Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam

kehidupan seseorang. Salah satu tanda keremajaan secara biologi yaitu mulainya

remaja mengalami menstruasi yang dimulai antara usia 10-16 tahun. Menstruasi

merupakan hal yang bersifat fisiologis yang terjadi pada setiap perempuan.

Namun pada kenyataannya banyak perempuan yang mengalami masalah

menstruasi, diantaranya dismenore. Dismenore adalah keluhan ginekologis akibat

ketidakseimbangan hormon progesteron dalam darah sehingga mengakibatkan

timbul rasa nyeri. Sekitar 70-90% kasus nyeri haid terjadi saat usia remaja dan

dapat menimbulkan dampak konflik emosional, ketegangan dan kegelisahan (Ni

Made, 2013).

Permasalahan dismenore adalah permasalahan yang sering dikeluhkan saat

perempuan datang ke dokter atau tenaga kesehatan yang berkaitan dengan haid.

Masalah dismenore ini mencegah wanita untuk beraktivitas secara normal atau

menghambat aktivitas biasanya (Charles, 2010 dalam Yunitasari, 2017).

Dismenore juga dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, seperti gangguan

tidur, dan belajar. Menurut penelitian Amar (2016) dismenore dapat menyebabkan

menurunnya kemampuan responden dalam melakukan aktifitas normal sehari-

hari, terganggunya jam sekolah, jam kuliah, maupun jam kerja. Dismenore sangat

berdampak pada remaja usia sekolah dimana dia yang mengalami dismenore

maka aktivitas sekolah akan terganggu dan membuat mereka tidak masuk sekolah,

mempengaruhi kualitas hidup remaja dan dapat mengganggu konsentrasi belajar

1
2

dan motivasi belajar mereka menurun (Ningsih, 2011). Oleh karena itu, dismenore

harus segera ditangani agar tidak berdampak negatif dan menimbulkan komplikasi

(Anurogo,2011).

Prevalensi data remaja putri menurut WHO (2016), di seluruh dunia

mengalami masalah saat menstruasi sebanyak 90% dan lebih dari 50% dari wanita

menstruasi mengalami dismenore primer dengan 10-20% dari mereka mengalami

gejala yang cukup parah. Berdasarkan info sehat tahun 2016 penderita dismenore

di Indonesia sebesar 107.673 (64,25%), yang terdiri dari 59.671 jiwa (54,89%)

mengalami dismenore primer dan 9.496 jiwa (9,36%) mengalami dismenore

sekunder (Info sehat, 2016). Data di BPS Jawa Timur tahun 2016 jumlah remaja

putri yang berusia reproduktif (10-24 tahun) adalah sebesar 56.598 jiwa,

sedangkan yang mengalami dismenore dan datang kebagian kebidanan sebesar

11.565 (20,43%) jiwa (BPS Provinsi Jawa Timur, 2016). Di Surabaya di dapatkan

1,07 %-1,31 % dari jumlah penderita dismenore datang kebagian kebidanan

(Ernawati, 2010). Hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara kepada 20

remaja di Pondok Pesantren Putri Qomaruddin Bungah Gresik didapatkan hasil 16

(80%) orang pernah mengalami dismenore dimana 6 (30%) orang mengalami

dismenore derajat I, dan 10 (50%) orang mengalami dismenore derajat II serta 4

(20%) lainnya tidak pernah mengalami dismenore, sedangakan dilihat dari tingkat

stres hampir 85% mengalami stres ringan dan 15% lainnya normal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pundanti, dkk (2016) didapatkan

hasil bahwa faktor paling dominan yang berhubungan dengan kejadian dismenore

adalah stress yaitu sebesar 50,6%.


3

Faktor-faktor penyebab dismenore primer: faktor kejiwaan (psikis),

konstitusi (anemia, penyakit menahun), obstruksi kanalis servikalis, endokrin,

alergi, pengetahuan, aktifitas dan status gizi. Sedangkan faktor-faktor penyebab

dismenore sekunder: penyebab intrauterin (adinomiosis, mioma, polip

indometrium, IUD, infeksi dan penyakit jinak pada vagina dan serviks), penyebab

ekstrauterin (endometriosis, tumor, inflamasi, adesi, dan sindrom kongestif pelvis)

(Smith, 2003, Simanjuntak (2008) dalam Khoiroti, 2016). Pada usia 17-24 tahun

sering terjadi dismenore, karena pada usia tersebut terjadi optimalisasi fungsi dari

saraf rahim sehingga sekresi prostaglandin meningkat dan menimbulkan rasa

nyeri (Aryani, 2014 dalam Naumi 2017). Rasa sakit yang timbul saat dismenore

diakibatkan oleh kontraksi yang berlebihan dari otot-otot rahim. Hal tersebut akan

bertambah parah karena pada remaja terjadi perubahan fisik yang cepat,

perkembangan psikologis yang belum matang, dan tuntutan untuk berprestasi di

sekolah, menyebabkan remaja mudah mengalami stres (Winarni 2015).

Kondisi psikis yang tidak stabil, seperti stres, depresi, cemas berlebihan,

dan keadaan sedih atau gembira yang berlebihan. (Naumi, 2017). Stress

merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dalam beradaptasi

terhadap tekanan internal maupun eksternal (Sari et al., 2015). Seseorang yang

mengalami stres, biasanya disertai respon neuroendokrin sehingga menyebabkan

Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) yang merupakan regulator hipotalamus

utama menstimulasi sekresi Adreno Corticotrophic Hormone (ACTH). ACTH

akan meningkatkan sekresi kortisol adrenal. Hormon-hormon tersebut

menyebabkan sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing

Hormone (LH) terhambat sehingga perkembangan folikel terganggu.


4

Ketidakseimbangan antara PGF2α dan E2 dengan Prostasiklin (PGI2)

menyebabkan peningkatan aktivasi PGF2α. Peningkatan produksi prostaglandin

dan pelepasannya dapat mengakibatkan ischemia pada sel-sel miometrium dan

menyebabkan kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi dan tidak teratur sehingga

timbul nyeri, peningkatan kontraksi yang berlebihan menyebabkan tingkat

dismenorea meningkat (Reeder dkk, S. 2012).

Bagi remaja yang mengalami dismenore penatalaksaan dari segi kondisi

psikis (stres) dapat dilakukan dengan cara melakukan teknik relaksasi atau para

remaja dapat menerapkan pencegahan dismenore dengan cara mengurangi

penyebab timbulnya stres seperti, berfikir positif, tidur, tertawa, olahraga,

meditasi, mendengarkan musik, banyak bersyukur, melakukan mekanisme koping

dan memijat diseluruh tubuh untuk membantu melepaskan rasa sakit dari

ketegangan stres (Santi L, dkk 2019 ).

B. Batasan Masalah

Faktor-faktor dismenore primer: faktor kejiwaan/psikis (stres), konstitusi

(anemia, penyakit menahun), obstruksi kanalis servikalis, endokrin, alergi,

pengetahuan, aktifitas dan status gizi. Sedangkan faktor-faktor dismenore

sekunder: penyebab intrauterin (adinomiosis, mioma, polip indometrium, IUD,

infeksi dan penyakit jinak pada vagina dan serviks), penyebab ekstrauterin

(endometriosis, tumor, inflamasi, adesi, dan sindrom kongestif pelvis) (Smith,

2003, Simanjuntak (2008) dalam Khoiroti, 2016).

Dari identifikasi masalah di atas diperoleh gambaran dimensi

permasalahan yang luas. Namun penulis perlu membatasi masalah secara jelas dan

terfokus. Batasan masalah pada penelitian ini hanya mencakup tentang hubungan
5

stres dengan kejadian dismenore pada remaja di Pondok Pesantren Putri

Qomaruddin Bungah Gresik.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan diatas maka

dapat ditarik rumusan masalah “Apakah ada hubungan stres dengan kejadian

dismenore pada remaja di Pondok Pesantren Putri Qomaruddin Bungah Gresik?”

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan stres dengan kejadian dismenore pada remaja di

Pondok Pesantren Putri Qomaruddin Bungah Gresik.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi stres pada remaja di Pondok Pesantren Putri Qomaruddin

Bungah Gresik.

b. Mengidentifikasi kejadian dismenore pada remaja di Pondok Pesantren Putri

Qomaruddin Bungah Gresik.

c. Menganalisis hubungan stres terhadap kejadian dismenore pada remaja di

Pondok Pesantren Putri Qomaruddin Bungah Gresik.

E. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Diharapkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat memberikan

informasi baru sebagai bahan perbandingan serta referensi bagi perkembangan

ilmu keperawatan berkaitan dengan stres terhadap kejadian dismenore pada

remaja di Pondok Pesantren Putri Qomaruddin Bungah Gresik.


6

2. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan

remaja di Pondok Pesantren Putri Qomaruddin dengan meminimalisir angka

kejadian dismenore terutama yang disebabkan karena stres.

Anda mungkin juga menyukai