Anda di halaman 1dari 5

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hampir separuh mahasiswa tingkat

satu Fakultas Kedokteran UNS mengalami stres, yang sebagian besar merupakan

stres ringan. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang prevalensi stres pada

mahasiswa kedokteran yang dilakukan oleh Abdulghani et al. (2011), Sherina

(2004) dan Marjani et al. (2008) bahwa mahasiswa kedokteran yang mengalami

stres prevalensinya tinggi, mencakup separuh dari jumlah mahasiswa dan

persentase tertinggi yang terjadi adalah stres ringan. Hal-hal yang dapat

menyebabkan stres ringan antara lain kelelahan saat mengerjakan tugas, takut

tidak lulus ujian atau saat menghadapi ujian, dimarahi oleh dosen, dan homesick.

Stres dapat terjadi karena adanya stresor. Stresor adalah semua stimulus yang

berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respon

fisiologik nonspesifik yang dapat menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis.

Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang berperan dalam

terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya (Sriati, 2007). Sampel yang

digunakan dalam penelitian adalah mahasiswa tingkat satu sehingga kemungkinan

lingkungan yang baru merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya

stres. Mahasiswa harus beradaptasi dengan kehidupan sosial dan sistem

pembelajaran yang baru. Karena mahasiswa dituntut untuk mandiri dan

bertanggung jawab untuk mengatur kehidupannya secara independen terutama

untuk mahasiswa yang berasal dari luar kota.

31
32

Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan

dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun

penampilan individu di dalam lingkungan tersebut (Sunaryo, 2004). Individu yang

sanggup mengatasi stresor artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh,

maka dikatakan individu tersebut tidak mengalami stres (Walgito, 2002). Pada

penelitian ini mahasiswa yang tidak mengalami stres jumlahnya sebanyak 56

responden (52,83%). Hasil tersebut berarti sebagian mahasiswa dapat

menggunakan adaptasi stres yang baik dengan berusaha mempertahankan

keseimbangan dari suatu keadaan walaupun sedang menghadapi ujian ataupun

tugas-tugas akademik lainnya. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan

untuk mengurangi stres saat menghadapi ujian adalah membentuk kelompok

belajar.

Serumen obturans didefinisikan sebagai tersumbatnya liang telinga akibat

penumpukan serumen sehingga pemeriksaan gendang telinga menjadi terhambat.

Gejala yang dirasakan penderita antara lain penurunan pendengaran, rasa nyeri

dan berdenging pada telinga yang dapat mengganggu kenyamanan (Adegbiji et

al., 2014).

Menurut penelitian yang telah dilakukan, penyebab serumen obturans bersifat

multifaktorial. Beberapa faktor yang memengaruhi timbulnya serumen obturans

antara lain adalah kebiasaan membersihkan menggunakan cotton bud atau benda-

benda yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga, diameter canalis acusticus

externus, infeksi pada telinga bagian luar, produksi serumen berlebihan karena

kecemasan, ketakutan, dan stres (Adegbiji et al., 2014).


33

Hasil analisis data kejadian serumen obturans pada mahasiswa tingkat satu FK

UNS ditemukan bahwa subjek penelitian yang mengalami serumen obturans

sebanyak 15 mahasiswa (14,2%) sedangkan yang tidak mengalami serumen

obturans sebanyak 91 responden (85,8%). Menurut Greener et al. (2004) beberapa

studi epidemiologi menunjukkan bahwa dalam kondisi umum antara 2% dan 6%

dari populasi umum menderita serumen obturans. Pada penelitian ini didapatkan

persentase yang cukup tinggi yaitu 14,2%. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh

sebaran usia populasi yang berada pada kelompok usia anak sampai usia muda

pada dekade kedua dimana kejadian serumen obturans banyak terjadi.

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang signifikan antara stres dengan kejadian

serumen obturans pada Mahasiswa FK UNS. Stres dapat meningkatkan risiko

terjadinya serumen obturans. Stres yang banyak terjadi pada mahasiswa dapat

mengaktifkan Hypothalamic-Pituitary Adrenocortical axis (HPA axis) dan sistem

saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan produksi glandula ceruminosa dan

glandula sebacea sehingga produksi serumen meningkat.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maharddhika dan Prasetyo (2010)

mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan serumen obturans, salah

faktor yang diteliti adalah sosial ekonomi. Tingkat sosial ekonomi yang rendah

diyakini memengaruhi pembentukan serumen obsturan karena tingkat stres yang

tinggi didapatkan pada golongan ini, dimana stres memengaruhi pembentukan

serumen obsturan melalui kontrol sistem adrenergik. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat sosial

ekonomi dengan serumen obstruran (p = 0,698). Hal ini mungkin disebabkan oleh
34

ketidaktahuan sampel (siswa kelas V SD) mengenai pendapatan keluarganya. Hal

ini juga dapat disebabkan walaupun tingkat sosial ekonomi keluarga sampel

tergolong rendah, tetapi tidak menimbulkan stres pada sampel yang masih

tergolong anak-anak ini, sehingga tidak memacu sistem adrenergiknya dan tidak

terjadi produksi serumen berlebihan yang menimbulkan serumen obturans.

Namun belum ada penelitian lain yang meneliti tentang pengaruh stres terhadap

terjadinya serumen obturans secara spesifik.

Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya serumen obturans adalah

kebiasaan membersihkan telinga menggunakan cotton bud atau benda-benda yang

dapat menyebabkan infeksi, anatomi telinga yang sempit dan infeksi telinga luar.

Anatomi telinga yang sempit dapat menyebabkan pengeluaran serumen menjadi

terganggu. Infeksi pada telinga luar dapat meningkatkan produksi serumen

(Adegbiji et al., 2014). Pada penelitian ini, faktor-faktor tersebut termasuk dalam

kriteria eksklusi sehingga dapat dikendalikan. Namun kebiasaan membersihkan

telinga tidak dikendalikan dalam penelitian ini.

Pengeluaran serumen dibantu dengan gerakan rahang saat berbicara, mengunyah,

dan menelan (Subha dan Raman, 2006). Oleh karena itu, faktor fisik merupakan

salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya serumen obturans. Faktor-faktor

fisik tersebut merupakan salah satu faktor yang tidak dikendalikan dalam

penelitian ini.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Putranto (2013) mengenai pengaruh

kebiasaan mengunyah terhadap terjadinya serumen obturans, faktor yang paling

dominan berpengaruh terhadap terjadinya serumen obsturan yaitu mengunyah


35

makanan dan faktor kebiasan mengkorek dengan cotton bud. Pasien yang

mengunyah makanan kurang dari 20 (tidak normal) dan jarang mengkorek dengan

cotton bud akan memiliki risiko 3 kali lebih besar terjadinya serumen obsturan

dibadingkan pasien yang mengunyah makanan 20-33 (normal) dan sering

membersihkan telinga.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maharddhika dan Prasetyo (2010), salah

satu faktor yang diteliti perilaku membersihkan telinga menggunakan lidi kapas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara perilaku membersihkan telinga dengan lidi kapas dengan serumen obturans

(p = 0,194).

Upaya maksimal telah dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini. Namun

tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak

kekurangan. Keterbatasan penelitian yang dialami oleh peneliti adalah jumlah

sampel yang diambil tidak cukup banyak dan kurang bervariasi untuk menentukan

kejadian serumen obturans pada orang yang sehat karena hanya dalam satu

populasi. Stres yang diteliti hubungannya dengan kejadian serumen obturans

hanya menggunakan skala nominal sehingga tidak spesifik menentukan tingkat

stres mana yang berpengaruh terhadap kejadian serumen obturans. Beberapa

faktor perancu dalam penelitian tidak dikendalikan.

Anda mungkin juga menyukai