Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS FISIK DAN POLA MAKAN

DENGAN KEJADIAN DISMENORE PADA REMAJA PUTRI

DI DESA RANDEGAN KEC.WANGON KAB.BANYUMAS

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :

SINDY FAJRINA

NIM : 108117070

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) AL-IRSYAD

AL-ISLAMIYYAH CILACAP

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dismenore merupakan nyeri sebelum atau selama menstruasi,

Dismenore merupakan salah satu masalah ginekologik yang paling umum

terjadi pada remaja putri (Lowdermilk, Perry, & Cashion, 2010). Menurut

(Dewi, 2012) Dismenore adalah nyeri yang dirasakan dengan gejala kompleks

berupa kram bagian bawah yang menjalar ke punggung atau ke kaki.

Dismenore juga merupakan suatu gejala rasa sakit atau rasa tidak enak pada

bagian bawah perut (Nugroho & Utama, 2014). Menurut (Marlinda, 2013)

Dismenore adalah gangguan fisik pada wanita yang sedang menstruasi berupa

gangguan nyeri atau kram perut. Kram tersebut terutama dirasakan di daerah

perut bagian bawah menjalar ke punggung atau permukaan dalam paha.

Puncak insiden dismenore primer terjadi pada akhir masa remaja dan

di awal usia 20-an, insiden dismenore pada remaja dilaporkan sekitar 92%.

Insiden ini menurun seiring dengan bertambahnya usia dan meningkatnya

kelahiran (Anurogo & Ari, 2011). Setiap remaja memiliki pengalaman

menstruasi yang berbeda-beda. Sebagian remaja mendapatkan menstruasi

tanpa keluhan, namun tidak sedikit yang mendapatkan menstruasi disertai


keluhan sehingga mengakibatkan rasa ketidaknyamanan yang disebut

dismenore (Madhubala dan Jyoti, 2012).

Dismenore dibedakan menjadi dismenore primer dan dismenore

sekunder. Dismenore primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa ada

kelainan, sedangkan dismenore sekunder disebabkan oleh kelainan ginekologi

(Prawirohardjo, 2011). Menurut Judha, Sudarti, & Fauziah (2014) dismenore

terbagi dua, dimana dismenore primer dan sekunder. Dismenore primer

berhubungan dengan siklus ovulasi yang timbul setelah beberapa bulan

sampai beberapa tahun setelah menarche, sedangkan disminore sekunder

terjadi akibat keadaan patologis pelvik yang spesifik. Sebanyak 50% wanita

yang mengalami disminore primer tanpa adanya masalah patologis pelvis,

10% wanita merasakan nyeri yang hebat selama menstruasi sehingga

membuat mereka tidak dapat beraktivitas harian mereka hal ini dirasakan satu

sampai dengan tiga hari dalam tiap bulannya. Dismenore primer dimulai sejak

enam bulan sampai dua tahun setelah haid pertama pada wanita. Rasa nyeri ini

terus meningkat di usia 25 tahun dan akan menurun setelah usia 30 sampai

dengan 35 tahun.

Menurut (Hillard, 2006) menjelasnkan bahwa penyebab dismenore

primer yaitu PGF2-alfa (Prostaglandin F2 alfa) dan PGE-2 (Prostaglandin E2).

Peningkatan level PGF2-alfa dan PGE-2 akan meningkatkan rasa nyeri pada

dismenorea primer. Penyebab yang saat ini dipakai untuk menjelaskan


dismenorea primer, yaitu: menurut (Simanjuntak, 2008) faktor kejiwaan,

faktor konstitusi, faktor obstruksi kanalis servikalis, faktor endokrin, faktor

alergi, pengetahuan, aktivitas, status gizi. Menurut penelitian (Ta Larasati &

Farida, 2016) menjelaskan bahwa penyebab dismenore primer terjadi karena

peningkatan prostaglandin (PG) F2-alfa yang merupakan suatu

siklooksigenase (COX-2) yang mengakibatkan hipertonus dan vasokontriksi

pada miometrium sehingga terjadi iskemia dan nyeri pada bagian bawah

perut. Adanya kontraksi yang kuat dan lama pada dinding rahim, hormone

prostaglandin yang tinggi dan pelebaran dinding rahim saat mengeluarkan

darah haid sehingga terjadilah nyeri saat haid. Menurut (Kazamaet al., 2015)

menyebutkan bahwa penyebab dismenore primer yang dapat meningkatkan

angka kejadien dismenore primer yaitu karena pola makan yang buruk, waktu

tidur kurang dari 6 jam, dan aktivitas fisik yang rendah.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Ta Larasati & Farida, 2016)

menjelaskan bahwa gejala dismenore primer yang banyak dialami oleh remaja

adalah kekakuan atau kejang dibagian bawah perut. Rasanya sangat tidak

nyaman sehingga menyebabkan mudah marah, mudah tersinggung, mual

muntah, kenaikan berat badan, perut kembung, punggung terasa nyeri, sakit

kepala, timbul jerawat, tegang, lesu, dan depresi. Gejala ini datang sehari

sebelum haid dan berlangsung dua hari sampai berakhirnya masa haid.

Menurut (Madianung & Masi 2013) menjelaskan bahwa gejala dismenore


primer yang dirasakan sangat khas yaitu muncul keluhan nyeri perut atau

kram perut yang dapat menjalar ke pinggang disertai rasa letih, rasa mual,

muntah, sakit kepala, diare dan sebagainya.

Prevalensi dismenore primer pada beberapa riset diberbagai negara

menunjukkan frekuensi yang tinggi, World Health Organization (WHO)

mencatat rata-rata kejadian 16,8 hingga 81% pada wanita muda. Menurut

Harunriyanto (2012) kejadian dismenore di Indonesia pada tahun 2015

sebesar 64,25% terdiri dari 54,89% dismenore primer. Pada tahun 2016 di

Indonesia tercatat angka kejadian dismenore sebesar 64,25 % yang terdiri dari

54,89% dismenore primer. Berdasarkan hasil penelitian (Mahmudiono,2011)

angka kejadian dismenore primer pada remaja wanita yang berusia 14 –19

tahun di Indonesia sekitar 54,89%.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah remaja putri di Jawa

Tengah berusia 15-19 tahun berjumlah ± 1,3 juta jiwa, (Badan Pusat Statistik

Jawa Tengah, 2010). Lebih dari 50% wanita yang menstruasi mengalami

dismenore primer. Dismenore primer mempengaruhi 50–80% wanita muda

ditingkat yang berbeda dan penyebab hilangnya hari kerja, tidak hadir

disekolah, kenaikan kecelakaan dan penurunan produktivitas (Harel 2006;

Taskin 2012). Hasil penelitian di empat SLTP di Jakarta menunjukkan bahwa

76,6 % siswa tidak masuk sekolah disebabkan oleh dismenore primer

(Henderson & Kathleen, 2018).


Menurut Bernardi, M. (2017) dismenore primer dapat mengakibatkan

aktivitas terganggu, kinerja dan prestasi akademik lebih rendah, mengganggu

kualitas tidur, berdampak negatif pada mood, serta menyebabkan kegelisahan

dan depresi. Kejadian dismenore primer dapat mempengaruhi kualitas hidup,

produktivitas dan pamanfaatan layanan kesehatan selama masa reproduksi

wanita. Kejadian dismenore primer juga mengganggu aktivitas sehari-hari

sebagian remaja karena nyeri yang dirasakan (Sakinah, 2016). Menurut (Ta

Larasati & Fridah, 2016) menjelaskan bahwa berbagai faktor risiko dismenore

primer telah diidentifikasi dalam berbagai literature dengan hasil prevalensi

yang sangat beragam. Faktor risiko ini berhubungan dengan meningkatnya

tingkat kejadian dismenore primer. faktor risiko tersebut antara lain, menarke

usia dini, riwayat keluarga dengan keluhan dismenore, indeks masa tubuh

yang tidak normal, kebiasaan makan makanan cepat saji, durasi perdarahan

saat haid, terpapar asap rokok, konsumsi kopi, dan alexythimia.

Latthe et al (2006) menyebutkan beberapa faktor resiko terjadinya

dismenore primer, antara lain yaitu riwayat keluarga, usia menarche dini (<12

tahun), siklus menstruasi yang lebih panjang, Indeks Massa Tubuh (IMT)

rendah, status sosial ekonomi dan gaya hidup yang tidak sehat (diet, stres dan

merokok). Menurut Paramastri (2016) terdapat beberapa faktor risiko yang

dapat menyebabkan terjadinya dismenore primer, diantaranya yaitu : usia

menarche dini, lama menstruasi, adanya riwayat keluarga, status gizi, dan pola

makan serta aktivitas fisik juga mempengaruhi tingkat nyeri.


Menurut penelitian Linda Ratna (2017) kurangnya aktivitas fisik

menjadi salah satu faktor resiko dari beratnya derajat nyeri dismenore primer.

Saat ini banyak remaja yang dimudahkan oleh teknologi dalam memenuhi

kebutuhannya sehari-hari. Aktivitas fisik yang cukup diperlukan untuk

mengurangi sekresi hormone prostaglandin. Menurut penelitian (Novalia

Clara,2018) aktivitas fisik dikaitkan dengan nyeri menstruasi. Saat melakukan

olahraga tubuh akan menghasilkan endorphin. Saat produksi endorphin

menurun mengakibatkan peningkatan stress yang menyebabkan dismenore

primer. Selain itu aktivitas fisik mempengaruhi sirkulasi darah ke uterus yang

dapat menyebabkan kontraksi penyebab dismenore primer. Tjokronegoro

(2004) dalam Septyanti (2012) menjelaskan bahwa kejadian dismenore primer

akan meningkat dengan kurangnya aktivitas fisik, sehingga ketika terjadi

dismenore oksigen tidak dapat tersalurkan ke pembuluh-pembuluh darah di

organ reproduksi yang saat ini terjadi vasokontriksi sehingga menyebabkan

timbulnya rasa nyeri tetapi bila seseorang teratur melakukan aktivitas, maka

dia dapat menyediakan oksigen hampir 2 kali lipat per menit sehingga oksigen

tersampaikan ke pembuluh darah yang mengalami vasokontriksi.

Menurut (Avrilli, 2013) menjelaskan bahwa aktifitas fisik merupakan

faktor risiko yang inkonsisten. Remaja yang sering melakukan aktivitas fisik

seperti olahraga menurunkan risiko terjadinya dismenore karena terjadi

pengeluaran hormone endorphin yang dapat mengurangi nyeri. Keluhan

dismenore primer akan meningkat, seiring dengan kurangnya aktivitas fisik.


Aktivitas fisik yang kurang, berisiko menghambat sirkulasi darah dan suplai

oksigen pada uretus dan menyebabkan nyeri. Sebaliknya, aktivitas fisik yang

teratur seperti olahraga, dapat menurunkan rangsangan simpatis, yang

kemudian mengurangi intensitas dismenoredan gejala lain. Mekanisme lain

adalah aktivitas fisik akan memicu sekresi endorfin yang akan meningkatkan

ambang batas nyeri sehingga menurunkan sensitivitas terhadap nyeri (Lestari,

2018). Menurut (DR Lestari, 2018) kurangnya aktivitas fisik akan

menurunkan distribusi oksigen dalam sirkulasi sistemik, sehingga

meningkatkan persepi seseorang terhadap nyeri, termasuk dismenore primer.

Selain aktivitas fisik menurut (Kusmiran, 2011) status gizi merupakan

salah satu faktor resiko terjadinya dismenore primer, status gizi yang rendah

(underweight) dapat diakibatkan karena asupan makanan yang kurang,

sedangkan status gizi lebih (overweight) dapat juga mengakibatkan dismenore

karena terdapat jaringan lemak yang berlebihan yang dapat mengakibatkan

hiperplasi pembuluh darah atau terdesaknya pembuluh darah oleh jaringan

lemak pada organ reproduksi wanita, sehingga darah yang seharusnya

mengalir pada proses menstruasi terganggu dan mengakibatkan nyeri pada

saat menstruasi. Status gizi yang kurang baik juga disebabkan karena faktor

risiko pola makan yang kurang baik. Menurut (Sayogo, 2006:43) menjelaskan

bahwa dengan meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial, dan kesibukan pada

remaja akan mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Remaja dengan


aktivitas sosial tinggi sangat dipengaruhi oleh kelompok pergaulan atau teman

sebayanya, misalnya sering makan bersama di rumah makan ataupun di

restoran siap saji atau fastfood atau lebih suka makan makanan yang kurang

bergizi seperti cokelat, goreng-gorengan, permen, dan es. Umumnya makanan

siap saji mengandung kadar lemak maupun berkalori sangat tinggi. Pola

konsumsi makanan sering tidak teratur, sering jajan, sering tidak sarapan pagi

dan sama sekali tidak makan siang padahal mereka setiap bulannya

mengalami menstruasi.

Menurut Singh et al. dalam penelitiannya, dari total wanita yang

mengisi kuisioner didapatkan 79,43% memiliki kebiasaan pola makan dengan

makanan cepat saji (Junk Food) dan didapatkan 16,82% diantaranya

menderita dismenore primer. kandungan asam lemak yang terdapat di dalam

makanan cepat saji dapat mengganggu metabolisme progesterone pada fase

luteal dari siklus menstruasi. Akibatnya terjadi peningkatan kadar

prostaglandin yang akan menyebabkan rasa nyeri pada saat dismenore primer.

Menurut ( Paath et al, 2005:70) menjelaskan bahwa pola makan yang kurang

baik akan menyebabkan gizi kurang dan akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan, juga akan menyebabkan terganggunya fungsi reproduksi, hal ini

akan berdampak pada gangguan menstruasi, tetapi akan membaik bila pola

makan dan asupan nutrisinya baik. Kekurangan vitamin B6, vitamin E,

vitamin C, magnesium, zat besi, seng, mangan, asam lemak, linoleat


menyebabkan semakin beratnya gejala sindrom premenstruasi dan juga

memperburuk timbulnya nyeri haid atau dismenorea primer. Salah satu cara

agar menstruasi tidak menimbulkan keluhan-keluhan, sebaiknya remaja putri

memperbaiki pola makan dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi

seimbang. Wanita memerlukan gizi seimbang karena dibutuhkan pada saat

menstruasi, terbukti pada saat menstruasi terutama pada fase luteal akan

terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi, apabila hal ini diabaikan maka

dampaknya akan terjadi keluhan-keluhan yang menimbulkan rasa

ketidaknyamanan saat siklus menstruasi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Azani, 2019) menjelaskan

bahwa Pola konsumsi makanan remaja sering tidak teratur, para remaja

memiliki kecenderungan enggan untuk makan di rumah, remaja putri

cenderung lebih suka untuk makan di luar dan jenis makanan yang sering di

makan berupa makanan siap saji atau fast food, dimana pada umumnya

makanan tersebut mengandung tinggi lemak dan kalori sehingga apabila

dikonsumsi setiap hari dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kegemukan.

Menurut (Mitayani & Sartik, 2010) menjelaskan bahwa remaja putri perlu

mempertahankan pola makan agar status gizinya baik, dengan cara

mengkonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang karena sangat dibutuhkan

pada saat haid. Secara fisiologis remaja yang mengalami haid akan mengeluh

rasa nyeri, kurang nyaman, dan perutnya terasa begah. Tetapi tidak semua
remaja mengalami keluhan tersebut dikarenakan hal ini dipengaruhi oleh

nutrisi yang adekuat yang biasa dikonsumsi dan juga dengan olahraga yang

teratur. Menurut (Widagdo, 2017) menyebutkan ada beberapa zat gizi yang

mempunyai keterkaitan dengan kejadian dismenore primer seperti kalsium,

magnesium, dan vitamin E.

Studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan cara wawancara oleh

peneliti pada Februari 2021 di Desa Randegan Kecamatan wangon dari hasil

wawancara yang dilakukan pada 15 remaja putri didapatkan data 3 remaja

tidak mengalami dismenore, 3 remaja kadang-kadang mengalami dismenore,

dan 9 remaja mengalami dismenore.

Berdasarkan data tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti tentang

hubungan antara aktivitas fisik, dan pola makan dengan kejadian dismenore

primer pada Remaja putri di Desa Randegan Kecamatan Wangon Kabupaten

Banyumas.

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan aktivitas fisik dan pola makan dengan kejadian

dismenorea pada remaja putri di Desa Randegan Kecamatan Wangon

Kabupaten Banyumas
2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat aktivitas fisik yang dilakukan oleh remaja putri di

Desa Randegan

b. Mengetahui pola makan pada remaja putri di Desa Randegan

c. Mengetahui kejadian dismenore pada remaja putri di Desa Randegan

d. Mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan dismenore pada

remaja putri di Desa Randegan

e. Mengetahui hubungan antara pola makan dengan dismenore pada

remaja putri di Desa Randegan

C. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dan pola makan dengan kejadian

dismenore pada remaja putri di Desa Randegan

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi,

informasi serta dapat menambah kepustakaan di Stikes Al-Irsyad

Cilacap

b. Hasil penelitian dapat menjadi rujukan bagi Remaja Putri Desa

Randegan dan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan

dismenorea maupun aktivitas fisik dan pola makan.


2. Manfaat Praktis

a. Bagi remaja putri

Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang Hubungan

antara Aktivitas Fisik dan Pola Makan dengan kejadian Dismenore.

b. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang

Hubungan antara Aktivitas Fisik dan Pola Makan dengan kejadian

Dismenore pada remaja putri.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian tentang hubungan antara aktifitas fisik dan pola makan dengan

kejadian dismenore sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan adalah:

1. Penelitian dari Anis Aprilia (2017) yang berjudul “Hubungan Tingkat

Stres, Pola Makan, Aktivitas Fisik dengan Ketidakteraturan Siklus

Menstruasi pada Remaja Putri Kelas XII di SMA Negeri 5 Kota

Samarinda 2017”

Tujuan : mengetahui hubungan tingkat stress, pola makan, aktivitas fisik

dengan ketidakteraturan siklus menstruasi pada remaja putrid kelas XII di

SMA Negeri 5 Samarinda Tahun 2017


Variable : variable bebas pada penelitian ini adalah tingkat stress, pola

makan, dan aktivitas fisik. Sedangkan variable terikat pada penelitian ini

adalah ketidakteraturan siklus menstruasi

Metode : penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional. Teknik

pengambilan sampel menggunakan Propotional random sampling. Teknik

analisa data menggunakan analisis bivariat dengan uci chi square.

Penelitian ini menggunakan uji validitas kontruk (contruct validity)

dimana uji validitas ini menggunakan pendapat ahli.

Kesimpulan : tidak terdapat hubungan antara tingkat stress, pola makan,

aktivitas fisik dengan ketidakteraturan siklus menstruasi pada remaja

putrid kelas XII di SMA Negeri 5 Samarinda. Dengan tingkat stress

dengan ketidakteraturan siklus menstruasi P = 1.000 > 0,05, pola makan

dengan ketidakteraturan siklus menstruasi P = 0.76 > 0,05 , aktivitas fisik

dengan ketidakteraturan siklus menstruasi P = 0.202 > 0,05

Persamaan: persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada salah satu variabel bebasnya yaitu aktivitas fisik

dan pola makan dan metode penelitiannya sama-sama menggunakan uji

chi square.

Perbedaan: perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada variabelnya. Pada penelitian Anis Aprilia (2017),

variabel terikatnya yaituketidakteraturan siklus menstruasi. Sedangkan


pada penelitian yang akan peneliti lakukan, variabel terikatnya yaitu

kejadian dismenore. Responden dan tempat penelitian pada penelitian

Anis Aprilia adalah remaja putri kelas XII di SMA Negeri 5 Samarinda,

sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan respondenya adalah

Remaja putrid di Desa randegan Kecamatan Wangon Kabupaten

Banyumas.

2. Penelitian dari Syarifah & Faturohman (2019), yang berjudul “ Asupan

Kalsium dan Magnesium serta Aktivitas Fisik Berhubungan dengan

Dismenore pada Remaja “

Tujuan : tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan

kalsium, magnesium dan aktivitas fisik dengan dismenore pada siswi di

SMK Negeri 1 Martapura.

Variable : variable bebas pada penelitian ini adalah asupan kalsium,

magnesium, dan aktivitas fisik. Sedangkan variable terikat pada penelitian

ini adalah dismenore.

Metode : jenis penelitian ini adalah observasional analitik, dengan teknik

random sampling secara proposional. Analisis bivariat menggunakan uji

korelasi Rank Spearman.

Kesimpulan : dari hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara

asupan kalsium dan magnesium dengan dismenore P = 0,001 ,dan ada

hubungan aktivitas fisik dengan dismenore pada siswi SMK Negeri 1

Martapura P = 0,001.
Persamaan : persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada variable bebasnya yaitu aktivitas fisik dan variable

terikatnya yaitu dismenore.

Perbedaan : perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian yang akan

dilakukan yaitu ada penambahan variable bebas pada penelitian yang akan

dilakukan yaitu Pola Makan.

3. Penelitian dari Uut Marlina (2018), yang berjudul “ Hubungan Pola

Makan dan Obesitas Terhadap Kejadian Gangguan Menstruasi pada

Mahasiswa Reguler Tingkat Akhir Kebidanan Program Sarjana Terapan di

Universitas Aisyiyah Yogyakarta “

Tujuan : tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola

makan dan obesitas terhadap kejadian gangguan menstruasi pada

mahasiswa regular tingkat akhir Kebidanan Program Sarjana Terapan di

Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Variable : variable bebas pada penelitian ini adalah pola makan dan

obesitas. Sedangkan variable terikat pada penelitian ini adalah kejadian

gangguan menstruasi.

Metode : penelitian ini menggunakan metode korelasional dan rancangan

cross sectional dengan teknik sample random sampling. Dengan analisis

hubungan menggunakan uji chi square.

Kesimpulan : hasil dari penelitian ini adalah didapatkan nilai koefisien

korelasi 0,373 dengan P value 0,028 < 0,05 pada pola makan sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola makan terhadap

kejadian gangguan menstruasi. Nilai koefisien korelasi 0,196 dengan P

value 0,549 > 0,05 pada obesitas sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara obesitas dengan kejadian gangguan menstruasi.

Persamaan : persamaan pada penelitian ini dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada salah satu variable nya yaitu pola makan. Dan

sama-sama menggunakan uji chi square.

Perbedaan : perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada variable terikatnya yaitu kejadian gangguan

menstruasi sedangkan untuk penelitian yang akan dilakukan yaitu kejadian

dismenore. Dan pada variable bebasnya peneliti menambahkan variable

yaitu aktivitas fisik. Dan responden pada penelitian ini adalah mahasiswa

regular tingkat akhir kebidanan program sarjana terapan di Universitas

Aisyiyah Yogyakarta, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan

yaitu pada Remaja putrid di Desa Randegan Kecamatan Wangon

Kabupaten Banyumas.

Anda mungkin juga menyukai