota
Bekasi dengan memasang alat early warning system di lima lokasi aliran
Sungai Cikeas-Cileungsi yaitu hilir aliran sungai Pondok Gede Permai,
Jembatan Mendu Ciangsana Cikeas, Pondok Pesantren Darussalam Cileungsi
Tengah, Jembatan Wika Cileungsi, dan Cibongas Sentul. Alat early warning
system yang ada di Kota Bekasi berupa peilschall yakni berupa penggaris
untuk mengukur ketinggian air sungai dan ada juga yang berupa sensor
otomatis. Dengan adanya alat tersebut, petugas yang memantau bisa
memberikan informasi 5-6 jam sebelum air sampai di wilayah Bekasi
(Prihartanto & Ganesha, 2019).
Stakeholder yang berperan dalam pengendalian banjir secara non struktur
adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane, Dinas Tata
Ruang Kota Bekasi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi,
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota (BPBD) Bekasi, TNI-POLRI,
Palang Merah Indonesia, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) (Syahnanda 2022). Tabel 6 menunjukkan stakeholder yang berperan
dalam pengendalian banjir Kota Bekasi.
Tabel 6 Pemangku kepentingan sistem pengendalian banjir
Manajemen Pengendalian Pemangku Kepentingan
Banjir
Struktur
DBMSDA Kota Bekasi
● Bendungan

DBMSDA Kota Bekasi


● Perbaikan sistem jaringan
sungai
DBMSDA Kota Bekasi
● Pembangunan tanggul banjir

Non Struktur
BBWS Ciliwung Cisadane
● Manajemen DAS

Distaru dan BAPPEDA Kota


● Pengaturan tata guna lahan
Bekasi
BPBD Kota Bekasi, TNI-
● Penanganan kondisi darurat
POLRI, PMI
BPBD, BNPB
● Kajian risiko bencana banjir

Salah satu cara penanganan banjir yang dilakukan Kota Bekasi


adalah bangunan fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, polder,
bendungan, tanggul banjir yang mengelilingi kawasan, serta pompa
dan/pintu air. Pembangunan struktur pengendali banjir ini tidak dapat
dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan perlu direncanakan dan
dilaksanakan secara terpadu, disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah
dan tata air secara makro. Kombinasi kapasitas pompa dan kolam retensi
harus mampu mengendalikan muka air pada suatu kawasan polder dan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap sistem drainase secara makro
(Rosdianti 2009 dalam Wahyudi 2010). Masalahnya, saat membangun
struktur tersebut Pemerintah Kota Bekasi belum memiliki master plan.
Akibat pembangunan struktur yang tidak terintegrasi, fungsinya tidak dapat
maksimal.
Bersumber pada hasil wawancara dengan masyarakat korban banjir
Kota Bekasi, secara umum kegiatan pra bencana meliputi mitigasi dan
peringatan dini yang dilakukan oleh BPBD Kota Bekasi sudah berjalan,
namun implementasinya belum merata dan menyeluruh. Sasaran obyek
sosialisasi secara luring, lebih banyak ke institusi seperti Polresta Bekasi,
Kodim 0507 Kota Bekasi, perusahaan-perusahaan, sekolah-sekolah, kantor-
kantor pemerintah dan relawan. Sosialisasi tanggap bencana baru diterima
oleh sebagian warga, karena itu beberapa masyarakat belum paham hal
tersebut. Padahal jika masyarakat paham, mereka akan mampu melakukan
penanganan awal kebencanaan untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.
Sehingga dampak dari kejadian bencana bisa diminimalisir. Untuk
meningkatkan penetrasi, BPBD juga menggunakan media sosial seperti
Instagram dan Facebook untuk sosialisasi.

Berdasarkan keterangan BPBD Kota Bekasi, apabila dampak


bencana banjir semakin luas, maka dilakukan penetapan status bencana yang
didasarkan dari berbagai masukan yang bisa dipertanggung jawabkan dalam
forum rapat, kemudian Kepala Pelaksana BPBD memberikan usulan kepada
Sekretaris Daerah dan diteruskan kepada Walikota Bekasi. Apabila
Walikota Bekasi sudah menandatangani surat tanggap darurat, maka ada
peningkatan status bencana menjadi tanggap darurat bencana selama 7
(tujuh) hari dan bisa diperpanjang sesuai kondisi yang terjadi. Sebagai
tindak lanjut dari penetapan status tanggap darurat, maka dibentuklah Pos
Komando Penanganan Darurat Bencana berdasarkan Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2016 Tentang
Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana. Komando Operasi
Penanganan Darurat Bencana Banjir Kota Bekasi dipimpin Walikota/Wakil
Walikota dan/atau Komandan yang ditunjuk oleh Walikota. Pos Komando
Tanggap Darurat Bencana Kota Bekasi, selanjutnya disebut Pos
Komando/Posko berfungsi sebagai pusat komando operasi darurat bencana
untuk mengkoordinasikan, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan darurat bencana. Kedudukan Pos Komando Satuan Tugas
Gabungan Terpadu (Makogasgabpad) PDB berada di Lapangan Alun - Alun
Kota Bekasi. Pos Lapangan Penanganan Darurat Bencana Kota Bekasi,
selanjutnya disebut Pos Lapangan PDB, berfungsi sebagai pelaksana operasi
pendukungan penanganan darurat bencana kepada SKPDB Kecamatan,
berkedudukan dan lebur dalam Komando SKPDB di masing-masing Pos
Komando Kecamatan. Berikut lokasi pos lapangan di tiap kecamatan.

1. Kecamatan Bekasi Utara : Lapangan depan kecamatan


2. Kecamatan Bekasi Timur : Lapangan depan kecamatan
3. Kecamatan Bekasi Barat : Lapangan sepak bola Puri Idaman
4. Kecamatan Bekasi Selatan : Alun - alun Kota Bekasi
5. Kecamatan Jatisampurna : Lapangan Kelurahan Jatiranggon
6. Kecamatan Pondok Gede : Stadion Mini Pondok Gede
7. Kecamatan Mustikajaya : Stadion Mini Mustikajaya
8. Kecamatan Rawa Lumbu : Lapangan samping kelurahan Rawa
Lumbu
9. Kecamatan Pondok Melati : Lapangan depan kelurahan Pondok
Melati
10. Kecamatan Bantar Gerbang : Lapangan depan kecamatan
11. Kecamatan Medan Satria : Lapangan Medan Satria
12. Kecamatan Jatiasih : Lapangan Bola Telkom (Bedeng)

Saat terjadi bencana, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD)


menjalankan tugas fungsinya terkait penanganan darurat bencana,
menggunakan dana yang ada pada instansi nya masing-masing. Setelah
ditetapkan status tanggap darurat bencana maka Pemerintah Kota Bekasi
dapat mengajukan Dana Siap Pakai ke BNPB dan mengajukan bantuan
Provinsi Jawa Barat untuk dukungan dana dan logistik. Sementara,
Pemerintah Kota Bekasi secara paralel menyiapkan mekanisme (regulasi)
untuk kemudahan akses mobilisasi sumberdaya yang diperlukan dalam
menunjang kelancaran operasi penanganan darurat bencana. Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat hadir pada saat
penetapan status darurat bencana untuk memberikan pendampingan
terbentuknya Sistem Komando PDB.
Dalam tahap ini BPBD Kota Bekasi menerjunkan tim personil ke
lokasi bencana banjir dan mengevakuasi korban bencana banjir. Saat
proses evakuasi, korban banjir dibawa ke posko pengungsian yang sudah
disediakan oleh BPBD dan elemen lainnya seperti, Dinas Sosial, Dinas
Kesehatan, TAGANA dan stakeholder lainnya. Struktur organisasi
komando operasi penanganan darurat bencana tertera di Gambar 33.
Setelah dievakuasi dari lokasi banjir, para korban banjir ini kemudian
dibawa ke posko bencana. Posko bencana sangat penting keberadaannya
dalam penanganan bencana karena berfungsi sebagai tempat tinggal
sementara untuk korban bencana dalam hal ini korban bencana banjir.
Sehingga BPBD wajib membangun posko bencana dan menyediakan
kebutuhan dasar korban bencana, seperti makanan, minuman, selimut.
Tidak hanya itu korban banjir juga rentan dengan berbagai macam
penyakit, sehingga BPBD juga berkewajiban menyediakan obat-obatan
dan pelayanan kesehatan yang siaga melayani korban bencana banjir.
Secara umum berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat korban
banjir Kota Bekasi, pelaksanaan evakuasi korban banjir belum bisa
dilakukan dengan maksimal dan menyeluruh kepada warga korban banjir
di Kota Bekasi, karena personil Satgas BPBD Kota Bekasi masih belum
cukup dan dari segi peralatan yang dimiliki BPBD masih belum memadai
karena banyaknya peralatan sarana dan prasarana yang rusak bahkan
hingga rusak berat. Hal ini terbukti dengan pernyataan warga yang merasa
evakuasi dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dari petugas BPBD.
Pasca bencana, BPBD Kota Bekasi melakukan kegiatan rehabilitasi
psikis di posko-posko bencana banjir dengan menggandeng pihak-pihak
akademisi dan komunitas-komunitas khususnya psikolog. Selain itu,
beberapa fasilitas trauma healing juga dibangun agar kejiwaan warga yang
trauma tetap stabil. Pada tahap kegiatan rekonstruksi, tugas BPBD Kota
Bekasi menghitung kerugian bangunan-bangunan atau rumah yang rusak
lalu melaporkannya kepada Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air untuk
ditindaklanjuti. Untuk bangunan yang rusak, kategori ringan hingga
sedang, direnovasi oleh Pemerintah Kota Bekasi. Dalam melakukan
penilaian kerusakan bangunan tempat tinggal akibat bencana banjir, ada
tiga kategori yaitu rusak ringan, rusak sedang, dan rusak berat. Sedangkan
bangunan lain seperti kantor pemerintahan, fasilitas pendidikan, jembatan,
dan instalasi pelayanan masyarakat lainnya dikategorikan berbeda.
Berikutnya hasil kajian tersebut mengenai total kerusakan dan kerugian
dilaporkan kepada Sekretaris Daerah dan diteruskan kepada Walikota
Bekasi untuk tindakan lanjutnya.

Gambar 4. 24 Struktur organisasi komando operasi penanganan darurat bencana


Sumber: BPBD Provinsi Jawa Barat

4.6 Analisis dan pembahasan


Kota Bekasi terletak pada tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yaitu
DAS Bekasi, DAS Cileungsi, DAS Cikeas dan DAS Sunter. Salah satu DAS yang
sering mengalami banjir adalah DAS Bekasi. Sebenarnya, DAS Bekasi memiliki
hulu DAS Cileungsi dan DAS Cikeas. Hulu Sungai Cileungsi dan Cikeas tersebut
ada di Bogor dan bermuara di Bekasi sehingga melewati beberapa kecamatan di
Kota Bekasi yang apabila kedua sungai ini meluap sudah bisa dipastikan wilayah
Kota Bekasi akan tergenang banjir. Genangan banjir Kota Bekasi setiap tahun
semakin meluas, padahal regulasi yang mengarah mitigasi bencana dan tata kelola
pengendalian banjir telah dikeluarkan. Hanya saja, Kota Bekasi baru
mengeluarkan aturan tentang penanggulangan bencana baru di tahun 2019. Butuh
waktu 9 (sembilan) tahun untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan. Adapun
rencana tata ruang wilayah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi untuk
2011-2031 belum menggunakan acuan yang bisa divalidasi. Peta bencana banjir
yang dikeluarkan BNPB baru keluar tahun 2016 dan peta risiko banjir yang
dikeluarkan Pemerintah Kota Bekasi, kajiannya baru dibuat tahun 2021.
Berdasarkan kajian BNPB, diketahui Kota Bekasi memiliki tingkat bahaya
sedang hingga tinggi. Luas bahaya banjir mencapai 10.864 km 2. Pada tahun 2019
banjir yang terjadi di Kota Bekasi hanya merendam Kecamatan Jatiasih, Bekasi
Barat dan Rawalumbu. Sejumlah kelurahan di Jatiasih terendam banjir hingga
mencapai 1 meter. Banjir yang merendam Jatiasih disebabkan kiriman air dari
hulu Sungai Cikeas akibat hujan dengan intensitas lebat mengguyur dalam waktu
yang cukup lama sehingga Sungai Cikeas tidak dapat menampung debit air dan
terjadilah limpasan. Kemudian di Kecamatan Bekasi Barat, banjir merendam
dengan ketinggian 80 cm-1 meter akibat dari hujan lokal dengan intensitas lebat
berdurasi kurang lebih satu jam sehingga volume air tidak tertampung oleh
drainase. Selanjutnya Kecamatan Rawalumbu terendam banjir kurang lebih satu
meter. Banjir ini disebabkan hujan lokal dengan intensitas lebat dengan durasi
cukup lama dan drainase yang kurang baik. Pada Bulan Januari 2020 bencana
banjir telah terjadi, dimana seluruh kecamatan di Kota Bekasi terendam banjir dan
korban yang terdampak banjir mencapai 49.480 jiwa.
Di Kota Bekasi, perkembangan pembangunan perumahan mengikuti
perkembangan kota dan investasi pengembang perumahan. Hal yang menjadi
masalah, saluran drainase yang dibangun pada awalnya hanya untuk satu kawasan
perumahan dimanfaatkan juga untuk perumahan berikutnya yang berada di
belakangnya. Kondisi ini menyebabkan beban saluran drainase tidak mencukupi
dan terjadi limpasan/luapan banjir. Saluran drainase yang ada di kawasan
perumahan umumnya adalah saluran drainase jalan, mengingat pembangunan
saluran drainase biasanya dibuat di kiri dan kanan jalan sesuai dengan pola site
plan perumahan. Jadi tidak heran apabila terjadinya banjir bukan hanya
disebabkan alirannya tidak lancar tetapi bisa juga akibat luapan dari limpasan dari
sungai yang mengalami debit ekstrim dan menjadi efek balik ke areal perumahan.
Di satu sisi, Dinas BMSDA telah melakukan upaya pembangunan drainase
baru, tetapi karena kajiannya belum terpetakan dengan baik, maka hasilnya tidak
optimal. Untuk menyediakan kajian yang akurat, data time series tentang debit
pasang surut harus tersedia. Namun karena alat Automatic Water Level Recorder
(AWLR) rusak, maka data tidak tersedia. Akibatnya kapasitas drainase yang
dibangun, tidak berdasarkan data potensi limpasan yang akurat. Selain itu,
pemeliharaan drainase eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah
SDM dan anggaran. Ada baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam
pemeliharaan, sehingga beban pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan
pengendalian bencana 100% menjadi beban pemerintah. Pemerintah pun masih
mengedepankan pendekatan struktur atau fisik sebagai metode default.
Pendekatan sosial dalam sistem pengendalian banjir hanya nampak pada proses
pra bencana, ketika melibatkan masyarakat dalam konsultasi publik penyusunan
peraturan.
BNPB melalui aplikasi INARisk, telah mengidentifikasi daerah-daerah
yang sering dilanda banjir. Di Kota Bekasi daerah-daerah ini terletak di
Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, dan Medan Satria. Daerah di Kecamatan
Bekasi Selatan yang rawan terkena banjir adalah daerah yang dilewati Sungai
Bekasi. Namun daerah banjir di Kecamatan Bekasi Utara dan Medan Satria tidak
dilewati oleh Sungai Bekasi, Sungai Cakung, ataupun Sungai Cibitung. Hal ini
mengindikasikan adanya faktor lain yang menyebabkan banjir di daerah-daerah
tersebut (Syahnanda 2022).

Gambar 4. 25 Peta bencana banjir Kota Bekasi


Sumber: Inarisk.bnpb.go.id
Pada bulan Januari 2020 lalu telah terjadi banjir besar yang salah satunya
disebabkan oleh jebolnya tanggul di Perumahan Pondok Gede Permai. Kejadian
jebolnya tanggul ini, sudah kali ke-empat. Saat jebol terakhir Rabu 1 Januari
2020, kompleks perumahan tersebut banjir dengan ketinggian air hingga lebih dari
2 meter. Masih terjadi jebolnya tanggul di perumahan warga hal ini menandakan
sistem pencegahan bencana tidak berjalan. Selama ini BPBD Kota Bekasi
melakukan pendeteksian banjir dengan melakukan piket kesiapsiagaan bencana
banjir 24 jam setiap harinya saat musim penghujan (Oktober – Maret). Seluruh
informasi yang diperoleh dari stasiun pemantauan Sungai Cikeas dan Cileungsi
dikumpulkan ke dalam pusat data dan laporan melalui perangkat lunak sms-
gateway, informasi tersebut didistribusikan ke masyarakat melalui website dan
juga komunitas-komunitas, seperti Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C)
(Prihartanto dan Ganesha 2019). Selain melalui website dan komunitas,
penyebarluasan peringatan dini juga melalui grup Whatsapp, membunyikan sirine
peringatan, pengumuman langsung oleh aparatur setempat. Sistem pencegahan
bencana masih dilakukan secara manual, mengandalkan sensitivitas dan tanggung
jawab manusia. BPBD Kota Bekasi seharusnya mempertimbangkan penggunaan
teknologi Disaster Warning System (DWS) untuk menggantikan peilschall dalam
hal penggunaan alat early warning system. Di Australia, sistem peringatan banjir
untuk sungai melibatkan Bureau of Meteorology (BoM), jika di Indonesia
setingkat dengan BMKG. Biro ini yang memberikan prakiraan ketinggian air
sungai di lokasi tertentu kepada otoritas terkait, dan kepada publik melalui media
penyiaran dan situs web BoM. Pemerintah daerah atau layanan darurat negara
kemudian menginterpretasikan prakiraan BoM untuk memberikan informasi lokal
tentang area yang mungkin terkena dampak, potensi dampak, dan saran tindakan
kepada mereka yang berisiko. Pesan juga disebarluaskan ke seluruh komunitas,
terutama melalui jaringan pribadi atau informal. Media sosial (misalnya,
Facebook, Twitter) hampir pasti akan memainkan peran yang semakin penting di
masa depan. Sebenarnya, pada tahun 2018 pernah dicoba pemasangan 1 unit
sensor early warning system di hilir Sungai Cileungsi arah Sungai Bekasi tepatnya
di kecamatan Bantar Gebang. Alat ini merupakan uji coba penerapan smart city
ecosystem kerjasama dengan salah satu provider telekomunikasi nasional. Namun
karena tidak ada pemeliharaan yang berkelanjutan, alat tersebut sudah tidak
berfungsi dan sensor kembali ke sistem manual peilschall. Hal ini menunjukkan
tata kelola infrastruktur pengendalian bencana belum berjalan dengan baik. Selain
itu, pendekatan fisik memang sudah dirasakan kurang efektif bila tidak
dikombinasikan dengan pendekatan non fisik. Di Australia, sistem pengendalian
banjir tidak hanya menggunakan pendekatan hard, tapi juga menggunakan
pendekatan yang soft dengan melibatkan ilmu sosial. Namun, perbaikan sistem
tidak hanya bergantung pada penambahan pendekatan ilmu sosial, tetapi juga pada
kepemimpinan pemerintah dan kesadaran serta keterlibatan masyarakat
(Queensland Government, 2011).
Ilustrasi proses bisnis sistem pengendalian banjir Kota Bekasi disajikan
dalam Gambar 35. Dalam bagan tersebut teridentifikasi peran setiap stakeholder
dalam kondisi pra banjir, saat kejadian banjir dan pasca banjir. Secara struktural,
Pemerintah Pusat berwenang menyiapkan Undang-undang yang akan dijadikan
pedoman bagi pelaksanaan pengendalian banjir di daerah. Sesuai ruang lingkup
penelitian, Undang-undang yang menjadi pedoman adalah UU No 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup serta UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Berdasarkan
Undang-undang tersebut di atas, Pemerintah Provinsi Jabar menjabarkan dalam
Peraturan Daerah. Selanjutnya Pemerintah Kota Bekasi mendetailkannya ke
dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi.
Sesuai Perda No 11 Tahun 2014, Pemerintah Kota Bekasi membentuk
BPBD yang tugasnya menyelenggarakan penanggulangan bencana : pra bencana,
saat tanggap darurat dan pasca bencana. Petunjuk teknis dan pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Daerah No 6/2019. BPBD dalam prakteknya melakukan
a. Pelatihan dasar penanggulangan bencana.
b. Pengadaan persediaan kebutuhan logistik untuk korban bencana.
c. Sosialisasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada daerah rawan
bencana serta sosialisasi pada dunia pendidikan.
d. Bimbingan teknis penghitungan kerusakan dan kerugian pasca bencana.
e. Peningkatan kapasitas relawan melalui pelatihan baik yang diadakan oleh
BPBD Kota Bekasi, BPBD Provinsi, BNPB dan BASARNAS.
f. Pembuatan peta resiko bencana.
g. Mempersiapkan sarana dan prasarana yang digunakan untuk evakuasi korban.
h. Pengkoordinasian dinas lainnya pada hal assesment saat terjadi bencana, serta
evakuasi korban bencana bekerja sama dengan dari relawan peduli bencana.
Gambar 4. 26 Bagan proses bisnis pengendalian banjir eksisting

Adapun Dinas Tata Ruang bekerja dalam ranah pengendalian pemanfaatan


ruang, perizinan, pengawasan dan penertiban. Dinas Tata Ruang membantu
BKPRD mengordinasikan penataan ruang daerah sesuai Peraturan Daerah No
13/2011. Dalam ranah mitigasi, Dinas Tata Ruang melakukan penetapan batas
dataran banjir, pemanfaatan dataran banjir bagi RTH dan pengendalian
pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah melalui penyusunan
dokumen RDTR. Selanjutnya bersama dengan Satpol PP, menyusun ketentuan
pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum dan pengendalian kegiatan
permukiman.
Pengendalian banjir jika didekati dengan konsep ekologi, maka akan
diturunkan dalam aksi:
a. Pemanfaatan dan atau pencadangan SDA
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas atau fungsi LH
c. Pengendalian pemantauan serta pendayagunaan serta pelestarian SDA
d. Adaptasi & mitigasi perubahan iklim
Aksi-aksi tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1
Tahun 2012 dan diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi No 11 Tahun
2018, dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebagai pengampunya. Di level
ini, DLH bersama dengan Dinas Taru akan melakukan pertahanan fungsi RTH
dan pemulihan DAS. Aksi tersebut selain berkaitan dengan pengendalian daya
rusak air, juga berkaitan dengan upaya mitigasi banjir. Pada prinsipnya, pada
tingkat ini fokusnya adalah upaya pengendalian pemanfaatan sumber daya air
terutama sungai. Dalam pendekatan soft, bentuknya berupa izin atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sungai pada wilayah sungai. Dalam
pendekatan hard atau fisik, Dinas BMSDA membuat drainase dan bangunan
pengendali banjir serta kegiatan pemeliharaan sungai seperti peninggian tanggul
dan pengerukan lumpur atau sampah (pematusan).
Dalam tahap pasca bencana, kegiatan yang dilakukan meliputi rehabilitasi
infrastruktur, rehabilitasi sosial, pembangunan kembali konstruksi yang rusak dan
penggantian kerugian harta benda. Prosedur yang dilakukan BPBD Kota Bekasi
pada tahap ini sudah sesuai, hanya saja belum maksimal. Hal ini juga dinyatakan
Kusumasari (2014) dan Ferdiansyah et al. (2020). Menurut data yang bersumber
dari Rencana Strategis BPBD Kota Bekasi tahun 2018-2023 dan LKIP BPBD
2021, jumlah sumber daya manusia yang berstatus Pegawai Harian Lepas (PHL)
berjumlah 38 orang, dengan rincian laki-laki 35 orang dan perempuan 3 orang.
Pegawai Harian Lepas ini, 33 orang diantaranya adalah Satgas BPBD Kota Bekasi
yang terbagi kedalam 3 cluster, yaitu cluster rescue, cluster logistik, dan cluster
pusat data dan laporan. Sedangkan ASN berjumlah 12 orang dan Tenaga Kerja
Kontrak berjumlah 42 orang. Tentunya dengan jumlah satgas yang tersedia, dapat
dikatakan bahwa sumber daya manusia khususnya Satgas BPBD Kota Bekasi
masih belum cukup untuk menangani banjir di Kota Bekasi. Penyebab lainnya,
BPBD masih harus berkoordinasi dengan Dinas BMSDA untuk rehabilitasi fisik
dan Dinas Sosial untuk rehabilitasi sosial. Kendalanya, belum tentu tiap dinas
mengalokasikan anggaran untuk tanggap bencana.
Kegiatan yang patut diapresiasi adalah rehabilitasi psikis di posko-posko
bencana banjir dengan menggandeng pihak-pihak akademisi dan komunitas-
komunitas khususnya psikolog karena menurut Liu (2006) post traumatic stress
disorder (PTSD) pada korban banjir terjadi disekitar 8% sampai 9% dari korban
banjir dan risiko PTSD meningkat pada korban wanita serta orang lanjut usia.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat korban banjir
Kota Bekasi diketahui bahwa kegiatan rekonstruksi pembangunan kembali rumah
yang rusak, sejauh ini masyarakat menggunakan uang pribadi masing-masing dan
tidak mendapat dana bantuan apapun dari pemerintah. Dalam hal penggantian
kerugian, BPBD Kota Bekasi memang tidak membiayai semua kerusakan yang
terjadi hanya saja BPBD dapat memberikan dana stimulan untuk membangun
kembali rumah yang rusak akibat banjir. Hal ini tidak menyalahi aturan, karena
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 60 memang mengamanatkan agar
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Gagasan ini sejalan dengan
tujuan SDG 11 untuk membuat kota dan pemukiman manusia menjadi inklusif,
aman, tangguh, dan berkelanjutan. Prinsip untuk menjadikan kota-kota inklusif
adalah keragaman, partisipasi, dan pemerataan (Angelidou dan Psaltoglou 2017).
Artinya penguatan sosial dalam bentuk peningkatan pemahaman tentang banjir
dan adaptasi terhadap bencana menjadi perlu. Aspek ini layak menjadi target
peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bekasi ke depannya.
Pengendalian banjir Kota Bekasi dibandingkan dengan Kota Jakarta relatif
serupa. Koordinasi terjadi di setiap tingkat departemen/lembaga pemerintahan,
dipimpin di tingkat nasional oleh BNPB, dan oleh badan penanggulangan bencana
di tingkat provinsi dan kabupaten (Sunarharum et al. 2021). Mitigasi banjir
dilakukan dengan arahan penataan bangunan secara vertikal. Tujuannya untuk
mempertahankan luas ruang terbuka yang berfungsi sebagai serapan (Iskandar dan
Sugandi 2015). Sedangkan pendekatan fisik melalui penambahan kolam retensi,
serupa dengan Surat City-India (Waghwala dan Agnihotri 2019). Pendekatan fisik
juga dilakukan di beberapa kota besar di Jepang seperti Tokyo, Osaka dan
Nagoya (Alphen et al. 2011) serta kota besar di Belanda seperti Rotterdam,
Amsterdam dan The Hague (Ward et al. 2013).
Meskipun Jepang terkenal dengan negara maju, tetapi pengendalian
banjirnya pun belum optimal. Beberapa rencana pembangunan sarana
pengendalian banjir belum selesai dan masih jauh dari target seperti perbaikan
sungai untuk menahan hujan lebat kala ulang 100-200 tahun (Alphen et al. 2011).
Namun Jepang secara cerdik mengimbanginya dengan melakukan upaya intensif
non fisik seperti penyusunan dan pendistribusian peta rawan banjir serta
penyediaan informasi sungai pada saat banjir (Alphen et al. 2011).
Berbeda dengan Jepang, Belanda memiliki sistem tata kelola yang lebih
efektif. Banjir terjadi di Jepang setiap tahun, sedangkan di Belanda jarang terjadi.
Banjir besar terakhir terjadi di tahun 1953. Hal ini disebabkan pengendalian banjir
dilaksanakan oleh suatu badan pengelola air (waterboard) yang levelnya setara
walikota sangat efektif. Keuntungan dengan tata kelola seperti Belanda, dasar
hukum untuk standar perlindungan banjir relatif tinggi. Penilaian tiap 6 (enam)
tahun terhadap status pertahanan banjir memberikan masukan terhadap perbaikan
dan pemeliharaan yang diperlukan. Hal ini penting untuk pengambilan keputusan
politik tentang pendanaan dan prioritas. Namun sisi buruknya, standar yang tinggi
dan kurangnya pengalaman banjir menyebabkan kesadaran risiko banjir yang
rendah dari publik, politisi dan pemerintah. Dampaknya, anggaran yang
disediakan seringkali lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan riil (Alphen et
al. 2011; Ward et al. 2013).
Berdasarkan data-data serta fakta kejadian banjir diatas, maka dapat
diketahui bahwa BPBD Kota Bekasi membutuhkan manajemen bencana yang
baik untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan dalam penanggulangan
bencana banjir. Seperti halnya Kota Kuching-Sarawak, tantangan penting yang
harus dihadapi Kota Bekasi antara lain ketersediaan data yang lengkap juga
kontinu, pendidikan tentang risiko bencana, penyediaan sarana prasarana,
infrastruktur, sumber daya keuangan, dan proses perencanaan (Muzamil et al.
2022). Manajemen bencana terdiri dari semua perencanaan, pengorganisasian, dan
mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani semua fase bencana
sebagai peristiwa alam. Jika pemahaman tadi dikombinasikan dengan perspektif
administrasi publik, maka manajemen bencana bisa dimaknai sebagai langkah
penanggulangan bencana yang terlembaga berdasarkan kerangka kebijakan dan
diarahkan untuk mencegah dan meminimalkan dampak kerugian serta
meningkatkan kapasitas warga dalam menghadapi kejadian bencana. Selain itu,
BPBD Kota Bekasi juga harus bisa memastikan penanganan korban banjir sesuai
dengan prinsip-prinsip manajemen bencana secara adil dan merata dan tidak ada
pihak-pihak yang dirugikan.
Gambar 4. 27 Diagram Input dan Output

Permasalahan mengenai bencana banjir di Kota Bekasi selalu terjadi setiap


tahunnya apabila sudah memasuki musim penghujan dan kecamatan yang ada di
Kota Bekasi berpotensi direndam banjir. Walikota yang pernah menjabat belum
mampu menyelesaikan permasalahan banjir ini. Hal ini tentunya menjadi
pekerjaan bagi Pemerintah Kota Bekasi beserta instansi lainnya khususnya BPBD
Kota Bekasi untuk segera menemukan solusi kebijakan yang tepat untuk
fenomena tersebut. Dari sisi administrasi publik, faktor kepemimpinan merupakan
faktor yang rentan tidak hanya di Kota Bekasi tetapi hampir di seluruh bagian
Indonesia. Pergantian kepala daerah terkadang menimbulkan perubahan visi, misi
dan strategi pengelolaan kota. Hal ini yang perlu menjadi pertimbangan kebijakan
pengendalian banjir Kota Bekasi.
Berdasarkan analisis terhadap causal loop diagram, diketahui faktor-faktor
penyebab banjir dan bencana banjir. Hasil identifikasi kejadian banjir
menunjukkan bahwa sistem pengendalian banjir terdiri atas faktor-faktor input
yang dapat dikontrol dan tidak dapat dikontrol. Selanjutnya, dengan pendekatan
diagram input-output (Gambar 36) diketahui bahwa hasil pengolahan output tidak
terkontrol menghasilkan output yang dikehendaki melalui mitigasi banjir. Melalui
sistem ini pula, output yang tidak dikehendaki ditambah upaya FRM
menghasilkan input yang terkontrol.
Input tidak terkendali dalam sistem pengendalian banjir adalah curah hujan
dan keinginan bekerjasama dari setiap stakeholder (willingnes to collaboration).
Sementara output yang dikehendaki antara lain paparan banjir tidak semakin
meluas, kerugian material dan immaterial dapat diminimalkan serta yang
terpenting banjir tidak menjadi bencana. Untuk mencapai kondisi tersebut,
diperlukan upaya mitigasi berlandaskan UU Nomor 24 tahun 2007, UU Nomor 26
Tahun 2007, UU Nomor 32 Tahun 2009 dan UU Nomor 17 tahun 2019. Bentuk
mitigasi yang diperlukan antara lain sistem peringatan dini banjir yang efektif,
kampanye kesadaran publik yang tepat dan prakiraan banjir yang diperkuat.
Output mitigasi yang tidak dikehendaki selain beban pembiayaan
pemerintah yang meningkat, juga terjadinya dispute tata kelola pengendalian
banjir. Untuk mengatasi kondisi tersebut, diperlukan skema pengelolaan banjir
yang tepat dan memastikan serta memelihara kerjasama yang baik antar lembaga.
Hasil yang diharapkan dari siklus ini adalah input berupa anggaran pengendalian
banjir (APBN/APBD) dan tata kelola pengendalian banjir yang terkendali.

4.7 Kesimpulan
Genangan banjir Kota Bekasi setiap tahun semakin meluas, padahal
regulasi yang mengarah mitigasi bencana dan tata kelola pengendalian banjir telah
dikeluarkan. Hal ini disebabkan ketidaksinkronan penerbitan regulasi dengan
tersedianya kajian atau data spasial yang update. Selain itu, jeda penerbitan UU
dengan penerbitan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknisnya terlalu lama.
BPBD selaku dinas penanggung jawab pengendalian bencana tidak memiliki
kewenangan mengatur atau memerintah dinas lainnya, sehingga segala keputusan
tentang penggunaan anggaran untuk bencana akan bergantung kepada kebijakan
kepala dinas masing-masing.
Hasil penelitian menunjukkan pada tahap pra bencana tindakan mitigasi
dilakukan dengan memasang peilschall. Sistem pencegahan bencana masih
dilakukan secara manual, mengandalkan sensitivitas dan tanggung jawab manusia.
BPBD Kota Bekasi seharusnya mempertimbangkan penggunaan teknologi
Disaster Warning System (DWS) untuk menggantikan peilschall dalam hal
penggunaan alat early warning system. Dinas BMSDA juga telah berupaya
membangun drainase baru, tetapi karena rencana induknya belum terpetakan
dengan baik, maka hasilnya tidak optimal. Selain itu, pemeliharaan drainase
eksisting juga tidak optimal karena keterbatasan jumlah SDM dan anggaran. Ada
baiknya masyarakat turut dilibatkan dalam pemeliharaan, sehingga beban
pemerintah daerah dapat dibagi. Selama ini, urusan pengendalian bencana 100%
menjadi beban pemerintah. Pemerintah pun masih mengedepankan pendekatan
struktur atau fisik sebagai metode default. Pendekatan sosial dalam sistem
pengendalian banjir hanya nampak pada proses pra bencana, ketika melibatkan
masyarakat dalam konsultasi publik penyusunan peraturan. Sosialisasi tanggap
bencana sudah dilakukan tapi belum menyeluruh.
Selanjutnya pada saat bencana, BPBD belum bisa mengevakuasi warga
korban banjir Kota Bekasi secara maksimal. Pada tahap pasca bencana, BPBD
bersama Dinas BMSDA melakukan rehabilitasi pembersihan sampah dan lumpur
pasca banjir, serta melakukan trauma healing korban banjir bersama Dinas Sosial
dan Dinas Kesehatan. Masyarakat menggunakan uang pribadi masing-masing
untuk kegiatan rekonstruksi berupa pembangunan kembali rumah yang rusak.
Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa pelaksanaan penanggulangan banjir oleh
Pemerintah Kota Bekasi belum berjalan optimal. Langkah ke depan yang dapat
diusulkan adalah melakukan normalisasi kali atau sungai, membentuk kelurahan
tangguh bencana, mengoptimalisasi sarana prasarana serta meningkatkan tindakan
pemulihan. Direkomendasikan agar sistem drainase ditingkatkan di wilayah studi
kasus. Skema pengelolaan banjir yang tepat harus direncanakan, dan prakiraan
banjir harus diperkuat. Sistem peringatan dini banjir yang efektif harus dirancang
untuk mengaktifkan rencana tersebut, dan kampanye kesadaran publik yang tepat
harus dimulai untuk mendidik dan melatih masyarakat setempat untuk
menghadapi bencana tersebut. Disarankan juga untuk memastikan dan
memelihara kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga yang berbeda selama
bencana tersebut.

Matriks Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai