Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN FAKTOR KETURUNAN DAN LAMA AKTIVITAS

MELIHAT JARAK DEKAT DENGAN MIOPIA PADA MAHASISWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
Sul Fadhilah Hamzah1, Darwis2, Indria Hafizah3
1
Mahasiswa Pendidikan Dokter FK UHO
2
Bagian Mata RSUD Kota Bau-Bau
3
Bagian Imunologi FK UHO
ABSTRAK
Prevalensi miopia dilaporkan mencapai 70-90% di beberapa negara Asia.
Penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir mencapai 25% populasi penduduk
atau sekitar 55 juta jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
faktor keturunan dan lama aktivitas melihat jarak dekat dengan miopia. Desain
penelitian ini adalah studi analitik observasional menggunakan pendekatan case
control. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari-Februari di FK UHO. Sampel
dalam penelitian ini terdiri dari 74 responden yang diambil secara total sampling.
Data yang diperoleh merupakan data primer berdasarkan wawancara kepada
responden. Analisis data menggunakan Chi Square dan Regresi Logistik
Sederhana Biner ( = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara faktor keturunan dengan miopia (p=0,005). Ada hubungan antara lama
aktivitas melihat jarak dekat dengan miopia dilihat dari membaca atau belajar
pelajaran (p=0,012), membaca untuk kesenangan (p=0,000), menonton tv
(p=0,011), menggunakan komputer (p=0,009), berolah raga di luar ruangan
(p=0,023) dan diopterhours (Dh) (p=0,000). Simpulan yang didapatkan adalah
ada hubungan antara faktor keturunan dan lama aktivitas melihat jarak dekat
dengan miopia
Kata kunci: Miopia, Keturunan, Aktivitas Melihat Jarak Dekat
PENDAHULUAN
World Health Organization
(WHO) menyatakan ada 45 juta
orang yang menjadi buta di seluruh
dunia dan 135 juta dengan low
vision.
Gangguan
refraksi
menyebabkan sekitar 8 juta orang
(18% dari penyebab kebutaan global)
mengalami kebutaan. Prevalensi
miopia telah dilaporkan setinggi 7090% di beberapa negara Asia, 3040% di Eropa dan Amerika Serikat
dan 10%-20% di Afrika (Yu, 2011).
Angka kebutaan di Indonesia
menempati urutan ketiga di dunia.

Bahkan
kondisi
kebutaan
di
Indonesia merupakan yang terburuk
di ASEAN (Depkes RI, 1983).
Kelainan
refraksi
(12,9%)
merupakan penyebab low vision/
penglihatan terbatas terbanyak kedua
setelah katarak (61,3%) di Indonesia,
dari seluruh kelompok umur
(disesuaikan dengan populasi sensus
1990) (Saw, 2003). Penelitian pada
mahasiswa kedokteran di National
University
of
Singapore
menunjukkan bahwa prevalensi
kejadian miopia pada mahasiswa
sebesar
89.8%,
hipermetropia

sebesar 1,3%, dan astigmatis sebesar


82,2% (Woo, 2004)
Prevalensi miopia meningkat
dari 7,6% pada anak-anak tanpa
orang tua rabun menjadi 14,9% pada
mereka dengan satu rabun orang tua
dan 43,6% pada mereka dengan dua
orang tua rabun (Jenny, 2007).
Penelitian lain mengungkapkan
bahwa prevalensi miopia sekarang
ini secara dominan karena perbedaan
lingkungan, bukan karena genetik
(McCredie, 2008). Data yang telah
dilaporkan menunjukkan pengaruh
lama aktivitas melihat jarak dekat
belum sepenuhnya dapat dibuktikan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui ada
hubungan antara
faktor keturunan dan lama aktivitas
melihat jarak dekat dengan miopia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah studi
analitik observasional menggunakan
pendekatan case control. Penelitian
ini dilaksanakan pada JanuariFebruari di FK UHO. Sampel dalam
penelitian ini terdiri dari 74
mahasiswa FK UHO angkatan 2011
dan 2012 dengan perbandingan kasus
dan kontrol 1:1, yang diambil
menggunakan metode total sampling
untuk kasus dan simple random
sampling untuk kontrol. Mahasiswa
yang mengalami kelainan refraksi
lain seperti hipermetropia atau
astigmatis dimasukkan dalam kriteria
eksklusi sampel.
Kartu Snellen digunakan untuk
mengukur
ketajaman
visus
mahasiswa dengan standar visus 6/6.
Sedangkan lensa uji digunakan untuk
memastikan
sampel
menderita
miopia dengan lensa sferis minus dan
mengukur besar akomodasi (dioptri).
Data kelainan refraksi orang tua dan

lama melakukan aktivitas melihat


jarak dekat (dalam jam/minggu)
didapatkan dari kuesioner yang
dijawab langsung dan wawancara.
Miopia dalam penelitian ini
adalah mahasiswa yang memiliki
gangguan untuk melihat jauh dengan
visus
di
bawah
6/6
yang
menggunakan lensa sferis negatif
(minus) tanpa kelainan refraksi lain.
Faktor keturunan dilihat dari
mahasiswa yang mempunyai salah
satu atau kedua orang tua yang
menderita miopia.
Lama aktivitas melihat jarak
dekat dinilai dengan menanyakan
pada mahasiswa lamanya waktu di
luar kuliah yang dihabiskan dalam
lima aktivitas, yaitu membaca atau
belajar pelajaran, membaca untuk
kesenangan
(hobi),
menonton
televisi, bermain video game (smart
phone), bekerja dengan komputer,
menggunakan
internet
dan
menghabiskan waktu dengan berolah
raga di luar rumah. Variabel
dioptherhours (Dh) menurut Mutti
(2002) didefinisikan sebagai jumlah
waktu yang dihabiskan dalam
aktivitas melihat jarak dekat dikali
dengan kekuatan akomodasi mata
atau dengan kata lain Dh = 3 x
(waktu yang dihabiskan untuk
belajar+waktu
yang
dihabiskan
dengan membaca untuk kesenangan)
+ 2 x (waktu yang dihabiskan
bermain video game, bekerja dengan
komputer, menggunakan internet) +
1 x (waktu yang digunakan untuk
menonton televisi).
Analisis univariat dilakukan
untuk
melihat
karakteristik
responden. Adanya hubungan faktor
keturunan dengan miopia diuji
menggunakan analisis bivariat chisquare (x2). Analisis regresi logistik

sederhana biner digunakan untuk


melihat adanya hubungan lama
aktivitas melihat jarak dekat dengan
miopia.
HASIL
Penelitian dilakukan terhadap
mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo angkatan 2011
dan angkatan 2012. Sampel dalam

penelitian ini terdiri dari 37 kasus


dan 37 kontrol.
Faktor
keturunan
dinilai
memiliki risiko bila mahasiswa
mempunyai salah satu atau kedua
orang tua yang menderita miopia.
Adapun
distribusi
responden
berdasarkan faktor keturunan dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan faktor keturunan


Kelompok
Faktor keturunan
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
Memiliki risiko
26
70,3
14
37,8
Tidak memiliki risiko
11
29,7
23
62,2
Jumlah
37
100
37
100
Data
yang
diperoleh
menunjukkan bahwa kelompok kasus
lebih banyak memiliki risiko faktor
keturunan yaitu 26 orang (70,3%),
dibandingkan kelompok kontrol yang
hanya 14 orang (37,8%).
Lama aktivitas melihat jarak
dekat dinilai dengan lama waktu
yang dihabiskan dalam membaca
atau belajar pelajaran, membaca

Total
n
40
34
74

%
54,1
45,9
100

untuk kesenangan (hobi), menonton


televisi, bermain video game (smart
phone), bekerja dengan komputer
dan menghabiskan waktu dengan
berolah raga di luar rumah serta
variabel diopterhours (Dh). Adapun
karakteristik sampel berdasarkan
lama aktivitas melihat jarak dekat
dapat dilihat dari tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik sampel berdasarkan lama aktivitas melihat jarak dekat


Kasus
Kontrol
Aktivitas
Min Max Mean SD
Min Max Mean SD
Membaca atau belajar
2
50 18,05 10,00
3
30 12,54 6,23
pelajaran
Membaca untuk
1
42 17,54 9,37
0
28
7,83
6,24
kesenangan (hobi)
Menonton televisi
7
70 26,54 14,92
0
56 17,43 13,07
Bermain video game
(smart phone), bekerja 7 112 39,02 25,50
5
56 24,89 12,54
dengan komputer
Diopterhours (Dh)
132 325 211,37 53,83 41 203 128,35 43,97
Menghabiskan waktu
dengan berolah raga
0
6
2,35 1,53
0
16
4,54
4,89
di luar rumah

Data menunjukkan mahasiswa


yang
menderita
miopia
menghabiskan waktu lebih banyak
dibandingkan mahasiswa yang tidak
miopia untuk membaca atau belajar
pelajaran
(18,05
vs
12,54
jam/minggu),
membaca
untuk
kesenangan (hobi) (17,54 vs 7,83
jam/minggu), menonton televisi
(26,54 vs 17,43 jam/minggu),
menggunakan komputer (39,02 vs
24,89 jam/ minggu), sedangkan
waktu untuk berolah raga di luar

rumah lebih banyak dihabiskan oleh


mahasiswa yang tidak miopia (2,35
vs 4,54 jam/minggu).
Hasil uji Chi Square yang
dilakukan dalam penelitian ini
terhadap faktor keturunan dengan
miopia di dapatkan p value = 0,005
(tabel 3). Secara statistik karena nilai
0,005 < 0,05 menyatakan bahwa ada
hubungan antara faktor keturunan
dengan miopia pada mahasiswa FK
UHO.

Tabel 3. Analisis faktor keturunan dengan miopia


Kelompok
Faktor keturunan
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
Memiliki risiko
26
70,3
14
37,8
Tidak memiliki risiko
11
29,7
23
62,2
Jumlah
37
100
37
100
Hasil
analisis
bivariat
menunjukkan ada hubungan antara
lama aktivitas melihat jarak dekat
dengan miopia. Varian membaca
atau belajar pelajaran dengan miopia
diperoleh p=0,012 dimana 0,012

Total
n
40
34
74

%
54,1
45,9
100

p value
0,005

<0,05 dengan OR (Exp{}) yaitu


1,096
(tabel
4).
Hal
ini
diinterpretasikan
bahwa
lama
membaca atau belajar pelajaran
memiliki
hubungan
signifikan
dengan kejadian miopia.

Tabel 4. Analisis membaca atau belajar pelajaran dengan miopia


p value
R
OR p value
Aktivitas
Min Max Mean SD
model square (Exp ) < 0,05
Kasus
2
50
18,05 10,00
0,004 14,3% 1,096
0,012
Kontrol
3
30
12,54 6,23
Varian
membaca
untuk
kesenangan (hobi) dengan miopia
diperoleh p=0,000 dimana 0,000
<0,05 dengan OR (Exp{}) yaitu
1,184
(tabel
5).
Hal
ini

diinterpretasikan
bahwa
lama
membaca untuk kesenangan (hobi)
memiliki
hubungan
signifikan
dengan kejadian miopia.

Tabel 5. Analisis membaca untuk kesenangan (hobi) dengan miopia


p value
R
OR p value
Aktivitas
Min Max Mean SD
model square (Exp ) < 0,05
Kasus
1
42
17,54 9,37
0,000 38,1% 1,184
0,000
Kontrol
0
28
7,83 6,24

Varian
menonton
televisi
dengan miopia diperoleh p=0,011
dimana 0,011 <0,05 dengan OR
(Exp{}) yaitu 1,050 (tabel 6). Hal

ini diinterpretasikan bahwa lama


menonton
televisi
memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian
miopia.

Tabel 6. Analisis menonton televisi dengan miopia


p value
Aktivitas Min Max Mean
SD
model
Kasus
7
70
26,54 14,92
0,006
Kontrol
0
56
17,43 13,07
Varian bermain video game
(smart phone), bekerja dengan
komputer dengan miopia diperoleh
p=0,009 dimana 0,009 <0,05 dengan
OR (Exp{}) yaitu 1,043 (tabel 7).

R
OR
p value
square (Exp ) < 0,05
13,2%

1,050

0,011

Hal ini diinterpretasikan bahwa lama


bermain video game (smart phone),
bekerja dengan komputer memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian
miopia.

Tabel 7. Analisis bermain video game (smart phone), bekerja dengan komputer
dengan miopia
p value
R
OR
p value
Aktivitas Min Max Mean
SD
model square (Exp ) < 0,05
Kasus
7
112 39,02 25,50
0,002 16,1% 1,043
0,009
Kontrol
5
56
24,89 12,54
Varian diopterhours (Dh)
dengan miopia diperoleh p=0,000
dimana 0,000 <0,05 dengan OR
(Exp{}) yaitu 1,045 (tabel 8). Hal

ini diinterpretasikan bahwa lama


diopterhours
(Dh)
memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian
miopia.

Tabel 8. Analisis diopterhours (Dh) dengan miopia


p value
Aktivitas Min Max Mean
SD
model
Kasus
132 325 211,37 53,83
0,000
Kontrol
41 203 128,35 43,97
Varian berolah raga di luar
rumah dengan miopia diperoleh
p=0,023 dimana 0,023 <0,05 dengan
OR (Exp{}) yaitu 0,825 (tabel 9).

R
OR
p value
square (Exp ) < 0,05
58,9%

1,045

0,000

Hal ini diinterpretasikan bahwa lama


berolah raga di luar rumah memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian
miopia.

Tabel 9.Analisis menghabiskan waktu berolah raga di luar rumah dengan miopia
p value
R
OR
p value
Aktivitas Min Max Mean
SD
model square (Exp ) < 0,05
Kasus
0
6
2,35
1,53
0,008 12,0% 0,825
0,023
Kontrol
0
16
4,54
4,89

PEMBAHASAN
Hasil
yang
didapatkan
menyatakan bahwa ada hubungan
antara faktor keturunan dengan
miopia dengan nilai p value = 0,005.
Mahasiswa yang memiliki salah satu
atau kedua orang tua miopia
kemungkinan mengalami miopia
(70,3%), dibandingkan mahasiswa
yang tidak memiliki keturunan
(29,7%). Dari penelitian lain juga
didapatkan bahwa orang yang
mempunyai polimorfisme gen PAX6
akan mengalami miopia dan 50%
faktor keturunan mempengaruhi
pemanjangan aksis bola mata
(Dirani, 2008).
Hasil
analisis
didapatkan
bahwa ada hubungan yang signifikan
antara membaca atau belajar
pelajaran dengan miopia dengan
p value = 0,012, OR sebesar 1,096.
Konstantopoulos (2008) menyatakan
bahwa seseorang dengan miopia
lebih banyak menghabiskan waktu
untuk membaca (0-10 jam/hari)
dibandingkan dengan seseorang
tanpa miopia hanya 0-4 jam/hari.
Ada hubungan yang signifikan
antara membaca untuk kesenangan
(hobi) dengan miopia dengan p value
= 0,000, OR sebesar 1,184. Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan
Ramadhan
(2010)
menyatakan
bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara membaca untuk
hobi dengan miopia dengan p =
0,023.
Penelitian
lain
juga
menyatakan
seseorang
dengan
miopia lebih banyak menghabiskan
waktu untuk membaca untuk
kesenangan (5,84,8 jam/minggu)
dengan
seseorang
dengan
hipermetropia (3,62,9 jam/minggu).
(Mutti, 2002).

Hasil analisis yang didapatkan


bahwa membaca untuk kesenangan
(hobi) lebih signifikan dibandingkan
dengan membaca atau belajar
pelajaran. Bila dibandingkan dengan
seseorang yang membaca untuk
kesenangan (hobi), mata akan
merespon untuk tidak mencembung
berlebihan sehingga seseorang akan
menghabiskan
waktu
membaca
untuk kesenangan tanpa merasakan
kelelahan otot dalam waktu yang
lama.
Hasil
analisis
didapatkan
bahwa ada hubungan yang signifikan
antara membaca atau belajar
pelajaran dengan miopia dengan p
value = 0,011, OR sebesar 1,050.
Keterkaitan
miopia
dengan
menonton televisi mungkin erat
hubungannya dengan kebiasaan
ketika
masih
kanak
kanak.
Mempunyai televisi sebelum usia 12
tahun selama satu sampai tiga tahun
dan menonton televisi dalam jarak
dekat sangat berhubungan dengan
kejadian miopia di Asia. Orang
dewasa yang lahir di Amerika pada
tahun 1917 dan 1927 (asumsi
eksposur televisi ketika anak-anak
rendah)
mempunyai
prevalensi
miopia pada umur 45 sampai 54
tahun. Namun orang yang lahir tahun
1947 dan 1960 dengan eksposur
televisi lebih lama pada masa anak
anak mengalami miopia pada umur
12 sampai 17 tahun (Mutti, 2002).
Ada hubungan yang signifikan
antara bermain video games (smart
phone), bekerja dengan komputer
dengan miopia dengan p value =
0,009 OR sebesar 1,043. Melihat
layar komputer membuat mata
bekerja lebih keras. Tuntutan visual
yang tinggi dari melihat komputer
membuat banyak orang rentan

terhadap
meningkatnya
gejala
penglihatan.
Selain
itu,
menggunakan
komputer
dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan
kumpulan masalah mata dan
penglihatan yang disebut Computer
Vision Syndrome (CVS). Orang yang
paling beresiko meningkatkan gejala
CVS adalah orang-orang yang
menghabiskan dua jam atau lebih
secara terus menerus di depan
komputer setiap hari (American
Optometric Association, 2011).
Hal yang juga dipertimbangkan
adalah lama pemakaian komputer
dalam tahun. Hasilnya adalah
pengguna berat komputer memiliki
kelainan penglihatan, termasuk di
dalamnya miopia dan glaukoma,
sehingga dapat diketahui penggunaan
komputer yang berat memiliki
hubungan
langsung
dengan
timbulnya miopia dan glaukoma
(Fauzi, 2007).
Hasil
analisis
didapatkan
bahwa ada hubungan yang signifikan
antara menghabiskan waktu berolah
raga di luar ruangan dengan miopia
dengan p value = 0,023 OR sebesar
0,825 (0,825<1) sehingga dapat
dikatakan bahwa mengabiskan waktu
untuk berolah raga di luar rumah
merupakan fakor protektif terhadap
kejadian miopia.
McCredie
(2008)
telah
membandingkan gaya hidup 124
anak dari etnis Cina yang tinggal di
Sidney, dengan 682 anak dari etnis
yang sama di Singapura. Prevalensi
miopia di Singapura ada 29%, dan
hanya 3,3% di Sidney. Padahal,
anak-anak di Sidney membaca lebih
banyak buku tiap minggu dan
melakukan aktivitas dalam jarak
dekat lebih lama daripada anak di
Singapura. Tetapi, anak-anak di

Sidney juga menghabiskan waktu di


luar rumah lebih lama (13,75 jam per
minggu) dibandingkan dengan anakanak di Singapura (3,05 jam per
minggu).
Penelitian yang dilakukan oleh
Dharani (2012) juga menyatakan
waktu yang di habiskan di luar
rumah oleh anak-anak di Singapura
selama 5,44 jam per minggu dan 7,91
jam per minggu, masing-masing,
selama masa sekolah dan liburan
sekolah ( p = 0,004).
Teori menjelaskan bahwa
terjadinya miopia diakibatkan karena
kornea dan lensa sangat cembung
sehingga titik fokus bayangan jatuh
di depan retina. Apabila pandangan
diarahkan ke benda yang dekat, otot
siliaris akan berkontraksi. Hal ini
mengurangi jarak antara tepi badan
siliaris dan melemaskan ligamentum
lensa sehingga lensa mengerut
mengambil bentuk yang lebih
cembung. Proses meningkatnya
kelengkungan lensa ini disebut
akomodasi.
Akomodasi
adalah
proses aktif yang memerlukan kerja
otot sehingga dapat melelahkan
(Ganong, 2008).
Mata yang normal akan
beristirahat pada saat melihat jauh
sedangkan untuk melihat dekat,
diperlukan usaha yang besar dari otot
siliaris dalam mengatur bentuk dari
lensa mata. Hal ini menempatkan
otot siliaris berada dalam keadaan
stress (Thomas, 2006). Terusmenerus berakomodasi, otot siliaris
tidak bertambah besar atau kuat
melainkan
mengalami
spasme
sementara. Ini merupakan adaptasi
mata untuk bekerja dalam jarak
dekat. Bila kita terus-menerus
bekerja dalam jarak dekat, spasme ini
akan bertahan dalam beberapa bulan

atau tahun. Spasme otot siliaris yang


kronik
akan
menginisiasi
pemanjangan dari axis bola mata
(Jackson, 2007).
Hal
yang
menginisiasi
pemanjangan dari axis bola mata
adalah neuromodulator. Pelepasan
neuromodulator akan menyebabkan
perubahan struktur sklera yang
dimodulasi
oleh
pembentukan
proteoglikan. Meningkatnya jumlah
proteoglikan
menyebabkan
penurunan pertumbuhan panjang axis
bola mata. Sebaliknya, menurunnya
jumlah proteoglikan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan panjang
axis bola mata. Akibat dari spasme
otot siliaris, maka tidak diperlukan
lagi akomodasi sewaktu bekerja
dalam jarak dekat sehingga akan
menurunkan
pelepasan
dari
neuromodulator. Hal inilah yang
mengakibatkan pemanjangan dari
axis bola mata.
Bertambah panjangnya axis
bola mata bertujuan agar tidak
diperlukan lagi usaha yang besar
sewaktu bekerja dalam jarak dekat.
Akan tetapi, setelah bola mata
bertambah panjang, mata tidak akan
dapat melihat dengan jelas sewaktu
melihat jauh (Jackson, 2007).
SIMPULAN
Ada hubungan antara faktor
keturunan dan lama aktivitas melihat
jarak dekat dengan miopia pada
mahasiswa
FK UHO
SARAN
Penelitian
lebih
lanjut
diperlukan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi
miopia, dengan membandingkan
hasil pemeriksaan mata pertama

dengan hasil pemeriksaaan mata


kedua.
Perlu dilakukan pencegah agar
miopia tidak menjadi parah dengan
mengubah kebiasaan buruk, misalnya
mengatur jarak baca yang tepat (30
cm), penerangan yang cukup dan
meningkatkan kegiatan - kegiatan di
luar rumah (ruangan) seperti
berolah raga
DAFTAR PUSTAKA
American Optometric Association.
Myopia
(Nearsightedness).
http://www.aoa.org/patientsand-public/eye-and-visionproblems/glossary-of-eye-andvision-conditions/myopia
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Ditjen Binkesmas.
Survei morbiditas mata dan
kebuataan di 8 propinsi. 1983.
Hasil serta laporan pertemuan
kerja upay kesehatan mata dan
pencegahan
kebutaan
di
puskesmas dan rujukannya,
1998; 12-7.
Dharani, R. Lee, CF. Theng ZX et al.
2012.
Comparison
of
Measurements
of
Time
Outdoors and Light Levels as
Risk Factors for Myopia in
Young Singapore Chidren. Eye
(2012) 26, 911-918.
Dirani, M. Chamberlain, M. Shekar
SN et al. 2008. Heritability of
Refractive Error and Ocular
Biometrics:The
Gene
in
Myopia (GEM) Twin Study.
Investigative Ophthalmology
and Visual Science 49(10):
4336-433.
Fauzi, A. 2010. Penyakit Akibat
Kerja Karena Penggunaan
Komputer.
Lampung:
Universitas Lampung.

Ganong, W. 2008. Buku Ajar


Fisiologi Kedokteran Edisi 22.
Jakarta : EGC
Jackson, D.C. 2007. United Model
for Accomodative Mechanism.
American
Journal
of
Ophthalmology 69 no. 6
Jenny, M. Ip. Huynb, Son C. Robaei,
Dana et al. 2007. Ethnic
Differences in the Impact of
Parental Myopia: Findings
from a Population-Based Study
of 12-Year-Old Australian
Children.
Investigative
Ophthalmology and Visual
Science June 2007, Vol 48,
No.6
Konstantopoulos, A. Yadegarfar, G
and Elgohary, M. 2008. Near
Work,
Education,
Family
History and Myopia in Greek
Conscripts. Eye (2008) 22,
542-546.
McCredie, Jane. 2008. Outdoor Time
Could Cut Risk of Childhood
Myopia. Australian doctor
page : 3.
Mutti,
D
O.
Mitchell
L.
Moeschberger ML.
2002.
Parental Myopia, Nearwork,
School
Achivement
and
Childrens Refractive Error.
Investigative Ophthalmology
and Visual Science 43:12.
Ramadhan. 2011. Hubungan antara
Lamanya Aktivitas Melihat
Dekat dan Miopia pada
Mahasiswa Tingkat IV. Jakarta:
FK UPN Veteran
Saw, SM. Husain R. Gazzard GMD
et al. 2003. Causes of Low
Vision and Blindness in Rural
Indonesia. British Journal of
Ophthalmology 87 : 1075-1078
Thomas, J Liesegang. Gregory, L
Sakuta. Louis, B Cantor. 2006.

Basic and Clinical Science


Course Section 3 Clinical
Optics. San Francisco :
American
Academy
of
Ophthalmology
Woo, W W. Lim, K A. Lim, X Y.
2004. Refractive errors in
medical students in Singapore.
Singapore Med J 2004 Vol
45(10) : 471.
World Health Organization (WHO).
2013. Visual Impairment and
Blindness. www.who.int/media
centre/factsheets/fs282/en/
Yu, Lei. Zhi-Kui, Li. Jin-Rong Gao
Jian-Rong Liu dan Chang-Tai
Xu.
2011.
Epidemiology,
Genetics and Treatmens for
Myopia. International Journal
of Ophtalmology; 4(6) : 658669

Anda mungkin juga menyukai