Oleh :
Melati Della Riskyani
131911133029
Sumber : Farah A. Coffee : Emerging Health Effects and Disease Prevention. 1st ed. Blackweel
Publishing Ltd.; 2012
2.3.4 Efek Samping Konsumsi Kopi
1. Menimbulkan gangguan tidur. Banyak orang yang sengaja minum kopi setiap
hari untuk menghilangkan rasa kantuk.
2. Memicu rasa cemas.
3. Menimbulkan ketergantungan kafein.
4. Menyebabkan berbagai masalah pencernaan.
5. Meningkatkan tekanan darah.
6. Membuat gigi kuning dan rentan berlubang.
7. Sering buang air kecil.
8. Merusak otot.
2.3.5 Konsumsi Kopi
Indonesia di urutan kelima dengan konsumsi kopi sebanyak 5 juta kantong
berukuran 60 kg. Adapun konsumsi kopi di Rusia sebanyak 4,7 juta kantong
berukuran 60 kg. Menurut penelitian HonestDocs (2018) Secara Demografi, 23%
remaja berusia 12-17 mengakui gemar mengonsumsi kopi.
Kafein pada kopi diketahui memiliki manfaat apabila dikonsumsi oleh manusia
dan juga memiliki dampak buruk bagi tubuh jika dikonsumsi pada saat kondisi tubuh
tertentu serta dalam kadar jumlah kafein yang cukup tinggi. Konsumsi kafein berguna
untuk meningkatkan kewaspadaan, menghilangkan kantuk dan menaikkan mood. Kafein
juga membantu kinerja fisik dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan
kontraksi otot (Ennis, 2014). Konsumsi kafein berlebih dapat menyebabkan warna gigi
berubah, bau mulut, meningkatkan stress dan tekanan darah jika banyak mengonsumsi di
pagi hari, insomnia, serangan jantung, stroke, kemandulan pada pria, gangguan
pencernaan, kecanduan dan bahkan penuaan dini (Farida dkk., 2013).
Sebuah penelitian menunujukkan bahwa sebaiknya dalam
mengkonsumsi kopi tidak lebih dari 200 mg perhari agar tidak mengalami
gangguan tidur dan tidak mengkonsumsi kopi atau kafein setidaknya 4 jam
sebelum tidur.
2.3.6 Hubungan Konsumsi Kopi dengan Dismenore
Dismenore memiliki berbagai faktor risiko yang sudah banyak
dibahas pada berbagai literatur penelitian, salah satunya yaitu coffe consumption
(konsumsi kopi). Dari penelitian yang dilakukan Unsal, dkk. (2018) dengan
pendekatan cross sectional didapatkan prevalensi kejadian dismenore lebih tinggi
pada orang yang mengonsumsi kopi daripada yang tidak. Faridah (2016) dalam
penelitiannya juga menyatakan bahwa konsumsi kopi merupakan faktor risiko
terjadinya dismenore karena kafein yang terkandung dalam kopi menyebabkan
vasokontriksi sehingga memperparah kondisi iskemik pada uterus dan
meningkatkan rasa nyeri.
Vasokontriksi adalah penyempitan pembuluh darah karena mekanisme
atau rangsangan tertentu pada tubuh. Vasokonstriksi adalah mekanisme normal
dari pembuluh darah. Vasokonstriksi dapat terjadi pada kondisi penurunan
tekanan darah, berkurangnya panas di dalam tubuh pada suhu dingin dan untuk
melindungi tubuh yang kehilangan darah atau cairan.
2.3.7 Hubungan Konsumsi Kopi dengan Kualitas Tidur
Kopi merupakan golongan minuman psikostimulan yang dapat
memberikan efek fisiologis berupa peningkatan energi dan dapat menyebabkan
seseorang tetap terjaga karena efek farmakologinya yang mampu menghambat
reseptor adenosin yang mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga dapat
menurunkan kualitas tidur seseorang. Kopi dapat memberikan efek
psikositumalan seperti meningkatkan kewaspadaan, meningkatkan daya berpikir
dan mengurangi rasa lelah atau kantuk yang dapat membantu orang-orang dalam
beraktivitas.
2.4. .Konsep Nyeri
2.4.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran terhadap
kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Karena nilainya
bagi
kelangsungan hidup, nosiseptor (reseptor nyeri) tidak beradaptasi terhadap
stimulasi yang berulang atau berkepanjangan. Simpanan pengalaman yang
menimbulkan nyeri dalam ingatan membantu kita menghindari kejadian –
kejadian yang berpotensi membahayakan di masa mendatang (Sherwood, 2015).
2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Taylor (2011)
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan
nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia
cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap
nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis Kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda
secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor
budaya (Contoh : tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh
mengeluh nyeri).
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
a) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
b) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990),
perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon
nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan
tehnik untuk mengatasi nyeri.
c) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri
bisa menyebabkan seseorang cemas.
d) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa
lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
e) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang
mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive
akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
f) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan.
2.4.3 Klasifikasi Tingkat Nyeri
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit,
atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas
yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu
singkat (Meinharr dan Mccaffery, 1983: NH, 1986 dalam Smeltzer, 2002).
Nyeri akut dapat berhenti dengan sendirinya (self-limiting) dan akhirnya
menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area
yang terjadi kerusakan.
Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki omset
yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri ini biasanya disebabkan trauma
atau inflamasi. Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini,
seperti pada saat sakit kepala, nyeri dismenore, sakit gigi, terbakar,
tertusuk duri, pasca persalinan, pasca pembedahan, dan lain sebagainya.
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas sistem saraf simpatis
yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi,
peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, dan dilatasi pupil.
Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya
ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsunglama,
intensitasnya bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan
(McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, 2005).
Nyeri kronik dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kronik nonmalignan
dan malignan (Potter & Perry, 2005). Nyeri kronik nonmalignan
merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif
atau yang menyembuh (Scheman, 2009 dalam Potter & Perry, 2005), bisa
timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah, dan
nyeri yang didasari atas kondisi kronik, misalnya osteoarthritis (Tanra,
2005, dalam Potter & Perry, 2005). Sementara nyeri kronik malignan yang
disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat
diidentifikasi, yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf. Perubahan ini
terjadi bisa karena penekanan pada saraf akibat metastase sel- sel kanker
maupun pengaruh zat kimia.
2.4.4 Pengukuran Skala Nyeri
Untuk menilai skala nyeri terdapat beberapa macam skala nyeri yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri seseorang antara lain:
1. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Verbal Descriptor Scale (VDS) adalah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsi yang telah disusun dengan jarak yang sama
sepanjang garis. Ukuran skala ini diurutkan dari “tidak adanya rasa nyeri”
sampai “nyeri hebat”. Perawat menunjukkan ke klien tentang skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih skala nyeri terbaru yang
dirasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling
menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan. Alat VDS
memungkinkan klien untuk memilih dan mendeskripsikan skala nyeri
yang dirasakan (Potter & Perry, 2006).
2. Visual Analogue Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang menggambarkan skala
nyeri terus menerus.Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih
tingkat nyeri yang dirasakan.VAS sebagai pengukur keparahan tingkat
nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat menentukan setiap titik dari
rangkaian yang tersedia tanpa dipaksa untuk memilih satu kata (Potter &
Perry, 2006).
Skala nyeri pada skala 0 berarti tidak terjadi nyeri, skala nyeri pada
skala 1-3 seperti gatal, tersetrum, nyut-nyutan, melilit, terpukul, perih,
mules.Skala nyeri 4-6 digambarkan seperti kram, kaku, tertekan, sulit
bergerak, terbakar, ditusuk- tusuk.Skala 7-9 merupakan skala sangat nyeri
tetapi masih dapat dikontrol oleh klien, sedangkan skala 10 merupakan
skala nyeri yang sangat berat dan tidak dapat dikontrol.Ujung kiri pada
VAS menunjukkan “tidak ada rasa nyeri”, sedangkan ujung kanan
menandakan “nyeri yang paling berat”.
3. Numeric Rating Scale (NRS)
Skala nyeri pada angka 0 berarti tidak nyeri, angka 1-3
menunjukkan nyeri yang ringan, angka 4-6 termasuk dalam nyeri sedang,
sedangkaan angka 7-10 merupakan kategori nyeri berat. Oleh karena itu,
skala NRS akan digunakan sebagai instrumen penelitian (Potter & Perry,
2006).
Menurut Skala nyeri dikategorikan sebagai berikut :
0 : tidak ada keluhan nyeri, tidak nyeri.
1-3 : mulai terasa dan dapat ditahan, nyeri ringan.
4-6 : rasa nyeri yang menganggu dan memerlukan usaha untuk
menahan, nyeri sedang.
7-10 : rasa nyeri sangat menganggu dan tidak dapat ditahan,
meringis, menjerit bahkan teriak, nyeri berat.
4. Faces Pain Rating Scale
Skala ini terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah yang sedang tersenyum untuk menandai tidak
adanya rasa nyeri yang dirasakan, kemudian secara bertahap meningkat
menjadi wajah kurang bahagia, wajah sangat sedih, sampai wajah yang
sangat ketakutan yang berati skala nyeri yang dirasakan sangat nyeri
(Potter & Perry, 2005).