Anda di halaman 1dari 302

ORANG KETIGA

“Aku!”

“Tidak! Aku!”

“Aku.”

“Aku!!”

Mata sepasang pria itu saling menatap tajam. Ribuan kilatan petir bersahut-sahutan

dari mata mereka yang membara. Mereka bertolak pinggang saling menantang tidak

ada yang mau mengalah. Kedua tangan mereka sudah menggenggam pedang mereka

masing-masing.

“Hentikan! Sedang apa kalian?” Davies muncul dengan wajah panik. Ia cepat-cepat

memisahkan dua pria yang hampir tak berjarak itu. “Apa yang kalian pikir sedang kalian

lakukan!?”

“Jangan ikut campur!” Trevor dan Richie mendorong Davies.

“Kalau tentang Fulvia, aku harus ikut campur!” Davies berkata tegas, “Ia adikku.”

Trevor dan Richie saling bertatapan.

“Kalian pikir aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran kalian?” selidik Davies, “Aku

sudah bosan mendengar pertengkaran kalian.”

Davies duduk di kursi terdekat dan menyilangkan tangan di depan dadanya, “Silakan

melanjutkan.”

Telinga Davies telah terbiasa mendengar pertengkaran kedua pria itu. Matanya sudah

tak heran melihat kedua sepupu itu beradu pandang dengan penuh kemarahan dan

kecemburuan. Mulutnya sudah bosan melerai.


Entah sudah berapa ratus kali mereka bertengkar dalam minggu ini. Sudah ribuan kali

dalam bulan ini dan mungkin jutaan dalam tahun terakhir ini. Tidak ada yang

menghitungnya dengan jelas tetapi semua orang di tempat ini mendengarnya hampir

setiap saat.

Semua tahu apa yang mereka ributkan.

Semua terbiasa dengan pertengkaran ini.

Sejak kecil kedua sepupu ini telah bertengkar memperebutkan sepupu mereka yang

cantik dan manis, Fulvia. Andai Davies bukan kakak kandung Fulvia, mungkin ia juga

ikut dalam perebutan ini. Untungnya, mungkin, Davies adalah kakak Fulvia, kakak

kandung dan satu-satunya. Orang tua mereka semua tahu perebutan ini sejak mereka

masih kecil sudah ada dan tambah parah tiap tahunnya. Tetapi, entah mengapa

mereka bersikap pura-pura tidak tahu dan tidak mendengar.

Orang tua Davies pun tak mau campur tangan. Mereka hanya tertawa melihat

pertengkaran kedua sepupu itu dan berkata dengan tenang, “Tidak ada yang perlu

dikhawatirkan.”

Ayah Richie malah berpendapat unik. “Bukankah ini menarik?” katanya suatu ketika

melihat mereka mulai bertengkar lagi.

“Untuk apa dipusingkan?” kata ibu Trevor ketika Davies mengeluhkan meningkatnya

frequency pertengkaran kedua sepupu itu akhir-akhir ini.

“Pertengkaran antar keluarga itu biasa,” ayah Trevor malah berkata tenang.

Entah mengapa para orang tua dari ketiga keluarga ini selalu menganggap enteng

pertengkaran mereka.
Audrey, anak yang paling tua dalam ketiga keluarga ini juga tidak ingin campur tangan

dalam perebutan yang kekanak-kanakan, dalam bahasanya, ini.

Hanya Davies yang selalu turun melerai bila dua pria ini mulai bertengkar

memperebutkan Fulvia.

Tapi akhir-akhir ini ia semakin malas. Pasalnya, mereka semakin sering bertengkar!

Pertengkaran mereka tidak akan ada akhirnya hingga Fulvia memilih seorang di antara

mereka atau mungkin Fulvia menikah dengan orang lain. Tetapi keduanya tampaknya

mustahil. Setidaknya ketika Fulvia tidak menunjukkan minatnya pada seorang pria pun.

Fulvia, adiknya yang manis, adiknya yang tercantik dan paling dikasihinya itu tidak

pernah Nampak bersama pria lain selain kedua sepupunya atau dirinya sendiri. Bukan

karena lingkungan pergaulan Fulvia penyebabnya tetapi karena kedua sepupu itu

takkan membiarkan pria lain mendekati Fulvia.

Davies tahu sikap kedua sepupu itu pula yang menjauhkan kaum adam yang ingin

mendekati Fulvia itu.

Sebenarnya, Davies tidak menyukai sikap kedua sepupu itu terhadap adiknya yang

terlalu melindungi itu. Tetapi Davies juga tidak suka bila Fulvia didekati oleh pria yang

hanya ingin mempermainkannya atau pria yang hanya tertarik pada kecantikannya saja.

Di pihak lain, Davies tidak yakin Fulvia tahu kedua kakak sepupunya sering bertengkar

memperebutkan cintanya.

Walau mereka sering bertengkar tapi kedua pria ini pandai memilih tempat dan waktu.

Mereka hanya bertengkar ketika Fulvia tidak ada di sekitar mereka dan ketika Fulvia

cukup jauh untuk mendengar pertengkaran mereka.

“Siapa yang pantas untuk Fulvia?” dua pria itu menyerbu Davies.
Davies terkejut.

“Aku?”

“Tidak, aku!”

“Bukan! Aku, Davies.”

“Pusing aku melihat kalian,” keluh Davies, “Mengapa kalian tidak bertanya pada Fulvia

siapa yang

lebih ia sukai?”

“Kalau ia menunjuk dia, aku bagaimana?” protes keduanya – saling menunjuk.

“Pusing aku. Pusing!!!” Davies memegang kepalanya, “Kalau kalian takut pada jawaban

Fulvia, tanya

orang lain.”

Kedua pria itu menatap Davies lekat-lekat.

Melihat gelagat tidak enak, cepat-cepat Davies menambahkan dengan tegas, “Jangan

aku! Aku tidak

mau. Aku menolak!”

Trevor saling berpandangan dengan Richie.

“Carilah orang yang lebih mengerti tentang hal ini.”

Kedua pria itu terus saling memandang sambil berpikir keras.

“Kusarankan mencari orang yang mengerti tentang wanita.”

Kedua sepupu itu terdiam. Mereka berpikir keras.

“Irving!” seru mereka bersamaan.

“Irving?” Davies keheranan, “Mengapa harus Irving?”

“Katamu pria yang mengerti wanita.”


Davies kebingungan diserbu dua pria itu. “Apakah aku mengatakan pria?”’ tanya Davies

lebih pada dirinya sendiri.

“Ia pasti bisa tahu siapa yang lebih disukai Fulvia di antara kita,” Trevor bersemangat.

“Ia pasti tahu siapa di antara kita yang lebih cocok untuk Fulvia.”

Mereka saling memandang. Dalam pandangan mereka tersirat kepercayaan diri untuk

menang. Mata mereka berkata, “Pasti aku yang lebih pantas untuk Fulvia.”

“Terserah pada kalian,” Davies memotong jalan pandangan dua pria itu dan terus

menuju pintu. Di pintu, Davies berhenti dan membalikkan badan, “Sampai kalian tahu

siapa yang lebih pantas untuk Fulvia, jangan bertengkar! Semua orang sudah bosan

mendengarnya.”

“Bosan apa?” kepala cantik muncul di pintu dengan senyum cerianya. Mata biru

keunguannya menatap ketiga pria itu dengan penuh ingin tahu.

“Tidak ada apa-apa,” sahut Trevor dan Richie bersamaan.

Fulvia menatap kakaknya. “Mereka bosan padaku?”

“Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan, Fulvia. Mereka tidak akan pernah bosan

padamu,” Davies menepuk kepala Fulvia dengan lembut, “Engkau anak yang cantik

dan manis.”

“Benar,” Trevor mendekati Fulvia.

“Ayo kita pergi,” Richie menarik Fulvia.

Lagi-lagi mata dua pria itu bertemu. Fulvia memeluk tangan kedua pria itu. “Aku sayang

kalian.”

Itulah Fulvia. Tak heran Davies melihat Trevor dan Richie selalu bertengkar. Fulvia

sangat cantik dan manis. Ia juga menyayangi keduanya tanpa pernah membedakan. Ia
memberi sesuatu pada Richie, ia pun memberi hal yang sama pada Trevor. Tak jelas

siapa yang lebih disukai Fulvia di antara mereka.

Sejak kecil mereka berempat selalu bermain bersama dan bersenang-senang bersama.

Fulvia sangat dimanja oleh kakaknya dan kakak-kakak sepupunya itu. Ketiga pria itu

bagaikan pengawal Fulvia yang tampan.

Dengan semakin bertambahnya tahun, hubungan Fulvia dengan sepupunya semakin

erat. Kedua sepupu itu semakin mendominasi Fulvia dari kakaknya sendiri. Perlahan-

lahan Davies disingkirkan dari persahabatan mereka. Sekarang Davies hampir tidak

pernah lagi ada di antara mereka. Setiap Fulvia muncul, kedua sepupu itu segera

mengajak Fulvia pergi dengan meninggalkan Davies seorang diri. Mereka seperti tidak

sadar telah menjauhi Davies. Davies menghela dalam-dalam.

Sebenarnya ia tidak suka mereka meminta bantuanIrving. Tapi apa yang dapat

dilakukan? Kedua pria itu benar. Dengan reputasinya menyakiti hati para gadis yang

menggunung dan berganti-ganti kekasih,Irvingpasti sangat mengenal sifat wanita.

Irving mungkin bisa membantu menghentikan pertengkaran kedua sepupu itu yang

seperti tidak ada akhirnya. ‘Semoga,’ Davies berharap.

-----0-----

“Malam ini ada pesta…”

“Dengan siapa kau pergi?” potong kedua pria itu.

Fulvia menatap mereka bergantian.

“Dengan aku saja,” Richie mendahului.

“Tidak! Dengan aku saja.”

“Aku akan pergi dengan Davies,” Fulvia mengecewakan keduanya.


“Jangan!” mereka serempak menyahut.

“Mengapa?” Fulvia menatap mereka dengan bingung.

“Kau tahu Davies mencintai Margot. Ia ingin mendapatkan perhatian Margot.”

“Lalu mengapa?” Fulvia bertanya polos – matanya yang selalu bersinar ceria menatap

Trevor.

“Kalau Margot melihatmu bersama Davies, apa yang ada dalam pikirannya?”

“Davies adalah kakakku,” protes Fulvia manja.

“Kalau kau terus menempel, bagaimana Davies dapat mendekati Margot?” Richie

menjentik hidung

Fulvia.

Mata Fulvia berpindah-pindah dari wajah kedua pria itu. “Benar juga.”

“Kamu akan menemanimu,” Richie menawarkan.

Trevor menatap tajam Richie.

Mata Richie membalasnya dengan isyarat untuk diam.

Fulvia menatap mereka dengan curiga. Ia mengenal baik watak kedua sepupunya ini.

Mereka tidak

pernah akur!

“Malam ini kami yang akan menemanimu. Boleh?”

Kepala Fulvia berpindah pada Trevor. Lalu pada Richie. “Baik,” Fulvia memeluk tangan

kedua

sepupunya, “Aku senang pada kalian.”

Kedua pria itu saling bertatapan. Mereka tahu ada yang harus mereka bicarakan

setelah ini dan


sebelum menemani Fulvia ke pesta. Sesuatu yang sangat penting.

Kemunculan pesta ini mempermudah pekerjaan Trevor juga Richie. Mereka tak perlu

mengatur

pertemuan Fulvia danIrving.

Irvingjuga pasti diundang ke pesta itu karenaIrvingadalah putra tunggal Duke yang

cukup berpengaruh.

Dan, semua orang tahu keberadaanIrvingbisa meramaikan suasana.

Setiap gadis yang mendengarIrvingakan hadir dalam pesta itu, pasti akan hadir. Mereka

akan

berlomba-lomba mendapatkan perhatian pria gagah yang tampan itu. Semua kecuali

Fulvia.

Fulvia bisa dikatakan tak pernah mengetahui keberadaanIrvingdi dunia ini. Mungkin ia

pernah

mendengar nama putra tunggal keluarga Engelschalf. Tapi ia takkan mempedulikannya

karena ia telah

mempunyai tiga pria tampan yang selalu berada di sisinya.

Sungguh aneh. Reputasi Irving dengan kekasihnya yang selalu berganti-ganti telah

tersebar di seluruh

pelosok terutama para wanita bangsawan yang suka bergosip. Tapi masih ada yang

ingin mendapatkan

perhatianIrving. Banyak lagi!

Apa boleh buat.Irvingmemang tampan. Ia juga satu-satunya calon penerus Duke of

Engelschalf.
Tampan, gagah juga kaya dan berkuasa. Gadis mana yang tidak tertarik pada pria itu?

Kekurangan Irving adalah sikapnya yang tidak setia. Tetapi tidak ada yang

mempedulikannya.

Di abad pertengahan ini tidak heran seorang pria kaya dan berkuasa beristri banyak.

Raja-raja negeri

di timursanajuga memiliki banyak selir. Mereka bangga dengan istri mereka yang

banyak itu. Dan, para

wanita itu bangga menjadi istri orang yang berkuasa walau hanya sebagai selir.

Seorang Raja tampak

semakin berkuasa dan kuat bila ia beristri banyak. Itulah pemikiran utamanya. Seorang

penguasa tampak

semakin berjaya dengan para selir mereka yang banyak.

Mereka tidak sadar istri yang banyak itulah yang dapat menjadi sebab perpecahan

suatu kerajaan

bahkan kehancuran sebuah kerajaan.

Ketika permaisuri dapat memberikan putra mahkota, tak ada masalah yang

menakutkan. Tapi bila yang

terjadi sebaliknya, akibatnya akan sangat fatal. Dari selir yang mempunyai anak laki-laki

akan berebut

menjadikan putra mereka sebagai putra mahkota. Bahkan para selir itu akan bersaing

demi mendapatkan

perhatian Raja yang lebih besar. Karena bila mereka mendapat perhatian yang semakin

besar, kedudukan
mereka akan semakin terangkat. Tak jarang pula para selir ini mempengaruhi raja

dalam membuat

keputusan demi kepentingan mereka sendiri. Semakin raja percaya padanya dan

semakin raja

menyayanginya, pengaruhnya bisa lebih besar daripada sang permaisuri.

Di Eropa sedikit berbeda. Walau pengaruh agama Katolik terasa sangat kuat di Eropa,

tidak menutup

kemungkinan terjadi seorang pria kaya beristri banyak. Bahkan, secara sembunyi-

sembunyi mereka

memperistri wanita lain.

Sifat perkawinan Katolik yang suci tampaknya tak banyak mempengaruhi. Satu dan tak

terpisahkan.

Tapi ada yang berpisah untuk menikah dengan wanita lain.

Satu suami banyak istri ini tampaknya telah menjadi suatu kebudayaan yang sulit

dihilangkan bahkan

terkesan seperti sebuah budaya yang telah diturunkan dari jaman kuno dan akan terus

diturunkan hingga

kapan pun.

“Fulvia! Fulvia, di mana kau?”

“Mama memanggilku,” Fulvia menoleh pada kedua pria itu.

“Pergilah,” sahut Trevor – menatap tajam Richie.

Keduanya siap bertengkar tapi mereka menanti sampai Fulvia masuk ke dalam ruang

tempat Countess
berada.

Ketika Fulvia masuk ke dalam ruang yang serambinya menghadap taman itu, Trevor

mencengkeram

leher baju Richie. “Apa maksudmu dengan kami?”

“Sabar,” Richie menenangkan, “Dengarkan dulu penjelasanku.”

“Penjelasan apa!?”

“Kita berencana minta bantuanIrvingbukan?”

“Ya. Lalu?”

“Kalau Irving tidak melihat sikap Fulvia pada kita berdua, bagaimana ia tahu? Aku tak

setuju bila ia

hanya bersamamu ketikaIrvingmenilai dan engkau pasti tak senang Fulvia bersamaku.”

Trevor melepaskan Richie.

“Karena itu kupikir lebih adil bila ia melihat kita bersama Fulvia.”

“Kita harus menemuiIrvingsebelum kita bertemu di pesta nanti.”

“Sebaiknya kita berdua yang menemuiIrving. Aku curiga engkau membujukIrvinguntuk

memihakmu.”

“Setuju!” sahut Trevor, “Aku juga curiga kau akan membujukIrvingmemihakmu.”

“Kita sepakat setelah ini kita menemuiIrving”

“Aku sepakat.”

Fulvia mendekat dengan perasaan bersalah. “Mama memintaku menemaninya pergi.

Aku tidak dapat

menemani kalian.”

“Sayang sekali,” ujar Richie.


“Kami tak apa-apa. Pergilah bersama Bibi Kylie. Nanti kami akan menemuimu sebelum

berangkat ke

pesta.”

“Benar, kami juga harus bersiap-siap.”

“Terima kasih,” Fulvia memeluk dua pria itu, “Kalian sungguh pengertian.”

Richie dan Trevor saling bertatapan.

“Kami harus pergi sekarang,” kata mereka bersamaan. Keduanya bergantian mencium

pipi Fulvia.

“Selamat tinggal,” Fulvia melambaikan tangan – mengantar kepergian mereka.

Mereka membalasnya lalu bergegas pergi.

“Jangan mendahuluiku,” kata mereka bersamaan.

“Kita akan pergi bersama-sama,” Richie menegaskan.

“Kalau ada yang mendahului, berarti ia kalah,” tambah Trevor.

“Dan dia tidak boleh mendekati Fulvia lagi selama-lamanya,” Richie setuju.

Keduanya bergegas menuju istal – tempat kuda mereka ditambatkan.

-----0-----

“Apa yang harus saya lakukan, Tuan Muda?” tanya Pedro.

Irvingduduk tegak di meja bacanya. Tangannya memegang selembar kertas dengan

tulisan tangan yang

rapi. Mata Irving terangkat dari kertas itu dan tangannya langsung meremasnya.

“Kirimkan bunga mawar

merah.”

“Segera hamba laksanakan, Tuan Muda,” Pedro membungkuk.


‘Seorang lagi,’ pikir Pedro ketika meninggalkan Ruang Belajar. Entah ini bunga mawar

keberapa

dalam minggu ini. Ia sudah tidak dapat menghitungnya lagi.

Pedro tahu jelas apa arti bunga mawar merah ini.

Ketika seorang wanita menerima bunga mawar merah itu, mereka akan

mengiraIrvingtelah menerima

perasaannya tetapi mereka salah. Bunga mawar merah yang berduri itu, bagiIrving,

adalah sebuah tanda

perpisahan.

Tanda dia tidak mau lagi berhubungan dengan mereka.

Tanda jarak di antara mereka telah dibatasi oleh duri-duri yang tajam.

“Yang Mulia Duke tidak akan suka melihat ini,” gumam Pedro lebih lanjut.

Baru saja Pedro tiba di Hall ketika ia mendengar pintu diketuk.

Segera pria tengah baya itu membukakan pintu.

“Selamat siang,” sapa Trevor.

“Selamat siang,” Pedro tidak dapat menutupi kebingungannya melihat dua pemuda

berpakaian rapi di

depannya itu.

“Kami datang untuk menemuiIrving,” Richie langsung berkata tanpa perlu ditanyai,

“Apakah ia ada?”

“Apakah Anda mempunyai janji dengan Tuan Muda?”

“Tidak,” jawab Trevor, “Ini adalah urusan penting dan mendadak. Saya yakinIrvingtidak

akan
menolaknya.”

Pedro menatap dua orang itu dengan curiga. “Bila Anda berkenan, dapatkah Anda

memberitahu saya

siapa Anda berdua?”

“Saya adalah putra bungsu Count Garfinkelnn, Trevor” Trevor memberitahu.

“Saya adalah putra tunggal Earl of Ousterhouwl, Richie” kata Richie.

“Silakan masuk, M’lord,” Pedro mempersilakan mereka, “Saya akan memberitahu Tuan

Muda atas

kehadiran kalian.”

“Terima kasih,” kata mereka bersamaan.

Pedro tidak tahu apakahIrvingakan senang dengan kunjungan ini.

Pedro tahuIrvingpaling tidak suka diganggu ketika ia sibuk. Dan Irving paling tidak suka

dengan

kunjungan mendadak yang tidak direncanakan seperti ini.

Langkah-langkah kaki Pedro langsung membawa mereka ke Ruang Baca

tempatIrvingberada sekarang.

Dengan was-was Pedro mengetuk pintu.

Ia langsung masuk begitu mendengar sahutanIrvingdari dalam.

“Apa apa, Pedro?”

Dari nadanya, Pedro tahuIrvingmerasa terganggu.

“Maafkan saya menganggu Anda, Tuan Muda,” kata Pedro sopan, “Putra Count

Garfinkelnn dan Earl

of Ousterhouwl ingin bertemu dengan Anda.”


“Aku tidak mempunyai janji dengan mereka,”Irvingtidak terlalu berminat untuk menemui

mereka.

“Mereka ingin merundingkan sesuatu yang mendesak dan serius dengan Anda, Tuan

Muda.”

Irvingmenutup buku yang sedang dibacanya, “Bawa mereka menghadapku.”

“Selamat siang,Irving,” Richie memberikan salamnya.

“Kuharap kami tidak menganggumu,” kata Trevor pula.

“Kalian telah merusak kegiatanku,” kataIrvingacuh.

Trevor tertawa. “Kau masih saja tetap suka berterus-terang.”

“Apa yang membawa kalian ke sini?”

“Kami ingin kau membantu kami,” kata Richie.

Irvingmenatap kedua pria itu dengan was-was.

“Kurasa kau telah mendengar masalah di antara kami,” kata Trevor.

“Burung-burung di udara pun menyebarkan perselisihan kalian,” sambutIrvingdingin.

Lagi-lagi Trevor tertawa. “Bila demikian halnya, aku akan langsung saja ke pokok

permasalahannya.

Kau tahu perselisihan kami tidak akan berhenti sebelum Fulvia memilih seorang di

antara kami. Tetapi

Fulvia tidak pernah mau memilih. Kami pun juga tidak dapat menentukan siapa yang

lebih disukai Fulvia

di antara kami.”

“Karena itulah kami ingin kau membantu kami,” kata Richie antusias.

“Kami percaya kau pasti dapat membantu kami.”


“Mengapa aku harus membantu kalian!?”Irvingtidak suka. “Aku tidak ingin campur

tangan dalam

urusan kalian. Aku menolak!”

Trevor tersenyum mendengar tolakan tegas itu.

“Kami juga tidak ingin memaksamu bila kami mempunyai pilihan lain,” kata Trevor.

“Seseorang harus melakukan sesuatu sebelum sesuatu yang buruk terjadi,” timpal

Richie.

“Kurasa kita telah jelas,”Irvingberkata dingin, “Ini tidak ada hubungannya denganku.

Dan mengapa

pula harus aku? Kalian bisa mencari orang lain. Aku tidak berminat.”

Irvingbenar-benar tidak berminat membantu mereka berdua. Ia tidak berminat untuk

mencampuri

urusan orang lain. Ia bukan orang yang suka campur tangan dalam affair orang lain.

Biarlah semua pria di dunia ini musnah hanya karena seorang wanita.

Biarlah seisi dunia ini saling membantai demi seorang wanita.

Biarlah sejarah Trojan terulang lagi.

Irvingtidak peduli selama mereka tidak mengusiknya.

Irvingcukup puas dengan kehidupannya saat ini dan ia tidak tertarik untuk mencari

masalah maupun

terlibat dalam masalah orang lain.

Dan, kedua pria yang sekarang berdiri di depannya ini…

Siapa yang tidak tahu mereka? Siapa yang tidak pernah mendengar cinta segitiga

mereka dengan
sepupu mereka?

Semua tahu. Semua pernah mendengar bagaimana kedua pria ini terus berebut

sepupu mereka yang

manis.

Irvingtidak tahu siapa gadis itu tetapiIrvingtahu seperti apa gadis binal semacam itu.

Irvingtidak pernah bertemu gadis itu tetapiIrvingtelah menjumpai banyak wanita seperti

itu.

Irvingtidak mengerti bagaimana kedua pria ini bisa terjerat oleh wanita seperti

itu.Irvingtidak yakin

kedua pria ini sadar mereka telah jatuh dalam perangkap gadis licik itu.Irvingpercaya

mereka tidak sadar

gadis itu sedang tertawa riang di atas perselisihan mereka.

Bukankah itu ciri umum para wanita?

Wanita mana yang tidak tertarik untuk mencari seorang pria kaya yang dapat

menghidupinya dan

menghidupi impian-impiannya? Wanita mana yang tidak bangga atas pertengkaran dua

pria hanya untuk

memperoleh dirinya?

Irvingtidak percaya wanita semacam itu ada.

Bila mereka tidak ada, mengapa banyak wanita yang rela menjadi selir raja? Mengapa

banyak wanita

yang rela menjadi simpanan pria lain? Mengapa banyak wanita yang suka berselingkuh

dengan pria lain?


Irvingtahu persis hal itu.

Di antara sekian wanita banyaknya wanita yang melintas dalam hidupnya, ada banyak

wanita yang

telah bersuami.Adapula wanita binal yang dengan jelas-jelas menunjukkan tujuan

mereka mendekatinya.

Irvingjuga tidak segan menghabiskan malam bersama mereka. Apa pun yang kelak

terjadi oleh affair

mereka bukanlah urusannya. Wanita-wanita itulah yang mencarinya dan ia hanya

memanfaatkannya untuk

memuaskan dirinya sendiri.

Bukanlah masalah besar baginya untuk bermain dengan satu wanita di malam ini dan

berkencan

dengan wanita lain di pagi harinya.

Irvingtahu kaum hawa itu akan rela melakukan apa saja hanya untuk mendapatkannya.

Irvingsadar benar akan keadaannya, akan pesonanya, akan kekuasaannya, akan

kharismanya yang

menaklukan para wanita itu.

Irvingtahu posisinya dan ia tahu bagaimana menggunakannya untuk memuaskan

dirinya sendiri.

Dan mereka tidak tahuIrvingtidak akan pernah membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan

mereka.

Ia adalah miliknya sendiri dan hanya dia seorang!

Dan dua pria ini…


Irvingmemandang mereka dengan tidak senang. Mengapa mereka mencarinya hanya

untuk terlbat

dalam cinta segitiga mereka?

“Karena hanya kau yang bisa,” jawab Richie penuh antusias.

“Kami telah memutuskan hanya pria yang memahami wanita yang dapat memberikan

jawabannya pada

kami,” kata Trevor pula.

“Dan orang itu adalah kau,” mereka berkata serempak.

“Aku sungguh tersanjung. Sayangnya, aku tidak tertarik. Aku tidak berminat.”

“Jangan bersikap seperti itu,Irving,” bujuk Trevor, “Kau pasti dapat membantu kami.”

“Kau hanya cukup melihat bagaimana sikap Fulvia pada kami dan memberitahukan

pendapatmu pada

kami.”

“Aku tidak tertarik,”Irvingmenuju kursinya dan mengambil buku yang sedang dibacanya

sesaat

sebelum mereka mengusiknya itu.

“Ini tidak akan merepotkanmu,” bujuk Richie, “Kau hanya perlu mengamati. Kau hanya

butuh

mengamati sikap Fulvia. Aku yakin ini tidak akan menyita waktumu.”

“Aku bahkan yakin kau akan bisa mendapatkan jawabannya dalam sekejap.”

“Apa kau pikir aku seorang peramal?”Irvingmenatap tajam Trevor.

“Tidak, aku tidak mengatakannya,” Trevor cepat-cepat membela diri, “Tapi dengan

pemahamanmu
terhadap wanita itu, aku yakin kau bisa mengetahuinya begitu kau bertemu Fulvia.”

Irvingmenatap tajam kedua pria yang berdiri di depan meja bacanya dengan antusias

itu.

Mereka begitu yakin ia akan membantu mereka.

Mereka begitu pasti ia akan dapat melihat siapa di antara mereka berdua yang lebih

dicintai sepupu

mereka itu.

Irvingtelah mengatakan berulang kali ia tidak berminat. Ia tidak tertarik untuk terlibat

dalam cinta

segitiga mereka. Ia tidak peduli cinta segi berapa pun yang dimiliki mereka.

Irvinghanya tahu ia tidak akan tertarik pada gadis semacam itu.

Gadis yang jelas-jelas menikmati perseteruan di antara dua pria hanya untuk

memperebutkannya

bukanlah tipe gadis dengan siapaIrvingakan berkencan.

Tapi kedua pria ini…

Kedua pria ini benar-benar membuatnya tidak nyaman. Ia sudah mulai muak dengan

kehadiran mereka.

Ia sudah mulai bosan dengan bujukan-bujukan mereka.

Irvingtahu kedua pria ini akan terus di sini mengganggunya selama ia tidak menyetujui

mereka. Maka

dengan terpaksa,Irvingberkata,

“Aku akan mempertimbangkannya.”


“Kami percaya kau akan,” kedua pria itu langsung menggenggam tangannya dengan

mata mereka yang

berbinar-binar.

Cara keduanya memandangnya benar-benar membuatIrvingingin cepat-cepat mengusir

keduanya dari

tempat ini.

Mereka bukanlah teman dekat tetapi mereka saling mengenal. Keluarga mereka telah

saling mengenal

sejak berabad-abad lalu. Dan kedua pria ini bersikap seolah-olah mereka adalah teman

akrab!

“Kami akan menantimu di pesta malam ini,” Trevor memberitahu.

“Fulvia akan datang dalam pesta nanti,” terang Richie, “Kami akan memperkenalkan

kalian di pesta

itu.”

Irvingterkejut. Kedua pria ini tampaknya sudah merencanakan semuanya dengan baik

sebelum datang

ke Nerryland. Dan mereka yakin sekali rencana mereka akan berhasil.

“Kita akan berjumpa lagi dalam pesta nanti malam,” kata mereka sebelum

meninggalkan Ruang Baca.

Kedua sepupu itu pasti tidak akan melepaskannya dengan mudah sebelum ia

menjawab pertanyaan di

antara mereka itu.Irvingtahu itu dan ia ingin segera cepat-cepat menyelesaikannya dan

kembali pada
kehidupannya yang tenang.

Dan sekarang, di sinilah ia berada, di antara dua sepupu yang mengapitnya seakan-

akan takut ia kabur

dan gadis yang menjadi penyebab semua ini di depannya.

Fulvia menatapIrvinglekat-lekat.

Irvingtidak suka cara Fulvia menatapnya.

“Anda tidak seperti yang saya dengar,” Fulvia tersenyum, “Tapi juga tidak jauh meleset

dari perkiraan

saya.”

Irvingtidak menanggapi.

“Sepertinya mereka mempunyai alasan mengenalkan Anda pada saya,” Fulvia menatap

kedua kakak

sepupunya.

Trevor serta Richie kaget mendengarnya.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak,” Trevor langsung berkelit.

“Benar,” Richie langsung menambahkan, “Apakah kau tidak suka mempunyai seorang

teman baru?”

“Kalian…,” Fulvia mendesah, “Kadang aku tidak mengerti apa yang kalian rencanakan.”

Kedua pria itu terperanjat. Mereka tertawa.

“Nah, M’lord,” Fulvia menatapIrvingpenuh harap, “Maukah Anda menemani saya

sepanjang pesta

ini?” Irvingterkejut. Seumur-umur, baru kali ini ia diajak seorang gadis.


Kedua kakak sepupu Fulvia juga tidak kalah kagetnya dengan ajakan Fulvia yang

berani itu.

Richie menyikut Trevor. Matanya mengisyaratkan untuk membujukIrvingmenerima

ajakan itu.

“Benar. Benar,” Richie langsung menanggapi, “Mengapa kalian tidak memperdalam

hubungan

kalian?”

Irvingmenatap tajam Richie.

Richie langsung pura-pura tidak melihatnya.

‘Kalian ingin aku segera menyelesaikan tugas?’ pikirnya sinis, ‘Jangan khawatir. Aku

juga tidak ingin

berlama-lama terlibat dengan kalian.’

“Dengan senang hati, Lady Fulvia,” ia membungkuk, meraih tangan Fulvia dan

menciumnya.

Fulvia tersenyum senang. Ia segera menyambut uluran tanganIrvingdan berjalan di sisi

pria itu ke

lantai dansa.

“Terima kasih,” bisik Fulvia ketika mereka sudah cukup jauh bagi Trevor dan Richie

untuk mendengar

kata-katanya.

Irvingmengabaikannya.

“Anda membantu saya menyelesaikan masalah saya yang paling merepotkan,” Fulvia

menjelaskan.
Irvingmulai tidak mengerti arah pembicaraan gadis ini.

“Saya tidak akan tahu harus bagaimana menghadapi mereka berdua bila Anda tidak

muncul,” Fulvia

menjelaskan lebih lanjut, “Mereka akan mulai bertengkar bila Anda tidak muncul.”

Irvingmelirik tajam Fulvia. Seperti dugaannya, gadis ini tahu dan tampaknya ia masih

ingin terus

menikmati pertengkaran kedua orang itu.

Fulvia melirik ke belakang. Ia melihat kedua kakak sepupunya itu sudah pergi dari

tempat itu.

“Terima kasih,” Fulvia menarik tangannya dari sikuIrving, “Dari sini saya sudah bebas.”

“Apa yang akan kau lakukan?” kata-kata itu terlompat begitu saja ketikaIrvingmelihat

gadis itu seperti

seekor burung yang siap untuk terbang bebas.

“Saya rasa saya akan pulang,” kata Fulvia, “Saya tidak ingin berlama-lama di sini.”

Irvingtidak mengerti.

“Sekali lagi, terima kasih, M’lord,” Fulvia memberi hormat lalu ia berbalik meninggalkan

tempat itu.

Kedua kakak sepupunya itu telah menghilang dalam kerumunan para tamu.

Tampaknya mereka telah

benar-benar melupakannya. Davies juga sibuk menemani Lady Margot. Sementara itu

kedua orang tuanya

entah berada di sisi mana dari bangunan ini.


Fulvia merasa sudah tidak ada gunanya ia berada di tempat ini. Ia telah menyelesaikan

tugasnya

menemani kedua orang tuanya dan menghormati sang tuan rumah dengan datang ke

pesta ini. Ketiga

kakaknya juga sudah mendapatkan kesibukan mereka sendiri-sendiri.

Sekarang ia bisa pulang dengan tenang.

Langkah-langkah kaki Fulvia terhenti. Perasaannya tidak mungkin salah.

Kini ia telah berada jauh dari Hall tempat di mana pesta itu diselenggarakan. Serambi

tempatnya

berdiri juga sepi tetapi ia tetap dapat mendengar langkah-langkah kaki yang berat di

belakangnya.

‘Seseorang mengikuti!’ insting Fulvia memperingatinya.

Fulvia membalik tubuhnya. “M’lord!?” Fulvia kaget, “Mengapa Anda di sini?”

Irvingjuga tidak mengerti mengapa ia mengikuti gadis itu. “Kurasa aku telah berjanji di

depan kedua

kakak sepupumu untuk menemanimu sepanjang pesta ini.”

Fulvia melihat ke dalam gedung. “Mereka tidak akan suka melihat Anda berada di luar

bersama

seorang gadis ingusan seperti saya.”

Irvingterkejut mendengar tanggapan tidak terduga itu.

“Tidak ada hubungannya denganku,” tanggapIrvingacuh.

“Jadi itu benar,” Fulvia tersenyum geli.

Irvingtak ingin menanggapi.


“Terima kasih Anda sudah menemani saya sampai di sini,” kata Fulvia sopan, “Dari sini

saya bisa

pulang sendiri.”

Sesuatu memperingatiIrving. “Kau akan pulang sendiri?”

“Jangan khawatir,” Fulvia tersenyum, “Kereta kami akan mengantar saya pulang.”

Tiba-tiba sajaIrvingmerasa begitu bodoh. Bagaimana mungkin gadis manja sepertinya

pulang sendiri

di malam buta seperti ini?

Irvingtidak menahan juga tidak melarang Fulvia pergi meninggalkannya ke halaman

belakang.

Derap kaki kuda terdengar kian mendekat.

“Seorang lagi gadis manja,” katanya berlalu dari serambi.

Kaki-kaki kuda itu mulai beranjak menuju pintu gerbang.

Tiba-tibaIrvingmerasa asing. Sesuatu… sesuatu membuatnya was-was.

Irvingberbalik.

Di pintu gerbang tampak sesosok gadis melacu kudanya dengan cepat.

“Gadis itu!?”Irvingkaget melihat sosok itu kian menjauh.

Mereka menghilang dalam kegelapan malam.

‘Bukan urusanku,’Irvingberbalik dan kembali ke tempat di mana ia seharusnya berada.

Seorang pria berdiri disana– beberapa meter dari serambi. Ia mengawasiIrvingdengan

perasaan tidak

senang yang tergambar jelas di wajahnya yang mengeras itu.


Irvingmelihat Davies dan ia tidak suka dengan cara pria itu memandangnya. Ia tidak

mempunyai

masalah dengan pria itu tetapi pria itu seakan-akan ingin menghitung dendam di antara

mereka.

Davies memelototiIrving. Ia tidak suka pria itu. Ia tahu ia seharusnya menghentikan

kedua sepupunya

pagi ini. Ia sadar pria itu akan membawa bahaya pada Fulvia tapi kedua sepupu itu

tidak tahu. Bahkan

Davies dapat memastikan keduanya tidak akan peduli selama mereka tahuIrvingakan

dapat membantu

mereka memecahkan perseteruan di antara mereka ini.

“Aku peringati kau jangan mempermainkan adikku,” bisik Davies.

“Aku tidak tertarik pada gadis ingusan sepertinya,” balasIrvingdingin.

“Kau tidak pantas mengatakan hal itu. Kau tidak mengenal Fulvia,” Davies terang-

terangan

menunjukkan kekesalannya.

“Apa bedanya ia dengan gadis-gadis lainnya?” kataIrvingsambil berlalu meninggalkan

Davies dalam

kedongkolannya.

Bila kedua sepupu itu tidak menyadari bahaya yang dibawaIrving, maka Davies lah

satu-satunya orang

yang dapat melindungi Fulvia.


Davies tidak akan membiarkan pria dengan reputasi miring semacam ini mendekati

adiknya.

“Adaapa, Davies?”

Davies berbalik.

“Mengapa kau tiba-tiba meninggalkanku?” tanya Margot.

“Aku perlu mengurus suatu masalah,” kata Davies sambil menggiring wanita itu kembali

ke dalam.

Fulvia tidak tenang.

Hatinya gelisah. Pikirannya kacau.

Sepanjang pagi ini ia telah berkeliling Unsdrell dan terus mengelilinginya tetapi ia masih

belum

mendapatkan suatu ide.

Fulvia telah membalik-balik semua buku yang dirasanya dapat memberinya ide di

Ruang Buku.

Fulvia telah mengamati setiap lukisan yang dilaluinya untuk mendapatkan ide darinya.

Fulvia telah berkeliling taman untuk melihat andai ada tanaman yang dapat

memberinya ide bagus.

Fulvia telah meneliti setiap ornament-ornamen yang menghiasi Unsdrell.

Setiap sudut Unsdrell telah ditelitinya tetapi Fulvia masih tidak tahu harus memberi

hadiah apa untuk

kedua orang tuanya pada ulang tahun pernikahan mereka mendatang. Ia ingin memberi

suatu hadiah
istimewa untuk keduanya tetapi ia tidak tahu apa.

Tidak akan ada yang dapat membantunya memecahkan masalah ini.

Davies, kakaknya yang tidak peka itu tidak akan mengerti keinginannya ini.

Fulvia yakin bila Davies akan berkata,

“Untuk apa kau pusingkan hal semacam itu? Kulihat Papa dan Mama tidak kekurangan

apa pun.”

Bahkan Fulvia tidak akan kaget bila kakaknya lupa ulang tahun pernikahan orang tua

mereka telah ada

di depan mata. Hanya sebulan mendatang.

Fulvia juga tahu mereka tidak kekurangan apa pun. Tetapi ia tetap ingin memberikan

sesuatu yang

berharga pada mereka. Sesuatu yang istimewa untuk keduanya.

Tetapi apakah itu?

“Kulihat pagi-pagi kau sudah menjadi hantu yang menggentayangi Unsdrell.”

Fulvia terkejut.

Davies bersandar di dinding Hall seakan-akan telah menanti kemunculannya sejak

lama.

“Kau mencari sesuatu?” Davies mendekat.

“Tidak,” Fulvia berbohong, “Aku tidak mencari sesuatu.”

“Tidak biasanya kau menggentayangi Unsdrell seperti ini.”

“Sungguh, Davies,” Fulvia meyakinkan, “Aku tidak sedang mencari sesuatu.”

“Apa kau sedang memikirkan kedua pria itu?”

“Dua pria?” Fulvia heran, “Siapa?”


“Jangan berpura-pura tidak tahu,” Davies mengejek.

“Kau maksud Trevor dan Richie?” tanya Fulvia. “Tidak. Aku tidak sedang memikirkan

mereka.”

“Kukira kau sedang berpikir mengapa mereka berdua tidak muncul hari ini.”

Fulvia tertawa geli.

“Aku hampir saja melupakan mereka kalau kau tidak mengingatkanku,” Fulvia menahan

tawa gelinya,

“Kau benar. Tidak biasanya mereka tidak melaporkan diri hingga siang.”

Davies menatap adiknya penuh curiga.

“Aneh. Tidak biasanya mereka absent seperti ini,” Fulvia menatap kakaknya, “Kau tahu

apa yang

terjadi pada mereka?”

“Rasanya aku lebih tahu sesuatu telah terjadi padamu,” Davies menjawab tenang,

“Sesuatu pasti telah

mengganggumu sehingga kau melupakan kedua pria itu.”

“Kau terlalu curiga, Davies,” Fulvia mengelak, “Katakan, Davies, apakah kau tahu bulan

depan ada

hari special apa?”

“Hari special?” Davies berpikir keras, “Kurasa tidak ada.”

“Sudah kuduga,” kata Fulvia.

“Apa?”

“Tidak ada,” Fulvia melalui kakaknya sambil melambaikan tangan, “Aku tidak

mengatakan apa-apa.”
“Kau kira aku percaya?” Davies menangkap pinggang gadis itu dan menggelitiknya.

Fulvia berteriak kaget.

“Hentikan, Davies!” katanya menahan rasa geli.

“Kau yang memintanya,” Davies tidak berhenti.

“Oh, Davies,” Fulvia menepis tangan Davies dengan sia-sia, “Hentikan.”

“Aku hanya akan berhenti bila kau mengatakan apa yang ada dalam pikiranmu itu.”

“Baiklah, Davies. Aku menyerah.”

Davies langsung menghentikan godaannya.

“Aku sedang berpikir, kakakku sayang,” Fulvia melingkarkan tangannya di leher

kakaknya dengan

manja, “Mengapa kau sangat tidak peka seperti ini?”

“Kau mengatakan apa?” nada Davies mengandung bahaya.

Fulvia tersenyum nakal. “Kau adalah pria yang paling tidak peka yang pernah kutemui.”

“Aku mengkhawatirkanmu dan kau mengatakan aku tidak peka,” Davies merujuk,

“Apakah itu hadiah

atas kepedulianku padamu?”

Fulvia mendekatkan wajahnya. “Ya, kakakku sayang,” ia mencium pipi Davies lalu

berlari

menghindari kakaknya.

“Kau!?” Davies langsung mengejar gadis itu.

Fulvia tertawa riang sambil berlari ke luar Unsdrell.

“Aku akan menangkapmu!” Davies mengejar Fulvia.

“Cobalah kalau kau bisa,” Fulvia menoleh.


“Fulvia! Lihat depan!” Davies tiba-tiba berteriak panik.

Kaki Fulvia tergelincir sesuatu. Fulvia kaget. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.

“Aku mendapatkanmu,” seseorang menangkap tubuh Fulvia.

“Tangkapan bagus, Richie,” kata Davies.

Fulvia melihat pria penolongnya dengan heran. “Richie? Mengapa kau di sini?”

“Aku telah menolongmu dan itukah sambutanmu padaku?” Richie sedih.

“Tidak. Tidak,” Fulvia cepat-cepat membenarkan ucapannya, “Aku hanya heran

mengapa kau ada di

sini.”

“Tidak biasanya kau muncul di siang hari seperti ini,” Davies memberikan penjelasan

lebih lanjut.

“Papa menahanku. Ia menceramahiku lagi.”

“Paman Graham benar, Richie,” Davies membela Earl Graham, “Sudah saatnya kau

bersikap lebih

dewasa. Engkaulah satu-satunya pengganti ayahmu.”

“Bagaimana denganmu?” Richie tidak dapat menerima pendapat Davies itu, “Kau juga

satu-satunya

penerus ayahmu dan kau masih saja senang bercanda dengan Fulvia.”

“Apa boleh buat,” Davies menyerah, “Ia yang memulainya.”

Fulvia tersenyum nakal.

“Lagipula, Richie, aku jauh lebih muda darimu,” Davies menambahkan dengan senyum

penuh

kemenangan.
“Kau hanya lebih muda tiga tahun dariku. Tidak lebih dari itu,” Richie yang paling tua di

antara ketiga

pria itu jengkel.

“Di mana Trevor?” tanya Fulvia mengalihkan pembicaraan.

“Trevor belum datang?” Richie bertanya heran.

“Aku kira kalian datang bersama-sama,” Davies heran kemudian ia menambahkan,

“Setelah mengurus

masalah kalian, tentunya.”

“Tidak, Davies. Jangan mencurigai kami seperti itu. Kami sudah berjanji padamu.”

“Janji apa?” tanya Fulvia tertarik.

“Janji di antara kaum pria, Fulvia,” Richie tersenyum.

“Tampaknya aku tidak boleh tahu,” Fulvia kecewa.

Mereka bertiga masuk ke dalam Unsdrell.

“Mengapa Trevor belum muncul juga?” Davies keheranan, “Biasanya pagi-pagi ia

sudah muncul.”

“Entahlah,” kata Richie, “Aku tidak mendengar apa yang terjadi padanya. Tetapi, apa

pun yang terjadi,

aku yakin Trevor baik-baik saja.”

“Ia pria baja,” Fulvia sependapat, “Mungkin ia mempunyai urusan keluarga. Kuharap

tidak terjadi

sesuatu dengan mereka.”

Davies memperhatikan Fulvia yang tampak lebih mengkhawatirkan keluarga Trevor

daripada pria itu


sendiri.

“Bagaimana perkembangan kalian?”

Davies tidak mengerti pertanyaan Richie itu.

“Jangan katakan padaku kalian masih belum mengalami perkembangan apa pun,”

Richie merangkul

Davies, “Kau benar-benar payah.”

Fulvia tersenyum. Ia teringat saat pertama kali Davies bertemu Margot.

Mata Davies tidak pernah terlepas dari Lady Margot. Ia juga tidak menghiraukan Fulvia

yang saat itu

berada di sisinya. Hal itu cukup membuat Fulvia menyadari perubahan yang terjadi

pada kakaknya.

Davies tidak pernah menunjukkan perhatian khusus pada satu wanita. Ia bahkan dapat

dikatakan tidak

mengerti wanita. Tetapi, ia rela melakukan apa saja untuk adiknya tercinta, Fulvia.

Trevor juga Richie yang selalu kesal karena Fulvia lebih suka memilih Davies daripada

mereka, juga

menyadarinya. Dan sebelum Fulvia melakukan apa pun untuk kakaknya itu, kedua pria

itu telah mendekati

Lady Margot.

Mereka membawa Lady Margot menemui Davies dan itulah awal perkenalan mereka.

Sejak itu pula Fulvia menyadari ia tidak lagi mempunyai orang ketiga yang dapat

dipilihnya demi

menghindarkan pertengkaran kedua kakak sepupu yang disayanginya itu.


Countess muncul dari dalam Ruang Keluarga. Ia melihat ketiga teman sepermainan itu

berjalan

beriring-iringan di koridor.

“Richie!” Countess gembira melihat pria itu muncul, “Kupikir hari ini kau tidak datang.”

“Papa menahan saya, Bibi. Ia mulai menceramahi saya lagi.”

“Aku dapat mengerti apa yang dikhawatirkan Graham,” kata Countess, “Dan aku

sependapat

dengannya.”

Richie mulai melihat gelagat yang tidak enak dan ia menjadi was-was.

“Aku tidak pada tempatnya untuk menceramahimu,” Countess membuat Richie lega,

“Aku yakin

Graham telah mengatakan semuanya.”

“Ya,” Richie mengeluh, “Ia berceramah sepanjang pagi.”

“Ia mengkhawatirkanmu,” Countess Kylie menghibur. “Kau mau makan siang bersama

kami, Richie?”

Countess mengundang, “Kurasa makan siang sudah siap.”

“Tentu, Bibi,” Richie menerima ajakan itu.

Mereka meneruskan langkah kaki mereka ke Ruang Makan.

“Baru saja aku menduga kau akan melewatkan acara makan siang di sini, Richie,”

Count Clarck yang

telah berada di dalam Ruang Makan menyambut rombongan itu.

“Bagaimana mungkin saya melewatkan acara seperti ini,” Richie tertawa.


“Kurasa orang tuamu akan marah bila kau terus-terusan seperti ini,” Davies

berkomentar, “Setiap hari

kau selalu melewatkan waktu makan siangmu di sini.”

“Sebaliknya, Davies, orang tuaku pasti mengira aku sakit bila aku pulang rumah untuk

makan siang.”

Mereka tertawa geli.

“Rasanya ada yang kurang bila tidak ada Trevor,” gumam Fulvia.

“Di mana Trevor?” Count yang baru menyadari kekurangan anggota keluarga mereka di

meja makan

bertanya heran. “Biasanya ia tak pernah melewatkan makan siang di sini.”

“Entahlah. Sejak pagi ia belum muncul,” jawab Davies.

“Kau tidak menyembunyikannya, bukan, Richie?” Countess tersenyum penuh arti.

“Tentu saja tidak, Bibi.”

“Akulah yang akan menyembunyikannya sebelum ia menyembunyikanku.”

Mereka menoleh ke pintu.

“Trevor!” Fulvia terkejut, “Kukira kau tidak datang.”

“Bagaimana mungkin aku melewatkan hari tanpa melihatmu, Fulvia,” Trevor mencium

pipi Fulvia.

“Akhirnya kau muncul juga,” dengus Richie tidak senang.

“Apa yang membuatmu terlambat?” tanya Countess.

Trevor duduk di sisi Richie dan mendesah panjang.

“Mereka bertengkar lagi,” katanya, “Kali ini masalahnya benar-benar parah. Lewis

pulang malam
sambil mabuk dan pelayan mengatakan ia melihat Lewis pergi bersama seorang wanita

sebelumnya. Pagipagi

ini kami berangkat ke Greenwalls untuk menghiburnya.”

Countess mendesah panjang. “Aku sungguh tidak mengira Lewis akan berubah seperti

ini. Dulu ia

adalah pemuda yang baik.”

“Kurasa tekanan usahanya membuatnya berubah,” komentar Count.

“Rasanya aku ingin mencekik pria sial itu,” Trevor geram, “Ia hanya bisa membuat

Audrey sedih.”

“Bagaimana keadaan Audrey sekarang?” tanya Fulvia cemas.

“Ia sudah lebih baik,” jawab Trevor, “Sekarang Mama ada bersamanya.”

Fulvia termenung. Ia sungguh sedih memikirkan keadaan kakak sepupunya itu.

Audrey adalah wanita cantik yang baik hati. Fulvia sangat menyayangi dan mengagumi

wanita yang

lebih tua dua belas tahun darinya itu. Audrey sering menjaga dan merawatnya ketika ia

masih kecil. Fulvia

menyayangi Audrey seperti kakak kandungnya sendiri.

Enam tahun yang lalu, Audrey menikah dengan anak seorang pedagang kaya. Cinta di

antara keduanya

begitu besar hingga Count of Garfinkelnn langsung merestui Audrey ketika mereka

berniat menikah.

Seperti halnya yang lain, Fulvia menyayangi Lewis, kakak sepupu iparnya yang baik

hati itu. Ia masih


anak-anak ketika mereka menikah. Ia masih kecil untuk mengerti arti sesungguhnya

sebuah pernikahan.

Tetapi itu tidak mencegah Fulvia mengagumi cinta mereka berdua.

Sayangnya, bahtera rumah tangga mereka yang bahagia itu tidaklah bertahan lama.

Setahun yang lalu mereka mengalami musibah. Kebakaran hebat melalap rumah

mereka. Hingga

sekarang tidak ada yang tahu pasti apa penyebabnya tetapi ada yang mengatakan itu

semua karena

kelalaian seorang pelayan.

Dalam kebakaran itu, mereka kehilangan harta bendanya dan juga orang tua Lewis.

Kata orang-orang,

orang tua Lewis tewas terbakar karena ingin menyelamatkan Audrey dan bayi dalam

kandungannya.

Audrey selamat tetapi bayi dalam kandungannya tidak dapat diselamatkan.

Lewis yang saat itu berada di luar negeri untuk kepentingan usaha keluarga mereka,

menyalahkan diri

atas musibah itu. Perasaan bersalah ditambah kerugian yang harus ditanggungnya atas

musibah itu

membuatnya perlahan-lahan berubah.

Semenjak saat itulah Lewis menjadi suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan.

Setiap hari ia

pulang malam dalam keadaan mabuk dan ia membuat Audrey cemas.

Keluarga Garfinkelnn berniat membantu mereka tetapi Lewis menolaknya.


“Ini adalah urusan keluargaku!” bentaknya setiap kali ada yang mau membantunya.

Trevor bahkan pernah memaksa Audrey untuk pulang bersamanya. Tetapi, Audrey

bersikeras untuk

tinggal bersama Lewis di Greenwalls.

Mereka tahu tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk Audrey selain terus

memberikan dukungan.

“Davies, kau tidak akan seperti itu bukan?” Fulvia bertanya penuh harap. “Aku akan

sangat

membencimu kalau kau seperti itu.”

“Jangan khawatir, Fulvia,” kata Trevor tersenyum simpul sambil melirik Davies, “Davies

tidak akan

mengkhianati Margot. Sebaliknya, aku rasa besar kemungkinan Margot meninggalkan

kakakmu.”

“Trevor!” Davies marah.

“Bukankah itu adanya?” Trevor membela diri, “Kulihat kau benar-benar tidak peka

terhadap wanita.

Kau bahkan tidak pernah mengajak Lady Margot keluar. Kau benar-benar tidak

mengerti wanita.”

“Kurasa hal itu tidak mungkin,” Fulvia berkata pelan, “Lady Margot menyukai Davies

karena ia

seperti itu.”

Semua langsung melihatnya.


“Margot pernah berkata padaku, dengan sifat Davies yang seperti ini, ia tidak perlu

khawatir akan ada

wanita lain yang merebut Davies darinya.”

Davies terdiam sambil tersipu-sipu.

Trevor dan Richie langsung tertawa geli melihatnya.

“Fulvia, maukah kau menemaniku melihat keadaan Audrey,” suara Countess Kylie

berlomba dengan

tawa riang kedua sepupu itu, “Kita bisa sekalian pergi berjalan-jalan bila kau mau.

Kurasa engkau akan

merasa lebih baik setelah kau keluar mencari hawa baru.”

Fulvia terkejut. “Mama tahu?”

“Aku adalah ibumu,” Countess tersenyum bangga, “Bagaimana mungkin aku tidak tahu

apa yang

dipikirkan olehmu?”

“Apakah kita bisa mengajak Audrey pula?” tanya Fulvia, “Kurasa ia jauh lebih

membutuhkan udara

segar daripada aku.”

“Tentu,” jawab Countess, “Mungkin kita juga bisa mengajak Horace dan Yolanda.”

Fulvia langsung menoleh pada para pria di ruang itu, “Kalian mau ikut?”

“Tidak,” jawab Trevor.

“Kali ini aku melewatkannya,” Richie cepat-cepat mengelak.

“Aku masih punya urusan yang harus kukerjakan,” Count menolak.

“Aku tidak tertarik,” Davies juga menolak.


“Sayang sekali,” Fulvia kecewa.

“Kurasa kita harus segera bersiap-siap, Fulvia,” Countess berdiri.

“Ya, Mama,” Fulvia langsung mengikuti ibunya meninggalkan Ruang Makan.

“Selamat bersenang-senang,” kaum pria itu tersenyum.

Sepeninggal mereka,

“Kupikir kau senang pergi bersama Fulvia,” Trevor mengejek Richie.

“Tidak bila kaum wanita itu pergi bersama-sama,” jawab Richie ringan. Lalu ia melirik

Trevor,

“Kesempatan ini kuberikan padamu. Kali ini aku mengalah padamu.”

“Kau!?” Trevor berdiri, “Aku tidak butuh belas kasihanmu!”

“Oh, kau mau mulai lagi?!” Richie langsung berdiri, “Katakan saja kalau takut pergi

bersama mereka.”

“Jangan menuduhku! Kau sendiri juga tidak mau pergi bersama mereka.”

“Pengecut!”

“Apa kau juga bukan seorang pengecut!? Kau takut pada mereka, bukan?”

Count Clarck tersenyum geli. “Tentu akan sangat menakutkan bila pergi bersama-sama

mereka,” Count

berdiri, “Aku tidak ingin membuang waktu dan tenagaku hanya untuk berkeliling

sepanjang hari bersama

mereka.”

Davies yang sudah tidak ingin lagi menghentikan kedua sepupu yang suka bertengkar

itu juga bersiapsiap

meninggalkan Ruang Makan.


“Aku tidak akan heran bila mereka baru pulang besok pagi,” katanya sambil mengikuti

ayahnya. Di

pintu, Davies berbalik dan berkata tenang, “Rapikan kembali Ruang Makan bila kalian

selesai.” Dan ia

menutup pintu erat-erat.

Seperti dugaannya, ia mendengar suara benda-benda dilempar dari dalam Ruang

Makan.

“Kurasa kali ini yang lebih menakutkan adalah mereka,” Davies menyimpan tangannya

di dalam saku

celananya.

“Kukira kau ada di dalam untuk menghentikan mereka.”

“Aku sudah bosan,” keluh Davies, “Biarkan saja mereka berkelahi sampai mereka

puas.”

“Mereka benar-benar akrab,” Count Clarck tersenyum.

“Akrab? Mereka?” Davies bertanya heran, “Kurasa tidak. Dunia pasti sudah terbalik bila

mereka

saling berangkulan.”

Count Silverschatz tertawa mendengarnya.

-----0-----

“Terima kasih kalian mau datang,” Audrey tersenyum bahagia tetapi itu tidak dapat

menutupi guratanguratan

kesedihan di wajahnya.

“Aku senang melihat kau sudah lebih baik,” kata Countess Kylie.
“Terima kasih, Bibi Kylie. Saya sungguh merepotkan kalian.”

“Jangan kaupikirkan itu. Lagipula anak gadisku juga memerlukan udara segar.”

“Fulvia?” Audrey menatap gadis itu, “Apa yang sedang kaurisaukan?”

“Tidak ada,” Fulvia tidak ingin memberitahu seorang pun di antara mereka, “Aku hanya

berkeliling

Unsdrell pagi ini dan semua mengatakan aku menggentayangi Unsdrell.”

“Kalau kau melihat muka seriusnya pagi ini, kau akan sependapat dengan kami.”

“Audrey,” Fulvia cepat-cepat mengalihkan perhatian, “Apakah kau mau ikut keluar

bersama kami?”

“Kami datang bukan tanpa tujuan, Audrey,” Countess Yolanda mengingatkan, “Kami

datang untuk

membawamu keluar. Kau perlu melupakan segala masalahmu itu untuk sejenak.”

“Mengurung diri sepanjang hari di sini tidak akan memecahkan masalahmu dan hanya

akan merusak

kesehatanmu,” Countess Horace, ibu Audrey menimpali.

“Tentu,” Audrey tersenyum, “Dengan senang hati.”

Begitu Audrey siap, mereka berlima berjalan kaki ke pusatkota. Greenwalls tidaklah

jauh dari

pusatkotadan itulah yang membuat posisinya sangat mudah dicapai darikota.

Fulvia mengawasi Greenwalls ketika mereka bergerak meninggalkan rumah besar yang

terbakar habis

setahun lalu itu.


Gedung itu tidaklah semegah atau pun sebesar Castil Baramand, kediaman

keluarganya Earl of

Ousterhouwl maupun kediaman dua keluarga yang lain. Sebelum terbakar, rumah itu

tampak sangat

menawan dan sekarang, setelah musibah itu, bangunan mewah itu tampak begitu kotor

dan tak terawat.

Sebenarnya, Count of Garfinkelnn berniat membiayai pemulihan bangunan itu, tetapi

Lewis

menolaknya. Audrey juga tidak dapat berbuat apa-apa atas kekeraskepalaan suaminya

itu.

Walaupun demikian, orang tua Audrey secara diam-diam telah mengutus beberapa

orang untuk

memperbaiki Greenwalls. Lewis boleh tidak mengijinkan mereka menyentuh Greenwalls

tetapi ia tidak

dapat melarang orang tua Audrey untuk melakukan sesuatu demi putri mereka.

Orang-orang utusan Count Graham bekerja secara diam-diam untuk membenarkan

bagian vital dari

Greenwalls. Ia juga membantu Audrey mengisi kembali kekosongan rumah mereka.

Audrey mengetahui apa yang dilakukan ayahnya itu tetapi tidak pernah mengatakannya

pada Lewis. Ia

hanya meminta ayahnya untuk tidak melakukannya secara mencolok. Audrey tidak

ingin harga diri

suaminya terluka lebih dalam lagi.


Sebagai seorang pria bangsawan, Count Graham dapat mengerti perasaan Lewis dan

karena itu

pulalah ia hanya melakukan apa yang ia rasa penting dan harus segera dilakukan.

Lewis yang terpuruk oleh beban yang dibuatnya sendiri, tidak menyadari perubahan

yang terjadi di

Greenwalls walaupun itu kecil.

Penolakan Lewis untuk bangkit dari rasa bersalahnya membuat Audrey semakin sedih.

Audrey

semakin hancur ketika Lewis lari ke minuman keras dan mulai bermain wanita di

luarsana.

Sewaktu-waktu Audrey bisa meninggalkan Greenwalls dan suaminya. Pintu Osbesque

selalu terbuka

untuknya. Tetapi, Audrey tetap memilih untuk mendampingi pria pilihannya itu.

Fulvia benar-benar mengagumi kakak sepupunya itu.

Walau Lewis telah menyakitinya sedemikian rupa, Audrey tetap berlapang dada. Malah

ia sering

berkata pada Fulvia,

“Aku percaya suatu hari nanti ia akan kembali pada Lewisku yang dulu. Aku percaya ia

akan berhasil

mengatasi semua ini.”

Audrey selalu dan selalu membela Lewis tak peduli apa pun yang dilakukan suaminya

itu.
Fulvia berharap ia bisa melakukan sesuatu untuk Audrey, tetapi ia sadar ia masih

terlalu muda untuk

memahami permasalahan rumah tangga mereka. Apa yang bisa dilakukan Fulvia

adalah menghibur Audrey

dan mengajaknya berjalan-jalan untuk mencari udara segar seperti ini.

Hari ini mereka tidak mempunyai tujuan pasti. Mereka hanya berjalan sesuai arah kaki

mereka

melangkah. Mereka juga tidak membeli apa-apa. Mereka hanya terus berkeliling dan

berkeliling sambil

bercakap-cakap. Sesekali mereka berhenti untuk melihat benda yang menarik perhatian

mereka. Sesekali

pula mereka memasuki tempat yang menurut mereka menarik. Mereka menikmati

perjalanan mereka ini.

Audrey juga tampak gembira seakan-akan ia tidak mempunyai masalah apa pun.

Untuk melengkapi perjalanan mereka, Countess Horace mengundang mereka untuk

melewatkan waktu

makan malam di Baramand.

Beberapa saat sebelum mereka meninggalkan Greenwalls, Countess Horace meminta

seorang pelayan

Greenwalls untuk memberi kabar pada Kepala Rumah Tangga Osbesque bahwa

mereka akan makan

malam disana. Selain itu, Countess Horace juga meminta semua keluarga Ousterhouwl

dan Silverschatz
berkumpul di rumahnya.

Alunan musik yang lembut menghentikan langkah kaki Fulvia.

Mata Fulvia langsung mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu.

Sepasang muda-mudi yang saling bertatapan mesra berputar-putar di atas sebuah

piringan kayu.

Mereka berputar-putar seolah-olah sedang berdansa diiringi musik yang mengalun

lembut dari dalam

kotak musik itu.

Kedua pemuda kayu mungil itu mempesona Fulvia.

Senyum Fulvia merekah.

Ia tahu! Akhirnya ia tahu apa yang akan diberikannya untuk orang tuanya. Fulvia tahu

apa hadiah ulang

tahun pernikahan mereka yang mendatang.

“Fulvia!” Countess Kylie memanggil, “Apa yang kaulakukan?”

Fulvia terkejut. Ia melihat ibunya dan yang lain telah beberapa meter di depannya itu.

“Sudah waktunya kita pulang, Fulvia,” Countess Horace mengingatkan. “Aku telah

meminta pelayan

untuk menyiapkan makan malam di Osbesque.”

“Aku datang.”

Pada saat yang bersamaan, seseorang muncul dari dalam toko tempat Fulvia melihat

kotak musik itu.

Fulvia terkejut. Kemunculan pria itu begitu mendadak hingga Fulvia tidak dapat

menghentikan
langkahnya sebelum ia menabrak pria itu.

Sepertinya pria itu juga tidak menyadari keberadaan Fulvia tetapi ia cukup tangkas

untuk menahan

tubuh Fulvia, mencegahnya terjatuh.

“Terima kasih,” Fulvia memegang hidungnya yang sakit oleh tabrakan tidak terduga itu.

Fulvia kaget melihat siapa yang ditabraknya itu.

Mata biru tua yang dinginIrvingmenatapnya dengan penuh ingin tahu.

“Kau tidak apa-apa,Irving?”

Fulvia melihat wanita cantik di sisiIrving.

Mata hijau wanita itu menatapIrvingpenuh perhatian lalu ia menatap tidak suka pada

Fulvia bahkan

nadanya pun jelas-jelas menampakan rasa tidak sukanya ketika ia berkata,

“Di mana matamu, gadis cilik?”

“Fulvia, kau baik-baik saja?”

Fulvia tiba-tiba sadar keluarganya sedang menantinya. “Maafkan saya, M’lord,” Fulvia

membungkuk

lalu ia cepat-cepat mendekati ibunya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Countess cemas.

“Tidak apa-apa, Mama. Aku terlalu ceroboh.”

“Kau ini hanya bisa membuatku cemas,” keluh Countess Kylie.

“Tidak apa-apa, Mama. Sungguh aku tidak apa-apa,” Fulvia merangkul tangan ibunya.

Mata dinginIrvingterus menatap tajam gadis yang terus menjauh bersama ibunya itu.

Tidak pernah ia bertemu gadis itu di jalanan seperti ini.


Tidak pernah ia bertemu dengan gadis itu secara kebetulan seperti ini.

Dan sekarang tiba-tiba gadis itu muncul di hadapannya.

Apakah ini rencana mereka? Rencana mereka untuk memaksanya terlibat dalam

hubungan cinta

segitiga mereka?

Irvingmembuang muka. Ia tidak tertarik untuk terlibat dengan mereka bertiga. Ia tidak

suka pada

Davies yang terus mengawasinya sepanjang malam kemarin seperti polisi yang sedang

mengawasi

buronannya dan ia tidak ingin diperlakukan seperti itu.

Acara makan malam semalam benar-benar menyenangkan.

Semua anggota ketiga keluarga itu berkumpul dalam satu meja makan besar dan

bercakap-cakap

dengan riang. Semua tampak gembira.

Sepanjang malam mereka bergurau dan membicarakan masalah-masalah ringan.

Audrey juga tertawa lepas.

Fulvia sangat menikmati acara semalam.

Walaupun tidak ada musik yang mengalun lembut, tidak ada hiasan-hiasan indah

ataupun tamu dalam

baju mewah, Fulvia merasa sangat gembira. Bahkan ia merasa acara semalam jauh

lebih meriah dan lebih

menyenangkan dari pesta-pesta yang pernah ia datangi.


Countess Horace benar. Mereka sudah lama tidak berkumpul seperti ini.

Hubungan ketiga keluarga ini sangatlah dekat. Orang-orang mengatakan, di mana ada

keluarga

Garfinkelnn, di situ pulalah keluarga Silverschatz dan keluarga Ousterhouwl.

Walaupun tidak jelas bagaimana hubungan saudara mereka, Fulvia tahu ia masih

berkerabat dengan

dua keluarga yang lain. Tapi bukan itulah satu-satunya alasan kedekatan hubungan

mereka. Ketiga pasang

orang tua dalam ketiga keluarga itu adalah sahabat sejak lama. Dan anak-anak mereka

juga berteman satu

sama lain.

Audrey yang paling tua di antara mereka sudah merupakan kakak bagi mereka

berempat.

Ketiga putra dalam tiga keluarga itu adalah teman sepermainan semenjak kecil. Usia

mereka yang

terpaut tidak jauh, membuat mereka dapat saling memahami. Begitu dekatnya

hubungan mereka bertiga

hingga tiap orang akan mengatakan mereka adalah kakak beradik.

Dan, Fulvia, yang paling muda dalam ketiga keluarga ini adalah adik yang paling

disayangi

keempatnya. Begitu sayangnya mereka pada Fulvia hingga Trevor selalu bertengkar

dengan Richie demi

mendapatkan Fulvia.
Tidak ada yang menganggap serius pertengkaran kedua sepupu itu kecuali Davies.

Bagi ketiga pasang orang tua itu, Davies cemburu karena ia tersingkirkan dalam

persaingan keduanya.

Audrey sudah mulai mengenal cinta ketika pertengkaran itu dimulai dan ia telah

berumah tangga ketika

pertengkaran antara Trevor dan Richie semakin jelas. Audrey terlalu repot untuk

mengurusi pertengkaran

mereka yang menurutnya kekanak-kanakan itu.

Fulvia sendiri tidak pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri pertengkaran itu.

Walaupun begitu,

ia tahu perselisihan antara Trevor dan Richie itu ada.

Fulvia tahu ia tidak pernah menganggap kedua kakak sepupunya itu serius

terhadapnya. Ia menyayangi

mereka seperti kakaknya dan ia tidak akan pernah jatuh cinta pada seorang di antara

mereka. Fulvia selalu

dan selalu mengatakan itu pada mereka tapi keduanya tidak pernah sungguh-sungguh

mendengarnya.

Mereka bercakap-cakap hingga larut malam dan mereka mungkin akan terus bercakap-

cakap hingga

pagi bila bukan karena Fulvia teringat ia masih mempunyai rencana esok hari.

Fulvia tidak akan mengatakannya pada mereka. Ia tidak akan membiarkan seorang pun

terutama kedua

orang tuanya tahu karena ini adalah rahasia.


Fulvia telah memantapkan hati untuk membeli kotak musik yang dilihatnya sore ini. Ia

akan

memberikannya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan orang tuanya.

Semalam Fulvia telah memutuskan dan pagi ini ia sudah tidak sabar untuk segera

membelinya.

Ulang tahun pernikahan orang tuanya memang masih sebulan lebih lagi tetapi Fulvia

tidak ingin hadiah

pilihannya dibeli oleh orang lain. Fulvia ingin segera membeli dan menyimpannya

hingga hari itu tiba.

Tetapi untuk dapat membelinya tanpa sepengetahuan orang tuanya, Fulvia perlu

mencari alasan yang tepat.

Ketika itulah ide itu datang dengan tiba-tiba. Ia bisa menjenguk Audrey setelah

membelinya dan

meminta kakak sepupunya itu untuk menilai hadiah pilihannya.

Pagi itu Fulvia meminta ijin pada kedua orang tuanya untuk menemui Audrey. Fulvia

tidak ingin

Trevor maupun Richie tiba sebelum ia pergi. Untunglah kedua orang tuanya tidak

bertanya panjang lebar.

Davies juga tidak bersikeras untuk menemaninya.

Kereta keluarga mereka telah menanti di depan pintu ketika Fulvia tiba.

“Aku ingin pergi kekotadulu,” bisiknya pada kusir kuda yang tanpa bertanya langsung

mengantarnya

kekota, ke tempat yang ia inginkan.


Fulvia mengamati kotak musik di balik jendela toko itu.

Dengan langkah mantap, Fulvia melangkah ke toko itu. Hatinya gembira

membayangkan reaksi kedua

orang tuanya ketika menerima hadiah itu.

Selangkah lagi Fulvia akan memasuki toko itu ketika pikiran itu tiba-tiba datang

padanya.

Apakah bedanya hadiah ini dengan hadiah yang lain?

Tahun lalu ia membeli sebuah lukisan yang indah untuk mereka. Dan tahun

sebelumnya ia membelikan

orang tuanya sebuah hiasan yang cantik. Tahun-tahun sebelumnya ia juga membelikan

sesuatu untuk

mereka.

Fulvia menginginkan sebuah hadiah yang istimewa.

Apakah bedanya hadiah ini dengan hadiah-hadiah sebelumnya bila ia membelinya

dengan uang orang

tuanya?

Orang tuanya memang telah memberikan uang tersendiri untuknya tetapi uang itu tetap

uang mereka.

Uang itu bukanlah hasil kerja kerasnya.

Fulvia termangu.

Kotak musik yang cantik itu akan menjadi semakin istimewa bila ia membelinya dengan

uang hasil

kerja kerasnya sendiri. Tetapi…


Fulvia tidak bisa mencari uang sendiri. Fulvia yakin kedua orang tuanya tidak akan

setuju dengan

idenya ini. Davies juga pasti akan menganggapnya gila. Lagipula siapa yang akan

mempekerjakan seorang

putri bangsawan sepertinya?

Fulvia sadar ia tidak mempunyai kemampuan spesial apa-apa. Ia hanya bisa

melakukan apa yang

seorang bangsawan wanita harus bisa. Ia bisa bermain piano dengan indah. Ia bisa

membuat sebuah puisi

yang indah. Ia juga mempunyai tata karma yang tinggi. Ia bisa berjalan elok

sebagaimana layaknya seorang

bangsawan. Ia mampu berbicara dalam beberapa bahasa terutama bahasa Latin.

Tetapi keluarga

bangsawan manakah yang akan mempekerjakannya?Parabangsawan yang lain pasti

lebih suka memilih

seseorang yang berpengalaman darinya.

Fulvia termangu.

Ia berjalan meninggalkan toko itu dengan pikiran kacau.

Adakah seorang di antara tempat ini yang mau mempekerjakannya?

Fulvia melihat sekelilingnya. Ia bukan bagian dari tempat ini. Ia adalah bagian dari

kalangan atas

bukan kalangan menengah ataupun kalangan bawah. Tidak akan ada seorang pun

yang bersedia
mempekerjakannya.

Fulvia berkeliling seiring langkah kakinya. Ketika Fulvia menyadari ia telah berjalan

terlalu jauh dari

kereta keluarganya, ia mendapati dirinya berada di depan sebuah toko roti.

Fulvia mencium bau wangi roti dari dalam tempat itu. Wangi itu benar-benar

memikatnya dan

membangkitkan selera makannya.

Tiba-tiba terpikir oleh Fulvia untuk membeli beberapa potong roti untuk Audrey. Dengan

hati riang,

Fulvia pun mendekat.

“Selamat pagi, Nona,” sambut sang penjaga, “Anda ingin membeli roti?”

“Ya,” jawab Fulvia, “Bisakah Anda memberi saya tiga potong?”

Fulvia akan memberikan 2 potong untuk Audrey dan ia akan menyimpan sepotong yang

lainnya untuk

keluarganya.

“Brent, bisakah kau membantuku?”

“Sebentar, Jehona, aku mempunyai pembeli.”

Pintu di dinding barat ruang sedang itu terbuka dan seorang anak kecil keluar dalam

keadaan telanjang

bersamaan suara tangis bayi.

“Tim!” seorang wanita muncul dengan tergopoh-gopoh sambil membawa baju di

tangannya, “Jangan
berlari-lari!” lalu wanita itu menoleh pada pria di depan Fulvia, “Brent! Bantu aku

sekarang juga!”

Fulvia kebingungan melihat keributan dalam keluarga itu.

“Maafkan saya, Nona.”

“Tidak mengapa,” Fulvia tersenyum, “Saya tidak terburu-buru.”

Pria yang dipanggil Brent itu segera menangkap putranya yang mulai membuat

kekacauan di tempat

kerjanya sementara itu wanita muda itu bergegas masuk ke dalam ruangan.

“Sudah kukatakan kita harus mencari seseorang untuk membantu kita,” terdengar

wanita itu mengeluh,

“Aku tidak bisa melakukan ini semua seorang diri. Aku harus merawat Tim, menjaga

Sammy,

membantumu juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aku benar-benar

kewalahan.”

Fulvia mendapat ide.

“Aku tahu,” Brent mendudukan putranya dengan paksa kemudian mengenakan baju

padanya, “Kita

tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai seorang pekerja.”

“Maafkan kelancangan saya,” Fulvia memberanikan diri, “Apakah Anda membutuhkan

seseorang?

Bila anda tidak keberatan, saya bisa membantu Anda.”

Jehona langsung melongok keluar.

Brent menatap Fulvia lekat-lekat. Ia memperhatikan Fulvia dari atas mulai dari bawah.
“Saya melihat Anda tidak membutuhkan uang, Nona.”

Fulvia kecewa. Ia sudah dapat menduga penolakan pria itu tetapi ia tidak akan

menyerah semudah itu

ketika kesempatan seperti ini ada di depan matanya.

“Ya, Anda bisa mengatakannya seperti itu tetapi itu juga tidak sepenuhnya benar. Saat

ini saya ingin

sekali mencari uang dengan jerih payah saya untuk membeli hadiah.”

“Hadiah?” Jehona keluar sambil menggendong seorang bayi mungil.

“Ya, saya ingin membeli hadiah yang istimewa untuk kedua orang tua saya,” Fulvia

menjelaskan,

“Bulan depan adalah ulang tahun pernikahan mereka dan saya ingin memberikan

sesuatu yang berbeda

dari sebelumnya.”

Brent mengamati Fulvia. “Saya rasa Anda tidak mengalami kesulitan untuk membeli

apa pun yang

Anda inginkan,” ia mencermati gaun Fulvia yang menunjukkan derajatnya.

Hati Fulvia menciut melihatnya.

“Hebat!” pekik gembira Jehona itu membuat Fulvia terkejut. “Jadi Anda ingin

mengumpulkan uang

untuk membeli hadiah ulang tahun pernikahan orang tua Anda.”

“Ya,” Fulvia kebingungan melihat wanita itu tiba-tiba mendekatinya dengan penuh rasa

ingin tahu.
“Ini luar biasa!” Jehona berseru gembira, “Saya membutuhkan seseorang untuk

membantu saya dan

Anda membutuhkan pekerjaan. Ini benar-benar luar biasa!”

“Jehona! Kita tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai seorang pekerja pun!”

Brent menegaskan,

“Lagipula apa kau tidak dapat melihatnya! Ia tidak cocok melakukan pekerjaan kasar.”

“Tidak mengapa, Brent,” kata Jehona gembira, “Aku tahu. Ia cukup membantuku

menjaga Tim dan

Sammy. Aku yakin ia bisa melakukan itu.”

Fulvia merasa ia mempunyai harapan. “Tentu,” katanya gembira.

“Bagus,” Jehona puas, “Kapan Anda bisa mulai?”

“Jehona!”

“Jangan khawatir, Tuan Brent,” kata Fulvia, “Saya tidak membutuhkan banyak uang.

Hadiah yang ingin

saya beli juga tidak mahal. Saya juga mempunyai waktu cukup sebelum hari ulang

tahun pernikahan orang

tua saya itu. Anda tidak perlu merasa terbebani untuk membayari saya. Berapa pun

yang Anda berikan

pada saya, saya tidak keberatan.”

“Kau dengar itu!?” Jehona tampak sangat puas.

Brent melihat kesungguhan Fulvia dan kepuasan Jehona.

“Anda tidak cocok berada di sini dengan gaun seperti itu,” katanya kemudian.

Fulvia tersenyum gembira. Ia tahu pria itu telah luluh hatinya.


“Saya mengerti. Besok saya akan datang dengan baju yang lebih sesuai.”

“Besok Anda akan mulai?” Jehona bertanya lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Ya,” Fulvia meyakinkan, “Saya yakin besok saya bisa datang.”

“Bagus! Bagus!” Jehona tampak sangat puas.

“Besok Anda bisa datang kurang lebih pada waktu yang sama seperti saat ini,” kata

Brent.

“Terima kasih, Tuan Brent,” Fulvia gembira, “Saya rasa ada sesuatu yang belum Anda

berikan pada

saya.”

Brent bertanya-tanya.

“Anda belum memberi saya tiga potong roti yang ingn saya beli.”

Brent langsung bangkit untuk mengambil roti permintaan Fulvia.

Fulvia langsung membayar roti-roti itu dan pergi ke rumah Audrey dengan gembira.

Jehona benar, ini benar-benar luar biasa. Baru saja ia bingung bagaimana

mendapatkan uang untuk

membeli hadiah bagi orang tuanya ketika ia mendapatkan kesempatan itu. Fulvia

merasa semuanya seperti

telah diatur tetapi ia tidak merasa keberatan. Ia sangat gembira karenanya.

Sekarang Fulvia harus memikirkan alasan meninggalkan Unsdrell untuk esok dan

seterusnya. Fulvia

yakin ini akan lebih mudah. Ia bisa mengatakan pada orang tuanya bahwa ia ingin

mengunjungi Audrey dan

Audrey juga tidak akan keberatan membantunya.


Di antara semua keluarganya, hanya Audrey yang mengerti dirinya. Audrey mungkin

tidak setuju

dengan keinginannya ini tetapi setelah ia menjelaskannya, Audrey pasti dapat mengerti

keinginannya ini.

Seperti yang diperkirakan Fulvia, Audrey tidak setuju dengan rencananya itu.

“Aku tidak setuju!” kata Audrey tegas, “Aku tidak akan pernah membiarkanmu

melakukan itu!”

“Tapi, Audrey,” pinta Fulvia, “Aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku hanya ingin

membeli

sebuah hadiah dengan hasil jerih payahku sendiri.”

“Aku tidak setuju, Fulvia. Apa yang akan dikatakan orang tuamu terutama kakakmu bila

ia

mengetahuinya?”

“Karena itu, Audrey, jangan biarkan mereka mengetahuinya.”

“Apakah kau mencoba menjerumuskanku dalam rencana gilamu itu?”

“Tidak, Audrey, ini bukanlah rencana gila. Aku hanya ingin membeli hadiah yang

istimewa untuk

orang tuaku. Selama ini mereka telah merawatku dengan jerih payah mereka. Apakah

salahnya bila aku

juga memberi mereka sesuatu yang kudapat dengan jerih payahku?”

Audrey terdiam.

“Kumohon, Audrey,” pinta Fulvia, “Kau tidak perlu melakukan apa pun. Kau hanya perlu

membantuku
menutupi alasanku ini. Aku yang akan menanggung semuanya.”

Audrey diam melihat pandangan memohon adik sepupunya itu.

“Davies pasti akan mencekikku kalau ia tahu.”

Fulvia tersenyum gembira. “Terima kasih, Audrey,” ia memeluk wanita itu, “Aku tahu

kau akan

membantuku.”

“Aku tidak mengatakannya.”

“Terima kasih, Audrey. Aku menyayangimu.”

Audrey mendesah melihat kegembiraan gadis itu dan ia pun menyerah,

“Aku tidak mau disalahkan bila mereka mulai mencium sesuatu yang janggal.”

“Tentu, Audrey. Aku juga akan berhati-hati,” janji Fulvia.

Audrey mendesah panjang. Ia tidak tahu apakah yang dilakukannya ini benar atau

salah. Tetapi melihat

kegembiraan Fulvia, ia merasa tidak ada salahnya ia ikut membantu Fulvia

membohongi keluarganya.

Lagipula Fulvia melakukannya karena baktinya pada orang tuanya, bukan?

Fulvia gembira. Ia sangat gembira. Dengan Audrey di belakangnya, Fulvia yakin Davies

tidak akan

curiga bila ia keluar rumah seharian setiap hari. Dan kedua kakak sepupu yang selalu

mengikutinya itu

pasti tidak akan bertanya panjang lebar. Mereka juga tidak akan memaksa untuk ikut

dengannya.

Fulvia tahu benar sifat kedua kakak sepupunya itu.


Mereka suka mengikutinya, menemaninya dan membawanya pergi tetapi mereka tidak

suka bila ada

wanita dalam keluarga mereka. Mereka tahu kaum wanita dalam keluarga-keluarga

mereka itu pasti akan

berbicara sendiri dan melupakan keberadaan mereka. Dan yang terparah, menurut

mereka, kaum wanita itu

akan berbicara sepanjang hari hingga membuat mereka bosan.

Masalah ijin sudah beres sekarang tinggallah masalah gaun.

Begitu tiba di rumah, Fulvia langsung mencari-cari baju pelayan di Kamar Kerja, tempat

baju-baju

pelayan dan peralatan mereka disimpan.

Untuk memperkecil kecurigaan keluarganya, Fulvia akan mengenakan gaunnya ketika

ia pergi

meninggalkan Unsdrell dan di toko kue itulah Fulvia akan mengganti bajunya dengan

baju pelayan

pilihannya. Fulvia akan kembali berganti baju sebelum pulang.

Fulvia yakin Jehona tidak akan keberatan meminjamkan kamarnya sebentar.

“Besok akan menjadi hari yang menyenangkan,” kata Fulvia pada dirinya sendiri

sebelum beranjak

tidur.

Fulvia benar-benar sudah tidak sabar untuk menanti pagi hari sehingga ia langsung

bangun begitu sinar

matahari mulai menyinari bumi.


“Papa,” kata Fulvia ketika mereka telah duduk di meja makan, “Hari ini aku akan pergi

ke Greenwalls

lagi.”

“Lagi?!” Davies terperanjat. Mata Davies mengingatkan Fulvia akan kejadian kemarin

sepulangnya

dari rumah Audrey.

Davies menyambutnya dengan keluhan-keluhan panjangnya. Ia mengatakan Trevor

juga Richie terus

mengomel begitu mendengar kepergiannya ke Greenwalls. Davies telah mengusir

mereka pulang tetapi

mereka berdua lebih memilih untuk tetap tinggal.

Bukan omelan kedua pria itu yang membuat Davies ingin mendepak mereka keluar dari

Unsdrell.

Pertengkaran mereka itulah yang benar-benar membuat Davies kesal. Tetapi, tentu

saja, Davies tidak

memberitahu Fulvia tentang bagian ini. Davies tahu Fulvia pasti tidak suka

mendengarnya. Trevor maupun

Richie juga pasti akan marah besar bila ia memberitahu Fulvia rahasia di antara mereka

berdua ini.

Kedua pria itu benar-benar membuat kepala Davies pusing.

Sehari sebelumnya, mereka telah berjanji untuk tidak bertengkar hingga pria pilihan

mereka menjawab
pertanyaan mereka. Mereka sendiri berjanji untuk menahan diri hingga diketahui siapa

di antara mereka

berdua yang lebih dicintai Fulvia.

Tetapi kemarin mereka telah melanggar janji mereka sepanjang hari kemarin.

“Maafkan aku, Davies,” pinta Fulvia, “Audrey membutuhkan teman dan aku telah

berjanji untuk

menemaninya sepanjang hari ini dan untuk beberapa hari mendatang.”

“Besok juga!? Dan besok besok besoknya lagi juga!?” Davies kaget.

“Fulvia benar,” bela Countess, “Saat ini yang diperlukan Audrey adalah teman bicara.”

“Apa yang harus kulakukan terhadap dua orang itu,” keluh Davies.

“Aku yakin kau bisa membantuku menjelaskannya pada mereka,” Fulvia tersenyum

penuh arti.

Davies menyerah. Ia tahu apa pun yang dilakukannya ia tidak akan dapat mencegah

Fulvia juga kedua

sepupunya itu.

“Mengapa engkau tidak menginap saja disana?” tanya Count Silverschatz.

Fulvia juga telah memikirkannya. Semuanya akan lebih mudah bila ia menginap di

Greenwalls tetapi,

“Tidak, Papa. Lewis pasti tidak akan senang melihat aku berada disana.”

“Aku dapat mengerti itu,” kata Countess, “Ia pasti akan mencurigaimu dan mungkin

mengusirmu.”

“Ya,” Fulvia sedih.


Kakak sepupu iparnya itu dulu adalah seorang yang baik. Ia tidak pernah menolak

kehadirannya di

Greenwalls. Ia malah sering mengajaknya menginap di rumah mereka. Tetapi itu

adalah dulu.

Kakak sepupu iparnya yang sekarang pasti akan mencurigainya memata-matai

kegiatannya. Lewis pasti

akan mengira kedatangannya untuk mencampuri masalah keluarganya dan ia pasti

tidak akan segan

mengusirnya.

“Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan kereta kuda.”

“Tidak perlu, Mama,” Fulvia mencegah, “Aku rasa aku akan pergi sendiri kesana.”

Countess menatap putrinya lekat-lekat.

“Aku akan merasa lebih bebas bila aku pergi sendiri. Aku bisa pulang sesukaku tanpa

perlu menanti

jemputan. Aku janji aku tidak akan pulang larut malam.”

“Apa salahnya kita membiarkan Fulvia,” kata Count, “Greenwalls juga tidak jauh.”

“Terima kasih, Papa,” Fulvia gembira.

Sudah dua minggu ini Fulvia menghabiskan hari-harinya.

Fulvia tidak pernah menduga menjaga seorang anak akan sangat menyenangkan.

Pada awal mulanya,

Fulvia kewalahan menghadapi tingkah Tim. Anak lelaki berusia enam tahun itu tidak

mau diam.Adasaja
yang dilakukannya. Fulvia hampir putus asa karenanya.

Jehona tersenyum melihatnya. Ia tidak menyalahkan Fulvia juga tidak menegurnya.

Dengan sabar ibu

muda itu menceritakan pengalamannya setelah melahirkan Tim. Ia juga mendorong

Fulvia untuk tetap

bersabar menghadapi tingkah putranya.

Dorongan Jehona sangat membantu Fulvia mengatasi rasa putus asanya dan ia

menjadi lebih tegar

dalam menghadapi ulah bocah kecil itu.

Sepasang suami istri itu tidak mengetahui siapa Fulvia. Mereka hanya menduga Fulvia

adalah putrid

seorang pedagang kaya dan mereka tidak bertanya banyak. Di sisi lain, Fulvia juga

tidak ingin mereka

mengetahui apa pun tentang dirinya.

Awal mulanya, Fulvia merasa canggung berada dalam keluarga itu. Ia benar-benar

merasakan

perbedaan kehidupan mereka dengan keluarganya. Di sini tidak ada pelayan yang

selalu siap melakukan

apa saja untuknya. Di sini tidak ada kenyamanan-kenyamanan yang ia miliki di

Unsdrell.

Di hari pertama Fulvia menghabiskan waktu makan siang disana, Fulvia benar-benar

canggung. Ia
tidak pernah menghadapi santapan yang sederhana seperti ini. Di rumahnya, acara

makan siang adalah

acara yang panjang. Satu per satu makanan mulai dari sup pembuka hingga makanan

manis datang

bergantian dan sejumlah pelayan siap menanti di Ruang Makan untuk melayani

mereka. Sekarang di

depannya semua telah tersedia dan tidak ada pelayan yang akan membantunya

mengambil lauk pauk di

depannya itu. Tidak ada makanan pembuka maupun penutup. Fulvia sadar ia tidak

berada di Unsdrell dan

ini adalah keputusannya.

Suatu pagi Fulvia terkejut menyadari ia telah terbiasa dengan hidup sederhana mereka.

Fulvia sama

sekali tidak menduga ia bisa beradaptasi dengan cara hidup mereka dalam waktu

singkat ini.

Fulvia menyukai keluarga ini. Ia mulai menyayangi mereka seperti ia menyayangi

keluarganya sendiri.

Walaupun mereka hidup sederhana, mereka selalu tampak bahagia. Fulvia menyukai

suasana hangat dalam

keluarga itu seperti ia menyukai suasana hangat dalam keluarganya ketika mereka

berkumpul bersama.

Walaupun kini Fulvia telah menjadi satu bagian dari keluarga kecil itu, ia tetaplah

berbeda dari
mereka. Setiap orang yang melihatgayabicaranya tahu ia adalah seorang yang

berpendidikan. Setiap orang

yang melihat keluwesan dan keanggunan gerakannya tahu ia bukanlah anggota

kalangan kelas menengah

atau kelas bawah.

Brent mengetahui itu tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia membiarkan pembelinya

yang berpikir

sendiri. Ia juga tidak mengatakan apa-apa kepada tetangga mereka.

Jehona sendiri juga tidak mengatakan apa-apa mengenai Fulvia kepada kawan-

kawannya. Wanita yang

gemar menghabiskan waktu untuk bergossip ria itu benar-benar mendukung keinginan

Fulvia untuk

membeli sebuah hadiah dengan hasil jerih payahnya. Ia bahkan memarahi setiap orang

yang mencurigai

identitas Fulvia.

Sesuai keinginan mereka, Fulvia selalu memasuki toko dengan sembunyi-sembunyi. Ia

memasuki

tempat itu dari pintu samping yang tersembunyi di dalam lorong kecil dan ia

meninggalkan tempat itu dari

tempat itu pula. Setiap hari ia menambatkan kudanya di pekarangan tetangga mereka.

Brent tidak mempunyai kuda tetapi tetangganya mempunyainya dan kepada mereka ia

mengatakan

bahwa itu adalah titipan pelanggannya.


Dukungan mereka terhadapnya benar-benar membuat Fulvia terharu. Fulvia ingin

sekali melakukan

sesuatu untuk mereka tetapi ia tidak tahu apakah itu. Fulvia dapat membeli baju bagus

untuk mereka tetapi

Fulvia yakin mereka akan menolaknya. Fulvia bisa saja membawa makanan-makanan

yang lezat dari

Unsdrell, tetapi itu sama saja menghina masakan Jehona yang tidak kalah dari juru

masak Unsdrell. Fulvia

juga bisa membawakan berbagai macam mainan untuk Tim juga si kecil Sammy, tetapi

Brent pasti tidak

setuju. Brent tidak ingin putranya terlalu dimanjakan dan ia lebih tidak ingin putranya

hanya bermain

sepanjang hari sementara ada banyak pekerjaan yang membutuhkan bantuannya di

tempat itu.

Suatu ketika Fulvia menyadari Tim tidak bisa membaca dan itu membuatnya terkejut. Ia

ingat ibunya

telah mulai mengajarinya membaca semenjak ia masih kecil, lebih kecil dari usia Tim

saat ini. Semenjak

saat itulah Fulvia tahu apa yang dapat dilakukannya untuk mereka.

Awalnya Tim selalu menolak bila Fulvia mulai mengenalkan alphabet padanya. Ia juga

tidak suka

setiap kali Fulvia memintanya untuk melakukan tugas yang diberikannya.


Fulvia tidak pernah menduga mengajari seorang anak kecil akan sesulit ini dan ia

teringat masa-masa

kecilnya. Fulvia tidak pernah menyusahkan Countess ketika Countess mengajarinya

membaca dan menulis.

Fulvia ingat ibunya mengajarinya dengan cara yang menarik dan cara itu pulalah yang

kemudian

digunakannya.

Di Ruang Perpustakaan, Fulvia menemukan kertas-kertas bergambar yang dulu

digunakan Countess

untuk mendapatkan perhatiannya. Fulvia juga menemukan beberapa buku cerita

bergambar. Berbekal

benda-benda itulah ia menarik perhatian Tim dan kini Tim mulai dapat menikmati

pelajarannya.

Fulvia sangat gembira karenanya. Ia juga tidak segan menjanjikan hadiah bagi Tim

setiap kali ia

mempunyai kemajuan besar.

Brent tidak suka setiap kali Fulvia memberi mainan kepada Tim sebagai hadiah atas

keberhasilannya

tetapi kemudian ia tidak pernah menentang niat Fulvia. Ia mengerti Fulvia hanya ingin

mendorong

semangat Tim untuk terus maju. Perlahan ia mulai merasakan manfaat Fulvia disana.

Fulvia, si gadis kaya, benar-benar merepotkannya pada awal mulanya. Ia tidak terlalu

menyukai
keberadaan gadis kaya itu di rumahnya. Ia tidak menyukai sikap Fulvia yang jelas-jelas

menunjukkan

keheranannya melihat kesederhanaan hidup mereka. Tetapi gadis itu telah belajar

menyesuaikan diri. Kini

gadis kaya itu telah menjadi guru pribadi anaknya dan ia berterima kasih karenanya.

Jehona juga sangat gembira. Sekarang Tim jauh lebih pendiam. Ia tidak lagi banyak

bertingkah seperti

dulu dan tidak lagi merepotkannya.

Di saat ia mempunyai waktu, Tim akan mengerjakan tugas-tugas yang ditinggalkan

Fulvia untuknya.

Tim menjadi semakin tekun dan rajin karena Fulvia selalu memberikan hadiah padanya

atas

keberhasilannya walaupun itu tidak selalu berupa mainan. Apa pun bentuk hadiah

Fulvia, Tim selalu

menyukainya. Tim menyukai gadis itu.

Fulvia sangat berterima kasih pada Audrey. Ia tidak akan mempunyai pengalaman yang

menyenangkan

seperti ini bila bukan karena kakak sepupunya itu. Fulvia merasa bersalah karena telah

membuat Audrey

membantunya mengelabuhi keluarganya dan ia semakin merasa bersalah karena ia

tidak pernah

menemuinya semenjak hari itu.


Hari ini Fulvia telah memutuskan untuk menemui Audrey. Ia akan meminta ijin pada

Brent untuk

pulang lebih awal. Dan itulah yang akan dilakukannya sekarang.

“Bila Anda tidak keberatan, Tuan Brent,” kata Fulvia sopan, “Hari ini saya ingin pulang

lebih awal.”

Jehona menatapnya penuh rasa ingin tahu.

“Saya ingin mengunjungi kerabat saya,” Fulvia menjelaskan.

“Sebaiknya engkau segera pergi kesana,” kata Brent mengijinkan.

“Benarkah itu, Tuan Brent?” Fulvia gembira.

“Aku tidak ingin membuat orang tuamu cemas.”

“Baik,” Fulvia berdiri, “Saya mengerti.” Lalu ia berkata pada Jehona, “Ijinkan saya

meminjam kamar

Anda.”

“Silakan.”

Fulvia bergegas mengganti bajunya.

“Ia anak yang baik,” Jehona berkata pada suaminya, “Ia banyak membantuku.”

“Ya,” Brent sependapat, “Ia juga telah membantu kita mengajari Tim. Kadang aku

merasa bersalah

padanya. Bayarannya sebagai seorang guru terlalu kecil untuknya.”

“Tetapi ia sendiri juga tidak ingin dibayar terlalu tinggi,” Jehona mengingatkan, “Ia

sendiri yang

meminta kita untuk memberinya uang sejumlah yang ia butuhkan.”

“Ya,” gumam Brent.


Fulvia telah mengatakan pada mereka di hari pertama ia bekerja disana. Fulvia hanya

ingin bayaran

sesuai dengan harga kotak musik itu dan untuk itu ia bersedia untuk membantu mereka

selama sebulan

mendatang. Fulvia telah mengatakan pada mereka bahwa mereka bisa memberinya

uang itu sebulan

mendatang sesuai dengan jumlah yang diinginkannya. Fulvia tidak ingin merasa

terbebani oleh masalah

gajinya karena itu pula ia tidak pernah mengungkitnya lagi. Fulvia akan menanti saat itu

dengan sabar.

Setiap hari Fulvia selalu menyempatkan diri untuk melalui toko itu. Fulvia ingin

memastikan tidak ada

orang yang membeli kotak musik itu dan ia sendiri selalu berdoa agar tidak ada yang

mendahuluinya.

Fulvia keluar tak lama setelahnya.

“Fulvia,” panggil Tim, “Kau akan pulang?”

“Ya, Tim,” Fulvia berlutut di depan anak itu, “Aku harus melakukan sesuatu.”

“Besok kau akan datang lagi?”

“Ya,” Fulvia berjanji, “Aku akan membawa makanan manis untukmu bila kau mengulang

apa yang

kuajarkan padamu hari ini.”

“Aku janji.”

Fulvia tersenyum senang dan ia berdiri.


“Tuan Brent,” kata gadis itu, “Bila Anda tidak keberatan bisakah Anda memberi saya

dua potong roti

Anda yang lezat itu? Saya ingin memberikannya pada kerabat saya.”

“Tentu,” Brent langsung mengambil dua potong besar roti yang baru saja

dikeluarkannya dari dalam

panggangan.

Fulvia merogoh sakunya untuk membayar roti-roti itu.

“Tidak perlu,” Jehona cepat-cepat menahan tangan Fulvia, “Kau tidak perlu

membayarnya.”

“Tetapi…,” Fulvia ragu-ragu.

“Anggaplah kami memberikannya padamu,” Brent menegaskan.

Fulvia menatap kedua orang itu.

“Baiklah,” Fulvia menyerah, “Terima kasih.”

Setelah berpamitan pada mereka, Fulvia langsung melajukan kudanya ke Greenwalls.

Ia sudah tidak

sabar untuk segera menceritakan pengalamannya kepada Audrey.

Fulvia menambatkan kudanya di pekarangan Greenwalls dan mengetuk pintu

Greenwalls yang tertutup

rapat itu.

Seorang pelayan muncul.

“Ah, Tuan Puteri, selamat datang,” pelayan itu memberi jalan pada Fulvia. “Sungguh

kebetulan sekali.

Nyonya baru saja akan mencari Anda.”


“Mencariku?” Fulvia heran, “Apa yang terjadi?”

“Saya tidak tahu.”

“Di mana ia?” tanya Fulvia.

“Nyonya berada di dalam kamarnya.”

Fulvia langsung melangkah ke lantai atas, ke kamar Audrey.

“Fulvia! Apakah itu kau? Aku mendengar suaramu!” seseorang berdiri di puncak tangga

menuju lantai

dua dengan wajah paniknya.

Fulvia cemas melihat kepanikan kakak sepupunya dan ia mempercepat langkahnya.

Audrey lega melihat Fulvia. “Aku baru saja akan menyuruh pelayan pergi ke Unsdrell,”

katanya.

“Apa yang terjadi padamu, Audrey? Apakah kalian bertengkar lagi?”

“Ini lebih gawat dari itu, Fulvia,” Audrey tampak tidak sabar, “Davies, kakakmu tadi

datang.”

“Apa!?” Fulvia terpekik kaget. Ia sama sekali tidak menduga Davies akan datang ke

Greenwalls.

Celakalah sudah. Davies pasti telah mengetahui semuanya. Davies pasti akan

memberitahu orang

tuanya. Mereka akan marah besar.

“Apa yang dilakukan Davies di sini?” tanyanya panik.

“Ia baru saja mengunjungi temannya dan ia mampir untuk melihatmu,” jawab Audrey.

“Apa yang dikatakannya? Engkau tidak mengatakan apa pun padanya, bukan?”
“Tentu saja. Aku pasti tidak ada di sini bila ia telah mengetahui semuanya,” canda

Audrey. “Aku

mengatakan padanya bahwa kau pergi kekotauntuk membeli sesuatu.”

“Dan ia percaya?”

“Tentu saja. Ia tidak mungkin tidak mempercayaiku,” kata Audrey bangga.

Fulvia lega.

Audrey menatap Fulvia lekat-lekat, “Fulvia, kurasa kau harus mencari alasan lain. Aku

juga tidak bisa

terus menerus menutupi hal ini dari mereka. Kudengar Trevor maupun Richie juga

sudah tidak tahan lagi

oleh kepergianmu ke sini. Cepat atau lambat mereka pasti akan tahu.”

“Jangan khawatir,” Fulvia meyakinkan, “Besok aku akan meminta mereka mengantarku

ke sini. Pasti

tidak akan ada yang curiga.”

Audrey menatap Fulvia dengan cemas.

“Bagaimana keadaan Lewis?” Fulvia mengalihkan topik pembicaraan, “Mengapa aku

tidak melihat

Lewis?”

Raut wajah Audrey langsung berubah. “Aku tidak tahu. Semalam ia tidak pulang.”

Fulvia terkejut. Tiba-tiba saja ia merasa ia telah mencari topic pembicaraan yang salah.

“Jangan kau khawatirkan,” Fulvia mengbibur, “Aku yakin Lewis baik-baik saja.”

“Kurasa ia pasti mabuk-mabukan lagi,” raut wajah Audrey kian mendung.


“Audrey, apakah kau mau mendengar ceritaku?” Fulvia menggandeng Audrey ke kamar

wanita itu,

“Aku punya banyak cerita yang ingin kukatakan padamu. Aku ingin kau tahu apa saja

yang kulakukan

selama ini.”

“Kau berhutang itu padaku,” Audrey segera terpancing oleh Fulvia, “Aku telah

membantumu menutupi

kebohonganmu.”

Fulvia tersenyum. Ia memang berhutang budi pada Audrey dan satu-satunya yang bisa

dilakukannya

adalah menceritakan pengalaman menariknya pada Audrey. Hanya Audrey yang tahu

apa yang

dilakukannya belakangan ini dan Fulvia ingin meyakinkan kakak sepupunya itu bahwa

ia tidak melakukan

sesuatu pun yang berbahaya.

Davies tidak bertanya apa-apa mengenai kepergiannya hari ini. Davies juga tidak

mengatakan apa-apa

pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya dari Greenwalls dan itu sangat

melegakan Fulvia.

Hari ini, setidaknya, Davies percaya ia pergi kekotauntuk membeli sesuatu ketika ia

datang. Tetapi

besok atau lusa bila kejadian ini terulang lagi, Fulvia tidak yakin Davies akan percaya.

“Kau akan pergi ke Greenwalls lagi?”


Fulvia menoleh.

Davies memperhatikan pelayan memasukkan sebuah keranjang besar ke dalam kereta.

“Ya,” jawab Fulvia, “Aku telah berjanji pada Audrey untuk membawakan makanan

kesukaannya.”

“Pelayan bisa meminta kita mengirimnya kesana,” kata Davies, “Kau tidak perlu khusus

kesanauntuk

mengantarnya.”

“Aku telah berjanji pada Audrey,” Fulvia cepat-cepat memikirkan cara untuk meyakinkan

kakaknya,

“Aku telah berjanji pada Audrey untuk melihatnya hari ini. Kemarin malam Lewis tidak

pulang. Aku ingin

tahu apakah ia sudah pulang atau belum.”

“Lewis tidak pulang?”

“Apakah Audrey tidak memberitahumu?” tanya Fulvia, “Kemarin malam Lewis tidak

pulang dan ia

belum pulang ketika sore hari aku kesana.”

Dahi Davies berkerut.

Fulvia terkejut. Ia menyadari kesalahannya. “Maksudku ketika aku pulang darikota,”

Fulvia cepatcepat

membenarkan ucapannya, “Kemarin aku pergi kekotauntuk membeli roti bagi Audrey.

Aku tahu

sebuah toko roti yang lezat dan aku pikir aku akan bisa membuat Audrey sedikit

melupakan kepergian
Lewis bila kami mempunyai sesuatu yang lezat untuk mengisi perut.”

Kerutan di dahi Davies tidak menghilang.

“Aku harus segera pergi,” Fulvia ingin segera meninggalkan tempat itu sebelum ia

semakin

mengatakan sesuatu yang membuat Davies semakin mencurigainya, “Audrey pasti

telah menantiku.”

Fulvia bergegas memasuki kereta.

“Fulvia.”

Fulvia terkejut.

“Berhati-hatilah.”

“Tentu,” Fulvia melambaikan tangan dan ketika kereta mulai bergerak meninggalkan

Unsdrell, Fulvia

merasa sangat lega. Ia tidak tahu harus berkata apa bila Davies melarangnya pergi. Ia

tidak tahu harus

berbuat apa bila Davies ikut bersamanya.

Fulvia merasa beban berat telah terangkat dari pundaknya.

Kereta segera beranjak ke Greenwalls seperti keinginan Fulvia.

Audrey terkejut melihat kedatangan Fulvia pagi itu.

“Tak kusangka kau benar-benar muncul pagi ini,” komentarnya melihat Fulvia.

Fulvia tertawa. “Aku telah mengatakannya padamu.”

“Apa yang kaubawa itu?” tanya Audrey menatap keranjang di tangan Fulvia, “Kau tidak

membawa roti

lagi, bukan? Aku belum menghabiskan roti pemberianmu kemarin.”


“Aku yakin kau tidak akan melewatkan ini,” Fulvia meletakkan keranjangnya di meja dan

mengeluarkan isinya, “Musshroom Puffs Pastry.”

“Kau memang tahu bagaimana membujuk orang,” keluh Audrey.

Fulvia tertawa. Ia meletakkan pastry isi jamur kesukaan Audrey itu di meja.

“Kurasa kau telah membuat seisi Unsdrell sibuk sejak pagi.”

“Apa boleh buat. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan kecurigaan Davies.”

Fulvia menutup kembali keranjangnya. “Bagaimana Lewis? Apakah ia sudah pulang?”

“Ya,” nada suara Audrey langsung berubah, “Ia baru pulang dini hari tadi dan sekarang

ia masih tidur

di kamar.”

“Apa ia mengatakan sesuatu tentang kepergiannya?” Fulvia bertanya prihatin.

“Tidak,” Audrey terlihat sangat sedih, “Kurasa ia tidak akan pernah memberitahuku.”

Fulvia turut bersedih melihat kakak sepupunya itu. “Aku sungguh ingin menemanimu

hari ini,” katanya

sedih, “Tetapi aku tidak dapat.”

“Kau akan pergi?”

“Aku telah terlambat,” Fulvia menenteng keranjangnya, “Aku tidak ingin membuat

mereka

mencemaskanku.”

“Bagaimana kau akan kesana?”

“Aku akan berjalan kaki kesana,” jawab Fulvia.

“Sendirian?”

“Jangan khawatir, Audrey. Tempat itu tidak jauh dari Greenwalls,” Fulvia menuju pintu.
“Sampai kapan kau akan terus begini? Aku tidak yakin aku bisa membantumu lebih

lama lagi. Hidung

Davies sudah mulai mencium ketidakberesan di antara kita.” Audrey mengikuti Fulvia

ke pintu masuk.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan melibatkanmu. Dua minggu lagi semua ini akan

selesai. Aku akan

sangat berhati-hati sampai semua ini selesai.”

“Aku pergi,” katanya lalu ia menatap Audrey, “Dan jangan berpikir terlalu banyak. Aku

pasti akan

menemanimu begitu semua ini selesai.”

“Aku akan sangat menantikannya,” kata Audrey.

Fulvia melambaikan tangannya ke Audrey dan berjalan meninggalkan Greenwalls.

Audrey terus berdiri di pintu masuk sampai Fulvia menghilang di jalan raya.

Dua minggu lagi…

Sedikit lagi…

Fulvia tidak akan membiarkan rencananya ini rusak dan ia akan melakukan apa pun

demi keberhasilan

rencananya ini.

Semua orang pasti akan mengatakan ini adalah rencana paling gila dari seorang putri

bangsawan tetapi

bagi Fulvia ini adalah rencana yang hebat. Ia benar-benar menikmati rencananya ini

dan ia menyukai

pengalaman ini.
“Maafkan keterlambatan saya,” Fulvia muncul dengan senyum manisnya.

Brent keheranan melihat kedatangan Fulvia melalui pintu depan. “Kau tidak membawa

kudamu?”

“Ya,” jawab Fulvia, “Saya pergi ke rumah kerabat saya sebelum ke sini.”

“Fulvia! Fulvia!” seorang anak kecil berlari keluar, “Aku telah mengulanginya. Kau telah

berjanji

padaku untuk memberiku sesuatu. Aku telah mengulangi semuanya.”

Fulvia tersenyum. “Ya, aku percaya padamu.”

Jehona melihat keranjang di tangan Fulvia. “Apa yang kaubawa?”

“Saya membawa Circletes,” Fulvia meletakkan keranjangnya di meja terdekat, “Saya

yakin kalian

akan menyukai kue almond ini.” Fulvia menatap bayi yang sedang tertidur nyenyak di

gendongan wanita

itu. “Sayang sekali kau masih tidak bisa memakannya, Sammy. Kalau kau sudah lebih

besar, aku akan

membawakannya untukmu.”

Seolah mengerti apa yang dikatakan Fulvia, bayi itu tersenyum.

“Apakah aku boleh memakannya?” tanya Tim.

“Tidak, Tim,” kata Fulvia tegas, “Tidak sebelum kau mengulang apa yang telah kau

pelajari kemarin

padaku.”

Tim kecewa.

“Ijinkan saya meminjam kamar Anda, Nyonya Jehona.”


“Silakan.”

Fulvia bergegas mengganti gaunnya.

Tim dengan tidak sabar menanti gadis itu mengganti pakaiannya. Ia sudah tidak sabar

membacakan

buku yang telah dibacanya kemarin malam kepada Fulvia. Ia sudah tidak sabar

menunjukkan pada gadis itu

bahwa ia telah mengulang pelajarannya kemarin. Dan yang paling dinantikannya

adalah memakan kue yang

dibawa Fulvia.

Fulvia sangat mengerti keinginan anak itu dan ia menahan keinginan itu lebih lama lagi.

Begitu ia

mendengar Tim membaca buku dongeng itu dengan lancar, ia membiarkan anak itu

menghabiskan makanan

yang dibawanya.

Inilah awal kegiatan Fulvia di tempat itu. Semuanya berjalan seperti biasa tanpa ada

sesuatu yang

istimewa. Kalaupun ada itu karena Fulvia tengah memikirkan alasan baru untuk

meninggalkan Unsdrell.

Keriangan dan kelincahan Tim benar-benar membantu Fulvia untuk melupakan segala

kerisauan

hatinya di hari itu. Ia benar-benar hampir melupakan rahasianya yang hampir

terbongkar ini.
Tetapi ketika sore beranjak dan tiba waktunya bagi Fulvia untuk pulang, pikiran itu

kembali

menghantui Fulvia.

Fulvia meninggalkan tempat itu dengan senyuman tetapi tak lama setelahnya ia

kembali berkutat

dengan kegalauan hatinya.

Fulvia berpikir keras.

Audrey benar ia sudah tidak bisa menggunakan cara ini untuk mengelabui Davies

terus-terusan. Ia juga

tidak bisa setiap hari membawa sesuatu untuk Audrey seperti pagi ini. Davies pasti

akan curiga padanya.

Rahasianya pasti akan terbongkar. Ini hanya masalah waktu.

Tetapi, kurang dua minggu lagi dan semuanya akan selesai. Fulvia tidak dapat

menyerah. Fulvia tidak

dapat membiarkan seorang pun tahu. Fulvia harus memikirkan cara lain untuk

menutupinya. Sebuah alasan

tepat yang tidak akan membuat keluarganya maupun kakak-kakak sepupunya curiga.

Kedua orang tuanya bukanlah masalah besar baginya. Count maupun Countess

percaya setiap hari

Fulvia pergi menemani Audrey. Countess bahkan mendukungnya. Seperti yang pernah

dikatakan Countess

Kylie, Audrey membutuhkan teman. Karena itulah ia membiarkan putrinya pergi ke

Greenwalls setiap
harinya.

Di sisi lain Davies yang sudah kewalahan oleh pertengkaran Trevor maupun Richie,

mulai

mencurigainya apalagi setelah kemarin Davies mendapati ia tidak berada di

Greenwalls.

Jalan yang paling mudah adalah memberitahu Davies dan meminta dukungannya tetapi

itu juga adalah

cara yang paling tolol. Davies tidak akan pernah mengijinkannya melakukan ini.

Fulvia harus menemukan alasan baru agar kakaknya tidak curiga.

Bahu Fulvia berselisihan dengan seseorang.

Fulvia kaget. Keseimbangan tubuhnya langsung hilang oleh tubrukan keras itu dan

keranjangnya

terlepas dari tangannya.

Tangan orang itu langsung terulur menarik lengan Fulvia.

“Te… terima kasih,” Fulvia masih belum pulih dari kekagetannya.

“Apa yang kaulakukan di sini?” sepasang mata dingin itu menatap Fulvia.

Fulvia terkejut menyadari siapa yang baru ditabraknya itu.

“Apa yang kau tidak sadar kau membahayakan dirimu sendiri dengan melamun

sepanjang jalan,”

dahiIrvingberkerut ketika ia membungkuk mengambil keranjang Fulvia. “Dan pada

waktu seperti ini.”

Nada-nada penuh peringatan itu mengingatkan Fulvia akan larutnya keadaan saat itu.

“Oh,” Fulvia sadar, “Maafkan saya. Saya sedang memikirkan sesuatu.”


Tiba-tiba Fulvia merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Fulvia tidak melihat

seorang wanita

pun di sisiIrving!

“Anda sendirian, M’lord?” pertanyaan itu terlempar begitu saja.

Irvingtidak berminat menjawabnya.

Tiba-tiba Fulvia mendapat ide.

“Bila Anda berkenan, M’lord,” Fulvia berkata sopan, “Apakah Anda bersedia mengantar

saya

pulang?”

Irvingterkejut. Lagi-lagi gadis ini melakukan sesuatu yang benar-benar di luar

dugaannya.

“Kereta keluarga saya telah pulang dan saya tidak yakin saya dapat menemukan kereta

kuda untuk

membawa saya pulang sebelum hari gelap. Saya telah berkeliling di tempat ini tetapi

saya tidak

menemukan sebuah kereta kuda pun.”

Fulvia tidak berbohong karena kereta keluarganya telah pulang setelah

mengantarkannya ke

Greenwalls. Saat ini Fulvia juga sedang berpikir sambil mencari kereta kuda sewaan.

“Tentu saja,” katanya.

Fulvia senang. Ia menemukan alasan untuk meninggalkan Unsdrell esok hari.

Tanpa berkata panjang lebar,Irvingmembawa Fulvia ke kereta kudanya. Mereka juga

tidak bercakapcakap
hingga kereta kudaIrvingtiba di Unsdrell.

Davies sudah menanti Fulvia di serambi dengan wajah menakutkannya. Ia sudah

benar-benar tidak

sabar. Hari semakin larut. Langit kemerahan musim panas sudah mulai menggelap

ketika akhirnya kereta

itu memasuki pekarangan Unsdrell.

Davies heran melihatIrvingturun dari kereta itu dan ia terkejut melihatIrvingmembantu

Fulvia turun

dari dalam kereta kuda itu.

“Terima kasih, M’lord,” kata Fulvia sambil tersenyum manis, “Saya akan sangat

menantikan

pertemuan kita besok pagi.”

Mata Irving meruncing sementara itu mata Davies langsung membelalak lebar.

Irvingmenatap tajam gadis itu. Apakah ia mengatakan pada gadis ini bahwa ia akan

membawanya

pergi besok pagi? Apa yang sedang direncanakan gadis ini?

Davies menatap tajam pria di sisi Fulvia. Apa yang akan dilakukan pria itu terhadap

Fulvia?

Irvingmerasakan tatapan curiga itu dan ia tidak menyukainya. Ia tidak suka cara Davies

menuduhnya

seperti ini. Davies tidaklah lebih tua darinya. Mereka seumur! Tetapi ia bertindak

seolah-olah ialah yang

paling tua di antara mereka.


Irvingtidak merencanakan apa pun dan bila ada yang sedang menyembunyikan sesuatu

di antara

mereka, itu adalah Fulvia.

Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini tetapiIrvingyakin ia mempunyai niat tidak

baik. Sesuatu

dalam diriIrvingmemperingatkanIrvingakan bahaya yang akan disebabkan gadis ini

pada dirinya.

Irvingmemutuskan ia akan mengikuti permainan gadis ini. Ia akan membiarkan gadis ini

menduga

rencananya telah berhasil. Ia akan membiarkan gadis ini berpuas diri sebelum ia

menjungkirbalikkan

rencananya itu.

“Selamat malam, M’lord,” kata Fulvia.

“Selamat malam, M’lady,”Irvingmeraih tangan Fulvia dan menciumnya. “Saya akan

menantikan

pertemuan kita besok pagi.”

Davies ingin sekali menjauhkan pria itu dari Fulvia dan menghajarnya.

Fulvia tersenyum gembira. Besok ia akan dapat pergi dengan bebas tanpa kecurigaan

Davies.

“Mengapa Anda di sini?” Fulvia heran.

Pagi ini Fulvia tengah bersiap pergi kekotaketika pelayan datang memberitahukan

kedatangan seorang
pria yang tengah menantinya. Fulvia sangat bingung mendengarnya. Ia tidak

mempunyai janji dengan siapa

pun pagi ini. Fulvia tidak mengharapakan kedatangan Trevor maupun Richie pagi ini.

Hari Minggu yang lalu ketika mereka berdua datang, Fulvia telah menjelaskan pada

mereka posisinya

saat ini. Tentu saja ia tidak mengatakan semuanya pada mereka. Ia hanya

memberitahu mereka ia harus

pergi kekotasetiap hari. Ia telah berjanji pada Audrey untuk menemaninya sepanjang

hari. Mulanya kedua

sepupu itu tidak gembira mendengar berita yang telah mereka ketahui dari Davies itu

tetapi mereka,

seperti Countess Kylie, tahu Audrey membutuhkan seorang teman.

Kedua sepupu telah memberikan ijin mereka padanya. Bahkan mereka berkata dengan

kepergiannya

ini, mereka bisa lebih memusatkan diri pada kewajiban mereka sebagai calon pengganti

orang tua mereka

seperti yang diinginkan orang tua mereka.

Tanpa berpikir panjang Fulvia langsung menemui orang itu.

Davies yang telah mendengar lebih dahulu akan kedatangan pria itu telah berada

disanaketika Fulvia

tiba.

“Bukankah kita telah berjanji untuk bertemu lagi pagi ini,”Irvingmengingatkan.


Fulvia teringat sandiwaranya kemarin malam. Ia ingin menjelaskannya padaIrvingtetapi

Davies berada

disana.

“Maaf. Saya kira kita akan berjumpa di tempat kemarin. Saya benar-benar tidak

menduga Anda akan

datang menjemput saya.”

“Saya tidak dapat membiarkan Anda pergi kesanaseorang diri, M’lady.”

Fulvia merasa ia benar-benar tidak tertolong. Mungkin inilah yang dikatakan satu

kebohongan akan

membuka kebohongan yang lain.

“Apakah kita bisa pergi sekarang, M‘lady?”Irvingmengulurkan tangan.

Fulvia menyambut uluran tangan itu.

Mata tajam Davies mengawasi setiap tindakanIrving.

“Davies,” Fulvia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta, “Aku akan pulang

sebelum makan

malam.”

Davies tidak dapat berbuat apapun selain berkata, “Berhati-hatilah.”

Davies tidak menyukaiIrvingtetapi ia tidak dapat menunjukkannya kepada Fulvia.

“Ini semua gara-gara Trevor juga Richie,” Davies menggerutu sambil berjalan masuk.

Davies yakinIrvingsedang berencana menjadikan Fulvia satu di antara wanita-wanita

yang pernah

memasuki hidupnya dan itulah sebabnya ia menemui pria itu sebelum Fulvia muncul.
Sekali lagi ia memperingatkan pria itu untuk menjauhi Fulvia tetapi pria itu malah

berkata dengan

sombongnya, “Sebaiknya kau mengatakannya pada adikmu. Ia mencariku bukan aku

yang mencarinya.”

Davies kesal. Ia ingin sekali melayangkan tinjunya di muka sinisIrvingtetapi Fulvia ada

disana. Fulvia

pasti akan membencinya bila ia melakukan itu di hadapannya.

Davies tahu Fulvia paling tidak suka melihat pertengkaran. Trevor dan Richie juga

mengetahui hal itu.

Mereka bertiga tidak akan pernah melupakan bagaimana Fulvia menemukan ketiganya

berkelahi

memperebutkan sebuah mainan.

Kala itu mereka masih kecil. Mereka mempunyai kegemaran yang sama. Mereka

menyukai mainan

yang sama.

Biasanya, orang tua ketiganya akan membelikan mainan yang sama untuk

menghindarkan pertengkaran

di antara mereka tetapi kali itu lain. Kali itu Trevor menemukan sebuah kereta-keretaan

kayu yang menarik

perhatiannya. Sayangnya mainan itu hanya satu dan tidak ada duanya. Trevor sudah

sangat tertarik pada

mainan sehingga orang tuanya tidak mempunyai pilihan lain selain membelinya.
Trevor yang sangat gembira dengan mainan barunya segera memamerkan mainan itu

pada kedua

sahabatnya.

Ketiganya menyukai mainan baru Trevor itu dan mereka berebut mainan itu sampai

berkelahi. Saat

itulah Fulvia muncul.

Fulvia langsung menangis melihat ketiganya berkelahi dengan seru. Tangisan Fulvia

begitu keras

hingga ia mengagetkan semua orang.

“Aku benci Davies! Aku benci Trevor! Aku benci Richie!” Fulvia terus menerus

mengucapkan kalimat

itu sambil menangis tersedu-sedu.

Seketika orang tua dari tiga keluarga itu langsung memarahi tiga anak lelaki itu. Mereka

menyalahkan

ketiganya atas tangisan Fulvia. Mereka menghukum ketiganya karena membuat Fulvia

menangis.

Davies tidak akan lupa bagaimana Fulvia menghindari mereka bertiga selama berhari-

hari setelah

peristiwa itu. Fulvia benar-benar membenci mereka dan ia telah memberikan hukuman

yang lebih parah

dari hukuman orang tua mereka.

Davies mendesah. Andai saja ia mempunyai kesempatan untuk menghantam muka

sinisIrving, ia pasti
telah melakukannya. Ia tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk berkelahi

dengan pria itu demi

Fulvia.

“Setidaknya,” Davies berpikir lanjut, “Kali ini mereka harus menanggung sendiri

akibatnya.”

Tetapi Davies kemudian berubah pikiran. Ia tidak akan memberitahu Trevor maupun

Richie tentang

kepergian Fulvia hari ini. Ia ingin menanti Fulvia. Ia ingin tahu apa yang

diperbuatIrvingpada adiknya. Ia

harus mengetahui semuanya dengan jelas sebelum mencari perhitungan

denganIrvingjuga kedua sepupunya

itu.

-----0-----

Fulvia tahu ia tidak bisa mendiamkan begini saja kesalahpahaman di antara mereka. Ia

harus

menjelaskan semuanya padaIrving.

“Ke mana kita akan pergi?”

Fulvia terkejut.

“Kau ingin pergi ke suatu tempat, bukan?”

“Saya ingin kekota, M’lord.”

Irvingmenanggapinya dengan mengetuk jendela yang menghubungkan dengan kusir

kuda dan

mengatakan tujuan mereka pada kusir kudanya.


“M’lord,” Fulvia tidak tahu bagaimana harus memulai, “Saya rasa ada kesalahpahaman

di antara

kita.”

Irvingmemicingkan sudut matanya. Mata biru tuanya memperhatikan Fulvia lekat-lekat.

“Saya tidak berencana untuk mengajak Anda pergi,” Fulvia merasa bersalah, “Saya

hanya perlu

meninggalkan Unsdrell dan kemarin saya terpaksa berbohong pada Anda juga Davies.

Davies tidak akan

mengijinkan saya meninggalkan Unsdrell pagi ini tanpa sebuah alasan yang jelas dan

saya tidak ingin

Davies mengetahui tujuan saya.”

“Apa yang akan kaulakukan?”

“Saya perlu melakukan sesuatu yang penting,” jawab Fulvia tanpa menerangkan lebih

banyak,

“Sesuatu yang penting dan tidak boleh diketahui siapa pun.”

Jawaban itu membuatIrvingsemakin ingin tahu apa yang sedang direncanakan Fulvia.

“Anda bisa menurunkan saya di tempat kemarin saya berjumpa Anda,” Fulvia

melanjutkan, “Saya akan

bisa mengatasi semuanya darisana.”

“Bagaimana kau akan pulang?”

Pertanyaan tak terduga itu membuat Fulvia terkejut.

“Saya akan menyewa kereta kuda,” jawab Fulvia meyakinkan.

Jawaban itu tidak membuatIrvingpuas tetapi pria itu tidak bertanya lebih lanjut lagi.
Fulvia juga tidak berbicara lebih banyak lagi. Ia tidak ingin orang lain mengetahui

rencananya. Dua

minggu lagi dan rencananya ini akan berhasil. Sebelum itu, Fulvia tidak ingin orang lain

setelah Audrey

mengetahui rahasianya, rahasia kecil yang pasti akan membuat orang tuanya gembira.

Seperti keinginan Fulvia, kereta kudaIrvingmengantarnya sampai ke pinggir jalan

tempat kemarin

mereka bertabrakan.

Fulvia mengucapkan terima kasihnya padaIrvingbegitu mereka tiba dan ia menanti di

tempat itu

sampai kereta keluarga Engelschalf menghilang dalam hiruk pikuk pagi hari di

pusatkota.

Fulvia menutupi segala kegalauan hatinya dengan senyum. Fulvia tidak boleh dan tidak

dapat

membiarkan keluarga itu mengetahui kegalauan hatinya. Mereka tidak boleh

mengetahui apapun tentang

bahaya rahasianya ini. Setidaknya, hari ini ia bisa lolos dari Unsdrell.

Bagaimana ia akan mengelabuhi keluarganya, bisa ia pikirkan sepulangnya dari tempat

kerjanya.

Setelah memantapkan hati, Fulvia melangkah ke toko roti yang tak bernama itu.

“Hari ini kau juga diantar keluargamu?” sambut Brent melihat kedatangan Fulvia dari

pintu masuk.
“Ya,” Fulvia setengah membenarkan. Ia tidak ingin Brent mengetahui lebih banyak

tentang

masalahnya. Ia juga tidak ingin Jehona ikut mencemaskan keberhasilan rencananya ini.

Tanpa memberi

keterangan lagi, Fulvia bergegas mengganti gaunnya.

“Tak terasa waktu cepat berlalu,” komentar Jehona ketika Fulvia keluar dari kamarnya,

“Rasanya

seperti baru kemarin kau muncul di sini dan sekarang sudah dua minggu lebih kau

berada di sini.”

Fulvia tersenyum. Ia juga tidak pernah membayangkan waktu akan berlalu secepat ini.

Ia menikmati

saat-saat berada di antara keluarga ini. Sekarang setiap pagi ia merasa seperti pergi

menemui keluarganya

yang lain bukan pergi ke tempat kerjanya.

“Fulvia, kau akan pergi?” Tim menarik gaun Fulvia.

“Tidak, Tim. Untuk beberapa hari mendatang aku masih akan ada di sini.”

“Benarkah itu?” Tim gembira.

“Ya,” jawab Fulvia, “Aku masih bisa datang menjengukmu setelahnya.”

Fulvia tahu ia tidak akan bisa meninggalkan keluarga ini. Keluarga ini telah menjadi

bagian dari

dirinya. Keluarga ini telah memberikan pengalaman-pengalaman berharga dalam

hidupnya. Fulvia tidak

akan melupakan saat-saat bersama keluarga ini.


Semua pengalaman yang didapatkannya dari keluarga ini adalah pengalaman yang

baru.

Melalui keluarga inilah ia mengetahui lebih jelas bagaimana perbedaan kehidupan

kalangan atas dan

kalangan menengah ke bawha.

Melalui keluarga inilah ia mengerti kebahagian adalah harta yang lebih berharga

dibandingkan uang

mana pun.

Melalui keluarga inilah ia mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak

dapat diberikan

keluarga maupun guru privatnya.

Mereka telah mengajarinya untuk hidup sederhana.

Mereka mengajarinya untuk berbagi dengan sesama.

Mereka membagikan pengalaman-pengalaman berharga mereka padanya.

Fulvia telah sangat menyayangi keluarga ini hingga ia sendiri tidak tahu bagaimana ia

harus

meninggalkan keluarga ini dua minggu mendatang.

Fulvia tidak tahu bagaimana tetapi saat ini ia tahu ia harus memikirkan cara untuk

menutupi

kepergiannya untuk dua minggu mendatang. Ia harus memikirkannya.

Seperti kemarin, Tim membantunya melupakan kegalauan hatinya. Kebahagiannya

melihat kemajuan
yang diperoleh Tim membuatnya sangat puas. Setelah ia yakin Tim telah dapat

membaca dengan lancar,

Fulvia mulai mengajarkan apa yang diketahuinya dari guru pribadinya.

Fulvia telah mengenalkan angka dan huruf padanya sekarang ia ingin mengenalkan

ilmu pengetahuan

pada anak cerdas itu.

Setelah sekian lama mengajari Tim, Fulvia mengakui kecerdasan anak itu. Tim dapat

dengan cepat

menangkap dan menguasai semua yang diajarkan Fulvia. Dalam hatinya, Fulvia

berharap Tim akan

memperoleh pekerjaan yang bagus di masa mendatang. Berdagang roti bukanlah

pekerjaan yang buruk

tetapi tidak ada salahnya bila Fulvia menaruh harapan besar pada Tim.

Fulvia tidak pernah mengatakannya pada orang tua Tim. Ia hanya menyimpan

pendapatnya itu untuk

dirinya sendiri.

Sore itu Fulvia melenggangkan kaki ke jalanan. Sekali lagi ia memastikan kotak musik

yang

diidamkannya belum berpindah tangan ke orang lain.

Melihat kotak musik itu masih mengalunkan nyanyian lembut dari dalam toko yang

sama, Fulvia

bahagia. Untuk sejenak ia dapat melupakan kerisauannya.


“Aku pasti akan membelimu,” ia berjanji pada kotak musik itu, “Untuk itu jangan biarkan

kau dibeli

orang lain.”

Setelah mengucapkan janjinya yang kesekian kalinya pada kotak musik itu, Fulvia

melangkahkan kaki

di jalanan pusatkota.

Hari mulai larut dan Fulvia tidak mempunyai waktu untuk berkeliaran dikotasambil

berpikir seperti

kemarin. Fulvia harus segera pulang atau keluarganya akan mulai mencemaskannya.

Baru saja Fulvia melangkahkan kaki ketika matanya menangkap sesosok pria yang

dikenalinya dengan

baik. Pertemuannya denganIrvingmemang barulah tiga kali tetapi itu cukup untuk

membuat Fulvia mengenali

pria itu di keramaian seperti ini.

Pria itu tampak sangat mencolok di keramaian. Ia tampak berbeda dari yang lain.

Bukan karena rambut

keemasannya yang bersinar di bawah sinar matahari sore itu. Sesuatu memancar dari

pria itu, sesuatu yang

membuatnya terpisah dari keramaian.

Fulvia tersenyum. Sekarang ia tahu mengapa begitu banyak wanita yang bertekuk lutut

di harapan pria

itu. Ia mengerti mengapa masih begitu banyak wanita yang rela mengantri untuk

mendapatkan pria dengan


reputasi miring segudang itu.

Irvingsungguh tampak menawan dan gagah di samping kereta kuda yang dikenali

Fulvia sebagai kereta

kuda keluarga. Sepasang bola mata biru tuanya memandang dingin ke satu arah.

Bibirnya yang mengatup

rapat menggambarkan ketidaksabarannya.

“Mungkin ia menanti teman kencannya,” pikir Fulvia dan bersiap meninggalkan tempat

itu.

“Aku telah menduga akan menemukanmu di sini,” pria itu mendekat.

Fulvia terkejut. Apakah Irving sedang berbicara padanya? “Anda menanti saya?”

“Aku tidak punya banyak waktu,”Irvingmeraih tangan Fulvia.

Walaupun ia masih bingung, Fulvia membiarkan pria itu membantunya naik kereta.

Kebingungan

Fulvia masih juga tidak terjawab ketika kereta bergerak perlahan meninggalkan

pusatkotadan Fulvia

memutuskan untuk bertanya langsung,

“Mengapa Anda menanti saya?”

“Aku membawamu pergi dan aku berkewajiban memulangkanmu,” jawab pria itu

singkat.

Fulvia terperangah.Irvingbenar-benar seorang gentleman seperti yang didengarnya.

Fulvia tersenyum.

Mungkin ia bisa memanfaatkan sedikit sifatnya ini.

“Apakah ini sangat mengganggu Anda?”


Irvingmemperhatikan senyum yang menyembunyikan sejuta rencana itu.

“Bila Anda berkenan, apakah setiap hari Anda bisa menjemput saya di Unsdrell?”

Irvingsama sekali tidak mendapatkan gambaran tentang rencana gadis ini.

“Semuanya akan lebih mudah bagi saya setelah meninggalkan Unsdrell,” Fulvia

tersenyum gembira.

Sesuatu meyakinkannya. Ia percayaIrvingakan bersedia membantunya. “Saya sangat

membutuhkan bantuan

Anda untuk meninggalkan Unsdrell tanpa kecurigaan siapa pun.”

Apakah gadis ini sedang mencoba menjerumuskannya dalam rencananya itu?

Apakah gadis ini sedang memancingnya?

“Anda tidak perlu melakukannya untuk selama-lamanya,” Fulvia menambahkan, “Saya

hanya

membutuhkannya untuk dua minggu mendatang.”

Irvingmemperhatikan raut memohon di wajah yang polos di wajah Fulvia itu. “Gadis

ingusan ini

lumayan bagus,” ia memuji Fulvia dalam hatinya.

“Saya tidak keberatan,”Irvingmemutuskan untuk membiarkan dirinya terjun dalam

rencana Fulvia,

“Setiap pagi di waktu yang sama dan setiap sore di tempat dan waktu yang sama,

bukan?’

“Terima kasih, M’lord,” Fulvia gembira.

Irvingingin tahu bagaimana gadis ini akan menjeratnya.


Fulvia tersenyum gembira. Ia tidak perlu memikirkan alasan untuk meninggalkan

Unsdrell lagi. Audrey

juga tidak perlu mengkhawatirkannya.

Fulvia sangat puas. Ia ingin segera memberitahukan kabar gembira ini pada kakak

sepupunya. Ia ingin

sekali kakak sepupunya itu juga merasa gembira seperti dirinya.

Atas dasar keputusan itulah Fulvia berkata, “Besok sore Anda tidak perlu merepotkan

diri menjemput

saya.”

Mata Irving mengawasi Fulvia.

“Saya ingin menjenguk kakak sepupu saya,” Fulvia memberikan alasannya.

“Kurasa aku telah membuat janji padamu,”Irvingtidak sependapat, “Keluargamu pasti

akan mencariku

bila terjadi sesuatu padamu. Aku akan menjemputmu seperti hari ini dan aku akan

mengantarmu ke rumah

kerabatmu itu”

Fulvia terperanjat. “Anda… bersedia, M’lord?” ia tidak percaya.

“Kurasa kita telah jelas mengenai hal itu,”Irvingberkata dingin.

“Terima kasih, M’lord,” Fulvia tersenyum bahagia, “Saya sangat menghargainya.”

Mata Irving menangkap senyum bahagia yang penuh kepuasan itu.

“Gadis ini tidak terlalu pintar untuk membohongiku,” pikirnya sinis.

Fulvia melihat kereta mulai memasuki pekarangan Unsdrell. Sesaat kemudian kereta

berhenti di depan
pintu masuk Unsdrell.

“Selamat malam, M’lady,”Irvingmencium tangan Fulvia.

“Selamat malam, M’lord,” kata Fulvia pula.

Fulvia memperhatikanIrvingmasuk dalam kereta. Ia tetap disanahingga kereta

menghilang dari

pekarangan Unsdrell.

Hari ini Fulvia pulang sedikit lebih awal dari kemarin. Langit musim panas masih

kemerahan di ufuk

barat.

“Selamat datang, Tuan Puteri,” pelayan menyambut kedatangan Fulvia.

“Apakah aku terlambat untuk makan malam?”

“Tidak, Tuan Puteri. Anda datang tepat pada waktunya. Kami baru saja akan

menyiapkan makan

malam.”

Fulvia sangat gembira mendengarnya. Ia bergegas ke kamarnya untuk berganti dan

bersiap untuk

menemui kedua orang tuanya.

Fulvia sangat merindukan kedua orang tuanya. Rasanya sudah lama ia tidak bertemu

mereka.

Fulvia tersenyum geli.

Semenjak ia memutuskan bekerja untuk mendapatkan uang membeli hadiah ulang

tahun pernikahan

orang tuanya, ia menghabiskan sedikit waktu bersama mereka.


Setiap pagi ia meninggalkan Unsdrell setelah makan pagi bersama mereka dan ia baru

pulang ketika

waktu makan malam menjelang. Sesudahnya, mereka hanya menghabiskan waktu

untuk melakukan kegiatan

masing-masing.

Kali ini Fulvia tidak dapat menceritakan kegiatannya sepanjang hari kepada Countess.

Mengatakan

kepadanya sama saja dengan membongkar rahasianya.

Untunglah Countess Kylie tidak pernah mencoba membuatnya berbicara. Mungkin

Countess mengerti

dan ia ingin Fulvia bercerita atas keinginannya sendiri.

Fulvia heran melihat kakaknya berada di Ruang Makan seorang diri.

“Di mana Papa Mama?”

“Inilah akibat kau terus meninggalkan Unsdrell sepanjang hari,” Davies menyalahkan.

Fulvia mengambil tempat di depan kakaknya.

“Mereka pergi menerima undangan Paman Graham.”

“Paman Graham?” ulang Fulvia, “Apakah ada sesuatu yang terlewat olehku?”

“Banyak,” Davies berkata tajam, “Kau melewatkan omelan-omelan Trevor juga Richie

sepanjang

hari. Kau melewatkan kecemasan Mama begitu mendengarIrvingmenjemputmu.”

“Kau memberitahu Mama!?” Fulvia terperanjat.

“Ya,” kata Davies, “Dan aku sedang mempertimbangkan untuk memberitahu Trevor

juga Richie.”
“Jangan kaulakukan itu!” Fulvia menegaskan, “Jangan memberitahu Trevor maupun

Richie.”

Davies memincingkan matanya.

“Aku tidak yakin mereka akan senang mendengarnya,” Fulvia memberitahu, “Kupikir

ada beberapa hal

yang pantas disembunyikan dari mereka.”

Davies tidak mengerti jalan pikiran adiknya.

“Kau sendiri tahu bagaimana Trevor dan Richie begitu ketatnya

mengawasiku.Irvingadalah teman baik

mereka dan aku tidak ingin merusak hubungan mereka.”

Davies menahan tawa gelinya. Fulvia masih tidak tahu apa yang sedang direncakan

kedua pria itu

dengan memperkenalkanIrvingpadanya.

“Bagaimana hubunganmu dengan Lady Margot?” Fulvia mengalihkan pembicaraan.

Tawa tertahan Davies langsung menghilang.

“Jangan kaukatakan kau masih tidak pernah berkunjung ke rumahnya. Jangan

katakana padaku kau

masih tidak pernah mengajaknya keluar.”

Davies tidak menjawab.

“Oh, Davies,” Fulvia mendesah, “Kau benar-benar tidak tertolong. Bagaimana

hubunganmu dengan

Lady Margot akan mendapat kemajuan bila kau sendiri seperti ini? Apakah kau kira kau

bisa menemuinya
di setiap pesta?”

“Jangan menceramahiku,” Davies tidak senang, “Sebaiknya kau menyelesaikan sendiri

masalahmu.”

“Masalahku?” Fulvia heran, “Aku tidak mempunyai masalahasmaraapa pun.”

Fulvia menatap kakaknya lekat-lekat. “Sebaliknya, kakakku sayang, aku melihat kaulah

yang

mempunyai masalah besar di sini,” ia tersenyum nakal.

“Jangan memancingku, Fulvia,” Davies memperingatkan.

“Ayolah, kakakku sayang,” Fulvia meneruskan godaannya. “Jangan malu-malu

mengatakannya.

Adikmu ini pasti akan membantumu mendapatkan wanita idamanmu.”

Davies berdiri.

Fulvia pun berdiri. “Apakah kau akhirnya mengakuinya?”

“Jangan sampai aku menangkapmu,” Davies mendekati Fulvia.

“Cobalah kalau kau bisa,” Fulvia menertawakan Davies dan berlari menghindari

kakaknya.

Inilah akhir dari acara makan malam berdua mereka. Makan malam yang belum sempat

dimulai itu

akhirnya berakhir dengan canda tawa mereka sepanjang malam.

Fulvia sudah sangat lelah ketika akhirnya ia menyerah.

“Aku menangkapmu,” Davies memeluk adiknya erat-erat.

“Aku lelah, Davies,” Fulvia melingkarkan tangannya di leher kakaknya dengan manja,

“Dan lapar.”
“Kaulah yang memulainya,” Davies menyalahkan.

“Apakah menurutmu mereka akan keberatan menyiapkan sesuatu untuk kita?”

“Kurasa tidak,” Davies melepaskan Fulvia, “Tetapi hari sudah terlalu larut untuk

menganggu mereka.”

Fulvia melihat bintang-bintang mulai menghiasi langit malam.

“Aku yakin kita bisa menemukan sesuatu di dapur,” Davies menggandeng tangan

Fulvia.

Fulvia tertawa.

Davies memperhatikannya dengan bingung.

“Sudah lama sekali,” kata Fulvia, “Sudah lama sekali kita tidak mengendap-endap ke

dapur di malam

hari seperti ini.”

Semasa mereka kecil, mereka sering kali terbangun pada malam hari hanya untuk

mendapati perut

mereka sedang kelaparan. Mereka selalu mengendap-endap ke dapur untuk mencari

makanan dan

keesokan paginya Countess akan menyalahkan mereka.

“Itulah akibat kalian bercanda terus sepanjang hari,” katanya setiap saat menemukan

dua pencuri kecil

telah menjarah dapur mereka di malam hari.

“Ya,” Davies tertawa, “Sudah lama sekali. Mungkin sudah sepuluh tahun lebih.”

-----0-----

“Fulvia, aku mendengar dari kakakmu kemarin kau pergi bersamaIrving.”


“Ya, Mama. Ia mengajakku pergi berjalan-jalan,” jawab Fulvia seraya menambahkan,

“Pagi ini ia

juga akan menjemputku.”

Mata Davies langsung membelalak lebar-lebar.

“Apa yang ia lakukan padamu?” Count cemas, “Sebaiknya kau tidak bergaul

dengannya.”

Fulvia tersenyum geli. “Apakah kalian menduga aku tertarik padanya?”

“Fulvia, aku ingin kau tahu. Kami tidak melarang kau bergaul dengan siapa pun. Kami

hanya ingin kau

berhati-hati.”

“Jangan khawatir, Mama. Aku tidak tertarik padanya,” Fulvia berkata mantap, “Aku tidak

akan pernah

jatuh cinta pada pria seperti dia.”

Countess hanya menatap putrinya lekat-lekat.

Fulvia melihat grandfathers clock di ruangan itu. “Oh,” Fulvia terpekik kaget, “Sudah

hampir

waktunya.” Fulvia berdiri, “Aku harus segera bersiapIrvingakan segera datang

menjemputnya.”

Dahi orang tua Fulvia langsung berkerut.

Mata Davies menatap tajam adiknya.

“Jangan khawatir, Mama,” Fulvia mencium pipi Countess, “Aku tidak akan tertarik

padaIrving. Ia juga
tidak akan mencelakakan aku. Kami hanya teman.” Lalu Fulvia berkata pada mereka,

“Aku akan kembali

sebelum makan malam.”

Fulvia pun pergi meninggalkan mereka.

Fulvia yakin kali ini mereka tidak akan mencurigainya terutama Davies yang sudah

mencurigai gerak

geriknya. Fulvia juga tahu keluarganya mulai mencemaskan kedekatannya

denganIrving.

Kecemasan mereka benar-benar membuat Fulvia merasa geli. Ia tidak benar-benar

dekat

denganIrvingseperti yang mereka bayangkan.

Bagi keluarganya, Fulvia telah menghabiskan waktu bersamaIrvingseharian kemarin

tetapi bagi

Fulvia,Irvingtelah memberikan bantuan yang sangat besar kemarin juga hari ini dan

untuk beberapa hari

mendatang.

Tidak ada apa-apa di antara mereka. Mereka juga tidak berbicara banyak sepanjang

perjalanan dari

Unsdrell kekotamaupun darikotake Unsdrell.Irvingdapat dikatakan hanya seorang

teman Fulvia yang

membantunya meloloskan diri dari Unsdrell setiap pagi dan mengantarnya pula setiap

sore.Irvinghanya

membantunya menjalankan rencananya.


Fulvia tidak khawatir akan terbongkarnya rahasianya. Sekarang yang perlu ia

khawatirkan hanyalah

kecurigaan keluarganya yang terlalu dibesar-besarkan itu. Tetapi, bagi Fulvia, itu jauh

lebih mudah

daripada mencari alasan untuk meninggalkan Unsdrell.

Dengan hati riang, Fulvia berangkat kekotabersamaIrving. Fulvia yakin ia akan bisa

mengatasi

kecurigaan keluarganya.

Suasana hati Fulvia yang gembira itu tertangkap olehIrving.

“Kulihat pagi ini kau sangat bersemangat,” komentar pria itu setelah kereta yang

mereka tumpangi

meninggalkan Unsdrell. “Apakah terjadi sesuatu yang baik?”

“Bagaimana Anda tahu?” Fulvia terkejut.

“Semuanya tergambar jelas di wajahmu,” jawabIrving.

Fulvia spontan memegang wajahnya. “Benarkah?” rona merah menghiasi pipi Fulvia.

Irvingtidak ingin menjawabnya.

Fulvia tidaklah terlalu pintar untuk mengelabuhi dirinya.

Fulvia juga tidak terlalu pintar untuk menutupi rahasianya.

Fulvia salah besar bila ia mengiraIrvingtidak tahu kegembiraannya karena rencananya

telah berhasil.

Untuk sementara ini,Irvingmemutuskan untuk membiarkan gadis itu bergembira dulu

dengan
keberhasilannya. Ia ingin mengetahui apa yang direncanakan gadis itu. Ia ingin tahu

sampai di mana

kepandaian gadis ini dalam menyusun dan merancang rencananya yang ‘sempurna’ itu.

Kereta kuda bergerak perlahan memasuki pekarangan Greenwalls.

Greenwalls, rumah yang terkenal oleh pekarangan hijaunya yang membatasi bangunan

utama dengan

rumah-rumah yang lain itu sudah berubah.

Di sisi kanan kiri tampak tanaman-tanaman yang kering tak terawat. Bunga-bunga liar

menampakkan

diri di antara rerumputan yang telah meninggi. Bentuk-bentuk indah semak-semak di

antara kedua sisi

jalan utama sudah tertutup oleh liarnya pertumbuhan semak-semak itu. Disanasini

terlihat retakan tanah

yang mongering.

Suasana hijau yang dulu pernah menghiasi pekarangan Greenwalls sudah tidak ada

lagi.

Patung-patung yang meramaikan pekarangan Greenwalls juga tampak kotor tak

terawat. Tanaman telah

tumbuh hingga melilit mereka. Di kejauhan tampak lumut hijau telah turut memberi

warna baru pada

patung-patung itu.
Air mancur yang dulu terus mengalir di salah satu sisi tempat itu juga tampak kering

dan kusam.

Warnanya yang cerah kini tampak hijau oleh lumut.

Keadaan tidak jauh berbeda dengan gedung utama Greenwalls. Gedung megah yang

dulu bersinar

indah dengan warnanya yang putih cerah itu tampak begitu kusam. Di sanasini masih

terlihat jelas bekas

kebakaran hebat yang dulu melahap tempat ini.

Jendela-jendela yang terbakar masih meninggalkan bekas kebakaran hebat itu. Dari

jendela yang

terbengkalai itu terlihat dinding gelap bagian dalam Greenwalls, dinding yang terbakar

setahun lalu.

Tempat ini telah terbengkalai semenjak setahun yang lalu. Hanya pintu masuk yang

telah dibenahi dan

jendela di sekitar pintu itu yang menunjukkan tempat ini masih dihuni.

“Sudah lewat setahun lebih dan tempat ini masih belum juga dibenahi,” komentarIrving.

“Bagaimana Anda tahu?” pertanyaan itu terlempar begitu saja dari mulut Fulvia dan

sesaat kemudian

Fulvia menyadari kebodohannya.

Kebakaran hebat yang melanda Greenwalls setahun lalu ramai dibicarakan orang.

Hampir setiap hari

ia mendengar orang-orang membicarakan kebakaran yang melanda rumah pedagang

kaya itu. Sangat tidak


mungkinIrvingtidak mengetahuinya.

“Mereka mengalami kerugian besar akibat kebakaran itu,” Fulvia menjelaskan, “Dan

Lewis tidak mau

menerima bantuan siapa pun.”

Irvingtidak menanggapi.

Kereta berhenti di depan pintu Greenwalls.

Irvingturun dan kemudian mengulurkan tangannya.

Fulvia menerima uluran tangan itu dan membiarkan pria itu membantunya turun dari

kereta.

Pintu terbuka dan seorang pelayan muncul dengan cemas. “Anda sudah pulang,

Tuan?”

Fulvia kebingungan.

Pelayan itu terkejut melihat Fulvialah yang muncul bukan majikannya.

“Syukurlah Anda datang, Tuan Puteri,” pelayan itu berkata penuh kelegaan, “Nyonya

terus mengurung

dirinya di kamar sejak pagi ini. Ia juga menolak untuk makan.”

Fulvia terperanjat. “Apa yang terjadi?”

“Mereka bertengkar lagi pagi ini kemudian Tuan Lewis pergi hingga sekarang. Saya

kurang jelas

tentang ini, tetapi sepertinya pertengkaran ini lebih parah dari yang sebelum-

sebelumnya.”

“Aku akan melihat keadaan Audrey,” Fulvia langsung berlari menuju kamar Audrey.

Pintu kamar Audrey terkunci rapat-rapat. Tidak sebuah suara pun terdengar dari dalam.
“Audrey! Audrey!” Fulvia menggedor pintu, “Buka pintu, Audrey.”

Tidak ada jawaban dari dalam.

“Audrey!” Fulvia berseru panik, “Apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja?”

Tetap tidak terdengar apa pun dari dalam.

“Audrey!”

“Minggir,” sebuah tangan memegang pundak Fulvia dan sesaat kemudian pintu kamar

Audrey didobrak

dengan paksa.

Fulvia terperanjat Ia benar-benar melupakan keberadaanIrving.

Audrey yang berbaring telungkup di ranjang terkejut.

“Audrey!” Fulvia langsung berlari ke sisi wanita itu. “Kau tidak apa-apa?”

Audrey menatap Fulvia lekat-lekat. “Apa yang kaulakukan di sini?” Pandangan Audrey

terarah pada

pria yang berdiri di belakang Fulvia.

Audrey menatap lekat-lekat pria bertubuh tegap itu. Rambut keemasannya tampak

begitu menawan.

Wajahnya yang tampan sungguh mempesona dengan bola mata biru tuanya.

Sayangnya, sepasang mata itu

bersinar dingin.

Tiba-tiba Fulvia menyadari kebingungan Audrey.

“Ia adalah putra Duke of Engelschalf,” Fulvia memperkenalkan.

“Aku tahu,” suara Audrey masih menampakkan keheranannya. “Bagaimana ia berada di

sini?”
tanyanya lalu menatap Fulvia penuh pertanyaan.

Fulvia menangkap luka di bibir Audrey.

“Audrey!” pekiknya panik, “Apa yang terjadi padamu!? Apa yang terjadi pada bibirmu!?”

Tangan Fulvia terulur untuk menyentuh luka itu.

“Tidak apa-apa. Aku hanya terjatuh,” Audrey memalingkan kepala.

“Apakah kau ingin aku menginap di sini? Aku akan menemanimu sampai pagi,” Fulvia

berkata cemas,

“Aku akan tinggal bersamamu.”

“Aku tidak apa-apa, Fulvia,” Audrey meyakinkan. “Tinggalkan aku sendiri.”

“Aku tidak dapat meninggalkanmu,” Fulvia bersikeras.

“Kumohon, Fulvia, tinggalkan aku,” pinta Audrey, “Saat ini aku ingin sendirian.”

“Audrey,” Fulvia memegang pundak Audrey.

Audrey berbalik.

Fulvia terperangah melihat air mata Audrey.

“Tinggalkan aku,” Audrey mendorong Fulvia, “Aku tidak ingin diganggu. Biarkan aku

sendiri.”

Fulvia tidak dapat melawan dorongan Audrey yang begitu kuat itu.

“Jangan katakan apapun pada siapa saja,” kata Audrey dan ia menutup pintu rapat-

rapat.

“Audrey!” Fulvia menggedor pintu keras-keras, “Buka pintu!”

“Biarkan ia sendiri.”

Fulvia terkejut. Ia menatap pria yang bersandar santai di dinding itu. Sekali lagi Fulvia

telah
melupakan kehadiranIrving.

“Ia tidak ingin diganggu,”Irvingmelangkah pergi.

Fulvia bertanya-tanya kapankah pria itu meninggalkan kamar Audrey.

“Audrey akan dapat mengatasi masalahnya.”

“Tetapi luka Audrey…,” Fulvia bertahan di tempatnya. “Luka itu…”

Irvingberhenti. “Bukan Lewis yang melakukannya.”

Fulvia menatap punggungIrving.

“Mereka menikah atas dasar cinta, bukan?”

Fulvia terperangah. Ia menatap pintu yang tertutup rapat itu.

Benar, Audrey mencintai Lewis demikian pula pria itu. Cinta mereka itulah yang

membawa mereka

pada pernikahan. Dan cinta itu pulalah yang menyatukan mereka. Tidak ada alasan

bagi Lewis untuk

memukul Audrey.

Fulvia pun mengikutiIrving.

Irvingmeyakinkan dirinya dan Fulvia mempercayainya tetapi bayangan luka di bibir

Audrey tidak

dapat membuat hati Fulvia tenang. Kecemasan dan kegelisahannya itu tergambar

begitu jelas di wajahnya

hingga keluarganya ikut mencemaskannya.

“Apa yang terjadi, Fulvia?” tanya Countess pada saat mereka berkumpul di Ruang

Makan.

Fulvia terkejut. “Tidak ada apa-apa, Mama.”


“Apa Irving melakukan sesuatu padamu?” Davies bertanya serius.”

“Tidak,” Fulvia mencoba tersenyum, “Tidak terjadi apa-apa.”

Countess menatap Fulvia lekat-lekat. “Mama percaya padamu. Bila kau mempunyai

masalah, ingatlah

aku selalu ada di sisimu.”

Fulvia mengangguk dan tersenyum.

Sesungguhnya, Fulvia ingin mengatakan semuanya pada keluarganya. Fulvia yakin

Countess tentu

dapat memberikan penjelasan padanya mengenai luka di bibir Audrey itu. Tetapi

Audrey telah

memintanya untuk tidak memberitahu siapa pun dan Fulvia tidak dapat menolaknya.

Audrey berkata padanya bahwa ia terjatuh.

Irvingberkata padanya Lewis tidak mungkin melakukan itu.

Pelayan itu berkata padanya mereka bertengkar sesaat sebelum Audrey mengurung

diri di kamar.

Fulvia tahu mereka menikah atas dasar cinta kasih.

Tetapi…

Fulvia tidak pernah melihatnya tetapi Fulvia pernah mendengar seseorang yang mabuk

tidak

mempunyai kesadaran atas apa yang dilakukannya. Dan akhir-akhir ini Lewis semakin

sering mabukmabukan

bahkan ia mulai berani bermain perempuan di luarsana.

Apakah mungkin Lewis memukul Audrey?


Pelayan itu mengatakan pertengkaran mereka pagi ini lebih parah dari yang sebelum-

sebelumnya.

Tetapi ini tidak mungkin. Lewis mencintai Audrey. Fulvia percaya itu.

Apakah Audrey mengatakan yang sebenarnya? Tetapi bagaimana mungkin Audrey

hanya terluka pada

bagian bibirnya? Apakah mungkin Audrey terjatuh dari tempat tidur? Ataukah Audrey

terjatuh di tangga?

Atau mungkin… Fulvia tidak tahu. Ia tidak dapat mendapat gambaran bagaimana cara

Audrey terjatuh

tanpa melukai bagian tubuhnya yang lain kecuali bibirnya itu.

Wajah Audrey yang dipenuhi air matanya kembali terlintas di pikiran Fulvia.

Fulvia tidak pernah melihat kakak sepupunya itu menangis. Tidak sekali pun walau

Lewis telah

berubah sedemikian rupa.

Audrey adalah wanita yang tabah. Ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada

siapa pun termasuk

keluarganya. Audrey bahkan sering berusaha menutupi pertengkarannya dengan

Lewis.

Melalui pelayan keluarga itulah orang tua Audrey mengetahui adanya pertengkaran di

antara mereka

dan biasanya Countess Horacelah yang memutuskan untuk menemui Greenwalls.

Audrey tidak pernah secara khusus memanggil mereka.

Audrey tidak pernah mengeluh.


Audrey selalu terlihat ceria di hadapan orang lain.

Apakah Audrey telah berkata jujur padanya?

Wajah yang dipenuhi air matanya itu tidak terlepas dari benak Fulvia. Sepasang mata

hijau yang

bersinar sedih itu membuat Fulvia tetap terjaga sepanjang malam. Dan bibir yang

terluka itu terus

menghantui pikiran Fulvia hingga Brent dan Jehona mencemaskannya.

“Apakah terjadi sesuatu?” Jehona bertanya cemas.

Fulvia terkejut.

“Jangan ragu untuk mengatakan pada kami kalau kau membutuhkan bantuan,” kata

Brent pula.

“Tidak,” Fulvia mengelak, “Tidak terjadi apa-apa.”

“Kami mengerti ada saatnya kami tidak ikut campur tangan dalam urusan keluarga

orang lain,” Jehona

berkata bijaksana, “Tetapi tidak ada salahnya kau berbagi dengan kami.”

“Tidak campur tangan,” gumam Fulvia.

Fulvia teringat Lewis selalu marah-marah setiap kali keluarga Garfinkelnn menawarkan

bantuannya.

Lewis selalu murka setiap kali orang tua Audrey mencoba melakukan sesuatu untuk

mereka.

“Jangan campur tangan!” Lewis selalu berteriak marah, “Ini adalah urusan keluargaku!”

Itukah sebabnya Audrey tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada orang lain?

Itukah sebabnya
Audrey mengusirnya kemarin?

Fulvia tidak mengerti. Ia tetap tidak mengerti ketika sore ituIrvingmenjemputnya di

tempat yang telah

mereka janjikan.

“Kau masih memikirkannya?”

Fulvia terkejut.

“Kau tidak terlalu pandai untuk menyembunyikan perasaanmu

dariku,”Irvingmemberitahu dengan

tenang.

“Ya,” Fulvia mengakui, “Saya tidak dapat menghilangan wajah Audrey dari pikiran

saya.”

Fulvia menarik baju Irving dan menatapnya lekat-lekat. “Katakan pada saya, M’lord.

Lewis tidak akan

melukai Audrey walaupun ia mabuk.”

Irving terkejut. “Apa yang kau katakan?”

“Saya pernah mendengar,” Fulvia menjelaskan dengan suaranya yang lirih, “Seseorang

yang berada di

bawah pengaruh minuman keras akan dapat berbuat apa saja tanpa menyadari

tindakannya bahkan…

bahkan pada orang yang mereka cintai.” Fulvia menatap Irving lekat-lekat kemudian ia

berkata dengan

serius. “Katakan pada saya Lewis tidak akan melakukan itu.”

Air mata membasahi sepasang bola mata biru keunguan itu.


Irving tertegun.

“Katakan,” pinta Fulvia lirih.

Fulvia mendekatkan dirinya pada Irving dan menunduk. Tangannya mencengkeram

kemeja Irving eraterat

dan air matanya terus berjatuhan.

Irving tercengang. Ia benar-benar tidak dapat mengerti gadis ini.

“Apa yang ingin kau lakukan?”

“Pergi ke Greenwalls,” Fulvia mengangkat kepalanya. “Saya ingin memastikannya

sendiri,” ia

menatap langsung ke mata Irving.

“Aku mengerti,” Irving membawa gadis itu ke kereta kudanya lalu ia meminta kusir kuda

untuk

mengantar mereka ke Greenwalls.

Tangis Fulvia mulai mereda ketika kereta bergerak menuju Greenwalls.

“Kau sudah lebih baik?” Irving memberikan saputangannya kepada Fulvia.

Fulvia mengangguk dan menerima sapu tangan itu.

“Tak lama lagi kita akan tiba di Greenwalls,” lanjut Irving, “Kau bisa bertanya langsung

pada

Audrey.”

Fulvia mengangguk lagi. Ia segera menyeka air matanya. Fulvia tidak mau Audrey

melihatnya dengan

mata sembab. Fulvia tidak mau Audrey mengkhawatirkannya.


Seperti yang dikatakan Irving, kereta tiba di pintu depan Greenwalls dalam waktu

singkat.

Kaki Fulvia baru saja menginjak pekarangan Greenwalls ketika sebuah jeritan terdengar

dari dalam.

Fulvia terperanjat.

“Mau apa kau, wanita jahanam!”

Fulvia mengenal seruan kasar itu.

“Aku adalah pemilik Greenwalls! Kau tidak berhak mengaturku!”

Tanpa berpikir dua kali, Fulvia langsung menerjang masuk.

“Kau tidak berhak melarangku!”

Lewis menampar Audrey sedemikian kerasnya hingga wanita itu jatuh terpelanting.

“AUDREY!” Fulvia berteriak panik.

Audrey terkejut.

“Audrey!” Fulvia menjatuhkan diri di sisi Fulvia dan memeluk wanita itu erat-erat. Lalu ia

menatap

Lewis penuh kemarahan, “Apa yang kaulakukan pada Audrey!?”

“Apa lagi kau, gadis kecil?” Lewis meraih tangan Fulvia dan menariknya dengan kasar,

“Apa kau juga

ingin melarangku? Apa kau ingin mencampuri urusanku?”

Fulvia tidak menyukai bau yang tersebar dari mulut pria itu. “Lepaskan aku!” Fulvia

melepaskan

tangannya dari genggaman pria itu.


“APA!?” Lewis murka, “Kau juga berani menentangku! Kau berani memerintahku!”

Lewis

melayangkan tangannya.

Fulvia memejamkan matanya erat-erat.

Irving menangkap tangan Lewis. Sebelum seorang di antara mereka menyadarinya,

Irving telah

melayangkan tinjunya di pipi kiri Lewis.

“Apa yang kaukira kaulakukan!?” bentaknya murka.

Lewis terjatuh di lantai.

Fulvia jatuh dengan lemas.

“Kalau kau tidak ingin orang lain mengurusi masalahmu, lakukan sesuatu! Jangan

hanya menjadi

pengecut!” Irving mencengkeram kerah baju Lewis dan mengangkatnya berdiri, “Apa

kau kira selama ini

kau telah menyelesaikan masalahmu!? Kau hanya membuat orang mengasihimu,

pengecut!”

Tidak seorang pun di ruangan itu yang berkutik.

Mereka terlalu kaget melihat reaksi Irving yang tidak terduga itu.

Mereka terlalu takut melihat kemarahan Irving yang menakutkan itu.

“Kalau kau mengira kami peduli padamu, maaf, kami tidak peduli apa yang terjadi

padamu! Kami

hanya peduli pada Audrey!”


Fulvia yang pulih dari kekagetannya cepat-cepat berdiri. Ia menarik lengan pria itu.

“Hentikan,”

pintanya.

Irving melihat wajah memelas gadis itu.

“Kalau kau mengira kau telah menyelesaikan masalahmu, kau salah,” Irving

melemparkan pria itu,

“Kau hanya pengecut yang bisa bersembunyi dalam minuman keras!”

Sekali lagi Lewis terjatuh di lantai.

Fulvia menarik pria itu dengan cemas.

“Mari kita pergi,” Irving memegang lengan Fulvia dan menyeretnya dengan paksa.

Fulvia tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti pria itu.

“Lewis,” Audrey mendekati Lewis. Air matanya kembali bercucuran melihat luka memar

di wajah

Lewis.

Lewis menatap istrinya. “Maafkan aku, Audrey,” bisiknya perlahan, “Aku benar-benar

seorang

pengecut.”

“Aku memaafkanmu,” Audrey memeluk Lewis, “Aku memaafkanmu.”

Fulvia meringkuk di pojok. Matanya melirik Irving. Ia tidak berani mengeluarkan suara.

Ia juga tidak

berani bergerak. Fulvia tahu pria itu masih marah.

Walau Irving suka berganti-ganti pasangan, ia bukanlah tipe pria yang suka bermain

kekerasan pada
wanita.

Irving sudah tahu. Ia sudah tahu sejak ia melihat luka di bibir Audrey kemarin. Tetapi ia

tidak

menyangka Lewis juga akan menyerang Fulvia.

Irving tidak pernah mempercayai cinta. Ibunya juga mencintai ayahnya ketika mereka

menikah tetapi

ibunya kemudian meninggalkan ayahnya bersama kekasih gelapnya. Ayahnya yang

buta karena cinta juga

terus menyalahkan Nelson, kekasih gelap ibunya, walau sudah jelas ibunya meninggal

dalam perjalanan

kabur bersama pria itu. Duke masih terus dan terus mempercayai Duchess walau

kenyataan sudah

berbicara banyak.

Dan gadis di sisinya ini…

Gadis ingusan ini masih mempercayai kesempurnaan apa yang disebut cinta. Gadis ini

masih memujamuja

cinta.

Irving ingin sekali membuat Fulvia tahu apa sebenarnya yang disebut cinta itu tetapi itu

akan terlalu

sangat kejam untuk gadis manja seusianya. Sementara ini Irving akan membiarkan

Fulvia bersama mimpimimpi

indahnya. Ia akan melihat bagaimana kenyataan akan merusak impian indah gadis itu.

Suasana mencengkam di dalam kereta membuat Fulvia merasa tidak nyaman.


Fulvia tidak tahu ia harus berbuat apa untuk meredakan hawa yang menyesakkan dada

ini.

“Maafkan aku.”

Fulvia terkejut.

“Kurasa aku telah bersikap kasar terhadapmu,” mata Irving terlihat begitu sedih.

Fulvia terperangah.

“Jangan bertemu dengannya lagi,” Irving memperingatkan Fulvia dengan tegas.

“Mengapa? Ia adalah saudara saya.”

“Apakah kau masih belum mengerti juga!? Apa kau masih ingin mencampuri urusan

orang lain!?”

Irving tertegun melihat wajah pucat Fulvia.

“Aku tidak yakin ia tidak akan mencoba menyakitimu lagi,” Irving berkata pelan.

“T-tidak akan. Ia tidak akan berani melakukannya lagi. Anda telah memperingatinya,

bukan?”

“Katakan padaku kalau kau akan kesanalagi.”

Nada dingin itu membuat Fulvia ketakutan.

“Aku akan memastikan ia tidak menyakitimu.” Irving memalingkan kepala ke luar

jendela.

Fulvia terperangah. “Terima kasih,” bisiknya lirih dan ia kembali tenggelam dalam

pikirannya.

Mencampuri urusan orang lain…

Apakah salah mencampuri urusan orang lain?

Malam itu Davies juga memintanya untuk tidak mencampuri urusannya.


Lewis juga selalu marah setiap kali ada yang mencoba membantunya.

Tadi siang Jehona berkata tidak baik untuk terus mencampuri masalah orang lain.

Irving juga menegaskan untuk tidak turut campur dalam masalah orang lain.

Apakah ini salah?

Fulvia hanya ingin membantu Audrey. Fulvia hanya ingin melihat Audrey kembali

tersenyum seperti

dulu. Apakah ini salah?

Sekarang semuanya sudah jelas bagi Fulvia. Fulvia sudah yakin darimana Audrey

mendapatkan luka di

bibirnya itu. Fulvia tahu mengapa Audrey menangis. Dan sekarang harusnya ia

bersikap seolah-olah ia

tidak pernah mengetahuinya?

Haruskah ia tetap berdiam diri walaupun ia tahu Lewis menyakiti Audrey?

Haruskah ia tetap berdiam diri setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Lewis

melukai

Audrey?

Fulvia terus berkutat pada pikirannya hingga tak seorang pun mencoba mengusiknya

sepanjang malam

itu.

Kerisauan Fulvia itu juga membuat Brent maupun Jehona tidak mengusik gadis itu

sepanjang hari ini.

Tim yang biasanya suka membuat sibuk Fulvia juga menjauhinya.

Semua yang melihat gadis ini tahu ia sedang menghadapi sebuah masalah besar.
Davies yakin Irvinglah penyebab semua ini tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia ingin

Fulvia sendiri

yang bercerita padanya daripada ia yang langsung mencari Irving dan berkelahi

dengannya dengan segala

resikonya.

Countess dan Count Silverschatz percaya pada Fulvia dan mereka akan menanti

sampai gadis itu

menceritakan masalahnya pada mereka.

Hari ini Fulvia ingin sekali pergi menemui Audrey dan memastikan Audrey baik-baik

saja. Tetapi

Fulvia tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan itu.

Sepanjang perjalanan pulang kemarin Irving terus menutup mulutnya rapat-rapat sambil

memasang

muka kesal. Sepanjang perjalanan kemarin kediaman Irving benar-benar membuat

Fulvia merasa tidak

nyaman.

Fulvia tahu Irving tidak dapat memaafkan Lewis dan apakah Irving masih akan

mengantarnya walau ia

telah mengatakan kesediaannya?

Fulvia harus segera memutuskan. Ia harus segera memutuskan sebelum kereta

berjalan. Ia harus sudah

mengatakannya sebelum kereta meninggalkan pusatkota. Ia…

Mata Fulvia menangkap suasana tak terawat halaman Greenwalls.


Sepasang bola mata biru keunguannya menatap Irving penuh ingin tahu dan

ketakjuban.

“Kau ingin melihat mereka, bukan?” Irving menjelaskan singkat.

Senyum bahagia menghiasi wajah Fulvia. “Terima kasih,” Fulvia ingin sekali melompat

dalam

pelukan pria itu. Ia ingin mengungkapkan luapan kegembiraannya ini.

Kereta berhenti tepat di depan pintu masuk.

Tanpa banyak berbicara, Irving melompat turun kemudian membantu Fulvia.

Suasana di dalam Greenwalls sangat sunyi.

Kesunyian itu tidak membuat Fulvia merasa lega. Sebaliknya, ia merasa semakin

cemas.

“Audrey! Audrey!” Fulvia terus memanggil-manggil

“Fulvia?” Audrey muncul dari dalam Ruang Duduk dengan wajah keheranannya, “Kau

datang lagi?”

“Audrey!” Fulvia memeluk wanita itu erat-erat, “Audrey, kau baik-baik saja?”

Audrey tersenyum lembut. “Lihatlah kau,” ia menghapus air mata yang mulai

membasahi mata Fulvia,

“Apa yang harus kujelaskan pada Davies bila ia melihatmu dalam keadaan seperti ini.”

“Kau baik-baik saja?” Fulvia bertanya cemas, “Apakah Lewis melukaimu lagi?”

“Tidak,” Audrey tersenyum, “Lewis sudah jauh lebih tenang sekarang.”

“Apakah ia meninggalkanmu lagi?” Fulvia terus bertanya dengan cemas, “Apakah ia

pergi bermabukmabukan

lagi?”
“Tidak, Fulvia. Sekarang ia mengurung dirinya di kamar. Ia terus mengurung dirinya

semenjak

kepulangan kalian kemarin sore.”

“Apa yang dilakukannya? Apakah ia sedang merencanakan sesuatu?”

“Jangan khawatir, Fulvia,” Audrey menenangkan, “Ia sedang berpikir.” Audrey

tersenyum bahagia.

Secercah harapan tersinar di mata hijau tuanya, “Aku yakin ia sedang berpikir.”

Fulvia terperangah. Ia tidak pernah melihat kakak sepupunya secantik ini. Fulvia tidak

pernah melihat

Audrey tampak begitu anggun dengan rambut merahnya yang terikat rapi. Fulvia tidak

pernah melihat

Audrey tampak begitu mempesona dengan wajahnya yang penuh harapan ini.

“Katakan padaku, Fulvia, apa yang membuatmu datang,” Audrey merangkul pundak

Fulvia dan

membawanya duduk di sofa.

Mata Audrey menatap Irving yang berdiri di pintu dengan tenangnya. “Apakah Anda

bersedia

bergabung bersama kami?”

Audrey lalu menatap Fulvia lekat-lekat. “Keluargamu tidak akan keberatan bila kau

bergabung

bersamaku untuk makan malam, bukan?”

Fulvia tercengang melihat kegembiraan Audrey.


Sikap Audrey menunjukkan tidak pernah terjadi apa pun dalam kehidupannya. Tidak

ada yang terjadi

dalam rumah tangganya. Audrey tampak seperti sudah melupakan kejadian kemarin.

Fulvia tersenyum bahagia karenanya dan ia berkata gembira, “Tidak. Aku yakin mereka

tidak akan

keberatan.”

Fulvia sudah benar-benar melupakan Irving. Dan ketika Fulvia menyadarinya, pria itu

telah duduk

bersama mereka di meja makan sambil berdiam diri mendengarkan pembicaraan kedua

wanita yang

terpaut dua belas tahun itu.

Sudah seminggu lebihIrvingmenyediakan antar jemput bagi Fulvia.

Sudah seminggu lebih ia muncul di Unsdrell pagi hari dan mengantar Fulvia pulang di

sore hari.

Seminggu lebih dan ia belum mendengar apa pun dari gadis itu.

Seminggu lebih dan ia masih belum mempunyai gambaran mengenai rencana gadis itu.

Irvingbenar-benar tidak mempunyai gambaran tentang tindakan Fulvia dan rencananya

itu.

Pagi iniIrvingbergegas menghabiskan sarapannya seperti biasa dan segera berangkat

ke Unsdrell.

Ketika ia tiba di Unsdrell, Fulvia baru saja keluar.

“Anda datang tepat waktu,” sambut Fulvia.


“Aku telah menangkap waktu kau siap,” balasIrving.

Fulvia tersenyum mendengar balasan asal-asalan itu. Tanpa berkata panjang lebar, ia

menerima uluran

tanganIrving.

Seperti biasa, mereka berdiam diri selama perjalanan menujukota.

Irvingtidak tertarik untuk membka pembicaraan dengan Fulvia. Demikian pula gadis itu.

Bagi Fulvia, mereka hanyalah teman biasa. Tidak ada suatu hal khusus yang dapat ia

bicarakan

denganIrving.

Fulvia tidak ingin menanyakan kabar-kabar burung tentangIrvingdan wanita-wanitanya

maupun mawar

merahnya yang terkenal itu. Fulvia juga tidak ingin bertanya tentang keluarga pria itu.

Fulvia tahu pria

tidak menyukai topik tentang dirinya dan tiga pemuda dalam hidupnya telah

menegaskannya.

Semasa kecil Fulvia suka sekali bertanya banyak hal kepada ketiga kakaknya itu. Ia

selalu ingin tahu

banyak hal tentang mereka bertiga. Ketiganya juga tidak pernah menutup-nutupi

rahasia mereka pada

Fulvia. Tetapi dengan beranjaknya usia mereka, Fulvia mulai merasakan ketiganya

mulai tertutup padanya.

Fulvia pernah menanyakannya pada ibunya dan Countess Kylie berkata, “Setiap orang

pasti mempunyai
hal yang ia tidak ingin orang lain ketahui dan seorang pria adalah seorang makhluk

yang paling peka

terhadap hal ini.”

Fulvia dapat memahami hal tersebut. Ia juga mulai menyadari ia juga tidak suka

menceritakan semua

hal pada keluarganya seperti semasa ia kecil. Rencananya ini adalah salah satu

contohnya.

Hari Minggu yang baru lewat ini, kedua kakak sepupunya mulai mengeluhkan

kepergiannya selama

hari-hari belakangan ini.

“Aku mempunyai urusan dikota,” Fulvia menjelaskan singkat.

“Urusan apa?” Trevor tidak dapat menerima jawab itu, “Jangan katakan padaku kau

mengunjungi

Audrey. Semua orang sudah tahu Lewis tidak pernah berulah lagi dan Audrey tidak

membutuhkanmu lagi.”

Fulvia juga tahu ia tidak bisa menggunakan Audrey sebagai alasannya pada kedua

kakak sepupunya

ini. Lewis tidak pernah keluar rumah lagi semenjakIrvingmemukulnya. Sekarang Lewis

menghabiskan

waktunya untuk mengurung diri di kamar. Hal ini membuat Audrey lebih lega dan

bergembira.

Audrey tidak pernah mengatakan apa-apa tentangIrvingdan kemarahannya pada hari

itu.
Keluarga Garfinkelnn juga tidak pernah menanyakannya. Mereka hanya percaya

sesuatu telah terjadi

dan itu membuat Lewis menyadari kesalahannya. Sekarang mereka tengah menantikan

sesuatu yang lebih

baik lagi.

Fulvia juga tidak ingin mengatakan apa pun mengenai peristiwa hari itu. Fulvia tidak

dapat

membayangkan reaksi kedua kakak sepupunya dan ia terlebih tidak dapat

membayangkan kemurkaan

Davies mendengar ia pergi ke Greenwalls bersamaIrving.

Semenjak Irving muncul untuk menjemputnya di pagi itu, Davies sudah menampakkan

rasa tidak

sukanya dan ia semakin tidak senang karenaIrvingterus datang tiap pagi.

“Aku mempunyai urusan penting,” Fulvia menegaskan.

“Apa?” Richie mendesak.

Fulvia kewalahan menghadapi ketidaksabaran kedua kakak sepupunya itu. Fulvia tidak

ingin

mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti keduanya dan ia juga tidak dapat

memberitahu mereka.

“Sudahlah,” Davies muncul tepat pada waktunya, “Hormatilah Fulvia.”

“Bagaimana kau yakin ia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya?” tanya Trevor dan

Richie

bersamaan.
“Aku…,” Davies ragu-ragu.

Fulvia tahu Davies selalu mencurigaiIrving.

“Aku percaya Fulvia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya,” Davies berkata tegas,

“Aku dapat

menjaminnya.”

Fulvia lega mendengar dukungan Davies itu. Davies bisa saja mengatakan semuanya

pada mereka

tetapi ia masih memegang janjinya untuk merahasiakan hal ini dari mereka.

Jaminan Davies itu benar-benar bermanfaat. Kedua kakak sepupunya tidak

mendesaknya lagi.

Sebaliknya, mereka menegaskan berulang kali untuk meluangkan waktu bagi mereka di

hari Minggu.

Fulvia telah berjanji pada mereka dan ia dapat memastikan ia tidak mempunyai acara di

hari Minggu.

Fulvia tidak mengerti mengapa Davies tidak pernah mempermasalahkan lagi

kepergiannya

bersamaIrvingseperti di hari-hari awal lalu. Tetapi hal ini membuat Fulvia gembira.

Kereta berhenti di tempat biasa. Dan seperti biasa pula,Irvingturun terlebih dahulu untuk

kemudian

membantunya.

“Selamat bersenang-senang,” Fulvia tersenyum penuh arti sebelum

meninggalkanIrving.
Fulvia yakinIrvingakan segera menuju tempat kencannya hari ini dan ia tidak ingin

menyita waktu pria

itu.

Bila teringat perhatianIrvingpadanya dan sikapnya yang menghormati wanita itu, Fulvia

merasa iri

pada teman-teman kencan pria itu. Fulvia juga sempat berandai-andai pria itu adalah

pria yang setia.

“Sayangnya,” Fulvia berkata pada dirinya sendiri, “Ia suka melompat dari satu wanita ke

wanita yang

lain.”

Irvingkebingungan melihat senyum penuh arti itu tetapi ia tidak mau terlalu pusing

memikirkannya.

“Kembali ke Nerryland,”Irvingmemberitahukan tujuan mereka selanjutnya kepada kusir

kuda sebelum

memasuki kereta.

Irvingtidak mempunyai janji hari ini dan ia tidak sedang berselera untuk mencari teman

kencan baru.

Duke of Engelschalf keluar dari Ruang Baca. Rambutnya yang putih menunjukkan

usianya yang sudah

tidak muda lagi tetapi wajahnya masih meninggalkan bekas-bekas ketampanannya di

masa muda.

Tangannya menenteng koran hari ini.


“Dari mana kau?” tanya Duke. “Sudah beberapa hari ini aku memperhatikan kau selalu

pergi di pagi

hari.”

Irvingmengacuhkan pertanyaan itu.

“Kau tidak pergi lagi?” Duke bertanya heran.

“Kau sudah selesai?”Irvingmengulurkan tangan.

“Ya, aku sudah selesai membacanya,” Duke menyerahkan koran itu kepadaIrving.

Irvingmembuka pintu Ruang Baca.

“Aku senang kau sudah mulai berubah akhir-akhir ini. Kau memang sudah seharusnya

bersikap lebih

serius,” Duke of Engelschalf tersenyum.

Irvingtidak ingin meneruskan pembicaraan yang membosankan ini. Ia tidak ingin

mendengar ayahnya

kembali memberikan ceramahnya tentang apa yang harus dilakukannya. Duke yang

membiarkan dirinya

dibodohi cinta itu tidak mempunyai hak untuk mengatur hidupnya dan petualangan

cintanya.

“Aku tahu,” kataIrvingdingin lalu ia masuk ke dalam Ruang Baca tanpa mempedulikan

ayahnya lagi.

Irvingduduk di sofa panjang di Ruang Baca itu dan mulai membaca halaman pertama

koran hari ini.

Belum lama ia membaca ketika seseorang mengetuk pintu.

“Masuk,” sahutIrving.
Seorang pelayan muncul. “Maaf menganggu Anda, Tuan Muda,” kata pelayan itu

sopan, “Lady

Clementine datang menemui Anda, Tuan Muda.”

Irvingmengerutkan dahi.

“Apa kabarmu,Irving?” Clementine muncul di belakang pelayan itu.

Irvingmelanjutkan kegiatannya membaca koran. Ia sudah tahu gadis itu akan muncul

sebelum ia

menyatakan kesediaannya.

“Jangan begitu kepadaku,” rengek Clementine manja, “Aku datang untuk melihat

keadaanmu. Kudengar

engkau sudah lama tidak meninggalkan Nerryland.”

“Kau sudah melihatnya,” jawabIrvingdingin.

Irvingtidak terlalu menyukai sepupunya ini. Ia sangat mirip dengan ibunya dan itu

membuatnya

semakin tidak menyukainya.

“Jangan bersikap sedingin itu padaku,” Clementine berdiri di belakangIrvingdan

mengulurkan tangan

merangkul pria yang masih duduk dengan santai membaca koran itu. “Apakah kau telah

melupakan masamasa

indah di antara kita berdua?”

“Tidak ada masa-masa indah di antara kita,” kataIrvingtegas namun dingin.

Mereka memang pernah melewatkan waktu bersama. Mereka tumbuh dewasa bersama

sebagai
saudara. Hanya sepupu. Tidak lebih dari itu!

“Ayolah, Irving,” Clementine duduk di sisiIrving. Tangannya terlingkar di leherIrvingdan

ia

menempelkan tubuhnya di tubuh pria itu. “Apa kau kira mawar merahmu itu dapat

mencampakkanku?”

Irvingmelepaskan diri.

“Kau tahu, mawar merah adalah tanda kasih sayang bukan tanda perpisahan.”

“Apa maumu?” tanyanya tajam.

Clementine tersenyum gembira. Inilah yang diharapkannya dariIrving. “Aku ingin kau

menemaniku hari

ini.”

“Aku tidak punya waktu.”

“Ya, tetapi kau punya waktu untuk mengurung dirimu di sini.”

Irvingtidak menyukai gadis ini dan ia menunjukkannya dengan jelas.

“Kau bisa mengajak ibumu,” katanya sinis.

“Mama pergi bersama teman-temannya. Ia tidak akan pulang sebelum malam. Hanya

engkau yang

tersisa.”

Irvingmenatap tajam sepupunya itu.

Irvingyakin Clementine tidak jauh lebih tua dari Fulvia tetapi mereka sangat jauh

berbeda.

Clementine adalah gadis manja yang penuh percaya diri. Mata hijau tuanya bersinar

penuh percaya
diri. Rambut merah membaranya ditata rapi dan berhiaskan batu-batuan indah. Ia tahu

bagaimana

menonjolkan tubuh moleknya dengan gaun-gaun indahnya.

Fulvia, si gadis yang keemasan, tampak sangat kekanak-kanakan. Rambut

keemasannya selalu ditata

sekedarnya.Irvinghampir tidak pernah melihat hiasan mewah di rambut emasnya itu

kecuali di pesta itu, di

hari pertama ia bertemu dengannya. Dengan mata biru keunguannya yang selalu

bersinar lembut, Fulvia

tampak sangat menarik. Tutur kata gadis itu juga lembut tetapi sering kali mulut mungil

itu mengucapkan

kata-kata yang tidak terduga.

Satu-satunya persamaan di antara keduanya adalah mereka tahu bagiamana

memanfaatkan kecantikan

mereka.

Bagi Irving, menebak Clementine jauh lebih mudah daripada menebak Fulvia. Dan

sekarang ia tahu

Clementine pasti akan mengusiknya hari ini dan hari-hari mendatang sampai ia

menuruti keinginan gadis

itu.

“Aku hanya punya waktu kosong sampai sore hari,” kataIrving.

“Aku janji aku tidak akan menahanmu lebih dari itu,” Clementine merangkul

tanganIrvingdengan
mesra. “Aku hanya ingin kau menemaniku berbelanja dikota.”

Hari ini akan menjadi hari yang menjemukan bagiIrving.

-----0-----

Seorang pria muncul di jendela di samping pintu masuk. “Kau mempunyai gadis cantik

di sini,” pria

itu berkata sambil menatap Fulvia yang sibuk mengajari Tim sambil menggendong si

kecil Sammy di meja

kecil dalam ruangan depan itu.

“Jangan mengusiknya, Janus!” Brent memperingati dengan tajam.

“Siapakah dia, Brent?” Janus bertanya ingin tahu, “Aku melihatnya terus berada di sini

beberapa

minggu terakhir ini.”

“Bukan urusanmu!” bentak Brent, “Jangan kaudekati dia!”

“Kalau kau berani menyentuhnya sejari saja,” Jehona muncul dari dalam dengan wajah

garangnya,

“Aku tidak akan segan menghajarmu!”

“Jangan bersikap sekasar itu, Jehona. Kau hanya akan memberi contoh yang buruk

bagi putramu,”

Janus tertawa, “Lagipula aku hanya bercanda.”

Fulvia menyadari mereka tengah membicarakan dirinya dan itu membuatnya merasa

tidak nyaman.

“Tim,” katanya pada anak itu, “Mari kita melanjutkan di dalam.”


Tim menutup buku yang sedang dibacanya bersama Fulvia dan mengikuti gadis itu ke

dalam.

Jehona memperhatikan Tim yang berjalan beriringan dengan Fulvia ke dalam.

“Kulihat semenjak kedatangannya, bisnismu menjadi lebih baik,” gumam Sammy sambil

memperhatikan Fulvia menghilang di balik pintu.

“Ya, harus kuakui itu,” Brent sependapat.

Janus menyandarkan punggung di bingkai jendela. “Kurasa pembeli-pembelimu hanya

tertarik pada

kecantikannya. Aku sungguh tidak menyangka engkau mampu menyewa guru secantik

itu untuk putramu.

Aku berharap aku bisa terus melihatnya.”

“Ia tidak akan berada di sini untuk selama-lamanya,” Brent menegaskan, “Ia bukan

bagian tempat ini!”

“Sampai kapankah ia akan berada di sini?” tanya Janus tertarik.

“Apa urusanmu!?” Jehona balik bertanya dengan marah.

“Aku ingin mempersiapkan perpisahanku dengannya,” jawab Janus santai.

“Sebaiknya engkau mempersiapkan kepergianmu sekarang juga,” kata Jehona tajam.

Janus tertawa. “Jangan bersikap sekarang itu padaku, Jehona,” katanya, “Brent tidak

keberatan aku

mampir ke sini.”

Jehona benar-benar tidak menyukai pemuda ini. Bila bukan karena Janus adalah putra

tetangga
mereka, tempat dulu mereka menitipkan kuda Fulvia, Jehona pasti sudah

menghajarnya. Baginya pemuda

pengangguran ini sangat berbahaya bagi Fulvia.

Semenjak ia bertemu Fulvia ketika ia hendak membeli roti, Janus selalu datang tiap

hari. Ia selalu

berkata ia ingin membeli roti tetapi Jehona tahu itu hanya alasannya saja. Jehona tahu

tujuan utama

pemuda itu.

Harus diakui Jehona semenjak kedatangan Fulvia di sini, toko mereka mengalami

kemajuan yang tidak

sedikit. Tiap hari pembeli mereka terutama pembeli pria makin bertambah. Jehona tahu

semua itu karena

kecantikan Fulvia yang menyebar dengan cepat di antara pembeli dan tetangga

mereka.

Bertambahnya pembeli membuat mereka harus menyediakan lebih banyak roti dan itu

benar-benar

menyita waktu Jehona terutama Brent, sang pemilik toko roti ini.

Sekarang Jehona sudah benar-benar menyerahkan kedua putranya pada Fulvia. Walau

Jehona tahu

Fulvia adalah anak gadis orang kaya, ia percaya padanya. Gadis itu telah sangat

membantunya. Gadis itu

juga telah memberikan sesuatu yang tidak bisa mereka berikan pada putranya yaitu

pendidikan.
Sebagai seorang penjual roti yang pendapatannya pas-pasan, mereka tidak pernah

berpikir untuk

memberikan pendidikan pada putranya. Bagi mereka, yang terpenting adalah Tim dapat

membantu mereka

dan mau meneruskan usaha turun temurun keluarga Brent ini.

Jehona benar-benar berterima kasih pada gadis itu. Dan yang bisa ia lakukan untuk

menyatakan terima

kasihnya adalah mewujudkan cita-cita mulia gadis itu untuk membahagian kedua orang

tuanya.

“Aku akan melihat mereka,” kata Jehona dan meninggalkan kedua pria itu.

“Katakan, Brent, sampai kapan gadis itu akan berada di sini,” Jehona mendengar Janus

mendesak

suaminya sebelum ia menutup pintu yang membatasi ruang depan tempat Brent

bekerja dan ruang kecil

yang menjadi ruang makan mereka.

“Ia belum pergi, Nyonya Jehona?” tebak Fulvia melihat raut wajah Jehona.

“Ya,” Jehona duduk di depan Fulvia, “Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkannya

mengusikmu.”

Fulvia tersenyum. “Terima kasih.”

“Aku juga tidak menyukainya,” Tim berkata, “Aku akan menjagamu darinya, Fulvia.”

Fulvia menatap anak lelaki itu. “Aku percaya,” katanya sambil tersenyum.

“Tak lama lagi sudah genap sebulan,” Jehona mendesah.

“Ya,” gumam Fulvia, “Waktu benar-benar berlalu dengan cepat.”


“Apa kau berencana memberitahu keluargamu tentang kepergianmu selama sebulan

ini?” Jehona tibatiba

bertanya dengan tertarik.

Fulvia merasa serba salah melihat sepasang mata yang menatap langsung kepadanya

dengan penuh

rasa ingin tahu itu.

“Saya rasa… saya pikir mereka tidak akan senang mendengarnya.”

“Aku rasa juga demikian,” kata Jehona.

Fulvia tersenyum. Fulvia yakin Davies pasti akan memarahinya sepanjang hari bila ia

mengetahui

semua ini dan ibunya pasti akan pingsan.

“Apa kau telah memberitahu temanmu itu?”

Fulvia terperanjat.

Kepada Brent dan Jehona yang keheranan melihatnya datang tanpa mengendarai

kudanya sendiri,

Fulvia menjelaskan bahwa seorang temannya bersedia menyediakan antar jemput

baginya. Jehona lalu

bertanya mengapa ia tidak membiarkan temannya itu mengantarnya sampai di depan

rumah mereka dan

menjemputnya di sini pula. Fulvia lalu mengatakan sejujurnya pada mereka bahwa

temannya itu tidak tahu

apa yang dilakukannya dikotasetiap hari. Mereka tidak pernah bertanya lagi setelahnya.

“Belum,” Fulvia berkata dengan penuh rasa bersalah.


Beberapa hari ini Fulvia terus memikirkan masalah ini.

Irvingtelah bersikap begitu baik padanya.Irvingtelah bersedia menjemputnya di Unsdrell

setiap pagi

dan mengantarnya pulang setiap sore.Irvingjuga tidak pernah keberatan bila mereka

pergi ke Greenwalls

dulu sebelum pulang. Bahkan semenjak kejadian ituIrvingselalu mengantar Fulvia

melihat keadaan Audrey

sebelum mengantarnya pulang.Irvingbenar-benar seorang teman yang baik.

Segala kebaikanIrvingitu membuat Fulvia merasa bersalah. Fulvia semakin merasa

bersalah bila ia

teringat kebaikan dan perhatianIrvingpadanya.

Fulvia ingin mengatakan semua ini pada pria itu tetapi ia tidak tahu bagaimana harus

memulainya.

Fulvia juga tidak tahu apa reaksi pria itu setelah mengetahui semua ini. Fulvia benar-

benar tidak tahu.

“Aku ingin kau tahu aku tidak ingin mencampuri urusanmu,” kata Jehona bijaksana,

“Aku hanya ingin

mengatakan padamu bahwa tidak baik kau terus menutupi semua ini darinya.”

Fulvia menatap wanita itu lekat-lekat.

“Aku hanya khawatir temanmu itu merasa kau telah menyalahgunakan kepercayannya

padamu.

Mungkin setelah ia mengetahui tujuan muliamu ini ia akan membantumu,” Jehona

tersenyum, “Kau
mempercayainya bukan?”

Fulvia terperangah. Ya, Fulvia mempercayai Irving. Fulvia percaya pria itu. Karena

itulah ia tidak

pernah takut berduaan bersama pria itu walau ia tidak mengenal pria itu dengan baik.

Fulvia mengangguk. Senyum bahagia menghiasi wajah cantiknya yang berseri itu.

Fulvia telah memutuskan.

-----0-----

Irving melihat waktunya untuk menjemput Fulvia hampir tiba.

“Kita pulang sekarang,” Irving berdiri.

“Tetapi aku belum menghabiskan minumku,” rengek Clementine.

“Kita tidak punya waktu untuk itu,” Irving menarik tangan gadis itu.

Hari ini Clementine benar-benar membuat Irving kesal. Clementine telah menyita

waktunya. Gadis ini

telah membuat Irving merasa ia tidak lebih dari seorang kurir pembawa barangnya. Dan

gadis ini juga

membuat Irving menemaninya menghabiskan waktu minum teh dikota.

“Kau mau ke mana?” Clementine bertanya heran.

“Aku mempunyai urusan,” jawab Irving singkat.

“Urusan apa?” Clementine ingin tahu.

“Bukan urusanmu,” sahut Irving dingin.

Clementine tersenyum. “Jadi itu benar?”

Irving tidak menanggapi.


“Kudengar akhir-akhir ini kau suka menghilang ke suatu tempat dan tampaknya kau

juga sudah

mengurangi jadwal kencan-kencanmu itu.”

“Jangan percaya pada gosip,” Irving berkata sinis. Irving tidak pernah menikmati gosip-

gosip yang

beredar tentang dirinya itu.

“Kau benar-benar berubah,” Clementine tersenyum simpul, “Kau seperti bukan Irving

yang dulu lagi.”

Irving mengacuhkan komentar itu dan terus menarik gadis itu ke kereta yang terus

menanti mereka di

depan kedai itu.

Clementine terdiam. Ia tahu Irving benar-benar marah kali ini.

Irving membuka pintu kereta dan mengulurkan tangannya.

Tanpa membantah, Clementine menerima uluran tangan itu.

Irving puas akhirnya Clementine mau berdiam diri menuruti keinginannya.

Irving baru saja menapakkan kaki kanannya ke dalam kereta ketika ia melihat sesosok

gadis di

seberang yang menarik perhatiannya.

Gadis itu begitu mirip Fulvia tetapi Irving yakin ia bukanlah Fulvia. Gadis itu

mengenakan gaun

seorang pelayan, bukan gaun indah yang dikenakan Fulvia pagi ini. Gadis itu

membungkuk pada seorang


anak kecil kemudian ia menuntun anak kecil itu memasuki sebuah toko roti tak jauh

darisana.

“Adaapa, Irving?” Clementine bertanya ingin tahu.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Irving singkat.

Irving tidak mempunyai waktu untuk menjawab ketertarikannya pada sosok gadis yang

mirip Fulvia

itu.

Sekarang ia tidak mempunyai banyak waktu. Ia harus segera mengantar pulang

Clementine sebelum

kembali lagi kekotauntuk menjemput Fulvia.

Keterburu-buran Irving tidaklah sia-sia. Ia tiba lebih awal di tempat perjanjiannya

dengan Fulvia dari

waktu yang mereka janjikan. Irving tidak ingin pergi ke sebuah tempat pun dan ia

memutuskan untuk

menanti Fulvia disana.

Irving berdiri disanasambil memperhatikan orang-orang yang terus berlalu-lalang.

Tiba-tiba Irving teringat komentar Clementine hari ini.

Irving tahu Clementine benar. Ia pun dapat merasakan perubahan dalam dirinya. Irving

merasa ia

sudah tidak lagi terlalu tertarik untuk menghabiskan waktu bersama sejumlah wanita

yang siap menantinya.

Minatnya untuk berkencan dengan penggemarnya tampaknya sudah tidak ada. Ia yang

biasanya
menghabiskan waktu dari satu wanita ke wanita yang lain, sekarang lebih suka

mengurung diri di Ruang

Baca.

Bunga-bunga mawar di Nerryland pun tumbuh dengan subur dan menghiasi setiap

sudut halaman

Nerryland. Sudah lama bunga-bunga mawar merah itu tidak dipetik. Sudah lama bunga-

bunga mawar

merah itu tidak tersentuh.

Ia yang semula merasa dipaksa Fulvia, kini selalu menantikan saat menjemput gadis

itu. Baik

menjemputnya di Unsdrell maupun menjemputnya di pusatkota.

Irving tahu ia sudah berubah dan ia tahu penyebabnya adalah apa.

Sudah seminggu ini ia mengikuti keinginan Fulvia dan ia masih belum mendapatkan ide

tentang

rencana gadis itu. Ia tidak tahu bagaimana Fulvia akan menjeratnya dengan tiap hari

memintanya

mengantar jemput kekota. Irving tidak mempunyai gambaran apa pun.

Irving mulai ingin tahu apa yang dilakukan Fulvia di pusatkotaseorang diri setiap hari.

Selama ini Irving tidak pernah bertanya pada Fulvia. Irving juga tidak pernah peduli.

Tetapi beberapa

hari belakangan ini ia mulai mencurigai gadis itu. Ia mulai curiga ia telah terlibat dalam

sebuah rencana
yang tidak diketahuinya, rencana yang tidak ditujukan pada dirinya tetapi pada orang

lain.

Semakin ia teringat pada sosok gadis yang dilihatnya beberapa saat lalu, semakin ia

mencurigai

Fulvia.

Irving memutuskan untuk memeriksanya sendiri dan ia melangkah ke toko roti tempat ia

melihat gadis

itu masuk bersama seorang anak kecil.

Seorang gadis muda duduk di hadapan seorang anak kecil yang sibuk membaca. Gadis

itu

mendengarkan anak itu dengan tekun.

Irving tertegun melihat gadis itu.

“Apa yang kaulakukan di sini?”

Fulvia terperanjat. “M’lord!?”

Mata Irving menatap Fulvia tajam-tajam dan penuh kecurigaan.

Jehona melihat mereka berdua dengan bingung. “Fulvia, kau mengenalinya?”

“Ya, Nyonya Jehona,” jawab Fulvia lalu ia bertanya pada Irving, “Mengapa Anda berada

di sini?”

“Aku datang untuk menjemputmu.”

Jehona tiba-tiba sadar siapa pria itu. “Fulvia, segera bergantilah,” katanya pada Fulvia,

“Jangan

membiarkan temanmu menantimu.”


“Baik,” Fulvia bergegas masuk ke dalam dan sesaat kemudian ia muncul dengan gaun

yang

dikenakannya pagi ini.

“Hari ini cukup sampai di sini,” kata Brent.

“Apakah besok kau akan datang lagi?” Tim menarik gaun Fulvia.

“Ya,” Fulvia berlutut di hadapan Tim.

“Jangan lupa janjimu.”

“Tentu. Selama kau juga tidak melalaikan tugasmu.”

“Aku pasti akan melakukannya!” kata Tim penuh keyakinan.

Fulvia tersenyum.

“Kami tidak akan menahanmu lagi,” kata Jehona – memotong pembicaraan antara

Fulvia dan Tim.

“Saya mengerti,” Fulvia berdiri, “Besok saya akan datang lagi.”

Fulvia mengikuti Irving yang telah menantinya di depan.

“Sampai jumpa, Tuan Brent, Nyonya Jehona, dan Tim,” Fulvia berpamitan sebelum

berjalan di sisi

Irving.

“M’lord,” Fulvia berkata perlahan, “Dapatkah saya meminta Anda untuk merahasiakan

hal ini dari

keluarga saya?”

Irving tidak mengerti tindakan gadis ini. Ia benar-benar tidak mempunyai gambaran

tentang rencana

gadis ini.
“Saya tidak ingin menutupi hal ini dari Anda,” Fulvia kembali merasa bersalah, “Tetapi

saya tidak

dapat menjamin Anda akan tetap membantu saya setelah Anda mengetahuinya.” Fulvia

menambahkan,

“Saya tidak sedang berkata saya ingin terus menyembunyikannya dari Anda. Siang ini

saya tengah berpikir

bagaimana memulai semua ini dan karena Anda telah melihatnya sendiri, hal ini akan

semakin mudah bagi

saya.”

“Apa yang kaulakukan?” Irving mengulang pertanyaannya dengan tajam.

“Seperti yang Anda lihat, saya sedang memberikan pelajaran pada putra mereka,”

Fulvia menjelaskan,

“Mereka adalah keluarga yang baik. Mereka telah memberikan bantuan yang sangat

besar kepada saya.

Karena itulah saya memutuskan untuk memberikan pelajaran pada putra mereka.”

“Bantuan apa?” selidik Irving.

“Mereka membantu saya mengumpulkan uang.”

“Uang?” Irving curiga, “Aku tidak percaya kau membutuhkan uang. Aku yakin orang

tuamu tidak

keberatan memberimu uang sebanyak yang kauinginkan.”

“Ini adalah sesuatu yang istimewa,” Fulvia menjelaskan dengan penuh semangat,

“Saya ingin membeli


sebuah hadiah untuk orang tua saya. Saya ingin sebuah hadiah istimewa yang saya

peroleh dengan jerih

payah saya sendiri. Saya mengerti tindakan saya ini sungguh tidak masuk akal. Audrey

juga sempat

mengatakan saya sudah gila. Tetapi saya benar-benar memberi mereka sebuah hadiah

yang sangat spesial.

Davies pasti tidak akan marah besar mendengarnya dan orang tua saya mungkin akan

pingsan. Karena

itulah saya harus menyembunyikan hal ini dari keluarga saya.”

Irving terperangah. “Jadi semua ini karena itu,” gumamnya.

Fulvia menatap pria itu lekat-lekat.

Irving tidak suka sinar mata yang penuh rasa ingin tahu itu.

“Anda khawatir saya seperti mereka?” Fulvia membuat Irving terperanjat, “Saya tidak

tertarik pada

Anda.”

Irving terdiam.

“Saya tidak menyukai pria seperti Anda,” lanjut Fulvia singkat, “Bagi saya, Anda

hanyalah seorang

teman dan itulah bagaimana saya mengharapkan Anda memperlakukan saya.”

Irving tidak dapat berkata apa-apa. Selalu dan selalu ia dikejutkan oleh gadis ini. Selalu

dan selalu

mulutnya dibungkam oleh kata-kata tak terduga gadis ini.


Fulvia tersenyum manis. “Saya sangat senang Anda mau membantu saya dan saya

sangat berterima

kasih karenanya.”

Irving tertegun. Ia mulai meragukan pengertiannya tentang wanita. Selama ini Irving

selalu benar

tentang wanita dan ia selalu dapat memperlakukan wanita-wanita itu seperti yang

mereka harapkan.

Semua kecuali gadis satu ini.

Mereka tiba di sisi kereta kuda keluarga Engelschalf.

“Apakah Anda bersedia menemani saya hari ini?” Fulvia tersenyum manis.

Irving benar-benar tidak dapat menebak pikiran gadis ini.

“Saya ingin pergi ke sebuah tempat,” Fulvia berteka-teki, “Sebuah tempat indah yang

telah lama

terbengkalai, Greenwalls.”

“Dengan senang hati,” kata Irving kemudian memberitahukan tujuan baru mereka pada

kusir kuda.

Sesaat kemudian mereka telah tiba di rumah Audrey.

Mata Irving menatap tajam seekor kuda yang ditambatkan tak jauh dari pintu masuk.

Fulvia juga melihat kuda itu dan ia tidak mempunyai ide siapa tamu Audrey yang lain.

Pelayan membukakan pintu bagi Fulvia.

“Anda juga datang, Tuan Puteri?” sambut pelayan itu, “Tuan Muda Davies juga datang.

Sekarang ia

bersama Nyonya di Ruang Makan.”


Fulvia terkejut. “Davies datang?”

Irving tidak senang. Dengan malas ia mengikuti langkah-langkah riang Fulvia.

“Davies!” Fulvia berseru riang memanggil kakaknya.

“Fulvia, kau juga datang,” sambut Audrey.

Mata Davies langsung menatap tajam Irving. Ia tahu pria itu pasti ada bersama adiknya.

Irving membalas tatapan tajam itu dengan tatapan dinginnya.

“Mengapa kau bisa berada di sini?” Fulvia memecahkan suasana sengit di antara

kedua pria itu.

“Apa kau saja yang boleh datang ke sini?” Davies bertanya kesal.

Fulvia terperanjat. “Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya merasa heran.”

Audrey tersenyum. “Ia baru saja pulang dari rumah Lady Margot.”

Mata Fulvia membelalak lebar-lebar. “Benarkah itu, Davies?” tanyanya antusias.

Davies membuang mukanya.

Fulvia menangkap rona merah di wajah Davies.

“Oh, Davies,” kata Fulvia gembira, “Akhirnya kau mengalami kemajuan.”

Audrey tersenyum geli melihat ulah sepasang kakak adik itu.

“Mengapa kalian tidak bergabung bersama kami?” undang Audrey. “Kalian tidak

mempunyai acara

lagi, bukan?”

“Tidak,” jawab Irving singkat dan ia mengambil posisi di depan Audrey.

Fulvia duduk di sisi pria itu.

“Katakan,” Audrey menatap mereka lekat-lekat, “Apa saja yang kalian lakukan hari ini?”
Fulvia terperanjat. “Tidak ada,” ia cepat-cepat menjawab, “Tidak ada yang kami

lakukan.”

Pelayan muncul membawa peralatan makan untuk mereka.

Tiba-tiba Fulvia menyadari sebuah keganjilan. “Di mana Lewis?” tanyanya heran.

“Apakah ia tidak

makan bersama kita?”

“Pelayan akan mengantar makan malam untuknya.”

Seorang pelayan lagi mengantar hidangan malam itu.

“Audrey, apakah kau mempunyai anggur merah?” tanya Davies.

“Anggur? Untuk apa?” Audrey keheranan.

“Apakah kau tidak merasa kalkun bakar kurang lengkap tanpa anggur merah?”

Audrey melihat ayam kalkun di antara mereka yang baru saja diletakkan pelayan. “Aku

tidak

mempunyainya,” katanya kecewa.

“Aku akan pergi membelinya,” sahut Fulvia dan berdiri.

Irving berdiri. “Aku akan mengantarmu.”

Davies langsung berdiri sambil memelototi Irving.

“Terima kasih, Fulvia,” Audrey cepat-cepat berkata, “Kau sangat membantu.”

“Kami akan segera kembali.”

Mereka berdua menghilang di balik pintu.

Davies geram. Andai saja bukan karena Audrey, ia pasti sudah mencegah mereka.

“Davies,” Audrey menarik kemeja pria itu untuk mendapatkan perhatiannya. “Mengapa

kedua musuh
bebuyutan itu membiarkan mereka berduaan?”

Davies menoleh.

“Akhir-akhir ini aku sering melihat mereka berdua berjalan bersama-sama,” lanjut

Audrey, “Dan itu

membuatku heran.”

“Ini semua karena dua pria itu,” Davies kesal, “Mereka mencari Irving untuk

mendapatkan jawaban.”

Davies duduk dengan kesal.

“Jadi mereka berdua membiarkan Irving pergi bersama Fulvia untuk mendapatkan

jawaban,” gumam

Audrey lalu ia berkata serius, “Aku tidak tahu bagaimana pandangan Fulvia tetapi,

kulihat, Davies, Irving

mulai tertarik pada Fulvia.”

“Ya,” Davies mendengus kesal, “Ia tertarik untuk menjadikan Fulvia satu di antara

koleksi

perempuan-perempuannya.”

“Bukan itu yang kumaksud,” Audrey tidak sependapat, “Tidakkah kau dengar gosip-

gosip itu? Semua

orang sibuk membicarakan mengapa Irving akhir-akhir ini lebih jinak. Ia sudah hampir

tidak pernah lagi

terlihat bersama wanita mana pun. Juga tidak pernah terdengar kabar ia berganti

pasangan.”
Davies menatap tajam kakak sepupunya itu. “Ternyata kau masih punya waktu

mengurusi gosip-gosip

itu,” katanya curiga, “Kurasa kami tidak perlu mengkhawatirkan kau lagi.”

Audrey tertawa. “Aku juga tidak akan tertarik kalau bukan karena aku melihat Fulvia

datang bersama

Irving.”

“Mereka pernah datang ke sini?” Davies curiga.

“Beberapa kali.”

“Apa yang mereka lakukan di sini!?” Davies melonjak bangkit. Emosinya kembali

meluap-luap, “Apa

yang dilakukan pria itu pada Fulvia!?”

Audrey tersenyum penuh arti. “Kau sangat peduli pada Fulvia.”

“Tentu saja! Dua pria tolol itu telah membiarkan Fulvia jatuh dalam perangkap Irving

dan akulah satusatunya

orang yang bisa menyelamatkannya.”

“Aku lebih melihatnya kau cemburu karena Fulvia lebih memilih Irving sekarang.”

“Aku!?”

“Ya,” kata Audrey tenang – tidak terusik oleh emosi Davies yang kian memuncak itu,

“Apa yang dapat

kukatakan tentang seorang kakak yang terus meluap-luap karena adiknya pergi

bersama pria lain?”

“Dia itu berbahaya, Audrey! Dia pasti hanya ingin mempermainkan Fulvia!”
“Aku rasa tidak,” Audrey membuat Davies heran dengan kata-katanya yang penuh

keyakinan itu,

“Irving tidaklah seburuk yang kaukatakan itu. Ia juga mempunyai sisi baik.”

“Apa sisi baiknya?”

“Ia telah membantuku menyadarkan Lewis. Luka memar di wajahnya itu adalah

pemberian Irving.”

Davies tercengang.

“Beberapa hari lalu Fulvia datang tepat ketika Lewis sedang marah-marah. Untunglah

waktu itu Irving

ada di sini. Ia menghentikan Lewis sebelum ia menyakiti Fulvia.”

“Untung?” Davies mengejek.

“Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada Lewis sekarang bila saat itu ia

berhasil

menyakiti Fulvia. Aku tidak mengkhawatirkan Trevor maupun Richie. Yang lebih

kutakuti adalah,”

Audrey menatap Davies lekat-lekat. “Reaksimu. Kau memang tidak pernah mengerti

wanita, tetapi aku

percaya kau akan melakukan apa saja untuk adikmu itu.”

Davies terdiam.

“Irving meninjunya dan memarahinya. Sejak itulah Lewis menjadi lebih tenang. Ia terus

mengurung

diri di kamar sejak kemarin tetapi aku percaya ia sedang berpikir keras,” Audrey

tersenyum.
Senyuman itu membuat Davies terperangah. Sudah lama ia tidak melihat Audrey

tersenyum bahagia

seperti ini.

“Aku percaya Lewis akan kembali ke masa-masa sebelum semua ini terjadi.”

Davies duduk kembali dan termenung.

“Adaseorang pria yang menanti Anda, Tuan Puteri,” seorang pelayan memberitahu

Fulvia. “Ia

mengatakan Anda mempunyai janji dengannya.”

“Janji?” Fulvia heran, “Hari ini aku tidak mempunyai janji dengan siapa pun.”

Hari ini adalah hari Minggu. Ia telah berjanji pada Trevor juga Richie untuk menemani

mereka hari

ini. Apakah ini adalah salah satu dari permainan mereka?

“Ia menanti Anda di serambi,” kata pelayan itu lagi.

Fulvia bergegas ke serambi. Ia memutuskan untuk melihat siapakah pria itu.

Seperti yang dikatakan pelayan padanya, seorang pria muda berdiri di serambi.

“M’lord?!” Fulvia terkejut, “Mengapa Anda di sini? Bukankah saya telah mengatakan

pada Anda

bahwa hari ini Anda tidak perlu datang menjemput saya?”

Fulvia ingat jelas ia telah mengatakan pada Irving bahwa ia tidak perlu kesanapada hari

Minggu.

Brent mengatakan ia tidak perlu datang di hari Minggu. Hari itu Brent dan keluarganya

akan pergi ke
gereja demikian pula Fulvia.

“Aku tidak suka setiap hari membohongi keluargamu dan kupikir tidak ada salahnya bila

aku benarbenar

menjemputmu untuk suatu alasan yang benar.”

Fulvia tersenyum. Ia mengerti keinginan Irving.

“Tunggulah sebentar. Saya akan segera siap,” Fulvia berlari ke dalam kamarnya.

Davies melihat adiknya berlari menuju kamarnya dengan riang.

“Kau mau ke mana?” cegat Davies.

“Irving menjemputku,” jawab Fulvia tanpa berhenti, “Ia ingin mengajakku berjalan-jalan.”

Mata Davies langsung mengawasi Irving yang menanti di depan Unsdrell melalui

jendela lorong.

Tanpa berpikir panjang, Davies langsung menapaki tangga menuju serambi tempat pria

itu sekarang

berada.

“Apa yang sedang kaurencanakan?” Davies langsung bertanya sinis.

“Tidak ada,” jawab Irving. Ia benar-benar tidak menikmati cara pria ini

memperlakukannya.

Davies selalu mencurigainya seakan-akan ia adalah seorang penipu besar!

“Mau apa kau dengan Fulvia?”

“Aku hanya ingin mengajaknya ke sebuah tempat.”

Sudut mata Davies langsung meruncing. “Kuperingatkan kau, jangan bermain-main

dengan Fulvia.

Fulvia bukanlah wanita-wanita simpananmu itu.”


“Aku tidak pernah berniat menjadikannya satu dari sekian koleksiku,” Irving menjawab

tak kalah

sinisnya, “Aku tidak tertarik pada gadis ingusan seperti dia.”

“Mengapa kau terus berada di sekitarnya?”

“Itu adalah urusanku,” jawab Irving dingin.

Davies tahu. Seharusnya sudah dari awal mula ia menghentikan kedua sepupu itu.

Seharusnya sudah

dari awal ia mencegah Fulvia bertemu Irving.

“Maaf,” Fulvia muncul dengan tergesa-gesa, “Apakah Anda lama menanti saya?”

Fulvia heran melihat kakaknya berada disana.

“Tidak, M’lady,” Irving mengulurkan tangan mencium punggung tangan Fulvia. Matanya

melirik

Davies dengan sinar matanya yang setajam pisau, “Saya sungguh merasa terhormat

Anda bersedia

berdandan dengan cantik untuk saya.”

Fulvia tersipu.

Davies tidak suka cara pria itu memuji Fulvia tapi demi kebaikan Fulvia, ia tahu ia harus

dapat

menahan diri.

“Selamat bersenang-senang,” Davies memeluk Fulvia dan mencium pipinya lalu ia

melirik tajam

Irving, “Berhati-hatilah.”

Fulvia tersenyum. “Tentu, Davies.”


“Kuserahkan Fulvia padamu,” Davies mendekati Irving lalu dengan nadanya yang

mengancam, ia

berbisik, “Kalau sesuatu terjadi pada Fulvia, akulah yang pertama akan mencari

perhitungan denganmu.”

Irving tersenyum sinis. “Terima kasih.”

Fulvia keheranan melihat sikap aneh kedua pria itu.

“Mari kita pergi, M’lady,” Irving mengulurkan tangannya.

Fulvia menyambut uluran tangan itu.

Irving langsung mengapit tangan Fulvia di sikunya. Sekali lagi ia menatap sinis Davies

sebelum

membawa Fulvia ke kereta yang telah menanti mereka.

Davies ingin sekali melempar sesuatu ke pria sinis itu.

Fulvia mengeluarkan kepalanya di jendela kereta. “Davies, tolong katakan pada Papa

Mama aku akan

kembali sebelum makan malam.”

“Tentu,” Davies melambaikan tangan, “Selamat bersenang-senang.”

Davies geram. Ia benar-benar ingin sekali menghantam muka sombong Irving. Ia ingin

sekali mencekik

pria itu.

“Apa yang terjadi?”

Davies terperanjat.

“Apakah kau mempunyai tamu yang tak menyenangkan?” Trevor melihat kereta yang

telah melewati
gerbang Greenwalls.

“Tidak,” Davies berbohong lalu ia bertanya, “Apa yang membuatmu datang sepagi ini?”

“Kau tahu jawabannya, Davies. Aku tidak dapat membiarkan Richie mendahuluiku,”

Trevor tersenyum

penuh kemenangan. Ia merangkul Davies dan berjalan bersamanya ke dalam, “Apakah

Fulvia ada di

kamarnya?”

Davies tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia tidak ingin

mengingkari janjinya

kepada Fulvia. Ia juga tidak ingin memberitahu mereka kepergian Fulvia bersama Irving

seminggu terakhir

ini. Di sisi lain, ia juga tidak mempunyai alasan lain.

“Ia baru saja pergi.”

“APA!?”

Mereka terperanjat.

Richie muncul di pintu masuk dengan wajah geramnya. Pria yang baru datang itu

langsung mendekat

dan mencengkeram kemeja Davies dengan kesal, “Dan kau membiarkannya pergi!?”

Davies menepiskan tangan Richie. “Ia pergi bersama pria pilihan kalian,” Davies

berkata tidak kalah

kesal.

Davies sudah tidak dalam suasana hati gembira semenjak mendengar kedatangan

Irving dan kedua pria


ini semakin memperburuk suasana hatinya dengan menuduhnya.

“Pria pilihan kami?” keduanya bertanya bersamaan.

Davies membuang mukanya. Ia tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Mereka telah

merusak

suasana hatinya pagi ini.

“Siapa?” keduanya mencegat Davies.

“Jangan ganggu aku!” Davies marah.

Kedua pria itu terkejut.

“Aku tidak mau campur tangan urusan kalian lagi,” Davies pergi meninggalkan kedua

pria itu dalam

keheranan.

Davies benar-benar kesal. Ia ingin sekali melepaskan diri dari semua ini dan ia tahu ke

mana ia bisa

mendapatkan kembali kebahagiannya.

Davies pun bersiap untuk menemui kekasihnya, Margot.

-----0-----

“Anda mencampakkan seorang lagi?” Fulvia bertanya.

Irving tidak mengerti.

Fulvia menunjuk sekuntum mawar merah di sudut kereta. Fulvia memang tidak banyak

tahu tentang

Irving tetapi ia banyak mendengar cerita tentang pria itu dan mawar-mawar merahnya.

“Saya rasa sudah saatnya Anda berhenti mempermainkan perasaan Anda sendiri.”
Irving tidak suka. Apakah gadis ini akan menceramahinya tentang filsafat cintanya

seperti ayahnya?

Gadis ingusan ini tidak pantas menceramahinya. Gadis ini tidak mengerti apa-apa

tentang cinta.

“Mungkin saya tidak pantas mengatakan ini,” Fulvia tersipu-sipu, “Saya juga seperti

Anda,” Fulvia

membuat Irving tidak mengerti, “Tidak. Mungkin saya lebih buruk dari Anda.”

“Apa yang kaukatakan?”

“Anda tahu, M’lord,” mata Fulvia menerawang ke luar jendela kereta, “Kedua kakak

sepupu saya itu,

Trevor dan Richie. Mereka menyukai saya dan mereka selalu bertengkar karenanya.

Saya tidak mengerti

mengapa mereka memperkenalkan Anda pada saya. Saya menduga ini berhubungan

dengan pertengkaran

mereka.”

Irving terperanjat. Gadis ini tahu!

“Mereka pikir saya tidak tahu tetapi saya mengetahuinya. Saya mengetahuinya

semenjak kecil dan saya

membiarkannya,” mata Fulvia kembali menatap pria itu, “Apakah Anda tidak

berpendapat saya sangat

kejam?”

Irving tidak menjawab.


“Keduanya adalah kakak bagi saya. Saya tahu saya tidak akan pernah mencintai

mereka melebihi

Davies. Saya tahu saya tidak memilih seorang pun di antara mereka tetapi saya tidak

sanggup

mengatakannya pada mereka.”

Irving tidak tahu bagaimana menghadapi pengakuan ini.

“Ke mana kita akan pergi, M’lord?” Fulvia bertanya manis.

“Apakah engkau ingin pergi ke sebuah tempat?”

“Saya ingin sekali ke pantai,” Fulvia berkata penuh semangat, “Semua orang

mengatakan musim panas

adalah waktu yang tepat untuk bermain ke pantai.”

“Aku sependapat,” Irving menatap Fulvia lekat-lekat, “Sayangnya aku tidak dapat

membawamu

kesanakali ini.”

Fulvia kecewa mendengarnya.

“Tidak ada pantai terdekat yang bisa dicapai dalam satu hari perjalanan pulang pergi,”

Irving

menjelaskan, “Dan aku yakin Davies akan membunuhku bila aku membawamu pergi

lebih dari sore hari.”

Fulvia tertawa geli mengingat sinar mata tajam kakaknya ketika Irving membawanya ke

dalam kereta

yang telah menanti mereka.


“Ya,” katanya menahan tawa, “Bahkan saya hampir yakin Davies akan membunuh

Anda pagi ini bila

saya tidak segera keluar.”

“Sebagai penggantinya,” Irving berkata, “Ijinkanlah aku membawamu ke sebuah tempat

indah

kesukaanku.”

Fulvia terperangah. “Benarkah?”

“Apakah aku pernah berbohong padamu?”

-----0-----

Margot tertawa terbahak-bahak.

“Kau menertawakanku,” kata Davies kesal.

“Kau kalah dari Irving, Davies,” Margot tidak dapat menahan tawanya, “Kau cemburu

pada Irving.”

“Irving berbahaya!” Davies marah, “Ia hanya tahu menyakiti Fulvia!”

Kegembiraan Margot menghilang melihat kemarahan Davies yang meluap-luap itu.

“Aku iri pada Fulvia,” gumam Margot murung.

Davies terkejut.

“Fulvia mempunyai Trevor dan Richie yang selalu memperebutkannya. Ia juga

mempunyai seorang

kakak sangat memperhatikannya,” Margot bertopang dagu dan pandangannya

menerawang, “Sedangkan

aku hanya mempunyai seorang pria yang tidak mengenal romantis. Ia tidak pernah

mengajakku pergi. Ia
juga tidak pernah datang menemuiku. Sekarang ia datang tetapi ia membawa

masalahnya bukan bunga yang

indah ataupun hadiah.”

Davies terperanjat. “Aku tidak bermaksud seperti itu,” Davies duduk di sisi Margot,

“Aku… aku…”

Margot meletakkan jari-jari lentiknya di bibir Davies. “Aku tahu,” Margot tersenyum

lembut, “Karena

itulah aku mencintaimu.”

Davies terpesona.

“Kau tidak pernah tahu bagaimana merayu wanita. Kau juga tidak tahu apa itu

romantis,” Margot

merangkulkan tangannya di leher Davies, “Tetapi kau rela melakukan apa saja demi

orang yang

kaucintai.”

Davies memeluk Margot dan mencium bibir wanita itu. “Aku akan melakukan segalanya

untuk

membahagiakanmu,” bisiknya mesra.

“Kurasa, Davies,” Margot menyandarkan kepala di dada Davies, “Kau harus mulai

melepaskan

Fulvia.”

“Melepaskan Fulvia!?”

“Tidakkah kau dengar sebuah kabar burung, Davies?” Margot menatap Davies lekat-

lekat, “Irving
telah mematahkan kian banyak hati para wanita.”

“Itu bukan berita baru,” kata Davies mencemooh.

“Tetapi Irving tidak pernah mengirimkan mawar-mawar merahnya lagi,” Margot

menambahkan dengan

serius – membuat Davies keheranan, “Irving tidak pernah lagi terlihat bersama wanita

mana pun. Semua

mengatakan ia telah menjadi lebih jinak. Aku tidak pernah mengetahui apa yang

membuat Irving berubah

tetapi dari ceritamu itu aku mulai mengerti. Irving tertarik pada Fulvia.”

Davies kehabisan kata-katanya. Audrey pernah mengatakan hal yang sama padanya

dan sekarang

Margot menegaskannya kembali dengan serius.

“Fulvia adalah gadis baik,” Margot tersenyum, “Ia adalah gadis yang penuh perhatian.

Aku tidak akan

terkejut bila ia berhasil menundukkan Irving.”

Davies teringat wajah gembira Fulvia ketika Irving menjemputnya pagi ini. Davies tidak

pernah

melihat wajah adiknya yang dipenuhi kebahagiaan seperti yang dilihatnya pagi ini.

Tidak sekalipun

Trevor ataupun Richie mengajaknya pergi.

Davies tersenyum.

“Ya,” Davies merangkul pundak Margot, “Fulvia adalah gadis yang manis.”
“Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan musuh bebuyutan itu bila mereka

mengetahuinya,” Margot

menyandarkan kepala di pundak Davies.

“Siapa tahu,” gumam Davies, “Mereka sendirilah yang mencari masalah.”

-----0-----

Fulvia terpesona.

Di depannya, Fulvia dapat melihat daratan yang membentang luas ke seluruh penjuru.

Kumpulan

pemukiman penduduk tampak berkumpul di satu tempat dikelilingi hijaunya pepohonan.

Di kejauhan

tampak gunung-gunung tinggi membentengikotayang nampak kecil dari tempat tinggi

ini. Dan lebih jauh

lagi, Fulvia dapat melihat sebuah garis panjang yang membentang dari timur ke barat.

Garis itu membatasi

laut dan langit biru.

Fulvia membentangkan tangan lebar-lebar. Ia menyukai angin sejuk yang berhembus di

tebing tinggi

ini.

Fulvia merasa ia tengah berada di puncak dunia. Dari tempatnya yang sangat tinggi,

Fulvia dapat

melihat semuanya tampak kecil dan indah.

“Ini benar-benar luar biasa,” Fulvia memuji. “Tempat ini pastilah sangat tinggi.”
“Jangan melihat ke bawah,” Irving memperingatkan namun sayang ia terlambat

beberapa detik.

Fulvia memandang daratan tepat di bawahnya dan ia merasa kepalanya pusing. Fulvia

merasa

tubuhnya seolah-olah tertarik ke bawah dan ia tengah jatuh bebas.

Irving memegang lengan Fulvia. “Sudah kuperingatkan,” katanya menuduh Fulvia.

“Terima kasih,” Fulvia memeluk lengan Irving. “Saya hanya ingin tahu seberapa

tingginya tempat ini.”

“Apakah perjalanan kita kurang memberi jawaban padamu?”

Fulvia tersenyum mendengar nada tidak senang itu.

Irving benar. Mereka tidak dengan mudah mencapai tempat tinggi ini. Kereta yang

mereka tumpangi

juga tidak dapat mencapai tempat ini.

Kereta keluarga Engelschalf hanya mengantar mereka hingga ke desa di kaki bukit ini.

Selanjutnya,

Irving menyewa seekor kuda.

Irving menegaskan perjalanan mereka tidak akan mudah. Irving mendudukkan Fulvia di

belakangnya

dan meminta Fulvia untuk memeluknya erat-erat.

Duduk di belakang punggung lebar itu, Fulvia tidak dapat melihat seberapa

sulitnyamedanyang mereka

lalui tetapi dari cara Irving mengendalikan kuda, Fulvia tahu perjalanan ke tempat tinggi

ini tidak mudah


bahkan berbahaya.

Fulvia tidak takut. Ia percaya pada Irving.

Irving adalah pria yang suka mempermainkan wanita tetapi Fulvia tahu Irving tidak

pernah bermain

dengan wanita yang telah berkeluarga atau pun gadis kecil seperti dirinya. Ia hanya

bermain dengan

wanita-wanita cantik yang dewasa.

Fulvia tidak khawatir Irving sedang mempermainkannya. Ia mempercayai pria itu dan

pria itu telah

menjaganya dengan baik hingga saat ini. Irving juga tidak segan menunjukkan

perhatiannya.

Fulvia mengangkat kepalanya. “Saya rasa saya mulai tertarik pada Anda,” ujarnya

sambil tersenyum.

“Kupikir kau tidak pernah tertarik padaku.”

“Itu adalah dulu sebelum saya mengenal Anda,” Fulvia tersenyum, “Setelah saya

mengenal Anda, saya

merasa Anda tidaklah seburuk yang saya anggap. Anda juga memiliki sisi baik.”

Fulvia menatap Irving lekat-lekat, “Kecuali kegemaran Anda melompat dari satu wanita

ke wanita

yang lain itu.” Lalu gadis itu tersenyum penuh arti, “Andai saja Anda adalah seorang

pria yang setia, saya

pasti telah tergila-gila pada Anda.”

Irving terperangah.
Fulvia melepaskan tangannya dari lengan Irving dan berjalan membelakangi pria itu.

“Sayang sekali,” Fulvia memperhatikan tanah lapang di depannya, “Kita tidak membawa

bekal

piknik.” Fulvia membersihkan tanah terjal itu dari debu dan duduk di atasnya. “Tentu

akan sangat

menyenangkan sekali bermalam di sini,” Fulvia menengadahkan kepalanya, “Saya

membayangkan

bagaimana rasanya tidur di bawah bintang-bintang.”

“Ya,” Irving duduk di sisi Fulvia, “Dan Davies mungkin akan mencekikku.”

Fulvia tertawa. “Saya yakin Davies akan melakukannya. Dan Mama akan menanti kita

di pintu dengan

ceramahnya sepanjang hari. Kemudian Papa akan menyiapkan sebuah ruangan untuk

mengurungku selama

sebulan mendatang.”

“Keluargamu sangat memperhatikanmu,” komentar Irving dan ia berbaring di tanah

terjal itu. Kedua

tangannya terlipat di belakang kepalanya dan kakiya menjulur panjang.

“Mereka sering membuat saya merasa tidak bebas,” Fulvia mengeluh, “Terlebih lagi

Trevor dan

Richie.”

Irving menutup matanya dan menajamkan pendengarannya.

“Mereka terlalu memperhatikan saya dan itu membuat saya merasa sangat tidak

nyaman. Mereka
selalu bersikeras untuk mengawal saya ke mana pun saya pergi. Saya benar-benar

harus berusaha keras

untuk melepaskan diri dari mereka. Biasanya saya meminta Davies membantu saya

tetapi itu sudah tidak

mungkin lagi. Sekarang Davies mempunyai Margot.”

Fulvia menarik kakinya merapat dan ia merebahkan kepala di atas lututnya. “Mungkin

saya harus

segera mencari cara lain.”

Irving tidak menanggapi. Ia juga tidak dapat membantu Fulvia. Ini adalah masalah

mereka dan ia tidak

mau campur tangan. Kedua pria itu pernah meminta bantuannya tetapi sampai

sekarang ia belum

memberikan jawabannya.

Malam itu, setelah ia mengantarkan kepulangan Fulvia, kedua sepupu itu

mendekatinya.

“Bagaimana?” tanya Richie penuh ingin tahu.

“Aku tidak tahu,” jawab Irving singkat, “Ia tidak mengatakan apa-apa.”

“Bukankah mereka mengatakan kau tahu apa yang dipikirkan wanita hanya dengan

melihatnya saja?”

Richie mendesak.

“Aku bukan seorang peramal,” sahut Irving tidak senang.

“Apa saja yang kalian bicarakan?” Trevor yang sifatnya lebih tenang dari Richie

bertanya.
“Tidak ada,” kata Irving, “Ia hanya berterima kasih padaku dan ia memutuskan untuk

pulang.”

“Fulvia pulang!?” kedua pria itu terkejut.

Irving tidak ingin melibatkan diri terlalu lama lagi dengan kedua pria yang sedang

dimabuk cinta dan

cemburu itu. Ia pun pergi meninggalkan mereka.

Baik Trevor maupun Richie tidak pernah mencarinya lagi semenjak hari itu. Irving

sendiri sudah yakin

ia telah melepaskan diri dari masalah mereka ketika ia kemudian bertemu Fulvia dan

gadis itu menariknya

ke dalam sebuah rencana yang sama sekali tidak diduganya.

Irving benar-benar tidak dapat memahami Fulvia.

Sepintas gadis dengan wajah kekanak-kanakannya ini tampak seperti sebuah buku

terbuka tetapi… Ya,

ia mungkin adalah sebuah buku yang terbuka lebar tetapi tulisan dalam buku itu sangat

sulit dimengerti.

Irving mendesah. Entah mengapa ia merasa ia telah melibatkan diri dalam sebuah

masalah yang sangat

besar dan ia tidak akan dapat melepaskan diri dengan mudah.

“Adaapa?” Fulvia bertanya cemas.

Irving bingung.

“Saya mendengar Anda mendesah,” Fulvia memperhatikan wajah Irving, “Apakah Anda

mempunyai
masalah?”

“Aku akan mempunyai masalah besar,” tangan Irving terulur mengambil topi di sisi

Fulvia yang lain,

“Bila kau terserang sinar matahari,” ia meletakkan topi itu di kepala Fulvia.

Fulvia tersenyum. “Udara di sini sangat sejuk dan itu membuat saya melupakan sinar

matahari yang

terik.”

“Rasanya masalah tidak pernah lepas dariku selama kau berada di sekitarku.”

Fulvia tertawa mendengar keluhan itu. “Anda mencemaskan Davies?” ia tidak dapat

menahan rasa

gelinya, “Atau Trevor dan Richie?”

“Ketiganya,” jawab Irving singkat dan ia kembali memejamkan mata.

“Jangan khawatir. Saya tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu terhadap

Anda,” Fulvia

membesarkan hati Irving.

Sebaliknya, Irving merasa gadis ini akan memperburuk masalah.

Fulvia melayangkan pandangannya pada langit biru dan pada daratan yang terbentang

luas di bawah

tebing curam itu.

Fulvia menikmati perjalanan ini. Ia menyukai pemandangan indah ini.

Sementara mereka saling berdiam diri menikmati waktu masing-masing, sang mentari

terus menapaki
jalur panjangnya di langit biru. Sinarnya yang terik kian memudar seiring merendahnya

posisinya.

Fulvia tidak tahu berapa lama mereka berada disana. Ia hanya tahu ia menikmati

waktunya di tempat

ini.

“Sudah saatnya kita pulang” Irving tiba-tiba berdiri.

Fulvia terkejut.

“Aku tidak yakin kita dapat mengejar waktu kalau kita tidak bergegas pulang,” ia

mengulurkan tangan

kepada Fulvia.

Fulvia melihat mentari yang mulai condong di barat dan langit yang kemerahan. Fulvia

menerima

uluran tangan Irving.

Irving membawanya ke kuda yang sedang sibuk merumput di belakang mereka. Begitu

mereka tiba di

sisi kuda itu, Irving menggendong Fulvia dan mendudukkannya di belakang pelana

kemudian ia duduk di

depan Fulvia.

“Berpeganglah yang erat,” kata Irving sesaat sebelum menjalankan kudanya.

Tanpa perlu diperintahpun, Fulvia tahu ia harus mengencangkan pelukannya di

punggung pria itu.

Seperti keberangkatan mereka, Fulvia tidak merasa takut sedikitpun oleh cepatnya laju

kuda itu
menapaki jalanan yang curam dan sempit di punggung bukit itu.

Namun, tidak seperti kepergiannya, mereka tengah berpacu dengan waktu. Fulvia

menyadari Irving

menjalankan kuda lebih cepat dari keberangkatan mereka.

Dalam waktu singkat mereka tiba di desa di kaki bukit.

Irving bergegas mengembalikan kuda dan memerintahkan kusir kuda untuk mengantar

mereka ke

Unsdrell.

“Sepertinya kita tidak dapat mengejar waktu.”

“Ya,” Fulvia melihat langit yang telah gelap, “Saya yakin Davies telah berdiri di pintu

sambil

memasang mukanya yang menakutkan itu.”

“Aku tak meragukannya,” kata Irving tepat ketika kereta berhenti.

Fulvia begitu yakin Davies telah menanti mereka. Karena itu ia merasa sangat heran

ketika ia tidak

melihat Davies di pintu. Ia juga tidak melihat bayangan kakaknya itu.

Irving juga keheranan. Sesaat lalu ia yakin Davies pasti telah menantinya di depan pintu

dengan

senjata tajamnya dan sekarang ia tidak dapat menemukan pria itu.

“Sebaiknya saya segera masuk sebelum Davies keluar,” kata Fulvia lalu ia beranjak

dari sisi pria itu.

“Fulvia!” Irving menarik tangan Fulvia.

“Ya?” Fulvia membalikkan badannya.


Irving menarik Fulvia ke dalam pelukannya.

Fulvia terkejut. Ia melihat tatapan lembut di mata biru tua itu dan wajahnya memerah.

Irving mendekatkan wajahnya.

Jantung Fulvia berdebar kencang. Jari jemari Fulvia saling bertautan di depan dadanya

dan matanya

menutup rapat.

“Selamat malam,” Irving mencium dahi gadis itu.

Fulvia terbelalak. Sedetik lalu ia sangat yakin Irving akan mencium bibirnya.

“Kau tidak keberatan aku memberimu ciuman selamat malam, bukan?” kata Irving.

Fulvia masih terpaku di tempatnya ketika pria itu melambaikan tangan padanya dan

menaiki kereta

kudanya.

Kereta bergerak perlahan meninggalkan Fulvia dan ia semakin menambah

kecepatannya ketika ia

semakin mendekati Unsdrell.

Fulvia menatap kereta yang semakin menjauh itu dan ia memegang dahinya tepat di

tempat Irving

menciumnya.

Wajah Fulvia kembali memerah.

“Ia sudah pulang?”

Fulvia terperanjat. “M… Mama?”

Countess Kylie berdiri di pintu sambil tersenyum.

“M…mama kau…,” rona merah di wajah Fulvia semakin jelas.


“Mengapa kau tidak segera kembali ke kamarmu?” Countess masih tersenyum, “Kau

sudah lelah

bukan?”

Fulvia tersipu-sipu melihat senyum penuh arti ibunya itu.

Countess mendekati putrinya. “Aku akan menyuruh pelayan segera mempersiapkan

makan malam

untukmu. Aku yakin peringatan Davies telah membuat kalian terburu-buru dan

melupakan makan malam

kalian.”

Rona merah di wajah Fulvia kian menjadi-jadi.

“Ia pria yang baik.”

“Ya,” Fulvia sependapat, “Ia sangat baik.”

“Kurasa malam ini aku akan mendengar cerita yang menarik,” Countess Kylie

meletakkan tangan di

punggung Fulvia dan mendorongnya dengan lembut ke dalam Unsdrell.

Senyum di wajah Countess Kylie semakin lebar melihat putrinya yang masih tersipu-

sipu itu.

Waktu terasa berjalan sangat lambat ketika Fulvia menantikan hari yang dijanjikannya

dengan Brent.

Tetapi ia terasa berlalu dengan cepat ketika Fulvia menyadari hari itu sudah ada di

depan matanya.

Hal ini membuat Fulvia sangat gembira. Hari yang dinanti-nantikannya akan tiba.
Bukan hanya Fulvia yang menyadari hal itu. Jehona yang selama ini sangat mendukung

rencananya,

hari ini berkata,

“Sungguh tak terasa. Sudah hampir satu bulan kau berada di sini. Tak lama lagi kau

akan meninggalkan

kami.”

Fulvia tersenyum tetapi itu masih tidak cukup untuk menutupi kesedihannya mendengar

nada-nada

sedih dalam suara wanita itu.

Fulvia sadar setelah ia mendapatkan apa yang diinginkannya, ia tidak akan bisa setiap

hari datang ke

tempat itu. Ia juga tidak akan bisa sesering ini pergi kesana.

Di satu sisi ia sudah tidak mempunyai alasan lagi dan di sisi lain ia tidak akan bisa

menemukan

seseorang yang mau menemaninya datang ke tempat ini tanpa mempertanyakan

hubungan mereka.

Irving bukanlah orang yang dapat diandalkan Fulvia. Fulvia yakinIrving tidak akan

keberatan

mengantarnya. Ia juga tidak perlu kebingungan menjelaskan perkenalannya dengan

mereka karena Irving

telah mengetahuinya.

Audrey juga bukan orang yang bisa dipilih Fulvia. Sekarang Lewis terus mengurung diri

di kamar dan
itu membuat Audrey lebih tenang. Sekarang Audrey mempunyai banyak waktu untuk

melakukan banyak hal

selain sepanjang hari bersedih memikirkan kondisi suaminya.

Setiap hari Audrey selalu disibukkan urusan memulihkan kondisi Greenwalls dan

merawat Lewis.

Kondisi keuangan mereka memang tidak memungkinkan untuk memulihkan keadaan

Greenwalls

sepenuhnya tetapi Audrey telah berusaha untuk merapikan kembali rumah yang pernah

terkenal oleh

hijaunya tanaman yang memagarinya itu.

Fulvia juga dapat melihat perubahan perlahan di pekarangan Greenwalls dalam

kunjungannya akhirakhir

ini.

Irving juga pernah berkomentar ‘Tampaknya mereka sudah mulai melakukan sesuatu

dengan tempat

ini’ ketika mereka melihat beberapa pelayan yang tersisa dalam keluarga kecil itu

sedang sibuk merapikan

semak-semak.

Dari keluarganya, Fulvia juga mendengar Countess Horace sering pergi ke Greenwalls

di siang hari

untuk membantu Audrey. Trevor secara diam-diam mulai menghitung total biaya yang

diperlukan untuk

memulihkan kondisi Greenwalls.


Fulvia menyukai keadaan ini. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri berkunjung ke

Greenwalls

sepulang dari tempat kerjanya untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa

dilakukannya.

Tentu saja tidak ada yang dapat dilakukan Fulvia karena Audrey juga tidak akan pernah

merepotkan

orang lain terlebih keluarganya sendiri.

Setelah berhari-hari tidak pergi memastikan keberadaan barang yang diincarnya, Fulvia

memutuskan

untuk pergi melihatnya sore ini.

Sehari tidak pergi ke Greenwalls tidak akan membuat Audrey heran. Sebaliknya,

Audrey akan merasa

senang karena inilah keinginan wanita itu sendiri. Tetapi hal ini membuat Irving heran.

“Adasesuatu yang ingin saya pastikan,” kata Fulvia memberi alasannya.

“Ke mana?” tanya Irving.

“Ke sebuah toko di dekat tempat ini.”

“Toko apa?”

Fulvia terkejut. Tiba-tiba saja ia menyadarinya. Selama ini ia hanya memperhatikan

kotak musik itu

dan tidak pernah mengingat apa nama toko itu.

“Saya tidak pernah memperhatikan nama toko itu,” katanya menyesal kemudian ia

segera
menambahkan, “Tetapi saya tahu di mana lokasinya. Kita bisa melewatinya dalam

perjalanan menuju

kereta Anda.”

“Bukan masalah bagiku,” kata Irving singkat tanpa menghentikan langkah kakinya.

Kini setelah mengetahui rahasia Fulvia, Irving selalu menjemput gadis itu di toko itu.

Karena

permintaan Fulvia yang ingin menyembunyikan identitasnya, kereta keluarga

Engelschalf tetaplah berhenti

di tempat biasa. Irvinglah yang mengantar dan menjemput gadis itu ke tempat kerjanya.

Berjalan berdampingan seperti ini kadang membuat Fulvia merasa mereka seperti

sepasang kekasih

andai mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Tetapi tentu saja itu tidak akan

pernah terjadi karena

mereka hanyalah teman biasa.

Langkah kaki Fulvia terhenti.

Irving heran.

Mata Fulvia bersinar-sinar melihat kotak musik di balik kaca itu. Ia begitu lega dan

gembira

mendengar musik yang merdu itu masih mengalun di tempat yang sama.

Irving mengikuti pandangan Fulvia.

“Cantik bukan?” Fulvia berkata, “Aku suka menatap mereka berdansa dengan anggun

diiringi musik
yang merdu itu. Lihatlah pemuda itu ketika ia menatap gadis itu. Ia tampak begitu

mengagumi gadis itu dan

gadis itu tampak begitu bahagia.”

Irving diam melihat sepasang muda-mudi yang berdiri kaku di atas lantai dansa mereka

yang kecil. Ia

tidak melihat sesuatu pun yang menarik dari benda kaku itu.

“Aku ingin musik mereka menghiasi Unsdrell,” mata Fulvia bersinar-sinar ketika

menatap Irving.

Irving membuang muka. “Kita tidak ada waktu berlama-lama di sini,” katanya berlalu,

“Kau tidak

ingin orang tuamu curiga, bukan?”

Fulvia menatap sepasang boneka kayu itu. “Sedikit lagi,” ia berbisik seolah ingin

memberitahu

mereka, “Aku akan membawa kalian pulang.”

Fulvia pun meninggalkan tempat itu dan mengikuti Irving dengan riang.

Mata Irving melirik sinis Fulvia yang berjalan dengan riang di sisinya. Ia salah. Fulvia

tidak berbeda

dari wanita-wanita itu. Fulvia hanyalah mempunyai cara yang unik untuk mendapatkan

keinginannya.

“Hari ini saya ingin sekali segera pulang,” kata Fulvia ketika sampai di sisi Irving, “Saya

sudah tidak

sabar menanti esok.”


Irving mengacuhkan nada gembira dalam suara itu. Tentu saja Fulvia akan sangat

menantikan hari

esok. Rencananya telah berjalan dengan sempurna.

Apa yang dipikirkan Irving tidaklah salah. Fulvia begitu bersemangat menanti datangnya

hari esok.

Kegembiraanya itu tergambar jelas di wajahnya.

“Apa yang membuatmu gembira seperti ini?” tanya Countess dalam makan malam.

“Aku terus melihatmu tersenyum gembira sejak kedatanganmu,” Count Clarck

sependapat, “Apakah

terjadi sesuatu yang baik selama kepergian kalian hari ini?”

“Apakah ada perkembangan yang baik di antara kalian?” Countess berkata dengan

penuh ingin tahu.

Fulvia terperanjat. “Tidak ada. Tidak ada apa-apa di antara kami,” Fulvia mewaspadai

keingintahuan

ibunya itu.

Semenjak secara tidak sengaja Countess melihat Irving menciumnya, Countess tertarik

untuk

mengetahui hubungan di antara mereka. Fulvia telah berulang kali menjelaskan bahwa

mereka hanyalah

teman. Tetapi sepertinya Countess tidak pernah mempercayai itu. Tidak setelah setiap

hari mereka pergi

berdua selama dua minggu terakhir ini.


“Tadi aku hanya melihat sesuatu yang menarik,” Fulvia melanjutkan dengan penuh

semangat, “Aku

sangat menyukainya.”

“Apakah itu?” tanya Countess tertarik.

Jika Countess tertarik untuk mengetahui lebih banyak mengenai benda itu, Count

Clarck was-was.

“Kau tidak meminta Irving membelikannya untukmu, bukan?” tanyanya waspada.

“Tentu tidak,” sahut Fulvia, “Aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.”

Fulvia tidak pernah melakukan hal itu bukan karena Count Clarck tidak menyukainya

tetapi lebih

karena ia sendiri. Fulvia tidak suka meminta seseorang memberinya apa yang

diinginkannya secara cumacuma.

Fulvia juga tidak suka menerima sesuatu di hari-hari biasa.

Trevor dan Richie akan rela melakukan apa saja untuk menyenangkan Fulvia termasuk

membelikan

semua barang yang diinginkan Fulvia. Mereka juga siap merebut hati Fulvia dengan

setumpuk hadiah.

Mereka bisa melakukan itu semua tetapi mereka tidak pernah melakukannya. Di satu

sisi Fulvia tidak akan

pernah menerimanya dan di sisi lain mereka tahu Fulvia tidak menyukai pemberian

cuma-cuma. Karena

itulah mereka selalu memanfaatkan hari ulang tahun gadis itu dengan baik dan juga

hariNatal. Mereka
hanya dapat berlomba untuk memberikan hadiah yang terbaik bagi Fulvia di dua hari itu

dalam setahun

karena hanya pada hari itu saja Fulvia mau menerima pemberian secara cuma-cuma.

Ketika kedua sepupu itu mengetahui dengan baik apa yang disukai Fulvia dan apa yang

tidak disukai

Fulvia, Irving masih belum dapat mengerti gadis itu. Dalam matanya Fulvia tidak jauh

berbeda dengan

semua wanita yang dikenalinya, wanita yang hanya memanfaatkan kecantikan mereka

untuk kepuasan

mereka sendiri.

Setelah mengantar pulang Fulvia, ia kembali ke toko tempat Fulvia menunjukkankotak

musik itu

padanya. Ia membeli kotak musik itu dan meminta mereka untuk mengirimkannya ke

Unsdrell besok.

Irving tidak pernah menyukai wanita-wanita seperti itu, tetapi ia selalu membelikan apa

yang mereka

inginkan. Dan bila ia telah jenuh dengan wanita itu, ia akan mengirimkan bunga mawar

beserta

pemberiannya itu.

Namun bila wanita itu masih menarik hatinya, ia hanya akan mengirimkan hadiah yang

dipilih sendiri

oleh wanita tersebut. Tentu saja ia tetap akan mengirimkan mawar merahnya pada

wanita itu. Hanya saja


saat itu belum waktunya. Mawar merahnya akan terkirim ke tempat wanita itu bila ia

telah jenuh

dengannya, bila ia telah menemukan wanita baru yang menarik hatinya.

Untuk kali ini, Irving tidak mengirimkan mawar merahnya. Ia masih ingin tahu lebih

banyak tentang

Fulvia. Irving masih ingin mengerti isi buku terbuka dengan bahasanya yang sulit

dimengerti ini.

Dan mawar merahnya…

Irving ragu apakah ia bisa mengirimkan mawar merahnya pada gadis itu. Mereka tidak

mempunyai

hubungan seperti yang biasa ia miliki bersama wanita-wanita lain.

Mereka hanya teman, kata Fulvia.

Tepatnya Fulvia memanfaatkannya dengan caranya yang unik, menurut Irving.

Besok pagi ketika Irving menjemputnya, Fulvia tentu belum menerima pemberiannya

itu. Fulvia baru

akan melihatnya sepulangnya darikota. Dan Irving ingin tahu apa yang akan dilakukan

gadis itu esok lusa.

Irving ingin tahu bagaimana reaksi gadis yang sulit dimengerti itu. Tetapi ia bisa

meyakinkan Fulvia

pasti akan sangat gembira seperti wanita-wanita itu. Karena itulah ia tidak terlalu

terkejut ketika keesokan

sorenya Fulvia berkata dengan gembira,

“Terima kasih, M’lord. Terima kasih atas segala bantuan Anda selama ini.”
Irving tersenyum puas pada dirinya sendiri. Ia puas bukan karena keberhasilannya

membuat Fulvia

gembira tetapi terlebih pada tebakannya yang tepat.

“Besok Anda tidak perlu lagi mengantar jemput saya. Saya telah mendapatkan apa

yang saya

inginkan.”

Tentu saja Fulvia tidak perlu lagi menjalankan rencana anehnya yang melelahkan ini. Ia

sudah

mendapatkan apa yang telah diinginkannya. Dan ia pasti telah mengetahuinya bahkan

sebelum ia melihat

sendiri benda itu. Irving mengakui kecerdikan Fulvia dan kepercayaan dirinya yang jauh

lebih besar dari

Clementine itu.

Ketika Irving merasa sangat puas dengan tebakannya itu, Fulvia merasa sangat puas

dengan

keberhasilannya.

Sesaat yang lalu sebelum ia meninggalkan tempat kerjanya selama sebulan ini, Brent

memberikan uang

seperti yang mereka sepakati sebelumnya.

“Ini adalah kesepakatan di antara kita,” kata Brent sambil memberikan kantung uang

kepada Fulvia,

“Tidak lebih dan tidak kurang.”


“Terima kasih,” Fulvia menerimanya dengan gembira, “Terima kasih atas bantuan

kalian selama ini.

Terima kasih atas bantuan kalian mewujudkan keinginan saya.”

“Tidak perlu sungkan,” kata Jehona, “Kami juga patut berterima kasih padamu. Engkau

banyak

membantu kami selama sebulan ini.”

“Saya senang dapat membantu,” Fulvia tersenyum lalu ia menatap Tim yang berdiri di

sisi Jehona,

“Saya akan mengkhawatirkan kalian setelah ini.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan kami,” Brent berkata dengan penuh keyakinan, “Tim

telah menjadi

seorang anak yang patuh setelah kau mengajarinya. Aku yakin ia tidak akan terlalu

merepotkan kami.”

“Aku tidak akan kewalahan lagi selama Tim tidak membuat keributan,” timpal Jehona

mantap.

Fulvia mencondongkan badannya ke Tim, “Berjanjilah padaku kau akan patuh pada

keduaorang

tuamu.”

Tim menyadari makna yang lebih dalam dalam perkataan itu dan ia bertanya sedih,

“Apakah besok kau

tidak datang lagi?”

“Aku masih akan datang menengokmu,” Fulvia membesarkan hati anak itu, “Aku

berjanji akan
meluangkan waktu untuk melihat keadaanmu.”

Jawaban itu membuat Tim semakin kecewa.

Raut wajah anak itu membuat Fulvia tidak tega.

“Jangan bertindak kekanak-kanakan!” hardik Jehona – menyadari suasana saat itu,

“Fulvia tidak akan

ke mana-mana. Ia masih bisa datang setiap saat.”

“Benarkah?” Tim menatap Fulvia lekat-lekat.

“Tentu,” janji Fulvia, “Dan aku akan membawakan makanan kesukaanmu setiap kali

aku datang.”

Kesedihan di wajah Tim berubah menjadi senyum lebar. “Kau telah berjanji,” katanya

memperingati.

“Kau tidak boleh lupa.”

“Aku tidak akan lupa,” Fulvia tersenyum lembut.

“Yang mengingkari janji adalah pembohong!” Tim berkata dengan penuh semangat.

Fulvia tersenyum. Ia tahu ia tidak bisa datang sesering ini setelah hari ini. Ia hanya bisa

menjanjikan

untuk melihat mereka ketika ia mempunyai waktu.

Fulvia juga tahu ia tidak akan bisa melihat Irving sesering ini setelah hari ini. Ia juga

sadar hubungan

baik di antara mereka yang terjalin selama ini akan meregang dan ia tidak ingin itu

terjadi. Fulvia tetap

ingin berteman dengan Irving besok dan untuk seterusnya. Maka, ia berkata dengan

sungguh-sungguh,
“Walaupun kita tidak bertemu lagi, dapatkah kita menjadi teman?”

Irving terkejut.

“Saya rasa saya mulai menyukai Anda dan…,” Fulvia tersipu-sipu, “Saya akan sangat

sedih sekali

bila kita memutuskan hubungan begitu saja setelah ini.”

“Apakah gadis ini mempunyai rencana baru lagi?” pikir Irving. Irving tidak benar-benar

dapat

mengerti Fulvia tetapi ia tahu Fulvia tidak jauh berbeda dari semua wanita yang pernah

dikenalnya.

“Tentu,” Irving memberikan jawabannya.

Senyum di wajah Fulvia semakin melebar.

Tidak ada yang dapat menggantikan kegembiraannya hari ini. Jerih payahnya selama

sebulan ini telah

membawa hasil. Fulvia sudah tidak sabar untuk segera membeli kotak musik itu. Ia

tidak sabar untuk

segera membawanya pulang.

Kemarin ia telah meyakinkan untuk terakhir kalinya bahwa kotak musik itu masih ada

disanamenantinya. Hari ini pun Fulvia yakin ia masih menantinya dengan setia. Dan

besok Fulvia akan

membawanya pulang.

“Apakah Anda bersedia menemani saya ke tempat biasa untuk terakhir kalinya sebelum

mengantar

saya pulang?”
Saat ini Fulvia ingin sekali segera menemui Audrey. Ia ingin membagikan

kebahagiannya ini kepada

Audrey yang telah mendukungnya selama ini.

“Tentu.”

Fulvia tahu Irving takkan menolak. Irving tidak pernah menolak mengantarkannya ke

Greenwalls. Ia

terus mengantarkannya ke rumah kakak sepupunya ini berturut-turut dalam beberapa

hari ini.

Pelayan mereka pun telah mengenali kereta kuda keluarga Engelschalf. Mereka selalu

bergegas

menyambut kedatangan mereka begitu melihat kereta keluarga Engelschalf memasuki

pekarangan

Greenwalls.

Demikian pula hari ini. Ketika kereta berhenti di depan pintu masuk, seorang pelayan

membuka pintu.

“Selamat datang,” ia memberikan sambutannya.

Dan seperti biasa pula, Fulvia bertanya “Apakah Audrey ada di dalam?” walaupun

Fulvia tahu

Audrey pasti ada di dalam. Ini sudah menjadi kebiasaan Fulvia setiap kali ia berkunjung

ke Greenwalls.

Sekarang pun ini tetap menjadi kebiasaannya. Fulvia tidak pernah merasa ini adalah

kebiasaan yang

buruk. Ia hanya ingin memastikan kedatangannya tidak sia-sia.


“Nyonya tidak ada di rumah,” jawab pelayan itu, “Ia bersama Tuan Lewis pergi ke

Osbesque pagi

ini.”

“Mereka pergi ke Osbesque?” Fulvia mengulangi dengan penuh rasa tidak percaya.

“Tuan Lewis dan Nyonya Audrey pergi sejak pagi,” pelayan itu mengulang dengan lebih

jelas,

“Mereka berencana untuk menginap disanamalam ini.”

Fulvia terperangah. Ia tidak pernah mendengar rencana Audrey ini. Kemarin ia juga

datang menemui

mereka tetapi Audrey tidak mengatakan apa-apa.

“Aku mengerti,” kata Fulvia kecewa.

“Kau ingin ke Osbesque?”

Fulvia terperanjat. “Tidak,” jawabnya panik.

Fulvia tidak akan menyusul Audrey ke Osbesque walaupun ia sangat ingin tahu apa

yang membuat

keduanya pulang setelah sekian lamanya. Fulvia memilih untuk menahan keinginan itu

daripada

menimbulkan ingin tahu keluarga Garfinkelnn melihat kemunculannya bersama Irving.

“Saya tidak ingin menganggu pertemuan keluarga mereka,” kata Fulvia, “Lagipula saya

ingin segera

pulang.”

Irving memperhatikan Fulvia yang membalikkan badan ke kereta kudanya. Tentu saja

Fulvia ingin
segera pulang. Ia tentunya telah tidak sabar melihat benda itu.

Keyakinan Irving bertambah kuat ketika ia melihat Fulvia berlari-lari kecil memasuki

Unsdrell setelah

mengucapkan selamat tinggal padanya.

Fulvia bergegas menujukamarnya. Fulvia begitu tidak sabar menanti hari esok.

Rasanya ia ingin sekali

langsung melompati waktu ke esok siang.

Besok Fulvia akan pergi membelikotak musik itu. Besok ia akan dapat membawanya

pulang.

Senyum Fulvia kian lebar ketika ia menimang-nimang kantung uang pemberian Brent.

Fulvia duduk di meja riasnya dan mengeluarkan isi kantung itu.

Fulvia tahu Brent tidak akan menipunya. Fulvia hanya ingin sekali melihat uang hasil

kerja kerasnya

selama sebulan ini.

Tengah Fulvia sibuk menghitung dan menatapi uang-uang itu dengan matanya yang

berbinar-binar,

seseorang mengetuk pintunya.

Ketukan di pintu itu membuat Fulvia terkejut dan panik. Fulvia segera memasukkan

kembali uang itu

dan menyembunyikannya di dalam laci meja riasnya.

Fulvia tidak ingin seorangpun melihatnya.

Ketukan di pintu kembali terdengar. “Apakah Anda di dalam, Tuan Puteri?”


Fulvia sadar orang yang mengetuk pintukamarnya bukan Davies ataupun ibunya. “Aku

di dalam,” kata

Fulvia lega, “Masuklah.”

Pintu terbuka dan seorang pelayan wanita melangkah masuk.

“Adaapa?” tanya Fulvia.

“Anda mendapat kiriman, Tuan Puteri,” pelayan itu menyodorkan sebuah kotak merah

muda berukuran

sedang kepada Fulvia, “Siang ini seorang pria mengantarkannya. Katanya ini untuk

Anda.”

Fulvia memperhatikan kotak itu. Tidak ada tulisan ataupun gambar pada permukaannya

yang dilapisi

kain merah muda itu. Beberapa bunga kain yang berwarna senada menghiasi salah

satu sudut penutupkotak

itu.

Fulvia bisa memastikan ini bukanlah ulahTrevor maupun Richie terlebih lagi Davies.

Ketiganya tahu

ia tidak akan pernah menerima pemberian mereka.

“Dari siapakah?” gumam Fulvia heran sambil menerima kotak itu.

“Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Saya hanya diminta untuk memberikankotak ini pada

Anda begitu Anda

tiba.”

“Aku mengerti,” kata Fulvia sambil membuka tutup kotak itu.

Pelayan itu masih berada disanauntuk menanti perintah Fulvia.


Mata Fulvia terbelalak melihat isi kotak itu. Tangannya meraih secarik kertas di dalam

kotak.

Fulvia tidak tahu harus mengucapkan apa tapi ia tahu apa yang harus dilakukannya.

Maka iapun menuju

meja kecil di sisi tempat tidurnya dan mengambil selembar kertas serta pena dan mulai

menulis.

-----0-----

Irving bangun lebih siang hari ini. Ia juga menikmati waktu makan paginya lebih lama

dari beberapa

hari terakhir ini.

Hari ini ia tidak perlu menjemput Fulvia.

Hari ini ia bisa melakukan semua yang ingin dilakukannya tanpa perlu memusingkan

diri dengan

jadwal menjemput Fulvia.

Setelah menghabiskan sarapannya seorang diri di Ruang Makan, Irving melangkahkan

kaki ke Ruang

Baca.

Irving masih tidak tertarik untuk menemui wanita-wanita penggemarnya. Ia masih ingin

meneruskan

kegiatan membaca yang telah ditekuninya belakangan ini.

Mata Irving menangkap sesuatu di meja bacanya.

Irving keheranan melihat kotak di meja bacanya. Ia mengenal kotak itu. Ia tidak

mungkin salah ingat


pada hadiah yang dibelinya untuk Fulvia – hadiah yang dipilih sendiri oleh gadis itu.

Apalagi maksud gadis itu menunjukkan kotak musik itu padanya bila bukan karena

gadis itu ingin ia

memberinya sebagai hadiah? Ia tidak mungkin salah! Semua wanita selalu bersikap

seperti itu. Mereka

sengaja menunjukkan ketertarikannya pada sebuah benda di depannya karena mereka

ingin ia membelinya

untuk mereka. Dan Fulvia adalah satu dari mereka.

“Seorang lagi,” dengusnya.

Ini bukan sekali atau dua kalinya gadis yang dikirimi hadiah olehnya mengembalikan

pemberiannya. Ia

tahu mengapa mereka mengirimkan kembali hadiah itu padanya. Ia yakin gadis itu pun

mempunyai tujuan

yang sama: mereka menuntut lebih dari hadiah itu!

Karena itulah ia tidak tertarik untuk melihat secariksuratyang terikat bersama kotak itu.

Dan ia

memindahkan kotak itu ke lantai untuk kemudian diurus oleh pengurus rumah

tangganya.

Pedro tentu tahu apa yang harus dilakukannya dengan hadiah itu termasuk

mengirimkan mawar

merahnya.

Irving telah mengerti gadis itu dan ia tidak perlu lagi meneruskan hubungan dengan

gadis cerdik yang


berbahaya itu.

Irving meninggalkan Ruang Baca. Keberadaan kotak itu telah membuang hasratnya

untuk membaca

buku disana.

Ketika melintasi Hall, Irving melihat ayahnya baru saja pulang.

“Kau tidak pergi?” tanya Duke keheranan melihat putranya masih di rumah.

“Aku tidak punya keperluan,” jawab Irving tanpa menghentikan langkahnya ke Ruang

Perpustakaan.

Duke Engelschalf juga tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Irving tidak pernah suka

setiap

pertanyaannya.

Bagi Irving, hari ini berlalu dengan tenang. Ia tidak perlu terus memperhatikan waktu

dan cemas

terlambat. Ia juga tidak perlu terus memperingati dirinya untuk tidak terlalu larut dalam

kegiatan

membacanya.

“Tuan Muda,” Pedro menghadap.

Irving keheranan melihat kotak merah di tangan Pedro. Ini kedua kalinya ia melihat

kotak itu di hari

ini.

“Mereka mengatakan benda ini tidak dapat dikembalikan karena ia tidak memiliki cacat

apa-apa.”

“Dikembalikan?” Irving tidak mengerti, “Apa maksudmu?”


“Bukankah Anda ingin saya melakukan sesuai yang ditulis di dalamsuratyang

disertakan dalam kotak

ini?” Pedro juga kebingungan dan ia menambahkan, “Seperti biasanya.”

“Apa isisuratitu?” tanya Irving gusar, “Berikan padaku.”

Dengan tanggap, Pedro memberikan secariksurattulisan tangan Fulvia kepada Irving.

Saya sungguh berterima kasih atas pemberian Anda ini tetapi maafkan ketidaksopanan

saya. Saya tidak

dapat menerima pemberian ini. Bila Anda benar-benar ingin memberikannya kepada

saya sebagai hadiah,

tolong kembalikanlah kotak musik ini. Biarlah saya yang membelinya dengan keringat

saya sendiri.

Sesuatu yang berharga adalah sesuatu yang diperoleh dengan jerih payah. Tanpa

mengurangi hormat saya

pada Anda, saya mengucapkan banyak terima kasih.

Fulvia.

Irving menatap Pedro.

“Apa yang harus saya lakukan?”

Irving termenung.

Pedro pun menanti perintah tuannya dengan setia.

Irving tidak mengerti. Ia tidak dapat memahami permainan apa yang tengah dimainkan

oleh Fulvia.

Bukankah ia sangat menginginkan kotak musik ini? Bukankah ia sengaja

memberitahunya? Bukankah ia
sengaja menunjukkan benda ini padanya?

Apa pun permainan yang sedang dimainkan Fulvia, Irving tidak akan terperangkap ke

dalamnya. Ia

tahu seribu satu permainan wanita untuk menjerat pria!

Fulvia salah besar bila ia mengira ia lebih pandai dari Irving. Irving lebih licik dan lebih

berpengalaman dari Fulvia dalam hal ini!

“Berikan benda sial itu padaku,” akhirnya Irving berkata.

10

Fulvia duduk termenung di dalam kamarnya.

Setelah berhari-hari menghabiskan waktu dikota, kini tiba-tiba saja Fulvia merasa jenuh

berada di

dalam rumah.

Fulvia ingin sekali keluar tetapi ia tidak mempunyai tujuan.

Fulvia ingin sekali mencari seseorang untuk berbicara tetapi tidak ada seorang pun

yang mempunyai

waktu untuknya. Count pergi entah ke mana semenjak makan pagi. Davies pergi

menemui Lady Margot.

Dan Countess menyibukkan diri entah dengan urusan apa. Hari ini Trevor maupun

Richie juga tidak

muncul.

Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak Fulvia bahwa ia akan bosan berada di

dalam rumah.
Berpikir ulang tentang kedua kakak sepupunya itu, Fulvia merasa kedatangan mereka

ke Unsdrell

tidaklah sia-sia. Mereka selalu saja mempunyai cara untuk membuatnya tidak jenuh.

Hari ini tentu saja mereka tidak datang. Mereka tentunya masih mengira hari ini pun ia

pergi kekota.

Fulvia menimang-nimang kantung uang pemberian Brent dan mendesah. Ia tidak dapat

membeli kotak

musik itu sekarang.

Irving telah membeli kotak musik itu untuknya namun Fulvia tidak dapat menerima

pemberian itu.

Kemarin malam Fulvia telah mengirimkannya kembali dan sekarang Fulvia hanya dapat

berharap Irving

segera mengembalikan kotak musik itu.

Fulvia ingin segera membawa pulang kotak musik itu.

“Aku mendengar kau sedang bermurung diri.”

Fulvia terkejut. Tangannya segera menyembunyikan kantung uang itu ke dalam saku

gaunnya dan ia

melihat Margot melangkah masuk kamarnya dengan senyumannya yang manis.

“Kau tidak keberatan aku langsung masuk tanpa seijinmu bukan?”

“Tidak,” kata Fulvia lalu ia bertanya, “Apa yang membuatmu kemari?”

“Davies. Ia mengatakan kau mungkin akan jenuh maka ia memboyongku pulang.”

Margot duduk di sisi Fulvia.


“Pria itu…,” keluh Margot, “Ia selalu saja memikirkanmu.” Margot menatap Fulvia lekat-

lekat, “Aku

iri padamu.”

Fulvia terperanjat. “Jangan berpikir terlalu banyak,” ujar Fulvia, “Kami adalah kakak

adik. Aku tidak

mungkin merebut Davies darimu. Selain itu, sudah menjadi sifatnya selalu

mengkhawatirkanku.”

“Aku tahu,” Margot tersenyum, “Karena itu pulalah aku mencintainya.”

Fulvia lega.

“Katakan, Fulvia, apa yang membuatmu melamun.”

“Aku tidak sedang melamun.”

“Benarkah itu?” Margot tidak percaya, “Sesaat yang lalu aku begitu yakin kau tidak akan

sadar walau

di sampingmu ada bom meledak.”

“Sungguh,” Fulvia meyakinkan, “Aku hanya merasa bosan. Biasanya Trevor dan Richie

datang

menggangguku tetapi hari ini mereka tidak muncul dan itu membuatku merasa sangat

jenuh.”

“Kau benar,” Margot menyadarinya, “Biasanya kedua kakak sepupumu itu selalu berada

di sekitarmu.

Ke mana mereka? Mengapa mereka tidak muncul?”

“Mungkin mereka tidak tahu hari ini aku ada di rumah.”


“Aku dapat memahaminya,” kata Margot lagi, “Davies mengatakan padaku hari ini kau

tidak pergi

keluar rumah. Irving tidak menjemputmu?”

Fulvia terperanjat. “Bagaimana kau tahu?”

“Tentu saja Davies,” Margot tersenyum penuh kemenangan.

Fulvia merasa bodoh. Tentu saja Davies telah mengatakan semuanya pada Margot.

Di awal Fulvia meminta bantuan Irving, ia tidak pernah memikirkan apa yang mungkin

dikatakan orang

lain tetapi semenjak Countess Kylie menyalahartikan sikap Irving padanya di hari

Minggu yang lalu

Fulvia mulai mencemaskan keputusannya yang lalu itu.

Sedikitpun Fulvia tidak pernah memikirkannya. Fulvia tidak pernah menduga mereka

akan menjadi

bahan pembicaraan.

Sekarang semuanya sudah terlambat.

Irving pasti tidak menyukai gosip baru ini.

“Hari ini kalian akan pergi ke mana?”

“Apakah kau pikir kakakmu itu akan mengajakku pergi?” Margot mengeluh. “Ia tidak

pernah

mengajakku pergi ke mana pun selain ke tempat ini.”

Fulvia tersenyum. Ia tahu Margot hanya bercanda.

“Aku lebih suka berpikir ia tidak tahu harus mengajakmu pergi ke mana,” hiburnya, “Dan

Unsdrell
adalah satu-satunya hal yang bisa dipikirkan olehnya.”

“Membawaku pulang kemudian meninggalkanku?” tanya Margot, “Kurasa tidak.”

“Davies pergi?” Fulvia tidak percaya.

“Ya, ia pergi meninggalkanku ke Osbesque. Sepertinya kaum pria keluarga kalian

sedang berkumpul

di Osbesque untuk membicarakan suatu masalah.”

Fulvia termenung. “Aku mendengar Lewis menginap disanakemarin. Apakah ini

berkaitan

dengannya?”

“Aku tidak tahu. Davies tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”

“Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk,” gumam Fulvia.

“Tidak akan,” Margot meyakinkan, “Davies pergi ke Osbesque dengan wajah gembira.

Pasti tidak

terjadi sesuatu yang buruk.”

Fulvia juga mengharapkannya.

“Katakan, Margot, bagaimana menurutmu kalau kita berbincang-bincang di Ruang

Duduk sambil

menikmati makanan kecil?”

“Aku sangat mendukung idemu itu,” kata Margot gembira.

Mereka meninggalkan kamar Fulvia.

“Biarlah kaum pria itu meributkan masalah mereka sendiri,” kata Margot bergurau,

“Yang terpenting

kita juga bisa menikmati waktu kita sendiri.”


Fulvia tertawa mendengarnya.

Margot benar-benar wanita yang menarik. Fulvia yakin Davies juga melihatnya

demikian. Margot

sangat memahami sifat kakaknya. Walaupun ia terdengar sering mengeluhkan sifat

Davies itu, tetapi

sesungguhnya ia hanya bercanda. Seperti yang sering dikatakan Margot padanya, sifat-

sifat Davies itulah

yang membuatnya tertarik.

Fulvia menyukai Margot. Ia yakin mereka dapat menjadi kakak adik yang akrab.

Dalam waktu singkat mereka telah duduk di dalam Ruang Duduk dengan teh di antara

mereka dan

makanan ringan lainnya.

“Mengapa aku tidak melihat Countess Kylie?” tanya Margot.

“Sejak pagi Mama sibuk. Entah apa yang disibukkannya. Mungkin ia mempunyai

rencana minum teh

bersama Bibi Yolanda dan Bibi Horace. Atau mungkin mereka tengah merencanakan

liburan musim panas

ini.”

“Keluarga kalian benar-benar akrab,” puji Margot, “Benar-benar membuat orang lain iri.”

“Ya,” Fulvia sependapat. “Mereka benar-benar akrab hingga orang lain percaya mereka

adalah kakak

adik bukan sepupu jauh.”


“Bagaimanakah hubungan keluarga kalian?” tanya Margot, “Selama ini aku hanya tahu

kalian masih

berhubungan kerabat tetapi aku tidak melihat kemiripan di antara kalian.”

“Aku juga tidak mengetahuinya dengan jelas,” jawab Fulvia, “Sejak aku lahir aku sudah

tahu kami

masih berkerabat.”

“Apakah kau tidak pernah menanyakannya?”

“Apakah itu penting?” Fulvia balas bertanya dengan polos, “Aku rasa kami tahu kami

masih

berhubungan kerabat sudah cukup. Untuk apa mengetahui lebih banyak?”

Margot tersenyum. Ia sudah banyak mendengar sifat Fulvia dari Davies. Fulvia adalah

gadis seperti

ini. Ia sangat memperhatikan orang lain tetapi ia tidak mau tahu terlalu banyak. Bagi

Fulvia, tahu sudah

cukup. Tidak perlu bertanya lebih banyak lagi. Mungkin sifat inilah yang membuatnya

berbeda dengan

wanita-wanita pada umumnya yang selalu ingin tahu.

“Sudah kuduga kalian ada di sini.”

“Audrey!” Fulvia terperanjat melihat kakak sepupunya itu tiba-tiba muncul. “Mengapa

kau ada di

sini?”

“Mereka mengusirku,” jawab Audrey santai.


“Mengusirmu?” Margot bertanya heran, “Bukankah kaum pria keluarga kalian sedang

membicarakan

masalah kalian?”

“Benar. Mereka sedang membicarakan masalah kami,” Audrey duduk di kursi depan

Fulvia, “Tetapi

kaum pria keluarga kami itu tidak mau campur tangan wanita. Karena itulah Richie

mengusirku ke sini

untuk mengabarkan temuannya padamu, Fulvia. Tetapi aku tidak keberatan. Aku juga

tidak mau ikut

campur masalah Lewis.”

“Lewis?” Fulvia terperanjat, “Apakah terjadi sesuatu dengannya? Apakah kalian

bertengkar lagi?”

Audrey tersenyum melihat kepanikan Fulvia itu.

“Tidak, Fulvia,” Audrey menenangkan gadis itu, “Tidak terjadi apa-apa dengan kami.

Lewis hanya

tiba-tiba saja mengusulkan untuk pulang ke Osbesque dan membicarakan masalah

kami dengan orang

tuaku.”

“Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan,” Audrey cepat-cepat menambahkan melihat raut

wajah Fulvia

yang mulai berubah, “Lewis meminta bantuan orang tuaku untuk memulihkan keadaan

Greenwalls dan
usaha keluarganya. Sekarang para pria itu sedang sibuk membicarakan rencana

mereka.”

Fulvia lega mendengarnya. “Aku senang Lewis sudah kembali seperti semula.”

“Aku juga sangat gembira,” kata Audrey, “Kemarin pagi ia benar-benar mengagetkanku

ketika tibatiba

berkata, ‘Audrey, kita pulang.’ Aku benar-benar senang ia sudah kembali seperti

semula. Aku tahu

hari ini akan datang.”

“Audrey, bukankah tadi kau mengatakan Richie memintamu mengabarkan temuannya

pada Fulvia,”

Margot mengingatkan, “Apakah itu?”

“Richie mengatakan ia mendengar ada Festival Topeng,” kata Audrey, “Ia berkata kau

pasti akan

tertarik.”

“Apakah kau akan pergi juga, Audrey?” tanya Fulvia menatap kakak sepupunya lekat-

lekat, “Kau

sudah lama tidak meninggalkan Greenwalls.”

“Tentu saja,” sahut Audrey, “Lewis bahkan berjanji untuk mengenakan topeng yang

sesuai denganku.”

Fulvia tersenyum gembira.

“Aku berharap Davies juga akan mengajakku,” keluh Margot.

“Pasti, Davies,” kata Audrey, “Tadi aku mendengar Davies berkata kau pasti ingin pergi

kesanadan ia
akan mengajakmu.”

“Benarkah itu?” Margot berseru gembira.

“Oh, ini benar-benar luar biasa,” Fulvia merasa hari ini benar-benar merupakan hari

bahagianya,

“Tidakkah kau dengar itu, Margot, Davies akan mengajakmu. Kita bisa pergi bersama-

sama.”

“Kapankah festival itu diadakan?” Margot bertanya lebih lanjut, “Apakah minggu

depan?”

“Masih dua bulan lagi. Tepatnya seminggu setelah pesta ulang tahun Duke of

Wyndham.”

Jawaban Audrey itu membuat Margot kecewa.

“Jangan bersedih seperti itu, Margot,” Fulvia membesarkan hati wanita itu, “Dua bulan

bukanlah

waktu yang lama. Kau bisa mempersiapkan segalanya sebelum waktu itu. Aku pun juga

harus mulai

memikirkan apa yang harus aku kenakan. Pertama-tama aku harus berpikir dengan

siapakah aku akan

pergi. Audrey, kau pasti pergi dengan Lewis. Kemudian Margot dengan Davies.

Tinggallah aku, Trevor

dan Richie. Aku ingin pergi berduaan seperti kalian tetapi rasanya aku harus pergi

bertiga lagi.”

“Kau bisa pergi dengan Irving,” Audrey mengusulkan.


“Itu tidak mungkin. Irving pasti sudah mempunyai janji dan ia belum tentu mau pergi

kesana.”

Pernyataan Fulvia itu membuat Audrey maupun Margot terperangah.

“Fulvia, apakah kau tidak mendengar kabar-kabar itu?” tanya Audrey keheranan.

“Semua orang

membicarakannya.”

Fulvia hanya menatap kakak sepupunya itu.

“Irving sudah berubah,” lanjut Margot, “Ia sudah tidak pernah lagi terlihat keluar

bersama wanita

mana pun. Ia juga tidak pernah berganti-ganti pasangan.”

“Sekarang ia sudah berubah menjadi seorang pria yang setia,” Audrey menegaskan.

“Benarkah itu?” Fulvia tidak percaya.

Audrey dan Margot saling berpandangan heran.

“Kau tidak tahu?” tanya Margot tidak percaya.

“Siapakah wanita itu?” Fulvia balik bertanya penuh ingin tahu. “Aku senang akhirnya

Irving dapat

berubah menjadi seorang pria yang setia.”

Sekali lagi dua wanita muda itu saling berpandangan bingung.

“Kau tidak tahu siapa wanita itu?”

“Kau tidak cemburu padanya?” Audrey menyelidiki.

“Cemburu?” Fulvia balik bertanya.

Fulvia terdiam.
“Mungkin,” katanya sambil tersenyum, “Tetapi aku sungguh berbahagia untuk wanita

itu.”

Sekali lagi dua wanita muda itu saling berpandangan bingung.

“Kau tidak tahu siapa wanita itu?” Margot menyelidiki, “Bukankah kau pergi bersama

Irving beberapa

hari ini?”

Fulvia terperanjat. Semua orang tentu menduga mereka terus berduaan sepanjang hari

dalam beberapa

hari mendatang ini tetapi kenyatannya bukan seperti itu. Fulvia tidak tahu bagaimana

menjelaskan ini dan

ia hanya dapat memohon bantuan Audrey melalui tatapannya.

“Aku melihat Irving sangat memperhatikanmu,” Audrey tersenyum penuh arti, “Aku

yakin ia mulai

tertarik padamu.”

Seketika wajah Fulvia memerah. “Jangan menuduh yang tidak-tidak. Kami hanya

teman. Hanya

teman,” ia menegaskan.

“Aku tidak mendengarnya seperti ini,” desak Margot, “Aku telah mendengar semuanya

dari Davies.”

“Apakah Mama memberitahu Davies?” Fulvia bertanya penuh waspada.

“Memberitahu apa?” Audrey dan Margot bertanya penuh ingin tahu.

“Tidak ada. Tidak ada,” Fulvia mengelak dengan panik.

Audrey mencurigai kepanikan Fulvia demikian pula Margot.


“Apakah kalian sedang membicarakanku?”

“Mama!” Fulvia terkejut melihat Countess Kylie muncul di pintu.

“Tidak, Bibi Kylie,” kata Audrey.

“Bagaimana mungkin kami membicarakan Anda?” tambah Margot.

“Kami sedang membicarakan Fulvia dan Irving,” Audrey tersenyum penuh arti sambil

melirik Fulvia.

Fulvia merasa sedang dipojokkan.

“Berbicara tentang Irving,” kata Countess, “Ia datang mencarimu, Fulvia.”

Spontan Audrey dan Margot menatap Fulvia penuh ingin tahu.

“Mencariku?” Fulvia heran.

“Aku memintanya menantimu di Ruang Tamu.”

“Aku segera kesana,” Fulvia beranjak bangkit.

Kedua wanita itu memperhatikan Fulvia yang terburu-buru meninggalkan mereka.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Countess Kylie tertarik.

“Kami membicarakan kabar terbesar abad ini, Bibi,” jawab Audrey.

Margot tertawa mendengarnya.

Fulvia cepat-cepat menutup pintu. Ia tidak mau lagi mendengar pembicaraan yang

menyudutkan dirinya

itu.

Irving berdiri di Ruang Tamu dengan wajah tidak senangnya.

“Anda mencari saya, M’lord?” tanya Fulvia heran melihat raut wajah pria itu.

“Aku tidak bisa menerima tindakanmu ini!” kata Irving tegas.

Fulvia tidak mengerti.


“Aku tidak menerima penolakan,” Irving menyodorkan kotak merah pada Fulvia.

“Oh.”

“Bukan ‘oh’ yang ingin aku terima!”

Fulvia tersenyum lembut. “Seperti yang saya katakan, tanpa mengurangi hormat dan

terima kasih saya

pada Anda, saya tidak dapat menerima hadiah Anda.”

“Kau tidak mempunyai alasan menolaknya!” Irving bersikeras.

“Saya lebih tidak mempunyai alasan menerimanya,” dengan tenang Fulvia

menjelaskan, “Saya tidak

sedang berulang tahun. Saya tidak sedang dalam peringatan apa pun. Saya tidak patut

menerimanya. Saya

menghormati Anda sebagai teman saya dan saya sangat berterima kasih atas segala

yang Anda lakukan

untuk saya. Dan bila Anda berkenan, saya lebih ingin memberi sesuatu untuk Anda

daripada menerima

sesuatu dari Anda. Saya tahu tidak ada yang dapat membalas segala budi yang Anda

lakukan untuk saya.

Hanya sepatah kata ‘terima kasih’ yang dapat saya berikan untuk Anda saat ini.”

Irving terhenyak.

“Saya sungguh tersanjung oleh perhatian Anda pada saya, tetapi saya tidak dapat

menerima cumacuma

pemberian ini. Saya tidak akan menyangkal saya sangat menginginkan kotak musik ini

lebih dari apa


pun. Walau demikian, sungguh tidak lucu bila saya memberikan hadiah pemberian

Anda kepada orang tua

saya sebagai hadiah pernikahan.”

Entah mengapa Irving seperti kehabisan kata-katanya.

“Saya ingin memberi mereka sebuah hadiah yang saya peroleh dari hasil kerja keras

saya. Saya ingin

mereka tahu saya menghargai jerih payah mereka dalam membesarkan saya.”

“Mereka tidak menerima pengembalian kotak musik ini kecuali ia cacat atau rusak,”

Irving berkata

seolah memberitahu dirinya sendiri.

“Oh,” Fulvia terkejut.

“Aku juga tidak dapat menyimpannya,” Irving menatap Fulvia penuh harap.

“Bila demikian,” Fulvia berpikir cepat, “Maka yang bisa saya lakukan adalah

membelinya dari

Anda.”

Irving membelalak.

“Katakanlah Anda membantu saya membelinya karena Anda tahu kekhawatiran saya,”

Fulvia

melanjutkan tanpa memberi kesempatan pada Irving untuk berbicara.

“Saya tidak tahu berapa Anda membelinya,” Fulvia merogoh saku bajunya dan

mengeluarkan sebuah

kantung kecil. “Saya hanya menyiapkan uang sejumlah harga yang pernah saya

tanyakan. Semoga saya


tidak merugikan Anda.”

“Terima kasih,” Fulvia mengambil kotak itu dari tangan Irving dan memberikan kantung

yang penuh

berisi uang itu pada Irving. “Saya sungguh berterima kasih atas kebaikan Anda. Anda

telah menyelamatkan

kotak berharga ini dari pembeli lain dan mengantarkannya pada saya. Berkat Anda

saya dapat menghemat

waktu saya.”

Fulvia tersenyum gembira. Pipinya yang kemerahan tampak merona merah oleh

kegembiraannya.

Matanya yang keunguan tampak terharu.

“Tak perlu sungkan,” Irving tidak tahu harus berkata apa.

“Bila Anda tidak keberatan,” Fulvia masih tersenyum gembira, “Saya ingin segera

menyembunyikan

benda ini di kamar saya sebelum seorang pun dari keluarga saya melihatnya.”

Irving tertegun.

“Saya akan segera kembali setelah saya menyembunyikannya di tempat yang aman,”

kata Fulvia lagi.

“Tidak perlu. Aku sudah tidak mempunyai kepentingan di sini. Aku akan segera kembali

ke

Nerryland.”

Fulvia kecewamendengarnya.

“Ijinkan saya mengantar kepulangan Anda,” Fulvia berkata sopan.


Irving tidak berkata apa-apa. Ia masih tetap berdiam diri ketika mereka telah sampai di

depan

Unsdrell.

“Terima kasih,” Fulvia mengulangi dengan penuh syukur, “Saya benar-benar berterima

kasih atas

semua kebaikan Anda selama ini. Saya berharap saya dapat membalasnya suatu hari

nanti.”

“Tidak perlu sungkan,” Irving merasa anehmendengar nada suaranya yang penuh

kebingungan,

ketakjuban dan entah perasaan apa lagi yang tercampur aduk dalam suaranya seperti

dalam benaknya saat

ini.

Fulvia tersenyum manis.

Irving tertegun melihat senyum yang mempercantik wajah oval gadis itu. Mata biru

keunguannya

terlihat semakin cerah dengan senyum yang tersembunyi di baliknya.

“Unsdrell akan selalu terbuka untuk Anda,” senyum manis Fulvia tidak menghilang.

“Aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi,” Irving mendapatkan kembali dirinya.

“Selamat jalan.”

Irving menatap gadis itu lekat-lekat. Tangannya terulur.

Jantung Fulvia berdebar-debar melihat pandangan mata yang memabukkan itu. Ia

hanya pernah melihat

sinar lembut dalam mata biru tua itu sekali.


“Selamat siang,” Irving menarik kembali tangannya dan ia bergegas masuk dalam

kereta kudanya.

Fulvia tertegun. Kekecewaan merebak dari sisi terdalam hatinya dan ia mengawasi

kepergian kereta

kuda itu dengan hati hampa.

Teringat kotak di tangannya, Fulvia bergegas kembali ke kamarnya. Fulvia

menyembunyikan kotak itu

di bawah tempat tidurnya, tempat yang paling aman menurutnya dan pergi ke Ruang

Duduk untuk menemui

keluarganya.

Derai tawa mereka terdengar begitu keras ketika Fulvia berada di sekitar Ruang Duduk

dan suara itu

semakin keras ketika semakin dekat.

“Apa yang kalian bicarakan?” Fulvia bertanya penuh ingin tahu.

Tawa ketiganya berhenti. Mereka menatap Fulvia dengan heran.

“Kau sudah kembali?” tanya Audrey heran.

“Di mana Irving?” Margot tertarik.

“Ia sudah pulang,” jawab Fulvia sambil mendekat, “Ia masih mempunyai keperluan.”

“Apa yang dibicarakannya denganmu?” Margot terus bertanya.

“Tidak ada,” jawab Fulvia, “Ia tidak membicarakan apa pun denganku.”

“Benarkah itu?” Margot bergeser untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Fulvia.

“Benar,” Fulvia bersikeras untuk tidak membicarakan hal itu.


“Jangan mendesaknya,” Countess membuat Fulvia merasa lega, “Aku yakin ia masih

malu untuk

mengatakannya pada kita.”

Perkataan Countess itu membuat Fulvia merasa salah tingkah.

Ketiganya menatap rona merah di pipi Fulvia dengan penuh ingin tahu.

Fulvia berpikir cepat untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Apakah yang kalian bicarakan barusan?” Fulvia berpura-pura tidak menyadari tatapan

mereka,

“Tampaknya menarik sekali.”

“Kurasa saat ini memang percuma mendesaknya,” keluh Audrey.

Keluhan Audrey itu membuat Fulvia merasa semakin tidak nyaman. Sekarang ia tidak

mempunyai

alasan untuk meninggalkan tempat ini. Selain itu adalah hal yang sangat tidak sopan

untuk meninggalkan

mereka begitu saja.

“Kami sedang membicarakan Festival Topeng mendatang,” kata Countess.

Fulvia tertarik. “Apakah Mama juga akan pergi?”

“Mungkin,” Countess tersenyum dan menambahkan, “Bila ayahmu juga mau pergi.”

“Aku akan membujuk Papa,” Fulvia menawarkan diri, “Aku yakin Papa pasti mau

mendengarku.”

“Aku juga yakin kau akan lebih berhasil daripada aku,” Countess tersenyum melihat

semangat putrinya

itu.
“Dan, Audrey,” Fulvia mengalihkan pandangan, “Apakah kau bisa membujuk Paman

Meyer dan Bibi

Horace?”

Audrey kebingungan.

“Pasti akan sangat menyenangkan sekali untuk pergi beramai-ramai ke sana,” Fulvia

berkata penuh

semangat, “Aku akan membujuk Paman Graham dan Bibi Yolanda." Lalu Fulvia melihat

Margot. “Kau

juga bisa mengajak orang tuamu,” katanya penuh semangat.

Margot tersenyum. “Kau juga bisa mengundang Irving.”

Wajah Fulvia langsung memerah.

Ketiga wanita itu tertawa.

Fulvia merasa hari ini ia tidak akan bisa melepaskan diri dari suasana yang

memojokkan dirinya ini.

-----0-----

Irving menimang-nimang kantung uang. Pikirannya bercampur aduk dan hatinya galau.

Bukan ini yang

ia harapkan dari Fulvia. Bukan ini rencananya semula.

Beberapa saat lalu ia begitu yakin ia telah mengerti Fulvia. Fulvia tidak berbeda dari

apa yang ada

dalam pikirannya. Ia hanyalah seorang gadis ingusan yang mempunyai cara unik untuk

mendapatkan

keinginannya.
Beberapa saat lalu ia pergi menemui Fulvia untuk membuat gadis itu menjelaskan

semua rencananya

yang aneh ini.

Beberapa saat lalu ia ingin membuat gadis itu mengungkapkan semua rencana liciknya.

Dan sekarang gadis itu kembali menjungkirbalikkan pikirannya.

Irving tidak mengerti. Bahasa dalam buku yang terbuka lebar itu masih sulit dimengerti

olehnya. Ia

dapat membaca tulisan itu tetapi ia tidak dapat mengerti bahasa yang digunakannya. Ia

tidak dapat

menangkap isi buku itu.

Irving meremas kantung itu. “Sial!” tangannya bergerak melempar benda itu.

Senyum manis Fulvia merekah.

Tangan Irving terhenti.

“Aku tidak mengerti gadis ingusan itu,” geramnya. Irving membuka laci meja bacanya

dan melempar

kantung itu ke dalamnya.

11

Fulvia termenung.

Ia sudah tahu ia akan sedih setelah semua ini berakhir tetapi ia tidak pernah

menyangka ia akan

sesedih ini.

Fulvia merindukan saat-saat Irving datang menjemputnya. Fulvia ingin sekali kembali ke

masa-masa
itu. Waktu kebersamaan mereka tidaklah panjang dan tidaklah dipenuhi perbincangan

tetapi itu sudah

cukup membuat Fulvia gembira.

Kadang Fulvia menyesal mengapa dulu ia tidak banyak bertanya pada Irving mengenai

dirinya. Andai

saja ia mengetahui lebih banyak tentang pria itu, Fulvia mungkin dapat

menggunakannya sebagai alasan

untuk menemuinya.

Kadang Fulvia berpikir untuk meminta Trevor dan Richie menemaninya mencari Irving.

Mereka

adalah teman. Dan seorang teman tidak perlu mencari alasan untuk bertemu. Tetapi

Fulvia tidak tahu

bagaimana harus menjelaskan keinginannya pada kedua kakak sepupunya itu.

Di sisi lain, Fulvia yakin Davies tidak akan membiarkannya mencari Irving. Sikap Davies

setiap kali

Irving datang sudah menjelaskan ketidaksukaannya pada Irving.

Countess Kylie tentu tidak keberatan dengan keinginannya dan Count Clarck pasti tidak

akan

melarangnya. Count Clarck hanya akan memperingatinya untuk hati-hati.

Sekarang kedatangan Trevor dan Richie terasa bagaikan angin lalu. Fulvia sudah tidak

terlalu

berminat untuk menghadapi kedua sepupunya itu. Ia tidak terlalu mempunyai semangat

untuk mengikuti
ajakan mereka.

Hati dan pikiran Fulvia tercurah sepenuhnya pada kenangan-kenangan singkat

bersama Irving.

Minatnya terarah pada keinginan untuk bertemu Irving.

Fulvia merasa ia benar-benar telah jatuh cinta pada Irving.

Fulvia mengharapkan pertemuan dengan Irving lagi tetapi itu tidak mungkin. Irving

sekarang mungkin

telah berada dalam pelukan wanita yang konon telah menundukkannya itu. Irving

sekarang mungkin sedang

bersama wanita itu menikmati waktu-waktu kebersamaan mereka.

Fulvia iri pada wanita itu. Ia berharap ialah wanita yang beruntung itu.

Fulvia mendesah panjang.

Ini hanyalah mimpi. Irving tidak mungkin jatuh cinta pada seorang gadis ingusan

sepertinya.

Fulvia mendesah lagi.

“Adaapa, Fulvia?” tanya Richie cemas. “Kulihat kau terus mendesah hari ini.”

“Tidak ada apa-apa,” Fulvia mengelak kemudian ia segera mengalihkan perhatian

mereka, “Ke mana

kita akan pergi hari ini?”

“Bagaimana kalau kita kekota?” Richie mengusulkan.

“Tidak. Kita tidak akan ke mana-mana,” Trevor tidak sependapat.

“Apa maksudmu?” Richie tidak dapat menerima pendapat Trevor.


“Fulvia sudah lama tidak berdiam diri di rumah. Fulvia pasti sudah merindukan masa-

masa tenang di

dalam tempat ini,” Trevor menjelaskan dengan sengit. “Ia pasti ingin berkumpul dengan

keluarganya.”

“Apa kau ingin berkata aku ingin menculik Fulvia?”

Fulvia mendesah. Inilah kakak-kakak sepupunya.

Desahan itu terdengar oleh kedua sepupu itu dan spontan mereka menatap Fulvia

lekat-lekat.

Tatapan mereka membuat Fulvia terkejut.

“Bagaimana kalau kita ke gunung?” Fulvia mengusulkan.

“Gunung?” keduanya bertanya heran.

“Kalian tahu, aku merasa seperti berada di puncak dunia ketika berdiri di atas tebing

tinggi,” Fulvia

menjelaskan dengan penuh semangat, “Darisanaaku bisa melihat rumah-rumah kecil

penduduk yang

dikeliingi pegunungan tinggi. Aku bisa melihat hamparan hijau pepohonan. Aku juga

bisa melihat laut di

kejauhan.”

“Tidak!” Trevor dan Richie berseru serempak.

Fulvia terkejut.

“Gunung adalah tempat yang sangat berbahaya,” kata Trevor tegas.

“Apa yang akan terjadi bila kau tersesat disana?” timpal Richie.
Fulvia mendesah panjang. Ternyata memang hanya Irving yang bisa menjaganya tanpa

mengekangnya.

“Kau mendesah lagi,” keluh Trevor.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Richie pula.

“Tidak. Tidak ada apa-apa,” Fulvia memeluk lengan keduanya, “Jadi, ke mana kita akan

pergi?”

Di saat Fulvia terus membuat kedua kakak sepupunya khawatir dengan desahannya

yang tidak berujung

itu, beberapa mil dari tempat itu Irving mengurung dirinya di Ruang Baca.

Tidak ada yang dilakukannya selama berhari-hari ini selain mengurung diri dan

membaca.

Tindakannya itu tentu saja membuat Duke yang tidak pernah menyukai petualangan-

petualangan cintanya,

gembira. Tetapi di sisi lain Duke juga mulai mencemaskan suasana hati putra

tunggalnya itu.

Duke tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungannya dengan Irving tidaklah akrab. Bahkan

dapat dikatakan

mereka hampir seperti orang asing satu sama lain.

Duke tahu Irving menyalahkan dirinya atas kepergian ibunya. Irving terus

menyalahkannya atas

peristiwa yang terjadi tujuh belas tahun lalu ia. Duke pun sependapat dengannya. Ialah

yang harus

disalahkan sehingga istrinya kabur bersama kekasih gelapnya, Nelson.


Semua tahu Duke sangat mencintai istrinya tetapi semua juga tahu Duke gila judi. Itulah

yang

dilakukannya setiap hari hingga ia sering mengabaikan istrinya. Sikapnya inilah yang

membuat Duchess

dengan mudah jatuh dalam pelukan pria lain.

Apapun yang terjadi, Duke percaya putranya dapat mengatasinya. Duke percaya

padanya.

Bila Duke memilih untuk membiarkan Irving, maka tidak demikian halnya dengan

Clementine, sepupu

Irving yang cantik itu.

Clementine telah mengenal Irving jauh sebelum Irving terkenal. Clementine telah jatuh

cinta pada

Irving jauh sebelum wanita-wanita itu. Mereka telah tumbuh besar bersama. Clementine

tahu Irving tidak

akan pernah menolaknya. Irving juga tidak akan pernah memberikan bunga mawar

merah padanya karena

mereka tidaklah terpisahkan. Inilah kelebihannya dibandingkan wanita-wanita itu tetapi

ini jugalah

kekurangannya. Clementine tidak akan pernah mendapatkan Irving karena mereka

adalah sepupu!

“Apa yang kaulakukan hari ini?” Clementine melingkarkan tangan di leher Irving yang

sedang duduk

membaca buku.
“Apa maumu?” Irving bertanya kesal.

Clementine duduk di sisi Irving. “Aku mendengar kau tidak pernah keluar rumah lagi

akhir-akhir ini,”

ia menatap Irving penuh ingin tahu, “Apakah penggemar-penggemarmu itu telah

meninggalkanmu?”

Irving mengacuhkannya. Ia terus membaca bukunya seolah-olah tidak ada gangguan

dari wanita itu.

“Apa yang terjadi padamu? Kau seperti bukan Irving yang kukenal lagi,” Clementine

mengeluh,

“Apakah kau putus cinta?”

“Jangan ganggu aku,” Irving berkata tajam. Ia sedang tidak dalam suasana hati untuk

meladeni

Clementine.

Irving sudah tidak pernah keluar rumah lagi semenjak pertemuan terakhirnya dengan

Fulvia. Ia juga

tidak pernah menemui gadis itu lagi walau ia ingin bertemu dengannya lagi. Irving tahu

ia tidak bisa. Ia

tidak mempunyai alasan untuk menemui gadis itu dan gadis itu belum tentu mau

menemuinya.

Irving sudah mencoba untuk kembali pada kebiasaan lamanya sebelum ia bertemu

Fulvia tetapi ia

tidak bisa. Ia tidak memiliki keinginan untuk bertemu dengan wanita lain selain Fulvia.
Fulvia telah membuat Irving merasa semua wanita di dunia ini sangat membosankan

kecuali dirinya.

Semua wanita terasa seperti buku yang terbuka bagi Irving tak terkecuali Fulvia. Hanya

saja tulisan dalam

buku Fulvia sangatlah tidak mudah dimengerti. Selalu dan selalu ada yang membuat

Irving merasa tidak

pernah bosan bersama gadis itu.

Irving tidak pernah menyadarinya ketika ia masih bertemu Fulvia setiap harinya. Dan

kini setelah

beberapa hari tidak bertemu dengannya, Irving sadar ia mulai terpikat pada gadis itu.

Entah kapan ia mulai tertarik padanya. Entah kapan Fulvia mulai menjerat hatinya.

Irving tidak pernah

tahu. Semua ini hanya terjadi begitu saja dalam pertemuan mereka yang sering namun

singkat dan tanpa

banyak pembicaraan itu.

Pepatah kuno itu benar. Kadang kita terlalu dekat untuk menyadari perasaan kita.

“Ayolah, Irving,” Clementine berkata manja, “Jangan bersedih hati seperti itu hanya

karena seorang

wanita. Aku bisa menggantikan kedudukannya.”

“Kau sudah gila.”

Clementine bertopang dagu. “Ya, aku sudah gila karena kau. Sungguh sayang sekali

kita adalah

sepupu. Bila tidak, maka aku akan meminta Papa menikahkanku denganmu.”
Mata Irving langsung bersinar tajam. “Jangan bermimpi. Aku tidak akan pernah tertarik

untuk menikah

terutama denganmu.”

“Itulah salah satu alasan kau mematahkan sekian banyak hati para wanita,” keluh

Clementine.

“Aku tidak ingin mendengar ceramahmu,” Irving menjauhi Clementine.

“Irving,” Clementine mengekor Irving, “Temani aku,” ia menarik tangan Irving.

“Aku tidak ingin pergi.”

“Ayolah,” desak Clementine dengan manja, “Sepanjang hari kau terus mengurung diri

membaca buku.

Apakah kau tidak bosan? Temanilah aku sebentar.”

Irving benar-benar tidak menikmati gangguan ini dan ia berseru, “Jangan ganggu aku!”

Clementine terdiam. Seruan penuh kemarahan itu telah menjelaskan padanya suasana

hati Irving saat

ini. Clementine tahu Irving benar-benar marah kali ini dan ia akan ada dalam masalah

bila ia terus

mengusik pria ini.

Clementine memperhatikan Irving yang meninggalkan Ruang Baca dengan suasana

hatinya yang masih

dipenuhi kemarahan itu.

Irving boleh tidak mengakuinya tetapi seisi dunia tahu pria itu telah berubah.

Clementine ingin tahu apakah yang membuat Irving berubah. Atau mungkin tepatnya,

siapa?
-----0-----

“Dia tidak datang lagi?” tanya Countess ingin tahu.

“Dia?” Fulvia kebingungan.

“Irving,” Countess Kylie menjelaskan, “Mengapa Irving tidak datang menjemputmu

lagi?”

Fulvia terperanjat. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan hal ini pada keluarganya tanpa

membuat

mereka mengetahui rahasianya.

“Irving sibuk,” Fulvia mengatakan apa yang terlintas dalam pikirannya.

Countess tampak tidak dapat menerima jawaban yang diucapkan dengan kepanikan

itu.

“Bagaimana kalian akan merayakan pesta pernikahan kalian besok lusa?” Fulvia cepat-

cepat

mengalihkan pembicaraan.

“Aku belum memikirkannya,” kata Countess, “Apakah kau mempunyai ide, Clarck?”

“Aku tidak tahu,” jawab Count Clarck.

“Bagaimana kalau kita mengundang semua orang ke sini?” Fulvia mengusulkan, “Pasti

akan

menyenangkan sekali dapat makan bersama-sama mereka semua. Lewis juga pasti

akan datang kali ini,

bukan? Rasanya sudah lama sekali kita tidak makan bersama-sama.”

“Aku sependapat,” sahut Countess senang, “Kita juga mengundang Irving.”

“Irving?” Fulvia terkejut.


“Mengapa!? Apakah kita harus mengundangnya?” Davies tidak dapat menerima usulan

Countess.

“Kurasa tidak ada salahnya mengundang Irving,” kata Countess santai, “Lagipula ia

akan menjadi

bagian keluarga kita.”

Wajah Fulvia langsung memerah. “Tidak ada cerita seperti itu Mama,” Fulvia mengelak.

Mata Davies melotot lebar.

“Kita juga bisa mengundang Margot,” Countess benar-benar tidak mempedulikan

keberatan putranya.

“Ia juga akan segera menjadi bagian keluarga kita,” Countess tersenyum penuh arti.

Wajah Davies bersemu.

Fulvia tersenyum melihatnya. “Kau senang, bukan?” Fulvia menggoda kakaknya,

“Kalau kau tidak

berani mengundangnya, aku akan membantumu.”

“Jangan usil!” Davies tidak menyukai godaan itu, “Urusi saja masalahmu sendiri.”

“Masalahku?” Fulvia tidak mengerti.

“Bagaimana?” Davies balas menggoda Fulvia, “Apakah aku perlu membantumu

mengundang Irving?”

Fulvia terperanjat. Ia benar-benar melupakan usul ibunya itu.

“T-tidak,” Fulvia cepat-cepat mengelak, “Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Semua sudah diputuskan,” Countess berkata gembira.

Keduanya terdiam. Mereka memperhatikan Countess yang benar-benar larut dalam

kegembiraannya
itu.

Fulvia termenung. Ia tidak tahu bagaimana mengundang Irving. Ia tidak yakin Irving

akan bersedia

datang. Ia tidak yakin Irving akan menyukai pertemuan keluarga ini.

Selama ini Irving tidak pernah menolak menemaninya ke Greenwalls. Ia juga tidak

pernah tampak

keberatan ketika ia harus berdiam diri disanasementara Fulvia bercakap-cakap dengan

Audrey.

Tetapi kali ini lain. Fulvia tidak tahu bagaimana tanggapan Irving atas undangannya ini.

Fulvia juga

tidak tahu bagaimana ia harus mengundang pria itu.

Bila Fulvia bisa, ia ingin sekali mengundang Brent, Jehona beserta kedua putranya.

Tentu saja Fulvia

tidak bisa. Ia pasti akan kewalahan menjelaskan pada keluarganya bagaimana ia bisa

mengenal mereka

dan mengapa ia mengundang mereka.

Fulvia berpikir keras. Bagaimanakah ia harus mengundang Irving? Bagaimana ia harus

membawa

seorang pria asing dalam pertemuan keluarganya tanpa membuat setiap orang

mencurigai mereka?

Fulvia pusing.

Sepanjang malam ia terus memikirkannya.


Terpikir oleh Fulvia untuk membohongi keluarganya dengan mengatakan Irving tidak

mempunyai

waktu. Fulvia yakin tidak akan ada yang tahu kebohongannya ini. Orang tuanya tentu

dapat menerima

alasan ini.

Sayangnya, pikiran itu telah terbaca oleh Davies.

“Ada apa, Fulvia?” tanya Davies ketika mereka berkumpul untuk makan pagi, “Apakah

kau sedang

mencari cara untuk menghindari Irving? Jangan katakan padaku kau berencana

membohongi kami dengan

mengatakan Irving sibuk atau semacamnya.”

Fulvia terperanjat. “Tidak ada hal semacam itu.”

“Benarkah?” Davies curiga.

“Benar,” Fulvia meyakinkan, “Aku hanya sedang berpikir bagaimana mengundang

Irving.”

“Apakah aku perlu membantumu?” cemooh Davies.

“Tidak perlu!” sahut Fulvia, “Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Apakah aku perlu mengantarmu ke Nerryland?” Davies tersenyum licik, “Aku harus

memastikan kau

pergi ke sana hari ini.”

“Jangan usil!” Fulvia tidak menyukai cara Davies menggodanya, “Kau juga perlu

memikirkan cara

mengundang Margot.”
“Aku sudah memikirkannya,” Davies berkata ringan, “Pagi ini aku berencana

menemuinya. Aku bisa

mengantarmu ke Nerryland sebelum menemui Margot.”

“Itu adalah ide bagus,” kata Countess menyetujui. “Segeralah kalian menemui mereka.”

“Kau dengar itu?” Davies berkata puas.

Fulvia tidak menyukai ini. Ia jauh lebih tidak menyukai saat-saat Davies mencemooh

kedatangan

Irving.

Tiba-tiba saja Fulvia menyadarinya. Sepertinya Davies sudah tidak terlalu

mempermasalahkan

hubungannya dengan Irving!

“Davies,” Fulvia menatap kakaknya lekat-lekat, “Kau sudah tidak membenci Irving?”

Davies terperanjat. “Siapa yang mengatakannya!?” Davies bertanya kesal, “Aku

membencinya. Aku

sangat membenci pria seperti itu.”

Fulvia tertegun.

Davies memperhatikan Fulvia. Tiba-tiba ia khawatir Fulvia akan membencinya

karenanya.

“Beberapa saat lalu aku merasa kau mulai menyukai Irving,” gumam Fulvia, “Kau

bahkan seperti

mendesak aku untuk segera mempunyai hubungan serius dengan Irving.”

“Siapa yang mengatakannya!?” Davies marah, “Aku tidak akan membiarkan pria

berbahaya seperti itu


berada di dekatmu! Aku tidak akan pernah menyetujui hubungan kalian! Pria semacam

itu hanya akan

membuatmu terluka.”

Fulvia menatap Davies.

Davies tersekat. Ia mengkhawatirkan tindakan Fulvia berikutnya. Ia tidak siap untuk

mendengar adik

yang paling dicintainya itu berkata, ‘Aku membencimu.’ Ia tidak akan pernah pernah

siap!

“Sepertinya kau sudah mulai tertular Trevor dan Richie,” Fulvia tersenyum geli.

Davies terkejut. Apakah yang diketahui Fulvia tentang pertengkaran keduanya untuk

memperebutkan

dirinya?

“Tetapi aku akan lebih kaget kalau mendengar mereka yang mengatakan hal itu.”

Davies memperhatikan Fulvia. Fulvia bukanlah gadis yang bisa diremehkan. Ia adalah

gadis yang

pandai. Davies merasa ia tidak akan terkejut bila suatu ketika nanti Fulvia berkata, ‘Aku

tahu mereka

selalu bertengkar memperebutkanku.’

“Sudah. Sudah,” Countess menghentikan gurauan di antara keduanya, “Sebaiknya

kalian segera

menghabiskan sarapan kalian dan berangkat.”

“Baik,” kata keduanya dan mereka segera menghabiskan sarapan mereka tanpa

gurauan lagi.
Setelah itu mereka kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap.

Ketika Fulvia tiba di luar, kereta keluarga Silverschatz menantinya tak jauh dari Davies

yang duduk di

punggung kudanya.

“Kau tidak naik kereta?” Fulvia bertanya heran.

“Aku akan pergi sendiri,” jawab Davies, “Biarlah mereka yang mengantarmu ke

Nerryland.” Lalu ia

menambahkan dengan senyum nakalnya, “Aku yakin kau tidak akan lari.”

Fulvia ingin sekali membantah kakaknya tetapi Davies telah memacu kudanya dan

berkata, “Selamat

tinggal.”

Fulvia pun memberitahukan tujuannya pada kusir kuda dan sesaat kemudian mereka

telah meluncur ke

Nerryland.

Ketika Fulvia berdiri di depan bangunan Nerryland Palace yang megah, Fulvia menjadi

ragu. Dan

ketika ia menanti seseorang membukakan pintu untuknya, kecemasannya kian

menjadi-jadi.

Apakah Irving ada di rumah? Apakah Irving bersedia menemuinya? Apakah Irving tidak

mempunyai

tamu lain?

Seorang pelayan muda akhirnya muncul di depan Fulvia.

“Saya mencari Irving,” kata Fulvia begitu melihat pelayan itu.


“Apakah Anda mempunyai janji dengan Tuan Muda?” tanya pelayan itu.

“Tidak,” jawab Fulvia lalu dengan was-was ia bertanya, “Apakah aku harus membuat

perjanjian dulu

sebelum bertemu Irving?”

“Beberapa hari ini Tuan Muda tidak ingin diganggu siapa pun. Ia juga menolak

menerima tamu yang

datang tanpa janji terlebih dahulu.”

Fulvia sedih.

Pria muda itu tertegun melihat kesedihan Fulvia.

“Saya tidak yakin Tuan Muda akan bersedia menerima Anda,” pelayan itu

membesarkan hati Fulvia,

“Tetapi saya akan mencobanya. Saya akan memberitahu kedatangan Anda pada Tuan

Muda.”

“Terima kasih,” Fulvia tidak terlalu berharap untuk dapat bertemu Irving.

“Dapatkah Anda memberitahu identitas Anda pada saya?”

Fulvia mengangguk. “Saya adalah putri Count of Silverschatz.”

“Masuklah ke dalam, M’lady,” pelayan itu mempersilakan Fulvia masuk, “Saya akan

segera

melaporkan kedatangan Anda pada Tuan Muda.”

Fulvia mengangguk. Ia tidak berharap terlalu banyak untuk dapat bertemu Irving.

Pelayan itu bergegas menuju Ruang Baca tempat Irving mengurung dirinya akhir-akhir

ini.
“Adaapa?” Irving bertanya tidak senang melihat kedatangan pelayan yang menurutnya

telah menganggu

ketenangannya itu.

“Putri Count of Silverschatz ingin bertemu dengan Anda, Tuan Muda.”

‘Fulvia!’ benak Irving menyadarinya.

“Apa keperluannya?”

“Saya tidak tahu, Tuan Muda. Ia tidak mengatakan tujuannya pada saya.”

“Di mana dia?” Irving berdiri.

“Ia menanti Anda di pintu masuk.”

Irving tidak bertanya dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung beranjak untuk

menemui Fulvia, gadis

yang terus menghantuinya itu.

Fulvia menunduk menatap permukaan lantai yang bersih. Tangannya mempermainkan

topinya dengan

gusar. Iatampak begitu gelisah. Sebentar ia menatap ke dalam Nerryland dan sebentar

kemudian ia

menatap kereta kuda yang menantinya di luar.

Fulvia ragu. Haruskah ia terus menanti ketika ia yakin Irving tidak akan menemuinya?

Mengapa Irving

harus menemuinya? Mereka sudah tidak mempunyai hubungan lagi.

Langkah-langkah berat yang mendekat dengan cepat menarik perhatian Fulvia.

Fulvia tertegun melihat Irving berjalan mendekat dengan tidak sabar.

“Maaf telah membuatmu menunggu.”


Fulvia tidak dapat mengungkapkan kegembiraannyamendengar suara berat yang

dirindukannya itu.

Irving merasakan sebuah kepuasan melihat gadis itu. Ia tidak pernah mempunyai

perasaan ingin

bertemu seseorang yang begitu mendalam seperti ini. Ia tidak pernah mempunyai

perasaan ini terhadap

wanita mana pun.

“Mari kita berbicara di dalam,” Irving mengundang.

Saat ini Fulvia juga ingin berbicara panjang lebar dengan pria itu. Itulah yang yang

paling

diinginkannya di dunia ini detik ini.

“Saya tidak dapat berlama-lama di sini,” kata Fulvia sedih, “Saat ini Trevor maupun

Richie pasti

sudah tiba di Unsdrell.”

Perasaan asing muncul di benak Irvingmendengar Fulvia menyebut nama kedua pria

yang terus

memperebutkan Fulvia itu.

“Saya datang untuk menyampaikan undangan ibu saya,” Fulvia menjelaskan tujuannya,

“Besok kami

akan mengadakan acara makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun

pernikahanorang tua saya.”

Irving tertegun.
“Ini adalah acara makan malam biasa antar keluarga kami,” Fulvia cepat-cepat

menambahkan, “Saya

tidak memaksa Anda untuk datang. Saya bisa mengerti andai Anda tidak bisa datang.”

“Pukul berapa?”

Fulvia terkejut.

12

Hari ini adalah hari yang sangat dinantikan Fulvia. Dua puluh tujuh tahun yang lalu pada

hari yang

sama kedua orang tuanya mengikat janji.

Tetapi bukan itulah yang sangat dinanti-nantikan Fulvia.

Semua orang dalam keluarga Silverschatz tahu apa yang dinanti-nantikan gadis itu atau

tepatnya siapa.

Pagi ini setelah menyelesaikan makan paginya, Fulvia memberikan hadiah pilihannya

kepada orang

tuanya.

Seperti tebakan Fulvia, Countess Kylie sangat gembira menerima hadiah itu dan ia

terus

mendengarkan musiknya yang lembut itu di dalam kamarnya.

Fulvia gembira karenanya.

Sejak siang ini seluruh pelayan Silverschatz sibuk menyiapkan pesta kecil untuk

merayakan ulang

tahun pernikahan Count dan Countess. Tidak ada sesuatu yang perlu disiapkan khusus

untuk pesta ini


selain makanan yang lebih bervariasi dan porsi yang lebih besar, tentunya.

Tidak seperti biasanya, hari ini akan ada empat belas orang yang berkumpul di

Silverschatz untuk

makan malam bersama.

Sore hari ketika matahari mulai condong di barat, Davies pergi untuk menjemput

Margot.

Count dan Countess tampak seperti biasa. Sementara itu Fulvia sudah tidak sabar

menantikan

kehadiran seseorang.

Begitu Davies pergi, Fulvia juga segera berdandan dan menanti di pintu masuk.

Keluarga Garfinkelnn yang datang pertama kali keheranan melihatnya berdiri di sana.

“Kau menantiku?” tanya Trevor.

“Tidak,” jawab Fulvia lalu ia bertanya, “Di mana Audrey?”

“Ia akan datang bersama Lewis,” jawab Countess Horace, “Aku percaya tak lama lagi

mereka akan

muncul.”

“Aku senang mendengarnya,” Fulvia tersenyum gembira, “Mama dan Papa telah

menanti kalian di

Ruang Makan.”

“Mereka telah bersiap di sana?” tanya Count Meyer heran.

“Mama ingin makan malam ini segera dimulai begitu tamu-tamunya lengkap,” kata

Fulvia
menerangkan, “Dan Mama pikir akan lebih menyenangkan berbicara dengan perut

kenyang.”

Countess Horace tertawa, “Aku mengerti.”

“Tampaknya mereka ingin kita segera bergabung dengan mereka,” Count Meyer

tersenyum.

“Aku akan menemanimu di sini, Fulvia,” sahut Trevor.

“Tidak perlu, Trevor. Aku akan mendapat masalah bila membiarkan tamu Mama ikut

menanti di pintu

masuk.”

“Hari ini Fulvia bertugas menyambut tamu,” kata Count, “Kau ikut kami memberi

selamat pada tuan

rumah.”

Trevor pun mengikuti mereka tanpa bantahan.

Fulvia tersenyum melihat kepergian keluarga Garfinkelnn.

Sesaat kemudian sebuah kereta yang dikenali Fulvia dengan baik berhenti di

depannya.

“Selamat datang,” Fulvia menyambut pria yang baru turun dari dalam kereta itu, “Saya

telah menanti

kedatangan Anda.”

“Aku berharap aku tidak terlambat,” kata Irving.

“Tidak,” Fulvia tersenyum, “Anda adalah tamu kedua.”

“Aku datang sepagi itu?”

Fulvia hanya tersenyum. Ia membawa Irving memasuki Unsdrell.


Sekali lagi terdengar roda-roda kereta mendekat. Ketika Fulvia membalikkan badannya,

ia melihat

Lewis tengah membantu Audrey turun dari dalam kereta.

“Irving?” Audrey berdiri di depan kereta dengan heran, “Kau juga datang?”

“Kuharap kita belum terlambat,” kata Lewis pula.

“Lewis!” Fulvia berseru gembira, “Kau juga datang.” Fulvia mendekati mereka.

Irving mencengkal tangan Fulvia.

Fulvia keheranan melihat raut tidak senang Irving.

Audrey juga menyadarinya. “Sebaiknya kita segera memberi selamat pada Paman dan

Bibi,” katanya

sambil menggandeng suaminya masuk.

“Benar,” Lewis juga menyadari rasa tidak suka Irving padanya, “Aku lihat tamu kalian

sudah tiba

semua.”

“Belum,” Fulvia membenarkan, “Richie dan orang tuanya belum datang.”

“Keluarga Ousterhouwl belum muncul?” Lewis bertanya heran.

Audrey tertawa kecil. “Aku takkan heran bila lagi-lagi Countess Yolanda membuat

mereka terlambat.”

“Kalian masih di sini?”

Mereka terkejut.

“Aku kira kalian sudah berkumpul di Ruang Makan,” Davies melangkah masuk diiringi

Margot.
Mata Davies menangkap sosok Irving di sisi Fulvia. Ia menatap tajam jari jemari Irving

yang

melingkari pergelangan tangan kanan Fulvia itu.

“Anda juga datang?” Margot bertanya heran lalu ia melihat Davies dan menuduhnya,

“Kau tidak

memberitahuku.”

“Untuk apa?” tanya Davies.

Fulvia tahu ia harus segera bertindak. “Mengapa kita tidak masuk bersama-sama?”

katanya

mengusulkan, “Mama pasti senang melihat kedatangan kita semua.”

“Aku yakin ia akan lebih senang andai Earl of Ousterhouwl sekeluarga muncul

bersama-sama kita,”

timpal Lewis.

“Mereka belum datang?” Davies bertanya heran, “Kupikir Richie tidak mau

kedahuluan…”

“Di mana Countess Kylie?” Margot memotong lalu ia melirik tajam Davies.

Davies tidak menyukainya.

“Mama telah menanti kita di Ruang Makan,” jawab Fulvia.

Audrey yang juga menyadari arti tindakan Margot segera menyahut, “Mari kita bergegas

ke sana. Bibi

Kylie pasti sudah tidak sabar menanti kita.”

“Benar,” Margot merangkul tangan Davies dan menariknya masuk.

Audrey juga segera mengikutinya sambil menggandeng Lewis.


Tinggallah Fulvia kebingungan melihat tingkah Margot dan Audrey.

“Sebaiknya kita tidak membuang waktu,” Fulvia menatap Irving.

“Tentu,” Irving mengapit tangan Fulvia di sikunya dan saat itulah Fulvia menyadari

Irving masih

memegang tangannya.

Belum lama Fulvia memasuki Ruang Makan bersama Irving, Richie muncul dengan

wajah kesalnya.

“Akhirnya kau datang juga,” Trevor berkata setengah mengejek.

“Mama membuat kami terlambat,” Richie menyalahkan ibunya yang muncul beberapa

saat kemudian.

Richie melihat kursi di depan Trevor yang kosong dan tanpa banyak bicara ia duduk di

sana.

Begitu setiap orang duduk di tempat mereka masing-masing, Countess Kylie meminta

pelayan untuk

mengantarkan makan malam mereka.

“Akhirnya kita bisa berkumpul bersama-sama,” Fulvia tersenyum gembira melihat

keluarganya yang

telah berkumpul bersama di Ruang Makan.

Belum pernah ia melihat Ruang Makan Silverschatz sepenuh ini. Tidak semenjak

setahun lalu. Dan

kali ini meja makan lebih penuh karena bertambahnya dua orang, Margot dan Irving.

Mereka duduk berhadap-hadapan. Di sisi kanan meja makan yang panjang itulah

keluarga Silverschatz
duduk. Dimulai dari Count Clarck, Countess Kylie, Davies dan Margot kemudian Fulvia

dan Irving. Dan

yang terakhir adalah Trevor. Di sisi kiri, Earl of Ousterhouwl duduk didampingi istrinya.

Demikian pula

Count of Garfinkelnn dan Lewis. Dan sebagai penutupnya adalah Richie.

Fulvia tidak tahu mengapa mereka duduk berpasang-pasangan seperti ini tetapi

beginilah mereka

mengambil posisi beberapa saat lalu. Ini hanya terjadi begitu saja tanpa ada yang

mengatur.

“Benar,” Countess Horace sependapat. “Pertemuan keluarga kita kali ini lebih ramai

dari yang

sebelumnya.” Countess Horace melihat Margot yang duduk di sisi Davies sambil

tersenyum kemudian

pada Irving.

“Aku bisa memahami kedatangan Margot, tetapi Irving?” Countess Yolanda bertanya-

tanya.

“Ya,” Earl Graham sependapat, “Aku tidak menduga Irving juga akan datang.”

Fulvia sudah tahu mereka pasti akan mempertanyakan keberadaan Irving dan ia hanya

mempunyai satu

jawaban,

“Mama yang mengundangnya.”

“Benarkah itu, Kylie?” tanya Countess Yolanda tertarik.

“Aku melakukannya demi Fulvia.”


Fulvia terperanjat.

“Aku melihat hubungan mereka mulai mendekat akhir-akhir ini.”

“Tidak,” Fulvia cepat-cepat membantah, “Mama salah sangka. Kami hanya teman

biasa.”

“Benarkah itu?” Countess Kylie menyelidiki, “Bukankah kalian telah menghabiskan

waktu bersamasama

selama ini?”

“Apa maksudnya?” tanya Countess Yolanda tertarik.

“Fulvia pergi bersama Irving selama beberapa hari terakhir ini,” kata Audrey, “Mereka

juga sering

datang mengunjungiku.”

“Ya,” timpal Lewis membenarkan, “Dan aku mendapat pelajaran dari Irving.”

Audrey tersenyum melihat suaminya. Bekas tinju Irving telah hilang dari wajahnya tetapi

bekas di

hatinya tidak akan pernah hilang. Tinju itu telah menyadarkan Lewis dari kesalahannya

selama ini.

“Irving membawa Fulvia pergi setiap hari?” ulang Trevor tidak percaya.

“Selama sebulan ini?” timpal Richie.

Davies adalah orang pertama yang menyadar kejanggalan itu.

“Kalian tidak tahu selama ini Fulvia pergi bersama Irving?” Audrey mengulangi dengan

takjub.

“Kami tidak tahu,” kata Trevor.

“Benar. Kami tidak tahu,” Richie mengulang pernyataan Trevor.


Audrey menatap Davies dengan heran.

Davies pun tidak dapat mengatakan apa-apa. Ia juga tidak mengerti. Bukankah selama

ini Irving selalu

mencari Fulvia karena dua sepupu itu.

Fulvia panik. Ia harus segera mencari akal sebelum mereka semua curiga.

“Irving membantuku mendapatkan hadiah ulang tahun pernikahan Papa Mama,” Fulvia

mengatakan apa

yang terlintas di pikirannya.

Semua menatap gadis yang sedang berusaha keras menutupi kepanikannya itu.

Audrey tiba-tiba menyadari semua kesalahpahaman ini. Fulvia pasti lupa mengatakan

padanya ia

mempunyai Irving sebagai pelindungnya setelah Davies hampir menangkap basah

kebohongannya itu.

Audrey masih ingat Fulvia bersikeras untuk tidak membiarkan keluarganya tahu. Audrey

memahami

bahaya yang akan ia hadapi bila ia membongkar rahasia gadis itu. Maka ia

memutuskan untuk

membantunya.

“Ya,” kata Audrey, “Aku ingat Fulvia pernah mengatakan padaku ia ingin membeli

sebuah hadiah yang

sangat istimewa.”

“Hadiah apa?” tanya Trevor dan Richie serempak. “Hadiah apa sehingga Fulvia harus

pergi setiap
hari selama berbulan-bulan!?”

“Hanya sebulan,” Fulvia meralat.

“Dan mengapa harus Irving!?” keduanya bertanya serempak lagi.

Fulvia benar-benar kewalahan sekarang.

“Ia yang meminta bantuanku,” Irving yang sejak awal berdiam diri, membuka suara.

“Benar,” Fulvia segera menimpali, “Aku bertemu dengannya ketika aku sedang pusing

memikirkan

hadiah itu. Kemudian aku meminta bantuannya.” Lalu Fulvia menatap kedua kakak

sepupunya dan berkata

penuh penyesalan. “Aku sungguh tidak menyangka kalian akan marah seperti ini. Saat

itu aku hanya

berpikir Irving pasti bersedia membantuku dan aku tidak memikirkan perasaan kalian.

Maafkan aku.”

Tatapan sedih Fulvia itu membuat kedua sepupu itu berdiam diri. Keduanya saling

bertatapan dan

larut dalam pikiran mereka sendiri.

“Sudahlah,” Count Meyer memotong pembicaraan itu, “Untuk apa kalian

mempermasalahkan masalah

yang sudah lewat.”

“Bukankah ini bagus?” timpal Countess Kylie, “Sekarang Davies mempunyai Margot

dan Fulvia

mempunyai Irving.”

“Kapankah giliran kalian?” Countess Horace menatap Trevor dan Richie.


Lagi-lagi mereka membuat Fulvia terperanjat. Bagaimana ia harus menjelaskan

kesalahpahaman ini

tanpa mengungkit rahasianya?

Fulvia memang sudah mendapatkan hadiah istimewa untuk kedua orang tuanya tetapi

ia tetap tidak

dapat memberitahu mereka rahasianya itu. Akibatnya pasti akan sangat fatal bila

mereka mengetahuinya.

Dalam ketiga keluarga ini, cukup Audrey yang tahu.

“Aku juga ingin segera bertemu calon menantuku,” timpal Countess Yolanda.

Pembicaraan ini benar-benar membuat Fulvia merasa tidak nyaman. Diam-diam Fulvia

melirik Irving

yang tetap berdiam diri di sisinya dan ia mulai berpikir,

‘Apakah yang dipikirkan Irving? Apakah ia menyukai pembicaraan ini? Irving pasti tidak

menyukai

pembicaraan yang membosankan ini.’

“Mereka pasti akan segera mendapatkan pasangannya,” Count Clarck.

“Tidak perlu kaudesak mereka. Mereka pasti segera mencari pasangannya,” timpal Earl

Graham.

“Dan bila mereka tidak juga mendapatkannya, kalian bisa mulai mencari jodoh untuk

mereka,” tambah

Count Meyer, orang yang paling suka bercanda dan mempunyai pandangan yang unik

di antara mereka.

Fulvia merasa pembicaraan ini sudah benar-benar membuatnya tidak nyaman.


“Bisakah kita membicarakan yang lain?” pinta Fulvia, “Pembicaraan kalian sudah

membuatku merasa

bersalah. Kita mengundang Irving dan Margot bukan untuk mendengarkan masalah ini

bukan? Kita

mengundang mereka untuk berbagi kebahagiaan bersama kita.”

Mereka terdiam.

Count Meyer tertawa. “Tampaknya si kecil Fulvia sudah mulai merasa tidak nyaman

dengan

pembicaraan ini,” katanya bercanda, “Mungkin kita memang harus membicarakan yang

lain.”

Audrey tersenyum. “Kurasa ia benar. Aku juga mulai merasa pembicaraan ini sungguh

membuat

beberapa orang merasa tidak nyaman,” katanya sambil melirik Trevor dan Richie yang

masih berunding

dengan pandangan mata mereka.

“Beberapa orang sudah ingin menyendiri,” Margot menimpali sambil menatap Fulvia

yang tersipusipu

di sisi Irving yang tampak tak terusik oleh pembicaraan ketiga keluarga ini beberapa

saat lalu.

“Dan beberapa ingin menyelesaikan permasalahan di antara mereka,” Davies berdiri

dan mengulurkan

tangan pada Margot, “Aku ingin berbicara denganmu. Kau punya waktu?”

“Tentu,” Margot menyambutnya dengan menerima uluran tangan Davies.


Keduanya meninggalkan Ruang Makan diiringi tatapan tertarik para ibu dalam tiga

keluarga itu.

“Aku mempunyai beberapa hal yang ingin aku rundingkan bersama kalian,” Lewis ikut

berdiri, “Aku

telah memikirkannya masak-masak sejak kemarin dan aku ingin tahu apa pendapat

kalian.”

“Tentu saja,” Count Meyer berdiri, “Aku selalu siap kapan pun kau membutuhkanku.”

“Kita bisa membicarakannya di Ruang Kerjaku,” Count Clarck mengusulkan.

“Ide yang bagus,” Count Audrey tak ketinggalan.

“Kaum pria itu tampaknya sudah mulai,” gumam Countess Yolanda melihat kepergian

keempat pria

itu.

“Kita juga bisa mencari kesibukan yang lain,” usul Countess Kylie, “Bagaimana kalau

kita

berbincang-bincang di Ruang Duduk?”

“Ide yang bagus,” timpal Countess Horace sambil tersenyum penuh arti, “Kita bisa

melanjutkan

pembicaraan kita yang terpotong beberapa saat lalu itu.”

Fulvia yakin para ibu dalam ketiga keluarga ini pasti akan meneruskan pembicaraan

mengenai jodoh

putra-putri mereka.

Fulvia melihat Irving. “Apakah Anda ingin melakukan sesuatu?” tanyanya, “Ataukah

Anda sudah ingin


pulang? Acara makan malam ini tampaknya sudah usai.”

“Irving akan berbicara dengan kami,” Trevor memutuskan.

“Benar,” timpal Richie, “Kami mempunyai hal penting yang ingin kami bicarakan

dengannya.”

Tiba-tiba Fulvia mencurigai semangat membara keduanya. “Apa yang ingin kalian

bicarakan

dengannya?” tanyanya penuh curiga.

“Tidak ada,” Trevor menolak menjawab.

“Ini adalah masalah antara kaum pria,” Richie menegaskan, “Benarkah, Irving?”

Irving tidak mengerti apa yang sedang dikatakan dua pria itu.

Kedua sepupu itu berdiri di sisi Irving.

Irving pun tahu mereka ingin membicarakan sesuatu yang penting dengannya. Irving

berdiri.

“Jangan melakukan sesuatu padanya,” Fulvia memperingatkan dengan tajam.

Irving terkejut. Ia menatap Fulvia lekat-lekat. Tampaknya gadis ini tahu apa yang

sedang direncanakan

kedua sepupunya.

“Jangan khawatir,” Trevor berjanji, “Kami hanya ingin berbicara dengannya.”

“Membicarakan masalah pria,” timpal Richie.

Fulvia masih tidak dapat mempercayai tingkah kedua sepupunya yang tiba-tiba menjadi

sangat akrab

itu.

“Tinggallah kita berdua,” kata Audrey sepeninggal tiga pria itu.


Fulvia melihat kakak sepupunya yang duduk di seberang.

“Fulvia,” Audrey berpindah duduk di sisi Fulvia, “Mengapa engkau tidak memberitahuku

mengenai

Irving?”

“Apakah aku tidak memberitahumu?” Fulvia bingung.

“Tidak. Kau tidak pernah mengatakan peran Irving dalam rahasiamu itu,” Audrey

menegaskan.

Fulvia terdiam. Ia mengingat-ingat kejadian yang telah lampau. Ia merasa ia telah

mengatakan pada

Audrey. Hari itu setelah Irving setuju untuk membantunya, Fulvia segera memutuskan

untuk memberitahu

Audrey dan…

“Aku ingat,” ujar Fulvia, “Hari itu aku ingin memberitahumu tetapi kau mengusirku. Hari

itu kau

mengurung diri di kamar sehingga aku sangat mencemaskanmu.”

“Kau memang tidak pernah berubah,” keluh Audrey, “Setiap kali kau sedang

memfokuskan diri pada

sesuatu, engkau selalu melupakan yang lain.”

“Tidak,” Fulvia tidak sependapat, “Aku tidak seperti itu.”

“Aku sudah melihatnya beberapa kali,” Audrey berkata penuh kemenangan, “Aku sering

meihatmu

mengabaikan Irving ketika kau sudah berbicara denganku sehingga aku harus segera

mencari cara
mengingatkanmu atas keberadaan Irving.”

Fulvia tersipu. Audrey benar. Ia sering melupakan keberadaan Irving selama ia berada

di Greenwalls

dan ia tidak akan ingat pulang bila bukan karena Audrey yang mengingatkannya.

-----0-----

‘Bagaimana kalian mengharapkan aku menilai perasaan gadis itu kalau aku sendiri

tidak mengerti

dia!?’ hati Irving berteriak, ‘Bagaimana kalian mengharapkan aku berkata bila aku

sendiri berharap dia

mencintaiku!?’

Kedua sepupu itu menatap Irving dengan penuh antusias.

Irving melihat keduanya dengan putus asa. “Aku tidak tahu.”

“Apa maksudmu?” protes Trevor.

“Kau pasti tahu!?” Richie juga tidak terima. “Bukankah kau terus menemui Fulvia

selama ini untuk

mengetahui siapa yang di antara kami yang lebih dicintai Fulvia?”

“Tidak. Aku..”

“Davies!” sahut Trevor, “Pasti Davies yang mengatur semua ini untuk kita.”

“Benar,” Richie sependapat, “Pasti Davies yang melakukan semua ini.”

Irving kebingungan.

“Siapapun yang lebih dicintai Fulvia, kami tidak akan menuntutmu. Kami hanya ingin

tahu siapa di

antara kami yang lebih dicintai Fulvia,” Trevor meyakinkan dengan penuh antusias.
“Aku bukan?” tanya Richie percaya diri, “Aku yang lebih dicintai Fulvia.”

“Tidak, aku!”

“Aku!” bantah Richie. “Fulvia tidak pernah lupa merajut hadiahNataluntukku.”

“Fulvia selalu ingat untuk merayakan pesta ulang tahunku!” Trevor tak mau kalah.

“Fulvia selalu ingat membelikan sesuatu tiap kali ia pergi ke luarkota!”

“Fulvia tidak pernah lupa mengajakku setiap kali ia hendak berpergian!”

“Fulvia selalu menyisakan jatahku setiap kali aku datang terlambat!”

Tidak salah kedua pria itu memperebutkan Fulvia.

Dulu Irving menertawakan pertengkaran mereka. Sekarang ia merasa ia turut

terperangkap di

dalamnya.

Fulvia adalah malaikat tetapi ia bukan sembarang malaikat.

Fulvia adalah bidadari tetapi ia bukan sembarang bidadari.

Fulvia adalah dewi tetapi ia bukan sembarang dewi.

Ia adalah Fulvia dan ia nyata!

Ia adalah malaikatnya!

Ia adalah bidadarinya!

Ia adalah dewinya!

Entah kapan ia terperangkap dalam pertengkaran konyol ini. Entah kapan ia terjerat

oleh pesona gadis

itu. Ia tidak tahu dan ia tidak menyadarinya.

Sekilas gadis itu tampak begitu genit – seperti wanita berambut pirang yang selama ini

dikenalnya.
Tetapi ketika ia mulai mengenal gadis itu, ia yakin gadis itu cerdik serta licik. Dan ketika

ia semakin

mengenal gadis itu, ia sadar gadis itu begitu dewasa di balik wajahnya yang kekanak-

kanakan dan ia

begitu lembut.

Ia tahu bagaimana mengontrol dirinya.

Ia tahu bagaimana menempatkan dirinya.

Ia tahu bagaimana memperlakukan orang lain.

Fulvia bukan saja pandai tetapi juga cerdas.

Tahulah Irving sekarang mengapa kedua pria itu terus memperebutkan Fulvia.

Mengertilah Irving sekarang mengapa Davies sangat menjaga Fulvia.

Sadarlah Irving sekarang mengapa keluarga itu menyembunyikan Fulvia.

Irving termenung melihat kedua sepupu yang terus membandingkan perlakukan Fulvia

terhadap

mereka.

Fulvia selalu memperhatikan mereka.

Fulvia tahu apa yang dapat membuat Trevor bahagia seperti ia tahu apa yang dapat

menyenangkan

Richie.

“Fulvia mencintai kalian berdua sama besarnya,” Irving memotong pertengkaran kedua

orang itu.

Seketika mereka memelototi Irving.


“Aku tidak melihat Fulvia mencintai seorang dari kalian lebih dari yang lain. Ia mencintai

kalian sama

besarnya.”

“Tidak mungkin!” bantah mereka bersamaan.

“Maaf tapi hanya itu yang dapat kukatakan,” kata Irving, “Bila kalian ingin tahu,

mengapa kalian tidak

menanyakannya pada Fulvia?”

“Andai Fulvia mau mengatakannya maka hal itu akan sangat mudah bagi kami,” keluh

Richie.

“Ia tidak pernah mau mengatakannya pada kami.”

“Ya, selama yang bertanya adalah kami,” tambah Richie.

“Maaf aku tidak bisa membantu,” Irving berdiri.

Kedua pria itu menatap Irving dengan lesu.

“HEI!” Trevor tiba-tiba berseru.

Mereka heran.

“Kau bisa menanyakannya pada Fulvia!?” Trevor berseru girang.

“Kau adalah orang luar,” Richie mulai mengerti, “Dan Fulvia telah menganggapmu

sebagai

temannya.”

Walau demikian Irving masih tidak mengerti apa yang ada di pikiran kedua pria itu.

“Fulvia tidak pernah mau mengatakannya pada kami tetapi kami yakin ia mau

mengatakannya pada

orang ketiga,” kata Trevor penuh semangat.


“Benar. Karena itulah diperlukan bantuan orang ketiga,” timpal Richie.

Irving terdiam.

“Fulvia pasti mau mengatakannya padamu!” kedua pria itu menepuk pundak Irving

dengan puas.

-----0-----

“Aku tidak mengerti,” kata Margot, “Bukankah kau mengatakan Irving menemui Fulvia

karena

permintaan dua orang itu?”

“Aku juga tidak mengerti. Bila bukan karena Trevor dan Richie, mengapa Irving terus

mencari

Fulvia?”

“Tidak mungkin salah!” Margot menyahut gembira.

“Apa?”

“Irving tertarik pada Fulvia,” Margot berkata penuh semangat, “Karena itulah ia terus

menemui

Fulvia.”

“Omong kosong!” Davies tidak menyukai ide itu, “Irving hanya ingin mempermainkan

Fulvia!”

“Tidakkah kau memperhatikan cara Irving menatap Fulvia sepanjang makan malam

tadi?” tanya

Margot, “Ia menatap Irving seperti seorang pria yang tengah dilanda cinta.”

“Ia selalu seperti itu,” cemooh Davies.


Margot mengangkat bahunya. Ia tidak ingin berdebat dengan Davies mengenai Fulvia

dan Irving.

Margot tahu Davies tidak pernah menyukai hubungan keduanya walau sesungguhnya

ia setuju.

“Davies!”

Mereka membalik badan.

“Davies!”

Trevor dan Richie berlari mendekat dengan riang.

“Davies!” Richie memeluk Davies, “Kau memang saudara yang baik.”

“Tak percuma selama ini aku terus bergantung padamu,” Trevor menambahkan.

“Ada apa?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu,” kata Richie, “Kau pasti telah mengatur semua ini

demi kami.”

Davies menatap Margot.

Margot juga tidak mengerti.

“Apa yang kalian katakan?”

“Ayolah, Davies,” kata Trevor penuh semangat, “Kau pasti sengaja mengatur

pertemuan Irving dan

Fulvia setiap harinya juga hari ini.”

Davies benar-benar tidak mengerti jalan pikiran keduanya.

“Kau memang seorang saudara yang baik,” kata Richie tak kalah antusiasnya.

“Sebentar lagi kami akan tahu siapa yang akan menjadi adik iparmu,” timpal Trevor.

“Dan itu pasti aku!”


“Aku!” sahut Trevor, “Pasti aku!”

Davies melihat keduanya mulai bertengkar. “Mari kita menjauh,” Davies membawa

Margot menjauhi

kedua sepupu yang mulai bertengkar lagi itu.

“Davies,” gumam Margot, “Masalah ini menjadi semakin rumit.”

“Kau benar,” Davies sependapat, “Semua tidak semudah yang aku pikirkan. Bahkan

sekarang mereka

mengira aku sengaja menyuruh Irving bertemu Fulvia setiap hari demi mereka.

Bagaimana mungkin aku

menyodorkan Fulvia pada pria semacam itu!?”

“Mereka benar-benar telah salah paham.”

“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka,” keluh Davies.

“Ini akan gawat sekali,” kata Margot cemas.

Davies tidak mengerti.

“Kedua musuh bebuyutan itu pasti menyalahkanmu kalau Fulvia memilih Irving,” Margot

menatap

Davies lekat-lekat, “Mereka pasti tidak melepaskanmu kalau keduanya bersatu.”

Davies mengeluh panjang. “Mengapa aku harus terlibat dalam masalah ini?”

-----0-----

Fulvia meninggalkan Ruang Makan.

Pelayan telah mulai merapikan kembali Ruang Makan dan Audrey telah pergi menemui

Lewis.
Dari Audrey, Fulvia mendengar bahwa Lewis berencana untuk memulihkan keadaan

Greenwalls dan

usaha ayahnya. Lewis mulai mengumpulkan kembali orang-orang yang dulu pernah

bekerja pada ayahnya

dan ia juga mulai menemui rekan-rekan dagang ayahnya. Count Garfinkelnn juga

bersedia memberi

pinjaman uang untuk membuka kembali usaha mereka. Trevor juga telah menawarkan

diri untuk membantu

mereka.

Hari-hari mendatang Audrey akan sibuk membantu suaminya.

Fulvia turut berbahagia mendengarnya.

Seseorang berjalan mendekat.

Fulvia keheranan melihat Irving berjalan seorang diri. “Di manakah Trevor dan Richie?”

tanyanya

heran, “Apakah kalian telah menyelesaikan urusan kalian?”

“Fulvia,” Irving berkata serius, “Bisakah kita berbicara berdua?”

Fulvia semakin heran mendengar keseriusan Irving.

“Tentu,” kata Fulvia, “Apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?”

“Bisakah kita berbicara tanpa didengar orang lain?”

Fulvia tidak mengerti permintaan itu, namun ia berkata, “Kita bisa berbicara di

Perpustakaan. Saya

yakin tidak akan ada yang menganggu kita di sana.”

Irving tidak menanggapi. Ia hanya berjalan mengikuti Fulvia.


Seperti dugaan Fulvia, tidak seorang pun yang nampak di Ruang Perpustakaan

Unsdrell. Ia

mempersilakan Irving masuk dan menutup pintu rapat-rapat.

“Apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” Fulvia mengulangi pertanyaannya.

Tiba-tiba Irving tidak tahu bagaimana harus memulai semua ini.

“Bagaimanakah pendapatmu tentang Trevor dan Richie?”

“Mereka adalah kakak yang baik,” jawab Fulvia keheranan, “Mengapa Anda

menanyakannya? Apakah

ini ada hubungannya dengan mereka?”

Tiba-tiba Fulvia menyadarinya, “Apakah mereka meminta Anda untuk membuat saya

memilih seorang

di antara mereka?”

Entah mengapa Irving tidak terkejut mendengarnya.

“Kau telah menebaknya,” Irving menekan kegetiran hatinya, “Kau harus memilih

seorang di antara

mereka.”

“Mengapa?” Fulvia keheranan. “Mengapa saya harus memilih seorang dari mereka?”

“Mereka mencintaimu. Kau tahu mereka sering memperebutkanmu. Mereka siap

berkorban apa saja

untuk mendapatkan cintamu.”

“Anda?”

Irving berdiam diri.

“Apakah Anda tidak mencintai saya?”


“Mereka telah banyak berkorban untukmu,” Irving memunggungi Fulvia. Takkan pernah

ia membiarkan

Fulvia membaca perasaannya. Tidak akan! “Mereka benar-benar mencintaimu.”

“Saya tidak akan pernah memilih seorang dari mereka. Anda tahu itu.”

“Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau tidak bisa menghancurkan lebih banyak lagi

perasaan orang

lain.”

“Saya bukan Anda.”

“Engkau sadar kau lebih kejam dari aku,” cibir Irving – mengingatkan Fulvia akan kata-

katanya

sendiri.

“Setidaknya saya telah berusaha untuk tidak menyakiti mereka.”

“Tindakanmu saat ini hanya menyakiti mereka.”

“Saya tidak mencintai mereka lebih besar dari cinta saya pada Anda.”

Andai keadaannya tidak seperti ini, Irving akan merasa sangat bahagia tetapi

kenyataannya bukan

seperti ini. Irving merasa begitu kotor. Ia merasa begitu tertekan. Bagaimana ia bisa

menjadi seorang yang

sama dengan orang yang merebut ibunya dari ayahnya?

Irving tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka!

“Pilihlah seorang dari mereka,” Irving tidak dapat menyembunyikan kepahitan hatinya,

“Kau tidak

mempunyai pilihan lain.”


“Anda begitu egois,” kata Fulvia kesal, “Anda tidak bisa memaksa saya memilih

seorang di antara

mereka ketika Anda tahu saya mencintai Anda lebih dari mereka.”

“Kaulah yang egois!” Irving tiba-tiba membalikkan badannya dan mencengkeram

pundak Fulvia, “Apa

kau tahu apa yang kurasakan? Apa kau tahu bagaimana rasanya menjadi orang

ketiga?”

Fulvia terhenyak menatap mata tajam Irving yang siap menelannya itu.

“Apa kau mengerti perasaanku!?” bentak Irving, “Aku merasa jijik! Aku merasa kotor!

Bagaimana aku

bisa menjadi orang ketiga di antara hubungan kalian!? Aku membencinya! Aku

membenci kenyataan ini!

Aku benci membiarkan diriku terjerat dalam perangkapmu. Aku benci membiarkan

diriku jatuh cinta

padamu!”

Fulvia terpaku. Mata ungunya meredup.

Irving membalikkan badannya. “Pilihlah seorang dari mereka dan semuanya berakhir!”

katanya dingin

dan meninggalkan Fulvia yang masih terpaku tanpa kata-kata.

Fulvia terus memandangi punggung yang kian menjauh itu.

Inikah mawar merahnya dari Irving?

Inikah cara perpisahan mereka yang dipilih Irving?

Inikah satu-satunya cara mengakhiri hubungan mereka?


Inilah mawar merah dari Irving.

Mawar yang paling berduri…

Air mata Fulvia menetes.

‘Apakah jatuh cinta adalah sebuah kesalahan?’

13

Irving melihat undangan itu dan ia tahu ia akan bertemu dengan Fulvia lagi.

Sudah sebulan lebih lamanya ia tidak bertemu Fulvia.

Sudah sebulan lebih ia tidak direpotkan oleh dua pria itu.

Sudah sebulan lebih ia tidak mendengar berita mereka.

Sebulan lebih gadis itu tidak pernah mencarinya lagi setelah sore itu.

Sebulan lebih gadis itu tidak pernah menampakkan dirinya lagi di hadapannya.

Ini artinya Fulvia telah memilih seorang dari mereka!

Hati Irving hancur membayangkan Fulvia bergandengan tangan dengan seorang dari

mereka.

‘Siapapun pilihan Fulvia, bukan urusanku,’ Irving berusaha menyingkirkan pedih di

hatinya.

Ia akan menunjukkan pada Fulvia bahwa ia tidak pernah terjerat perangkapnya, bahwa

ia tidak pernah

menyesali perpisahan mereka.

Ia akan menunjukkan Fulvia tidak lebih dari salah seorang gadis yang pernah melintas

dalam

hidupnya!

Ya, ia akan menunjukkannya.


Setelah sekian lama menyembunyikan diri dari segala bentuk pertemuan dengan

dirinya, ia yakin

Fulvia tidak akan bisa menghindari pesta ini. Itupun kalau dia tiba-tiba mengalami

gangguan mental.

Menilik sifat manjanya dangayahidupnya, Irving bisa meyakinkan seisi dunia ini Fulvia

akan hadir

dalam pesta ulang tahun Duke of Wyndham.

Semua orang tahu bagaimana terkenalnya keluarga Wyndham. Semua tahu bagaimana

melimpah

ruahnya harta kekayaan mereka. Irving pun bisa memastikan harta keluarga Wyndham

melebihi kekayaan

keluarganya.

Bila selama ini tidak ada satu pertemuan pun yang bisa mempertemukan mereka, maka

inilah satusatunya

yang dapat mempertemukan mereka.

Di mana tempat Fulvia bila bukan di pesta-pesta kalangan orang ternama?

Di mana tempat gadis manja itu bila bukan di sisi pria-pria kaya?

Di mana tempat gadis binal itu bila bukan di pelukan pria-pria berharta?

Di mana pun ia berada, Irving tidak peduli.

Itulah keyakinan Irving. Tetapi keyakinan tetaplah sebuah keyakinan.

Seminggu kemudian ketika hari di mana pesta tersebut diselenggarakan, Irving tidak

dapat

menghentikan dirinya untuk tidak memperhatikan pintu masuk.


Bukanlah kebiasaan Irving untuk datang pertama kali dalam suatu pesta tetapi sore ini

ia menjadi tamu

pertama yang hadir.

Sulit bagi Irving untuk mengingkari keinginannya untuk segera bertemu Fulvia.

Bagaimanapun

terlukanya dirinya oleh sikap Fulvia, Irving tidak dapat memungkiri bahwa ia masih

mencintai gadis itu.

Dan kenyataan ini membuatnya kian membenci Fulvia. Sama seperti ia membenci

bagian dari dirinya yang

mencintai Fulvia.

Sejak awal di sanalah ia berdiri. Ia berdiri di sudut Hall yang gelap dan terhindar dari

keramaian

tetapi cukup jelas untuk memperhatikan tamu yang perlahan-lahan meramaikan

suasana.

Sejak awal di sanalah ia memperhatikan setiap tamu yang hadir dengan mata jelinya.

Matanya yang biasanya mencari-cari wanita cantik untuk menemaninya selama pesta,

mencari-cari

sesosok gadis yang dirindukan oleh bagian dirinya yang dibencinya.

Wanita-wanita cantik di depannya pasti tidak akan menolak menemaninya sepanjang

malam ini.

Mereka juga pasti tidak akan menolak untuk menghabiskan malam bersamanya.

Mereka akan rela

melakukan apa saja hanya untuk mendapat perhatian darinya.


Tapi hari ini Irving tidak tertarik pada mereka.

Irving ingin mengingkari perasaan itu tetapi ia kalah oleh bagian lain dari dirinya.

Dan, di sanalah ia bersembunyi sembari menantikan kehadiran gadis yang bahkan

dalam mimpi pun

dirindukannya itu.

Tepat satu jam Irving berdiri di sudut Hall, kereta keluarga Silverschatz tiba di halaman

Windport.

Irving yang semula bersandar santai di sudut gelap itu langsung berdiri tegak bagai

seorang prajurit

yang siap menyambut kehadiran atasannya.

Satu per satu keluarga Silverschatz turun dari kereta.

Irving dapat melihat Trevor turun duluan kemudian disusul oleh ayahnya dan kemudian

ibunya.

Fulvia tidak ada bersama mereka!

‘Tentu saja,’ ia mengejek dirinya sendiri, ‘Ia tentu datang bersama pria pilihannya.’

Keluarga Silverschatz baru saja turun dari kereta ketika kereta keluarga Garfinkelnn

datang disusul

kereta keluarga Ousterhouwl.

Ketiga keluarga itu terkenal oleh dekatnya hubungan keluarga mereka. Takkan heran

bila mereka

datang bersamaan.

Irving juga tidak akan heran melihat Fulvia turun dari salah satu kereta keluarga itu.
Satu per satu penumpang kereta keluarga Garfinkelnn turun. Demikian pula

penumpang kereta keluarga

Ousterhouwl.

Irving tertegun.

Irving heran.

Fulvia tidak ada!

Ia tidak melihat Fulvia bersama rombongan itu. Ia tidak melihat Fulvia bersama Trevor

maupun

Richie. Ia juga tidak melihat Fulvia bersama keluarganya.

‘Permainan apa yang dimainkan gadis ingusan itu?’ alam bawah sadarnya

memperingatkan.

Apa pun itu, Irving akan memastikan gadis itu tidak akan berhasil mengelabuhinya.

Tidak setelah

semua yang terjadi di antara mereka!

Irving melangkah keluar dari tempatnya bersembunyi.

“Selamat sore,” Irving menyapa, “Kulihat hubungan keluarga kalian memang seerat

yang dikabarkan.”

“Kami adalah teman sepermainan sejak kecil,” kata Richie bangga.

“Ya, aku dapat melihatnya. Tetapi kulihat seorang dari kalian menghilang.”

“Siapa?” tanya Richie dan tiba-tiba ia menyadari kejanggalan dalam kemunculan

mereka kali ini,

“Apakah yang kau maksud Fulvia?”

“Fulvia tidak mau datang,” keluh Trevor.


“Tampaknya kami telah membuatnya marah,” tambah Richie suram.

Irving tidak menangkap maksud mereka.

“Bukankah ia telah menentukan pilihannya?”

“Ya…,” gumam kedua pria itu bersamaan dan menatap Irving.

Otak Irving langsung memperingatkannya akan bahaya yang menghadang. ‘Mereka

tahu!’ hatinya waswas.“

Ia memilih untuk menjadi biarawati,” kata Davies.

Irving terperanjat. Ia menatap pria yang berdiri di belakangnya itu. “Biarawati?”

ulangnya tidak

percaya.

“Mereka berdua telah membuatnya lelah. Ia tidak dapat memilih seorang dari mereka

tanpa melukai

perasaan yang lain. Yang lebih penting adalah ia tidak dapat mengingkari dirinya

sendiri. Ia mencintai

mereka berdua seperti mereka mencintai aku. Mereka berdua tahu itu tetapi tidak

pernah mengakuinya.

Mereka hanya bisa memperebutkan Fulvia tanpa menyadari bagaimana Fulvia merasa

tertekan oleh

perseteruan mereka.”

“Fulvia berkata cinta sejatinya tidak ada pada kami. Cinta sejatinya adalah sebuah

kesalahan besar,”

kata Trevor murung.

“Kesalahan besar,” Irving tersekat.


“Ia tidak mau menyakiti orang lain. Ia tidak mau menjadi sumber kesalahan orang lain.

Ia tidak mau

menjadi sumber pertengkaran orang lain lagi,” Richie sepakat.

“Maksud kalian…,” desis Irving.

“Ia telah memutuskan untuk tidak menikah,” Davies menjelaskan, “Bila memilih adalah

sebuah

kesalahan maka lebih baik tidak memilih, katanya.”

Irving menatap Davies tanpa kata-kata.

Ia merasa sesuatu ditarik dengan paksa dari dalam dirinya.

Irving tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas kenyataan yang tidak terduga ini.

Irving tidak mengerti apa yang dipikiran Fulvia.

Tetapi mereka yang berdiri di sekitarnya mengerti apa yang tengah dipikirkan Irving.

“Kau tidak menduganya, bukan?” ujar Richie, “Aku juga tidak menduga Fulvia akan

memilih jalan

senekat itu.”

“Kurasa Fulvia benar-benar kesal oleh pertengkaran kami,” Trevor menyesal, “Tidak

seharusnya kami

bertengkar terus hingga semua menjadi seperti ini. Tanpa kami sadari, kami telah

memberikan beban bagi

Fulvia.”

“Sudah sejak awal kukatakan sikap kalian itu akan mengekang kebebasan Fulvia,”

Davies
menyalahkan kedua sepupunya itu, “Fulvia mungkin mencintai salah seorang dari

kalian tetapi bagaimana

ia bisa memilih bila seorang dari kalian harus terluka sementara yang lain bersenang-

senang atas

keputusannya itu?”

“Ya, kami mengakui salah.”

“Sekarang aku dapat mengerti mengapa Fulvia selalu menolak memilih seorang di

antara kami,”

tambah Trevor, “Ia mencintai kami berdua sama besarnya hingga ia tidak ingin kami

terluka. Tetapi kami

telah membuatnya terluka.”

“Ia begitu takut melukai kami hingga ia memilih jalan ini,” timpal Richie.

Irving tertegun.

Tidak!

Itu tidak benar!

Mereka salah!

Mereka tidak tahu siapa yang memaksa Fulvia mengambil jalan ini.

Mereka tidak mengerti situasi yang sebenarnya.

“Percuma saja kalian menyesal,” Davies berkata dengan sinisnya, “Fulvia telah

memutuskan yang

terbaik yang dapat ia lakukan.”

“Yang dapat kalian lakukan sekarang adalah mendukungnya,” Davies membalikkan

badan dan
meninggalkan mereka.

‘Mendukungnya?’ Irving tertegun.

Apakah ini berarti ia harus rela melepaskan Fulvia lagi? Melepaskannya ketika ia

memperoleh sebuah

kesempatan? Dan untuk selama-lamanya?

Irving berpikir keras.

Ia tidak pernah berpikir sekeras ini semenjak tujuh belas tahun lalu.

Ia tidak pernah berpikir sepanjang malam semenjak ibunya pergi meninggalkan rumah

bersama

Nelson, kekasih gelapnya.

Tapi ini berbeda. Bila tujuh belas tahun silam ia memikirkan bagaimana membalas

dendam kepada

wanita-wanita binal yang hanya dapat melukai perasaan pria seperti ibunya melukai

ayahnya, maka kali

ini ia berpikir keras apa yang dapat ia lakukan untuk Fulvia dan dirinya sendiri. Bila saat

ia berusia

delapan tahun itu ia memutuskan untuk membuat kaum wanita itu bertekuk lutut di

hadapannya dan

memohon cintanya, kali ini ia memutuskan untuk menemui Fulvia.

Irving akan membuat Fulvia mengatakan sendiri semua yang didengarnya dari keluarga

gadis itu!

Maka pagi itu begitu Irving selesai menyantap sarapan pagi yang disediakan untuknya,

Irving langsung
melesat ke Unsdrell.

Irving tidak peduli apakah gadisnya itu telah bangun atau tidak. Irving tidak peduli

seberapa pagi

kehadirannya di Unsdrell. Irving hanya tahu ia tidak dapat menanti lebih lama lagi. Irving

ingin bertemu

Fulvia bukan nanti bukan esok tetapi saat ini juga!

-----0-----

Fulvia muncul di pintu dengan senyumnya yang menawan.

Bukan ini sikap yang Irving harapkan dari Fulvia.

Irving mengharapkan Fulvia muncul dengan penuh kemarahan atau mungkin

kekecewaan. Senyum

manis yang mengembang di wajah manis itu seolah berkata pada Irving bahwa tidak

pernah terjadi apaapa

di antara mereka. Dan itu membuat Irving semakin terluka.

“Selamat siang, M’lord,” sapa Fulvia.

Orang lain! Fulvia memperlakukannya seperti orang yang baru pertama kali ditemuinya!

“Selamat siang, Fulvia,” Irving menyembunyikan kepahitannya di antara suara

dinginnya, “Kau

tampaknya lebih segar bugar dari yang kudengar.”

Fulvia tertawa kecil.

Suara tawa itu seperti menertawakan kerinduannya dan Irving merasa sangat terpukul.

Ia datang bukan

untuk memperdalam jarak di antara mereka.


“Mereka terlalu membesar-besarkan,” Fulvia tidak dapat menutupi tawa gelinya,

“Janganlah Anda

terlalu percaya pada mereka.”

“Setidaknya aku boleh mempercayai perasaanku, bukan?” Irving bertanya lembut.

Fulvia terdiam.

“Kau selalu mengatakan bahwa aku tidak bisa terus mempermainkan perasaanku

sendiri,” Irving

mengingatkan Fulvia.

Fulvia tidak ingin menjawab pertanyaan itu.

Mata biru gelap itu menatap Fulvia dengan penuh kerinduan.

“Saya turut berbahagia Anda menyadarinya,” Fulvia menghindari tatapan itu.

“Sayangnya, aku tidak dapat melihatnya.”

“Perasaan Anda mengetahuinya,” Fulvia tidak ingin berbicara banyak.

“Perasaanku mengatakan kau mempunyai banyak kegalauan hati.”

Fulvia tidak menanggapi.

Irving terus memandang punggung itu. Fulvia begitu dekat darinya tetapi ia merasa

Fulvia berada di

tempat yang jauh – tempat yang tak teraih olehnya. Tiada jalan yang menghubungkan

tempat Fulvia

dengannya. Tiada kata-kata yang dapat menjembatani perasaannya dengan Fulvia.

“Bila tidak ada yang Anda butuhkan dari saya,” kata Fulvia dingin, “Ijinkan saya

meneruskan

kesibukan saya.”
Irving kaget. Fulvia akan meninggalkannya!

“Mereka ingin tahu mengapa kau bersikeras tidak keluar bersama seorang pun dari

mereka,” otaknya

berputar cepat mencari topik pembicaraan dengan Fulvia.

Fulvia membalik badannya. Matanya yang dingin menatap Irving lekat-lekat.

“Anda tahu jawabannya,” katanya pedih dan melalui Irving.

Irving terpaku dan ketika ia membalikkan badan, Fulvia telah meninggalkan ruangan itu.

Inikah jawaban Fulvia? Inikah keputusan Fulvia?

Sudah tidak ada tempat baginya di hati Fulvia. Sudah tidak ada gunanya ia berlama-

lama di tempat ini.

Dengan lesu, Irving meninggalkan Ruang Tamu.

“Kudengar kau datang menemui Fulvia,” seseorang mencegat Irving di pintu masuk

Unsdrell.

Irving menatap Davies. Ia tidak ingin memberi penjelasan apa pun pada pria itu. Ia

sedang tidak dalam

suasana hati untuk bersitegang dengan pria yang selalu berseberangan jalan

dengannya itu.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian,” Davies berkata dengan nada

mengancamnya, “Tetapi

aku ingin kau menyelesaikan apa yang telah kaumulai ini.”

Davies mendekati Irving.

Dari caranya berjalan, caranya menatap Irving, terlihat jelas bahwa pria itu ingin sekali

membunuh
Irving, pria yang ia percaya bertanggung jawab atas semua ini! Dan Irving sadar akan

kesalahannya itu.

“Kalau kau butuh bantuan, jangan segan untuk mengatakannya padaku,” katanya

sebelum berlalu.

Irving terkejut. Ia mengawasi Davies yang terus melangkah santai ke dalam gedung

megah itu.

Davies memang seorang kakak yang baik. Ia tahu bagaimana melindungi adiknya dan

ia tahu apa yang

dapat dilakukan seorang kakak membahagiakan adik satu-satunya.

Mungkin selama ini Irving telah salah menilai Davies.

Dalam hatinya Irving berjanji pada Davies untuk membuat Fulvia kembali tersenyum

dengan senyum

menawannya yang dulu. Dan untuk itu Irving tahu ia harus memulai semuanya dari

awal. Dari Trevor dan

Richie memohon bantuannya.

-----0-----

“Tuan Muda Richie dan Tuan Muda Trevor ingin bertemu, Tuan Puteri.”

Fulvia mengangkat kepala dari buku. “Aku sibuk,” katanya singkat.

“Apakah sekarang kau sedemikian sibuknya hingga kau tidak bisa bertemu kami walau

hanya sesaat?”

Richie muncul dari belakang pelayan itu.

Fulvia melihat keduanya tanpa rasa tertarik. “Kalau kalian datang untuk membujukku,

lupakan saja.
Aku tidak akan merubah keputusanku.”

“Kami juga tahu tidak ada gunanya membujukmu,” kata Trevor, “Kami sudah

menyerah.”

“Apa mau kalian?” Fulvia bertanya curiga.

“Kami datang untuk mengantar surat Irving,” jawab Richie.

“Irving?” Fulvia heran, “Apa yang ia inginkan?”

“Kami juga tidak tahu,” Trevor menatap Richie.

Beberapa saat yang lalu Irving mengundang mereka berdua ke rumahnya. Ia tidak

mengatakan

tujuannya pada mereka berdua. Ia hanya berkata,

“Apakah kalian ingin menggagalkan keinginan Fulvia?”

Tentu saja itu adalah hal yang paling diinginkan keduanya.

Semenjak Fulvia mengumumkan keputusannya sebulan lalu, keduanya terus membujuk

Fulvia. Hampir

setiap saat keduanya berusaha membuat Fulvia membatalkan keputusannya itu. Tetapi

keteguhan hati

Fulvia tidak pernah goyah.

Davies juga tidak bisa diandalkan lagi. Ia mendukung keputusan Fulvia bahkan ia

menyuruh mereka

untuk berhenti menganggu Fulvia.

Count Clarck beserta Countess Kylie juga tidak ingin campur tangan dalam keputusan

putrinya itu.
Mereka percaya Fulvia telah melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dua

keluarga yang lain juga

lepas tangan.

Tidak ada yang dapat membantu keduanya.

“Aku dapat membantu kalian.”

“Percuma saja,” kata Trevor.

“Kami telah berusaha dan Fulvia tetap tidak merubah keputusannya,” Richie

sependapat.

“Apakah kalian tidak mempercayaiku?”

“Semuanya akan sia-sia,” Richie berkata sedih, “Semuanya telah terlambat.”

Irving tidak mengerti.

“Fulvia telah mempersiapkan semuanya. Ia telah mendaftarkan diri ke sekolah biara

dan ia diterima.

Minggu depan ia akan berangkat ke sana.”

Irving terbelalak. “Minggu depan…?”

“Tepatnya lima hari lagi,” kata Richie.

“Apakah yang bisa kaulakukan dalam lima hari?” tanya Trevor, “Sementara kami yang

sudah sebulan

ini tidak berhasil membujuknya.”

“Tidak,” Irving berkata penuh percaya diri, “Pasti ada cara.”

“Mengapa?” tanya Trevor, “Mengapa engkau begitu yakin?”

“Karena aku juga tidak ingin Fulvia mengambil keputusan ini,” jawab Irving, “Aku telah

membuat dia
mengambil keputusan ini dan aku pulalah yang bisa membuatnya membatalkannya.”

Keduanya menatap Irving lekat-lekat.

“Baiklah,” kata Richie, “Kami percaya padamu.”

“Apa yang kau ingin kami lakukan?” tanya Trevor.

Dan di sinilah sekarang mereka berada, mengantar surat Irving kepada Fulvia.

Keduanya sudah hampir yakin Fulvia tidak akan menerima surat itu ketika Fulvia

berkata,

“Berikan surat itu padaku.”

Trevor memberikan surat Irving pada Fulvia.

Mereka memperhatikan Fulvia membuka surat itu. Mereka tidak tahu apa isi surat itu.

Mereka tidak

bertanya apapun pada Irving. Mereka percaya Irving mempunyai cara untuk

membatalkan keputusan

Fulvia ini.

Fulvia membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan tangan Irving.

Sekali aku telah membantumu menyimpan kotak musik untuk hadiah ulang tahun

pernikahan orang

tuamu. Dapatkah sekarang kau membantuku menemukan buket bunga yang indah

untuk almarhum ibuku

tercinta?

Irving

Fulvia menutupsuratitu dan mengeluarkan secarik kertas dari laci mejanya. Tanpa

berkata apa-apa, ia
mulai menulis.

Kedua pria itu memperhatikan Fulvia tanpa berani bertanya apa-apa.

-----0-----

Melalui surat ini, saya menyatakan dengan penuh penyesalan saya tidak dapat

membantu Anda.

Salam sejahtera,

Fulvia

Irving kecewa.

Ia merasa satu jalan antara dia dan Fulvia telah tertutup lagi.

Tidak banyak jalan yang dapat ia jalani untuk mendekati Fulvia.

Tidak adakah cara yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan hati Fulvia lagi?

Tidak adakah yang bisa membuat Fulvia membatalkan keputusannya ini?

Melihat raut wajah Irving, mereka tahu apa yang dikatakan Fulvia dalamsuratitu. Dan

mereka turut

merasa sedih untuk Irving.

“Maafkan kami, Irving,” Trevor turut bersedih.

“Aku tahu. Aku tahu ini akan sia-sia,” kata Richie pula.

“Ini adalah karma,” kata Irving, “Davies telah memperingatiku untuk tidak menyakiti

Fulvia dan aku

telah mempersalahkan cinta di antara kami.”

“APA!?” pekik kedua pria itu bersamaan – mencengkeram kerah baju Irving.

“KAU!??” mereka mengepalkan tangan mereka – siap meninju Irving.


“Aku tidak menyukai kenyataan menjadi orang ketiga di antara kalian. Aku tidak ingin

menjadi Nelson

kedua.”

Kedua pria itu melepaskan Irving dan duduk termenung di kursi mereka masing-masing.

“Aku tidak menyalahkanmu,” kata Trevor. “Sejujurnya, sejak awal kami sempat khawatir

Fulvia akan

jatuh cinta padamu.”

“Tetapi kami berpikir Fulvia tidak mungkin jatuh cinta pria sepertimu. Ia mungkin tidak

mengenalmu

tetapi ia tahu reputasimu dan ia selalu mengatakan ia tidak menyukai pria sepertimu

yang suka

mempermainkan perasaan,” ujar Richie.

“Dan kau pun tidak akan jatuh cinta pada Fulvia,” tambah Trevor.

“Kami begitu yakin tetapi Davies lebih bijak,” keluh Richie, “Ia terus memperingatkan

kami sebelum

kami mempertemukan kalian. Davies tahu reputasimu tetapi ia lebih paham Fulvia. Ia

tahu kalian berdua

sangat kontras tetapi kalian berdua juga saling melengkapi.”

“Davies juga memperingati kami,” Trevor memberitahu.

Irving termenung.

“Apakah kau pernah mendengar Festival Topeng?” tanya Richie.

Irving melihat mereka.

“Mungkin kau bisa menggunakannya sebagai sebuah kesempatan,” kata Richie lagi.
“Fulvia ingin sekali pergi ke festival itu. Ia bahkan ingin seluruh keluarga kami pergi ke

sana

bersama-sama,” kata Trevor, “Namun kami mendengar Fulvia telah memutuskan untuk

tidak pergi. Ia

beralasan ia sudah tidak tertarik dan ia harus meyakinkan semuanya telah siap

sebelum ia berangkat ke

sekolah biara pilihannya.”

“Fulvia tidak pernah mengakui kesedihannya tetapi ia tidak dapat membohongi kami

yang telah

mencintainya semenjak kecil.”

“Aku yakin Fulvia akan bersedia bila kau, pria yang dicintainya, mengajaknya.”

Irving menatap mereka.

“Kami tidak bisa membantumu lagi,” kata Richie, “Kau telah merebut Fulvia dari kami

dan kau

sendiri yang harus berusaha.”

“Setidaknya kami telah memberitahumu sebuah kesempatan,” timpal Trevor.

“Terima kasih.”

“Kami pasti akan merebut Fulvia kembali bila kau menyakiti Fulvia.”

Irving mengangguk.

Ini adalah kesempatan terakhirnya, kesempatan terakhirnya sebelum Fulvia pergi ke

sekolah biara.

Irving akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.


Apa pun yang terjadi, Irving tidak akan membiarkan Fulvia mengingkari perasaannya

sendiri.

Irving tahu Fulvia masih mencintainya.

Irving yakin Fulvia juga merindukannya.

Maka hari itu ia pergi ke Greenwalls.

Davies, seolah mengetahui kedatangannya, telah menantinya di depan pintu.

“Aku tahu kau pasti akan datang,” kata pria itu sambil bersandar di dinding.

Irving tidak mengatakan apa-apa. Ia yakin Davies tahu tujuan kedatangannya.

“Ia ada di dalam kamarnya.”

“Terima kasih,” Irving melangkah masuk.

“Irving,” panggil Davies.

Irving berhenti.

“Kau tahu di mana kamar Fulvia?”

Irving terhenyak. Dalam pikirannya hanya ada Fulvia dan ia benar-benar melupakan hal

itu.

“Aku akan mengantarmu,” Davies menepuk pundak Irving dan mendahuluinya.

Irving mengikuti pria itu.

“Kau lebih parah dari Trevor dan Richie,” Davies tersenyum geli, “Tetapi kau lebih baik

darinya.”

“Kupikir kau membenciku.”

“Ya,” Davies mengakui, “Aku membencimu karena kau merebut Fulvia dariku. Tetapi

aku juga

mengakui kau jauh lebih baik daripada keduanya.”


“Lebih baik?” Irving heran, “Bukannya kau selalu menuduhku mempermainkan Fulvia?”

“Aku akui itu juga,” kata Davies, “Tetapi aku sudah tidak khawatir lagi. Fulvia telah

menjinakkanmu.”

Irving terdiam. Davies benar. Sedikitpun tidak salah. Semenjak mengenal Fulvia, ia

mulai kehilangan

rasa tertariknya pada wanita-wanita lain. Dan sekarang seluruh hati, jiwa dan raganya

hanya untuk Fulvia

dan gadis itu seorang.

Davies berhenti.

“Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini,” katanya, “Kamar Fulvia adalah pintu

kedua itu.”

“Terima kasih,” Irving melalui Davies.

“Irving,” lagi-lagi Davies memanggil pria itu.

Irving menoleh.

“Aku tahu kau akan berhasil,” Davies tersenyum.

Irving mengangguk.

“Kami akan menanti kalian di festival itu,” kata Davies dan ia pun meninggalkan tempat

itu.

Irving juga segera ke kamar Fulvia.

Begitu berada di depan kamar Fulvia, keragu-raguan menghampiri Irving. Irving tidak

yakin Fulvia

akan menerimanya.
“Tidak! Aku datang bukan untuk kalah tetapi untuk menang!” Irving membulatkan

hatinya dan mengetuk

pintu kamar Fulvia.

“Siapa?”

Irving tersekat mendengar suara yang dirindukannya itu.

“Siapakah itu?” Fulvia membuka pintu kamarnya.

Irving terpaku. Tidak pernah ia merasakan sebuah keinginan sebesar ini untuk meraih

seorang wanita

dalam pelukannya.

Fulvia mematung. Ia menatap Irving lekat-lekat.

Setelah pagi ia meninggalkan Irving di Ruang Tamu, ia begitu yakin Irving tidak akan

pernah

menemuinya lagi. Fulvia yakin Irving tidak dapat menerima cintanya sama seperti ia

tidak dapat menerima

kenyataan ia juga mencintai Fulvia.

Fulvia benar. Bahkan setelah menerima surat itu pun ia tahu ia tidak pernah salah.

Irving tidak pernah dapat menerima kenyataan bahwa mereka saling mencintai. Ia juga

tidak bisa

menghapuskan rasa bersalah karena keputusannya ini. Dan rasa bersalah itulah yang

membuatnya

menerima tawaran Trevor dan Richie untuk membujuknya membatalkan keputusannya

ini.
Saat ini Irving juga pasti datang untuk membujuknya! Membujuknya demi Trevor dan

Richie!

“Pergi!!” seru Fulvia kesal. “Pergi!” Fulvia menutup pintu kamarnya.

Irving menahan pintu itu dengan tangannya.

“Aku tidak akan pergi denganmu! Aku tidak mau pergi ke festival itu!”

“Aku tidak mengatakan akan mengajakmu kesana,” kata Irving tenang.

Fulvia terdiam.

Irving memanfaatkan kesempatan itu dan melangkah masuk.

“Keluar! Aku tidak mau bertemu denganmu.”

“Tapi kau begitu ingin menemuiku,” kata Irving.

Lagi-lagi Fulvia terdiam.

“Kau tidak bisa terus membohongi perasaanmu. Kau tahu itu,” ujar Irving.

Fulvia memunggungi Irving.

Irving meraih pundak Fulvia – menahan gerakannya.

“Kau boleh membohongi semua orang tetapi kau tidak bisa membohongi dirimu

sendiri.”

Fulvia memalingkan wajahnya. Matanya terasa pedas.

“Aku tidak pernah merasa begitu benci diriku sendiri karena sadar telah melukai

perasaan seseorang,”

kata Irving, “Aku tidak pernah merasa begitu gila karena mencintai seseorang. Aku tidak

peduli menjadi

orang ketiga atau orang keberapa pun selama aku dapat membuatmu tersenyum.

Mencintai seseorang
bukanlah kesalahan.”

Fulvia memejamkan matanya.

“Aku datang untuk mengatakan padamu bahwa aku tidak menyesali cintaku padamu.

Aku akui aku

pernah membenci kenyataan menjadi orang ketiga di antara kalian. Sekarang aku

bersyukur menjadi orang

ketiga di antara kalian sebelum orang lain dan orang pertama yang mendapatkan cinta

sejatimu.”

Irving melepaskan pundak Fulvia.

“Aku ingin kau tahu aku akan terus mencintaimu apa pun yang terjadi dan sampai

kapan pun juga.”

Fulvia tidak bergerak sedikitpun.

“Apakah kau begitu ingin menjadi biarawati?”

Fulvia tidak menjawab.

“Jawab aku, Fulvia, apakah kau benar-benar ingin menjadi biarawati?”

Fulvia tidak bereaksi.

Irving termenung. Ini artinya kesempatan terakhirnya pun telah tertutup. Ia tidak akan

dapat

menggoyahkan keputusan Fulvia seperti ia tidak bisa menghancurkan pembatas di

antara mereka yang kian

lama kian menebal.

Irving pun meninggalkan kamar Fulvia dengan lesu.

14
Fulvia berdiri di kejauhan – melihat orang-orang yang sedang bersenang-senang dalam

Festival

Topeng.

Semua orang bertopeng. Semua orang mengenakan kostum terbaik mereka.

Fulvia bertaruh. Ya, ia akan bertaruh dalam festival ini.

Festival ini mungkin akan menjadi kemunculannya yang pertama sebagai seorang

makhluk baru. Tapi

mungkin juga menjadi kemunculannya yang terakhir.

Ketika Fulvia mendengar suara roda kereta diiringi langkah-langkah lincah kuda

menjauh, ia tahu

Irving telah pulang. Fulvia ingin mengejar kereta itu namun otaknya menolak keras.

Ia akui ia sempat menangis ketika Irving pergi begitu saja. Untungnya, otaknya

mengingatkannya pada

kenyataan. Irving datang demi Trevor dan Richie. Tidak ada gunanya ia terus

mengharapkan pria itu

datang hanya untuknya. Pria itu tidak pernah percaya pada cinta. Bagaimana mungkin

ia bisa tiba-tiba

mencintainya sepenuh hatinya? Bagaimana mungkin ia akan mempercayai kata-

katanya? Ia hanyalah

seorang gadis ingusan. Ia bukan wanita-wanita cantik yang pernah menjadi kekasih

Irving.

Ya, ia tidak pernah menjadi kekasihnya, Fulvia mengakui dengan sedih. Mereka

menghabiskan waktu
bersama hanya karena permintaannya sendiri. Irving tidak akan pernah datang

menjemputnya bila bukan

karena permintaannya. Bahkan di kedatangannya yang terakhir pun ia datang bukan

untuk dirinya sendiri.

Cerita cinta ini cukup sampai di sini. Tidak ada gunanya terus memperpanjangnya.

Pada awalnya

Fulvia memang tidak tertarik pada Irving. Irving bukanlah tipe pria yang ia sukai.

Sebaliknya, ia tidak

menyukai kebiasaan Irving berganti-ganti pasangan. Ia juga tahu Irving bukanlah tipe

seorang pria yang

setia. Kalaupun sekarang Irving benar-benar jatuh cinta padanya, besok atau lusa

hatinya akan beralih

pada wanita cantik lain. Ini memang kesalahannya sendiri, jatuh cinta pada orang yang

salah. Karenanya,

cerita cinta ini harus segera ditutup. Ia sudah membuat keputusan menyangkut masa

depannya. Ia sudah

mempersiapkan semua ini semenjak sebulan ini. Sekarang sudah terlambat untuk

mundur.

Seharusnya itulah yang dilakukan Fulvia. Namun kenyataannya, kpergian Irving

meninggalkan satu

ganjalan di benaknya. Pertanyaan Irving yang terus menggema di telinga membuat

Fulvia berpikir. Apakah

ia benar-benar ingin menjadi seorang biarawati?


Dan ketika melihat kereta keluarga Engelschalf meninggalkan Unsdrell, Fulvia sadar.

Irving telah mengingkari cinta di antara mereka. Irving telah membenci cinta di antara

mereka. Tetapi

Irving telah menyadarinya dan ia telah berusaha memperbaiki kesalahannya.

Sementara itu dirinya? Apakah ia telah memaafkan Irving?

Selama ini Fulvia hanya tahu Irving melakukan semua ini demi Trevor dan Richie. Di

hari kedua

kakak sepupunya itu memperkenalkan Irving, Fulvia sudah menyadari ini adalah

rencana keduanya.

Bagaimana mungkin keduanya tiba-tiba memperkenalkan seorang pria padanya

sementara mereka

selalu berusaha menjauhkan setiap pria yang berusaha mendekatinya?

Bagaimana kedua pria yang senantiasa bertengkar memperebutkan dirinya itu tiba-tiba

membantu

Irving?

Hanya satu alasan di balik semua ini. Mereka membuat Irving membantu rencana

mereka. Mereka

pulalah yang membuat Irving memaksanya memilih seorang di antara mereka.

Fulvia termenung.

Apakah pemikirannya ini benar? Apakah pemahamannya ini tidak salah?

Irving tidak menanti perintah Trevor ketika ia melindunginya dari Lewis.

Irving tidak menerima perintah Richie ketika ia mengantar jemputnya setiap hari.
Irving tidak pernah memberitahu Trevor maupun Richie ketika ia membawanya ke

gunung.

Keduanya pasti telah menahan Irving bila mereka tahu.

Keduanya pasti telah melarang Irving bila mereka tahu ke mana Irving akan

membawanya.

Bukankah gunung adalah tempat yang berbahaya bagi mereka?

Apakah yang telah dilakukannya selama ini? Apakah yang telah ia perbuat?

Tubuh Fulvia jatuh lemas.

Irving berusaha memperbaiki keadaan ini ketika ia menyadari kesalahannya. Irving

berusaha

memulihkan keadaan yang telah dikacaukannya ini.

Dan ia…

Apakah yang telah ia perbuat selama sebulan ini?

Tidak ada! Ia tidak melakukan apa pun!

Ia tidak berusaha membuat Irving menarik kembali kata-katanya seperti Irving berusaha

membatalkan

keputusannya.

Ia tidak berusaha meyakinkan Irving seperti Irving berusaha menyadarkan dirinya.

Ia hanya bisa bersembunyi. Ia hanya bisa menerima keadaan.

Air mata Fulvia jatuh.

Satu-satunya yang telah ia lakukan hanyalah bersembunyi dari kepedihan. Ia telah

mengingkari

kesedihannya dengan memutuskan menjadi biarawati.


Ia telah lari dari kenyataan dengan memilih menjadi seorang biarawati.

Air mata Fulvia jatuh semakin deras. Ia ingin berlari pada Irving. Ia ingin menjatuhkan

diri pada

pelukan pria itu.

Sekarang di sinilah ia berada.

Fulvia mengawasi puluhan penduduk yang memadati taman kota. Ia memperhatikan

lautan manusia

yang mengenakan topeng itu.

Sesuatu meyakinkan Fulvia bahwa Irving ada di antara mereka.

Fulvia percaya ia akan menemukan Irving.

Dengan bulat tekad, Fulvia melangkah ke kerumunan penduduk.

Fulvia terus melangkah di antara para penduduk. Ia memperhatikan mata yang

tersembunyi di balik

topeng-topeng itu. Ia mencari-cari mata biru tua yang hanya bersinar lembut untuknya

itu.

Seseorang menyenggol Fulvia.

Tubuh Fulvia yang tidak siap, langsung limbung.

Seseorang menangkap Fulvia.

“Maaf,” orang yang menyenggol Fulvia berkata.

“Tidak mengapa,” Fulvia tersenyum.

Fulvia membalikkan badan untuk berterima kasih pada orang yang telah menolongnya

itu dan ia

tersekat.
Sepasang mata dingin itu menatapnya lekat-lekat.

Fulvia tidak dapat melihat warna mata itu dalam kegelapan malam tetapi ia merasa

begitu mengenal

tatapan itu. Sesuatu dalam dirinya mengatakan ia merindukan sinar dingin itu.

Musik yang lembut mengalun.

Fulvia melihat sekitarnya.

Setiap orang telah bersiap diri dengan pasangan yang mereka pilih.

Tiba-tiba tubuh Fulvia ditarik.

Fulvia menatap pemilik sepasang mata dingin yang menariknya mendekat itu.

Pria itu tidak berkata apa-apa. Ia tetap membisu ketika meletakkan tangan kirinya di

pinggang Fulvia

dan tangan kanannya menggenggam tangan kanan Fulvia dengan lembut.

Sinar mata dingin itu membius Fulvia dan ia meletakkan tangannya yang bebas di

pundak pria itu.

Fulvia tidak mendengarkan musik yang mengalun di taman kota. Ia tidak mempedulikan

orang-orang

yang berdansa di sekitarnya.

Matanya terpaku pada sepasang mata dingin yang terus menatapnya lekat-lekat itu.

Kakinya melangkah

mengiringi langkah pria itu.

Cara pria itu menatapnya membuat pipi Fulvia terasa panas. Sinar dingin yang

memabukkan sepasang

mata itu membius Fulvia.


Tiba-tiba musik dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita.

Fulvia terkejut. Ia mendekatkan diri pada pria itu.

Fulvia dapat merasakan sepasang tangan hangat pria itu di punggungnya. Dan

jantungnya berdebar

kencang.

“Mari membuka topeng kita!” Fulvia mendengar seseorang berseru.

Fulvia melihat orang-orang mulai membuka topengnya. Fulvia tidak tahu apa yang

harus dilakukannya

dan ia masih kebingungan ketika ia merasa seseorang melepaskan topengnya.

Sesaat kemudian cahaya terang puluhan lilin menerangi tempat itu.

Sinar terang lilin yang menyala tak jauh di depannya menyilaukan mata Fulvia. Fulvia

menunduk untuk

melindungi matanya dari cahaya terang itu.

Sepasang tangan merapikan rambut Fulvia yang tertarik oleh topengnya.

“Aku tahu kau akan datang.”

Fulvia tersekat. Sesaat ia merasa nafasnya terputus. Ia mengangkat kepalanya.

Irving tersenyum lembut.

Kaki Fulvia kehilangan tenaganya.

Irving menahan tubuh gadis itu dalam pelukannya.

“A… aku…,” Fulvia berpegangan pada Irving, “Aku begitu cemas aku salah memilih.”

Irving tersenyum. “Kau tahu pilihanmu tidak salah.”

“Oh, Irving,” bisik Fulvia.


“Kurasa kau butuh tempat yang lebih tenang,” Irving mengangkat Fulvia dan tanpa

mempedulikan

pandangan penuh ingin tahu orang lain, ia membawa Fulvia menjauhi kerumunan.

“Kau merasa lebih baik sekarang?” Irving mendudukkan Fulvia di kursi di salah satu sisi

taman kota

itu.

“Ya…,” Fulvia menunduk malu.

Tiba-tiba saja ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia datang untuk menemui

Irving. Ia datang

untuk memberi jawaban pada Irving dan kini setelah pria itu berada di sisinya, Fulvia

benar-benar tidak

tahu apa yang harus dilakukannya.

“Aku mempunyai sesuatu untukmu,” Irving mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.

Fulvia tertegun melihat kantung itu. Ia tidak mungkin salah mengenali kantung

pemberian Brent untuk

menyimpan uang yang akan digunakannya untuk membeli hadiah ulang tahun

pernikahan orang tuanya itu.

“Kantung itu…”

“Terimalah,” desak Irving.

Fulvia menerimanya dengan ragu-ragu.

Begitu tangan Fulvia menyentuhnya, Fulvia merasakan sesuatu yang padat dan keras.

Fulvia menatap Irving.

“Bukalah,” Irving tersenyum.


Jari-jemari Fulvia membuka simpul kantung itu. Matanya terbelalak melihat isinya.

“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uang itu ketika teringat kau berkata

kau ingin sekali

bermain di pantai,” ujar Irving, “Aku menggunakannya untuk mencari kerang itu.”

Fulvia menatap Irving penuh haru. “Ini… ini…”

Irving tersenyum. “Aku tahu kau pasti akan menyukainya.”

“Ini pasti lebih mahal dari kotak musik itu.”

“Aku tidak memusingkannya.”

“Tapi saya…”

“Aku tahu apa yang akan kaukatakan,” potong Irving, “Aku juga tidak memberikannya

secara cumacuma.”

Fulvia menatap Irving penuh ingin tahu.

“Menikahlah denganku.”

Fulvia terkejut. “Anda… bukankah Anda…?”

“Aku tahu apa yang kuinginkan,”Irvingmenegaskan, “Hanya kau satu-satunya wanita

yang ingin

kunikahi. Kaulah satu-satunya wanita yang kuinginkan mendampingiku. Satu-satunya

wanita dari siapa aku

ingin keturunanku dilahirkan. Aku telah mendapatkanmu dan aku tidak ingin

kehilanganmu lagi. Tidak

untuk selama-lamanya.”

Fulvia tidak dapat mempercayai pendengarannya.

“Dan aku tidak suka ditolak, Fulvia,”Irvingmemperingatkan, “Kau tahu itu.”


“Ya, Irving,” Fulvia melingkarkan tangannya di leher pria itu, “Aku tahu.”

“Kuanggap itu sebagai jawabanmu.”

Fulvia tersenyum gembira. Tidak akan ada yang dapat menyatakan perasaannya kali

ini. Tidak akan

ada yang dapat menggantikan kebahagiannya ini.

Dan ketika Irving memeluknya, Fulvia tahu inilah yang paling diinginkannya.

“Hadiah pertunangan kita,” bisik Irving dan mencium bibir Fulvia.

tamat

Anda mungkin juga menyukai